Visi:
Menjadi prodi sarjana terapan yang unggul dalam mengembangkan ilmu keperawatan
medikal bedah dengan penyakit degeneratif berkelas nasional tahun 2020
Misi:
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang unggul dan berkualitas salam
bidang medikal bedah dengan penyakit degeneratif dengan memanfaatkan ilmu
penetahuan dan teknologi bidang keperawatan.
2. Menyelenggarakan penelitian keperawatan berbasis iptek yang berfokus pada masalah
penyakit degeneratif dan dampak terhadap kesehatan.
3. Melaksanakan dan mengembangkan pengabdian di bidang keperawatan kepada
masyarakat dengan memanfaatkan hasil penelitian di bidang medikal bedah dengan
penyakit degeneratif.
MODUL TEORI
KEPERAWATAN PALIATIF
Disusun Oleh:
1.Ns. Ervan, S.Kep., M.Kep, Sp.Kep.J (Koordinator)
2.Ns. Nehru Nugroho, S.Kep., M.Kep
Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Bengkulu,
A. Pengertian Prespektif
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang suatu
hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara – cara
tertentu. Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang suatu
hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara – cara
tertentu. Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan
dengan fenomena yang terpilih dari konsep- konsep tertentu untuk dipandang secara
rasional . Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja
konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia
sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu
H. Keberhasilan Tim
1. Kerja sama efektif dan pendekatan interdisipliner
2. Setiap anggota tim memahami peran dan fungsinya
3. Menyusun dan merancang tujuan akhir perawatan secara bersama
4. Tidak ada anggota Tim yang primadona
5. Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien
6. Proses interaksi antar tim merupakan kunci keberhasilan utama
I. Ruang Lingkup
1. Kanker
2. HIV/AIDS
3. Gagal Ginjal
4. Strooke
5. Diabetes
6. CHF
7. Penyakit degenaratif Lainnya
8. Usila
Paliatif Care Plan Melibatkan seorang partnerhip antara pasien, keluarga, orang
tua, teman sebaya dan petugas kesehatan yang profesional. Support fisik, emosional,
psikososial dan spiritual khususnya, melibatkan pasien pada self care, pasien memerlukan
atau membutuhkan gambaran dan kondisi (kondisi penyakit terminalnya) secara bertahap,
tepat dan sesuai, Menyediakan diagnostic atau kebutuhan intervensi terapeutik guna
memperhatikan/memikirkan konteks tujuan dan pengaharapan dari pasien dan keluarga
(Doyle, Hanks and Macdonald, 2003: 42)
BENTUK DAN LINGKUP KEPERAWATAN PALIATIF CARE
Rumah sakit : Untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan yang memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus
Puskesmas : Untuk pasien yang memerlukan pelayanan rawat jalan
Rumah singgah/panti (hospis) : Untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat,
tindakan khusus atau peralatan khusus, tetapi belum dapat dirawat di rumah karena masih
memerlukan pengawasan tenaga kesehatan
Rumah pasien : Untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus
atau peralatan khusus atau ketrampilan perawatan yang tidak mungkin dilakukan oleh
keluarga.
Organisasi perawatan paliatif, menurut tempat pelayanan/sarana kesehatan
Kelompok Perawatan Paliatif dibentuk di tingkat puskesmas :
Unit Perawatan Paliatif dibentuk di rumah sakit kelas D, kelas C dan kelas B non
pendidikan
Instalasi Perawatan Paliatif
dibentuk di Rumah sakit kelas B Pendidikan dan kelas A.
Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat koordinatif dan melibatkan semua unsur
terkait.
Perawatan paliatif merupakan tanggungjawab multidisiplin dan multiagency
Tim perwatan paliatif meliputi tenaga profesional dari yang umum sampai spesialis dan dapat
berasal dari rumah sakit, komunitas, hospice, atau tempat perawatan lainnya seperti home care
keperawatan.Bentuk tim multidisiplin dapat terdiri dari dokter, perawat, terapis, apoteker, ahli
gizi, sosial woker serta tokoh spiritual. Bentuk kerjasama multidisiplin yang sudah dikenalkan
merupakan salah satu elemen kunci dari kesuksesan perawatan. Tujuan adanya model
multidisiplin adalah untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas pasien dan keluarga.
ETIK DALAM PERAWATAN PALIATIF
Prinsip-Prinsip Etik
1. Autonomy (otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa kita mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai
oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan pasien yang menuntut
haknya diri sendiri. Oleh karena itu dalam otonomi ini, kita dalam tim pelayanan paliatif
harus menghargai hak-hak pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya
sendiri.
2. Non maleficience (tidak merugikan
Pelayanan paliatif tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pasien.
Prinsip tidak merugikan (Non-maleficience, do no harm) dalam arti bahwa kita
berkewajiban bila melakukan suatu tindakan agar jangan sampai merugikan orang lain.
Prinsip ini nampaknya sama dengan salah satu prinsip dari Hippocrates, yaitu Premium
non nocere yang berarti bahwa yang terpenting adalah jangan sampai merugikan.
3. Beneficience (berbuat baik)
Beneficience berarti, mengerjakan segala sesuatu dengan baik atas dasar
kepentingan pasien dan memberikan keuntungan bagi pasien. Terkadang, dalam situasi
pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
4. Veracity (kejujuran)
Prinsip ini berarti penyampaian dengan kejujuran dan kebenaran dengan bahasa
dan tutur kata yang baik dan sopan, tidak berkesan menggurui. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk
meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Veracity berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus menjadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memberikan
pemahaman dan penerimaan informasi, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani
perawatan. Tetapi sebagai relawan tetap ada keterbatasan dan tidak dianjurkan untuk
mengatakan secara jujur dalam hal yang terkait dengan ranah dokter seperti penyampaian
diagnosa dan perjalanan penyakit, tindak lanjut pengobatan dan tindakan.
Jadi jika tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan pasien dan keluarga,
sebaiknya disampaikan dengan jujur bahwa harus dikonsultasikan lebih dulu dengan tim
medis ( dokter dan perawat). Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling
percaya.
5. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam praktek profesional ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk terapi
yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
kualitas pelayanan kesehatan.
6. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang pasien harus
dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan pasien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan pasien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh pasien dengan bukti persetujuannya.
Diskusi tentang pasien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau
keluarga tentang pasien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah. Komunikasi yang
terjaga adalah informasi yang diberikan oleh tim perawatan kepada pasien dengan
kepercayaan dan keyakinan informasi tersebut tidak akan bocor.
7. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab
pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas
merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang relawan dapat dinilai dalam
situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
Secara moral kita memulai sesuatu yang baik dengan melihat pada situasi untuk
menentukan apa yang harus dilakukan, berdasaran konsekwensi apa yang akan dialami
orang yang terlibat jika tindakan tersebut dilakukan.Kesadaran etis itu perlu dimiliki oleh
tim perawatan paliatif agar dapat selalu mempertimbangkan setiap tindakan yang akan
dilakukan dengan mengingat dan mengutamakan kepentingan pasien.
