Anda di halaman 1dari 25

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum


Upaya hukum oleh KUHAP dalam Pasal 1 butir 12 diartikan
sebagai hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau Banding atau Kasasi
atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang ini.
KUHAP membedakan upaya hukum menjadi dua yaitu upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur
KUHAP dalam bab XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa diatur
dalam bab XVIII. Berikut ini adalah uraiannya:
a. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa dipisahkan menjadi dua bagian, bagian
pertama yaitu tentang Pemeriksaan Banding dan bagian kedua
tentang Pemeriksaan Kasasi, yang rumusannya sebagai berikut:
1) Upaya Hukum Banding
Pasal 223 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa
permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang
khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.
Apabila dihubungkan dengan Pasal 67 dan ditelaah lebih
dalam lagi, dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan
dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh terdakwa
atau yang khusus dikuasakan untuk itu attau penuntut umum
dengan pengecualian, pengecualian tersebut antara lain:
a) Putusan bebas (vrijspraak)
b) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang
commit to user
tepatnya penerapan hukum.

13
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

c) Putusan pengadilan dalam acara cepat.


Diterimanya permohonan kasasi penuntut umum
terhadap kasus persetubuhan ini adalah suatu hal yang tidak
biasa, akan tetapi jika diperhatikan lebih lanjut, pengecualian
pada butir (2) tersebut juga menimbulkan masalah. Karena pada
dasarnya penerapan hukum dalam peradilan dilaksanakan oleh
Hakim, jadi putusan yang mengandung kekeliruan Hakim dalam
menerapkan hukum dalam putusan lepas dari segala tuntutan
hukum justru tidak boleh dimintakan banding. Hal ini terasa
aneh. (Andi Hamzah, 2010: 291). Hal tersebut menjadi sangat
aneh karena kesalahan penerapan hukum dalam peradilan sangat
mungkin membawa kerugian bagi berbagai pihak juga
menghambat penegakkan keadilan.
2) Upaya Hukum Kasasi
Peradilan Kasasi sebenarnya berasal dari sistem hukum
Prancis. Kasasi disebut Cassation yang berasal dari kata kerja
Casser yang artinya membatalkan atau memecahkan (Leden
Marpaung, 2011: 169). Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru
pula di negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke
Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan
bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau Hakim telah
melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan
kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang
menafsirkan secara sempit ialah D. Simons yang mengatakan
jika Hakim memutus sesuatu perkara padahal Hakim tidak
berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas
misalnya jika Hakim pengadilan tinggi memutus padahal Hakim
pertama telah membebaskan (Andi Hamzah, 2010: 287-298).
Kamus Besar Bahasa Indonesia menghartikan kata kasasi
sebagai pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Agung Terhadap putusan Hakim karena putusan itu menyalahi


atau tidak sesuai dengan Undang-Undang.
Harun M Husein merumuskan arti upaya hukum kasasi
dikaitkan dengan Pasal 253 ayat (1) KUHAP bahwa yang
dimaksud upaya hukum kasasi adalah hak Terdakwa atau
penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan pada
tingkat terakhir, dengan cara mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Agung guna membatalkan putusan pengadilan
tersebut, dengan alasan (secara alternaif dan atau/kumulatif)
bahwa dalam putusan yang dimintakan kasasi tersebut, perauran
hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya, cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang, pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya. (Harun M.Husein, 1992: 47-48).
Pengertian lain dari Kasasi adalah suatu alat hukum yang
merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk memeriksa
kembali putusan-putusan dari Pengadilan-pengadilan terdahulu,
dan ini merupakan pengadilan terakhir (J.C.T Simorangkir,
2000: 81).
Menurut Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut
Umum dapat mengajukan perminataan pemeriksaaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan,
memimpin, dan uitbouwen dan voorbouwen (mengembangkan
dan mengembangkan lebih lanjut) hukum melalui yurisprudensi.
Dengan demikian dapat mengadakan adaptasi hukum sesuai
dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan khususnya
keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

