Anda di halaman 1dari 36

i

STIKes HORIZON KARAWANG

PROPOSAL

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PERAWAT


TERHADAP HAND HYGIENE TAHUN 2022

Disusun Oleh :
Robiatul
NIM.

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HORIZON KARAWANG
Jln. Pangkal Perjuangan Km. 1 By Pass Karawang 41316
TAHUN 2022
2

STIKes HORIZON KARAWANG

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PERAWAT


TERHADAP HAND HYGIENE TAHUN 2022

PROPOSAL
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Keperawatan

Robiatul
NIM.

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HORIZON KARAWANG
Jln. Pangkal Perjuangan KM 1 By Pass – Karawang 41316
Bulan, 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan institusi bidang kesehatan lebih lengkap dari
puskesmas yang memberikan pelayanan profesional kepada masyarakat
secara komprehensif untuk mencegah penyakit dan menyembuhkan
penyakit. Tenaga kesehatan sering melakukan kontak langsung dengan
pasien penderita penyakit yang berpotensi menularkan virus atau bakteri
penyebab penyakit dan infeksi.

Penyakit infeksi atau menular masih merupakan masalah kesehatan di


indonesia. Ini terjadi karena adanya interaksi antara mikroorganisme
dengan tubuh yang rentan. Pada umumnya pasien yang datang ke rumah
sakit sudah dalam keadaan lemah atau parah. Oleh karena itu, sering
diperlukan tindakan ”invasive“ dan tindakan medis yang dapat
memudahkan masuknya mikroorgannisme penyebab infeksi kedalam
tubuh pasien. Keadaan ini akan semakin memperparah penyakit yang
diderita dan bahkan menyebabkan kematian (Depkes, 2010).

Infeksi terkait perawatan kesehatan atau Health Care Asosiated Infections


(HAIs), yang juga disebut sebagai infeksi “ Nosokomial” atau “ Rumah
Sakit”, adalah infeksi yang terjadi selama perawatan di rumah sakit atau
fasilitas perawatan kesehatan lainnya setelah pasien masuk rumah sakit
dalam kurun waktu 48-72 jam (WHO, 2016).

Hasil survey yang dilakukan World Health Organization (WHO) pada


tahun 2016, menyatakan bahwa prevalensi kejadian infeksi nosokomial di
Eropa lebih dari 4 juta – 4,5 juta pasien terkena setiap tahun. Di amerika
serikat diperkirakan sekitar 1.7 juta pasien yang terkena infeksi

3
nosokomial setiap tahun, ini mewakili prevalensi 4,5% untuk 99.000
kematian (WHO, 2016).

Cara pencegahan infeksi nosokomial yang paling efektif adalah dengan


melakukan Hand Hygiene. mencuci tangan “Lima Momen” untuk petugas
kesehatan yang benar berdasarkan standar World Health Organization
(WHO) yang terdiri dari sebelum bersentuhan dengan pasien, sebelum
melakukan prosedur bersih atau steril, setelah bersentuhan dengan cairan
tubuh pasien, setelah bersentuhan dengan tubuh pasien, setelah
bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien, selain itu juga ada enam
langkah cuci tangan (WHO, 2017). Tingkat kepatuhan pekerja kesehatan
dalam menjaga dirinya melalui upaya membersihkan tangan masih sangat
rendah; hal ini bisa diketahui dari data riset kesehatan dasar ( Riskesdas )
tahun 2013 yang menunjukan baru 47,0% petugas kesehatan yang
berprilaku benar dalam mencuci tangan.

Perawat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap terjadinya infeksi


nosokomial karena perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling
banyak melakukan kontak dengan pasien dan berinteraksi secara langsung
dengan pasien selama 24 jam. Upaya pencegahan infeksi nosokomial yang
dapat dilakukan perawat adalah dengan meningkatkan kemampuan dalam
menerapkan kewaspadaan standar (standar precaution) dengan komponen
utamanya yang merupakan salah satu metode paling efektif untuk mencegah
penularan patogen berkaitan dengan pelayanan kesehatan adalah dengan
melakukan praktek kebersihan tangan (hand hygiene) (WHO, 2009).

Hand hygiene adalah suatu upaya mencegah infeksi yang ditularkan melalui
tangan dengan menghilangkan kotoran dan debris serta menghambat atau
membunuh mikroorganisme pada kulit yang dapat diperoleh dari kontak
antara pasien dengan lingkungan (Depkes, 2008). Tangan yang
terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi (Perry &
Potter 2005 yang dikutip Rodyah, 2015). Kegagalan untuk melakukan

4
kebersihan tangan dengan baik dan benar merupakan penyebab utama
Infeksi nosokomial dan penyebaran mikroorganisme multiresisten di
fasilitas pelayanan kesehatan (Perry & Potter, 2002 dalam Depkes RI,
2008).

Program untuk meningkatkan hand hygiene petugas kesehatan telah


dideklarasikan oleh WHO melalui program keselamatan pasien yang
mencetuskan Global Patient Safety Challenge “clean care is safe care”.
WHO juga meluncurkan Save Lives: Clean Your Hands dengan strategi 5
momen hand hygiene (My Five Moments for Hand hygiene) yaitu sebelum
kontak dengan pasien, sebelum melakukan prosedur aseptik, setelah
terpapar dengan cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan pasien, setelah
kontak dengan lingkungan sekitar pasien” (WHO, 2009).

Kepatuhan dalam hand hygiene sangat penting dilakukan oleh perawat. Hal
ini disebabkan karena kurangnya kepatuhan perawat dapat menimbulkan
beberapa dampak. RSUD Ade Muhammad Djoen Sintang menetapkan
target 100% pencapaian kepatuhan kepatuhan hand hygiene (RSUD Ade
Muhammad Djoen Sintang, 2016).

Berdasarkan laporan stase manajemen keperawatan ( fatih,dkk 2017 dalam


Esti, 2017). Diruang Bedah RSUD Sleman diperoleh data hanya 10%
kepatuhan perawat dalam melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah
tindakan, sisanya 59,04% hanya melakukan cuci tangan biasa. Penelitian
yang dilakukan oleh Utami tahun 2016 di instalasi rawat inap RST Dr.
Soedjono Magelang menunjukkan kepatuhan perawat dalam melakukan
cuci tangan adalah pada kategori tidak patuh 53,9% (Utami, 2016 dalam
syamsulsastri, 2017).

