Anda di halaman 1dari 47

MODUL

PEMBELAJARAN

KEPARAWATAN MENJELANG
AJAL DAN PALIATIF

Penulis:
Ns. Nehru Nugroho, M.Kep
Ns. Hendri Heriyanto M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
TAHUN 2021
COVER
VISI MISI

VISI MISI PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS JURUSAN
KEPERAWATAN

“Menghasilkan Ners Yang Unggul Dalam Bidang Asuhan Keperawatan Medical Bedah Menuju
Global Tahun 2024”.

Definisi operasional Visi diuraikan sebagai berikut :


1. Unggul dalam mengembangkan ilmu keperawatan medikal bedah :
Prodi Pendidikan Profesi Ners akan menghasilkan lulusan yang akan menjadi perawat
profesional dalam bidang asuhan keperawatan medikal bedah. Pada tahun 2025
diharapkan lulusan Prodi Pendidikan Profesi Ners menjadi lulusan yang unggul dalam
memberikan asuhan keperawatan medikal bedah secara profesional.

2. Menuju Global tahun 2024


Mengandung makna bahwa lulusan Prodi Pendidikan Profesi Ners Jurusan Keperawatan
memiliki kompetensi yang baik untuk bersaing dengan lulusan Prodi pendidikan Profesi
Ners dari institusi lainnya di Indonesia maupun luar negeri, menuju persaingan
internasional dan merebut peluang kerja global.

B. MISI
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, Prodi Pendidikan Profesi Ners Jurusan Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Bengkulu menyusun beberapa misi sebagai berikut :
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang unggul dan berkualitas dalam
bidang asuhan keperawatan medical bedah dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi bidang Keperawatan
2. Menyelenggarakan penelitian keperawatan berbasis IPTEK yang berfokus pada
masalah keperawatan medical bedah dan dampaknya terhadap kesehatan.
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR VERIFIKASI

Keterangan
N
Item TIDA
o YA
K
1 Cover    
2 Visi Misi    
3 Lembar Pengesahan    
4 Daftar Isi    
Materi Sesuai Bahan
5
Kajian    

Pemeri
ksa
Kaprodi Sarjana Terapan
Keperawatan

Ns.
Hermansyah,S.Kep.,M.Ke
p
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, Modul Praktikum Mata Kuliah Biomedik dapat diselesaikan.

Penyusunan Modul Praktikum ini bertujuan untuk membantu mahasiswa dalam


mencapai kompetensi yang telah ditetapkan sehingga setelah menempuh mata
kuliah praktik ini mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan dan
keterampikan mengenai Biomedik Kesehatan pada individu, keluarga dan
kelompok/komunitas.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan Modul Praktikum Mata Kuliah ini.