kurang gerak seutuhnya dengan gerak dinamika kehidupan


masyarakat itu sendiri (Oemar Seno Adji, 1985: 43).
Tujuan utama upaya hukum kasasi, antara lain sebagai
berikut: (M. Yahya Harahap, 2012: 539-542)
a) Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan
Salah satu tujuan, memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan
sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara
benar-benar dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang.
b) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru
Disamping tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah
Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi
itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk
yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada
padanya dalam bentuk judge making law, sering Mahkamah
Agung menciptakan hukum baru yang disebut hukum kasus
atau case law guna mengisi kekosongan hukum, maupun
dalam rangka mnyejajarkan makna dan jiwa ketentuan
Undang-Undang sesuai dengan elastisitas pertumbuhan
kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran
masyarakat.
c) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum
Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermaksud
mewujudkan kesadaran keseragaman penerapan hukum atau
unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan
adanya putusan kasasi yang mencipta yurisprudnsi, akan
mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak
penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum
kasasi, dapat dihindari kesewenangan dan penyalahgunaan
jabatan oleh para Hakim yang tergoda dalam memanfaatkan
commit to user
kebebasan kedudukan yang dimilikinya.
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

Pengajuan kasasi harus memiliki dasar-dasar, atau yang


juga dapat disebut dengan alasan kasasi. Bahwa yang dimaksud
dengan alasan kasasi adalah dasar atau landasan dari pada
keberatan-keberatan pemohon kasasi terhadap putusan
pengadilan yang dimintakan kasasinya ke Mahkamah Agung.
Alasan-alasan kasasi tersebut, oleh pemohon kasasi diuraikan
dalam memori kasasi (Harun M. Hussein, 1992: 74).
Adapun alasan-alasan kasasi diatur secara limitatif dalam
Pasal 253 ayat (1) yang diantaranya adalah apakah benar suatu
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang; dan apakah
benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Alasan kasasi tersebut dikatakan limitatif karena dalam
pasal tersebut jelas disebutkan bahwa wewenang mahkamah
Agung dalam memeriksa perkara dalam tingkat kasasi hanya
untuk menentukan tiga hal yang telah disebutkan diatas. Seperti
yang diebutkan diatas dan diatur dalam Pasal 248 KUHAP maka
pemohon wajib untuk mengajukan memori kasasi. Kewajiban
mengajukan atau menyampaikan memori kasasi bersifat
imperatif. Sanksinya tegas. Tanpa memori kasasi, gugur haknya
untuk mengajukan kasasi (M. Yahya Harahap, 2012: 553).
Tujuan dari diwajibkanya mengajukan memori kasasi
adalah sebagai sarana bagi pemohon mengutarakan keberatan-
keberaannya, berpedoman kepada alasan kasasi yang ditentukan
secara limitatif oleh Pasal 253 ayat (1) KUHAP (M.Yahya
Harahap, 2012: 553).
Meskipun telah diatur secara limitatif dalam Pasal 253
ayat (1) KUHAP dalam prakteknya sering dijumpai beberapa
alasan kasasi yang tidak dibenarkan dalam Pasal tersebut,
commitHarahap,
contohnya: (M.Yahya to user 2012: 567-572)
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

a) Keberatan putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan


pengadilan negeri.
b) Keberatan atas penilaian pembuktian.
c) Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta.
d) Alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara.
e) Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda.
f) Keberatan atas pengembalian barang bukti.
g) Keberatan kasasi mengenai novum.

Paparan tersebut apabila diperhatikan secara


menyeluruh, secara singkat dapat dikatakan bahwa hal-hal
utama yang dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi adalah:
a) Apabila terdapat kelalaian dalam beracara (vormerzium).
b) Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan
pada pelaksananya.
c) Acara peradilan tidak dilaksanakan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa
segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan
dan dasar putusan itu, memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Putusan-putusan Pengadilan Negeri ataupun putusan
Pengadilan Tinggi sering kali ditemukan diputus tanpa disertai
dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh Undang-Undang,
dalam hal ini khususnya yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat
(1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Tidak ada atau
kurangnya pertimbangan dan atau/ alasan-alasan dalam putusan
sesuai dengan yang telah ditentukan oleh ketentuan, sulit
commit to tersebut
dimengerti alasan-alasan user atau bertentangan antara satu
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

dengan yang lainnya, dapat menimbulkan kelalaian dan berbagai


kerugian dalam beracara serta dapat menimbulkan batalnya
putusan Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi oleh
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.