Demikian juga kesadaran etis dari pasien juga diperlukan agar menghargai setiap
upaya medis yang dilakukan tim perawatan paliatif dalam usaha meringankan/
membebaskan penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu akan berfungsi dalam tindakan
konkret ketika mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu dengan
mempertimbangkan baik bruknya secara bertanggung jawab.
Informed Concent
Informed consent adalah proses penyampaian informasi terkait tindakan medis
yang ditawarkan dokter atau perawat kepada pasien sebelum pasien menyetujui tindakan
medis tersebut. Informed consent menjadi bentuk komunikasi dokter dan petugas medis,
serta memberi waktu untuk pasien untuk bertanya, menyetujui, atau menolak penanganan
tersebut.Proses dalam informed consent mencakup :
Pasien anak akan perlu diwakilkan oleh orangtua atau walinya untuk memberikan
persetujuan dalam penanganan medis.
1. Communication
2. Condition
Dalam hal ini dokter secara langsung harus memahami bagaimana kondisi klinis
dan kompetensi dari pasien pada saat perawat memberikan informasi tersebut. Jika yang
dihadapi pasien dewasa yang sadar dan kompeten, tentu informed consent harus terjadi
pada dokter dan pasien. Tetapi untuk pasien anak-anak dan pasien yang tidak kompeten
maka consent diberikan pada pihak ketiga, boleh orang tua, wali atau orang yang
dikuasakan dll.
3. Clarification
b. Kelalaian merupakan bentuk perbuatan yang dilakukan dengan tidak sengaja, misalnya :
Karena tertukarnya rekam medis, dokter keliru melakukan tindakan pembedahan
kepada pasien.
Dokter lupa memberikan informasi kepada pasien yang akan dilakukan tindakan
operasi, sehingga operasi dilakukan tanpa disertai informed consent.
Kualitas Hidup Pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan
pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan,
dan niatnya.Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon
danHarvey Schipper(1999), adalah :
1. Gejala fisik
2. Kemampuan fungsional (aktivitas)
3. Kesejahteraan keluarga
4. Spiritual
5. Fungsi sosial
6. Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan)
7. Orientasi masa depan8.Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri
sendiri
8. Fungsi dalam bekerja
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 Palliative home care adalah pelayanan
perawatan paliatif yang dilakukan di rumah pasien, oleh tenaga paliatif dan atau keluarga atas
bimbingan/ pengawasan tenaga paliatif.Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit
stadium terminal yang tidak dapatdirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus
dilakukan di rumah sakit.Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat
memberikan pelayaanuntuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di
rumah pasien sendiri.
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 Sarana (fasilitas) kesehatan adalah
tempatyang menyediakan layanan kesehatan secara medis bagi masyarakat.Kompeten adalah
keadaan kesehatan mental pasien sedemikian rupa sehingga mampumenerima dan memahami
informasi yang diperlukan dan mampu membuat keputusan secararasional berdasarkan informasi
tersebut (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
a. Definisi Kehilangan
Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu
keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak
ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
kehilangan merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang
yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang
sebelumya ada menjadi tidak ada).
b. Bentuk, Sifat dan Tipe Kehilangan
1. Bentuk-bentuk kehilangan :
Kehilangan orang yang berarti
Kehilangan kesejahteraan
Kehilangan milik pribadi
2. Sifat kehilangan
a. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada
pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh
diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
b. Berangsur-angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan
yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian
menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit
selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap
ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan
mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.
3. Tipe kehilangan
a. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama
dengan individu yang mengalami kehilangan.
b. Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba
atau dinyatakan secara jelas.
c. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan
yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota)
menderita sakit terminal.
Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda
mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat
dengan kita. Nanun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara
berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar
dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian
hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya
yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun.
Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan.Kehilangan yang bersifat actual dapat
dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah.
Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan
kepercayaan diri atau prestise.
c. Etiologi
Kehilangan dan berduka dapat disebabkan oleh
Kehilangan seseorang yang dicintai
Kehilanganm yang ada pada diri sendiri ( lose of self ).
Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal.
Kehilangan kehidupan atau meninggal.
Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “ Tidak,
saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau keluarga
yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini
dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.
Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan
Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain
atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. Respon fisik yang sering
terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju
ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan
dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa “. Apabila
proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit,
bukan anak saya”.
Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien
sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada
keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah
tidur, letih, dorongan libido manurun.
Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat
kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima
kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan
dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya
dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis “
atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia
akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi
bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi
perasaan kehilangan selanjutnya.
Faktor Predisposisi
Faktor prdisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah :
1. Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam
menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi proses kehilangan.
2. Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu
dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi
situasi kehilangan.
4. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-
kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada
masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991)
5. Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress
yang dihadapi.
Faktor Presipitasi
Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata, ataupun
imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi: kehilangan
kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan posisi
dimasyarakat, kehilangan milik pribadi seperti: kehilangan harta benda atau orang yang dicintai,
kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya.
TAHAPAN PROSES KEHILANGAN
Proses Kehilangan
a. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif –
kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan
merasa nyaman.
b. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak
berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan) –
muncul gejala sakit fisik.
c. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak
berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku
konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
d. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak
berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku
destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan.
e. Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian
makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang
positif (konstruktif).
Pengumpulan Data
Dalam melaksanakan pedoman pelayanan pasien tahap terminal (akhir kehidupan),
para petugas kesehatan seyogyanya memahami penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan
seseorang dalam kondisi terminal/mengancam hidup, problem yang dihadapi pasien tahap
terminal, faktor yang perlu dikaji pada pasien tahap terminal dan lain-lain.
Penyakit yang bisa menyebabkan seseorang dalam kondisi terminal (akhir kehidupan) :
1. Penyakit Kronis seperti : TBC, Pneumonia, Edema Pulmonal, sirosis hepatis, penyakit ginjal
kronik, gagal jantung, dan hipertensi.
2. Kondisi keganasan seperti Ca Otak, Ca Paru-paru, Ca Pankreas, Ca Liver, Leukimia.
3. Kelainan syaraf seperti paralise, Stroke, hydrocephalus dll
4. Keracunan seperti keracunan obat, makanan, zat kimia.
5. Kecelakaan /trauma seperti trauma kapitis, trauma organ vital (paru-paru atau jantung),
ginjal, dll\
Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup menjadi empat
fase, yaitu :
1. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit
2. Fase akut : berpusat pada kondisi kritis. Pasien dihadapkan pada serangkaian keputusasaan,
termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis
3. Fase kronis : pasien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya
4. Fase terminal : dalam kondisi ini kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi pasti
terjadi.
Gambaran Problem yang dihadapi pasien kondisi terminal
Pasien dalam kondisi terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis, maupun
sosial spiritual, antara lain :
Problem oksigenisasi : respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheynes stokes,
sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : agitasi-gelisah, tekanan darah menurun,
hypoksia, akumulasi secret, nadi irregler.
Problem Eliminasi : konstipasi, medikasi atau imobilisasi memperlambat peristaltic, kurang
diet serat dan asupan makanan juga mempengaruhi konstipasi, inkontinensia fekal bisa
terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (Ca Colon), retensi urin, inkontinensia
urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misal trauma medulla spinalis,
oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi penyakit misalnya gagal ginjal.