Bengkulu, 01 Juni 2020

Tim Penyusun
BAB I
KEPERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG AJAL
1. Konsep Perawatan Paliatif
a) Pengertian Keperawatan Palliatif
Perawatan paliatif (dari bahasa Latin''palliare,''untuk jubah) adalah
setiap bentuk perawatan medis atau perawatan yang berkonsentrasi pada
pengurangan keparahan gejala penyakit, daripada berusaha untuk
menghentikan, menunda, atau sebaliknya perkembangan dari penyakit itu
sendiri atau memberikan menyembuhkan.
Tujuannya adalah untuk mencegah dan mengurangi penderitaan dan
meningkatkan kualitas hidup orang menghadapi yang serius, penyakit yang
kompleks. Non-rumah sakit perawatan paliatif tidak tergantung pada
prognosis dan ditawarkan dalam hubungannya dengan kuratif dan semua
bentuk lain yang sesuai perawatan medis.Di Amerika Serikat, pembedaan
dibuat antara perawatan paliatif rumah sakit umum dan perawatan, yang
memberikan perawatan paliatif untuk mereka pada akhir kehidupan; dua
aspek perawatan berbagi filosofi yang sama tetapi berbeda dalam sistem
pembayaran mereka dan lokasi layanan.
Di tempat lain, misalnya di Inggris, pembedaan ini tidak operatif: di
samping penampungan khusus, tim paliatif non-perawatan berbasis rumah
sakit memberikan perawatan kepada mereka dengan membatasi hidup
penyakit pada setiap tahap penyakit. Istilah "perawatan paliatif" umumnya
mengacu pada setiap perawatan yang meredakan gejala, apakah ada atau
tidak ada harapan penyembuhan dengan cara lain, dengan demikian, WHO
baru-baru pernyataan panggilan perawatan paliatif "pendekatan yang
meningkatkan kualitas hidup pasien dan mereka keluarga menghadapi
masalah yang terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa.
Perawatan paliatif juga dapat digunakan untuk mengurangi efek
samping dari pengobatan kuratif, seperti mengurangi rasa mual yang
berhubungan dengan kemoterapi. Istilah "perawatan paliatif" semakin
digunakan berkaitan dengan penyakit lain selain kanker seperti kronis,
gangguan paru progresif, penyakit ginjal, gagal jantung kronis, HIV / AIDS,
dan kondisi neurologis progresif. Selain itu, bidang yang berkembang pesat
perawatan paliatif pediatrik telah menunjukkan dengan jelas kebutuhan untuk
layanan diarahkan khusus untuk anak-anak dengan penyakit serius. Meskipun
konsep perawatan paliatif bukanlah hal yang baru, kebanyakan dokter secara
tradisional berkonsentrasi pada mencoba untuk menyembuhkan pasien.
Pengobatan untuk pengentasan gejala dipandang sebagai berbahaya dan
dilihat sebagai kecanduan mengundang dan efek samping yang tidak
diinginkan.
Fokus pada kualitas hidup pasien telah meningkat sangat selama dua
puluh tahun terakhir. Di Amerika Serikat saat ini, 55% dari rumah sakit
dengan lebih dari 100 tempat tidur menawarkan program perawatan paliatif,
dan hampir seperlima dari rumah sakit masyarakat memiliki program
perawatan paliatif. Sebuah perkembangan yang relatif baru adalah konsep
dari tim perawatan kesehatan khusus yang sepenuhnya diarahkan untuk
perawatan paliatif: tim perawatan paliatif. Ada sering kebingungan antara
istilah rumah sakit dan perawatan paliatif. Di Amerika Serikat, rumah sakit
layanan dan program perawatan paliatif berbagi tujuan yang sama untuk
memberikan bantuan gejala dan manajemen nyeri. Non-rumah sakit
perawatan paliatif yang sesuai untuk orang dengan penyakit serius,
kompleks, apakah mereka diharapkan untuk pulih sepenuhnya, untuk hidup
dengan penyakit kronis untuk waktu yang lama, atau mengalami
perkembangan penyakit. Sebaliknya, meskipun perawatan rumah sakit juga
paliatif, yang berlaku untuk jangka rumah sakit perawatan diberikan
menjelang akhir kehidupan.
Definisi perawatan paliatif telah mengalami beberapa evolusi.
menurut WHO pada 1990 perawatan palliative adalah perawatan total dan
aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidaklagi responsive terhadap
pengobatan kuratif. Berdasarkan definisi ini maka jelas Perawatan
Paliatif hanya diberikan kepada penderita yang penyakitnya sudah tidak
respossif terhadap pengobatankuratif. Artinya sudah tidak dapat
disembuhkan dengan upaya kuratif apapun. Tetapi definisiPerawatan Paliatif
menurut WHO 15 tahun kemudian sudah sangat berbeda.
Definisi perawatan paliatif yang diberikan oleh WHO pada tahun
2005 bahwa perawatan paliatif adalah sistemperawatan terpadu yang
bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeridan
penderitaan lain, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat
diagnosaditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga
yang kehilangan/berduka.
Di sini dengan jelas dikatakan bahwa Perawatan Paliatif diberikan
sejak diagnosa ditegakkansampai akhir hayat. Artinya tidak memperdulikan
pada stadium dini atau lanjut, masih bisadisembuhkan atau tidak, mutlak
Perawatan Paliatif harus diberikan kepada penderita itu.Perawatan Paliatif
tidak berhenti setelah penderita meninggal, tetapi masih diteruskan
denganmemberikan dukungan kepada anggota keluarga yang berduka.
Perawatan paliatif tidak hanyasebatas aspek fisik dari penderita itu
yang ditangani, tetapi juga aspek lain seperti psikologis, sosialdan
spiritual.Titik sentral dari perawatan adalah pasien sebagai manusia
seutuhnya, bukan hanya penyakit yangdideritanya. Dan perhatian ini tidak
dibatasi pada pasien secara individu, namun diperluas sampaimencakup
keluarganya. Untuk itu metode pendekatan yang terbaik adalah melalui
pendekatanterintegrasi dengan mengikutsertakan beberapa profesi terkait.
Dengan demikian, pelayanan padapasien diberikan secara paripurna, hingga
meliputi segi fisik, mental, social, dan spiritual. Makatimbullah pelayanan
palliative care atau perawatan paliatif yang mencakup pelayanan
terintegrasiantara dokter, perawat, terapis, petugas social-medis, psikolog,
rohaniwan, relawan, dan profesilain yang diperlukan.Lebih lanjut, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menekankan lagi bahwa pelayanan paliatif berpijak
pada pola dasar berikut ini :
1) Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai
proses yang normal.
2) Tidak mempercepat atau menunda kematian.
3) Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
4) Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5) Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6) Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari perawatan
palliative adalah untukmengurangi penderitaan pasien, memperpanjang
umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, jugamemberikan support kepada
keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpentingsebelum
meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres
menghadapipenyakit yang dideritanya.
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga
dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderita dari rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian
yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik,
psikologis, sosial atau spiritual (World Health Organization (WHO), 2016).
Menurut WHO (2016) penyakit-penyakit yang termasuk dalam
perawatan paliatif seperti penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi 38.5%,
kanker 34%, penyakit pernapasan kronis 10.3%, HIV/AIDS 5.7%, diabetes
4.6% dan memerlukan perawatan paliatif sekitas 40-60%.Pada tahun 2011
terdapat 29 juta orang meninggal di karenakan penyakit yang membutuhkan
perawatan paliatif. Kebanyakan orang yang membutuhkan perawatan paliatif
berada pada kelompok dewasa 60% dengan usia lebih dari 60 tahun, dewasa
(usia 15-59 tahun) 25%, pada usia 0-14 tahun yaitu 6% (Baxter, et al., 2014).
Prevalensi penyakit paliatif di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu Benua
Pasifik Barat 29%, diikuti Eropa dan Asia Tenggara masing-masing 22%
(WHO,2014).
Benua Asia terdiri dari Asia Barat, Asia Selatan, Asia Tengah, Asia
Timur dan Asia Tenggara.Indonesia merupakan salah satu negara yang
termasuk dalam benua Asia Tenggara dengan kata lain bahwa Indonesia
termasuk dalam Negara yang membutuhkan perawatan paliatif. Berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) prevalensi tumor/kanker di
Indonesia adalah 1.4 per 1000 penduduk, atau sekitar 330.000 orang, diabete
melitus 2.1%, jantung koroner (PJK) dengan bertambahnya umur, tertinggi
pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 3.6%.Kementrian kesehatan
(KEMENKES, 2016)
Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit
atau sudah tidak dapat disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat
meningkatkan kualitas hidup (WHO,2016). Perawatan paliatif meliputi
manajemen nyeri dan gejala; dukungan psikososial, emosional, dukungan
spiritual; dan kondisi hidup nyaman dengan perawatan yang tepat, baik
dirumah, rumah sakit atau tempat lain sesuai pilihan pasien. Perawatan
paliatif dilakukan sejak awal perjalanan penyakit, bersamaan dengan terapi
lain dan menggunakan pendekatan tim multidisiplin untuk mengatasi
kebutuhan pasien dan keluarga mereka (Canadian Cancer Society, 2016).
Selain itu Matzo & Sherman (2015) juga menyatakan bahwa
kebutuhan pasien paliatif tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala
fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologi, sosial
dan spiritual yang dilakukandengan pendekatan yang dikenal sebagai
perawatan paliatif. Romadoni (2013) menyatakan bahwa kebutuhan spiritual
merupakan kebutuhan beribadah, rasa nyaman, motivasi dan kasihsayang
tehadap sesama maupun sang penciptanya. Spiritual bertujuan untuk
memberikan pertanyaan mengenai tujuan akhir tentang keyakinan dan
kepercayaan pasien (Margaret & Sanchia, 2016). Spiritual merupakan bagian
penting dalam perawatan, ruang lingkup dari pemberian dukungan spiritual
adalah meliputi kejiwaan, kerohanian dan juga keagamaan. Kebutuhan
spiritual tidak hanya dapat diberikan oleh perawat, melainkan dapat juga
diberikan oleh kelompok agama ataupun keluarga (Balboni dkk, 2013).
b. Perkembangan Keperawatan Paliatif 
Di negara maju, perawatan khusus bagi mereka yang akan segera
meninggalmerupakan kolaborasi antara keluarga dan para profesional, dan
memberikan layanan medis,psikologis, social dan spiritual.Pengobatan
paliatif bermaksud mengurangi nyeri dan mengurangi symptom selain nyeri
sepertimual, muntah dan depresi. Perawatan bagi mereka yang akan segera
meninggal pertama didirikandi Inggris melalui lokakarya cicely Saunders di
RS Khusus St. Christopher, RS khusus tersebut pindahke AS pada tahun
1970-an. RS khusus pertama di AS adalah RS New Haven yang kemudian
menjadi RSkhusus Connecticut. RS tersebut kemudian menyebar ke seluruh
Negara.Di Indonesia perawatan paliatif baru dimulai pada tanggal 19
Februari 1992 di RS Dr. Soetomo(Surabaya), disusul RS Cipto
Mangunkusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais (Jakarta), RS
WahidinSudirohusodo (Makassar), RS Dr. Sardjito (Yogyakarta), dan RS
Sanglah (Denpasar).Di RS Dr. Soetomo perawatan paliatif dilakukan oleh
Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri.Pelayanan yang diberikan
meliputi rawat jalan, rawat inap (konsultatif), rawat rumah,day care,
danrespite care.Pengertian rawat jalan dan rawat inap sudah cukup jelas.
Rawat rumah (home care) dilakukandengan melakukan kunjungan ke rumah-
rumah penderita, terutama yang karena alasan-alasantertentu tidak dapat
datang ke rumah sakit. Kunjungan dilakukan oleh tim yang terdiri atas
dokterpaliatif, psikiater, perawat, dan relawan, untuk memantau dan
memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami penderita kanker dan
keluarganya, bukan hanya menyangkut masalahmedis/biologis, tetapi juga
masalah psikis, sosial, dan spiritual.
Day care merupakan layanan untuk tindakan medis yang tidak
memerlukan rawat inap, misalnyaperawatan luka, kemoterapi, dsb.
Sedangrespite caremerupakan layanan yang bersifat psikologis.Di sini
penderita maupun keluarganya dapat berkonsultasi dengan psikolog atau
psikiater,bersosialisasi dengan penderita kanker lain, mengikuti terapi musik,
atau sekedar bersantai danberistirahat. Bisa juga menitipkan penderita kanker
(selama jam kerja), jika pendamping ataukeluarga yang merawatnya ada
keperluan lain