Secara umum kepatuhan terhadap perilaku sehat menurut teori Precede LW


Green/Notoatmojo dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu : Predisposing, Enabling
dan Reinforcing.

5
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ria Anugrahwati at al,.
(2019) menunjukan bahwa faktor faktor yang berpengaruh terhadap
kepatuhan dalam hand hygiene adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, lama
kerja, pengetahuan, ketersediaan fasilitas, aturan sosial rumah sakit dan
lingkungan, yang artinya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna dari factor-faktor tersebut diatas terhadap kepatuhan terutama
faktor pengetahuan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal


22 Agustus 2022 di di ruang perawatan dalam RS. Islam Karawang, dengan
melakukan observasi terhadap 10 orang perawat pelaksana saat melakukan
hand hygiene, didapat 75% perawat belum melakukan hand hygiene dengan
baik dan benar sesuai prosedur yang ditetapkan dan 25% perawat
melakukan hand hygiene dengan baik dan benar sesuai prosedur yang
ditetapkan.

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada kepala ruangan


mengatakan bahwa jenis hand hygiene yang digunakan air mengalir
(wastafel) hanya tersedia di ruang nurse station. Hand Hygiene yang ada
disetiap ruangan perawatan diruang tersebut adalah Handrub, akan tetapi
tidak berfungsi dengan baik, dikarenakan handrub sering tidak terisi.

Melihat fenomena diatas dan untuk menjaga keselamatan pasien,


pengunjung, perawat dan meningkatkan mutu rumah sakit, maka peneliti
tertarik untuk mengetahui “Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan
Perawat Terhadap Hand Hygiene Di Rumah Sakit Islam Karawang”.

B. Rumusan Masalah
Perawat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap terjadinya infeksi
nosokomial karena perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling
banyak melakukan kontak dengan pasien dan berinteraksi secara langsung
dengan pasien selama 24 jam. Upaya pencegahan infeksi nosokomial yang

6
dapat dilakukan perawat adalah dengan meningkatkan kemampuan dalam
menerapkan kewaspadaan standar (standar precaution) dengan komponen
utamanya yang merupakan salah satu metode paling efektif untuk mencegah
penularan patogen berkaitan dengan pelayanan kesehatan adalah dengan
melakukan praktek kebersihan tangan (hand hygiene). Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan dengan status
kepatuhan perawat terhadap hand hygiene. Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 22 Agustus 2022 di di
ruang perawatan dalam RS. Islam Karawang, dengan melakukan observasi
terhadap 10 orang perawat pelaksana saat melakukan hand hygiene, didapat
75% perawat belum melakukan hand hygiene dengan baik dan benar sesuai
prosedur yang ditetapkan dan 25% perawat melakukan hand hygiene dengan
baik dan benar sesuai prosedur yang ditetapkan.

Berdasarkan masalah tersebut, peneliti merumuskan masalah ”Faktor apa


sajakah Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Perawat Terhadap
Hand Hygiene Di Rumah Sakit Islam Karawang ?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan
dengan kepatuhan perawat terhadap hand hygiene di Rumah Sakit Islam
Karawang Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
a. Mengetahui gambaran kepatuhan perawat terhadap hand hygiene di
Rumah Sakit Islam Karawang Tahun 2022.

7
b. Mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan
perawat dalam melakukan hand hygiene di Rumah Sakit Islam
Karawang Tahun 2022.
c. Mengetahui hubungan antara sikap dengan kepatuhan perawat
dalam melakukan hand hygiene di Rumah Sakit Islam Karawang
Tahun 2022.
d. Mengetahui hubungan antara motivasi dengan kepatuhan perawat
dalam melakukan hand hygiene di Rumah Sakit Islam Karawang
Tahun 2022.
e. Mengetahui hubungan antara fasilitas dengan kepatuhan perawat
dalam melakukan hand hygiene di Rumah Sakit Islam Karawang
Tahun 2022.
f. Mengetahui hubungan antara supervisi kepala ruangan dengan
kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene di Rumah Sakit
Islam Karawang Tahun 2022.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau tambahan

referensi kepustakaan dan tambahan informasi bagi mahasiswa dalam

mata ajar Manajemen Keperawatan.

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi kepada masyarakat

khususnya pasien pengunjung RS Islam Karawang mengenai tingkat

kepatuhan dalam melakukan hand hygiene. Hal tersebut dapat menjadi

pertimbangan dalam membina pengetahuan dan sikap pasien dalam

melakukan hand hygiene dikehidupan sehari-hari.

8
3. Bagi Profesi Perawat

Hasil dari penelitian yang sudah dilaksanakan diharapkan dapat

digunakan sebagai masukan bagi perawat dalam melakukan upaya

promotif dan preventif untuk mencegah infeksi nosokomial.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi dan acuan

untuk penelitian selanjutnya mengenai faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Nosokomial
1. Definisi infeksi Nosokomial
Menurut Darmadi (2008), nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari
kata “nosos” yang artinya penyakit, dan “komeo” yang artinya merawat.
Nosokomial berarti tempat untuk merawat/rumah sakit. Jadi, infeksi
nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi
di rumah sakit. Dapat juga diartikan bahwa infeksi nosokomial adalah
infeksi yang didapat oleh penderita, ketika penderita dalam proses
asuhan keperawatan di rumah sakit. Menurut Kozier (2010) dalam
Sulastri, S (2017), infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan
saat pasien berada di rumah sakit.

Darmadi (2008) dalam Sulastri, S (2017) menyatakan bahwa faktor-


faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah
sebagai berikut :
a. Faktor-faktor yang ada pada diri pasien (intrinsic factors) yaitu
meliputi usia, jenis kelamin, kondisi umum penderita, resiko
terapi atau adanya penyakit yang menyertai penyakit dasar.
b. Faktor keperawatan, yaitu meliputi lamanya hari perawatan
(length of stay), menurunnya standar pelayanan perawatan serta
padatnya pasien dalam satu ruangan.
c. Faktor mikroba pathogen, meliputi tingkat kemampuan invasi
mikroba, tingkat kemampuan untuk merusak jaringan, serta
lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan
dan penderita.
d. Faktor-faktor luar (extrinsic factors)
Faktor-faktor luar yang berpengaruh dalam infeksi nosokomial
adalah sebagai berikut:

10
1) Petugas pelayanan medis meliputi dokter, perawat, bidan,
tenaga laboratorium dan sebagainya. Menurut Potter & Perry
(2005) dalam Sulastri, S (2017), sebagian besar infeksi
nosokomial ditularkan oleh pemberi pelayanan kesehatan.
2) Peralatan atau material medis, meliputi jarum, kateter,
instrumen, respirator, kain atau dock, kassa dan lain-lain.
3) Lingkungan meliputi lingkungan internal seperti ruangan atau
bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah,
sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit
dan tempat pembuangan sampah atau pengolahan limbah.
4) Pasien lain atau keberadaan penderita lain dalam satu kamar
atau ruangan atau bangsal perawatan dapat merupakan sumber
penularan.
5) Pengunjung atau keluarga, keberadaan tamu atau keluaga
dapat merupakan sumber penularan.

Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi


nosokomial adalah ketidakpatuhan perawat dalam melakukan hand
hygiene saat tindakan keperawatan.

2. Rantai Penularan Nosokomial


Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu dilakukan dengan
mengatahui rantai penularan. Apabila satu mata rantai dihilangkan atau
dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen
terjadinya penularan menurut Depkes RI (2011) adalah:
a. Agen infeksi (infectious agent)
Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat
menyebabkan infeksi. Pada manusia agen infeksi dapat berupa
bakteri, virus, ricketsia, jamur dan parasit. Ada tiga faktor pada
agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu
patogenitas, virulensi dan jumlah (dosis atau “load”).

11
b. Reservoir
Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh,
berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang
paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah,
air dan bahan- bahan organik lainnya. Pada orang sehat, permukaan
kulit, selaput lendir saluran napas atas, usus dan vagina merupakan
reservoir yang umum.

c. Pintu keluar (portal of exit)


Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan dimana agen infeksi
meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi saluran pernapasan,
pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrane
mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.

d. Transmisi (cara penularan)


Transmisi adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi dari
reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara
penularan yaitu (1) kontak: langsung dan tidak langsung, (2)
droplet, (3) airbone, (4) melalui venikulum (makanan,
air/minuman, darah) dan (5) melalui vektor (serangga, binatang
pengerat.

e. Pintu masuk (portal of entry)


Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi
memasuki pejamu (yang susceptible). Pintu masuk melalui saluran
pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lendir
serta kulit yang tidak utuh (luka).

f. Pejamu (host) yang susceptible


Pejamu (host) yang susceptible adalah orang yang tidak memiliki
daya tahan tubuh yang cukup melawan agen infeksi serta mencegah
terjadinya infeksi atau penyakit. Faktor yang khusus mempengaruhi

12
adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka
bakar yang luas, trauma atau pembedahan, pengobatan dengan
imunosupresan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah jenis
kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup,
pekerjaan dan herediter.

3. Ciri – ciri Infeksi Nosokomial


Menurut Darmadi (2008) dalam Waney (2016), suatu infeksi disebut
dengan infeksi yang didapat dari rumah sakit atau infeksi nosokomial
apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Saat penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-
tanda klinik dari infeksi tersebut;
b. Saat penderita mulai dirawat di rumah sakit, tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut;
c. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya
setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan;
d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi
sebelumnya;

Apabila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda


infeksi dan terbukti infeksi tersebut didapat oleh penderita ketika
dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum
pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

4. Peran perawat dalam pencegahan infeksi nosocomial


Menurut World Health Organization (2002) yang dikutip oleh Rodyah
(2015), pelaksanaan praktek atau perawatan pasien dalam pengendalian
infeksi merupakan peran tenaga perawat. Perawat harus terbiasa dengan
praktek untuk mencegah terjadinya dan penyebaran infeksi, dan
mempertahankan praktek-praktek yang sesuai untuk semua pasien
selama di rumah sakit. adapun peran tenaga kesehatan dalam
pengendalian infeksi nosokomial:

13
a. Menjaga kebersihan, konsisten dengan kebijakan rumah sakit dan
praktek keperawatan;
b. Pemantauan teknik aseptik, termasuk mencuci tangan dan
penggunakan isolasi;
c. Melaporkan kepada dokter dengan segera apabila terdapat gejala
infeksi pada pasien saat pemberian pelayanan keperawatan;
d. Melakukan isolasi pada pasien apabila menunjukkan tanda-tanda
penyakit menular ketika dokter tidak segera menanganinya;
e. Membatasi paparan pasien terhadap infeksi dari pengunjung, staf
rumah sakit, pasien lain atau peralatan yang digunakan untuk
diagnosis atau asuhan keperawatan;
f. Mempertahankan pasokan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan
perawatan pasien yang aman dan memadai di ruangan.

B. Konsep Hand Hygiene


1. Pengertian Hand Hygiene
Hand hygiene adalah proses yang secara mekanis melepaskan kotoran
dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air.
Hand hygiene adalah proses membuang kotoran dan debu secara
mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air
(Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit.).

Hand hygiene adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk


menghindari penyakit, agar kuman yang menempel pada tangan benar-
benar hilang. Hand hygiene juga mengurangi pemindahan mikroba ke
pasien dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang berada
pada kuku, tangan dan lengan. Teknik dasar yang paling penting dalam
pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi adalah hand hygiene

14
(Potter A.P, Perry A.G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Jakarta:
EGC; 2005.).

2. Tujuan Hand Hygiene


Tujuan hand hygiene adalah untuk membuang kotoran dan organisme
yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba
total pada saat itu. Tangan yang terkontaminasi merupaka penyebab
utama perpindahan infeksi (Potter A.P, Perry A.G. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan Jakarta: EGC; 2005).

Tujuan dilakukan hand hygiene ialah untuk mengangkat


mikroorganisme yang ada di tangan, mencegah infeksi silang, menjaga
kondisi steril, melindungi diri dari pasien dan infeksi, memberikan
perasaan segar dan bersih (Potter A.P, Perry A.G, 2005).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2008) tujuan hand hygiene adalah


sebagai berikut :
a. Meminimalkan atau menghilangkan mikroorganisme yang ada di
tangan.
b. Mencegah perpindahan mikroorganisme dari lingkungan ke pasien
dan dari pasien ke petugas (infeksi silang).