b. Upaya Hukum Luar Biasa


Upaya Hukum luar biasa tercantum di dalam Bab XVIII
KUHAP, yang terdiri atas dua bagian, yaitu Bagian Kesatu
Pemeriksaan Demi Kepentingan Hukum dan Bagian Kedua
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan
oleh Jaksa Agung dalam hal terdapat perbedaan penafsiran dan
implementasi Undang-Undang terhadap semua putusan kecuali
putusan Mahkamah Agung, dengan syarat putusan pengadilan
itu telah berkekuatan hukum tetap. Sedang terhadap putusan
Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak
dapat diajukan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum.
Satu satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mengkoreksi
putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap,
melalui upaya peninjauan kembali.
2) Peninjauan Kembali
Bagian kedua upaya hukum luar biasa ialah peninjauan
kembali putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat (1). Bahwa
terhadap putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Memperhatikan bunyi Pasal 263 ayat (1) dapat dikemukakan


beberapa hal seperti yang diuraikan berikut ini:
a) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan;
c) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala
tuntutan hukum. (M. Yahya Harahap, 2012: 607-615)

2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Pengadilan


a. Pengertian Putusan
Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang
diucapkan dalam sidang yang terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1
angka 11 KUHAP).
Perkara pidana dianggap telah selesai atau berakhir proses
pemeriksaannya ketika telah dijatuhkan putusan oleh Hakim.
Pengertian putusan itu merupakan hasil dari permusyawarahan para
majelis Hakim yang didalamnya berisi fakta-fakta hukum, fakta
persidangan, dan dasar hukum serta pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Sedangkan pengertian
putusan menurut Yahya Harahap adalah hasil mufakat musyawarah
Hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan
dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan (M.Yahya Harahap, 2012: 347).
Putusan merupakan hasil permusyawaratan majelis Hakim,
adapun mekanisme pengaturan pemusyawaratan yang dilakukan oleh
majelis Hakim diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang isinya
musyawarah yang dilakukan majelis Hakim tersebut harus
didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti
dalam pemeriksaan di sidang.
commit toMengenai
user mekanismenya diatur dalam
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

Pasal 182 ayat (5) KUHAP yaitu musyawarah diawali dengan Hakim
ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang
termuda sampai Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir
mengemukakan pendapanya adalah Hakim ketua majelis dan semua
pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.
Pasal 186 ayat (6) KUHAP mengatur bahwa pada asasnya
keputusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil
permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan
sebagai berikut: (Andi Hamzah, 2010: 283)
1) Putusan diambil dengan suara yang terbanyak;
2) Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh,
putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa.

Pendapat yang berbeda atau yang tidak dijadikan putusan


tetap harus dimuat dalam putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 14
ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Peran putusan Hakim dalam suatu perkara pidana sangat
penting karena dari putusan Hakim itulah yang menentukan apakah
apa yang didakwakan terhadap terdakwa di persidangan oleh
penuntut umum terbukti atau tidak. Oleh karena itu dalam
menjatuhkan putusan, seorang Hakim harus jujur, bijak dan arif, adil,
mandiri, professional, dan bertanggung jawab serta harus independen
tidak terpengaruh dari pihak manapun. Dalam hal memaknai adil
selama ini hukum hanya berprinsip teguh terhadap keadilan
procedural bukan keadilan substansial. Dalam hal ini keadilan
procedural merupakan keadilan yang mengacu pada bunyi Undang-
Undang. Sepanjang bunyi Undang-Undang terwujud, tercapailah
keadilan secara formal (Muhammad
commit to user Taufiq, 2013:26).
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Selain mengenai substansi isi materi putusan, Hakim juga


harus berhati-hati dan cermat dalam membuat putusan agar tidak
melanggar aturan tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk
putusan pengadilan. Seperti yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP
semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Akibat
dari tidak terpenuhinya aturan tersebut adalah putusannya tidak sah
dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta putusan itu
batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
KUHAP juga mengatur mengenai syarat suatu putusan agar
sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Adapun syarat
yang harus dipenuhi dalam suatu putusan Hakim dalam perkara
pidana adalah:
1) Memuat hal-hal yang diperintahkan oleh KUHAP sebagaimana
diatur dalam Pasal 197 KUHAP dan Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
2) Harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal
195 KUHAP).