c. Perkembangan Hospice Care


Di Indonesia, perawatan di hospis atau Hospice care merupakan hal
yang baru. Falsafah Hospice Care adalah manusia yang menderita harus
dibantu dan diringankan penderitaannya, agar kualitas hidupnya dapat
ditingkatkan selama sakit sampai ajal, dan meninggal dengan tenang.
d. Lembaga Pelayanan Kesehatan, terdiri dari :
1) Rawat Jalan
2) Institusi
3) Hospice.
4) Community Based Agency
e. Hospice Care
Adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan
terhadappenyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan
meringankan penderitaan dan rasa tidaknyaman dari pasien, berlandaskan
pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual. (Hospice Home Care, 2011) The focus
of hospice relies on the belief that each of us has the right to die pain-free
and withdignity, and that our loved ones will receive the necessary support to
allow us to do so.
1) Hospice focuses on caring, not curing and, in most cases; care is
provided in the persons home.
2) Hospice care also is provided in freestanding hospice centers, hospitals,
and nursing homes andother long-term care facilities. 
3) Hospice services are available to patients of any age, religion, race, or
illness.
4) Hospice care is covered under Medicare, Medicaid, most private
insurance plans, HMOs, andother managed care organizations.
f. Ruang Lingkup
1) Pasien yg tinggal di daerah pedalaman.
2) Pasien dengan Ca, heart disease, AIDS, kidney and lung disease.
3) Pasien di nursing home.
4) Pasien yg tinggal sendirian
g. Tujuan Pelayanan Hospice Care
1) Meringankan pasien dari penderitaannya.
2) Memberikan dukungan moril, spirituil maupun pelatihan praktis dalam
hal perawatan pasienbagi keluarga pasien dan pelaku rawat.
3) Memberikan dukungan moril bagi keluarga pasien selama masa duka cita.
h. Tim Pelaksana Hospice Care
1) Dokter.
2) Perawat.
3) Pekerja Sosial.
4) Relawan.
i. Bentuk Hospice Care
1) The InstitutionHospice Care
2) HospiceHome Care
3) Palliative Care
j. Standar Asuhan Keperwatan
1) Standard I : Perawat mengumpulkan data kesehatan klien
2) Standard II : Dalam menetapkan diagnosa keperawatan, perawat
melakukan analisa terhadap data yangtelah terkumpul
3) Standard III : Perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan baik dari
klien maupun lingkungannya.
4) Standard IV : Perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan
dengan menetapkan intervensi yangakan dilakukan untuk mencapai hasil
yang diharapkan.
5) Standard V : Perawat melaksanakan rencana intervensi yang telah di
tetapkan dalam perencanaan.
6) Standard VI : Perawat melakukan evaluasi terhadap kemajuan klien yang
mengarah ke pencapaian hasil yangdiharapkan.
k. Standar Kinerja Profesional (Profesional Performance)
1) Standard I : Kualitas asuhan keperawatan, perawat melakukan evaluasi
terhadap kualitas dan efektifitaspraktik keperawatan secara sistematis.
2) Standard II : Performance Appraisal , perawat melakukan evaluasi diri
sendiri terhadap praktik keperawatanyang dilakukannya dihubungkan
dengan standar praktik professional, hasil penelitian ilmiahdan peraturan
yang berlaku.
3) Standard III : Pendidikan, perawat berupaya untuk selalu meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan dirinya dalam praktik keperawatan.
4) Standard IV : Kesejawatan, perawat berinteraksi dan berperan aktif dalam
pengembangan professionalisme sesama perawat dan praktisi kesehatan
lainnya sebagai sejawat.
5) Standard V : Etika, putusan dan tindakan perawat terhadap klien
berdasarkan pada landasan etika profesi
6) Standar VI : Kolaborasi, dalam melaksanakan asuhan keperawatan,
perawat berkolaborasi dengan klien,keluarga dan praktisi kesehatan lain.
7) Standar VII : Penelitian, dalam praktiknya, perawat menerapkan hasil
penelitian.
8) Standard VIII : Pemanfaatan sumber, perawat membantu klien atau
keluarga untuk memahami resiko, keuntungan dan biaya perencanaan dan
pelaksanaan asuhan keperawatan.

BAB II
ETIK KEPERAWATAN PALIATIF
1. Etik dalam Perawatan Paliatif
a) Autonomy  (otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu b
erpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap 
kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki ber
bagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip oton
omi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai pe
rsetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan 
hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Pra
ktek profesional merefleksikan otonomi saat tim perawatan paliatif  menghar
gai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
b) Non  maleficience (tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikolo
gis pada klien. Prinsip tidak merugikan (Nonmaleficience, do no harm) henda
k mengartikan bahwa kita berkewajiban jika melakukan suatu tindakan agar j
angan sampai merugikan  orang lain. Prinsip ini nampaknya sama dengan sal
ah satu prinsip dari Hippocrates, yaitu Premium non nocere yang berarti bah
wa yang terpenting adalah jangan sampai merugikan. (Achadiat, 2007).
c) Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan 
oleh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap 
pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity 
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. In
formasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif  dan objektif  untuk me
mfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yan
g sebenarnya kepada pasien   tentang segala sesuatu yang berhubungan denga
n keadaan dirinya salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat 
beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika k
ebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau adanya hub
ungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu memiliki oton
omi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondi
sinya. Kebenaran adalah dasar  dalam membangun hubungan saling percaya.

d) Beneficienec (berbuat baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, 
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalah
an atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkada
ng, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini denga
n otonomi.
e) Justice (keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap 
orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Ni
lai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika tim perawatan paliatif b
ekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan 
yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
f) Confidentiality (Kerahasiaan)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang
Pasien harus dijaga privasinya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan ke
sehatan Pasien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan Pasien. Tak ada 
satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan ole
h Pasien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang Pasien diluar area pela
yanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang Pasien dengan te
naga kesehatan lain harus dicegah. Komunikasi yang terjaga adalah informasi 
yang diberikan oleh tim perawatan kepada Pasien dengan kepercayaan dan ke
yakinan informasi tersebut tidak akan bocor ( Perry & Potter, 1997).
g) Accountability (Akuntabilitas) 
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tangg
ung jawab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai   ora
ng lain. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seor
ang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkec
uali. Tim Perawatan  seringkali mengandalkan pertimbangan mereka denagn 
menggunakan (Teori Moral Mandle, 1994, dalam Perry & Potter, 1997 ) yaitu 
Teori Deontologi : Pemikiran mengarahkan seseorang untuk mempertimbang
kan kebenaran dan kesalahan bawaan dari dari suatu tindakan atau kewajiban 
tersebut. Teori Teleologis :  umumnya mempertimbangkan konsekwensi suat
u tindakan. Teori moral semacam ini memulai sesuatu yang baik dengan meli
hat pada situasi untuk menentukan apa yang harus dilakukan, berdasaran kons
ekwensi
apa yang akan dialami orang yang terlibat jika tindakan tersebut dilakukan.
2. Kebijakan Nasional Terkait Perawatan Paliatif
a) Tujuan dan Sasaran Kebijakan
a) Tujuan Kebijakan
Tujuan umum: Sebagai payung hukum dan arahan bagi perawatan paliatif
di Indonesia.
Tujuan khusus:
a. Terlaksananya perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang
berlaku di seluruh Indonesia.
b. Tersusunnya pedoman - pedoman pelaksanaan atau juklak perawatan
paliatif.
c. Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.
d. Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.
b) Sasaran kebijakan pelayanan paliatif
a) Seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan
yang memerlukan perawatan paliatif di mana pun pasien berada di
seluruh Indonesia.
b) Pelaksana perawatan paliatif : dokter, perawat, tenaga kesehatan
lainnya dan tenaga terkait lainnya.
c) Institusi-institusi terkait, misalnya:
a. Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
b. Rumah Sakit pemerintah dan swasta
c. Puskesmas
d. Rumah perawatan/hospis
e. Fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta lain.
b) Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif
a) Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :
b) Penatalaksanaan nyeri.
c) Penatalaksanaan keluhan fisik lain.
d) Asuhan keperawatan
e) Dukungan psikologis
f) Dukungan social
g) Dukungan kultural dan spiritual
h) Dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement).
i) Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan
kunjungan/rawat rumah.
c) Aspek Medikolegal dalam Perawatan Paliatif
a) Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.
b) Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan
paliatif melalui komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara
tim perawatan paliatif dengan pasien dan keluarganya.
c) Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada
dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
d) Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang
membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya
setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed consent.
e) Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien
sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga
terdekatnya. Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk
berkomunikasi dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak
kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya atas nama pasien.
f) Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh
pesan atau pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa
yang harus atau boleh atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila
kompetensinya kemudian menurun (advanced directive). Pesan dapat
memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan
mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten.
Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi
tim perawatan paliatif.
g) Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan
paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan
informasi dapat diberikan pada kesempatan pertama.
h) Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif
a. Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat
dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.
b. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat
pasien memasuki atau memulai perawatan paliatif.
c. Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki
resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk
membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut dapat
diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam
informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.
d. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan
tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive
tertulis. Namun demikian, dalam keadaan tertentu dan atas
pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan tertulis oleh
seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan
pengadilan untuk pengesahannya.
e. Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak
melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu
apabila pasien berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi
diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas
hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
i) Perawatan pasien paliatif di ICU
a. Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.
b. Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus
mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian
peralatan life-supporting.
j) Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif
a. Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan
perawatan di rumah pasien.
b. Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh
tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan
keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan
kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih. Komunikasi antara
pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.