3. Indikasi Hand Hygiene


Indikasi saat melakukan hand hygiene adalah sebelum dan setelah
kontak dengan pasien atau melakukan prosedur, seperti mengganti
balutan, menggunakan tempat sputum, melakukan injeksi, penggantian
infus, drainase atau darah. Sebelum dan sesudah memegang pelatanan
yang digunakan pasien. Setelah kontak dengan cairan tubuh dan
sebelum prosedur aseptik (WHO Guidelines On Hand Hygiene in
Health Care. First Global Patient Safety Challenge Clean Care Is Safer
Care., 2009).

15
Hand hygiene atau membersihkan dillakukan pada saat : (Potter A.P,
Perry A.G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Jakarta: EGC;
2005).
a. Setelah menangani darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan
benda-benda yang tekontaminasi dan Setiap kontak dengan pasien
yang berbeda.
b. Setiap tugas dan tindakan pada pasien yang sama untuk mencegah
kontaminasi silang pada tempat yang berbeda dan segera setelah
melepas sarung tangan.
c. Menggunakan sabun biasa, sabun antimikroba atau cairan
antiseptic. Jika tangan tidak terlihat kotor gunakan agen antiseptik
yang mengandung sedikit air dan alkohol untuk menghilangkan
kontaminasi pada tangan secara rutin pada semua situasi klinis
yaitu :
1) Setelah kontak dengan kulit klien (ketika sedang memeriksa
frekwensi nadi, tekanan darah, mengangkat klien, injeksi, atau
menganti infus).
2) Sebelum makan.
3) Setelah kontak dengan cairan tubuh atau sekret, membran
mokosa, kulit yang tidak utuh atau perban luka selama tangan
tidak kotor.
4) Ketika berpindah dari bagian tubuh yang terkontaminasi ke
bagian tubuh yang bersih saat merawat klien.
5) Setelah kontak dengan objek benda mata di daerah sekitar
klien.
6) Sebelum merawat klien dengan netropeni berat atau bentuk
supresi imun berat lain.
7) Sebelum memasang kateter urine atau alat invasif lainnya.

16
WHO (2009) mengindikasikan hand hygiene sebagai berikut:
a. Hand hygiene dengan air dan sabun ketika terlihat kotor atau
terpapar dengan darah atau cairan tubuh lainnya atau setelah
menggunakan toilet.
b. Sebelum dan sesudah menyentuh pasien
c. Setelah melakukan prosedur invasif dengan atau tanpa mengunakan
sarung tangan.
d. Setelah bersentuhan dengan kulit yang tidak intact, membrane
mukosa, atau balutan luka.
e. Bila berpindah dari satu bagian tubuh yang terkontaminasu ke
bagian tubuh yang lainnya dalam satu perawatan pada pasien yang
sama.
f. Setelah kontak dengan peralatan medis.
g. Setelah melepaskan sarung tangan steril dan non steril
h. Sebelum pemberian medikasi atau mempersiapkan makanan hand
hygiene menggunakan alkohol, handrub atau hand hygiene dengan
sabun anti bakterial dengan air mengalir.

4. Sarana Hand Hygiene


Sarana adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan
ketersediaan fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama dan pembantu
dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga dalam rangka kepentingan yang
sedang berhubungan dengan organisasi kerja. Pengertian lain dari
sarana dan prasarana adalah seperangkat alat yang digunakan dalam
suatu proses kegiatan baik alat tersebut merupakan peralatan pembantu
maupun peralatan utama, yang keduanya berfungsi untuk mewujudkan
tujuan yang hendak dicapai dan dalam hal ini sarana yang dimaksud
yaitu sarana yang berkaitan dengan hand hygiene, antara lain sebagai
berikut: (WHO, 2009).
a. Air mengalir
Sarana utama hand hygiene adalah air mengalir dengan saluran
pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan

17
guyuran air mengalir tesebut maka mikroorganisme yang terlepas
karena gesekan mekanis atau kimiawi saat hand hygiene akan
terhalau dan tidak menempel lagi dipermukaan kulit.
b. Sabun dan deterjen
Bahan tersebut tidak membunuh mikroorganisme tertapi
menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan
mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroogarnisme
terlepas dari permukaan kulit dan mudah terbawa oleh air. Jumlah
mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkat frekuensi
hand hygiene, namun di lain pihak dengan seringnya menggunakan
sabun dan deterjen maka lapisan lemak kulit akan hilang dan
membuat kulit terjadi kering dan pecah-pecah. Hilangnya lapisan
lemak akan memberikan peluang untuk tumbuhnya kembali
mikrooganisme.
c. Larutan antiseptic
Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba topical, dipakai
pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas
atau membunuh mikrooganisme pada kulit. Antiseptik memiliki
bahan kimia yang memungkinkan untuk mengunakan pada kulit
dan selaput mukosa. Antiseptik memiliki keragaman dalam
efektivitas, aktivitas, akibat dan rasa pada kulit setelah dipakai
sesuai dengan keragaman jenis antiseptik tersebut dan reaksi kulit
masing-masing individu.

5. Macam-macam Hand Hygiene


Menurut WHO (2009) Hand hygiene medis dibedakan menjadi 3 jenis
yaitu:
a. Handrub: menggunakan gel dengan alkohol selama 20-30 detik
(dilakukan gerak setiap langkah hand hygiene secara berulang)
dilakukan pada saat tangan tidak kotor.
b. Handwash; menggunakan air mengalir dengan sabun selama 40-60
detik (dilakukan 8 gerakan setiap langkah hand hygiene berulang)

18
dilakukan pada saat tangan dan setelah melakukan 5 kali
melakukan handrub
c. Hand Hygiene bedah; suatu upaya membersihkan tangan dari
benda asing dan mikrooganisme dengan menggunkan metode yang
paling maksimal sebelum melakukan prosedur bedah. Upaya
mengurangi mikrooganisme potoge pada area tangan, hand hygiene
metode bedah dilakukan dengan sangat hati-hati dan dalam waktu
relatif lama. Pelaksanaan tangan dengan hand hygiene efektif
membutuhkan waktu sekitar 2-4 menit.

6. Tehnik Hand Hygiene


a. Hand Hygiene dengan air mengalir (Handwash)
Hand hygiene dengan air mengalir dan sabun merupakan teknik
hand hygiene yang paling ideal. Dengan hand hygiene, kotoran tak
terlihat dan bakteri patogen yang terdapat pada area tangan dapat
dikurangi secara maksimal. Hand hygiene dengan handwash
disarankan untuk melakukan sesering mungkin, bila kondisi dan
sumber daya memungkinkan. Pelaksanaan hand hygiene dengan
handwash efektif membutuhkan waktu 40-60 detik, dengan
langkah sebagai berikut: (WHO, 2009).
1) Basahi tangan dengan air mengalir
2) Tuangkan sabun kurang lebih 5cc untuk menyabuni seluruh
permukaan tangan.
3) Mulai teknik enam langkah :
a) Gosok tangan dengan posisi telapak pada telapak tangan
b) Gosok telapak tangan kanan diatas punggung tangan kiri
dengan jari- jari saling menjalin dan sebaliknya.
c) Gosok kedua telapak tangan dan jari-jari saling menjalin
d) Gosok punggung jari-jari pada telapak tangan yang
berlawanan dengan jari-jari saling mengunci.
e) Gosok memutar ibu jari kiri dengan tangan kanan mengunci
pada ibu jari tangan kiri dan sebaliknya.

19
f) Gosok kuku jari-jari kiri memutar pada telapak tangan
kanan dan sebaliknya.
4) Bilas tangan dengan air mengalir
5) Keringkan tangan sekering mungkin dengan tisu.
6) Gunakan tisu untuk mematikan kran.

b. Hand hygiene menggunakan antiseptik berbasis alkohol (handrub)


Pada pelaksanaan hand hygiene, terkadang tidak dapat dilakukan
karena kondisi atau keterbatasan sumber daya. Banyak pasien yang
kontak dengan petugas dalam satu waktu, atau sulitnya
mendapatkan sumber air bersih yang memadai menjadi kendala
dalam melaksanakan hand hygiene dengan handwash. Dengan
alasan ini, WHO menyarankan alternatif lain dalam melakukan
hand hygiene, yaitu dengan handrub berbasis alkohol.
1) Keuntungan handcrub WHO merekomendasikan handrub
berbasis alkohol kerena beberapa hal sebagai berikut :
a) Berdasarkan bukti, keutungan intrinsik dari reaksinya yang
cepat, efektfif terhadap aktifitas mikroba spectrum luas
dengan resiko minimal terhadap resistensi mikrobacterial.
b) Cocok untuk digunakan pada area untuk ketersediaan
fasilitas kesehatan dengan akses dan dukungan sumber
daya yang terbatas dalam hal ketersediaan fasilitas hand
hygiene (termasuk air bersih, tisu, handuk, dan sebagainya)
c) Kemampuan promotif yang lebih besar dalam mendukung
upaya hand hygiene karena prosesnya yang cepat dan lebih
nyaman untuk dilakukan.
d) Keuntungan finansial, mengurangi biaya yang perlu
dikeluarkan rumah sakit.
e) Resiko minimal terhadap adverse avent karena
meningkatnya keamanan, berkaitan dengan akseptabilitas
dan toleransinya dibandingkan dengan produk lain.

20
2) Teknik hand hygiene menggunakan handrub
Pelaksanaan membersihkan tangan dengan menggunakan
alkohol based handrub efektif membutuhkan waktu sekitar 20-
30 detik melalui 6 langkah kebersihan tangan. Prosedur ini
dimulai dengan menuangkan 3-5 ml handrub kedalam telapak
tangan :
a) Menggosok bagia dalam telapka tangan
b) Menggosok punggung tangan bergantian
c) Menggosok sela-sela jari tangan
d) Menggosok ruas jari tangan dengan mengaitkan kedua
tangan
e) Menggosok ibu jari tangan bergantian
f) Menggosok ujung jari tangan.

c. Hand hygiene metode bedah


Adalah suatu upaya membersihkan tangan dari benda asing dan
mikroorganisme dengan menggunakaan metode yang paling
maksimal sebelum melakukan prosedur bedah. Dengan tujuan
tertinggi dalam upaya mengurangi mikoorganisme patogen pada
area tangan, hand hygiene metode bedah melakukan dengan sangat
hati-hati dalam waktu yang relatif lebih lama. Pelaksanaan
membersihkan dengan hand hygiene efektif membutuhkan waktu
sekitar 2-6 menit melalui 3 tahap dengan langkah-langkah : (WHO
Guidelines On Hand Hygiene in Health Care. First Global Patient
Safety Challenge Clean Care Is Safer Care.; 2009).
1) Membasahi tangan dengan air mengalir, dimulai dari ujung jari
sampai 2 cm diatas siku.
2) Menempatkan sekitar 15 ml (3x tekanan dispenser) cairan
handrub ditelapak tangan kiri, dengan menggunakan siku
lengan yang lain atau dengan dorongan lutut untuk
megoperasikan dispenser.
3) Meratakan dan menggosok cairan handrub

21
4) Ratakan dengan kedua telapak tangan dilanjutkan dengan
menggosok pungung, sela-sela jari tangan kiri dan kanan dan
sebaliknya.
5) Kedua telapak tangan, jari-jari sisi dalam dari kedua tangan
saling menggosok dan mengait dilanjutkan dengan
membersihkan kedua inu jari dan ujung kuku jari bergantian.
6) Mengambil pembersih kuku dan bersihkan dalam air mengalir
7) Mengambil sikat steril yang sudah berisi cairan handrub
8) Menyikat tangan kanan dan tangan kiri bergantian
9) Kuku dengan gerakan searah dari atas kebawah pada kedua
tangan.
10) Jari-jari seakan mempunyai empat sisi, sela jari, secara urut
mulai dari ibu jari sampai dengan kelingking.
11) Telapak tangan, punggung melalui gerakan menglingkar
12) Daerah pergelangan tangan atas siku dengan gerakan
melingkar.
13) Ulangi cara ini pada tangan selama 2 menit.
14) Membilas tangan dengan air mengalir dari arah ujung jari ke
siku dengan memposisikan tangan tegak.
15) Lakukan sekali lagi menyikat tangan kanan dan tangan kiri
16) Kuku dengan gerakan tegak searah dari atas kebawah pada
kedua tangan
17) Jari-jari seakan mempunyai empat sisi, sela-sela jari, secara
urut mulai dari ibu jari sampai dengan kelingking.
18) Telapak tangan dan punggung dengan gerakan melingkar.
19) Daerah pergelangan tangan atas sampai dengan siku dengan
gerakan melingkar dilakukan selama 2 menit.
20) Membiarkan air menetes dari tangan sampai dengan siku.
21) Mengeringkan menggunakan handuk steril yang dibagi dua
bagian, satu bagian untuk tangan kiri dan bagian yang lain
untuk tangan kanan.
22) Memutar dari jari-jari tangan ke arah siku

22
23) Meletakan handuk pada tempat yang disediakan,.

Gambar 2.1 Langkah-Langkah Hand Hygiene Standar WHO 2009.

7. Peran Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (Tim PPI)


Untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya perlu diterapkan
pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), yaitu kegiatan yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan
pelatihan, serta monitoring dan evaluasi.

Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (PPIRS) sangat


penting karena menggambarkan mutu pelayana rumah sakit. Apabila
akhir-akhir ini muncul berbagai penyakit infeksi baru (new emerging,
emerging diseases, dan reemergin diseases). Pelaksanaan peningkatan
program Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (Tim PPI) saat ini
memilihi tantangan dimasa mendatang. Jumlah rumah sakit dan
ketersediaan fasilitas Yankes sangat banyak dan terus bertambah, serta

23
keterbatasan sumber daya manusia yang terampil dibidanng HAIs
(Healthcare Associated Infections). Untuk itu, perlu pelatihan-pelatihan
agar didapat tenaga kesehatan yang professional dan terampil
(Khoirulanisa, 2012 dalam Waney, 2016).

C. Konsep Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan merupakan perubahan perilaku atau kepercayaan seseorang
sebagai dari akibat adanya tekanan kelompok yang terdiri dari
pemenuhan dan penerimaan, serta mengikuti peraturan atau perintah
langsung yang diberikan kepada suatu kelompok maupun individu
(Hasibuan R H., 2013 dalam Waney, 2016).

Kepatuhan merupakan suatu hal yang membentuk sikap seseorang


cenderung untuk mengikuti sesuatu yang telah ditetapkan dalam
peraturan, patuh ialah mengikuti perintah atau keputusan yang telah
dibuat, dengan adanya kepatuhan maka hal-hal yang ditetapkan tidak
dapat dilakukan dengan semena-mena (Notoadmodjo, 2012).

Sedangkan ketidakpatuhan merupakan suatu kondisi pada individu atau


kelompok yang sebenarnya mau melakukannya, tetapi dapat dicegah
untuk melakukannya oleh faktor-faktor yang menghalangi ketaatan
terhadap anjuran.

Tingkat kepatuhan adalah besar kecilnya penyimpangan pelaksanaan


pelayanan dibandingkan dengan standar pelayanan yang ditetapkan
anjuran. Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat terhadap suatu
anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaati
terutama dalam melakukan hand hygiene diarea ruang perawatan (John
Feri, Lukman. 2007 dalam Sinaga, 2015).

24
2. Strategi Meningkatkan Kepatuhan Hand Hygiene
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan, terutama dalam melakukan
hand hygiene, yaitu :
a. Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal
dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi.
Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang
baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/perawat
dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
b. Dukungan sosial/keluarga yang dimaksud adalah keluarga. Para
profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien
untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka
ketidakpatuhan dapat dikurangi.
c. Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai
penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.

3. Cara Mengukur Kepatuhan Perilaku Hand Hygiene


Menurut Feist (2014) dalam Sulastri (2017), setidaknya terdapat lima
cara yang dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pada pasien,
yaitu :
a. Menanyakan pada petugas klinis
Metode ini adalah metode yang hampir selalu menjadi pilihan
terakhir untuk digunakan karena keakuratan atas estimasi yang
diberikan oleh dokter pada umumnya salah.
b. Menanyakan pada individu yang menjadi pasien
Metode ini lebih valid dibandingkan dengan metode yang
sebelumnya. Metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu: pasien
mungkin saja berbohong untuk menghindari ketidaksukaan dari
pihak tenaga kesehatan, dan mungkin pasien tidak mengetahui
seberapa besar tingkat kepatuhan mereka sendiri. Jika
dibandingkan dengan beberapa pengukuran objektif atas konsumsi
obat pasien, penelitian yang dilakukan cenderung menunjukkan

25
bahwa para pasien lebih jujur saat mereka menyatakan bahwa
mereka tidak mengkonsumsi obat.
c. Menanyakan pada individu lain yang selalu memonitor keadaan
pasien. Metode ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama,
observasi tidak mungkin dapat selalu dilakukan secara konstan,
terutama pada hal-hal tertentu seperti diet makanan dan konsumsi
alkohol. Kedua, pengamatan yang terus menerus menciptakan
situasi buatan dan seringkali menjadikan tingkat kepatuhan yang
lebih besar dari pengukuran kepatuhan yang lainnya. Tingkat
kepatuhan yang lebih besar ini memang sesuatu yang diinginkan,
tetapi hal ini tidak sesuai dengan tujuan pengukuran kepatuhan itu
sendiri dan menyebabkan observasi yang dilakukan menjadi tidak
akurat.
d. Pengukuran kepatuhan dapat dilakukan menggunakan kuesioner
yaitu dengan cara mengumpulkan data yang diperlukan untuk
mengukur indikator-indikator yang telah dipilih. Indikator tersebut
sangat diperlukan sebagai ukuran tidak langsung mengenai standar
dan penyimpangan yang diukur melalui sejumlah tolok ukur atau
ambang batas yang digunakan oleh organisasi merupakan penunjuk
derajat kepatuhan terhadap standar tersebut. Suatu indikator
merupakan suatu variabel (karakteristik) terukur yang dapat
digunakan untuk menentukan derajat kepatuhan terhadap standar
atau pencapaian tujuan mutu, di samping itu indikator juga
memiliki karakteristik yang sama dengan standar, misalnya
karakteristik itu harus reliabel, valid, jelas, mudah diterapkan,
sesuai dengan kenyataan, dan juga dapat diukur (Al-Assaf, 2010
dalam Waney, 2016).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Hand Hygiene


Kepatuhan merupakan perilaku individu melakukan kesetiaan. Menurut
Lowren Green (1980) dalam Notoadmodjo (2010), kepatuhan
dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu (1) faktor-faktor predesposisi

26
(predisposing factors), yaitu terwujud dalan pengetahuan, sikap, dan
sebagainya; (2) faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang
terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
ketersediaan fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya
ketersediaan fasilitas untuk hand hygiene ; dan (3) faktor-faktor
pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.

a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)


1) Pengetahuan
a) Pengertian pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari
pengalaman pengertian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2012).
b) Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan dalam aspek koginitif dibagi menjadi 6
tingkatan yaitu :
(1) Tahu (Know)
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya, dari seluruh pelajaran yang telah
dipelajari. Termasuk dalam tingkat ini adalah mengingat
kembali sesuatu yang bersifat spesifik dari selurh bahan
yang dipelajari. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kasta kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari yang artinya hanya sekedar tahu.
(2) Memahami (comprehension)
Memahami ini diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui

27
dan dapat menginterpretasikan ke kondisi sebenarnya.
Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan terhadap obyek
yang dipelajari.
(3) Aplikasi (application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dengan
menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-
perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip
prinsip siklus pemecahan masalah dari kasus kesehatan
kesehatan yang diberikan.
(4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen,
tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
(5) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Penilaian suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria
yang sudah ada.
(6) Mencipta (creat)
Mencipta yaitu menempatkan beberapa elemen atau
mengambil semua unsur pokok secara bersama-sama
membangun suatu keseluruhan yang logis dan fungsional
serta membuat sesuatu yang memiliki fungsi atau
mengorganisasikan kembali elemen-elemen tersebut ke
dalam pola atau struktur yang baru.

28
c) Cara mengukur pengetahuan Hand Hygiene
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin
diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo,
2010).

2) Sikap
Sikap merupakan proses yang dinamik, sehingga media dan
kehidupan seseorang akan memengaruhinya. Sikap dapat
membantu personal karena adanya intensitas perasaan gagal.
Sikap berada disetiap orang sepanjang waktu dan secara spontan.
Berdasarkan uraian diatas, maka sikap memiliki tiga komponen
yaitu : (Dewi, 2011 dalam Waney, 2016).
a) Komponen kognisi yang berhubungan dengan beliefs, ide dan
konsep
b) Komponen afeksi yang berhubungan kehidupan emosional
seseorang
c) Komponen konasi yang merupakan kecenderungan yang
bertingkah laku.

Dari tiga komponen di atas dapat dipahami bahwa aspek kognitif


atau kognisi dari suatu sikap menunjukkan pada suatu ide,
anggapan, pengetahuan, ataupun keyakinan seseoarang terhadap
objek sikap, aspek afektif dari suatu sikap menunjukkan pada
gejala emosi atau perasaan seseorang terhadap objek sikap dan
aspek afektif dapat dirasakan sebagai hal yang menyenangkan
atau tidak menyenangkan, sedangkan aspek konatif atau konasi
menunjukkan pada prilaku seseorang yang merupakan
predisposisi atau kesiapa seseorang untuk bertindak
mengantisipasi objek sikap (Notoadmodjo, 2012).

29
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap, adalah :
a) Pengalaman pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalamam
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat.
b) Pengaruh orang lain dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap
yang konformis atau searah dengan sikap orang yang
dianggap penting.
c) Faktor emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pertanyaan yang
didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran
frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahan ego.
d) Cara mengukur sikap
Cara mengukur sikap terdapat beberapa metode diantaranya :
(Azwar, 2005 dalam Sulastri, 2017).
(1) Observasi perilaku
Untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu dapat
diperhatikan melalui perilakunya, sebab perilaku
merupakan salah satu indikator sikap individu.
(2) Pertanyaan langsung
Ada dua asumsi yang mendasari penggunaan metode
pertanyaan langsung guna mengungkapkan sikap.
Pertama, asumsi bahwa individu merupakan orang yang
paling tau mengenai dirinya. Kedua, asumsi
keterusterangan bahwa manusia mansia akan
mengemukakan secara terbuka apa yang di rasakannya.
(3) Pengungkapan langsung
Skala sikap (attitude scales) berupa kumpulan
pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap. Salah
satu sifat skala sikap adalah isi pernyataanya yang dapat
berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan
pengukurannya akan tetapi dapat pula berupa pernyataan

30
tidak langsung yang tampak kurang jelas tujuan
pengukurannya bagi responden.

b. Faktor Pendukung (Enabling Factor)


Faktor-faktor ini mencakup berbagai keterampilan dan sumber daya
yang perlu untuk melakukan perilaku kesehatan. Faktor-faktor ini
mencakup ketersedian sarana prasarana atau ketersediaan fasilitas
yang pada hakikatnya mendukung atau meningkatkan terwujudnya
perilaku kesehatan, misalnya air bersih, alat hand hygiene, dan
sebagainya (Notoadmodjo, 2012).
1) Ketersediaan Fasilitas Kesehatan
Merupakan prasaranan dalam pelayanan kesehatan. Ketersediaan
fasilitas yang baik akan mempengaruhi minat perawat untuk
melakukan hand hygiene sehingga perawat sadar dan peduli akan
kesehatannya. Hal ini terbukti jika seseorang yang
memanfaatkan ketersediaan fasilitas kesehatan secara baik akan
mempunyai taraf kesehatan yang lebih baik. Hal ini akan
membuat individu merasa bertanggungjawab terhadap
kesehatannya dan akan memanfaatkan ketersediaan fasilitas
dengan baik (Notoadmodjo, 2012).

2) Jarak ketempat hand hygiene


Jarak adalah seberapa jauh lintasan yang ditempuh seseorang
untuk mencapai suatu tempat. Kurangnya ketersediaan
ketersediaan fasilitas yang dibutuhkan untuk pelaksanaan hand
hygiene perawat meliputi tidak tersedianya ketersediaan fasilitas
wastafel serta jarak yang jauh untuk menuju tempat cuci tangan.
Salah satu kendala dalam ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan
hand hygiene adalah sulitnya mengakses tempat cuci tangan atau
persediaan alat lainnya yang digunakan untuk melakukan hand
hygiene. Kemudahan dalam mengakses persediaan alat-alat
untuk melakukan hand hygiene, bak cuci tangan, sabun atau

31
alkohol jell adalah sangat penting untuk membuat kepatuhan
menjadi optimal sesuai standar (Damanik SM, 2010 dalam
Utami, dkk., 2016).