b. Bentuk-Bentuk Putusan
Ada bermacam-macam bentuk putusan yang dapat dijatuhkan
oleh Hakim terhadap perkara pidana yang diperiksanya. Perbedaan
bentuk-bentuk putusan bisa saja dipengaruhi oleh penilaian Hakim
terhadap apa yang didakwakan dalam surat dakwaan apakah
memang terbukti, atau mungkin juga Hakim menilai apa yang
didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak
pidana, tapi termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau
termasuk tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut mereka
tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali (M.Yahya
Harahap, 2012: 347).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

Melihat kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas,


putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara,
dapat dikelompokkan bentuknya sebagai berikut:
1) Putusan Bebas
Putusan bebas, berarti terdakwa dijauhi putusan bebas atau
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atau acquittal.
Pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari
tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidaan. Tegasnya
terdakwa “tidak dipidana” (M.Yahya Harahap, 2012: 347).
Putusan bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191
ayat (1) KUHAP).
2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum
Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyebutkan jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus dari segala tuntutan hukum.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan
yang isinya bahwa perbuatan didakwakan penuntut umum pada
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum, tapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena bukan
tindak pidana atau terdakwanya tidak dapat dipidana karena hal-
hal yang menghapuskan pidana seperti yang diatur dalam Pasal
44, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 51 KUHP.
3) Putusan Pemidanaan
Putusan pemidanaan adalah terdakwa dijatuhi hukuman
pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa (M. Yahya
commit
Harahap, 2012: 354). to user
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 193
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

ayat (1) KUHAP putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan


berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana.
4) Putusan Tidak Berwenang Mengadili
Putusan yang bentuknya adalah penetapan tidak
berwenang mengadili didasarkan pada perintah dalam Pasal 147
KUHAP yaitu setelah pengadilan negeri menerima surat
pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari
apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang
dipimpinnya. Apabila ternyata perkara yang dilimpahkan
penuntut umum bukan wewenang pengadilan yang dipimpinnya,
Pasal 148 KUHAP telah memberi Pedoman kepada pengadilan
negeri untuk menyerahkan pelimpahan perkara tersebut ke
pengadilan yang dianggap berwenang mengadilinya, dengan cara
Ketua Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara
tersebut mengeluarkan surat penetapan berisi pernyataan tidak
bewenang mengadili yang disertai alasannya (M. Yahya Harahap,
2012: 357-358).
Apabila baru diketahui bahwa pengadilan yang memeriksa
suatu perkara ternyata tidak berwenang mengadili ketika
persidangan telah dimulai dan penuntut umum membacakan surat
dakwaan, yaitu saat keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasehat
hukum mengenai kewenangan relatif dikabulkan, maka Majelis
Hakim yang memeriksa membuat putusan sela yang isinya
pemeriksaan tidak dilanjutkan dan menyatakan pengadilan tidak
berwenang mengadili perkara tersebut (Pasal 156 ayat (2)
KUHAP).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima


Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut
umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1)
KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: 358). Putusan ini dijatuhkan
ketika dakwaan yang diajukan penuntut umum tidak dapat
diterima, yang disebabkan:
a) Tindak pidana yang didakwakan telah hilang hak
penuntutannya karena daluarsa;
b) Tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa sudah
diadili (ne bis in idem);
c) Tidak adanya pengaduan, dalam hal tindak pidana tersebut
merupakan delik aduan.
6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum
Putusan ini dijatuhkan ketika dakwaan yang diajukan
penuntut umum tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam Pasal
143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu dakwaan harus berisi uraian
secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai indak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan. Dasar hukumnya adalah Pasal 143 ayat (3)
KUHAP yang bunyinya “Surat dakwaan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal
demi hukum”. Atau bisa juga surat dakwaan dinyatakan batal,
apabila Penuntut Umum melanggar ketentuan Pasal 144 KUHAP
(M. Yahya Harahap, 2012: 359)..