d) Tempat dan Organisasi Perawatan Paliatif


Tempat untuk melakukan perawatan paliatif adalah:
a) Rumah sakit : Untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan yang
memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus.
b) Puskesmas : Untuk pasien yang memerlukan pelayanan rawat jalan.
c) Rumah singgah/panti (hospis) : Untuk pasien yang tidak memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus, tetapi belum
dapat dirawat di rumah karena masih memerlukan pengawasan tenaga
kesehatan.
d) Rumah pasien : Untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat,
tindakan khusus atau peralatan khusus atau ketrampilan perawatan yang
tidak mungkin dilakukan oleh keluarga.
Organisasi perawatan paliatif, menurut tempat pelayanan/sarana
kesehatannya adalah :
1) Kelompok Perawatan Paliatif dibentuk di tingkat puskesmas.
2) Unit Perawatan Paliatif dibentuk di rumah sakit kelas D, kelas C dan
kelas B non pendidikan.
3) Instalasi Perawatan Paliatif dibentuk di Rumah sakit kelas B Pendidikan
dan kelas A.
4) Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat koordinatif dan
melibatkan semua unsur terkait.
e) Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang dengan
melibatkan perhimpunan profesi/keseminatan terkait. Pembinaan dan
pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen Kesehatan.
f) Pengembangan dan Pemingkatan Mutu Perawatan Paliatif
Untuk pengembangan dan peningkatan mutu perawatan paliatif diperlukan :
a) Pemenuhan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan dan non kesehatan.
b) Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan/Continuing Professional
Development untuk perawatan paliatif (SDM) kualitas pelayanan.
Menjalankan program keselamatan pasien atau patient safety.

BAB III
MENINGKATKAN KULIATAS HIDUP PASIEN PALIATIF

Perawatan paliatif adalah suatu pendekatan untuk mencapai kualitas hidup pasien dan
keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi dini, 
penilaian yang seksama dan pengobatan nyeri dan masalah masalah lain, baik masalah fisik,
psikososial dan spiritual.

A. Prinsip-Prinsip Perawatan Paliatif


1. Menghilangkan nyeri dan gejala fisik lain
2. Menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal
3. Tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian
4. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial dan spiritual
5. Memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin
6. Memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita
7. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya
8. Menghindari tindakan yang sia sia

B. Bentuk Layanan Paliatif


1. Penanggulangan nyeri
Penanggulangan keluhan lain penyerta penyakit primer :
a) gangguan saluran nafas
b) gangguan saluran cerna
c) gangguan saluran kemih
d) gangguan aktifitas, dll
2. Bimbingan psikologis, sosial & spiritual
3. Persiapan kemampuan keluarga untuk perawatan pasien di rumah
4. Kunjungan rumah berkala, sesuai kebutuhan pasien dan keluarga
5. Bimbingan perawatan untuk pasien dan keluarga
6. Asuhan keperawatan terhadap pasien dengan : luka, gastrostomi, colostomy, selang
makan (NGT), kateter dll
7. Membantu penyediaan sarana / alat bantu kesehatan : tabung O2, suction, nebulizer,
kasur dekubitus, dll.
8. Membantu penyediaan tenaga perawat home care
9. Membantu penyediaan pelaku rawat / caregiver
10. Membantu kesiapan menghadapi akhir hayat dengan tenang dan dalam iman
11. Memberi dukungan masa duka cita
12. Konsultasi melalui telepon

C. Tempat Pelayanan Pasien Paliatif


Kegiatan perawatan paliatif dapat dilakukan melalui :
1. Layanan Paliatif di rumah : Hospice Home Care, Home Visit
2. Layanan Paliatif Rawat Jalan : poli paliatif
3. Layanan Paliatif Rawat Inap DI Rumah

D. Masalah dan Kebutuhan Pasien Paliatif


Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-
kejadian yang dapat mengancam diri sendiri eimana masalah yang seringkali di keluhkan
pasien yaitu mengenai masalah seperti nyeri, masalah fisik, psikologi sosial, kultural serta
spiritual (IAHPC, 2016).Permasalahan yang muncul pada pasien yang menerima
perawatan paliatif dilihat dari persepktif keperawatan meliputi masalah psikologi,
masalah hubungan sosial, konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah pada
aspek spiritual atau keagamaan (Campbell, 2013).

1. Masalah Fisik
Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien
paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017).Nyeri merupakan pengalaman emosional dan
sensori yang tidak menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual
yang terjadi secara tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat
diantisipasi dan diprediksi. Masalah nyeri dapat
ditegakkan apabiladata subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal tiga
kriteria (NANDA, 2015).
2. Masalah Psikologi

Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah

kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa

penyakit yang membuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi

pasien maupun keluarga (Misgiyanto & Susilawati, 2014).

Durand dan Barlow (2006) mengatakan kecemasan adalah keadaan

suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan

jasmaniah dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya

atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir.Menurut

Carpenito (2000) kecemasan merupakan keadaan individu atau kelompok saat

mengalami perasaan yang sulit (ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom

dalam berespon terhadap ketidakjelasan atau ancaman tidak spesifik.

NANDA (2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak

nyaman atau kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan takut

yang disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda

waspada yang member tanda individu akan adanya bahaya dan mampukah

individu tersebut mengatasinya.

3. Masalah Sosial

Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak normalan

kondisi hubungan social pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu

keluarga maupun rekan kerja (Misgiyanto & Susilawati, 2014).Isolasi sosial

adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ). Atau

suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama

sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin

merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan

yang berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang

lain (Kelliat, 2006 ).

4. Masalah Spiritual

Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul

pada pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi

karena diagnose penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani

pengobatan serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual keagamaan

yang mana biasanya dapat dilakukan secara mandiri.

Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan

mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni,

musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Hamid,

2008).Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah


gangguan dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan

seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk, 2011).

5. Masalah Dukungan Keluarga

a. Definisi keluarga

1) Keluarga adalah orang yang termasuk dalam ikatan perkawinan,

kelahiran dan adopsi dengan tujuan menciptakan, mempertahankan

budaya, meningkatkan pertahanan fisik, mental, emosional, dan sosial

dari setiap anggota keluarga (Friedman, 2013).Sendangkan menurut

Helvie dalam Harnilawati (2013) keluarga adalah sekelompok manusia

yang tinggal dalam satu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten

dan hubungan yang erat.

b. Tipe dukungan keluarga

1) Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang hanya terdiri dari

ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi

ataupun keduanya (Suprajitno, 2004).