Problem Nutrisi dan Cairan : asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic menurun,
distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan
membengkak, mual muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
Problem Suhu : ekstremitas dingin, sehingga harus memakai selimut.
Problem Sensori : penglihatan menjadi kabur, reflex berkedip hilang saat mendekati
kamatian, menyebabkan kekeringan pada kornea, pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun.
Problem nyeri : ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra vena, pasien
harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kanyamanan.
Problem Kulit dan Mobilitas : sering kali tirah baring lama menimbulakan masalah pada kulit
sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
Masalah Psikologis : pasien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak respon
emosi, perasaan marah dan putus asa sering kali ditunjukan. Problem psikologis lain yang
muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu
lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi /
barrier komunikasi.
Perubahan Sosial-Spiritual, pasien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi, akibat kondisi
terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi
peredaan terhadap penderitaan.
Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang
akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut akan perpisahan, dikucilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami
penderitaan sepanjang hidup.
Faktor-faktor yang perlu di kaji pada pasien tahap terminal, antara lain :
Faktor Fisik
Pada kondisi terminal (akhir kehidupan) pasien dihadapkan pada berbagai
masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan,
pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
Faktor Psikologis
Perubahan psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal.Pemberi
pelayanan harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus
bisa mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Faktor Sosial
Pemberi pelayanan harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi
terminal, karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung,
tidak ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.
Faktor Spiritual
Pemberi pelayanan harus mengkaji bagaimana keyaninan pasien akan proses
ahkir hayat, bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin
mendekatkan diri kepada Tuhan atau apakah semakin berontak akan keadaannya.
Pemberi pelayanan juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien
mengharapkan kehadiran tokoh agama (rohaniawan) untuk menemani disaat-saat
terakhirnya.
PENGKAJIAN BIO, PSIKO, SOSIO, SPIRTUAL DAN KULTURAL
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien
(dewasa dan anak-anak) dan keluarga menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan
penatalaksanaan nyeri serta serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual.
(World Health Organization (WHO) 2017).
Pengkajian Fisik
Pengkajian
Identitas Klien :
Nama, Umur, No Reg, Ruang, Agama, Pekerjaan, Alamat, Suku Bangsa, Pendidikan,
MR, DX Medis
Keluhan Utama :
o Saat MRS : keluhan yang dirasakan oleh klien, sehingga menjadi alasanklien
dibawa kerumah sakit
o Saat pengkajian : Klien mengatakan keluhan yang dirasakan oleh klien\
o Riwayat Penyakit Sekarang : Kronologis dari penyakit yang diderita saat ini
hingga dibawa kerumah sakit secara lengkap dengan menggunakan rumus
PQRST
o Riwayat Penyakit Dahulu : Penyakit apa saja yang pernah dialami oleh klien, baik
yang ada hubungannya dengan penyakit yang diderita sekarang atau yang tidak
ada hubungannya dengan penyakit yang diderita saat ini, riwayat operasi atau
riwayat alergi.
o Riwayat Kesehatan Keluarga : Apakah ada keluarga yang menderita penyakit
yang sama.
Pengkajian Psikologis
Pada tahap ini perawat melakukan pengkajian untuk menilai status psikiologis pasien dan
keluarga dengan cara :
o Mengukur
o Mendokumentasikan
o Mengelola kecemasan dan gejala psikologis lainnya seperti depresi, Rasa takut, hilang
akal, frustasi, rasa sedih, kaget, goncangan batin Merasa bersalah, marah, dan tidak
berdaya.
Pengkajian Sosial
Pada tahap ini perawat mengkaji :
o Nama lengkap
o Nama panggilan
o Umur
o Tempat tanggal lahir
o Jenis kelamin
o Status
o Tipe keluarga
o Pengambilan dalam keluarga dan hubungan klien klien dengan kepala keluarga
Pengkajian Spiritual
• Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan data subyektif dan obyektif
• Spiritual sangat bersifat subyektif, ini berarti spiritual berbeda untuk individu yang
berbeda pula (Mcsherry dan ross, 2002)
Pada dasarnya informasi awal yang perlu digali adalah :
Alifiasi nilai
• Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau tidak
• Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
• Keyakinan agama dan spiritual
• Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima ritual atau upacara agama
• Strategi koping
Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi:
• Tujuan dan arti hidup
• Tujuan dan arti kematian
• Kesehatan dan arti pemeliharaan
• Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain
Pengkajian Kultural
Perawat perlu mengkaji:
Karakteristik Spiritual
Hubungan dengan diri sendiri
Hubungan dengan orang lain Hubungan dengan alam
Hubungan dengan sang pencipta
Peran Perawat Dalam Spiritual Care Sama hal nya dengan diagnose keperawatan yg lain ,
perawat berperan dalam proses keperawatan dalam spiritual :
• Pengkajian
• Diagnosa Keperawatan
• Intervensi
• Implementasi
• Evaluasi
Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan faktor di luar
perilaku (nonbehaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga factor, yaitu :
• Faktor Predisposisi ( predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya
• Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau
tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas,
obat-obatan, air bersih dan sebagainya
• Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu masyarakat
terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan sangat
dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat
tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib
sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau diare berarti
pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa social budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu
individu maupun kelompok. Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat
beragam dan sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali
berupa kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan
tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan kebudayaan yang
inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda hasil karya manusia.
Tahap – Tahap Kematian & Pertimbangan Khusus dalam perawatan Menurut Yosep iyus
(2007, 175) tahap- tahap kematian dapat dibagi menjadi 5 :
1. Denial and isolation (menolak dan mengisolasi diri) .
Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Biasanya sikap itu ditandai
dengan komentar, selama tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan
bahwa mau menimpa semua orang, kecuali dirinya. Klien lanjut usia biasanya
terpengaruh oleh sikap penolakannya sehingga ia tidak memperhatikan fakta yang
mungkin sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Ia bahkan telah menekan apa
yang telah ia dengar atau mungkin akan meminta pertolongan dari berbagai
macam sumber professional dan nonprofessional dalam upaya melarikan diri dari
kenyataan bahwa mau sudah ada di ambang pintu. Mengenal atau mengetahuai
proses bahwa ini umumnya terjadi karena menyadari akan datangnya kematian
atau ancaman maut
Beri kesempatan kepada klien lan jut usia untuk mempergunakan caranya
sendiri dalam menghadapi kematian sejauh tidak merusak.
Memfasilitasi klien lanjut usiadalam menghadapi kematian. Luangkan
waktu 10 menit sehari, baik dengan bercakap-cakap atau sekedar
bersamanya.
2. Anger ( marah)
Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali. Sering
kali klien lanjut usia akan mencela setiap orang dalam segala hal. Ia mudah marah
terhadap perawat dan petugas kesehatan lainnya tentang apa yang telah mereka
lakukan.pada tahap ini, klien lanjut usia lebih mengaggap hal ini merupakan
hikmah, daripada kutukan.
Disiapkan sesuai agama dan kepercayaan. Pasien didampingi oleh
keluarga dan petugas. Usahakan pasien dalam keadaan bersih dan suasana
tenang.Keluarga pasien diberitahu secara bijaksana. Memberi penjelasan kepada
keluarga tentang keadaan pasien. Berikan bantuan kepada keluarga klien untuk
kelancaran pelaksanaan upacara keagamaan.
Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan
pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien
bukan hanya pada penyakit dan aspek pengobatan dan penyembuhan saja akan
tetapi juga aspek psikososial lainnya.Salah satu metode untuk membantu perawat
dalam mengkaji data psikososial pada klien terminal yaitu dengan menggunakan
metode “PERSON”.
a. MetodePerson
1. P: Personal Strenghat Yaitu: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui
gaya hidup, kegiatannya atau pekerjaan.
Contoh yang positif: Bekerja ditempat yang menyenangkan
bertanggung jawab penuh dan nyaman, Bekerja dengan siapa saja
dalam kegiatan sehari-hari.
Contoh yang negatif: Kecewa dalam pengalaman hidup.
2. E: Emotional Reaction Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan
dengan klien. Contoh yang positif: Binggung tetapi mampu
memfokuskan keadaan.
3. Contoh yang negatif: Tidak berespon (menarik diri)
4. R: Respon to Stres Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau
dimasa lalu.
Contoh yang positif :
Memahami masalah secara langsung dan mencari informasi.
Menggunakan perasaannya dengan sehat misalnya : latihan dan
olah raga.
Contoh yang negatif :
Menyangkal masalah
Pemakaian alkohol
5. S: Support System Yaitu: keluarga atau orang lain yang berarti.
Contoh yang positif :
Keluarga
Lembaga di masyarakat
Evaluasi
Tes diagnostik untuk menentukan penyebab utama nyeri
Rujukan untuk operasi (bergantung pada hasil tes dan evaluasi)
Intervensi seperti pemberian suntik atau stimulasi saraf tulang belakang
Terapi fisik untuk meningkatkan kekuatan tubuh
Jika diperlukan, ada psikiater untuk mengatasi masalah kecemasan, depresi, atau
keluhan mental lain yang dialami saat menderita nyeri kronis
Pengobatan komplementer
Tentu tidak sembarang pasien bisa mendapatkan manajemen nyeri. Selain harus melewati
serangkaian prosedur di atas, ada kategori yang bisa diringankan dengan manajemen nyeri
seperti :
1. Nyeri akut
Jenis nyeri yang terjadi tiba-tiba dan hanya berlangsung singkat dan sesekali.
Biasanya, nyeri akut terjadi karena patah tulang , kecelakaan, terjatuh, luka bakar,
persalinan, dan operasi.
2. Nyeri kronis
Nyeri kronis terjadi selama lebih dari 6 bulan dan dirasakan hampir setiap hari.
Biasanya, nyeri kronis diawali dengan nyeri akut namun tidak hilang meskipun cedera
atau penyakit telah sembuh.Biasanya, nyeri kronis terjadi karena nyeri tulang belakang ,
kanker, diabetes, sakit kepala, atau masalah pada sirkulasi darah. Nyeri kronis bisa
berpengaruh terhadap kehidupan seseorang karena membuatnya sulit melakukan aktivitas
fisik. Itulah mengapa bisa menyebabkan depresi atau isolasi sosial.
Breakthrough pain adalah nyeri dengan rasa ditusuk-tusuk yang terjadi dengan
cepat. Biasanya, nyeri ini terjadi pada pasien yang sudah mengonsumsi obat untuk
mengatasi nyeri kronis akibat kanker atau arthritis.Breakthrough pain bisa terjadi saat
seseorang melakukan aktivitas sosial, batuk, atau stres. Lokasi terjadinya nyeri kerap
terjadi di titik yang sama.
4. Nyeri tulang
Ciri-cirinya adalah rasa nyeri dan ngilu di satu tulang atau lebih dan muncul saat
berolahraga atau beristirahat. Pemicunya bisa karena kanker, patah tulang, hingga
osteoporosis.
5. Nyeri saraf
Nyeri saraf terjadi karena ada peradangan saraf. Sensasinya seperti ditusuk-tusuk
dan terbakar. Bahkan banyak penderitanya yang menjelaskan sensasinya seperti tersetrum
dan jadi kian parah di malam hari.
Phantom pain terasa seperti datang dari bagian tubuh yang tidak lagi ada di
tempatnya. Biasanya, orang yang menjalani amputasi kerap merasakannya. Phantom pain
bisa mereda seiring dengan berjalannya waktu.
Nyeri alih terasa seperti datang dari titik tertentu namun sebenarnya merupakan
dampak dari cedera atau peradangan di organ lain atau lokasi lain. Contohnya masalah di
pankreas akan menyebabkan rasa nyeri di perut bagian atas hingga punggung.Jenis
manajemen nyeri akan disesuaikan dengan rasa nyeri yang dirasakan pasien, dengan jenis
penanganan yaitu:
Risiko
Pada beberapa pasien, manajemen nyeri juga dapat menimbulkan risiko atau efek
samping. Namun hal ini bisa berbeda-beda bergantung pada penyakit yang dialami serta metode
manajemen nyeri yang diberikan.Beberapa risiko yang umum terjadi akibat manajemen nyeri
adalah:
Konstipasi
Mual
Merasa mengantuk
Disorientasi dan bingung
Pernapasan menjadi lebih lambat
Mulut terasa kering
Gatal-gatal
Detak jantung tidak normal
Setiap efek samping yang dirasakan pasien harus disampaikan kepada dokter, sebagai
bahan evaluasi tentang prosedur manajemen nyeri yang diberikan. Tak kalah penting,
manajemen nyeri bukan hanya berkisar pada rasa sakit fisik saja. Munculnya masalah mental
seperti depresi, cemas berlebih, atau kecenderungan menarik diri dari masyarakat juga perlu
dikelola dengan baik lewat pendampingan ahli.
Beberapa kalimat lain yang dapat dipilih untuk menyampaikan berita buruk :
a. Saya khawatir berita ini tidak baik, hasil biopsi menunjukkan Anda
terkena kanker leher Rahim
b. Saya merasa tidak enak menyampaikannya, bahwa berdasarkan hasil
pemeriksaan dan USG bayi yang Anda kandung sudah meninggal
c. Hasil pemeriksaan laboratorium yag ada tidak sesuai dengan apa yang
kita harapkan. Hasil ini menunjukkan Anda pada stadium awal
penyakit kanker
d. Saya khawatir saya mempunyai berita buruk, hasil biopsi sumsum
tulang belakang menunjukkan putri Anda menderita leukemia
5. Memberikan Respon Terhadap Perasaan Pasien
Beri waktu pasien atau keluarga untuk bereaksi. Respon pasien dan
keluarga dalam menghadapi berita buruk beragam. Ada pasien yang
menangis, marah, sedih, cemas, menolak, menyalahkan, merasa bersalah,
tidak percaya, takut, merasa tidak berharga, malu, mencari alasan mengapa
hal ini terjadi, bahkan bisa jadi pasien pergi meninggalkan ruangan. Siapkan
diri dalam menghadapi berbagai reaksi.