3. Tinjauan Umum Tentang Prinsip Satu Saksi Bukan Saksi (Unus Testis
Nullus Testis)
Pembuktian dalam proses persidangan menjadikan
keterangan saksi memegang peranan yang begitu penting untuk
mengungkapkan fakta. Hanya adanya keterangan dari seorang saksi
tunggal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 185 ayat (2)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

KUHAP yang menghendaki bahwa keterangan seorang saksi saja


tidak cukup, untuk memiliki kekuatan pembuktian, keterangan saksi
tersebut harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain.
Kamus Blacks’s Law Dictionary mennjelaskan asas unus
testis nullus testis sebagai “The rule of evidence which obtains in the
civil law, that the testimony of one witness is equivalent to the
testimony of none” (Bryan A.Garner, 1999: 141), yang jika diartikan,
penjelasan dalam kamus tersebut berarti aturan dalam pembuktian
yang berlaku dalam civil law, yang menyatakan bahwa kesaksian
yang berasal dari seorang saksi saja, kesaksiannya tidak memiliki
nilai”.
Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak
berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari
penjelasan Pasal 184 KUHAP yang memaparkan bahwa dalam acara
pemeriksaan cepat, keyakinan Hakim cukup didukung satu alat bukti
yang sah. Dapat diartikan bahwa dalam pemeriksaan perkara cepat
satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai
keyakinan Hakim sudah cukup untuk dijadikan alat bukti dalam
pemeriksaan perkara tersebut.
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Adanya ketentuan ini adalah untuk menjamin penegakkan
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu
alat bukti harus dapat menyakinkan hakim (notoir feiten). Menurut
Evi Hartanti (Evi Hartanti, 2008: 6) bahwa dalam persidangan satu
bukti sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat
menyakinkan hakim dalam mengambil keputusan. Akan tetapi dalam
commit tosekurang-kurangnya
Pasal 183 tersebut dijelaskan user dua bukti. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

dikarenakan KUHAP menggunakan asas konkordasi dengan hukum


dari KUHAP Belanda.
Mr. Modderman dalam De Wettelijk Bewijslee Instrafzaken
mengemukakan bahwa inti sebenarnya dari aturan tersebut adalah
bukan terletak pada angkanya, karena tidaklah ada suatu alasan
untuk mengatakan bahwa keterangan seorang saksi kurang dipercaya
kejujurannya, dibandingkan dengan keterangan dua orang saksi. Tapi
alasannya adalah bahwa dengan keterangan seorang saksi saja maka
kemungkinannya untuk mengadakan pengecekan timbal balik antara
alat-alat bukti tidak akan dapat dilakukan. Oleh sebab itu untuk
melakukan pembuktian yang sah diperlukan sekurang-kurangnya
dua kesaksian, untuk dapat menghukum atas dasar dua kesaksian
tidaklah disyaratkan bahwa harus ada persesuaian tertentu antara
kedua kesaksian tersebut, tetapi yang penting terdapat titik
pertemuan satu sama lain. (A. Karim Nasution, 1976:11-46)
Menurut Adami Chazawi (Adami Chazawi, 2010: 128) dalam
KUHAP Belanda pasal 342 mejelaskan asas unus testis nullus testis,
namun asas ini sudah berkurang petingnya, karena Mahkamah
Agung Belanda beranggapan bahwa pembuktian mengenai semua
tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh didasarkan pada pernyataan
seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang saksi cukup sebagai
bukti bagi masing-masing unsur secara terpisah. Alat bukti yang
dimaksud di sini adalah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP ayat 1,
yaitu: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk;
Meskipun dalam prinsipnya asas ini sangat penting untuk
menghindarkan fitnah terhadap terdakwa terkait dengan tindak
pidana perkosaan, akan tetapi dalam faktanya anak-anak dan
perempuan yang menjadi korban perkosaan justru sering dirugikan
oleh penerapan asas ini, seperti yang terjadi pada saksi korban Siti
Mujayanah dalam peristiwa yang telah dipaparkan diatas. Meskipun
commit
asas unus testis nullus to user
testis berlaku dalam proses pembuktian
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

terhadap semua tindak pidana, namun pembuktian tindak pidana


perkosaan memiliki masalah yang cukup rumit dibandingkan dengan
pembuktian tindak pidana lainnya (Adami Chazawi, 2005: 77).

4. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Persetubuhan Anak


a. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana dalam bahasa latin disebut dengan
delictum atau delicta yaitu delik, dalam bahasa Inggris tindak pidana
dikenal dengan istilah delict. Istilah yang umum dipakai dalam
perundang-undangan Indonesia sendiri adalah “Tindak Pidana”,
suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena delik itu dapat
dilakukan tanpa berbuat atau bertindak, yang disebut pengabaikan
(Belanda: nalaten; Inggris: negligence) perbuatan yang diharuskan.
Oleh karena itu, orang Belanda memakai istilah starfbaar feit, yang
jika diterjemahkan harfiah berarti peristiwa yang dapat dipidana.
Dipakai istilah feit maksudnya meliputi perbuatan dan pengabaian.
(Andi Hamzah, 2009: 48).
Pengertian tindak pidana yang senada dengan di atas antara
lain menurut Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 59) bahwa:
“Tindak pidana dalam bahasa Belanda strafbaar feit, atau dalam
bahasa Inggris delict, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan subyek
tindak pidana”.
Adapun Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan
Van Hamel merumuskan sebagai berikut: starfbaar feit adalah
kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet,
yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig)

commit
dan dilakukan dengan to user
kesalahan.(Moeljatno, 1983: 56).
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana, sebuah


perbuatan harus memenuhi beberapa unsur. Vos, dalam tulisan
Faried (Andi Zainal A. Faried, 1987: 33) memaparkan bawa unsur-
unsur sebuah perbuatan agar dapat disebut tindak pidana antara lain:
1) Elemen (bagian) perbuatan atau kelakuan orang dalam hal berbuat
(aktif) atau tidak berbuat (pasif).
2) Elemen akibat dari perbuatan yang terjadi dari suatu delik yang
selesai. Elemen akibat ini dianggap telah selesai apabila telah
nyata akibat dari suatu perbuatan. Dalam rumusan Undang-
Undang elemen akibat kadang-kadang tidak dipentingkan dalam
delik formal, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat
dinyatakan dengan tegas secara terpisah dari suatu perbuatan
seperti dalam delik materil.
3) Elemen subyek yaitu kesalahan yang diwujudkan dengan kata-
kata segaja atau culpa (tidak sengaja).
4) Elemen melawan hukum yaitu telah mengetahui bahwa perbuatan
itu dilarang dalam Undang-Undang tetapi tetap dilanggar dengan
sengaja.
Apabila meninjau penjelasan diatas, dapat ditentukan bahwa
yang dapat memenuhi unsur-unsur tersebut adalah manusia, jika
demikian dapat disimpulkan bahwa yang melakukan tindak pidana
sudah tentu manusia dengan begitu dapat disebutkan bahwa subyek
delik ini adalah manusia. Akan tetapi selain dari itu subyek delik
dapat pula berupa badan hukum yang dapat bertindak, misalnya
bertindak dalam kedudukan orang.
Menurut Chazawi (Adami Chazawi, 2005: 121) delik dapat
dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain:
1) Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam Buku II
dan pelanggaran (overtreding) dimuat dalam Buku III.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

2) Menurut cara merumuskannya dibedakan antara tindak pidana


dengan sengaja (formeel celicten) dan lainnya adalah tindak
pidana materil (materiel delicten).
3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak
pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan
sengaja (culpose delicten).
4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara
tindak pidana positif dan negatif, dapat pula disebut tindak
pidana pasif atau negatif, dan disebut juga tindak pidana omisi
(delicta omissions).
5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika, dan tindak
pidana terjadi dalam waktu lama, atau berlangsung lama, atau
berlangsung terus menerus.
6) Berdasarkan atas sumbernya, maka delik atau tindak pidana itu
dapat dibedakan menjadi dua yaitu tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
7) Dilihat dari sudut hukumannya dapat dibedakan antara tindak
pidana communica (delicta comunica) yang dapat dilakukan
oleh siapa saja, dan tindak pidana propria yaitu hanya dapat
dilakukan oleh yang memiliki kualitas pribadi tertentu.
8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan,
maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten)
dan tindak pidana aduan (klacht delicten).
9) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka
dapat dibedakan antara tindak pidana pokok (envoundige
delecten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeende
delicten), dan tindak pidana yang diperingan (depriviligeerde
delicten).
10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak
commitmacamnya
pidana tidak terbatas to user bergantung dari kepentingan
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa


dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,
tindak pidana terhadap nama baik, tindak pidana terhadap
kesusilaan, tindak pidana penipuan dan lain-lain sebagainya.
11) Dari sudut padang berapa kali perbuatan itu untuk menjadi suatu
larangan juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu antara tindak
pidana tunggal (enkelvoudige delicten), dan tindak pidana yang
berangkai (samengestelde delicten).

b. Pengertian Anak
Pengertian anak baik secara harfiah, etimologis, maupun
secara yuridis formal banyak diformulasikan di berbagai literatur
maupun di berbagai ketentuan, diantaranya adalah:
1) Dalam salah satu kamus hukum (Yan Pramadya Puspa, 1990: 66
dan 694) didefinisikan bahwa: “Anak (Ind), Pupil mindergarije
onder voogdeij (Bld), adalah anak yang berada di bawah
pengawasan orang tua/wali”.
2) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton M. Moeliono, dkk,
1988:30-31) dirumuskan dengan singkat bahwa anak adalah
keturunan manusia yang masih kecil, dst.
3) Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya
belum mencapai 16 (enam belas) tahun.
4) Pasal 330 KUHPerdata merumuskan, orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
tidak lebih dahulu kawin.
5) Menurut UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Pasal I ayat (1) yakni Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

Menilik kelima penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa


anak adalah keturunan manusia yang umurnya belum mencapai 18
tahun dan/atau belum menikah yang masih berada dibawah
pengawasan orang tua atau wali, termasuk juga anak yang masih
berada dalam kandungan.
Anak adalah pelanjut keturunan dan harapan masa depan
seluruh masyarakat, sehingga perlu dibina dan dijaga kehidupan dan
perkembangannya, baik dari segi perkembangan fisik dan mentalnya
maupun dari segi kebutuhan material demi kelangsungan hidup masa
depannya. Agar anak memiliki sikap dan perilaku yang baik, sopan
dan terpuji, pembinaan terhadap anak perlu dimulai sejak dini hingga
anak cukup dewasa untuk dapat menilai perbuatannya sendiri.
Pembinaan anak juga menjadi sangat penting untuk mendidik
anak agar pada waktunya kelak ia dapat berperan dalam masyarakat,
melakukan tanggung jawabnya dengan baik, dan tentu saja
menjauhkan anak dari kenakalan remaja.

c. Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak


KUHP telah menyediakan aturan dan memberikan definisi
beserta ancaman hukuman terhadap tindak pidana persetubuhan
anak, Pasal 287 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang persetubuhan
anak menyatakan bahwa “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang
perempuan di luar perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus
diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau jika
umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Aturan
tersebutlah yang digunakan selama beberapa tahun sebelum pada
akhirnya dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang secara
lebih lengkap mengatur tentang perlindungan anak yaitu Undang-
Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lalu
diperbaharui dengancommit to user
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak.
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.35 Tahun 2014
mejelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak
dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk
mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami
tindak perlakuan salah (child abuse), eksploitasi, dan penelantaran,
agar dapat menjamn kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
secara wàjar, baik fisik, mental, dan sosialnya. Dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, tindak pidana
persetubuhan terhadap seoarang anak diatur secara tegas dalam Pasal
81 ayat 1 dan 2 yang rumusannya sebagai berikut:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