2) Keluarga besar (extended family) adalah keluarga inti ditambah

keluarga lain yang mempunyai hubungan darah. Misalnya kakek,

nenek, paman dan bibi (Suprajitno, 2004).


c. Fungsi keluarga

Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

1) Fungsi afektif, adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala

sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarganya agar dapat berhubungan

dengan orang lain.

2) Fungsi sosialisasi, adalah fungsi untuk mengembangkan dan tempat melatih anak

untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk

berhubungan/bersosialisasi dengan orang lain di luar rumah.

3) Fungsi reproduksi, adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga

kelangsungan keluarga.

4) Fungsi ekonomi, adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga

secara ekonomi dan merupakan tempat mengembangkan kemampuan individu

dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

5) Fungsi perawatan/pemeliharaankesehatan, adalah fungsi untuk mempertahankan

keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.

d. Definisi dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap dan tindakan terhadap anggota keluarga yang sakit

dan keluarga memberikan bantuan kepada anggota keluarga lain baik berupa barang,

jasa, informasi, dan nasihat sehingga anggota keluarga merasa di sayangi, di hormati dan

dihargai (Friedman, 2013). Sendangkan menurut Helnilawati (2013) dukungan keluarga

adalah dukungan yang didapatkan dari keluarga ke anggota keluarga, yang dimana

dukungan ini sangat bermanfaat bagi anggota keluarga yang mendapatkan dukungan dan

merasa diperhatikan, di hargai dan di cintai oleh keluarganya.

1
Menurut Friedman (2013) sumber dukungan sosial keluarga internal adalah sumber

dukungan yang didapatkan dari suami atau istri, saudara kandung atau dukungan dari

anak.Serta dukungan sosial keluarga eksternal yaitu sahabat, tetangga, kelompok sosial,

dan keluarga besar (kakek, nenek, bibi atau paman).

6. Kebutuhan Spiritual

a. Pengertian kebutuhan spiritual


Spiritual berasal dari kata latin yaitu “spiritus” yang memiliki arti napas

atau angin dan dapat di notasikan bahwa spiritual memberikan kehidupan atau esensi

dalam manusia (Kozier dkk, 2008). Spiritual merupakan sesuatu yang di percayai

oleh seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan)

yang menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan dan

permohonan maaf atas kesalahan yang pernah dibuat (Aziz, 2014 dalam Sasmika,

2016). Definisi lain menyebutkan bahwa spiritual adalah multidimensi yang terdiri

dari dimensi vertikal dan dimensi horizontal yang berarti dimensi vertikal

menunjukkan hubungan individu dengan Tuhan yang dapat menuntun dan

mempengaruhi individu dalam menjalani kehidupan sedangkan dimensi horizontal

merupakan hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya

(Rois, 2014 dalamSasmika, 2016). Spiritual adalah suatu hubungan yang dimiliki

individu yang tidak hanya kepada Tuhan saja melainkan kepada individu lain dan

lingkungan juga.

Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh

setiap orang atau manusia dalam mencari arti dan tujuan hidup (Aziz, 2014 dalam

Sasmika, 2016). Kebutuhan spiritual adalah suatu kebutuhan untuk mempertahankan

atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan

untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, serta menjalin hubungan

penuh rasa percaya dengan Tuhan (Ummah, 2016).Kebutuhan spiritual merupakan


2
kebutuhan untuk mencari arti tujuan, makna, dan kualitas hidup, kebutuhan untuk

mencintai, dan dicintai serta untuk memberikan maaf (Potter da Potter dan Perry,

2007).

3
BAB IV
KONSEP KEHILANGAN DALAM PERAWATAN PALIATIF

A.Definisi Kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan
adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang
berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau
mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.

Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu


kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:

1. Arti dari kehilangan


2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu.

B. Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:

1. Aktual atau nyata Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya
amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
4
2. Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang
yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya
menjadi menurun.

C.  Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:

1. Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai

Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti
adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan,
yang mana harus ditanggung oleh seseorang.Kematian juga membawa dampak kehilangan
bagi orang yang dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau
jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak
emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.

2. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)

Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan
fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri
mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat
hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.

3. Kehilangan objek eksternal

Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama,


perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap
benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.

4. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal

Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal


termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau
bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga
yang baru dan proses penyesuaian baru.

5
5. Kehilangan kehidupan/ meninggal

Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada
kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian
orang berespon berbeda tentang kematian.

D.  Rentang Respon Kehilangan

Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance

1. Fase denial

a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan

b. Verbalisasi : itu tidak mungkin, saya tidak percaya itu terjadi.

c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung

cepat, menangis, gelisah.

2. Fase anger / marah

a. Mulai sadar akan kenyataan

b. Marah diproyeksikan pada orang lain

c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

d. Perilaku agresif.

3. Fase bergaining / tawar- menawar.

a. Verbalisasi :kenapa harus terjadi pada saya ? kalau saja yang sakit bukan saya

seandainya saya hati-hati.

4. Fase depresi

a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.

b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.

5. Fase acceptance

a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.

6
BAB IV
KOMUNIKASI MENYAMPAIKAN BERITA BUTUK

A. Teknik Menyampaikan Berita Buruk


Berita buruk adalah bagian yang tak dapat elakkan dari praktek medis. Sebagian
besar dari kita khawatir untuk berkomunikasi mengenai hal-hal sensitif seperti
menyampaikan berita buruk, yang terkadang bisa membuat sedih pasien dan keluarga
mereka. Berikut ada beberapa alasan mengapa sulit untuk memberitahukan berita buruk.
a) Mungkin merasa bertanggung jawab dan takut jika disalahkan
b) Tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya
c) Kemungkinan penghambatan karena tidak memiliki pengalaman pribadi
d) Keengganan untuk mengubah hubungan dokter-pasien yang ada
e) Takut mengganggu peran keluarga ada pasien atau struktur
f) Tidak tahu kemampuan dan keterbatasan pasien
g) Takut implikasi bagi pasien, misalnya cacat, sakit, sosial dan kerugian keuangan
h) Takut terhadap reaksi emosional pasien
i) Ketidakpastian tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan tidak
memilikijawaban atas beberapa pertanyaan
j) Kurangnya kejelasan peran seoramg pelayan kesehatan
Ada beberapa langkah praktis dan logis yang dapat diikuti saat menyampaiakan
kabar buruk kepada pasien. Meskipun ini berfungsi sebagai pedoman, namun tidak ada
peraturan tegas untuk selalu melakukan lamgkah-langkah tersebut, hal tersebut
tergantung dari tantangan medis yang ada. Hal tersebut tergantung dari penilain secara
klinis dan juga pengalaman pelayan kesehatan tersebut tentang bagaimana berita
burukbisa disampaikan secara efektif, dimana setiap kasus harus dilakukan secara
berbeda.Ada lima langkah utama :
a) Personal preparation
1) Dibutuhkan waktu yang tepat untuk memberikan suatu berita buruk secara benar
dan disertai
2) Menanamkan kepercayaan disertai dukungan dengan selalu siap untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan. Untuk alasan tersebut , tidak tepat rasanya jika
menyampaikan kabar buruk di tengah-tengah sebuah klinik yang sinuk dan
ramai. Namun, sebelum melihat pasien terlebih dahulu Anda harus mengambil
beberapa saat untuk mempertimbangkan informasi apa yang diketahui dan apa