Dengarkan dengan tenang dan perhatian penuh. Pahami emosi pasien dan
ajak pasien untuk menceritakan perasaannya. Contoh kalimat yang dapat
digunakan untuk merespon perasaan pasien :
a. Saya dapat merasakan bahwa ini merupakan situasi yang sulit
b. Anda terlihat sangat marah. Dapatkan Anda ceritakan apa yang Anda
rasakan ?
c. Apakah berita ini membuat Anda takut ?
d. Sampaikan saja perasaan Anda tentang apa yang baru saya sampaikan
e. Saya berharap hasil ini berbeda
f. Apakah ada seseorang yang Anda ingin saya hubungi?’
g. Saya akan coba membantu Anda
h. Saya akan bantu Anda untuk menyampaikannya pada anak-anak Anda
Pasien atau anggota keluarga tidak suka disentuh, bersikap sensitif
terhadap perbedaan budaya dan pilihan personal. Hindari humor atau
komentar yang tidak pada tempatnya. Beri waktu pasien dan keluarga
mengekspresikan perasaan mereka. Jangan mendesak dengan terburu- buru
menyampaikan informasi lebih lanjut. Jika emosi sudah dikeluarkan,
biasanya pasien atau keluarga lebih mudah diajak pada langkah berikutnya.
6. Merencanakan tindak lanjut
Buatlah rencana untuk langkah selanjutnya, ini bisa berupa :
a. Pemeriksaan lanjut untuk mengumpulkan tambahan informasi
b. Pengobatan gejala-gejala yang ada
c. Membantu orang tua mengatakan pada anak tentang penyakit dan
pengobatannya
d. Tawarkan harapan yang realistis. Walaupun tidak ada kemungkinan
untuk sembuh, bangun harapan pasien dan sampaikan tentang pilihan
terapi apa saja yang tersedia.
e. Mengatur rujukan yang sesuai
f. Menjelaskan rencana untuk terapi lebih lanjut
g. Diskusikan tentang sumber-sumber yang dapat memberikan dukungan
secara emosi dan praktis, misal keluarga, teman, tokoh yang disegani,
pekerja sosial, konselor spiritual, peer group, atau pun terapis
profesional.
Rencana tindak lanjut ini akan meyakinkan pasien dan keluarga,
bahwa petugas medis tidak meninggalkan atau mengabaikan mereka, dan
petugas medis akan terlibat aktif dalam rencana yang akan dijalankan.
Katakan mereka dapat menghubungi petugas medis jika ada pertanyaan
lebih lanjut. Tentukan waktu untuk pertemuan berikutnya. Petugas medis
juga harus memastikan bahwa pasien akan aman dan selamat saat pulang.
Cari tahu : apakah pasien dapat 10 mengemudikan sendiri kendaraan saat
pulang? Apakah pasien sangat cemas atau khawatir, merasa putus asa atau
ingin bunuh diri? Apakah ada seseorang di rumah yang dapat memberikan
dukungan pada pasien?
7. Mengomunikasikan Prognosis Pasien
Sering menanyakan mengenai prognosis, tentang bagaimana perjalanan
penyakit mereka ke depannya . Motivasinya antara lain mereka ingin
mempunyai kepastian tentang masa depan sehingga dapat merencanakan
hidup mereka, atau pasien merasa ketakutan dan berharap bahwa Petugas
medis akan mengatakan penyakitnya tidak serius.
Sebelum langsung menjawab pertanyaan pasien tentang prognosis,
sebaiknya Petugas medis mengumpulkan informasi tentang alasan mereka
menanyakan hal tersebut. Pertanyaan yang bisa diajukan antara lain :
a. Apa yang Anda harapkan akan terjadi ?
b. Apa pengalaman yang Anda punyai tentang seseorang dengan
penyakit seperti ini ?
c. Apa yang Anda harapkan terjadi ?
d. Apa yang Anda harapkan untuk saya lakukan ?
e. Apa yang membuat Anda takut untuk yang akan terjadi ?
Petugas medis harus mempertimbangkan dampak pemberian informasi
prognosis. Pasien yang ingin merencanakan hidup mereka biasanya
mengharapkan informasi yang lebih rinci. Sedangkan pasien yang sangat
khawatir atau cemas, mungkin akan lebih baik mendapat informasi secara
umum saja. Jawaban Petugas medis yang definitif seperti : “Anda hanya
mempunyai usia harapan hidup sampai 1 tahun” akan berisiko menyebabkan
kekecewaan jika ternyata terbukti usia harapan hidupnya lebih singkat.
Jawaban seperti ini juga dapat menimbulkan kemarahan dan rasa frustasi
jika dokter merendahkan usia harapan hidup pasien. Kalimat berikut lebih
disarankan dalam 11 menjawab pertanyaan tentang prognosis : Sekitar
sepertiga pasien dengan kasus seperti ini dapat bertahan hidup sampai satu
tahun, separuhnya bertahan hidup dalam 6 bulan, apa yang akan terjadi
sesungguhnya pada diri Anda, saya sungguh tidak tahu Setelah jawaban
tersebut. Petugas medis sebaiknya melanjutkan dengan menyampaikan bahwa
kita harus berharap untuk yang terbaik, sambil tetap berencana untuk
kemungkinan terburuk. Sampaikan juga ke pasien dan keluarga bahwa kejutan
yang tidak diharapkan dapat terjadi hal ini dan pasien lebih mempersiapkan
mental untuk menghadapi sehingga dapat mengurangi penderitaan. Petugas
medis harus meyakinkan pasien dan keluarga bahwa Petugas medis akan siap
mendukung dan membantu mereka (Wahyuliati SpS, 2016).
SUPPORT KELUARGA YANG BERDUKA
Medikolegal Support System Pelayanan Paliatif Persetujuan tindakan medis/informed
consent untuk pasien paliatif merupakan hal penting sebelum merencanakan pembuatan support
system paliatif. Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif
melalui, komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan paliatif dengan
pasien dan keluarganya. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran
pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan
informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko
dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan
pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya (Ferrell,
2007). Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan keluarga
terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya
atas nama pasien.
Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau
pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau tidak
boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced directive).
Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau
dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat
keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan
panduan utama bagi tim perawatan paliatif (Doyle, 2003).
Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat
melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan pada
kesempatan pertama. Resusitasi/ Tidak resusitasi pada pasien paliatif. Keputusan dilakukan atau
tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim
Perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien
memasuki atau memulai perawatan paliatif (Kemenkes, 2013).
Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang
informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan
tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam informed consent
menjelang ia kehilangan kompetensinya. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh
membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis.
Namun demikian, dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut,
permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan
pengadilan untuk pengesahannya (Kepmenkes, 2007).
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai
dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan
tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya
berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut (Ferrell, 2007). Tim Pelayanan Paliatif Dalam
mencapai tujuan pelayanan paliatif pasien, yaitu mengurangi penderitaan pasien, beban keluarga,
serta mencapai kualitas hidup yang lebih baik, diperlukan sebuah tim yang bekerja secara
terpadu. Pelayanan paliatif pasien juga membutuhkan keterlibatan keluarga dan tenaga relawan
(Foley, 2008).
Dengan prinsip interdisipliner (koordinasi antar bidang ilmu dalam menentukan tujuan
yang akan dicapai dan tindakan yang akan dilakukan guna mencapai tujuan ), tim paliatif secara
berkala melakukan diskusi untuk melakukan penilaian dan diagnosis, untuk bersama pasien dan
keluarga membuat tujuan dan rencana pelayanan paliatif pasien kanker, serta melakukan
monitoring dan follow up (Lubis, 2008). Kepemimpinan yang kuat dan manajemen program
secara keseluruhan harus memastikan bahwa manajer lokal dan penyedia layanan kesehatan
bekerja sebagai tim multidisiplin dalam sistem kesehatan, dan mengkoordinasikan erat dengan
tokoh masyarakat dan organisasi yang terlibat dalam program ini, untuk mencapai tujuan
bersama.
Kurang lebih sepertiga pasien dengan kanker dilaporkan menderita anxietas atau depresi
yang membutuhkan penatalaksanaan psikiatrik (AAHPM, 2010). Depresi jelas merupakan gejala
psikiatri yang paling sering pada pasien kanker.
Depresi pada pasien kanker disebabkan oleh :
1. Stres yang berhubungan dengan diagnosis dan penatalaksanaan.
2. Pengobatan
3. Keadaan umum pasien
4. Berulangnya depresi
Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi dalam hal ini adalah glukokortikoid, narkotik,
barbiturat dan antikonvulsan lain, beberapa zat kemoterapi seperti vincristine, vinblastine,
procabazine dan L-Asparaginase. Terapi yang sering digunakan untuk depresi dapat berupa
antidepresan, anti psikotik, mood stabilizer, terapi elektrokonvulsif. Anxietas atau kecemasan
merupakan suatu reaksi normal terhadap stres secara emosional menghadapi kanker yang
diderita seseorang.
Perawat merupakan anggota tim yang biasanya akan memiliki kontak terlama dengan pasien
sehingga memberikan kesempatan unik untuk mengetahui pasien dan pengasuh, menilai secara
mendalam apa yang terjadi dan apa yang penting bagi pasien, dan untuk membantu pasien
mengatasi dampak kemajuan penyakit. Perawat dapat bekerja sama dengan pasien dan
keluarganya dalam membuat rujukan sesuai dengan disiplin ilmu lain dan pelayanan kesehatan
(Ferrell, 2007), peran perawat dalam :
a. Konsultasi layanan paliatif
b. Penanggulangan nyeri
c. Penanggulangan keluhan lain penyerta penyakit primer
d. Bimbingan psikologis, social dan spiritual
e. Persiapan kemampuan keluarga untuk perawatan pasien dirumah
f. Kunjungan rumah berkala, sesuai kebutuhan pasien dan keluarga
g. Bimbingan perawatan untuk pasien dan keluarga
h. Membantu penyediaan tenaga perawat homecare
i. Membantu penyediaan pelaku perawat (caregiver)
j. Membantu kesiapan akhir hayat dengan tenang dalam iman
k. Membantu dukungan masa duka cita
Peran perawat membantu pasien dan keluarganya dalam mengatasi masalah pribadi dan
sosial, penyakit dan kecacatan, serta memberikan dukungan emosional/konseling selama
perkembangan penyakit dan proses berkabung. Masalah pribadi biasanya akibat disfungsi
keuangan, terutama karena keluarga mulai merencanakan masa depan (Ferrell, 2007).
Konselor spiritual harus menjadi pendengar yang terampil dan tidak menghakimi, mampu
menangani pertanyaan yang berkaitan dengan makna kehidupan. Sering juga berfungsi
sebagai orang yang dipercaya sekaligus sebagai sumber dukungan terkait tradisi keagamaan,
pengorganisasian ritual keagamaan dan sakramen yang berarti bagi pasien paliatif. Sehingga
konselor spiritual perlu dilatih dalam perawatan akhir kehidupan (AAFP, 2011).
Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis dalam agama dan keyakinan
spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan dalam penyakit fisik yang serius Profesional
kesehatan memberikan perawatan medis menyadari pentingnya pasien dalam memenuhi
'kebutuhan spiritual dan keagamaan. Studi pasien dengan penyakit kronis atau terminal telah
menunjukkan insiden tinggi depresi dan gangguan mental lainnya.
Dimensi lain adalah bahwa tingkat depresi adalah sebanding dengan tingkat keparahan
penyakit dan hilangnya fungsi agunan. Sumber depresi seperti sering berbaring dalam isu-isu
yang berkaitan dengan spiritualitas dan agama. Pasien di bawah perawatan paliatif dan dalam
keadaan seperti itu sering mempunyai keprihatinan rohani yang berkaitan dengan kondisi
mereka dan mendekati kematian (Ferrell, 2007).
Spiritual dan keprihatinan keagamaan dengan pasien biasa bergumul dengan isu-isu
sehari-hari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan orang tua dan mereka yang
menghadapi kematian yang akan datang. Kekhawatiran semacam itu telah diamati bahkan
pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit untuk serius tetapi non-terminal penyakit.
Studi lain telah menunjukkan bahwa persentase yang tinggi dari pasien di atas usia 60
menemukan hiburan dalam agama yang memberi mereka kekuatan dan kemampuan untuk
mengatasi, sampai batas tertentu, dengan kehidupan. Kekhawatiran di sakit parah
mengasumsikan berbagai bentuk seperti hubungan seseorang dengan Allah, takut akan
neraka dan perasaan ditinggalkan oleh komunitas keagamaan mereka. Pembinaan dan
Pengawasan Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem
Tantangan psikiater adalah bagaimana mulai melakukan diskusi end of live care. Kita
harus bisa menentukan waktu yang tepat untuk itu. Diskusi end of live care merupakan hak
dari pasien namun demikian kita juga harus menghormati jika pasien enggan untuk
berdiskusi. Kita harus bisa menjelaskan kondisi pasien tetap memberikan dorongan hidup
tapi tidak memberikan harapan palsu (Meier, 2010). Tantangan kadang kala datang dari
keluarga pasien menolak diskusi yang beralasan untuk menghindarkan orang yang
dicintainya dari percakapan yang kurang menyenangkan.
Bahkan di masyarakat seringkali penyakit yang diderita pasien disembunyikan oleh
keluarganya padahal dengan demikian sama saja merenggut hak pasien untuk melakukan hal-
hal yang ingin dia lakukan di akhir kehidupannya ataupun mengutarakan harapan-harapannya
diamana waktu yang tersisa akan sangat berharga. Komunikasi end of live care pada bulan-
bulan terakhir pasien sangatlah penting dan berharga (Nur, 2010). Penelitian menunjukkan
bahwa pada pasien dengan kanker membahas pilihan terapi mereka sejak dini ternyata bisa
mengurangi tingkat stress mereka. Beberapa study menunjukkan bahwa mereka lebih
memilih jujur dan terbuka dan mendiskusikan end of live care. Dalam diskusi ini sangatlah
penting pasien mengambil keputusan dan hendaknya bisa didokumentasikan misalnya seperti
menunjuk wali siapa yang berhak mengambil keputusan akan dirinya apabila sudah jatuh
dalam kondisi koma ini yang biasanya kita sebut advance directive (WHO, 1996).
Sebagai psikiater tentunya sudah tau posisi kita ada dimana, dimana kita diharapkan
memandang individu sebagai suatu kesatuan bio-psiko- sosial – kultural, bahkan dalam
kondisi ini sudut pandang secara spiritual juga menjadi sangatlah penting. Keluarga bisa
menangani keluhan-keluhan secara fisik yang mungkin muncul pasien hendaknya dibuat
merasa nyaman walaupun dia sakit. Secara psikologis pasien dalam kondisi seperti ini sangat
membutuhkan dukungan salah satunya dengan cara berdiskusi dan bersedia mendengarkan.
Cobalah untuk memberikan kesempatan pasien untuk bisa mengespresikan ketakutan dan
kekawatiran tentang kematian, bagaimana dia akan meninggalkan keluarga yang dicintanya
jadi bersikaplah untuk mendengar. Begitu pula dengan dukungan sosial dan spiritual
misalnya dorong pasien untuk berdoa sesuai dengan keyakinannya dan tanyakan apakah ada
sesuatu yang bisa anda lakukan (WHO,1998). Dukungan sosial pada keluarga juga sangatlah
penting karena merawat orang sakit menyebabkan kelelahan secara fisik dan emosional
menyebabkan stess, depresi dan kecemasan. Setelah melihat fakta-fakta tersebut diatas kita
bisa melihat peran psikiater dalam perawatan akhir pasien ini.
Tentunya peran aktif dalam proses ini sangatlah diperlukan sebagai wujud tanggung
jawab professional kita khusunya sebagai Psikiater yang diharapkan sebagai ujung tombak
dalam pelayanan paliatif (Sukardja, 2004). Dalam pembentukan support system paliatif perlu
diperhatikan adalah sikap Psikiater dalam melakukan pelayanan.
Hal tersebut antara lain :
1. Kemampuan untuk penuh kasih dan empati menyampaikan berita buruk
2. Pemahaman tentang masalah psikososial dan dinamika keluarga yang mempengaruhi
pasien yang sakit parah
3. Pemahaman tentang isu-isu spiritual dan agama mempengaruhi pasien sakit parah serta
anggota keluarga
4. Sebuah sehubungan dengan kepercayaan budaya dan kebiasaan pasien dan keluarga
dalam konteks kematian dan sekarat
5. Pemahaman tentang kebutuhan pasien sekarat untuk perawatan paliatif, nyeri, kontrol,
dan martabat
6. Pemahaman tentang isu-isu khusus yang terkait dengan anak-anak, baik sebagai
tersembuhkan pasien sakit atau sebagai anggota keluarga dari pasien yang sakit parah
7. Pemahaman tentang proses berkabung untuk pasien sekarat dan anggota keluarga selama
kontinum penyakit dan setelah kematian. (White, 2010).
WOC DIABETES MELITUS
Defisiensi Insulin
Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal diubah
oleh mutasi genetic dari DNA selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan
mulai
berproliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan
dalam lingkungan sekitar sel tersebu.
Meskipun penyakit ini dapat di uraikan secara umum seperti yang telah
digunakan , namun kanker bukan suatu penyakit tunggal dengan penyebab
tunggal; tetapi lebih kepda suatu kelompok penyakit yang jelas dengan
penyebab, manifestasi,
pengobatan dan prognosa yang berbeda.
Idealnya, cek kanker secara dini tidak harus selalu dilakukan saat adanya gejala kanker
juga bisa menjalani skrining atau pemeriksaan meski tidak merasa ada yang aneh dengan tubuh.
Misalnya, melakukan pemeriksaan ada atau tidaknya gejala kanker payudara, seperti mamografi,
secara rutin. Hal ini dapat membantu untuk mendeteksi kanker payudara sedini mungkin.
2. Tes laboratorium
4. Biopsi
KANKER PAYUDARA
E. Pengobatan kanker
Ada beberapa pengobatan kanker payudara yang penerapannya banyak tergantung pada
stadium penyakit :
1. Masektomi
Masektomi adalah operasi pengangkatan payudara.Ada 3 jenis masektomi : Modified radical
mastectomy yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara ,jaringan payudara di tulang
dada,tulang selangka,tulang iga,serta benjolan disekitar ketiak.
Total simple mastectomy yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara saja tetapi tidak
kelenjar di ketiak.
Radical mastectomy yaitu operasi pengangkatan sebagian dari payudara.Biasanya disebut
lumpectomy yaitu pengangkatan hanya pada jaringan yang mengandung sel kanker
saja,bukan seuruh payudara.Operasi ini direkomendasikan pada pasien yang besar tumornya
kurang dari 2cm dan letaknya di pinggir payudara.
2. Radiasi
Penyinaran atau radiasi adalah proses penyinaran pada daerah yang terkena kanker
dengan menggunakan sinar x dan sinar gamma yang bertujuan membunuh sel kanker yang
masih tersisa setelah operasi.Efek pengobatan ini tubuh menjadi lemah,nafsu makan
berkurang,warna kulit di sekitar payudara menjadi hitam,serta HB dan leukosit cencerung
menurun sebagai akibat radiasi.
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pemberian obat anti kanker atau sitokina dalam bentuk cair
atau kapsul atau melalui infuse yang bertujuan membunuh sel kanker melalui mekanisme
kemotaksis.Tidak hanya sel kankerpada payudara tapi juga di seluruh tubuh.Efek dari
kemoterapi adalah pasien mengalami mual muntah sera rambut rontokkarena pengaruh obat-
obatan yang diberikan pada saat kemoterapi.
F. Strategi Pencegahan
Pada prinsipnya strategi pencegahan dikelompokkan tiga kelompok besar yaitu
pencegahan pada lingkungan pada milestone dan pejamu.Hampir setiap epidiomologi
sepakat bahwa pencegahan yang paling efektif bagi kejadian penyakit tidak menular
adalah promosi kesehatan dan proteksi dini.Begitu pula pada kanker payudara dan
pencegahannya yang dilakukan antara lain :
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer pada kanker payudara merupakan salah satu bentuk promosi
kesehatan karena dilakukan pada orang yang sehat melalui upaya menghindari diri dari
keterpaparan pada berbagai factor resiko dan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan
primer juga bisa melalui pemeriksaan sadari (pemeriksaan payudara sendiri) yang dilakukan
secara rutin untuk memperkecil factor resiko terkena kanker payudara.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan terhadap individu yang memiliki resiko untuk terkena
kanker payudara .Setiap wanita yang normal dan memiliki siklus haid yang normal
merupakan at risk dari kanker payudara.Pencegahan sekunder dengancara deteksi
dini.Beberapa metode deteksi dini terus mengalami perkembangan .
Skrining melalui mammografi dikalim memiliki akurasi 90 %dari semua penderita
kanker payudara tetapi keterpaparan terus menerus pada
mamografi pada wanita yang sehat merupakan salah satu factor resiko terjadinya kanker
payudara. Karena itu skrining dengan mammografi tetap dapat dilaksanakan dengan
beberapa pertimbangan antara lain :
Wanita yang sudah mencapai usia 40 tahundianjurkan melakukan cancer risk.
Pada wanita dengan factor resiko mendapat rujukan mammografi setiap 2 tahun
sampai usia 50 tahun.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kanker
payudara.Penanganan yang tepat pada penderita kanker payudara sesuai dengan stadiumnnya
akan dapat mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup penderita.Pencegahan
tersier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita serta mencegah komplikasi
penyakit dan meneruskan pengobatan.