3) Media
Adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan suatu
kelompok yang dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan
pembelajaran. Dalam pengertian ini media dipandang sebagai
komponen yang ada dalam lingkungan kelompok orang baik
lingkungan fisik, social, dan psikososial yang dapat
menimbulkan minat seseorang. Media juga didefinisikan sebagai
segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang
seseorang untuk bekerja. Jadi media dilihat sebagai alat fisik
dengan wujud tertentu yang digunakan untuk menyajikan suatu
pesan, sehingga dalam proses pembelajaran mampu
meningkatkan perhatian seseorang dalam proses bekerja atau
sebagai suatu saran untuk menimbulkan minat/rangsangan dalam
pekerjaannya (Kemenkes RI, 2011).

c. Faktor-faktor Pendorong (renforcing factors)


Faktor yang mendorong dalam sikap atau yang memperkuat
terjadinya kepatuhan. Kepatuhan orang lebih banyak dipengaruh
oleh orang-orang yang dianggap penting. Supervisi keperawatan
adalah upaya yang berupa dorongan, bimbingan dan kesempatan
bagi pertumbuhan keahlian dan kecakapan para perawat.

Menurut Departemen Kesehatan RI (1999) dalam Sulastri (2016) di


rumah sakit yang disebut perawat supervisor adalah Kepala Ruang
Rawat (Karu). Karu merupakan ujung tombak tercapai tidaknya
tujuan pelayanan keperawatan di rumah sakit. Ia bertanggung jawab
secara langsung mengawasi perawat pelaksana dalam melakukan
praktik hand hygiene.

32
1) Motivasi
a) Pengertian motivasi
Menurut Walgito (2004) dalam Utami, dkk. (2016),
mendefinisikan motivasi merupakan keadaan dalam diri
individu atau organisme yang mendorong kepatuhan kearah
tujuan. Menurut Notoadmodjo (2018) motivasi, yaitu
dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan
seseorang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu
guna mencapai suatu tujuan. Yang dapat diamati adalah
kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut.

Motivasi perawat yang tinggi dapat mempengaruhi tingkah


laku agar ia bergerak hatinya untuk bertindak melakukan
suatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.
b) Jenis – jenis motivasi
Menutur Elliot et al (2000) dan Sue Howard (1999) dalam
Utami, dkk. (2016), motivasi seseorang dapat timbul dan
tumbuh berkembang melalui dirinya sendiri, intrinsik dan
dari lingkungan, ekstrinsik :
(1) Motivasi intrinsik bermakna sebagai keinginan dari diri-
sendiri untuk bertindak tanpa adanya ransangan dari luar.
(2) Motivasi ekstrinsik dijabarkan sebagai motivasi yang
datang dari luar individu yang tidak dapat dikendalikan
oleh individu.

c) Sumber motivasi
Menurut Widayatun (2008) yang dikutip Utami, dkk. (2016),
sumber motivasi dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
(1) Motivasi instrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari
dalam diri individu itu sendiri. Misalnya perasaan
nyaman pada pasien ketika berada di rumah bersalin.

33
(2) Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari
luar individu, misalnya saja dukungan verbal dan non
verbal yang diberikan oleh teman dekat atau keakraban
sosial.
(3) Motivasi terdesak, yaitu motivasi yang muncul dalam
kondisi terjepit dan munculnya serentak serta
menghentak dan cepat sekali. Komponen Motivasi

2) Supervisi kepala ruangan


a) Pengertian Supervisi
Supervisi adalah suatu proses kemudahan untuk penyelesaian
tugas-tugas keperawatan (Swansburg & Swansburg, 1999
dalam Utami, dkk., 2016). Menurut Kron (1987) yang dikutip
dalam Waney (2016) supervisi adalah merencanakan,
mengarahkan, membimbing, mengajar, mengobservasi,
mendorong, memperbaiki, mempercayai, mengevaluasi
secara terus menerus pada setiap perawat dengan sabar, adil
serta bijaksana.

Di rumah sakit yang melaksanakan supervisi adalah kepala


ruangan. Kepala ruangan merupakan salah satu pelaksana
dari supervisi dan juga sebagai ujung tombak penentu
tercapai atau tidaknya tujuan pelayanan kesehatan di rumah
sakit, serta berperan dalam mengawasi perawat pelaksana
dalam melaksanakan praktik keperawatan di ruang perawatan
(Nursalam, 2014).

b) Tujuan Supervisi
Tujuan supervisi adalah memberikan bantuan kepada
bawahan secara langsung sehingga dengan bantuan tersebut
bawahan akan memiliki bekal yang cukup untuk dapat

34
melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan hasil yang baik
(Suarli, 2009 dalam Sinaga, 2017).
c) Manfaat Supervisi
Apabila supervisi dapat dilakukan dengan baik, akan
diperoleh banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai
berikut:
(1) Dapat lebih meningkatkan efektifitas kerja, peningkatan
ini erat kaitannya dengan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan bawahan, serta makin terbinanya hubungan
dan suasana kerja yang lebih harmonis antara atasan dan
bawahan.
(2) Dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja, peningkatan
ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan
yang dilakukan bawahan, sehingga pemakaian sumber
daya (tenaga, harta, dan sarana) yang sia-sia akan dapat
dicegah (Azwar 1996, dalam Nursalam, 2014).

35
D. Kerangka Teori

Faktor predisposisi (predisposing


factor)

- Pengetahuan
- sikap

Faktor pendukung (Enabling


factor)

Ketersediaan fasilitas :

1. Wastafel dan air


mengalir yang
terjangkau Kepatuhan Perawat dalam
2. Kertas tissu/ handuk
Melakukan Hand hygiene
sekali pakai
3. Sabun antiseptik
4. Larutan antiseftik
(alkohol hand hygiene) Kebersihan Tangan (Hand Hygiene)
5. Tempat sampah untuk
tissu
6. Poster cuci tangan
7. Leaflet bergambar Five Moment Hand hygiene
tentang 6 langkah hand 1. Sebelum kontak dengan 6 Langkah Hand Hygiene
hygiene pasien
2. Sebelum melakukan
tindakan aseptik
Faktor pendorong (Reinforcing 3. Setelah terpapar dengan
Factor) cairan tubuh pasien
4. Setelah kontak dengan
- Motivasi pasien
- Supervisi kepala 5. Setelah kontak dengan
ruangan lingkungan
-

Gambar 2.2. Kerangka Teori Menurut Teori Lawrence Green (1980): Faktor
Predisposing, Enabling dan Reinforcing yang Berhubungan dengan Kepatuhan
Perawat dalam Melakukan Hand Hygiene
Sumber : Notoatmodjo (2010) dan WHO (2009)

36

Anda mungkin juga menyukai