7
yang perlu ditangani. Adapun hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
1) Apakah pasien mengharapkan kabar buruk , atau aku ' masuk dingin' ?
2) Apakah harus ada orang lain hadir ( seperti perawat atau kerabat) ?
3) Apa pasien sudah tahu tentang penyakit, atau apa yang telah terjadi ?
4) Apa kemampuan pribadi yang pasien miliki?
5) Apakah saya mempunyai cukup waktu untuk menghabiskan waktu dengan
pasien ?
6) Apakah ada ' bagaimana jika . . . ' Pertanyaan dimana saya harus
mempersiapkan diri untuk menjawabnya ? ( misalnya, ' Bagaimana kalau dia
marah dengan saya ? ')
Jeda sesaat, berpikir jernih dan dahulukan meminimalisir kesulitan sebelum
melihat pasien. Dalam menyampaikan berita buruk, banyak kesulitan timbul
dikarenakan dari tidak bisanya pelayan kesehatan berpikir secara jernih tentang apa
yang akan dilakukan dan bagaimana cara terbaik untuk mencapainya dan juga
terkadang pelayan kesehatan tidak memiliki jawaban yang cocok atas beberapa
pertanyaan pasien.
b) The physical setting
Pengaturan fisik yang ideal adalah kamar pribadi yang cukup nyaman, bebas
dari gangguan, dan memiliki suasana yang tenang. Tentu saja, hal tersebut tidak
selalu dapat terjadi. Namun, dalam beberapa pengaturan, disebutkan bahwa harus
adanya upaya yang dilakukan untuk menjamin privasi dan kenyamanan pasien.
Sebuah tirai harus ditarik di sekitar pasien di sebuah ksamar terbuka jika tidak
mungkin untuk pindah ke kamar pribadi.
Posisi fisik Anda jika dikaitankan dengan pasien adalah penting. Jika pasien di
tempat tidur, itu lebih sulit untuk mempertahankan mata ditingkat yang sama.
Beberapa dokter lebih memilih untuk duduk di sisi tempat tidur, tetapi hal ini dapat
membuat pasien merasa tengganggu dan terlalu dekat bagi pasien. Duduk di sebuah
kursi kantor di samping tempat tidur adalah lebih baik dan nayaman. Yang lain lebih
memilih untuk mengadopsi defensif
posisi bersandar di dinding dekat dengan pasien, hal ini mengindikasikan postur
santai dan komitmen untuk tetap di dalam ruangan. Namun, ada beberapa hal yang
tidak boleh Anda lakukan, yaitu :

8
1) Jangan memberikan kabar buruk pada akhir pemeriksaan fisik sementara Pasien
belum dalam keadaan siap.
2) Jangan memberikan berita buruk di koridor dan melalui telepon (jika bisa hal ini
harus dihindari).
3) Jangan mondar-mandir di sekitar pasien, lalu melihat keluar jendela atau
melakukan hal yang dapat mengganggu pasien.
4) Terkadang kita bergantung pada alat peraga dalam situasi sulit . Bila
memungkinkan hindari meraba-raba melalui catatan klinis ketika berbicara
dengan pasien. Hal ini penting untuk mempertahankan kontak mata. Lepaskanlah
jaket Anda atau tutupi jas putih Anda, jika Anda lebih suka, hal ini bisa
menciptakan kedekatan yang lebih pribadi dan juga suasana ramah serta
menghindari situasi yang aneh. Selanjutnya lebih baik lagi jika tidak memakai
stetoskop di leher. Potensi sumber gangguan dari telepon, televisi dan radio pun
harus dihindari.
c) Talking to the patient and responding to their concerns
Apa pun yang Anda katakan kepada pasien, adalah penting bagi Anda untuk
melakukannya secara perlahan-lahan atau setidaknya pada kecepatan yang dapat
diterima oleh pasien. Percakapan biasanya menjadi lebih formal dan serius ketika
memberikan berita buruk. Membalas pertanyaan dengan satu kata haruslah dihindari.
Akan sangat luar biasa untuk membalas dengan tegas, kepada saudara pasien dan
berjalan pergi saat ditanyai jika pasien telah selamat operasi. Sebaliknya, pelayan
kesehatan bisa mengatakan, "Seperti yang Anda ketahui, pamanmu sangat sehat
sebelum operasi. Kami melakukan hal terbaik yang kami bisa, tapi aku takut itu tidak
cukup. Dia tidak pernah sadar, dan saya minta maaf untuk memberitahu Anda bahwa
dia meninggal tak lama setelah operasi." Informasi yang kompleks seperti itu harus
disampaikan dengan rasa empati terhadap kebutuhan dan keprihatinan terhadap
pasien. Kegagalan untuk melaksanakan suatu hal dapat membuat pertemuan itu tidak
efektif, tidak membantu atau membuat pasien stress. Lalu dalam menyampaikan
berita buruk dibutuhkan :
1) Empati
Seharusnya tidak terlalu sulit untuk berempati dengan seseorang yang telah
mengalami kehilangan atau telah mendengar kabar buruk, karena kebanyakan
dari kita dapat dengan mudah mengidentifikasikan seseorang yang sedang
menghadapi atau mengalami kesulitan. Empati berarti mampu menempatkan diri

9
di tempat orang lain, terutama seseorang yang mungkin tertekan. Mendengarkan
dengan penuh perhatian kepada pasien dan berusaha untuk memahami kesulitan
mereka lebih lengkap adalah salah satu deskripsi empati. Anda juga harus
menjadi empatik dengan tidak memperkenalkan informasi baru terlalu cepat dan
tidak memaksakan pandangan dan membuat sebuah asumsi yang tidak sesuai
dengan keadaan.
2) Dimulai dengan apa yang pasien atau kerabatnya sudah tahu atau pahami
Sebelum memberikan kabar buruk, salah satu hal yang penting adalah
mengetahui bagaimana kesan pasien tentang penyakitnya. Hal ini akan langsung
mempengaruhi bagaimana Anda nantinya menyampaikan kabar. Seorang pasien
yang terlalu optimis atau tidak, dan tampak memahami implikasi serius dari
penyakit perlu diperkenalkan kepada berita yang lebih bertahap. Disana sejumlah
pertanyaan yang bisa diajukan dalam rangka untuk mencari tahu apa pasien
sudah tahu tentang penyakitnya dan mungkin mengharapkan suatu kesembuhan.
Dalam beberapa kasus, pasien mungkin memberikan kesan mengetahui sangat
sedikit tentang kondisi mereka meskipun telah melakuakn konsultasi
sebelumnya. Mereka mungkin banyak yang berharap bahwa informasi baru telah
datang untuk mengubah kabar sebelumnya atau mereka mungkin tidak ingin
mendengar berita buruk. Kedua hal ini menunjukkan penolakan keparahan
penyakit dan mungkin diperlukan pertemuan pertama untuk mengingatkan pasien
dari percakapan sebelumnya. Demikian pula, Anda harus memperhatikan dekat
dengan respon pasien terhadap pertanyaan, keadaan emosional dan intelektual,
karena ini secara langsung mempengaruhi apa yang mungkin perlu dijelaskan
secara lebih detail, dan cara terbaik yang bagaiman untuk menyampakan kabar
buruk. Hal ini penting untuk memeriksa pemahaman pasien tentang istilah
tertentu
3) Mencari tahu apa yang pasien ingin tahu
Setelah menetapkan apa yang pasien sudah ketahui, Anda bisa mulai
memperbarui pengetahuan pasien dan pemahamannya. Namun, jika Anda
mungkin tidak jelas tentang apa yang pasien ingin tahu dan pada tahap mana,
Anda harus terlebih dahulu mencari tahu dengan bertanya, 'Apa yang ingin kamu
ketahui? Apakah ada sesuatu yang tidak kamu ingin dengar?' Pertanyaan-
pertanyaan berikut bisa membantu untuk membuka percakapan tentang masalah
penting ini :

10
- "Ini membantu kami untuk mendengar dari Anda apa yang ingin Anda
ketahui tentang kondisi Anda. Apakah ada sesuatu yang tidak ingin Anda
dengar?"
- "Apa yang Anda ingin dengar dari hasil diagnosa?"
- "Apakah Anda ingin tahu semua detail tentang diagnosis, tes dan perawatan,
atau apakah Anda hanya ingin mengetahui garis besar apa yang terjadi?"
- "Anda mengatakan Anda hanya ingin diberitahu bila ada ' kabar baik '.
- Apa yang harus kita lakukan jika kita punya kabar buruk?"
4) Aktif mendengarkan, memberikan informasi, umpan balik dan menangani 
kepentingan sang pasien.
Hal pertama  yang harus dilakukan adalah membangun hubungan dan
kepercayaan. Mendengarkan secara aktif melibatkan menanggapi pertanyaan dan
kekhawatiran sementara pada saat yang sama memimpin pembicaraan.
5) Memunculkan kekuatan diri sang pasien.
Disini Anda harus membicarakan bagaimana pasien sebelumnya telah
diatasi dengan cukup sulit. Ini membantu membuat eksplisit sumber daya apa
yang sebenarnya individu miliki dan dukungan tambahan apa yang mungkin
pasien perlukan.
d) Arranging follow-up or referral
Setelah pasien sudah diberitahukan kabar buruk, yang paling penting adalah
waktu dimana beberapa saat setelah pertemuan. Hal ini menggoda
untuk mengasumsikan bahwa pasien telah mengetahui dan mengerti apa yang
mereka butuhkan. Meminta pasien untuk meringkas apa yang mereka ingat adalah
cara untuk memeriksa apa yang mereka telah ketahui selama ini. Jika Anda tidak
memperbaiki kesalahpahaman sekarang, pasien mungkin hanya ingat aspek-aspek
positif atau negative dari berita tersebut, yang keduanya dapat meningkatkan risiko
depresi reaktif, penolakan, kecemasan dan bahkan bunuh diri. Dalam beberapa kasus
mungkin tepat untuk membuat rujukan lain profesional, seperti psikolog atau
konselor, untuk spesialis bantuan dengan berita dukacita, kegelisahan dan depresi.
e) Feedback and handover to professional colleagues
Ini adalah praktik yang baik untuk menginformasikan rekan-rekan pasien
tentang pertemuan dengan pasien, meringkas bagaimana keadaan pasien, apa yang
pasien telah ketahui dan mengerti, dan masalah apa yang mungkin terjadi atau reaksi
apa yang diharapkan. Hal ini membantu orang lain yang merawat pasien, untuk

11
mengetahui apa yang harus dikatakan tanpa membingungkan atau mengganggu
pasien dengan informasi yang berbeda tentang prognosis dan pengobatan. Diskusi
dan konsultasi dengan kolega juga dapat membuat tugas memberikan berita buruk
lebih mudah dengan meningkatkan profesional dukungan dan mengeksplorasi ide-
ide.
Proses memberikan berita buruk :
a) Berikan informasi
b) Periksa pemahaman pasien informasi
c) Mengidentifikasi masalah utama pasien
d) Mendatangkan strategi penanggulangan pasien dan sumber daya pribadi
dan memberikan harapan yang realistis.

12
BAB V
KONSEP PENYAKIT TERMINAL
A.Definisi Penyakit Terminal
Penyakit terminal adalah penyakit yang secara medis kedokteran tidak bias
disembuhkan lagi, dan penyakit ini terjadi pada stadium lanjut. Dalam hal ini,
orientasi pelayanan yang diberikan pada pasien tidak hanya penyembuhan saja,
namun juga perawatan yang membuat pasien bisa mencapai kualitas hidup terbaik
bagi dirinya dan keluarga. Kematian merupakan tahap paling akhir dalam
kehidupan. Kematian bias saja datang tanpa peringatan secara tiba-tiba, atau bisa
mengikuti fase sakit yang sudah panjang. Meski demikian, kematian tidak
memandang usia seseorang. Tua maupun muda, dari bayi hingga manula, semua
bisa saja mengalami kematian. Kondisi terminal merupakan keadaan sakit dimana
tidak ada lagi harapan bagi pasien untuk bisa sembuh menurut akal sehat. Keadaan
seperti ini bisa diakibatkan oleh penyakit tertentu atau mengalami kecelakaan.

Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian
tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi (Stuard & Sundeen, 1995).
Penyakit pada stadium lanjut, penyakit utama tidak dapat diobati, bersifat progresif,
pengobatan hanya bersifat paliatif (mengurangi gejala dan keluhan, memperbaiki
kualitas hidup (Tim medis RS Kanker Darmais, 1996).

Baik pasien dewasa maupun pasien anak, penyakit yang belum bisa
disembuhkan kian meningkat jumlahnya. Sehingga, dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien keadaan keadaan demikian,
selain dengan perawatan kuratif dan rehabilitatif, dibutuhkan juga perawatan paliatif
bagi para pasien yang telah masuk dalam fase terminal. Kebijakan yang telah
dikeluarkan oleh menteri kesehatan yaitu dengan perawatan paliatif. Adalah suatu
pengalaman khusus dimana setiap individu akan menghadapi keadaan demikian
seorang diri, fase terminal dan menjelang kematian, hal yang tidak mungkin
dihindari dan menjadi sebuah kehilangan.
13
Tahap-tahap Berduka Kubler Ross telah menggambarkan atau membagi tahap-tahap
menghadapi ajal dalam 7 tahap, yaitu:

1. Tahap Shock atau Tidak Percaya

Tahap ini merupakan reaksi pertama ketika mendengar pernyataan yang tidak
menyenangkan, atau dalam hal ini adalah diagnosa terminal yang dialami. Ketika
berada di tahap ini, kebanyakan orang justru tidak merasakan apapun. Pengalaman
ini bisa menjadi pengalaman yang membuat shock karena individu tidak segera
merasakan perasaan hancur dengan berita tersebut.

2. Tahap Penyangkalan dan Isolasi.


Dalam tahap ini, pasien merasa tidak siap untuk menerima keadaan yang
sedang terjadi sebenarnya, dan reaksi yang ditunjukkan adalah reaksi penolakan.
Pada fase ini, bentuk bantuan yang bisa diberikan perawat adalah waspada
terhadap isyarat pasien yang menunjukkan denial dengan cara menanyakan
tentang keadaannya atau prognosisnya, dan pasien bisa mengekspresikan perasaan
yang dirasakan.

3. Tahap Kemarahan

Rasa marah bisa terjadi karena kondisi yang dialami pasien dinilai
mengancam kehidupannya dengan segala hal yang telah diperbuatnya, sehingga
dirinya merasa gagal untuk meraih cita-citanya. Umumnya, pasien akan merasa
berdosa telah mengekspresikan perasaan marahnya. Untuk hal ini, perawat perlu
membantu pasien agar mengerti bahwa perasaan yang dirasakanannya adalah
respon yang normal.

4. Tahap Tawar Menawar/ Bargaining


Dalam fase ini, kemarahan biasanya sudah mulai mereda dan pasien bisa
mulai menerima apa yang tengah terjadi pada dirinya. Pada fase ini, perawat perlu
menjadi pendengar untuk keluhan pasien dan mendukung pasien agar dapat
berkomunikasi dengan baik tentang apa yang dirasakannya, agar mengurangi rasa
bersalah dan ketakutan yang tidak masuk akal.

14
5. Tahap Penyesalan/ Guilt

Penyesalan bisa terjadi ketika pasien merasa menyesal atas apa yang telah
terjadi atau apa yang telah terlewatkan di masa lalu. Pada tahap ini, pasien mungkin
memiliki keinginan untuk memutar waktu kembali dan melakukan beberapa hal
dengan car yang berbeda. Ini adalah fase dimana pembinaan duka akan sangat
membantu mereka, yang bisa dilakukan untuk berbagi ingatan dan penyesalan
dalam lingkungan yang mendukung.

6. Tahap depresi
Pada tahap ini, pasien cenderung diam dan tidak banyak bicara, atau mungkin
justru banyak menangisi keadaannya. Inilah saat bagi perawat untuk duduk dengan
tenang di sisi pasien yang tengah menjalani kesedihannya sebelum meninggal dunia.
Dalam fase ini, perawat perlu untuk selalu
hadir di dekat pasien dan mendengarkan apa yang dikeluhkan pasien.
Komunikasi non verbal mungkin akan menjadi cara yang baik untuk hal ini,
dengan duduk tenang di samping pasien dan mengamati reaksi non verbal yang
ditunjukkan pasien, sehingga mampu menumbuhkan rasa aman bagi pasien.

7. Tahap Penerimaan/ Acceptance.

Dalam fase ini, terjadi proses penerimaan secara sadar oleh pasien
maupun keluarganya, tentang keadaan yang tengah terjadi dan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Fase ini akan sangat membantu bila
pasien bisa menyatakan reaksinya atau rencana yang terbaik untuk dirinya saat
menjelang ajal, seperti: ingin berkumpul dengan keluarga terdekat atau
menuliskan surat wasiat.

Fase ini diawali dengan ditandai pasien merasa tenang dan damai. Pada
saat seperti itu, pengertian dari keluarga dan teman mulai dibutuhkan bahwa
pasien sudah bisa
B. Jenis-Jenis Penyakit Terminal

Jenis penyakit terminal sering kita temui baik dipusat pelayanan kesehatan
maupun di rumah. Pada sekelompok keluarga yang mampu, pasien dalam
kondisi terminal ini tetap dipertahankan untuk dirawat di rumah sakit. Namun
banyak terjadi apabila di rumah sakit tidak sembuh, keluarga membawa pulang

15
untuk dapat meninggal di rumah dengan damai, ditunggu oleh orang-orang yang
menyayangi. Jenis penyakit terminal:

1. Kanker yang sudah masuk ke staging lanjut.


2. Penyakit degeneratif, sering terjadi pada lansia.

3. Penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis,

4. Parkinson

5. Stroke,

6. Penyakit Genetika

7. Gagal Jantung

8. Penyakit infeksi HIV/AIDS yang sudah memberi dampak komplikasi


keseluruh tubuh
C. Patofisiologi penyakit Kronik

1. Penyakit Gagal Ginjal Krinik


Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan
abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK
ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas
sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi
ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus.

Penyebab kerusakan ginjal pada PGK adalah multifaktorial dan


kerusakannya bersifat ireversibel.5 Penyebab PGK pada pasien hemodialisis baru
di Indonesia adalah glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%,
nefropati lupus/SLE 1%, penyakit ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik 1%,
nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%, pielonefritis kronik/PNC 6%,
lain-lain 6%, dan tidak diketahui sebesar 1%. Penyebab terbanyak adalah
penyakit ginjal hipertensi dengan persentase 34 %.

Mekanisme dasar terjadinya PGK adalah adanya cedera jaringan. Cedera


sebagian jaringan ginjal tersebut menyebabkan pengurangan massa ginjal, yang
kemudian mengakibatkan terjadinya proses adaptasi berupa hipertrofi pada
jaringan ginjal normal yang masih tersisa dan hiperfiltrasi. Namun proses
adaptasi tersebut hanya berlangsung sementara, kemudian akan berubah menjadi

16
suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Pada
stadium dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana
basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah meningkat. Secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif.

2. Penyakit Diabetes Meilitus


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai
dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi normal yaitu kadar gula darah
sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula darah puasa di atas atau sama
dengan 126 mg/dl (Misnadiarly, 2006). DM dikenal sebagai silent killer karena sering
tidak disadari oleh penyandangnya dan saat diketahui sudah terjadi komplikasi
(Kemenkes RI, 2014). DM dapat menyerang hampir seluruh sistem tubuh manusia,
mulai dari kulit sampai jantung yang menimbulkan komplikasi.
Diabetes sering disebabkan oleh faktor genetik dan perilaku atau gaya hidup
seseorang. Selain itu faktor lingkungan sosial dan pemanfaatan pelayanan kesehatan
juga menimbulkan penyakit diabetes dan komplikasinya. Diabetes dapat memengaruhi
berbagai sistem organ tubuh manusia dalam jangka waktu tertentu, yang disebut
komplikasi. Komplikasi diabetes dapat dibagi menjadi pembuluh darah mikrovaskular
dan makrovaskuler. Komplikasi mikrovaskuler termasuk kerusakan sistem saraf
(neuropati), kerusakan sistem ginjal (nefropati) dan kerusakan mata (retinopat)
(Rosyada, 2013). Faktor risiko kejadian penyakit diabetes melitus tipe 2 antara lain
usia, aktivitas fisik, terpapar asap, indeks massa tubuh (IMT), tekanan darah, stres, gaya
hidup, adanya riwayat keluarga, kolesterol HDL, trigliserida, DM kehamilan, riwayat
ketidaknormalan glukosa dan kelainan lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Trisnawati (2012) menyatakan bahwa riwayat keluarga, aktivitas fisik, umur, stres,
tekanan darah serta nilai kolesterol berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2, dan
orang yang memiliki berat badan dengan tingkat obesitas berisiko 7,14 kali terkena
penyakit DM tipe dua jika dibandingkan dengan orang yang berada pada berat badan
ideal atau normal.

17
18
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PALIATIF

A. PENGERTIAN
Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak
ada harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh
suatu penyakit atau suatu kecelakaan. Kondisi terminal adalah suatu proses yang
progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik,
psikososial dan spiritual bagi individu (KublerRosa,1969). Kondisi terminal adalah
suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses
penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1999). Kematian
adalah tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang tiba-tiba tanpa peringatan atau
mengikuti priode sakit yang panjang . Terkadang kematian menyerang usia muda
tetapi selalu menunggu yang tua.
Beberapa jenis penyakit terminal :
1. Penyakit-penyakit kanker.
2. Penyakit-penyakit infeksi
3. Congestif Renal Falure (CRF)
4. Stroke Multiple Sklerosis.
5. Akibat kecelakaan fatal.
6. AIDS.
B. TAHAP-TAHAP BERDUKA
Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat
terjadi pada pasien menjelang ajal :
1. Denial ( pengingkaran ) Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan
meninggal dan dia tidak dapat menerima informasi ini sebagai kebenaran dan
bahkan mungkin mengingkarinya
2. Anger ( Marah ) Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan
bahwa ia akan meninggal
3. Bergaining ( tawar-menawar ) Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien
mencoba menawar waktu untuk hidup
4. Depetion ( depresi ) Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa
ia akan segera mati.ia sangat sedih karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama
lagi bersama keluarga dan teman-teman.
19
5. Acceptance ( penerimaan) Merupakan tahap selama pasien memahami dan
menerima kenyataan bahwa ia akan meninggal. Ia akan berusaha keras untuk
menyelesaikan tugastugasnya yang belum terselesaikan.
C. PENGKAJIAN
1) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang Berisi tentang penyakit yang diderita klien pada
saat sekarang
b) Riwayat kesehatan dahulu Berisi tentang keadaan klien apakah klien pernah
masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama
c) Riwayat kesehatan keluarga Apakah anggota keluarga pernah menderita
penyakit yang sama dengan klien
2) Pemeriksaan Head To Toe Perubahan fisik saat kematian mendekat
a) pasien kurang rensponsif
b) fungsi tubuh melambat
c) pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja
d) rahang cendrung jatuh
e) pernafasan tidak teratur dan dangkal
f) sirkulasi melambat dan ektremitas dingin, nadi cepat dan melemah
g) kulit pucat
h) mata memelalak dan tidak ada respon terhadap cahaya
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1). Ansietas (ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan
dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat
diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
2). Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang
dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang
lain.
3). Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres
(tempat perawatan ).
4). Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari
system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri
dalam menghadapi ancaman kematian.

20

Anda mungkin juga menyukai