Tindakan pengobatan dapat berupa operasi walaupun tidak berpengaruh banyak terhadap
ketahanan hidup.Bila kanker telah jauh bermetastatis dialkukan tindakan kemoterapi dengan
sitostatika.Pada stadium tertentu pengobatan yang diberikan hanya berupa simptomatik dan
dianjurkan untuk mencari pengobatan alternative dengan obat herbal kanker payudara.
A. Pengkajian
a) Identitas
Didalam identitas meliputi
Identitas pasien :
1. Nama
2. Umur
3. Agama
4. Jenis Kelamin
5. Pendidikan
6. Pekerjaan
7. Suku Bangsa
8. Alamat
9. Tanggal Masuk
10. Tanggal Pengkajian
11. No. Register
12. Diagnosa Medis
Identitas penanggung jawab :
1. Nama
2. Umur
3. Hub. Dengan Ps
4. Pekerjaan
5. Alamat
b) Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Riwayat keluhan utama meliputi : adanya benjolan yang menekan payudara, adanya
ulkus, kulit berwarna merah dan mengeras, bengkak, nyeri.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama .
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanda awal yang paling umum terjadi adalah adanya benjolan atau penebalan
pada payudara. Kebanyakan 90 % ditemukan oleh wanita itu sendiri, akan tetapi di
temukan secara kebetulan, tidak dengan menggunakan pemeriksaan payudara sendiri
(sarari), karena itu yayasan kanker menekankan pentingnya melakukan sarari.
Tanda dan gejal lanjut dari kanker payudara meliputi kulit sekung (lesung),
retraksi atau deviasi putting susu, dan nyeri, nyeri tekan atau rabas khususnya berdarah,
dari putting.
Gejala lain yang ditemukan yaitu konsistensi payudara yang keras dan padat, benjolan
tersebut berbatas tegas dengan ukuran kurang dari 5 cm, biasanya dalam stadium ini
belum ada penyebaran sel-sel kanker di luar payudara.
(Erik T, 2005, hal : 42).
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita ca mammae atau sakit
yang lainnya.
5. Riwayat Psikososial
Psikososial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien, dengan timbul gejala-
gejala yang alami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang dideritanya
6. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
Pola nutrisi dan metabolism
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan
rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah.
Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien
akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
Pola tidur dan aktifitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan nyeri yang
dirasakan meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi retensi bila dehidrasi karena panas
yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Biasanya pada pasien ca mammae mengalami badan lemah, pucat, mual, perut tidak
enak, anorexia, berat badan turun, kulit keriput.
b. Kepala dan leher
Kepala tidak ada bernjolan, rambut rontok, kelopak mata normal,
konjungtiva anemis, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah
kotor, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
c. Abdomen
Didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan, terdengar bising usus.
d. Sistem respirasi
Pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat cuping hidung.
e. Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan ca mammae yang ditemukan tekanan darah yang
meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami peningkatan
suhu tubuh.
f. Sistem integument
Kulit kotor, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
g. Sistem eliminasi
Pada pasien ca mammae eliminasi normal.
h. Sistem muskuloskolesal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan.
i. Sistem endokrin
Apakah di dalam penderitaca mammae ada pembesaran kelenjar toroid dan tonsil.
j. Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita
penyakit ca mammae.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia.
3. Cemas berhubungan dengan penyakit yang dialaminya
4. Kurang pengetahuan berhungan dengan kurangnya kemauan untuk mencari
informasi
C. INTERVENSI
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis
Tujuan : Nyeri teratasi.
Kriteria Hasil :
1. Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
2. Nyeri tekan tidak ada
3. Ekspresi wajah tenang
4. Luka sembuh dengan baik
5.
Intervensi :
1. Kaji karakteristik nyeri, skala nyeri, sifat nyeri, lokasi dan penyebaran.
Rasional : Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan rasa nyeri yang dirasakan oleh
klien sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk intervensi selanjutnya.
2. Beri posisi yang menyenangkan.
Rasional :Dapat mempengaruhi kemampuan klien untuk rileks/istirahat secara efektif
dan dapat mengurangi nyeri.
3. Anjurkan teknik relaksasi napas dalam.
Rasional : Relaksasi napas dalam dapat mengurangi rasa nyeri dan memperlancar
sirkulasi O2 ke seluruh jaringan.
4. Ukur tanda-tanda vital
Rasional : Peningkatan tanda-tanda vital dapat menjadi acuan adanya peningkatan nyeri.
5. Penatalaksanaan pemberian analgetik
Rasional : Analgetik dapat memblok rangsangan nyeri sehingga dapat nyeri tidak
dipersepsikan.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
1. Nafsu makan meningkat
2. Klien tidak lemah
3. Hb normal (12 – 14 gr/dl)
Intervensi :
1) Kaji pola makan klien
Rasional : Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi klien dan merupakan asupan dalam
tindakan selanjutnya.
2) Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : dapat mengurangi rasa kebosanan dan memenuhi kebutuhan nutrisi sedikit
demi sedikit.
3) Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan mulut dan gigi.
Rasional : agar menambah nafsu makan pada waktu makan.
4) Anjurkan untuk banyak makan sayuran yang berwarna hijau.
Rasional : sayuran yang berwarna hijau banyak mengandung zat besi penambah tenaga.
5) Libatkan keluarga dalam pemenuhan nutrisi klien
Rasional : partisipasi keluarga dpat meningkatkan asupan nutrisi untuk kebutuhan energi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi parenteral.
Rasional: antasida mengurangi rasa mual dan muntah.
Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan sehari-hari.
Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses modernisasi yang
biasanya diikuti oleh proliferasi teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar
individu yang makin berat.
Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi
secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Faktor-faktor yang dapat
menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu :
a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain.
b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta
dan lain-lain.
c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain. Stres dapat
mengenai semua orang dan semua usia.
Komponen perilaku dari interaksi ini melibatkan kondisioning Pavlov pada peningkatan
maupun penekanan antibodi dan respon imun seluler. Kondisioning ini berekspresi sebagai efek
pengalaman stress terhadap fungsi imun. Selanjutnya diketahui bahwa mekanisme terintegrasi ini
berlangsung dalam ritme yang berkaitan dengan ritme lingkungan seperti ritme Sirkadian.
Respon stress berkelanjutan berekspresi sebagai sindroma adaptasi umum. Sebagai respon akut
dimulai dengan initial brief alarm reaction. Dalam tahap ini peningkatan sekresi cortisol pada
aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) menimbulkan supresi pada sebagian besar fungsi
imun dan peningkatan aktifitas sistem simpatis.
Bila stress tidak dapat diatasi secara efektif, tahap kedua prolonged resistance period akan
dimulai, dimana aktivasi aksis HPA akan menurun tetapi tidak pernah mencapai kondisi basal.
Kegagalan berkelanjutan untuk mengatasi stress akan berakhir pada terminal stage of exhaustion
and death. Aplikasi medis psikoneuroimunologi akan meningkatkan efektifitas terapi penyakit
keganasan, gangguan kardiovaskular, penyakit infeksi, trauma fisik, transplantasi, dan gangguan
jiwa.