Hukum Pidana di Indonesia menerapkan asas “lex Specialis


derogat lex generalis”, dimana asas ini mengatakan bahwa aturan
khusus mengesampingkan aturan umum jika terdapat aturan yang
secara khusus mengatur tentang suatu hal yang serupa.
Diterapkannya asas ini adalah untuk menjamin adanya kepastian
hukum bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan suatu
peraturan perundang-undangan. Dengan adanya Undang-Undang
Perlindungan anak khususnya dalam Pasal 81 ini, maka dapat
dikatakan bahwa Pasal 287 KUHP sudah tidak lagi dapat diterapkan
lagi bagi para pelaku persetubuhan yang dilakukan terhadap anak,
hal tersebut dikarenakan dalam Pasal 81 Undang-Undang
perlindungan anak telah diatur secara khusus mengenai ketentuan
pidana materiil delik persetubuhan yang dilakukan terhadap anak.
Jadi, dalam hal ini Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak
merupakan penerapan “lex spesialis derogate lex generalis” dari
Pasal 287 KUHP dimana dalam penerapan hukum bagi delik
persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur,
penggunaan Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak harus
didahulukan dari Pasal 287 KUHP.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran
Perkara Pemeriksaan
Persetubuhan Anak Persidangan

Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor:


208/Pid.B/2010/PN.Mgl

Putusan Upaya Hukum


Membebaskan Oleh Penuntut
Terdakwa Umum

Pertimbangan
Mahkamah Agung

Pengajuan Upaya Hukum Kasasi Oleh Penuntut


Umum Dengan No. 01/Pid/2011/PN.Mgl

Pertimbangan
Mahkamah Agung

Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 979


K/Pid.Sus/2011

Ketentuan KUHAP

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Penjelasan Kerangka Pemikiran:


Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis.
commit to user kotak-kotak dalam kerangka
Garis tebal yang menghubungkan
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

menjelaskan alur perkara yaitu diawali adanya tindak persetubuhan


terhadap anak yang kemudian perkara tersebut diperiksa dalam acara
persidangan. Perkara persetubuhan terdakwa disidangkan di Pengadilan
Negeri Menggala dan menghasilkan putusan bernomor:
208/Pid.B/2010/PN.Mgl yang pada pokoknya membebaskan terdakwa
dari semua dakwaan yang ditujukan kepadanya. Atas vonnis bebas dalam
putusan Pengadilan Negeri Menggala, penuntut umum mengajukan
upaya kasasi ke Mahkamah Agung sehingga, menghasilkan putusan No. :
979 K/Pid.Sus/2011 yang pada isinya menyatakan terdakwa bersalah dan
menghukum penjara terdakwa selama lima tahun dan denda sebesar
enam puluh juta rupiah subsider pidana kurungan selama tiga bulan.
Pengajuan kasasi tersebut diajukan penuntut umum dengan alasan-alasan
dan pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri Menggala dalam putusannya
telah tidak menerapkan atau menerapkan peraturan hukum tidak
sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat 1 huruf a KUHAP), Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Menggala dalam putusannya telah melampaui
batas wewenangnya (Pasal 253 ayat 1 huruf c KUHAP), yaitu dalam
pertimbangannya yang menyimpulkan bahwa luka yang terdapat didalam
vagina saksi korban adalah luka lama/bukan luka yang baru terjadi,
dimana hal ini berlawanan dengan alat bukti Visum et Repertum No.
376/02/RSUD/IV/2010 bulan April 2010 yang dibuat dan ditandatangani
oleh dr. Made Aryana, SP.OG yang tidak menyebutkan, menjelaskan
ataupun menyimpulkan bahwa luka yang terjadi didalam vagina saksi
korban adalah luka baru atau luka lama.
Berdasarkan permasalahan diatas, penulis mencoba untuk
meneliti apakah putusan pada pengadilan di tingkat pertama dalam
perkara diatas telah sesuai dengan ketentuan KUHAP. Dalam kerangka
pernyataan ini ditunjukkan oleh garis penghubung yang berbentuk titik-
titik.
Selain itu penulis juga berusaha untuk meneliti apakah upaya
commit
kasasi yang diajukan oleh to user
penuntut umum terhadap putusan Pengadilan
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Negeri Menggala yang membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan


yang ditujukan kepadanya telah sesuai dengan ketetntuan KUHAP atau
belum. Dalam kerangka pernyataan ini ditunjukkan oleh garis
penghubung yang berbentuk titik strip.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai