Anda di halaman 1dari 106

VISI DAN MISI PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

Visi:
Menjadi prodi sarjana terapan yang unggul dalam mengembangkan ilmu keperawatan
medikal bedah dengan penyakit degeneratif berkelas nasional tahun 2020

Misi:
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang unggul dan berkualitas salam
bidang medikal bedah dengan penyakit degeneratif dengan memanfaatkan ilmu
penetahuan dan teknologi bidang keperawatan.
2. Menyelenggarakan penelitian keperawatan berbasis iptek yang berfokus pada masalah
penyakit degeneratif dan dampak terhadap kesehatan.
3. Melaksanakan dan mengembangkan pengabdian di bidang keperawatan kepada
masyarakat dengan memanfaatkan hasil penelitian di bidang medikal bedah dengan
penyakit degeneratif.
MODUL TEORI

KEPERAWATAN PALIATIF

Disusun Oleh:
1.Ns. Ervan, S.Kep., M.Kep, Sp.Kep.J (Koordinator)
2.Ns. Nehru Nugroho, S.Kep., M.Kep

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
LEMBAR PENGESAHAN

MATA KULIAH : KEPERAWATAN PALIATIF


BEBAN SKS TEORI : 3 SKS
PENEMPATAN : TINGKAT II SEMESTER IV

Bengkulu, Maret 2020


Penyusun,

Ns. Ervan, S.Kep., M.Kep, Sp.Kep.J


NIP. 197412031994021002

Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Bengkulu,

Ns. Hermansyah, S.Kep, M.Kep


NIP. 197507161997031002

MODUL TEORI MATA KULIAH KEPERAWATAN PALIATIF


PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
PRESPEKTIF KEPERAWATAN PALIATIF

A. Pengertian Prespektif
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang suatu
hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara – cara
tertentu. Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang suatu
hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara – cara
tertentu. Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan
dengan fenomena yang terpilih dari konsep- konsep tertentu untuk dipandang secara
rasional . Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja
konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia
sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu

B. Pengertian Paliatif Care


Perawatan paliatif care adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, melalaui pencegahan dan membantu meringankan penderitaan,
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah lain baik
fisik, psikososial dan spiritual (WHO 2011).

C. Tujuan Perawatan Paliatif


 Meyakini bahwa hidup dan mati adalah proses yang normal, tidak menghambat
atau menunda kematian, mengurangi nyeri dan gejala penyakit lainnya, integrasi
fisik, psikis, sosial, emosional dan spiritual dalam memberikan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan individu dan keluarga.
 Menyediakan sistem untuk membantu individu hidup seoptimal mungkin sampai
menjelang kematiannya.

D. Masalah Keperawatan Pada Pasien Paliatif


Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-
kejadian yang dapat mengancam diri sendiri dimana masalah yang seringkali di keluhkan
pasien yaitu mengenai masalah seperti nyeri, masalah fisik, psikologi sosial, kultural serta
spiritual (IAHPC, 2016). Permasalahan yang muncul pada pasien yang menerima.

E. Prinsip Perawatan Paliatif Care


Menghormati atau menghargai martabat dan harga diri dari pasien dan keluarga
pasien, Dukungan untuk caregiver, Palliative care merupakan accses yang competent dan
compassionet, Mengembangkan professional dan social support untuk pediatric palliative
care, Melanjutkan serta mengembangkan pediatrik palliative care melalui penelitian dan
pendidikan (Ferrell, & Coyle, 2007). Prinsip Perawatan Paliatif Care :
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang
normal
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu
4. Menjaga keseimbangan psikologis, sosial dan spiritual
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya
6. Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga
7. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan

F. Model/Tempat Perawatan Paliatif Care


1. Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
2. Rumah Sakit pemerintah dan swasta
3. Puskesmas
4. Rumah perawatan/hospis
5. Fasilitas kesehatan

G. Tim Perawatan Paliatif


1. Perawat
2. Dokter Spesialis
3. Dokter Umum
4. Ahli Gizi
5. Psycholog
6. Rohaniawan
7. Relawan
8. Farmasi
9. Fisioterapist
10. Sosial Medis
11. Keluarga

H. Keberhasilan Tim
1. Kerja sama efektif dan pendekatan interdisipliner
2. Setiap anggota tim memahami peran dan fungsinya
3. Menyusun dan merancang tujuan akhir perawatan secara bersama
4. Tidak ada anggota Tim yang primadona
5. Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien
6. Proses interaksi antar tim merupakan kunci keberhasilan utama

I. Ruang Lingkup
1. Kanker
2. HIV/AIDS
3. Gagal Ginjal
4. Strooke
5. Diabetes
6. CHF
7. Penyakit degenaratif Lainnya
8. Usila

J. Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif


1. Penatalaksanaan nyeri
2. Penatalaksanaan keluhan fisik lain
3. Asuhan keperawatan
4. Dukungan psikologis
5. Dukungan sosial
6. Dukungan kultural dan spiritual
7. Dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement).
K. Karakteristik Perawat Paliatif Di Ruangan Kritis
1. Mengurangi rasa sakit dan keluhan lain yang mengganggu
2. Menghargai kehidupan dan menyambut kematian sebagai proses yang normal
3. Tidak berusaha mempercepat atau menunda kematian
4. Mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual dalam perawatan pasien.
5. Membantu pasien hidup seaktif mungkin sampai akhir hayat.
6. Membantu keluarga pasien menghadapi situasi selama masa sakit dan setelah
kematian
7. Menggunakan pendekatan tim untuk memenuhi kebutuhan pasien dan
keluarganya, termasuk konseling masa dukacita, jika diindikasikan
8. Meningkatkan kualitas hidup, dan mungkin juga secara positif memengaruhi
perjalanan penyakit
9. Bersamaan dengan terapi lainnya yang ditujukan untuk memperpanjang usia,
seperti
L. Melaksanakan Peran Dan Fungsi Perawat Paliatif
 Membina Hubungan Perawat – Pasien
1. Hubungan terapeutik Perawat-Pasien Sebagai : Profesional, Pasangan,
teman akrab, Keluarga
2. Caring Relationship (J. Watson) Perilaku Caring : jujur, sabar,
bertanggung jawab, memberikan kenyamanan, mendengarkan dengan
atensi dan penuh perhatian, memberikan sentuhan, menunjukan
kepeduliaan, menunjukan rasa hormat, memberikan informasi dengan
jelas.
 Sikap Yang Harus Dimiliki Perawat Untuk Perawatan Paliatif
1. Mempunyai falsafah hidup yang kokoh, agama, dan sistim nilai
2. Mempunyai kemampuan untuk tidak “Judgemental” terhadap pasien yang
mempunyai sistem nilai berbeda
3. Mempunyai kemampuan mendengar dengan baik dan memotivasi pasien
4. Tidak menunjukan reaksi berlebihan jika terdapat bau ataupun kondisi
yang tidak wajar
5. Mampu mengkaji, mengevaluasi secara cermat dari perilaku non verbal
6. Senantiasa menemukan cara untuk menangani setiap masalah
7. Menunjukan perilaku caring
SEJARAH, TUJUAN DAN PRINSIP KEPERAWATAN PALIATIF

A. Sejarah Keperawatan Paliatif


 Masa lalu
Gerakan hospis berkembang secara massif sekitar tahun 1960an dengan
pengagas “Dame Cicely Saunders “ dengan mendirikan rumah hospis. Layanan
yang diberikan saat itu hanya berfokus pada pasien penderita kanker. Hospis
adalah tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak dapat
dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di
rumah sakit Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat
memberikan pelayaan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan
keadaan seperti di rumah pasien sendiri.
 Masa sekarang dan yang akan datang
Saat ini telah banyak panduan atau guideline diterbitkan oleh lembaga
bereputasi yang memberikan penjelasan bagaimana memberikan pelayanan
perawatan paliatif yang berkualitas baik.WHO memperkirakan sekitar 19 juta
orang di dunia saat ini membutuhkan pelayanan perawatan paliatif, dimana 69%
dari mereka adalah pasien usia lanjut yaitu usia diatas 65 tahun , menjadi
tantangan para petugas kesehatan terutama tenaga professional yang bekerja di
area paliatif.
 Perawatan paliatif dalam konteks Indonesia
Sejarah perkembangan perawatan paliatif di Indonesia bermula saat
sekelompok dokter di Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya, membentuk kelompok
perawatan paliatif dan pengontrolan nyeri kanker pada tahun 1990.
Sejak 2007 pemerintah Indonesia, melalui kementerian kesehatan telah
menerbit aturan berupa kebijakan perawatan paliatif (Keputusan MENKES
No.812/Menkes/SK/VII/2007) . Saat peraturan ini di terbitkan ada 5 rumah sakit
yang menjadi pusat layanan perawatan paliatif, dimana rumah sakit tersebut
berlokasi di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya.

B. Tujuan Keperawatan Paliatif


 Meyakini bahwa hidup dan mati adalah proses yang normal, tidak menghambat
atau menunda kematian, mengurangi nyeri dan gejala penyakit lainnya, integrasi
fisik, psikis, sosial, emosional dan spiritual dalam memberikan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan individu dan keluarga.
 Menyediakan sistem untuk membantu individu hidup seoptimal mungkin sampai
menjelang kematiannya.

C. Prinsip Keperawatan Paliatif


1. Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain
2. Mnghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu proses normal
3. Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian
4. Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual, sosial, budaya
dari pasien dan keluarganya, termasuk dukungan saat berkabung
5. Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat mungkin tetap
aktif sampai kematiannya
6. Memberi sistim dukungan untuk menolong keluarga pasien melalui masa sakit
pasien, dan sewaktu masa perkabungan
KONSEP KEPERAWATAN PALIATIF
A. Pengertian
Berasal dari kata “pallium” yang berarti menyelubungi atau menutup. Perawatan
paliatif di dimaknai sebagai pelayanan yang memberikan perasaan nyaman terhadap
keluhan yang di rasakan oleh pasien.
Perawatan paliatif care adalah penedekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup  pasien dan keluarga yang menghadapi masalah berhubungan dengan penyakit
yang dapat mengancam jiwa, mealaui pencegahan dan membantu meringankan
penderitaan, identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan
masalah lain baik fisik, psikososial dan spiritual (WHO 2011).
Perawatan paliatif menurut WHO 2002adalah pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan
peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri
dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual. Hari perawatan paliatif
sedunia jatuh pada tanggal 6 oktober setiap tahun nya.
B. Tujuan Perawatan paliatif
Tujuan dari perawatan palliative adalah untuk mengurangi penderitaan pasien,
memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support
kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum
meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, tidak stres menghadapi
penyakit yang dideritanya. Perawatan paliatif meliputi :
1. Menyediakan bantuan dari rasa sakit dan gejala menyedihkan lainnya
2. Menegaskan hidup dan memepercepat atau menunda kematian.
3. Mengntegrasikan aspek-aspek psikologis dan spiritual perawatan pasien
4. Tidak mempercepat atau memperlambat kematian
5. Meredakan nyeri dan gejala fisik lain yang mengganggu
6. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu keluarga menghadapi
penyakit pasien dan kehilangan mereka
C. Prinsip Perawatan Paliatif
1. Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain
2. Mnghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu proses norma
3. Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian
4. Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual, sosial,
budaya dari pasien dan keluarganya, termasuk dukungan saat berkabung
5. Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat mungkin tetap
aktif sampai kematiannya
6. Memberi sistim dukungan untuk menolong keluarga pasien melalui masa sakit
pasien, dan sewaktu masa perkabungan
D. Hak Hak Penderita
1. Tahu status kesehatannya
2. Ikut serta merencanakan perawtan
3. Dapat informasi tindakan invasif
4. Pelayanan tanpa diskriminasi
5. Dirahasiakan oenyakitnya
6. Dapat bekerja dan dapat produktif
7. Berkeluarga
8. Perlindungan asuransi
9. Pendidikan yang layak
E. Model/Tempat Perawatan Paliatif
1. Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
2. Rumah Sakit pemerintah dan swasta
3. Puskesmas
4. Rumah perawatan/hospis
5. Fasilitas kesehatan

F. Peran Fungsi Perawat pada Asuhan Keperawatan Paliatif


1. Pelaksana perawat : pemberi asuhan keperawatam, penddikan kesehatan,
koordinator, advokasi, kolaborator, fasilitator, modifikasi lingkungan
2. Pengelola : manajer kasus, konsultan, koordinasi
3. Penddik : Di pendidikan / dipelayanan
4. Peneliti

Paliatif Care Plan Melibatkan seorang partnerhip antara pasien, keluarga, orang
tua, teman sebaya dan petugas kesehatan yang profesional. Support fisik, emosional,
psikososial dan spiritual khususnya, melibatkan pasien pada self care, pasien memerlukan
atau membutuhkan gambaran dan kondisi (kondisi penyakit terminalnya) secara bertahap,
tepat dan sesuai, Menyediakan diagnostic atau kebutuhan intervensi terapeutik guna
memperhatikan/memikirkan konteks tujuan dan pengaharapan dari pasien dan keluarga
(Doyle, Hanks and Macdonald, 2003: 42)
BENTUK DAN LINGKUP KEPERAWATAN PALIATIF CARE

Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif


1. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :
 Penatalaksanaan nyeri
 Penatalaksanaan keluhan fisik lain
 Asuhan keperawatan
 Dukungan psikologis
 Dukungan sosial
 Dukungan kultural dan spiritual
 Dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement)
2. Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan/rawat
rumah.
Tempat Melakukan Perawatan Paliatif

 Rumah sakit : Untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan yang memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus
 Puskesmas : Untuk pasien yang memerlukan pelayanan rawat jalan
 Rumah singgah/panti (hospis) : Untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat,
tindakan khusus atau peralatan khusus, tetapi belum dapat dirawat di rumah karena masih
memerlukan pengawasan tenaga kesehatan
 Rumah pasien : Untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus
atau peralatan khusus atau ketrampilan perawatan yang tidak mungkin dilakukan oleh
keluarga.
Organisasi perawatan paliatif, menurut tempat pelayanan/sarana kesehatan
Kelompok Perawatan Paliatif dibentuk di tingkat puskesmas :

 Unit Perawatan Paliatif dibentuk di rumah sakit kelas D, kelas C dan kelas B non
pendidikan
 Instalasi Perawatan Paliatif
 dibentuk di Rumah sakit kelas B Pendidikan dan kelas A.
 Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat koordinatif dan melibatkan semua unsur
terkait.
 Perawatan paliatif merupakan tanggungjawab multidisiplin dan multiagency

Tim perwatan paliatif meliputi tenaga profesional dari yang umum sampai spesialis dan dapat
berasal dari rumah sakit, komunitas, hospice, atau tempat perawatan lainnya seperti home care
keperawatan.Bentuk tim multidisiplin dapat terdiri dari dokter, perawat, terapis, apoteker, ahli
gizi, sosial woker serta tokoh spiritual. Bentuk kerjasama multidisiplin yang sudah dikenalkan
merupakan salah satu elemen kunci dari kesuksesan perawatan. Tujuan adanya model
multidisiplin adalah untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas pasien dan keluarga.
ETIK DALAM PERAWATAN PALIATIF

Prinsip-Prinsip Etik

1. Autonomy (otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa kita mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai
oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan pasien yang menuntut
haknya diri sendiri. Oleh karena itu dalam otonomi ini, kita dalam tim pelayanan paliatif
harus menghargai hak-hak pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya
sendiri.
2. Non maleficience (tidak merugikan
Pelayanan paliatif tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pasien.
Prinsip tidak merugikan (Non-maleficience, do no harm) dalam arti bahwa kita
berkewajiban bila melakukan suatu tindakan agar jangan sampai merugikan orang lain.
Prinsip ini nampaknya sama dengan salah satu prinsip dari Hippocrates, yaitu Premium
non nocere yang berarti bahwa yang terpenting adalah jangan sampai merugikan.
3. Beneficience (berbuat baik)
Beneficience berarti, mengerjakan segala sesuatu dengan baik atas dasar
kepentingan pasien dan memberikan keuntungan bagi pasien. Terkadang, dalam situasi
pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
4. Veracity (kejujuran)
Prinsip ini berarti penyampaian dengan kejujuran dan kebenaran dengan bahasa
dan tutur kata yang baik dan sopan, tidak berkesan menggurui. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk
meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Veracity berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus menjadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memberikan
pemahaman dan penerimaan informasi, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani
perawatan. Tetapi sebagai relawan tetap ada keterbatasan dan tidak dianjurkan untuk
mengatakan secara jujur dalam hal yang terkait dengan ranah dokter seperti penyampaian
diagnosa dan perjalanan penyakit, tindak lanjut pengobatan dan tindakan.
Jadi jika tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan pasien dan keluarga,
sebaiknya disampaikan dengan jujur bahwa harus dikonsultasikan lebih dulu dengan tim
medis ( dokter dan perawat). Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling
percaya.
5. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam praktek profesional ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk terapi
yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
kualitas pelayanan kesehatan.
6. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang pasien harus
dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan pasien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan pasien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh pasien dengan bukti persetujuannya.
Diskusi tentang pasien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau
keluarga tentang pasien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah. Komunikasi yang
terjaga adalah informasi yang diberikan oleh tim perawatan  kepada  pasien  dengan 
kepercayaan  dan  keyakinan  informasi  tersebut  tidak  akan bocor.
7. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab
pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas
merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang relawan dapat dinilai dalam
situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
Secara moral kita memulai sesuatu yang baik dengan melihat pada situasi untuk
menentukan apa yang harus dilakukan, berdasaran konsekwensi apa yang akan dialami
orang yang terlibat jika tindakan tersebut dilakukan.Kesadaran  etis itu perlu dimiliki oleh
tim perawatan paliatif agar dapat selalu mempertimbangkan setiap tindakan yang akan
dilakukan dengan mengingat dan mengutamakan kepentingan pasien.
Demikian juga kesadaran etis dari pasien juga diperlukan agar menghargai setiap
upaya medis yang dilakukan tim perawatan paliatif dalam usaha meringankan/
membebaskan penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu akan berfungsi dalam tindakan
konkret ketika mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu dengan
mempertimbangkan baik bruknya secara bertanggung jawab.
Informed Concent
Informed consent adalah proses penyampaian informasi terkait tindakan medis
yang ditawarkan dokter atau perawat kepada pasien sebelum pasien menyetujui tindakan
medis tersebut. Informed consent menjadi bentuk komunikasi dokter dan petugas medis,
serta memberi waktu untuk pasien untuk bertanya, menyetujui, atau menolak penanganan
tersebut.Proses dalam informed consent mencakup :

 Wewenang Anda untuk membuat keputusan


 Detil dari informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan
 Pemahaman Anda terkait informasi medis
 Keputusan sukarela Anda untuk menjalani tindakan medis
Yang Bisa Mewakili Informed Concent Pasien :

1. Pasien belum berusia dewasa

Pasien anak akan perlu diwakilkan oleh orangtua atau walinya untuk memberikan
persetujuan dalam penanganan medis.

2. Pasien tidak mampu memberikan persetujuan

Beberapa situasi membuat pasien tidak mampu memberikan persetujuan, seperti


pasien yang pingsan atau koma. Selain bentuk perwakilan di atas, ada pula situasi
yang membuat informed consent tak diperlukan, yaitu situasi gawat darurat. Dalam
kondisi darurat, petugas medis dan dokter akan meminta persetujuan dari anggota
keluarga terdekat.Namun, apabila di saat genting tersebut anggota keluarga tidak ada,
dokter akan menjalankan tindakan medis yang diperlukan, untuk menyelamatkan
nyawa pasien.

Empat Langkah Informed Concent :

1. Communication

Komunikasi dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan adalah yang bisa


memberi pencerahan kepada pasien, yang etis dimana tidak melanggar etika-etika medis.
Penggunaan bahasa komunikasi pun bertujuan agar pasien dapat memahaminya, sehingga
perawat harus menjelaskan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien.

2. Condition

Dalam hal ini dokter secara langsung harus memahami bagaimana kondisi klinis
dan kompetensi dari pasien pada saat perawat memberikan informasi tersebut. Jika yang
dihadapi pasien dewasa yang sadar dan kompeten, tentu informed consent harus terjadi
pada dokter dan pasien. Tetapi untuk pasien anak-anak dan pasien yang tidak kompeten
maka consent diberikan pada pihak ketiga, boleh orang tua, wali atau orang yang
dikuasakan dll.

3. Clarification

Perawat juga harus memberikan clarification (penjelasan). Minimal pasien harus


tahu mengapa perlu dilakukan tindakan medis, apa saja komplikasinya, bagaimana
prosedur tindakan medis yang akan dilakukan, dan seberapa besar keberhasilannya.
Pasien/keluarganya harus mendapatkan masalah-masalah ini dengan jelas.
4. Mendapatkan consent dari pasien/keluarga.
Dengan pemahaman yang diperoleh setelah mendapatkan klarifikasi, pasien dapat
mengambil keputusan untuk mengabulkan tindakan medis. Consent ini harus murni
benar-benar terjadi karena kesadaran dari pasien.

Negligence dan Malpractice


Beberapa penulis mengatakan bahwa antara negligence dengan malpractice hampir tidak
ada perbedaannya. Para pakar yang disebutkan oleh Guwandi (2004) yang menyamakan antara
negligence dengan malpractice tersebut adalah :
1. Creighton mengemukakan bahwa malpractice merupakan sinonim dari professional
negligence.
2. Mason-Mc Call Smith menyebutkan bahwa "Malpractice is a term which is
increasingly widely used as a synonim for "medical negligence".
Demikian juga didalam beberapa literatur, seringkali istilah malpractice dan negligence
ini sering digunakan secara bergantian. Guwandi (2004) tidak sependapat dengan pendapat para
pakar pada umumnya. Menurut Guwandi malpractice mempunyai arti lebih luas daripada
negligence (kelalaian), karena dalam malpractice selain tindakan yang termasuk dalam kelalaian
juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori kesengajaan dan melanggar undang-
undang.
Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk malpraktik murni yang
termasuk didalam criminal malpractice. Untuk memperjelas perbedaan antara malpraktik dan
kelalaian, dapat diperjelas dengan contoh kasus sebagai berikut :
a. Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja (merupakan istilah malpraktik dalam arti
sempit) atau dapat disebut sebagai criminal malpractice adalah perbuatan / tindakan
dokter yang secara jelas-jelas melanggar undang-undang, antara lain :
 Melakukan pengguguran kandungan
 Melakukan euthanasia
 Memberikan surat keterangan palsu atau isinya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya

b. Kelalaian merupakan bentuk perbuatan yang dilakukan dengan tidak sengaja, misalnya :
 Karena tertukarnya rekam medis, dokter keliru melakukan tindakan pembedahan
kepada pasien.
 Dokter lupa memberikan informasi kepada pasien yang akan dilakukan tindakan
operasi, sehingga operasi dilakukan tanpa disertai informed consent.

Selain contoh tersebut , Guwandi (2004) juga mengemukakan perbedaan antara


malpraktik dan kelalaian dapat dilihat dari motif atau tujuan dilakukannya perbuatan tersebut,
yaitu :
a. Pada malpraktik (dalam arti sempit) - tindakan yang dilakukan secara sadar, dengan
tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan atau petindak tidak peduli
kepada akibat dari tindakannya yang telah diketahuinya melanggar undang-undang.
b. Pada kelalaian - petindak tidak menduga terhadap timbulnya akibat dari tindakannya.
Akibat yang terjadi adalah diluar kehendak dari petindak dan tidak ada motif dari
petindak untuk menimbulkan akibat tersebut.

Ethical Decision Making (EDM) Pada Keperawatan

a. Pengertian Decision Making

Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan


menjatuhkan pilihan. Keputusan ini diambil setelah melalui beberapa perhitungan dan
pertimbangan alternatif. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin
akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi
masalah utama, menyusun alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pengambilan
keputusan yang terbaik.

b. Tipe-Tipe Decision Making


1. Programmed Decision Making
Seringkali situasi yang dihadapi oleh pengambil keputusan dalam sebuah
organisasi merupakan situasi yang sudah pernah terjadi sebelumnya dan muncul
kembali secara berulang-ulang. Untuk menghadapi situasi tersebut, organisasi
menggunakan apa yang disebut Performance Program, yaitu sebuah prosedur standar
dan terstruktur dalam pengambilan keputusan ketika menghadapi situasi tertentu.
Pengambilan keputusan seperti inilah yang disebut dengan Programmed
Decision.Programmed Decision memungkinkan pengambil keputusan untuk
mengambil keputusan secara cepat tanpa harus mencari informasi,
mempertimbangkan alternatif, dan berbagai hal lainnya yang memakan waktu. Meski
demikian, manajer harus waspada kapan saatnya menyesuaikan Performance
Program karena organisasi harus dapat berespon terhadap lingkungan yang dinamis
dan berubah-ubah.Performance Program yang efektif dipakai saat ini misalnya,
mungkin tidak efektif lagi untuk dipakai dua tahun mendatang. Contohnya adalah
penetapan gaji pegawai, prosedur penerimaan pegawai baru, prosedur kenaikan
jenjang kepegawaian dan sebagainya.

2. Non-Programmed Decision Makinng


Pengambilan keputusan yang merespon terhadap sebuah situasi baru yang belum
pernah dihadapi sebelumnya disebut sebagai non-programmed decision making.
Pengambilan keputusan tipe ini mengharuskan pengambil keputusan mencari
informasi sebanyak-banyaknya untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik
diantara alternatif-alternatif yang ada. Mengingat lingkungan bisnis masa kini yang
terus berubah-ubah dengan cepat dan penuh dengan ketidakpastian, manajer akan
banyak menghadapi non-Programmed Decision.

Situasi non-programmed decision tertentu yang terjadi secara berulang-ulang dapat


dikembangkan menjadi Programmed Decision apabila manajer cermat dan mampu membuat
Performance Program yang tepat. Contohnya adalah pengalokasian sumber daya-sumber
daya organisasi, penjualan yang merosot tajam, pemakaian teknologi yang modern dan
sebagainya.
c. Prinsip Etik dalam Pengambilan Keputusan Keperawatan
1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau
piliah yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan respec
terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi
saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya.
2. Berbuat Baik (Beneficience)
Beneficience berarti melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan
dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang dalam situasi
pelayanan kesehatan terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan
dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai
hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas
pelayanan kesehatan
4. Tidak Merugikan (Nonmaleficience)
Pada prinsip ini berarti tindakan keperawatan pada klien tidak menimbulkan
bahaya atau cidera fisik dan psikologis pada klien
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran . Nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan
untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan
dengan kemamapuan seseoranga untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada
agar menjadi akurat, komprensensif, objek untuk memfasilitasi pemahaman dan ada
penerimaan materi yang ada dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang
sgala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan diirinya selama menjalani
perawatan.
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia klien. Ketaan, kesetiaan, adalah kewajiban seorang perawat
untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya pada pasien.
7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus di jaga
privasinya. Segala sesuatu yang terdapat dokumen catatan kesehatan klien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak seorangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika di izinkan oleh klien dengan bukti persetujuan.
d. Langkah-langkah dalam Decision Making
Menurut G. R. Terry :
1. Merumuskan problem yang dihadapi
2. Menganalisa problem tersebut
3. Menetapkan sejumlah alternative
4. Mengevaluasi alternative
5. Memilih alternatif keputusan yang akan dilaksanakan

TREND DAN ISSUE – ISSUE ETIK PADA KEPERAWATAN PALIATIF

Definisi Trend & Issue


 Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan
kejadiannya berdasarkan fakta.
 Issue adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun belum jelas faktannya
atau buktinya.

Trend Perkembangan Paliative Care Dibidang Pendidikan Dan Pelayanan

Kualitas Hidup Pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan
pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan,
dan niatnya.Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon
danHarvey Schipper(1999), adalah :
1. Gejala fisik
2. Kemampuan fungsional (aktivitas)
3. Kesejahteraan keluarga
4. Spiritual
5. Fungsi sosial
6. Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan)
7. Orientasi masa depan8.Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri
sendiri
8. Fungsi dalam bekerja

Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 Palliative home care adalah pelayanan
perawatan paliatif yang dilakukan di rumah pasien, oleh tenaga paliatif dan atau keluarga atas
bimbingan/ pengawasan tenaga paliatif.Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit
stadium terminal yang tidak dapatdirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus
dilakukan di rumah sakit.Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat
memberikan pelayaanuntuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di
rumah pasien sendiri.
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 Sarana (fasilitas) kesehatan adalah
tempatyang menyediakan layanan kesehatan secara medis bagi masyarakat.Kompeten adalah
keadaan kesehatan mental pasien sedemikian rupa sehingga mampumenerima dan memahami
informasi yang diperlukan dan mampu membuat keputusan secararasional berdasarkan informasi
tersebut (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

Isu Etik Dalam Perawatan Paliatif


Ada beberapa isu terkait Perawatan Paliatif (Palliative Care) baik hal itu tentang pasien
maupun perawat. Yang pertama yaitu tentang pasien-pasien dengan penyakit apa saja yang
seharusnya mendapatkan Perawatan Paliatif. Sedangkan, yang kedua terkait dengan dimensi
kualitas hidup pasien yaitu spiritual. Dan yang ketiga yaitu tentang jumlah Rumah Sakit yang
dapat memberikan Perwataan Paliatif dan Jumlah Hospice di Indonesia.

Manajemen etik pada pasien dapat didasarkan pada prinsip-prinsip berikut :


a. beneficience
b. Non-maleficence
c. Menghargai autonomi pasien
d. Mempertimbangkan asas keadilan
Selama perawatan paliatif, prinsip-prinsip tersebut harus digunakan dalam pemikiran
bahwa pasien yang menderita penyakit tidak dapat disembuhkan. Objektivitas bisa saja sulit
dilakukan ketika memutuskan agar mereka merasa kuat dalam menghadapi hidup atau mati.
Pasien harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tapi mungkin tidak realistik menyangkut
prognosis mereka, kemudian memberikan dorongan untuk melakukan terapi aktif (seperti
kemoterapi) meskipun tidak ada kesempatan kearah perbaikan. Prinsip Non malificence dan
justice (sumber terbatas) dapat mencapai hak azasi pasien dan autonomi pada situasi ini.

KEBIJAKAN NASIONAL TERKAIT PERAWATAN PALIATIF

Tujuan Dan Sasaran Kebijakan


A. Tujuan kebijakan Tujuan umum : Sebagai payung hukum dan arahan bagi perawatan
paliatif di Indonesia .
Tujuan khusus :
 Terlaksananya perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang berlaku
di seluruh Indonesia
 Tersusunnya pedoman-pedoman pelaksanaan/juklak perawatan paliatif.
 Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih
 Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.
B. Sasaran kebijakan pelayanan paliatif
1. Seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang
memerlukan perawatan paliatif di mana pun pasien berada di seluruh Indonesia.
2. Pelaksana perawatan paliatif : dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya dan
tenaga terkait lainnya.
3. Institusi-institusi terkait, misalnya:
a. Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
b. Rumah Sakit pemerintah dan swasta
c. Puskesmas
d. Rumah perawatan/hospise
e. Fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta lain.
C. Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif
1. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi :
 Penatalaksanaan nyeri.
 Penatalaksanaan keluhan fisik lain.
 Asuhan keperawatan Dukungan psikologis
 Dukungan sosial
 Dukungan kultural dan spiritual
 Dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement).
2. Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan
kunjungan/rawat rumah.
Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.
• Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif
melalui komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan
paliatif dengan pasien dan keluarganya.
• Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada
dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan
informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko
dilakukan informed consent.Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan
diutamakan pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga
terdekatnya. Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi
dengan keluarga terdekatnya.
Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau
pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau
tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced
directive). Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif
dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan
pada kesempatan pertama. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif :

 Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat


oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.
 Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien
memasuki atau memulai perawatan paliatif.
 Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi,
sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah
dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced
directive) atau dalam informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.
 Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak
resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun
demikian, dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan
patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan
penetapan pengadilan untuk pengesahannya.
 Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan
resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada
dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan
atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
Perawatan pasien paliatif di ICU
• Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan
umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.
• Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti
pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life-
supporting.

IMPROVING QUALITY OF LIFE FOR PALLIATIVE PATIENT PROBLEM


AND NEED OF PALLIATIVE PATIENT
Perawatan Paliatif Dan Kualitas Hidup Penderita Kanker
Pelayanan paliatif pasien kanker adalah pelayanan terintegrasi oleh tim paliatif untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan dukungan bagi keluarga yang menghadapi
masalah yang berhubungan dengan kondisi pasien dengan mencegah dan mengurangi
penderitaan melalui identifikasi dini, penilaian yang seksama serta pengobatan nyeri dan
masalah-masalah lain, baik masalah fisik, psikososial dan spiritual (WHO, 2002) dan pelayanan
masa dukacita bagi keluarga (WHO, 2005) dalam Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker,
2013).
Perawatan paliatif diberikan sejak diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat. Artinya tidak
memperdulikan pada stadium dini atau lanjut, masih bisa disembuhkan atau tidak, mutlak
perawatan paliatif harus diberikan kepada penderita. Perawatan paliatif tidak berhenti setelah
penderita meninggal, tetapi masih diteruskan dengan memberikan dukungan kepada anggota
keluarga yang berduka.
Langkah-langkah dalam pelayanan paliatif (Kemenkes, 2013), adalah:
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Memahami pasien dalam membuat wasiat atau keinginan terakhir
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek social
4. Tatalaksana gejala
5. Informasi dan edukasi
6. Dukungan psikologis, cultural dan social
7. Respon fase terminal
8. Pelayanan pasien fase terminal

Aktifitas perawatan paliatif pada penderita :


1. Membantu penderita mendapat kekuatan dan rasa damai dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.
2. Membantu kemampuan penderita untuk mentolerir penatalaksanaan medis.
3. Membantu penderita untuk lebih memahami perawatan yang dipilih.
Quality of life adalah bagaimana kualitas seseorang apabila dilihat dari interaksi dengan
kehidupan di sekitarnya (Soetardjo, 2013). Konsep kualitas hidup menjadi penting untuk
dibahas dalam mengevaluasi hasil akhir kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para
professional kesehatan sejalan dengan tumbuhnya kesadaran bahwa kesejahteraan penderita
menjadi pertimbangan yang penting dalam memilih terapi pengobatan dan untuk
mempertahankan kehidupan. Kualitas hidup menjadi pertimbangan bermakna untuk masyarakat
pada umumnya, dan pelayanan kesehatan pada khususnya.
Penelitian Pratiwi, TF., dengan judul kualitas hidup penderita kanker, menjelaskan bahwa
penyakit kanker memberikan perubahan signifikan secara fisik maupun psikis individu, antara
lain: kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan akan masa depan dan kematian. Kualitas hidup
penderita kanker dipengaruhi pemahaman individu terhadap penyakitnya.
Penelitian tentang pengaruh perawatan paliatif terhadap pasien kanker stadium akhir
(literature review) yang dilakukan oleh Irawan, E, 2013, berdasarkan 30 literatur yang dianalisa,
Disimpulkan perubahan yang terjadi pada kanker stadium akhir menyebabkan perubahan
kualitas hidup karena kualitas hidup terdiri dari empat dimensi yaitu dimensi fisik, psikologis,
hubungan social dan lingkungan yang tidak hanya ditangani dengan kuratif tapi perlu pendekatan
yang lebih personal pada fisik, psikologi, social dan spiritual sehingga dapat disimpulkan bahwa
perawatan paliatif sangat berperan dalam tercapainya kualitas hidup maksimal pada kanker
stadium IV sehingga mengurangi sakit ataupun persiapan kematian. Berbagai masalah fisik
seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktifitas tetapi juga mengalami
gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup penderita dan
keluarganya. Perawatan paliatif merupakan bagian penting dalam perawatan penderita yang
terminal yang dilakukan menjadi prioritas utama adalah kualitas hidup dan bukan kesembuhan
penderita.

KONSEP KEHILANGAN DALAM KEPERAWATAN

a. Definisi Kehilangan
Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu
keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak
ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
kehilangan merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang
yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang
sebelumya ada menjadi tidak ada).
b. Bentuk, Sifat dan Tipe Kehilangan
1. Bentuk-bentuk kehilangan :
 Kehilangan orang yang berarti
 Kehilangan kesejahteraan
 Kehilangan milik pribadi
2. Sifat kehilangan
a. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada
pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh
diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
b. Berangsur-angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan
yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian
menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit
selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap
ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan
mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.  
3. Tipe kehilangan
a. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama
dengan individu yang mengalami kehilangan.
b. Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba
atau dinyatakan secara jelas.
c. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan
yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota)
menderita sakit terminal.
Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda
mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat
dengan kita. Nanun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara
berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar
dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian
hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya
yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun.
Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan.Kehilangan yang bersifat actual dapat
dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah.
Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan
kepercayaan diri atau prestise.

c. Etiologi
Kehilangan dan berduka dapat disebabkan oleh
 Kehilangan seseorang yang dicintai
 Kehilanganm yang ada pada diri sendiri ( lose of self ).
 Kehilangan objek eksternal.
 Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal.
 Kehilangan kehidupan atau meninggal.

d. Tanda dan Gejala Kehilangan


 Perasaan sedih, menangis.
 Perasaan putus asa, kesepian
 Mengingkari kehilangan
 Kesulitan dalam mengekspresikan perasaan
 Konsenterasi menurun
 Kemarahan yang berlebihan
 Tidak  berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
 Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
 Reaksi emosional yang lambat
 Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas.
e. Jenis-Jenis Kehilangan
Terdapat lima Kategori Kehilangan, yaitu :
1) Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana
alam.Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai yang dimilikinya,
dan kegunaan dari benda tersebut.
2) Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah
dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode tertentu atau
kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan
diruma sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal
dapat terjadi melalui situasi maturaasionol, misalnya ketika seorang lansia pindah
kerumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau
penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
3) Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara
sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja.Artis atau atlet terkenal
mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda.Riset membuktikan bahwa
banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat.Kehilangan
dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4) Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis.Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota
gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara. Kehilangan fungsi fsiologis
mencakupo kehilangan control kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi
sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri,
percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit,
cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi.Kehilangan seperti ini dapat
menghilangkan sejatera individu.Orang tersebut tidak hanya mengalami
kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen
dalam citra tubuh dan konsep diri.
5) Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana
orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap
penyakit yang mengancam- hidup kedalam enpat fase.Fase presdiagnostik terjadi
ketika diketahui ada gejala klien atau factor resiko penyakit.Fase akut berpusat
pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan
pengobatanya ,yang sering melibatkan serangkain krisis yang diakibatkan.
Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal Klien yang mencapai fase
terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi.Pada
setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang
beragam dan terus berubah Seseorsng dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan
melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat.

f. Rentang Respon Kehilangan


Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance
 Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”
 Fase anger/marah
a. mulai sadar akan kenyataan
b. marah diproyeksikan pada orang lain
c. reaksi fisik : muka merah, nadi cepat, gelisah,susah tidur,tangan
mengepal
d. perilaku agresif
 Fase bergaining/tawar menawar
Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit
bukan saya “ seandainya saya hati-hati “.
 Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
 Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “
yah, akhirnya saya harus operasi “

Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “ Tidak,
saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau keluarga
yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini
dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.
Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan
Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain
atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. Respon fisik yang sering
terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju
ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan
dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa “. Apabila
proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit,
bukan anak saya”.
Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien
sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada
keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah
tidur, letih, dorongan libido manurun.
Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat
kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima
kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan
dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya
dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis “
atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia
akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi
bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi
perasaan kehilangan selanjutnya.
Faktor Predisposisi
Faktor prdisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah :
1. Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam
menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi proses kehilangan.
2. Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu
dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi
situasi kehilangan.
4. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-
kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada
masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991)
5. Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress
yang dihadapi.
Faktor Presipitasi
Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata, ataupun
imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi: kehilangan
kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan posisi
dimasyarakat, kehilangan milik pribadi seperti: kehilangan harta benda atau orang yang dicintai,
kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya.
TAHAPAN PROSES KEHILANGAN
Proses Kehilangan
a. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif –
kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan
merasa nyaman.
b. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak
berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan) –
muncul gejala sakit fisik.
c. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak
berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku
konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
d. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak
berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku
destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan.
e. Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian
makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang
positif (konstruktif).

PRINSIP BERKOMUNIKASI DALAM PERAWATAN PALIATIF

Elemen dan Prinsip Palliative Care


Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES, 2013) dan
Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008) priinsip pelayanan perawatan paliatif yaitu
menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya,
penanggulangan nyeri, menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses
normal , tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian, memberikan
dukungan psikologis, sosial dan spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup
seaktif mungkin, memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita, serta
menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya
Elemen dalam perawatan paliatif menurut National Consensus Project dalam
Campbell (2013), meliputi :
1. Populasi pasien.
Dimana dalam populasi pasien ini mencangkup pasien dengan semua usia, penyakit
kronis atau penyakit yang mengancam kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga.
Dimana pasien dan keluarga merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri.
3. Waktu perawatan paliatif.
Waktu dalam pemberian perawatan paliatif berlangsung mulai sejak terdiagnosanya
penyakit dan berlanjut hinggasembuh atau meninggal sampai periode duka cita.
4. Perawatan komprehensif.
Dimana perawatan ini bersifat multidimensi yang bertujuan untuk menanggulangi
gejala penderitaan yang termasuk dalam aspek fisik, psikologis, sosial maupun
keagamaan.
5. Tim interdisiplin.
Tim ini termasuk profesional dari kedokteran, perawat, farmasi, pekerja sosial,
sukarelawan, koordinator pengurusan jenazah, pemuka agama, psikolog, asisten
perawat, ahli diet,sukarelawan terlatih.
6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan
Tujuan perawatan paliatif adalah mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang
disebabkan oleh penyakit maupun pengobatan.
7. Kemampuan berkomunikasi
Komunikasi efektif diperlukan dalam memberikan informasi, mendengarkan aktif,
menentukan tujuan, membantu membuat keputusan medis dan komunikasi efektif
terhadap individu yang membantu pasien dan keluarga.
8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka
9. Perawatan yang berkesinambungan.
Dimana seluru sistem pelayanankesehatan yang ada dapat menjamin koordinasi,
komunikasi, serta kelanjutan perawatan paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan
yang tidak diperukan.
10. Akses yang tepat.
Dalam pemberian perawatan paliatif dimana timharus bekerja pada akses yang tepat
bagi seluruh cakupanusia,populasi, kategori diagnosis, komunitas, tanpa memandang
ras, etnik,
jenis kelamin, serta kemampuan instrumental pasien.
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup
pembuat kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturanyang dapat
mewujudkan lingkungan klinis yang optimal.
12. Peningkatan kualitas.
Dimana dalam peningkatan kualitas membutuhkan evaluasi teratur dan sistemik
dalam kebutuhan pasien.
Definisi Komunikasi
Definisi Komunikasi Istilah ‘komunikasi’ (communication) berasal dari Bahasa
Latin ‘communicatus’ yang artinya berbagi atau menjadi milik bersama. Dengan
demikian komunikasi menunjuk pada suatu upaya yang bertujuan berbagi untuk
mencapai kebersamaan. Secara harfiah, komunikasi berasal dari Bahasa Latin:
“Communis” yang berarti keadaan yang biasa, membagi. Dengan kata lain, komunikasi
adalah suatu proses di dalam upaya membangun saling pengertian. Jadi kominukasi dapat
diartikan suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-
lambang, tanda-tanda atau tingkah laku. (Riswandi, 2009).
Proses komunikasi merupakan aktivitas yang mendasar bagi manusia sebagai
makhluk sosial. Setiap proses komunikasi diawali dengan adanya stimulus yang masuk
pada diri individu yang ditangkap melalui panca indera. Stimulus diolah di otak dengan
pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki individu. (Wiryanto, 2004)
Sosiologi menjelaskan komunikasi sebagai sebuah proses memaknai yang dilakukan oleh
seseorang terhadap informasi, sikap, dan perilaku orang lain yang berbentuk
pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik, atau sikap, perilaku dan perasaan-perasaan,
sehingga seseorang membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap dan perilaku
tersebut berdasarkan pada pengalaman yang pernah dialami. (Mungin, 2008).
Komunikasi merupakan suatu proses karena melalui komunikasi seseorang
menyampaikan dan mendapatkan respon. Komunikasi dalam hal ini mempunyai dua
tujuan, yaitu : mempengaruhi orang lain dan untuk mendapatkan informasi. Akan tetapi,
komunikasi dapat digambarkan sebagai komunikasi yang memiliki kegunaan atau
berguna (berbagi informasi, pemikiran, perasaan) dan komunikasi yang tidak memiliki
kegunaan atau tidak berguna (menghambat/ blok penyampaian informasi atau perasaan).
Keterampilan berkomunikasi merupakan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang
untuk membangun suatu hubungan, baik itu hubungan yang kompleks maupun hubungan
yang sederhana melalui sapaan atau hanya sekedar senyuman. Pesan verbal dan non
verbal yang dimiliki oleh seseorang menggambarkan secara utuh dirinya, perasaannya
dan apa yang ia sukai dan tidak sukai. Melalui komunikasi seorang individu dapat
bertahan hidup, membangun hubungan dan merasakan kebahagiaan. (Pendi, 2009).
Komunikasi pada Pasien dengan Penyakit Kronis
Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit berlangsung lama
sampai bertahun-tahun, bertambah berat, menetap dan sering kambuh. (Purwaningsih dan
Karbina, 2009). Ketidakmampuan/ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa
segala tindakannya tidak akan mendapatkan hasil atau suatu keadaan dimana individu
kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatAn yang baru dirasakan.
(Purwaningsih dan Karbina, 2009).
Berdasarkan pengertian diatas kelompok menyimpulkan bahwa penyakit kronik
yang dialami oleh seorang pasien dengan jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
seorang klien mengalami ketidakmampuan contohnya saja kurang dapat mengendalikan
kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan. Contoh : penyakit diabetes militus,
penyakit cord pulmonal deases, penyakit arthritis.
Tiap fase yangdi alami oleh psien kritis mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda pul. Dalam berkomonikasi
perwat juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga mudah
bagi perawat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di alami pasien.
1) Fase Denial ( pengikraran )
Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok. Tidak
percaya atau menolak kenyataan bahwa kehlangn itu terjadi dengan mengatakan “
Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi “. Bagi individu atau keluarga yang
mengalami penyakit kronis, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi
fisik yang terjadi pada fase pengikraran adalah letih,lemah, pucat, mual, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tau harus
berbuat apa. Reaksi tersebut di atas cepat berakhir dlam waktu beberapa menit
sampai beberapa tahun.
Teknik komunikasi yang di gunakan :
a) Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang kontruktif dalam
menghadapi kehilangan dan kematian
b) Selalu berada di dekat klien
c) Pertahankan kontak mata
2) Fase anger ( marah )
Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadinya
kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering di
proyeksikan kepada orang yang ada di sekitarnya, orang –orang tertentu atau di
tunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia menunjukkan prilaku agresif, bicara
kasar, menolak pengobatan, dan menuduh perawat ataupun dokter tidak becus.
Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat,
gelisah, susah tidur, tangan menggepai.
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
a) Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya,
hearing.. hearing.. dan hearing..dan menggunakan teknik respek
3) Fase bargening ( tawar menawar )
Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
intensif, maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan
tuhan. Respon ini sering di nyataka dengan kata kata “ kalau saja kejadian ini bisa di
tunda, maka saya akan selalu berdoa “ . apabila proses berduka ini di alami
keluarga, maka pernyataan seperti ini sering di jumpai “ kalau saja yang sakit bukan
anak saya
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
a) Memberi kesempatan kepada pasien untuk menawar dan menanyakan kepada
pasien apa yang di ingnkan
4) Fase depression
Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak
mau berbicara, kadang kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut
atau dengan ungkapAn yang menyatakan keputus asaan, perasaan tidak berharga.
Gejala fisik yang sering di perlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libugo menurun
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah:
a) Jangan mencoba menenangkan klien dan biarkan klien dan keluarga
mengekspresikan kesedihannya.
5) Fase acceptance ( penerimaan )
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase menerima
ini biasanya di nyatakan dengan kata kata ini “ apa yang dapat saya lakukan agar
saya cepat sembuh?” Apabila individu dapat memulai fase fase tersebut dan masuk
pada fase damai atau penerimaan, maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka
dan mengatasi perasaan kehilnagannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetep
berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan. Jika mengalami
kehilangan lagi sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Teknik komunikasi yang di gunakan perawat adalah:
a) Meluangkan waktu untuk klien dan sediakan waktu untuk mendiskusikan
perasaan keluarga terhadap kematian pasien
Komunikasi pada Pasien yang Tidak Sadar
Komunikasi dengan pasien tidak sadar merupakan suatu komunikasi dengan
menggunakan teknik komunikasi khusus/teurapetik dikarenakan fungsi sensorik dan
motorik pasien mengalami penurunan sehingga seringkali stimulus dari luar tidak dapat
diterima klien dan klien tidak dapat merespons kembali stimulus tersebut.
Pasien yang tidak sadar atau yang sering kita sebut dengan koma, dengan
gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat dan dapat
membahayakan kehidupan. Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi
utamanya mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat disebabkan oleh
beragam penyebab, yaitu baik primer intrakranial ataupun ekstrakranial, yang
mengakibatkan kerusakan struktural atau metabolik di tingkat korteks serebri, batang
otak keduanya.
Ada karakteristik komunikasi yang berbeda pada klien tidak sadar ini, kita tidak
menemukan feed back (umpan balik), salah satu elemen komunikasi. Ini dikarenakan
klien tidak dapat merespon kembali apa yang telah kita komunikasikan sebab pasien
sendiri tidak sadar. Nyatanya dilapangan atau di banyak rumah sakit pasien yang tidak
sadar ini atau pasien koma di ruangan-ruangan tertentu seperti Intensif Care Unit (ICU),
Intensif Cardio Care Unit (ICCU) dan lain sebagainya, sering mengabaikan komunikasi
terapeutik dengan pasien ketika mau melakukan sesuatu tindakan atau bahkan suatu
intervensi.
Hal ini yang menjadi banyak perdebatan sebagaian kalangan ada yang berpendapat
dia adalah pasien tidak sadar mengapa kita harus berbicara, sedangkan sebagian lagi
berpendapat walau dia tidak sadar dia juga masih memiliki rasa atau masih mengatahui
apa yang kita perbuat, maka kita harus berkomunikasi walau sebagian orang beranggapan
janggal. Maka dari itu kita sebagai perawat diajarkan komunikasi terapeutik untuk
menghargai perasaan pasien serta berperilaku baik terhadap pasien sekalipun dia berada
dalam keadaan yang tidak sadar atau sedang koma
1. Fungsi Komunikasi Dengan Pasien Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Komunikasi dengan klien dalam proses keperawatan
memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a. Mengendalikan Perilaku
Pada klien yang tidak sadar, karakteristik pasien ini adalah tidak memiliki
respon dan klien tidak ada prilaku, jadi komunikasi dengan pasien ini tidak
berfungsi sebagai pengendali prilaku.Secara tepatnya pasien hanya memiliki
satu prilaku yaitu pasien hanya berbaring, imobilitas dan tidak melakukan suatu
gerakan yang berarti.Walaupun dengan berbaring ini pasien tetap memiliki
prilaku negatif yaitu tidak bisa mandiri.
b. Perkembangan Motivasi
Pasien tidak sadar terganggu pada fungsi utama mempertahankan
kesadaran, tetapi klien masih dapat merasakan rangsangan pada
pendengarannya.Perawat dapat menggunakan kesempatan ini untuk
berkomunikasi yang berfungsi untuk pengembangan motivasi pada klien.
Motivasi adalah pendorong pada setiap klien, kekuatan dari diri klien untuk
menjadi lebih maju dari keadaan yang sedang ia alami.
Fungsi ini akan terlihat pada akhir, karena kemajuan pasien tidak lepas
dari motivasi kita sebagai perawat, perawat yang selalu ada di dekatnya selama
24 jam. Mengkomunikasikan motivasi tidak lain halnya dengan pasien yang
sadar, karena klien masih dapat mendengar apa yang dikatakan oleh perawat.
c. Pengungkapan Emosional
Pada pasien tidak sadar, pengungkapan emosional klien tidak ada,
sebaliknya perawat dapat melakukannya terhadap klien.Perawat dapat
berinteraksi dengan klien.Perawat dapat mengungkapan kegembiraan,
kepuasan terhadap peningkatan yang terjadi dan semua hal positif yang dapat
perawat katakan pada klien. Pada setiap fase kita dituntut untuk tidak bersikap
negatif terhadap klien, karena itu akan berpengaruh secara tidak
langsung/langsung terhadap klien. Sebaliknya perawat tidak akan mendapatkan
pengungkapan positif maupun negatif dari klien.
Perawat juga tidak boleh mengungkapkan kekecewaan atau kesan negatif
terhadap klien. Pasien ini berkarakteristik tidak sadar, perawat tidak dapat
menyimpulkan situasi yang sedang terjadi, apa yang dirasakan pada klien pada
saat itu. Kita dapat menyimpulkan apa yang dirasakan klien terhadap apa yang
selama ini kita komunikasikan pada klien bila klien telah sadar kembali dan
mengingat memori tentang apa yang telah kita lakukan terhadapnya.
d. Informasi
Fungsi ini sangat lekat dengan asuhan keperawatan pada proses
keperawatan yang akan kita lakukan. Setiap prosedur tindakan keperawatan
harus dikomunikasikan untuk menginformasikan pada klien karena itu
merupakan hak klien. Klien memiliki hak penuh untuk menerima dan menolak
terhadap tindakan yang akan kita berikan. Pada pasien tidak sadar ini, kita
dapat meminta persetujuan terhadap keluarga, dan selanjutnya pada klien
sendiri. Pasien berhak mengetahui apa saja yang akan perawat lakukan pada
klien. Perawat dapat memberitahu maksud tujuan dari tindakan tersebut, dan
apa yang akan terjadi jika kita tidak melakukan tindakan tersebut kepadanya.
Hampir dari semua interaksi komunikasi dalam proses keperawatan
menjalankan satu atau lebih dari ke empat fungsi di atas. Dengan kata lain,
tujuan perawat berkomunikasi dengan klien yaitu untuk menjalankan fungsi
tersebut. Dengan pasien tidak sadar sekalipun, komunikasi penting
adanya.Walau, fungsi yang dijalankan hanya salah satu dari fungsi di atas.
Untuk dipertegas, walau seorang pasien tidak sadar sekali pun, ia merupakan
seorang pasien yang memiliki hak-hak sebagai pasien yang harus tetap kita
penuhi.
Perawat itu adalah manusia pilihan Tuhan, yang telah terpilih untuk
membantu sesama, memiliki rasa bahwa kita sesama saudara yang harus saling
membantu. Perawat akan membantu siapapun walaupun ia seorang yang tidak
sadar sekalipun. Dengan tetap memperhatikan hak-haknya sebagai klien.
Komunikasi yang dilakukan perawat bertujuan untuk membentuk
hubungan saling percaya, empati, perhatian, autonomi dan mutualitas.Pada
komunikasi dengan pasien tidak sadar kita tetap melakukan komunikasi untuk
meningkatkan dimensi ini sebagai hubungan membantu dalam komunikasi
terapeutik.
2. Cara Berkomunikasi Dengan Pasien Tak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Cara berkomunikasi dengan klien dalam proses
keperawatan adalah berkomunikasi terapeutik. Pada klien tidak sadar perawat
juga menggunakan komunikasi terapeutik.Komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan untuk kesembuhan klien.Dalam berkomunikasi kita dapat
menggunakan teknik-teknik terapeutik, walaupun pada pasien tidak sadar ini
kita tidak menggunakan keseluruhan teknik.Teknik terapeutik, perawat tetap
dapat terapkan. Adapun teknik yang dapat terapkan, meliputi:
a. Menjelaskan
Dalam berkomunikasi perawat dapat menjelaskan apa yang akan
perawat lakukan terhadap klien. Penjelasan itu dapat berupa intervensi yang
akan dilakukan kepada klien. Dengan menjelaskan pesan secara spesifik,
kemungkinan untuk dipahami menjadi lebih besar oleh klien.
b. Memfokuskan
Memfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen atau konsep
kunci dari pesan yang dikirimkan. Perawat memfokuskan informasi yang akan
diberikan pada klien untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam komunikasi.
c. Memberikan Informasi
Fungsi berkomunikasi dengan klien salah satunya adalah memberikan
informasi.Dalam interaksi berkomunikasi dengan klien, perawat dapat memberi
informasi kepada klien. Informasi itu dapat berupa intervensi yang akan
dilakukan maupun kemajuan dari status kesehatannya, karena dengan
keterbukaan yang dilakukan oleh perawat dapat menumbuhkan kepercayaan
klien dan pendorongnya untuk menjadi lebih baik.
d. Mempertahankan ketenangan
Mempertahankan ketengan pada pasien tidak sadar, perawat dapat
menujukkan dengan kesabaran dalam merawat klien.Ketenagan yang perawat
berikan dapat membantu atau mendorong klien menjadi lebih baik.Ketenagan
perawat dapat ditunjukan kepada klien yang tidak sadar dengan komunikasi
non verbal.Komunikasi non verbal dapat berupa sentuhan yang hangat.
Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa kata-kata, merupakan salah satu cara
yang terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan pasan kepada orang lain.
Sentuhan adalah bagian yang penting dari hubungan antara perawat dan klien.
Pada dasarnya komunikasi yang akan dilakukan pada pasien tidak
sadar adalah komunikasi satu arah. Komunikasi yang hanya dilakukan oleh
salah seorang sebagai pengirim dan diterima oleh penerima dengan adanya
saluran untuk komunikasi serta tanpa feed back pada penerima yang
dikarenakan karakteristik dari penerima sendiri, yaitu pada point ini pasien
tidak sadar. Untuk komunikasi yang efektif dengan kasus seperti ini,
keefektifan komunikasi lebih diutamakan kepada perawat sendiri, karena
perawat lah yang melakukan komunikasi satu arah tersebut.
3. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi Dengan Pasien Yang Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Pada saat berkomunikasi dengan klien yang tidak
sadar, hal-hal berikut perlu diperhatikan, yaitu:
a. Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena ada keyakinan
bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang mengalami penurunan
penerimaan, rangsangan pada klien yang tidak sadar. Klien yang tidak sadar
seringkali dapat mendengar suara dari lingkungan walaupun klien tidak mampu
meresponnya sama sekali.
b. Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat.
Usahakan mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan memperhatikan
materi ucapan yang perawat sampaikan dekat klien.
c. Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien.
Sentuhan diyakini dapat menjadi salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif
pada klien dengan penurunan kesadaran.
d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu klien
fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.

PENGUMPULAN DATA PADA PASIEN DENGAN KASUS TERMINAL

Pengumpulan Data
Dalam melaksanakan pedoman pelayanan pasien tahap terminal (akhir kehidupan),
para petugas kesehatan seyogyanya memahami penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan
seseorang dalam kondisi terminal/mengancam hidup, problem yang dihadapi pasien tahap
terminal, faktor yang perlu dikaji pada pasien tahap terminal dan lain-lain.

Penyakit yang bisa menyebabkan seseorang dalam kondisi terminal (akhir kehidupan) :
1. Penyakit Kronis seperti : TBC, Pneumonia, Edema Pulmonal, sirosis hepatis, penyakit ginjal
kronik, gagal jantung, dan hipertensi.
2. Kondisi keganasan seperti Ca Otak, Ca Paru-paru, Ca Pankreas, Ca Liver, Leukimia.
3. Kelainan syaraf seperti paralise, Stroke, hydrocephalus dll
4. Keracunan seperti keracunan obat, makanan, zat kimia.
5. Kecelakaan /trauma seperti trauma kapitis, trauma organ vital (paru-paru atau jantung),
ginjal, dll\
Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup menjadi empat
fase, yaitu :
1. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit
2. Fase akut : berpusat pada kondisi kritis. Pasien dihadapkan pada serangkaian keputusasaan,
termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis
3. Fase kronis : pasien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya
4. Fase terminal : dalam kondisi ini kematian bukan lagi hanya kemungkinan, tetapi pasti
terjadi.
Gambaran Problem yang dihadapi pasien kondisi terminal
Pasien dalam kondisi terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis, maupun
sosial spiritual, antara lain :

 Problem oksigenisasi : respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheynes stokes,
sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : agitasi-gelisah, tekanan darah menurun,
hypoksia, akumulasi secret, nadi irregler.
 Problem Eliminasi : konstipasi, medikasi atau imobilisasi memperlambat peristaltic, kurang
diet serat dan asupan makanan juga mempengaruhi konstipasi, inkontinensia fekal bisa
terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (Ca Colon), retensi urin, inkontinensia
urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misal trauma medulla spinalis,
oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi penyakit misalnya gagal ginjal.
 Problem Nutrisi dan Cairan : asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic menurun,
distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan
membengkak, mual muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
 Problem Suhu : ekstremitas dingin, sehingga harus memakai selimut.
 Problem Sensori : penglihatan menjadi kabur, reflex berkedip hilang saat mendekati
kamatian, menyebabkan kekeringan pada kornea, pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun.
 Problem nyeri : ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra vena, pasien
harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kanyamanan.
 Problem Kulit dan Mobilitas : sering kali tirah baring lama menimbulakan masalah pada kulit
sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
 Masalah Psikologis : pasien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak respon
emosi, perasaan marah dan putus asa sering kali ditunjukan. Problem psikologis lain yang
muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu
lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi /
barrier komunikasi.
 Perubahan Sosial-Spiritual, pasien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi, akibat kondisi
terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi
peredaan terhadap penderitaan.
Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang
akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut akan perpisahan, dikucilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami
penderitaan sepanjang hidup.
Faktor-faktor yang perlu di kaji pada pasien tahap terminal, antara lain :

 Faktor Fisik
Pada kondisi terminal (akhir kehidupan) pasien dihadapkan pada berbagai
masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan,
pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri.
 Faktor Psikologis
Perubahan psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal.Pemberi
pelayanan harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus
bisa mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
 Faktor Sosial
Pemberi pelayanan harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi
terminal, karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung,
tidak ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.
 Faktor Spiritual
Pemberi pelayanan harus mengkaji bagaimana keyaninan pasien akan proses
ahkir hayat, bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin
mendekatkan diri kepada Tuhan atau apakah semakin berontak akan keadaannya.
Pemberi pelayanan juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien
mengharapkan kehadiran tokoh agama (rohaniawan) untuk menemani disaat-saat
terakhirnya.
PENGKAJIAN BIO, PSIKO, SOSIO, SPIRTUAL DAN KULTURAL

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien
(dewasa dan anak-anak) dan keluarga menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian  yang sempurna, dan
penatalaksanaan nyeri serta serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual.
(World Health Organization (WHO) 2017).  

Pengkajian Fisik
Pengkajian

 Identitas Klien :
Nama, Umur, No Reg, Ruang, Agama, Pekerjaan, Alamat, Suku Bangsa, Pendidikan,
MR, DX Medis
 Keluhan Utama :
o Saat MRS : keluhan yang dirasakan oleh klien, sehingga menjadi alasanklien
dibawa kerumah sakit
o Saat pengkajian : Klien mengatakan keluhan yang dirasakan oleh klien\
o Riwayat Penyakit Sekarang : Kronologis dari penyakit yang diderita saat ini
hingga dibawa kerumah sakit secara lengkap dengan menggunakan rumus
PQRST
o Riwayat Penyakit Dahulu : Penyakit apa saja yang pernah dialami oleh klien, baik
yang ada hubungannya dengan penyakit yang diderita sekarang atau yang tidak
ada hubungannya dengan penyakit yang diderita saat ini, riwayat operasi atau
riwayat alergi.
o Riwayat Kesehatan Keluarga : Apakah ada keluarga yang menderita penyakit
yang sama.
Pengkajian Psikologis
Pada tahap ini perawat melakukan pengkajian untuk menilai status psikiologis pasien dan
keluarga dengan cara :
o Mengukur
o Mendokumentasikan
o Mengelola kecemasan dan gejala psikologis lainnya seperti depresi, Rasa takut, hilang
akal, frustasi, rasa sedih, kaget, goncangan batin Merasa bersalah, marah, dan tidak
berdaya.
Pengkajian Sosial
Pada tahap ini perawat mengkaji :
o Nama lengkap
o Nama panggilan
o Umur
o Tempat tanggal lahir
o Jenis kelamin
o Status
o Tipe keluarga
o Pengambilan  dalam keluarga dan hubungan klien klien dengan kepala keluarga

Pengkajian Spiritual
• Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan data subyektif dan obyektif
• Spiritual sangat bersifat subyektif, ini berarti spiritual berbeda untuk individu yang
berbeda pula (Mcsherry dan ross, 2002)
Pada dasarnya informasi awal yang perlu digali adalah :
 Alifiasi nilai
• Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau tidak
• Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
• Keyakinan agama dan spiritual
• Praktik kesehatan : diet,  mencari dan menerima ritual atau upacara agama
• Strategi koping
Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi:
• Tujuan dan arti hidup
• Tujuan dan arti kematian
• Kesehatan dan arti pemeliharaan
• Hubungan dengan  Tuhan, diri sendiri dan orang lain
Pengkajian Kultural
Perawat perlu mengkaji:

 Persepsi sehat sakit


 Kebiasaan berobat dan mengatasi masalah kesehatan
 Alasan mencari bantuan kesehatan
 Alasan klien memilih pengobatan alternative
 Persepsi klien tentang penggunaan dan pemnfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan.
TINJAUAN AGAMA TENTANG PERAWATAN PALIATIF
Definisi Spiritual Care
Spiritual care adalah praktek dan prosedur keperawatan yang dilakukan perawat untuk
memenuhi kebutuhan spiritual pasien berdasarkan nilai-nilai keperawatan spiritual yang berfokus
pada menghormati pasien, interaksi yang ramah dan simpatik, mendengar dengan penuh
perhatian, memberi kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan kebutuhan pasien,
memberikan kekuatan pada pasien dan memberdayakan mereka terkait dengan penyakitnya, dan
tidak mempromosikan agama atau praktek untuk meyakinkan pasien tentang agamanya.

Karakteristik Spiritual
 Hubungan dengan diri sendiri
 Hubungan dengan orang lain Hubungan dengan alam
 Hubungan dengan sang pencipta

Peran Spiritual Dalam Pealiative Care


 Sbg pencegahan penyakit
 Sbg mekanisme koping
 Sbgi kekuatan dan dukungan
 Sbg hiburan dalam ketekunan beragama
 Meningkatkan perasaan optimis dan kesan positif
 Meningkatkan imunitas shg mempercepat penyembuhan (healing)

Faktor Yang Mempengaruhi Spiritualitas


 Tahap perkembangan
 Keluarga
 Budaya
 Agama
 Pengalaman hidup
 Krisis dan perubahan
 Terpisah dari ikatan spiritual
 Isu moral terkait dengan terapi
 Askep yg tidak sesuai

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perawat Dalam Pemberian Kebutuhan Spiritual


• Ketidakmampuan Perawat Untuk Berkomunikasi
• Ambigu
• Kurangnya Pengetahuan Tentang Spiritual Care
• Hal Yang Bersifat Pribadi
• Takut Melakukan Kesalahan
• Organisasi Dan Manajemen
• Hambatan Ekonomi
• Gender
• Pengalaman Kerja

Peran Perawat Dalam Spiritual Care Sama hal nya dengan diagnose keperawatan yg lain ,
perawat berperan dalam proses keperawatan dalam spiritual :
• Pengkajian
• Diagnosa Keperawatan
• Intervensi
• Implementasi
• Evaluasi

Masalah Spiritual (Distress Spiritual)


• Distres spiritual merupakan suatu keadaan yang terjadi karena adanya diagnosa penyakit
kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta ketidakmampuan
pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara
mandiri.
• Etiologi dari masalah Distress Spiritual diantaranya spiritual pain , pengasingan diri
(spiritual alienation), kecemasan (spiritual anxiety), rasa bersalah (spiritual guilt), marah
(spiritual anger), kehilangan (spiritual loss) dan putus asa (spiritual despair).

Asuhan Keperawatan Distress Spiritual


1. Pengkajian
2. Diagnosa Keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
 Mengkaji adanya indikasi ketaatan pasien dalam beragama
 Menggunakan pendekatan yang menenangkan pasien
 Mendengarkan kehidupan spiritual pasien
 Menjelaskan pentingnya hubungan dengan tuhan
 Menganjurkan pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
4. Implementasi Keperawatan
5. Evaluasi

TINJAUAN SOSIAL DAN BUDAYA TENTANG PERAWATAN PALIATIF


Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang
mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan
dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang
tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan
kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan
bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.
Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh
sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakat, karena
kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat.

Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan faktor di luar
perilaku (nonbehaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga factor, yaitu :
• Faktor Predisposisi ( predisposing factors), yang terwujud dalam  pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya
• Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau
tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas,
obat-obatan, air  bersih dan sebagainya
• Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.

Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah  pandangan suatu masyarakat
terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan sangat
dipengaruhi oleh  budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat
tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib
sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau diare berarti
pertanda bahwa  bayi tersebut akan pintar berjalan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa social  budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu
individu maupun kelompok. Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat
beragam dan sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali
berupa kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan
tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan kebudayaan yang
inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda hasil karya manusia.

Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif


Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah perilaku
kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah tertanam
dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk
merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan.
Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan
pengetahuan yang memadai mengenai budaya Diharapkan makalah ini dapat menambah
pengetahuan mahasiswa dalam mengikuti proses pembelajaran dan dapat meningkatkan
pelayanan perawatan pasien paliatif dalam tinjauan sosial budaya. Sebagai petugas kesehatan
perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Dengan mengetahui pengetahuan
masyarakat, maka  petugas kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah
dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL ILLNES (PALIATIVE CARE)
Definisi Terminal Illness
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 Palliative home care adalah pelayanan
perawatan paliatif yang dilakukan di rumah pasien, oleh tenaga paliatif dan atau keluarga atas
bimbingan/ pengawasan tenaga  paliatif. Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit
stadium terminal yang tidak dapat dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus
dilakukan di rumah sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat
memberikan pelayaan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di
rumah  pasien sendiri.
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 Sarana (fasilitas) kesehatan adalah
tempat yang menyediakan layanan kesehatan secara medis bagi masyarakat. Kompeten adalah
keadaan kesehatan mental pasien sedemikian rupa sehingga mampu menerima dan memahami
informasi yang diperlukan dan mampu membuat keputusan secara rasional berdasarkan
informasi tersebut (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007). Penyakit terminal merupakan
penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju ke arah kematian. Contohnya seperti penyakit
jantung,dan kanker atau penyakit terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak
ada lagi obat-obatan, tim medis sudah give up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas
tadi penyakit terminal ini mengarah kearah kematian. (White, 2002). Menjelang ajal adalah
bagian dari kehidupan, yang merupakan proses menuju akhir.
Pengertian sakit gawat adalah suatu keadaan sakit, yang klien lanjut usia tidak dapat lagi
atau tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Pengertian kematian/ mati adalah apa bila seseorang
tidak lagi teraba denyut nadinya, tudak bernafas selama beberapa menit, dan tidak menunjukkan
4  beberapa reflek, serta tidak ada kegiatan otak. Ada beberapa penyebab kematian, antara lain

 Penyakit Keganasan (karsinoma hati, paru, mammae)


 Penyakit kronis, misalnya :
1. CVD (cerebrovascular diseases)
2. CRF (chronic renal failure (gagal ginjal))
3. Diabetes militus (ganggua)
4. MCI (myocard infarct (gangguan kardiovaskuler) )
5. COPD (chronic obstruction pulmonary diseases)
 Kecelakaan (hematoma epidural)
Tujuan utama perawatan ini adalah untuk :
1. Mempertahankan pasien nyaman dan bebas nyeri
2. Membuat hari-hari akhir pasien sebaik mungkin untuk pasien maupun
keluarga,dengan sedikit mungkin penderitaan
3. Membantu pasien meninggal dengan damai
4. Memberikan kenyamanan bagi keluarga
5. Perawatan terminal ditujukan bagi pasien-pasien sekarat, yang semakin
mendekati ajal atau kematian, yang secara logis tidak akan sembuh.

Tanda Klien Menjelang Kematian

 Gerakan dan pengindraan menghilang secara berangsur-angsur. Biasanya dimulai


pada anggota badan, khususnya kaki dan ujung kaki.
 Gerak peristaltic usus menurun.
 Tubuh klien lanjut usia tampak menggembung
 Badan dingin dan lembap, terutama pada kaki, tangan, dan ujung hidungnya.
 Kulit tampak pucat, berwarna kebiruan / kelabu.
 Denyut nadi mulai tidak teratur.
 Nafas mendengkur berbunyi keras (stidor) yang disebabkan oleh adanya lender
pada saluran pernafasan yang tidak dapat dikeluarkan oleh klien lanjut usia.
 Tekanan darah menurun.
 Terjadi gangguan kesadaran (ingatan menjadi kabur).

Tahap  –  Tahap Kematian & Pertimbangan Khusus dalam perawatan Menurut Yosep iyus
(2007, 175) tahap- tahap kematian dapat dibagi menjadi 5 :
1. Denial and isolation (menolak dan mengisolasi diri) .
Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Biasanya sikap itu ditandai
dengan komentar, selama tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan
bahwa mau menimpa semua orang, kecuali dirinya. Klien lanjut usia biasanya
terpengaruh oleh sikap penolakannya sehingga ia tidak memperhatikan fakta yang
mungkin sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Ia bahkan telah menekan apa
yang telah ia dengar atau mungkin akan meminta pertolongan dari berbagai
macam sumber professional dan nonprofessional dalam upaya melarikan diri dari
kenyataan bahwa mau sudah ada di ambang pintu. Mengenal atau mengetahuai
proses bahwa ini umumnya terjadi karena menyadari akan datangnya kematian
atau ancaman maut
 Beri kesempatan kepada klien lan jut usia untuk mempergunakan caranya
sendiri dalam menghadapi kematian sejauh tidak merusak.
 Memfasilitasi klien lanjut usiadalam menghadapi kematian. Luangkan
waktu 10 menit sehari, baik dengan bercakap-cakap atau sekedar
bersamanya.
2. Anger ( marah)
Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali. Sering
kali klien lanjut usia akan mencela setiap orang dalam segala hal. Ia mudah marah
terhadap perawat dan petugas kesehatan lainnya tentang apa yang telah mereka
lakukan.pada tahap ini, klien lanjut usia lebih mengaggap hal ini merupakan
hikmah, daripada kutukan.
Disiapkan sesuai agama dan kepercayaan. Pasien didampingi oleh
keluarga dan petugas. Usahakan pasien dalam keadaan bersih dan suasana
tenang.Keluarga pasien diberitahu secara bijaksana. Memberi penjelasan kepada
keluarga tentang keadaan pasien. Berikan  bantuan kepada keluarga klien untuk
kelancaran pelaksanaan upacara keagamaan.
Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan
pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien
bukan hanya pada penyakit dan aspek pengobatan dan penyembuhan saja akan
tetapi juga aspek psikososial lainnya.Salah satu metode untuk membantu  perawat
dalam mengkaji data psikososial pada klien terminal yaitu dengan menggunakan
metode “PERSON”.
a. MetodePerson
1. P: Personal Strenghat Yaitu: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui
gaya hidup, kegiatannya atau pekerjaan.
Contoh yang positif: Bekerja ditempat yang menyenangkan
bertanggung jawab penuh dan nyaman, Bekerja dengan siapa saja
dalam kegiatan sehari-hari.
Contoh yang negatif: Kecewa dalam pengalaman hidup.
2. E: Emotional Reaction Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan
dengan klien. Contoh yang positif: Binggung tetapi mampu
memfokuskan keadaan.
3. Contoh yang negatif: Tidak berespon (menarik diri)
4. R: Respon to Stres Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau
dimasa lalu.
Contoh yang positif :
 Memahami masalah secara langsung dan mencari informasi.
 Menggunakan perasaannya dengan sehat misalnya : latihan dan
olah raga.
Contoh yang negatif :
 Menyangkal masalah
 Pemakaian alkohol
5. S: Support System Yaitu: keluarga atau orang lain yang berarti.
Contoh yang positif :
 Keluarga
 Lembaga di masyarakat

Contoh yang negatif : Tidak mempunyai keluarga


6. O: Optimum Health Goal Yaitu: alasan untuk menjadi lebih baik
(motivasi) Contoh yang positif :
 Menjadi orang tua
 Melihat hidup sebagai pengalaman positif

Contoh yang negatif :

 Pandangan hidup sebagai masalah yang terkuat


 Tidak mungkin mendapatkan yang terbaik.
7. N : Nexsus Yaitu: bagian dari bahasa tubuh mengontrol seseorang
mempunyai  penyakit atau mempunyai gejala yang serius.
Contoh yang positif :
 Melibatkan diri dalam perawatan dan pengobatan

Contoh yang negatif :

 Tidak berusaha melibatkan diri dalam perawatan


 Menunda keputusan.
b. Tanda Vital
Perubahan fungsi tubuh sering kali tercermin pada suhu badan, denyut nadi ,
pernapasan dan tekanan darah. Mekanisme fisiologi yang mengaturnya
berkaitan satu sama lain. Setiap perubahan fungsi yang  berlainan dengan
keadaan yang norml dianggap sebagai indikasi yang  penting untuk mengenali
keadaan kesehatan seseorang.
c. Tingkat Kesadaran
Komposmentis : Sadar sempurna

PERAN DAN FUNGSI KELUARGA DALAM PERAWATAN PALIATIF


Keluarga di dalam keperawatan palliatif memiliki peran yang terlibat langsung. Mereka
selama mendampingi pasien juga mengalami stress dan perubahan peran yang dapat secara
langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kesakitan pasien. Keluarga juga akan
mengalami proses berduka baik sebelum atau sesudah kematian pasien. Sehingga dalam hal ini
keluarga benar-benar memiliki peran penting sebagai salah satu sistem dukungan untuk pasien
palliatif. Di keperawatan palliatif seorang perawat melayani pasien dan keluarga sebagai satu
unit. Dan perawat memperluas pelayanan keperawatanya untuk menangani proses berduka yang
dialami oleh keluarga. anggota keluarga yang lain berfungsi sebagai asisten perawat (care giver)
yang tidak formal.
Saat pasien berada pada situasi dimana dia tidak bisa berkomunikasi atau bercakap-cakap
maka keluarga bisa berperan sebagai wakil untuk menjelaskan kondisi pasien atau membuat
keputusan medis. Tugas dari keluarga sebagai care giver informal memiliki banyak potensi tugas
untuk selama perawatan pasien. Keluarga akan memberikan perawatan secara langsung kepada
psien seperti misalnya: pemberian obat, perawatan luka, membantu ke toilet , memandikan,
menyiapkan makanan, membantu mobilitas dan memberikan dukungna emosional. perawatan
paliatif agak istilah baru bagi banyak ketika datang ke akhir perawatan hidup. Ini merupakan
suatu pendekatan untuk kesehatan yang mengkhususkan diri dalam relief penderitaan dan
mencapai kualitas hidup terbaik bagi orang-orang dengan penyakit lanjutan. Ketika kami
mendekati akhir kehidupan kita mencari bantuan dari rasa sakit, rasa kontrol, untuk meringankan
beban keluarga dan untuk memperkuat hubungan dengan orang yang dicintai.
Perawatan paliatif melibatkan orang dengan penyakit lanjutan, anggota keluarga mereka,
di samping untuk dokter, perawat, pendeta, apoteker dan disiplin lain yang sesuai dalam
pertemuan kelompok. Tujuannya adalah untuk melibatkan keluarga dalam diskusi tentang
keinginan pasien. Ini mungkin termasuk terapi memperpanjang hidup atau kenyamanan tindakan
yang mungkin termasuk perawatan rumah perawatan. Hari ini, karena sebagian besar individu
yang paling tidak nyaman mendiskusikan langkah-langkah akhir hidup, banyak orang mencari
terapi memperpanjang hidup dan kemudian meninggal ketika semua pilihan telah habis.
Ada sedikit pertimbangan diberikan untuk pilihan lain seperti perawatan paliatif. Dalam
bagian ini adalah karena perawatan paliatif adalah suatu konsep yang relatif baru. Dalam bagian
ini adalah karena keluarga dan orang dengan penyakit lanjutan tidak ingin dilihat sebagai
menyerah. Bagi mereka di bidang kesehatan yang berpartisipasi dalam diskusi perawatan paliatif
setiap hari, diskusi dengan anggota keluarga merupakan keputusan yang jelas. Bagi keluarga
yang menghadapi kesempatan ini sekali atau dua kali dalam seumur hidup sulit dan bahkan
memilukan hati. Buka komunikasi memungkinkan keluarga menjadi lebih banyak informasi
tentang pilihan bagi orang-orang dengan penyakit lanjutan. Tujuh puluh persen dari rumah sakit,
dengan 250 tempat tidur atau lebih besar. menawarkan program perawatan paliatif.
Anggota keluarga dan individu harus mengambil keuntungan dari manfaat pendidikan
penting untuk membuat keputusan yang terbaik untuk diri sendiri atau anggota keluarga.Faktor
rumit juga bahwa individu-individu dan keluarga ragu untuk mendiskusikan perawatan akhir
hidup karena mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan atau bagaimana untuk membahas
subjek. Personil perawatan paliatif dirumah sakit berfungsi sebagai perantara dengan
memperkenalkan informasi mengenai perawatan paliatif dan proses untuk anggota keluarga.
Seringkali, hanya mempunyai seseorang untuk diajak bicara yang telah melalui pengalaman juga
sangat membantu. Banyak anggota keluarga sering lega untuk mendapatkan dukungan dari para
profesional yang dapat membimbing mereka untuk membuat keputusan yang terbaik. Perawatan
paliatif yang benar-benar sebuah proses yang dapat mendukung individu dan keluarga melalui
perairan belum dipetakan akhir perawatan hidup dan keputusan.
MANAJEMEN NYERI
Rasa nyeri adalah cara tubuh memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Idealnya, rasa nyeri hilang setelah penyakit membaik atau mengonsumsi obat. Terlebih, dengan
majunya manajemen nyeri, tak ada lagi alasan untuk siapapun merasakan nyeri berlebihan.
Manajemen nyeri dilakukan untuk memastikan pasien terhindar dari rasa sakit yang tak dapat
ditoleransi akibat penyakit tertentu. Dengan manajemen nyeri yang tepat, proses penyembuhan
akan jadi lebih cepat dan pasien pun bisa kembali menjalankan aktivitasnya.
Tujuan manajemen nyeri
Manajemen nyeri akan diberikan ketika seorang pasien merasakan sakit yang signifikan
atau berkepanjangan. Tim medis akan melakukan evaluasi, rehabilitasi, dan menolong pasien
yang merasakan nyeri. Idealnya, manajemen nyeri dilakukan menyesuaikan dengan kondisi
pasien. Namun terkadang, pengaplikasiannya terhambat sumber daya yang dimiliki rumah
sakit. Tujuan adanya manajemen nyeri adalah:

 Mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien


 Meningkatkan fungsi bagian tubuh yang sakit
 Meningkatkan kualitas hidup
Ketiga tujuan manajemen nyeri ini berjalan berkesinambungan dan saling berkaitan erat.
Adanya inovasi dan teknologi di bidang medis juga membantu penerapan manajemen medis
yang semakin maju. 
Prosedur manajemen nyeri
Berbeda kondisi pasien, berbeda pula manajemen nyeri yang diterapkan. Prosedur
sebelum dilakukan manajemen nyeri adalah:

 Evaluasi
 Tes diagnostik untuk menentukan penyebab utama nyeri
 Rujukan untuk operasi (bergantung pada hasil tes dan evaluasi)
 Intervensi seperti pemberian suntik atau stimulasi saraf tulang belakang
 Terapi fisik untuk meningkatkan kekuatan tubuh
 Jika diperlukan, ada psikiater untuk mengatasi masalah kecemasan, depresi, atau
keluhan mental lain yang dialami saat menderita nyeri kronis
 Pengobatan komplementer

Tentu tidak sembarang pasien bisa mendapatkan manajemen nyeri. Selain harus melewati
serangkaian prosedur di atas, ada kategori yang bisa diringankan dengan manajemen nyeri
seperti :
1. Nyeri akut
Jenis nyeri yang terjadi tiba-tiba dan hanya berlangsung singkat dan sesekali.
Biasanya, nyeri akut terjadi karena patah tulang , kecelakaan, terjatuh, luka bakar,
persalinan, dan operasi.
2. Nyeri kronis
Nyeri kronis terjadi selama lebih dari 6 bulan dan dirasakan hampir setiap hari.
Biasanya, nyeri kronis diawali dengan nyeri akut namun tidak hilang meskipun cedera
atau penyakit telah sembuh.Biasanya, nyeri kronis terjadi karena nyeri tulang belakang ,
kanker, diabetes, sakit kepala, atau masalah pada sirkulasi darah. Nyeri kronis  bisa
berpengaruh terhadap kehidupan seseorang karena membuatnya sulit melakukan aktivitas
fisik. Itulah mengapa bisa menyebabkan depresi atau isolasi sosial.

3. Nyeri yang terjadi tiba-tiba (breakthrough pain)

Breakthrough pain adalah nyeri dengan rasa ditusuk-tusuk yang terjadi dengan
cepat. Biasanya, nyeri ini terjadi pada pasien yang sudah mengonsumsi obat untuk
mengatasi nyeri kronis akibat kanker atau arthritis.Breakthrough pain bisa terjadi saat
seseorang melakukan aktivitas sosial, batuk, atau stres. Lokasi terjadinya nyeri kerap
terjadi di titik yang sama.

4. Nyeri tulang
Ciri-cirinya adalah rasa nyeri dan ngilu di satu tulang atau lebih dan muncul saat
berolahraga atau beristirahat. Pemicunya bisa karena kanker, patah tulang, hingga
osteoporosis.

5. Nyeri saraf

Nyeri saraf terjadi karena ada peradangan saraf. Sensasinya seperti ditusuk-tusuk
dan terbakar. Bahkan banyak penderitanya yang menjelaskan sensasinya seperti tersetrum
dan jadi kian parah di malam hari.

6. Nyeri seperti ditusuk, kram, atau terbakar (phantom pain)

Phantom pain terasa seperti datang dari bagian tubuh yang tidak lagi ada di
tempatnya. Biasanya, orang yang menjalani amputasi kerap merasakannya. Phantom pain
bisa mereda seiring dengan berjalannya waktu.

7. Nyeri jaringan lunak

Terjadi karena ada peradangan jaringan, otot, atau ligamen. Biasanya


berhubungan dengan cedera saat olahraga, nyeri tulang belakang, hingga masalah saraf
sciatica.

8. Nyeri alih pada bagian tubuh tertentu 

Nyeri alih terasa seperti datang dari titik tertentu namun sebenarnya merupakan
dampak dari cedera atau peradangan di organ lain atau lokasi lain. Contohnya masalah di
pankreas akan menyebabkan rasa nyeri di perut bagian atas hingga punggung.Jenis
manajemen nyeri akan disesuaikan dengan rasa nyeri yang dirasakan pasien, dengan jenis
penanganan yaitu:

 Suntikan kortikosteroid epidural


 Blok saraf simpatik
 Stimulasi saraf tulang belakang
 Penghisapan cairan dari sendi
 Kompres es batu atau kompres hangat 
 Aktivitas fisik berkala
 Pendampingan psikologis atau relaksasi (meditasi)

Risiko
Pada beberapa pasien, manajemen nyeri juga dapat menimbulkan risiko atau efek
samping. Namun hal ini bisa berbeda-beda bergantung pada penyakit yang dialami serta metode
manajemen nyeri yang diberikan.Beberapa risiko yang umum terjadi akibat manajemen nyeri
adalah:

 Konstipasi
 Mual
 Merasa mengantuk
 Disorientasi dan bingung
 Pernapasan menjadi lebih lambat
 Mulut terasa kering
 Gatal-gatal 
 Detak jantung tidak normal

Setiap efek samping yang dirasakan pasien harus disampaikan kepada dokter, sebagai
bahan evaluasi tentang prosedur manajemen nyeri yang diberikan. Tak kalah penting,
manajemen nyeri bukan hanya berkisar pada rasa sakit fisik saja. Munculnya masalah mental
seperti depresi, cemas berlebih, atau kecenderungan menarik diri dari masyarakat juga perlu
dikelola dengan baik lewat pendampingan ahli.

TERAPI KOMPLEMENTER DALAM MENGATASI NYERI


Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam
pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan
modern (Andrews et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas
yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001).
Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini
didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah
keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi
(Smith et al., 2004).
Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai sebuah domain
luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dan
ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang
umum di masyarakat atau budaya yang ada (Complementary and alternative medicine/CAM
Research Methodology Conference, 1997 dalam Snyder & Lindquis, 2002). Terapi
komplementer dan alternatif termasuk didalamnya seluruh praktik dan ide yang didefinisikan
oleh pengguna sebagai pencegahan atau pengobatan penyakit atau promosi kesehatan dan
kesejahteraan.
Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi
tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan
individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut
ada yang telah lulus uji klinis sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai
dengan prinsip keperawatan yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio,
psiko, sosial, dan spiritual). Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu didukung kemampuan
perawat dalam menguasai berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi komplementer.
Penerapan terapi komplementer pada keperawatan perlu mengacu kembali pada teori-teori yang
mendasari praktik keperawatan. Misalnya teori Rogers yang memandang manusia sebagai sistem
terbuka, kompleks, mempunyai berbagai dimensi dan energi. Teori ini dapat mengembangkan
pengobatan tradisional yang menggunakan energi misalnya tai chi, chikung, dan reiki.
Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam mengembangkan
terapi komplementer misalnya teori transkultural yang dalam praktiknya mengaitkan ilmu
fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini didukung dalam catatan keperawatan
Florence Nightingale yang telah menekankan pentingnya mengembangkan lingkungan untuk
penyembuhan dan pentingnya terapi seperti musik dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi
komplementer meningkatkan kesempatan perawat dalam menunjukkan caring pada klien
(Snyder & Lindquis, 2002). Hasil penelitian terapi komplementer yang dilakukan belum banyak
dan tidak dijelaskan dilakukan oleh perawat atau bukan.
Beberapa yang berhasil dibuktikan secara ilmiah misalnya terapi sentuhan untuk
meningkatkan relaksasi, menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan, mempercepat penyembuhan
luka, dan memberi kontribusi positif pada perubahan psikoimunologik (Hitchcock et al., 1999).
Terapi pijat (massage) pada bayi yang lahir kurang bulan dapat meningkatkan berat badan,
memperpendek hari rawat, dan meningkatkan respons. Sedangkan terapi pijat pada anak autis
meningkatkan perhatian dan belajar. Terapi pijat juga dapat meningkatkan pola makan,
meningkatkan citra tubuh, dan menurunkan kecemasan pada anak susah makan (Stanhope,
2004).
Terapi kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid dan level plasma prostaglandin
selama haid (Fontaine, 2005). Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya penggunaan aromaterapi.
Salah satu aromaterapi berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi infeksi
bakteri dan jamur (Buckle, 2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh bakteri
streptokokus, stafilokokus dan tuberkulosis (Smith et al., 2004). Tanaman lavender dapat
mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat membersihkan jerawat dan membatasi
kekambuhan (Key, 2008). Dr. Carl menemukan bahwa penderita kanker lebih cepat sembuh dan
berkurang rasa nyerinya dengan meditasi dan imagery (Smith et al., 2004).
Hasil riset juga menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai oksigen, perubahan
vaskular dan termal, mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, dan mengurangi kecemasan
(Fontaine, 2005). Hasil-hasil tersebut menyatakan terapi komplementer sebagai suatu paradigma
baru (Smith et al., 2004). Bentuk terapi yang digunakan dalam terapi komplementer ini beragam
sehingga disebut juga dengan terapi holistik. Terminologi kesehatan holistik mengacu pada
integrasi secara menyeluruh dan mempengaruhi kesehatan, perilaku positif, memiliki tujuan
hidup, dan pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999). Terapi komplementer dengan
demikian dapat diterapkan dalam berbagai level pencegahan penyakit.
Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan, pencegahan penyakit ataupun
rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki gaya hidup dengan menggunakan
terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur
akan meningkatkan kesehatan tubuh. Intervensi komplementer ini berkembang di tingkat
pencegahan primer, sekunder, tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu maupun kelompok
misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan kreatif (Hitchcock et al., 1999).
Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai manfaat selain dapat
meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga lebih murah. Terapi komplementer
terutama akan dirasakan lebih murah bila klien dengan penyakit kronis yang harus rutin
mengeluarkan dana. Pengalaman klien yang awalnya menggunakan terapi modern menunjukkan
bahwa biaya membeli obat berkurang 200-300 dolar dalam beberapa bulan setelah menggunakan
terapi komplementer (Nezabudkin, 2007). Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi
komplementer ataupun yang masih tradisional mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya pengunjung praktik terapi komplementer dan tradisional di berbagai tempat. Selain
itu, sekolah-sekolah khusus ataupun kursuskursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat
dibandingkan dengan Cina yang telah memasukkan terapi tradisional Cina atau traditional
Chinese
Medicine (TCM) ke dalam perguruan tinggi di negara tersebut (Snyder & Lindquis,
2002). Kebutuhan perawat dalam meningkatnya kemampuan perawat untuk praktik keperawatan
juga semakin meningkat. Hal ini didasari dari berkembangnya kesempatan praktik mandiri.
Apabila perawat mempunyai kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan akan
meningkatkan hasil yang lebih baik dalam pelayanan keperawatan.
Macam Terapi Komplementer
Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi komplementer
invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang menggunakan jarum dalam
pengobatannya. Sedangkan jenis non-invasif seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana,
terapi suara), terapi biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin,
hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing, dan
terapi lainnya (Hitchcock et al., 1999) National Center for Complementary/ Alternative Medicine
(NCCAM) membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima kategori.
Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi dengan berbagai
teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh
misalnya perumpamaan (imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor,
tai chi, dan terapi seni. Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan
kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya
pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika, cundarismo, homeopathy,
naturopathy. Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis, yaitu natural dan
praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan).
Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini didasari oleh
manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing,
terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir, terapi energi yaitu terapi yang fokusnya
berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya
terapetik sentuhan, pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet. Klasifikasi kategori
kelima ini biasanya dijadikan satu kategori berupa kombinasi antara biofield dan
bioelektromagnetik (Snyder & Lindquis, 2002). Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004)
meliputi gaya hidup (pengobatan holistik, nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi);
manipulatif (kiropraktik, akupresur & akupunktur, refleksi, massage); mind-body (meditasi,
guided imagery, biofeedback, color healing, hipnoterapi). Jenis terapi komplementer yang
diberikan sesuai dengan indikasi yang dibutuhkan.
Contohnya pada terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya seperti meningkatkan
relaksasi, mengubah persepsi nyeri, menurunkan kecemasan, mempercepat penyembuhan, dan
meningkatkan kenyamanan dalam proses kematian (Hitchcock et al., 1999). Jenis terapi
komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu mengetahui pentingnya terapi
komplementer. Perawat perlu mengetahui terapi komplementer diantaranya untuk membantu
mengkaji riwayat kesehatan dan kondisi klien, menjawab pertanyaan dasar tentang terapi
komplementer dan merujuk klien untuk mendapatkan informasi yang reliabel, memberi rujukan
terapis yang kompeten, ataupun memberi sejumlah terapi komplementer (Snyder & Lindquis,
2002). Selain itu, perawat juga harus membuka diri untuk perubahan dalam mencapai tujuan
perawatan integratif (Fontaine, 2005).
TEKNIK MENYAMPAIKAN BERITA BURUK
Definisi
Komunikasi Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan  perubahan verbal
dan nonverbal dari informasi dan ide. Komunikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga pada
perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan. Kebisuan juga merupakan
sebuah makna komunikasi. Misalnya seorang perawat yang yang menyimak kesedihan seorang
suami yang ditinggal mati istrinya.Komunikasi menyampaikan informasi , dan merupakan suatu
aksi saling berbagi. Komunikasi adalah sebuah faktor yang paling penting, yang digunakan untuk
menetapkan hubungan terapeutik antara perawat dan klien. (Suryani., 2006).
Berita Buruk
Berita buruk adalah sebuah berita yang kurang menyenangkan untuk didengar, dan
mungkin juga dapat merubah sikap seseorang yang mendapatkan berita tersebut. Berita buruk
dapat juga diartikan sebagai suatu situasi di mana tidak ada lagi, adanya ancaman terhadap
kesejahteraan fisik seseorang, sesuatu yang menuntut perubahan gaya hidup yang sudah menjadi
kebiasaan , ataupun sesuatu yang membuat seseorang memiliki lebih sedikit pilihan di dalam
hidupnya. (Sugiharto, 2011) Berita buruk ini seringkali juga diasosiasikan dengan penyakit-
penyakit terminal yang sudah tidak mungkin lagi disembuhkan.
Hal Yang Dianggap Penting Dalam Penyampaian Berita Buruk
a. Isi
Yang dimaksud disini adalah apa yang di bicarakan, dan seberapa  banyak
informasi atau keterangan yang diberikan oeh perawat. Item ini sangat berhubungan
dengan anggapan/kepercayaan pasien terhadap kompetensi perawat memahami kondisi
dan perkembangan penyakit  pasien.
b. Support
Aspek supportif dalam komunikasi seorang perawat, dalamhal ini komunikasi
yang dimaksud adalah kemampuan perawat dalam mempraktikkan komunikasi teraputik
serta mampu memberikan dukungan tidak hanya pada pasien namun juga keluarganya .
Aspek penting dalam memberikan support adalah dengan mendengarkan pasien, serta
memberikan jawaban atas pertanyaan yang di ajukan oleh pasien.
c. Fasilitas
Fasilitas disini adalah kapan dan dimana informasi akan diberikan. Umumnya
dalam penyampaian berita buruk, fasilitasilah pasien dengan ruang yang terjaga privacy
nya, lingkungan yang bersih serta nyaman bagi pasien.
d. Cara Penyampaian dalam Berkomunikasi dengan Pasien
Perawat harus memberi informasi dengan singkat, jelas dan juga jujur sehingga
dapat dimengerti serta infomasi yang ingin perawat sampaikan dapat diterima dengan
baik oleh pasien. Perlu juga memperhatikan intonasi yang lembut,mendengarkan pasien,
memberikan support dan meyakinkan  pasien dalam menjalani terapi.

Teknik Menyampaikan Berita Buruk


Penelitian pada anggota keluarga pasien yang selamat dari kematian yang traumatik
menunjukkan, bahwa hal terpenting dari penyampaian  berita buruk adalah attitude (sikap dan
perilaku) penyampai berita, informasi yang jelas, privasi dan kemampuan penyampai berita
menjawab  pertanyaan. Terdapat enam langkah dalam menyampaikan berita buruk :
1. Melakukan persiapan
a. Persiapkan diri dengan informasi klinis yang relevan dengan berita yang akan
disampaikan. Idealnya data rekam medis pasien, hasil laboratorium atau pun
pemeriksaan penunjang ada saat percakapan. Persiapkan juga pengetahuan
dasar tentang prognosis atau pun terapi pilihan terkait penyakit pasien.
b. Aturlah waktu yang memadai dengan lokasi yang privat dan nyaman. Pastikan
bahwa selama percakapan tidak ada gangguan dari staf medis lain atau pun
dering telepon.
c. Jika memungkinkan, sebaiknya ada anggota keluarga yang hadir. Perkenalkan
diri pada setiap yang hadir dan tanyakan nama dan hubungan mereka dengan
pasien.
d. Latihlah mental dan emosi untuk menyampaikan berita buruk.
Tulislah kata-kata spesifik jika perlu, yang akan disampaikan atau yang harus
dihindari dalam penyampaian.
2. Menanyakan Apa yang Pasien Tahu Tentang Penyakitnya
Mulailah diskusi dengan menanyakanapakah pasien tahu bahwa dirinya sakit
parah, atau apakah pasien mempunyai pengetahuan tentang penyakitnya tersebut. Hal
ini bertujuan untuk menjaga apakah  pasien atau keluarganya dapat memahami berita
buruk yang akan disampaikan. Contoh pertanyaan yang dapat diajukan :
a. Apa yang Anda ketahui tentang sakit Anda ?
b. Bagaimana Anda menggambarkan kondisi kesehatan Anda saat ini?
c. Apakah Anda khawatir mengenai sakit atau kondisi Anda ?
d. Apakah petugas medis Anda sebelumnya mengatakan apa  penyakit
Anda? Atau menyarankan Anda melakukan suatu  pemeriksaan?
e. Dengan gejala2 yang ada, menurut Anda penyakit apa yang mungkin
terjadi ?
f. Apakah menurut Anda ada hal serius ketika berat badan Anda turun
drastis ?
3. Menanyakan Seberapa Besar Keingin Tahuan Pasien Tentang Penyakitnya
Tahap selanjutnya adalah mencari tahu seberapa besar keinginan tahu  pasien,
orang tua (jika pasien anak) atau keluarga. Penerimaan informasi setiap orang dapat
berbeda tergantung suku, agama, ras, sosial dan budaya masing-masing. Setiap orang
mempunyai hak untuk menolak atau menerima informasi lebih lanjut. Jika pasien
menunjukkan tanda tidak menginginkan informasi yang lebih detail, maka petugas
medis harus menghormati keinginannya dan menanyakan pada siapa informasi
sebaiknya diberikan.
Pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengetahui berapa besar keinginan tahu
pasien dapat berupa :
a. Jika kondisi ini mengarah pada suatu hal yang serius, apakah Anda ingin
mengetahui lebih lanjut ?
b. Apakah Anda ingin saya menerangkan dengan lebih rinci mengenai kondisi
Anda? Jika tidak, apakah Anda ingin saya menyampaikannya pada
seseorang ?
c. Beberapa orang mungkin tidak mau tahu sama sekali apa yang terjadi pada
diri mereka, sementara keluarga justru sebaliknya. Mana yang Anda pilih ?
d. Apakah anda ingin saya menyampaikan hasil pemeriksaan dan
menjelaskandengan tepat apa yang saya pikir jadi masalah kesehatan?
e. Siapa sebaiknya yang saya ajak bicara mengenai masalah ini?
Sering keluarga pasien meminta petugas medis untuk tidak menyampaikan
pada pasien diagnosis atau informasi penting lainnya. Sementara petugas
medis mempunyai kewajiban secara hukum untuk memberikan inform
consent pada pasien dan disisi lain hubungan terapetik yang efektif juga
membutuhkan kerjasama dengan keluarga.
Maka jika keluarga meminta demikian, tanyakan mengapa mereka tidak
menginginkan petugas medis memberikan informasi pada pasien, apa yang
mereka takutkan akan apa yang petugas medis sampaikan, dan apa
pengalaman mereka tentang berita buruk. Sarankan bahwa  petugas medis
bersama keluarga menemui pasien dan menanyakan apakah pasien ingin
informasi mengenai kesehatannya dan apa pertanyaan yang mungkin
diajukan.
4. Menyampaikan berita Sampaikan berita buruk dengan kalimat yang jelas,
jujur, sensitif dan  penuh empati.
Hindari penyampaikan seluruh informasi dalam satu kesempatan.
Sampaikan informasi, kemudian berikan jeda. Gunakan kata-kata sederhana
yang mudah dipahami. Hindari kata-kata manis (eufemisme) ataupun istilah-
istilah kedokteran. Lebih baik gunakan kata yang jelas seperti “meninggal
atau kanker”. Jangan meminimalkan keparahan penyakit. Sering-sering
memberikan jeda setelah penyampaian suatu kalimat.
Cek apakah pasien dapat memahami apa yang disampaikan. Gunakan
sikap dan bahasa tubuh yang sesuai diskusi. Hindari kalimat “Saya minta maaf
atau Maafkan saya” karena kalimat tersebut dapat di interpretasikan bahwa
petugas medis bertanggung jawab atas apa yang terjadi, atau bahwa semua ini
karena kesalahan petugas medis. Lebih baik gunakan kalimat “Maafkan saya
harus menyampaikan pada Anda mengenai hal ini”.

Beberapa kalimat lain yang dapat dipilih untuk menyampaikan berita buruk :
a. Saya khawatir berita ini tidak baik, hasil biopsi menunjukkan Anda
terkena kanker leher Rahim
b. Saya merasa tidak enak menyampaikannya, bahwa berdasarkan hasil
pemeriksaan dan USG bayi yang Anda kandung sudah meninggal
c. Hasil pemeriksaan laboratorium yag ada tidak sesuai dengan apa yang
kita harapkan. Hasil ini menunjukkan Anda pada stadium awal
penyakit kanker
d. Saya khawatir saya mempunyai berita buruk, hasil biopsi sumsum
tulang belakang menunjukkan putri Anda menderita leukemia
5. Memberikan Respon Terhadap Perasaan Pasien
Beri waktu pasien atau keluarga untuk bereaksi. Respon pasien dan
keluarga dalam menghadapi berita buruk beragam. Ada pasien yang
menangis, marah, sedih, cemas, menolak, menyalahkan, merasa bersalah,
tidak percaya, takut, merasa tidak  berharga, malu, mencari alasan mengapa
hal ini terjadi, bahkan bisa  jadi pasien pergi meninggalkan ruangan. Siapkan
diri dalam menghadapi berbagai reaksi.
Dengarkan dengan tenang dan perhatian  penuh. Pahami emosi pasien dan
ajak pasien untuk menceritakan  perasaannya. Contoh kalimat yang dapat
digunakan untuk merespon  perasaan pasien :
a. Saya dapat merasakan bahwa ini merupakan situasi yang sulit
b. Anda terlihat sangat marah. Dapatkan Anda ceritakan apa yang Anda
rasakan ?
c. Apakah berita ini membuat Anda takut ?
d. Sampaikan saja perasaan Anda tentang apa yang baru saya sampaikan
e. Saya berharap hasil ini berbeda
f. Apakah ada seseorang yang Anda ingin saya hubungi?’
g. Saya akan coba membantu Anda
h. Saya akan bantu Anda untuk menyampaikannya pada anak-anak Anda
Pasien atau anggota keluarga tidak suka disentuh, bersikap sensitif
terhadap perbedaan budaya dan pilihan personal. Hindari humor atau
komentar yang tidak pada tempatnya. Beri waktu pasien dan keluarga
mengekspresikan perasaan mereka. Jangan mendesak dengan terburu-  buru
menyampaikan informasi lebih lanjut. Jika emosi sudah dikeluarkan,
biasanya pasien atau keluarga lebih mudah diajak pada langkah berikutnya.
6. Merencanakan tindak lanjut
Buatlah rencana untuk langkah selanjutnya, ini bisa berupa :
a. Pemeriksaan lanjut untuk mengumpulkan tambahan informasi
b. Pengobatan gejala-gejala yang ada
c. Membantu orang tua mengatakan pada anak tentang penyakit dan
pengobatannya
d. Tawarkan harapan yang realistis. Walaupun tidak ada kemungkinan
untuk sembuh, bangun harapan pasien dan sampaikan tentang pilihan
terapi apa saja yang tersedia.
e. Mengatur rujukan yang sesuai
f. Menjelaskan rencana untuk terapi lebih lanjut
g. Diskusikan tentang sumber-sumber yang dapat memberikan dukungan
secara emosi dan praktis, misal keluarga, teman, tokoh yang disegani,
pekerja sosial, konselor spiritual, peer group, atau  pun terapis
profesional.
Rencana tindak lanjut ini akan meyakinkan pasien dan keluarga,
bahwa petugas medis tidak meninggalkan atau mengabaikan mereka, dan
petugas medis akan terlibat aktif dalam rencana yang akan dijalankan.
Katakan mereka dapat menghubungi petugas medis jika ada pertanyaan
lebih lanjut. Tentukan waktu untuk pertemuan  berikutnya. Petugas medis
juga harus memastikan bahwa pasien akan aman dan selamat saat pulang.
Cari tahu : apakah pasien dapat 10 mengemudikan sendiri kendaraan saat
pulang? Apakah pasien sangat cemas atau khawatir, merasa putus asa atau
ingin bunuh diri? Apakah ada seseorang di rumah yang dapat memberikan
dukungan pada  pasien?
7. Mengomunikasikan Prognosis Pasien
Sering menanyakan mengenai prognosis, tentang bagaimana  perjalanan
penyakit mereka ke depannya . Motivasinya antara lain mereka ingin
mempunyai kepastian tentang masa depan sehingga dapat merencanakan
hidup mereka, atau pasien merasa ketakutan dan  berharap bahwa Petugas
medis akan mengatakan penyakitnya tidak serius.
Sebelum langsung menjawab pertanyaan pasien tentang  prognosis,
sebaiknya Petugas medis mengumpulkan informasi tentang alasan mereka
menanyakan hal tersebut. Pertanyaan yang bisa diajukan antara lain :
a. Apa yang Anda harapkan akan terjadi ?
b. Apa pengalaman yang Anda punyai tentang seseorang dengan
penyakit seperti ini ?
c. Apa yang Anda harapkan terjadi ?
d. Apa yang Anda harapkan untuk saya lakukan ?
e. Apa yang membuat Anda takut untuk yang akan terjadi ?
Petugas medis harus mempertimbangkan dampak pemberian informasi
prognosis. Pasien yang ingin merencanakan hidup mereka  biasanya
mengharapkan informasi yang lebih rinci. Sedangkan pasien yang sangat
khawatir atau cemas, mungkin akan lebih baik mendapat informasi secara
umum saja. Jawaban Petugas medis yang definitif seperti : “Anda hanya
mempunyai usia harapan hidup sampai 1 tahun” akan berisiko menyebabkan
kekecewaan jika ternyata terbukti usia harapan hidupnya lebih singkat.
Jawaban seperti ini juga dapat menimbulkan kemarahan dan rasa frustasi
jika dokter merendahkan usia harapan hidup pasien. Kalimat berikut lebih
disarankan dalam 11 menjawab pertanyaan tentang prognosis : Sekitar
sepertiga pasien dengan kasus seperti ini dapat bertahan hidup sampai satu
tahun, separuhnya bertahan hidup dalam 6 bulan, apa yang akan terjadi
sesungguhnya pada diri Anda, saya sungguh tidak tahu Setelah jawaban
tersebut. Petugas medis sebaiknya melanjutkan dengan menyampaikan bahwa
kita harus berharap untuk yang terbaik, sambil tetap berencana untuk
kemungkinan terburuk. Sampaikan juga ke pasien dan keluarga bahwa kejutan
yang tidak diharapkan dapat terjadi hal ini dan pasien lebih mempersiapkan
mental untuk menghadapi sehingga dapat mengurangi penderitaan. Petugas
medis harus meyakinkan pasien dan keluarga bahwa Petugas medis akan siap
mendukung dan membantu mereka (Wahyuliati SpS, 2016).
SUPPORT KELUARGA YANG BERDUKA
Medikolegal Support System Pelayanan Paliatif Persetujuan tindakan medis/informed
consent untuk pasien paliatif merupakan hal penting sebelum merencanakan pembuatan support
system paliatif. Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif
melalui, komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan paliatif dengan
pasien dan keluarganya. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran
pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan
informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko
dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan
pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya (Ferrell,
2007). Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan keluarga
terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya
atas nama pasien.
Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau
pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau tidak
boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced directive).
Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau
dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat
keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan
panduan utama bagi tim perawatan paliatif (Doyle, 2003).
Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat
melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan pada
kesempatan pertama. Resusitasi/ Tidak resusitasi pada pasien paliatif. Keputusan dilakukan atau
tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim
Perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien
memasuki atau memulai perawatan paliatif (Kemenkes, 2013).
Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang
informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan
tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam informed consent
menjelang ia kehilangan kompetensinya. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh
membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis.
Namun demikian, dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut,
permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan
pengadilan untuk pengesahannya (Kepmenkes, 2007).
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai
dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan
tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya
berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut (Ferrell, 2007). Tim Pelayanan Paliatif Dalam
mencapai tujuan pelayanan paliatif pasien, yaitu mengurangi penderitaan pasien, beban keluarga,
serta mencapai kualitas hidup yang lebih baik, diperlukan sebuah tim yang bekerja secara
terpadu. Pelayanan paliatif pasien juga membutuhkan keterlibatan keluarga dan tenaga relawan
(Foley, 2008).
Dengan prinsip interdisipliner (koordinasi antar bidang ilmu dalam menentukan tujuan
yang akan dicapai dan tindakan yang akan dilakukan guna mencapai tujuan ), tim paliatif secara
berkala melakukan diskusi untuk melakukan penilaian dan diagnosis, untuk bersama pasien dan
keluarga membuat tujuan dan rencana pelayanan paliatif pasien kanker, serta melakukan
monitoring dan follow up (Lubis, 2008). Kepemimpinan yang kuat dan manajemen program
secara keseluruhan harus memastikan bahwa manajer lokal dan penyedia layanan kesehatan
bekerja sebagai tim multidisiplin dalam sistem kesehatan, dan mengkoordinasikan erat dengan
tokoh masyarakat dan organisasi yang terlibat dalam program ini, untuk mencapai tujuan
bersama.
Kurang lebih sepertiga pasien dengan kanker dilaporkan menderita anxietas atau depresi
yang membutuhkan penatalaksanaan psikiatrik (AAHPM, 2010). Depresi jelas merupakan gejala
psikiatri yang paling sering pada pasien kanker.
Depresi pada pasien kanker disebabkan oleh :
1. Stres yang berhubungan dengan diagnosis dan penatalaksanaan.
2. Pengobatan
3. Keadaan umum pasien
4. Berulangnya depresi
Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi dalam hal ini adalah glukokortikoid, narkotik,
barbiturat dan antikonvulsan lain, beberapa zat kemoterapi seperti vincristine, vinblastine,
procabazine dan L-Asparaginase. Terapi yang sering digunakan untuk depresi dapat berupa
antidepresan, anti psikotik, mood stabilizer, terapi elektrokonvulsif. Anxietas atau kecemasan
merupakan suatu reaksi normal terhadap stres secara emosional menghadapi kanker yang
diderita seseorang.
Perawat merupakan anggota tim yang biasanya akan memiliki kontak terlama dengan pasien
sehingga memberikan kesempatan unik untuk mengetahui pasien dan pengasuh, menilai secara
mendalam apa yang terjadi dan apa yang penting bagi pasien, dan untuk membantu pasien
mengatasi dampak kemajuan penyakit. Perawat dapat bekerja sama dengan pasien dan
keluarganya dalam membuat rujukan sesuai dengan disiplin ilmu lain dan pelayanan kesehatan
(Ferrell, 2007), peran perawat dalam :
a. Konsultasi layanan paliatif
b. Penanggulangan nyeri
c. Penanggulangan keluhan lain penyerta penyakit primer
d. Bimbingan psikologis, social dan spiritual
e. Persiapan kemampuan keluarga untuk perawatan pasien dirumah
f. Kunjungan rumah berkala, sesuai kebutuhan pasien dan keluarga
g. Bimbingan perawatan untuk pasien dan keluarga
h. Membantu penyediaan tenaga perawat homecare
i. Membantu penyediaan pelaku perawat (caregiver)
j. Membantu kesiapan akhir hayat dengan tenang dalam iman
k. Membantu dukungan masa duka cita
Peran perawat membantu pasien dan keluarganya dalam mengatasi masalah pribadi dan
sosial, penyakit dan kecacatan, serta memberikan dukungan emosional/konseling selama
perkembangan penyakit dan proses berkabung. Masalah pribadi biasanya akibat disfungsi
keuangan, terutama karena keluarga mulai merencanakan masa depan (Ferrell, 2007).
Konselor spiritual harus menjadi pendengar yang terampil dan tidak menghakimi, mampu
menangani pertanyaan yang berkaitan dengan makna kehidupan. Sering juga berfungsi
sebagai orang yang dipercaya sekaligus sebagai sumber dukungan terkait tradisi keagamaan,
pengorganisasian ritual keagamaan dan sakramen yang berarti bagi pasien paliatif. Sehingga
konselor spiritual perlu dilatih dalam perawatan akhir kehidupan (AAFP, 2011).
Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis dalam agama dan keyakinan
spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan dalam penyakit fisik yang serius Profesional
kesehatan memberikan perawatan medis menyadari pentingnya pasien dalam memenuhi
'kebutuhan spiritual dan keagamaan. Studi pasien dengan penyakit kronis atau terminal telah
menunjukkan insiden tinggi depresi dan gangguan mental lainnya.
Dimensi lain adalah bahwa tingkat depresi adalah sebanding dengan tingkat keparahan
penyakit dan hilangnya fungsi agunan. Sumber depresi seperti sering berbaring dalam isu-isu
yang berkaitan dengan spiritualitas dan agama. Pasien di bawah perawatan paliatif dan dalam
keadaan seperti itu sering mempunyai keprihatinan rohani yang berkaitan dengan kondisi
mereka dan mendekati kematian (Ferrell, 2007).
Spiritual dan keprihatinan keagamaan dengan pasien biasa bergumul dengan isu-isu
sehari-hari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan orang tua dan mereka yang
menghadapi kematian yang akan datang. Kekhawatiran semacam itu telah diamati bahkan
pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit untuk serius tetapi non-terminal penyakit.
Studi lain telah menunjukkan bahwa persentase yang tinggi dari pasien di atas usia 60
menemukan hiburan dalam agama yang memberi mereka kekuatan dan kemampuan untuk
mengatasi, sampai batas tertentu, dengan kehidupan. Kekhawatiran di sakit parah
mengasumsikan berbagai bentuk seperti hubungan seseorang dengan Allah, takut akan
neraka dan perasaan ditinggalkan oleh komunitas keagamaan mereka. Pembinaan dan
Pengawasan Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem
Tantangan psikiater adalah bagaimana mulai melakukan diskusi end of live care. Kita
harus bisa menentukan waktu yang tepat untuk itu. Diskusi end of live care merupakan hak
dari pasien namun demikian kita juga harus menghormati jika pasien enggan untuk
berdiskusi. Kita harus bisa menjelaskan kondisi pasien tetap memberikan dorongan hidup
tapi tidak memberikan harapan palsu (Meier, 2010). Tantangan kadang kala datang dari
keluarga pasien menolak diskusi yang beralasan untuk menghindarkan orang yang
dicintainya dari percakapan yang kurang menyenangkan.
Bahkan di masyarakat seringkali penyakit yang diderita pasien disembunyikan oleh
keluarganya padahal dengan demikian sama saja merenggut hak pasien untuk melakukan hal-
hal yang ingin dia lakukan di akhir kehidupannya ataupun mengutarakan harapan-harapannya
diamana waktu yang tersisa akan sangat berharga. Komunikasi end of live care pada bulan-
bulan terakhir pasien sangatlah penting dan berharga (Nur, 2010). Penelitian menunjukkan
bahwa pada pasien dengan kanker membahas pilihan terapi mereka sejak dini ternyata bisa
mengurangi tingkat stress mereka. Beberapa study menunjukkan bahwa mereka lebih
memilih jujur dan terbuka dan mendiskusikan end of live care. Dalam diskusi ini sangatlah
penting pasien mengambil keputusan dan hendaknya bisa didokumentasikan misalnya seperti
menunjuk wali siapa yang berhak mengambil keputusan akan dirinya apabila sudah jatuh
dalam kondisi koma ini yang biasanya kita sebut advance directive (WHO, 1996).
Sebagai psikiater tentunya sudah tau posisi kita ada dimana, dimana kita diharapkan
memandang individu sebagai suatu kesatuan bio-psiko- sosial – kultural, bahkan dalam
kondisi ini sudut pandang secara spiritual juga menjadi sangatlah penting. Keluarga bisa
menangani keluhan-keluhan secara fisik yang mungkin muncul pasien hendaknya dibuat
merasa nyaman walaupun dia sakit. Secara psikologis pasien dalam kondisi seperti ini sangat
membutuhkan dukungan salah satunya dengan cara berdiskusi dan bersedia mendengarkan.
Cobalah untuk memberikan kesempatan pasien untuk bisa mengespresikan ketakutan dan
kekawatiran tentang kematian, bagaimana dia akan meninggalkan keluarga yang dicintanya
jadi bersikaplah untuk mendengar. Begitu pula dengan dukungan sosial dan spiritual
misalnya dorong pasien untuk berdoa sesuai dengan keyakinannya dan tanyakan apakah ada
sesuatu yang bisa anda lakukan (WHO,1998). Dukungan sosial pada keluarga juga sangatlah
penting karena merawat orang sakit menyebabkan kelelahan secara fisik dan emosional
menyebabkan stess, depresi dan kecemasan. Setelah melihat fakta-fakta tersebut diatas kita
bisa melihat peran psikiater dalam perawatan akhir pasien ini.
Tentunya peran aktif dalam proses ini sangatlah diperlukan sebagai wujud tanggung
jawab professional kita khusunya sebagai Psikiater yang diharapkan sebagai ujung tombak
dalam pelayanan paliatif (Sukardja, 2004). Dalam pembentukan support system paliatif perlu
diperhatikan adalah sikap Psikiater dalam melakukan pelayanan.
Hal tersebut antara lain :
1. Kemampuan untuk penuh kasih dan empati menyampaikan berita buruk
2. Pemahaman tentang masalah psikososial dan dinamika keluarga yang mempengaruhi
pasien yang sakit parah
3. Pemahaman tentang isu-isu spiritual dan agama mempengaruhi pasien sakit parah serta
anggota keluarga
4. Sebuah sehubungan dengan kepercayaan budaya dan kebiasaan pasien dan keluarga
dalam konteks kematian dan sekarat
5. Pemahaman tentang kebutuhan pasien sekarat untuk perawatan paliatif, nyeri, kontrol,
dan martabat
6. Pemahaman tentang isu-isu khusus yang terkait dengan anak-anak, baik sebagai
tersembuhkan pasien sakit atau sebagai anggota keluarga dari pasien yang sakit parah
7. Pemahaman tentang proses berkabung untuk pasien sekarat dan anggota keluarga selama
kontinum penyakit dan setelah kematian. (White, 2010).
WOC DIABETES MELITUS

Reaksi Autoimun Obesitas , usia , genetik , pola makan yang salah

Sel β pankreas hancur Jumlah sel pankreas menurun

Defisiensi Insulin

Hiperglikemia Liposis Meningkat

Hiperosmolar Vaskuler Pembatasan Asupan Makanan Penurunan Berat Badan

Glukosa Plasma Berlebih Intake Tidak Adekuat

Polidipsia DEFISIT NUTRISI


GANGGUAN ELIMINASI URINE
PATOFISIOLOGI PROSES MALIGNA

Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal diubah
oleh mutasi genetic dari DNA selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan
mulai
 berproliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan
dalam lingkungan sekitar sel tersebu.

Kemudian di capai suatu tahap dimana sel mendapakan ciri-ciri


invasive, dan terjadi perubahan pada jaringan sekitarnya. Sel-sel tersebut
menginfiltrasi jaringan sekitar dan memperoleh akses ke limfe dan pembuluh-
pembuluh darah, melalui
 pembuluh tersebut sel-sel dapat terbawa ke area lain dalam tubuh unuk
membentuk metastase ( penyebaran kanker ) pada baigian tubuh yang lain.

Meskipun penyakit ini dapat di uraikan secara umum seperti yang telah
digunakan , namun kanker bukan suatu penyakit tunggal dengan penyebab
tunggal; tetapi lebih kepda suatu kelompok penyakit yang jelas dengan
penyebab, manifestasi,
 pengobatan dan prognosa yang berbeda.

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN KANKER


Kanker adalah salah satu penyakit mematikan yang sulit dideteksi pada tahap awal.
Ketika Anda mengalami gejalanya, biasanya penyakit kanker sudah mencapai stadium lanjut.
Padahal, beberapa jenis kanker sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan deteksi dini kanker.
Cek kanker secara dini tetap dapat dilakukan melalui pemeriksaan dengan dokter. Hal ini sangat
membantu Anda untuk mendeteksi kanker sejak awal sekaligus mencegah perkembangan kanker
menjadi kian parah.
Cek Kanker Secara Dini
Cek kanker secara dini dapat dijalani jika menyadari ada yang salah dengan tubuh atau
untuk mendeteksi kanker sejak awal. Maka dari itu, langkah paling penting adalah mengetahui
ada tidaknya gejala awal dari kanker, seperti :

 Pendarahan yang abnormal.


 Adanya benjolan.
 Suara serak yang tidak kunjung hilang.
 Gangguan pencernaan secara terus-menerus.
 Luka yang tidak sembuh-sembuh.

Idealnya, cek kanker secara dini tidak harus selalu dilakukan saat adanya gejala kanker
juga bisa menjalani skrining atau pemeriksaan meski tidak merasa ada yang aneh dengan tubuh.
Misalnya, melakukan pemeriksaan ada atau tidaknya gejala kanker payudara, seperti mamografi,
secara rutin. Hal ini dapat membantu untuk mendeteksi kanker payudara sedini mungkin.

Tahapan pemeriksaan dini kanker


Kanker dapat muncul di bagian tubuh mana saja. Namun untuk pemeriksaan, biasanya
tahapnya hampir sama untuk setiap jenis kanker, baik itu kanker payudara, kanker paru, atau
kanker hati.Berikut adalah tes-tes atau pemeriksaan yang dilakukan untuk cek kanker secara dini.
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama yang akan dilakukan dalam langkah cek kanker secara dini
adalah pemeriksaan fisik. Saat melakukan konsultasi dengan dokter, Anda dapat
memberi tahu keluhan medis yang Anda rasakan.Dokter biasanya akan mengecek ada
tidaknya keanehan pada tubuh Anda dengan melihat adanya benjolan, perubahan
warna kulit, atau pembengkakan.

2. Tes laboratorium

Langkah berikutnya dalam cek kanker secara dini adalah


pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium adalah cara
untuk mengetahui kadar senyawa atau komposisi tubuh.Tes
laboratorium meliputi pemeriksaan urine, darah, dan cairan tubuh
lainnya. Terkadang, tes laboratorium tidak hanya meliputi cairan
tubuh, tetapi juga pengambilan sampel jaringan untuk memastikan
ada tidaknya senyawa yang mensinyalir tumor dalam tubuh.
3. Tes pencitraan

Cek kanker secara dini selanjutnya adalah tes pencitraan. Tes


pencitraan akan menampilkan gambaran dalam tubuh guna
mengetahui keberadaan tumor.Dokter akan menggunakan berbagai tes
pencitraan, seperti x-ray , ultrasound, MRI atau magnetic resonance
imaging, pemeriksaan tulang, pemeriksaan nuklear, dan PET.

4. Biopsi

Umumnya, biopsi dilakukan untuk memeriksa ada tidaknya sel


kanker dalam tubuh. Biopsi adalah pengambilan sampel jaringan
tubuh dan memeriksanya di bawah mikroskop untuk dilakukan
berbagai tes pada jaringan yang diambil tersebut.Biopsi dapat
dilakukan menggunakan jarum suntik untuk mengambil cairan atau
jaringan. Langkah ini bisa pula dilakukan dengan metode endoskopi.
Metode endoskopi dilakukan dengan memasukkan selang tipis fleksibel
dengan kamera di bagian ujungnya untuk memeriksa bagian dalam
tubuh.

Endoskopi dalam dilakukan dengan memasukkan selang ke dalam


dubur dan usus besar (kolonoskopi) atau memasukkan tabung tersebut
ke dalam mulut atau hidung untuk memeriksa batang tenggorokan,
saluran napas, dan paru-paru.Tidak jarang , biopsi dilakukan melalui
operasi. Operasi dilakukan dengan mengambil sampel sel abnormal
yang berada dalam tubuh.Setelah melalui serangkaian pemeriksaan
deteksi dini kanker, nantinya akan diberitahu apakah menderita jenis
kanker tertentu beserta stadium atau tingkat keparahan kanker yang
menggerogoti tubuh.

KANKER PAYUDARA

A. Pengertian Kanker Payudara


Kanker adalah suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dari mekanisme
normalnya,sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal,cepat dan tidak
terkendali.Selain itu kanker paudara didefinisikan sebagai suatu penyakit neoplasma yang
ganas yang berasal dari parenchymadan dan juga  kanker payudara ini yang paling umum
diderita kaum wanita.
           
B. Patofisiologi
Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut
transformasi yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi.
a) Fase inisiasi
Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetic sel yang memicu
sel menjadi ganas.Perubahan dalam bahan genetic sel ini disebabkan oleh suatu agen
yang disebut karsinogen yang bisa berupa bahan kimia,virus,radiasi (penyinaran) atau
sinar matahari. Tetapi tidak semua sel mempunyai kepekaan yang sama terhadap
suatu karsinogen.kelainan genetic sel atau bahan lainnya yang disebut promotor yang
menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu karsinogen.Bahkan gangguan fisik
menahun pun bisa menyebabkan sel menjadi lebih peka untuk mengalami suatu
keganasan.
b) Fase promosi
Pada tahap promosi suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi
ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh
promosi.Karena itu diperlukan beberapa factor untuk tertajidanya keganasan
(gabungan dari sel yang peka dan suatu karsinogen).
c) Fase metastatis
Metastatis menuju ketulang merupakan hal yang kerap terjadi pada kanker
payudara,beberapa diantaranya disertai komplikasi lainseperti simtoma
hiperkalsemia,patologikal fractures atau spinal cord compression. Metastatis
demikian bersifat oestiolotik yang berarti bahwa oesteoklas hasil induksi sel kanker
merupakan mediator osteolisis dan mempengaruhi diferensial dan aktifitas osteoblas
serta osteoklas lain hingga meningkatkan resorpsi tulang.
C. Gejala Klinis
Gejala klinis kanker payudara dapat berupa :
o Benjolan pada payudara Umumnya berapa benjolan payudara yang tidak nyeri pada
payudara.Benjolan itu mula-mula kecil,semakin lama akan semakin besar,lalu
melekat pada kulit payudara atau pada putting susu.
o Erosi atau eksema putting susu
Kulit atau  putting susu tadi menjadi tertarik ke dalam (retraksi),berwarna merah
muda atau kecoklat-coklatan sampai menjadi edema hingga kulit kelihatan seperti
kulit jeruk ,mengkerut,atau timbul borok (ulkus)pada payudara .Borok itu semakin
lama akan semakin besar dan mendalam  sehingga dapat menghancurkan seluruh
payudara ,sering berbau busuk dan mudah berdarah.Ciri lain nya antara lain :
1. Perdarahan pada putting susu
2. Rasa sakit atau nyeri pada umumnya baru timbul apabila tumor sudah besar,sudah timbul
borok,atau bila sudah muncul metastase ke tulang-tulang.
3. Kemudian timbul  pembesaran kelenjar getah bening di ketiak,bengkak (edema) pada lengan
dan penyebaran kanker ke seluruh tubuh. Kanker payudara lanjut sangat mudah dikenali
dengan mengetahui criteria operbilitas heagensen sebagai berikut : terdapat edema luas pada
kulit payudara,adanya nodul pada kulit payudara,kanker payudara jenis
karsinimatosa,terdapat nodul supraklavikula,adanya edema lengan,adanya metastase
jauh,serta terdapat dua dari tanda-tanda local adcanced,yaitu ulserasi kulit edema kulit kulit
terfiksasi pada dinding toraks,kelenjar getah beningaksila berdiameter lebih 2,5cm dan
kelenjar getah bening aksila melekat satu sama lain.
4. Keluarnya cairan
Keluarnya cairan (nipple discharge) adalah keluarnya cairan dari putting susu secara spontan
dan tidak normal. Cairan yang keluar disebut normal apabila terjadi pada wanita yang
hamil,menyusui dan pemakai pil kontrasepsi.
Seorang wanita harus waspada apabila dari putting susu keluar caira berdarah cairan
encer dengan awarna merah atau coklat,keluar sendiri tanpa harus memijit putting
susu,berlangsung terus menerus,hanya pada satu payudara (unilateral) dan cairan selain air
susu.

D. Faktor penyebab terjadinya kanker payudara


1. Factor resiko
a. Factor reproduksi
Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan resiko terjadinya kanker
payudara adalah nuliparitas,menarche pada umur muda,menopause pada umur lebih
tua dan kehamilan pertama pada umur tua.Resiko utama kanker payudara adalah
bertambanhya umur.
Diperkirakan periode antara terjadinya haid pertama dengan umur saat kehamilan
pertama merupakan window of initation perkembangan kanker payudara.Secara
anatomi dan fungsional payudara akan mengalami autrofi dengan bertanbahanya
umur.Kurang dari 25% kanker  payudara terjadi pada masa sebelum menopause
ssehingga diperkirakan awal terjadinya tumor jauh sebelum terjadi perubahan klinis.
b. Penggunaan hormone
Hormone estrogen berhubungan terjadinya kanker payudara.Suatu analisis
menyatakan bahwa walaupun tidak terdapat resiko kanker payudara pada pengguna
kontrasepsi oral,wanita yang menggunakan obat ini untuk waktu yang lama
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami kanker payudara sebelum menopause. Sel
–sel yang sensitive terhadap rangsangan hormonal mungkin mengalami perubahan
degenerasi jinak atau menjadi ganas.
c. Penyakit fibrokistik
Pada wanita dengan adenosis,fibroadenoma,dan fibrosis tidak ada peningkatan
resiko terjadi kanker payudara. Pada hiperplasis dan papiloma resikosedikit
meningkat 1 sampai 2 kali.Sedangkan pada hyperplasia atipik,resiko meningkat
hingga 5 kali.
d. Obesitas
Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dan bentuk tubuh dengan
kanker payudara pada wanita paska menopause.Variasi terhadap kanker ini
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh diet terjadinya keganasan ini.
e. Radiasi
Eksposur dengan radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas meningkatkan
terjadinya resiko kanker payudara.
f. Riwayat keluarga dan factor genetic
Riwayat keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita
yang akan dilaksanakan skrining untuk kanker payudara.Terdapat peningkata resiko
keganasan pada wanita yang keluargannya mmenderita kanker payudara.Pada studi
genetic ditemukan bahwa kanker payudara brhubungan dengan gen tertentu.
Apabila terdapat BRCA 1 yaitu suatu gen kerentanan terhadap kanker
payudara,probalitas untuk terjadi kanker payudara sebesar 60% pada umur 50 tahun
dan sebesar 85% ppada umur 70 yahun.Faktor usia sangat berpengaruh sekkitar 60%
kanker payudara  terjadi di usia 60 tahun.Resiko terbesar usia  75 tahun.
2. Factor genetic
Kanker payudara dapat terjadi karena adanya beberapa factor genetic yang diturunkan
dari orang tua ke anaknya.Faktor genetic yang diamksud adalah adanya mutasi pada
beberapa  gen yang bersifat onkogen dan gen yang bersifat mensupresi tumor.

E. Pengobatan kanker
Ada beberapa pengobatan kanker payudara yang penerapannya banyak tergantung pada
stadium penyakit :
1. Masektomi
Masektomi adalah operasi pengangkatan payudara.Ada 3 jenis masektomi : Modified radical
mastectomy yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara ,jaringan payudara di tulang
dada,tulang selangka,tulang iga,serta benjolan disekitar ketiak.
Total simple mastectomy yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara saja tetapi tidak
kelenjar di ketiak.
Radical mastectomy yaitu operasi pengangkatan sebagian dari payudara.Biasanya disebut
lumpectomy yaitu pengangkatan hanya pada jaringan yang mengandung sel kanker
saja,bukan seuruh payudara.Operasi ini direkomendasikan pada pasien yang besar tumornya
kurang dari 2cm dan letaknya di pinggir payudara.
2. Radiasi
Penyinaran atau radiasi adalah proses penyinaran pada daerah yang terkena kanker
dengan menggunakan sinar x dan sinar gamma yang bertujuan membunuh sel kanker yang
masih tersisa setelah operasi.Efek pengobatan ini tubuh menjadi lemah,nafsu makan
berkurang,warna kulit di sekitar payudara menjadi hitam,serta HB dan leukosit cencerung
menurun sebagai akibat radiasi.
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pemberian obat anti kanker atau sitokina dalam bentuk cair
atau kapsul atau melalui infuse yang bertujuan membunuh sel kanker melalui mekanisme
kemotaksis.Tidak hanya sel kankerpada payudara tapi juga di seluruh tubuh.Efek dari
kemoterapi adalah pasien mengalami mual muntah sera rambut rontokkarena pengaruh obat-
obatan yang diberikan pada saat kemoterapi.

F. Strategi Pencegahan
Pada prinsipnya strategi pencegahan dikelompokkan tiga kelompok besar yaitu
pencegahan pada lingkungan pada milestone dan pejamu.Hampir setiap epidiomologi
sepakat bahwa pencegahan yang paling efektif bagi kejadian penyakit tidak menular
adalah promosi kesehatan dan proteksi dini.Begitu pula pada kanker payudara dan
pencegahannya yang dilakukan antara lain :
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer pada kanker payudara merupakan salah satu bentuk promosi
kesehatan karena dilakukan pada orang yang sehat melalui upaya menghindari diri dari
keterpaparan pada berbagai factor resiko dan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan
primer juga bisa melalui pemeriksaan sadari (pemeriksaan payudara sendiri) yang dilakukan
secara rutin untuk memperkecil factor  resiko terkena kanker payudara.

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan terhadap individu yang memiliki resiko untuk terkena
kanker payudara .Setiap wanita yang normal dan memiliki siklus haid yang normal
merupakan at risk dari kanker payudara.Pencegahan sekunder dengancara deteksi
dini.Beberapa metode deteksi dini terus mengalami perkembangan .
Skrining melalui mammografi dikalim memiliki akurasi 90 %dari semua penderita
kanker payudara tetapi keterpaparan terus menerus pada
mamografi pada wanita yang sehat merupakan salah satu factor resiko terjadinya kanker
payudara. Karena itu skrining dengan mammografi tetap dapat dilaksanakan dengan
beberapa pertimbangan antara lain :
 Wanita yang sudah mencapai usia 40 tahundianjurkan melakukan cancer risk.
 Pada wanita dengan factor resiko mendapat rujukan mammografi setiap 2 tahun
sampai usia 50 tahun.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kanker
payudara.Penanganan yang tepat pada penderita kanker payudara sesuai dengan stadiumnnya
akan dapat mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup penderita.Pencegahan
tersier   ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita serta mencegah komplikasi
penyakit dan meneruskan pengobatan.
Tindakan pengobatan dapat berupa operasi walaupun tidak berpengaruh banyak terhadap
ketahanan hidup.Bila kanker telah jauh bermetastatis dialkukan tindakan kemoterapi dengan
sitostatika.Pada stadium tertentu pengobatan yang diberikan hanya berupa simptomatik dan
dianjurkan untuk mencari pengobatan alternative dengan obat herbal kanker payudara.

G. Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)


Kesehatan payudara tentu menjadi perhatian semua wanita.Disamping untuk estetika
kesehatan payudara juga berguna untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan .Wanita
mempunyai resiko yang besar untuk terkena tumor atau keaganaasan di organ
payudarannya .Oleh karena itu wanita disarankan agar bisa melakukan pemeriksaan payudraa
sendiri agar dapat deteksi dini.Pemeriksaan payudara sendiri (sadari)dapat dilakukan oleh
wanita siapapun setelah usia 20 tahun.Para wanita disarankan untuk melakukannya sendiri
karena mereka sendirilah yang tau struktur payudara nya secara normal.
Oleh karena itu jika ada benjolan akan langsung menyadarinya. Saat yang paling tepat
untuk melakukan pemeriksaan ini adalah pada hari ke 5-7 setelah menstruasi dimana
payudara tidak mengeras,membesara atau nyeri lagi.Untuk wanita yang telah menopause atau
tidak menstruasi lagi mereka dapat melakukannya kapan saja dan disarankan untuk
memeriksakannya sendiri setiap awal atau akhir bulan.
Langkah –langkah melakukan  sadari :
1. Mulailah pemeriksaan dengan mengamati bentuk payudara anda di cermin.Pastikan bahu
anda lurus sejajar dan letakkan tangan anda di pinggang.Perhatikan bentuk ukuran dan
warnanya.Kelainan yang mungkin di temukan seperti kerutan ,benjolan,lekukan ,posisi
putting yang tidak normal atau struktur kulit yang tidak normal (merah ,kasar,berkerut) atau
bahkan nyeri
2. Angkat kedua lengan anda untuk melihat kelainan bentuk payudara .Lihat apa kedua
payudara terangakat bersama-sama.\
3. Dengan menggunakan ujung jari ,tekanlah perlahan permukaan payudara anda dan rasakan
apakah ada benjolan.Rabalah sesuai dengan pola berikut : melingkar,dari atas ke bawah,dari
tengan ke samping,sampai area ketiak.Lakukan langkah ini pada kedua payudara.
4. Peraslah putting susu anda secara perlahan.Lihat apakah ada cairan berwarna
putih,kekuningan atau bahkan darah.
5. Selain dengan berdiri anda juga bisa memeriksa payudara dalam keadaan berbaring.
Ganjallah separuh punggung anda (sisi payudara yang hendak diperiksa)dengan
bantal.Tarulah tangan anda dibelakang kepala.Lalu gunakan ujung jari tangan anda yang
berlawanan untuk memeriksa payudara.
Jika dalam pemeriksaan kita menemukan benjolan,atau masalah lainnya pada payudara anda
pada saat melakukan sadari ,konsultasikan dengan dokter.Dan akan dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa mammografi atau ultrasonografi untuk pemeriksaan yang lebih detail

“ASUHAN KEPERAWATAN KANKER PAYUDARA”

A. Pengkajian
a) Identitas
Didalam identitas meliputi
 Identitas pasien :
1. Nama         
2. Umur         
3. Agama       
4. Jenis Kelamin       
5. Pendidikan
6. Pekerjaan   
7. Suku Bangsa          
8. Alamat       
9. Tanggal Masuk     
10. Tanggal Pengkajian
11. No. Register          
12. Diagnosa Medis    
 Identitas penanggung jawab :
1. Nama         
2. Umur         
3. Hub. Dengan Ps     
4. Pekerjaan   
5. Alamat
b) Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Riwayat keluhan utama meliputi : adanya benjolan yang menekan payudara, adanya
ulkus, kulit berwarna merah dan mengeras, bengkak, nyeri.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama .
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanda awal yang paling umum terjadi adalah adanya benjolan atau penebalan
pada payudara. Kebanyakan  90 % ditemukan oleh wanita itu sendiri, akan tetapi di
temukan secara kebetulan, tidak dengan menggunakan pemeriksaan payudara sendiri
(sarari), karena itu yayasan kanker menekankan pentingnya melakukan sarari.
Tanda dan gejal lanjut dari kanker payudara  meliputi kulit sekung (lesung),
retraksi atau deviasi putting susu, dan nyeri, nyeri tekan atau  rabas khususnya berdarah,
dari putting.
Gejala lain yang ditemukan yaitu konsistensi payudara yang keras dan padat, benjolan
tersebut berbatas tegas dengan ukuran kurang dari 5 cm, biasanya dalam stadium ini
belum ada penyebaran sel-sel kanker di luar payudara.
(Erik T, 2005, hal : 42).
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita ca mammae atau sakit
yang lainnya.
5. Riwayat Psikososial
Psikososial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien, dengan timbul gejala-
gejala yang alami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang dideritanya
6. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
 Pola nutrisi dan metabolism
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan
rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah.
 Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien
akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
 Pola tidur dan aktifitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan nyeri yang
dirasakan meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
 Pola eliminasi
 Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi retensi bila dehidrasi karena panas
yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Biasanya pada pasien ca mammae mengalami badan lemah, pucat, mual, perut tidak
enak, anorexia, berat badan turun, kulit keriput.
b. Kepala dan leher
Kepala tidak ada bernjolan, rambut rontok, kelopak mata normal,
konjungtiva anemis, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah
kotor, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
c. Abdomen
Didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan, terdengar bising usus.
d. Sistem respirasi
Pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat cuping hidung.
e. Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan ca mammae yang ditemukan tekanan darah yang
meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami peningkatan
suhu tubuh.
f. Sistem integument
Kulit kotor, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
g. Sistem eliminasi
Pada pasien ca mammae eliminasi normal.
h. Sistem muskuloskolesal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan.
i. Sistem endokrin
Apakah di dalam penderitaca mammae ada pembesaran kelenjar toroid dan tonsil.
j. Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita
penyakit ca mammae.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut  berhubungan dengan agen injuri biologis
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan  anoreksia.
3. Cemas berhubungan dengan penyakit yang dialaminya
4. Kurang pengetahuan berhungan dengan kurangnya kemauan untuk         mencari
informasi

C. INTERVENSI
 Nyeri akut  berhubungan dengan agen injuri biologis
Tujuan : Nyeri teratasi.
Kriteria Hasil :
1. Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
2. Nyeri tekan tidak ada
3. Ekspresi wajah tenang
4. Luka sembuh dengan baik
5.
Intervensi :
1. Kaji karakteristik nyeri, skala nyeri, sifat nyeri, lokasi dan penyebaran.
Rasional : Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan rasa nyeri yang dirasakan oleh
klien sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk intervensi selanjutnya.
2. Beri posisi yang menyenangkan.
Rasional :Dapat mempengaruhi kemampuan klien untuk rileks/istirahat secara efektif
dan dapat mengurangi nyeri.
3. Anjurkan teknik relaksasi napas dalam.
Rasional : Relaksasi napas dalam dapat mengurangi rasa nyeri dan memperlancar
sirkulasi O2 ke seluruh jaringan.
4. Ukur tanda-tanda vital
Rasional : Peningkatan tanda-tanda vital dapat menjadi acuan adanya peningkatan nyeri.
5. Penatalaksanaan pemberian analgetik
Rasional : Analgetik dapat memblok rangsangan nyeri sehingga dapat nyeri tidak
dipersepsikan.
 Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan  anoreksia
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
1. Nafsu makan meningkat
2. Klien tidak lemah
3.  Hb normal (12 – 14 gr/dl)
Intervensi :
1) Kaji pola makan klien
Rasional : Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi klien dan merupakan asupan dalam
tindakan selanjutnya.
2) Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : dapat mengurangi rasa kebosanan dan memenuhi kebutuhan nutrisi sedikit
demi sedikit.
3) Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan mulut dan gigi.
Rasional : agar menambah nafsu makan pada waktu makan.
4) Anjurkan untuk banyak makan sayuran yang berwarna hijau.
Rasional : sayuran yang berwarna hijau banyak mengandung zat besi penambah tenaga.
5) Libatkan keluarga dalam pemenuhan nutrisi klien
Rasional : partisipasi keluarga dpat meningkatkan asupan nutrisi untuk kebutuhan energi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi                 parenteral.
Rasional: antasida mengurangi rasa mual dan muntah.

 Cemas berhubungan dengan penyakit yang dialaminya


 Tujuan : Kecemasan dapat berkurang.
Kriteria hasil :
1. Klien tampak tenang
2.  Mau berpartisipasi dalam program terapi
Intervensi :
1) Dorong klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Rasional : Proses kehilangan bagian tubuh membutuhkan penerimaan, sehingga pasien
dapat membuat rencana untuk masa depannya.
2) Diskusikan tanda dan gejala depresi.
Rasional : Reaksi umum terhadap tipe prosedur dan kebutuhan dapat dikenali dan diukur.
3) Diskusikan tanda dan gejala depresi
Rasional : Kehilangan payudara dapat menyebabkan perubahan gambaran diri, takut
jaringan parut, dan takut reaksi pasangan terhadap perubahan tubuh.
4) Diskusikan kemungkinan untuk bedah rekonstruksi atau pemakaian prostetik.
Rasional : Rekonstruksi memberikan sedikit penampilan yang lengkap, mendekati
normal.
 Kurang pengetahuan berhungan dengan kurangnya kemauan
untuk         mencari informasi
Tujuan:
Klien mengerti tentang penyakitnya.
 Kriteria hasil:
1. Klien tidak menanyakan tentang penyakitnya.
2. Klien dapat memahami tentang proses penyakitnya dan pengobatannya.
Intervensi :
1) Jelaskan tentang proses penyakit, prosedur pembedahan dan harapan yang akan datang.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar, dimana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi, dan dapat berpartisipasi dalam program terapi.
2) Diskusikan perlunya keseimbangan kesehatan, nutrisi, makanan dan  pemasukan cairan
yang adekuat.
Rasional : Memberikan nutrisi yang optimal dan mempertahankan volume sirkulasi untuk
mengingatkan regenerasi jaringan atau proses penyembuhan.
3) Anjurkan untuk banyak beristirahat dan membatasi aktifitas yang berat.
 Rasional : Mencegah membatasi kelelahan, meningkatkan penyembuhan, dan
meningkatkan perasaan sehat.
4) Anjurkan untuk pijatan lembut pada insisi/luka yang sembuh dengan minyak.
 Rasional : Merangsang sirkulasi, meningkatkan elastisitas kulit, dan menurunkan
ketidaknyamanan sehubungan dengan rasa pantom payudara.
5) Dorong pemeriksaan diri sendiri secara teratur pada payudara yang masih ada. Anjurkan
untuk Mammografi.
Rasional : Mengidentifikasi perubahan jaringan payudara yang mengindikasikan
terjadinya / berulangnya tumor baru.

STRES DALAM PNI ( PSIKONEUROIMUNOLOGI)


PERAN SISTEM IMUN DAN CARA SISTEM SARAF MENGONTROL SISITEM IMUN
Konsep Stress dalam PNI

Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan sehari-hari.
Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses modernisasi yang
biasanya diikuti oleh proliferasi teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar
individu yang makin berat.

Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi
secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Faktor-faktor yang dapat
menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu :

a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain.
b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta
dan lain-lain.
c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain. Stres dapat
mengenai semua orang dan semua usia.

Psikoneuroimunologi merupakan konsep terintegrasi mengenai fungsi regulasi-imun untuk


mempertahankan homeostasis. Untuk mempertahankan homeostasis, sistem imun berintegrasi
dengan proses psikofisiologik otak, dan karena itu mempengaruhi dan dipengaruhi otak. Melalui
pendekatan ini telah mulai dipahami mekanisme interaksi antara perilaku, sistem saraf, sistem
endokrin, dan fungsi imun.

Komponen perilaku dari interaksi ini melibatkan kondisioning Pavlov pada peningkatan
maupun penekanan antibodi dan respon imun seluler. Kondisioning ini berekspresi sebagai efek
pengalaman stress terhadap fungsi imun. Selanjutnya diketahui bahwa mekanisme terintegrasi ini
berlangsung dalam ritme yang berkaitan dengan ritme lingkungan seperti ritme Sirkadian.
Respon stress berkelanjutan berekspresi sebagai sindroma adaptasi umum. Sebagai respon akut
dimulai dengan initial brief alarm reaction. Dalam tahap ini peningkatan sekresi cortisol pada
aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) menimbulkan supresi pada sebagian besar fungsi
imun dan peningkatan aktifitas sistem simpatis.

Bila stress tidak dapat diatasi secara efektif, tahap kedua prolonged resistance period akan
dimulai, dimana aktivasi aksis HPA akan menurun tetapi tidak pernah mencapai kondisi basal.
Kegagalan berkelanjutan untuk mengatasi stress akan berakhir pada terminal stage of exhaustion
and death. Aplikasi medis psikoneuroimunologi akan meningkatkan efektifitas terapi penyakit
keganasan, gangguan kardiovaskular, penyakit infeksi, trauma fisik, transplantasi, dan gangguan
jiwa.

1. Peran Sistem Imun


Sistem imun adalah kumpulan jaringan, protein, sel, dan organ tubuh tertentu, yang
mana kesemuanya ‘bersatu’ untuk melindungi tubuh dari serangan penyakit yang dibawa
oleh mikroorganisme jahat seperti bakteri dan virus, dan faktor pemicu penyakit lainnya.
Sistem imun/ sistem kekebalan tubuh (leukosit)/ sel darah putih diproduksi, dan
disimpan di sejumlah organ tubuh yang termasuk dalam kelompok organ limfoid, seperti
limpa, sumsum tulang belakang, dan timus. Leukosit lantas beredar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh darah dan pembuluh limpatik guna ‘me-razia’ agen-agen penyakit yang
mengancam tubuh. Sel darah putih sendiri terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Limfosit, adalah jenis sel darah putih yang bertugas untuk mengidentifikasi
mikrroorganisme yang hendak menyerang tubuh, atau datang kembali setelah
sebelumnya berhasil dibasmi. Limfosit terdiri dari limfosit B dan limfosit T. Limfosit
diproduksi di sumsum tulang belakang.
b. Fagosit, adalah jenis leukosit yang memiliki tugas untuk menghancurkan
mikroorganisme pemicu penyakit. Fagosit terdiri dari berbagai jenis, salah satunya
adalah neutrofil.
2. Fungsi Sistem Imun
a. Sistem Pertahanan Tubuh
b. Memperbaiki Jaringan yang Rusak
c. Menjaga Homeostatis
3. Cara Kerja Sistem Imun
a. Manakala mikroorganisme mulai masuk menyerang tubuh, maka ‘kesatuan’ sel-sel dari
sistem imun lantas membentuk semacam barikade guna menangkal serangan berbahaya
tersebut.
b. Setelah berhasil mengidentifikasi serangan, sistem kekebalan tubuh selanjutnya
memberitahu limfosit B untuk kemudian limfosit ini memproduksi antibodi, yang tak
lain adalah protein yang nantinya akan menempel pada pemicu penyakit (antigen).
Selanjutnya, limfosit T akan menuju antigen yang telah ditunggangi oleh limfosit B, lalu
menghancurkan antigen tersebut.
c. Antibodi yang telah diproduksi akan tinggal di dalam tubuh selang beberapa waktu. Hal
ini sebagai langkah antisipasi apabila pemciu penyakit (antigen) tiba-tiba muncul
kembali. Selain itu, fungsi antibodi juga mencakup tugas untuk menetralisir racun yang
dibawa oleh mikroorganisme, pun merangsang protein komplemen untuk melawan virus
dan bakteri.

EVIDENCE BASED NURSING : SPIRITUAL CARE DALAM PERAWATAN PALIATIF


Review Artikel / Jurnal Ebn Spiritual Care dalam Perawatan Paliatif
Judul : KEBUTUHAN SPIRITUAL PADA PASIEN DENGAN KANKER STADIUM AKHIR
Penulis : Maria Komariah , Dessy Adriani , Desy Indrayani , Nina Gartika
Tahun : 2019
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kebutuhan spiritual dengan mendapatkan
gambaran tentang tingkat kepentingan kebutuhan spiritual berdasarkan 7 dimensi yang
dikembangkan oleh Galek. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif.
Hasil penelitian pada dimensi ketuhanan (3,63), moralitas dan etika (3,43), cinta/rasa memiliki
(3,42), berpikiran positif/ rasa syukur/ harapan (3,40), makna dan tujuan (3,39),
resolusi/kematian (3,26) dan pada dimensi apresiasi keindahan (2,98). Simpulan, pada pasien
kanker stadium lanjut, kebutuhan spiritual tertinggi pada dimensi ketuhanan dan terendah pada
dimensi apresiasi keindahan.
Pendahuluan
Banyak pasien yang dirawat di rumah sakit memerlukan pemenuhan kebutuhan spiritual
ini, dan ada kalanya mereka menggunakan sumber daya yang ada pada mereka sendiri, keluarga
dan orang yang dianggap ahli agama baik itu dari rumah sakit (rohis) atau dari komunitas mereka
tinggal sekedar untuk mendukung dan memenuhi kebutuhan spiritualitas mereka (Caldeira et al.,
2017). Oleh karena itu, diperlukan adanya peningkatan kesadaran bahwa perawat dan juga
petugas layanan kesehatan lainnya harus mampu mengidentifikasi, mendiagnosis dan
mendukung kebutuhan spiritual pasien sebagai komponen pemberian perawatan kesehatan
holistic (Caldeira et al., 2017). Pengalaman terkena penyakit kanker sangat berdampak pada
kondisi spiritualitas seseorang (Komariah, Ibrahim, 2019).
Aspek dominan pembentukan kualitas hidup penderita kanker adalah aspek psikologis,
meliputi spiritualitas, dukungan sosial dan kesejahteraan. Faktanya, aspek psikologis sangat
menentukan kualitas hidup, penderita mendapatkan kekuatan dan merasa lebih sehat tanpa obat,
hal ini disebabkan karena sugesti dalam diri individu tersebut untuk tetap sehat. Kecerdasan
spiritualitas menuntun penderita memiliki penerimaan diri terhadap penyakitnya. Penderita
mengalami peningkatan spiritual dibanding sebelum menderita kanker. Penderita merasa lebih
dekat dengan Tuhan dan tidak menyalahkan Tuhan, melainkan menganggap sebagai sebuah
anugerah Tuhan. Rasa cinta dan nyaman dari dukungan sosial memberi motivasi untuk sembuh
dan kuat menjalani hidup. Akhirnya memberikan kesejahteraan yang menentukan kualitas hidup
penderita (Anita, 2016).
Jenis kebutuhan spiritual pada pasien kanker stadium lanjut di Indonesia. Kemungkinan
hasil penelitian kebutuhan spiritual pada kanker akan berbeda sehubungan dengan adanya
perbedaan budaya dan agama, sehingga penelitian tersebut tidak bisa diaplikasikan pada kultur
dan keyakinan yang lain, termasuk pada budaya Islam di Indonesia. Penelitian sebelumnya hanya
berfokus pada beberapa aspek spiritual saja seperti ketuhanan, berpikir positif serta moral dan
etika. Namun penelitian ini menambahkan aspek makna dan tujuan, resolusi/kematian dan pada
dimensi apresiasi keindahan.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Spiritual Need Survey.
Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini yang akan menjadi variabel adalah kebutuhan spiritual dan
subvariabel adalah 7 dimensi kebutuhan spiritual, yaitu Cinta/ rasa memiliki/ menghoramati;
Ketuhanan; Berpikir positif/ rasa bersyukur/ harapan/ rasa damai; Makna dan tujuan; Moralitas
dan etika; Apresiasi terhadap keindahan; dan Resolusi/ kematian.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien kanker yang didiagnosa telah
mengalami stadium lanjut berdasarkan catatan medis. Sedangkan sampel dipilih berdasarkan
kriteria: kanker stadium III, mampu berkomunikasi dengan baik, tidak ada gangguan kejiwaan,
mampu menulis dan membaca, serta bersedia mengisi kuesioner.
Tahapan Penelitian
Peneliti mengumpulkan data dengan cara menyebarkan instrumen penelitian berupa
spiritual need survey kepada responden yakni pasien kanker stadium lanjut yang di rawat di salah
satu rumah sakit di Bandung, berjumlah 40 orang.
Analisis Data
Data yang sudah sesuai dengan sub-variabel indikator dikelompokkan ke dalam kategori
Sangat penting (SP), Penting(P), Cukup penting (CP), kurang penting (KP) Tidak Penting dikode
dengan nilai: 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1= kurang penting, 0 = tidak
penting. Selanjutnya data tersebut ditabulasikan dengan menghitung nilai rata-rata tingkat
kepentingan sesuai kategori pada setiap dimensi kebutuhan spirtual. Analisis nilai rata-rata ini
bertujuan untuk mendapatkan gambaran tingkat kebutuhan yang mengidentifikasi domain pada
tiap dimensi kebutuhan spiritual.
Hasil
Berdasarkan tabel 1 rentang usia responden adalah 27 sampai 64 tahun dengan mayoritas
berumur dewasa akhir (39-64 th) yaitu 62.5%. Suku yang paling banyak ditemukan pada
responden adalah suku sunda (80%). Pekerjaan responden dibedakan menjadi dua kategori,
yakni bekerja dan tidak bekerja (ibu rumah tangga).
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa prevalensi kebutuhan pasien terhadap 7 (tujuh)
dimensi spiritual, dan dapat dilihat bahwa seluruh responden (100%) menyatakan bahwa mereka
membutuhkan semua dimensi spiritual tersebut. Penilaian dilakukan terhadap setiap kategori
tingkat kebutuhan pasien pada berbagai dimensi kebutuhan spiritual, maka akan didapatkan nilai
rata-rata tingkat kebutuhan responden terhadap setiap dimensi spiritual,
Berdasarkan tabel 3 tersebut terlihat bahwa dimensi ketuhanan menempati urutan
pertama tingkat kebutuhan dengan nilai rata-rata paling tinggi (3.63). Hal ini menunjukkan
bahwa dimensi Ketuhanan adalah dimensi spiritual yang paling dibutuhkan oleh responden.
Pembahasan
Dimensi Ketuhanan
Pada dimensi ini hampir seluruh pasien mengatakan menjalankan ibadah adalah
kebutuhan sangat penting tapi karena dimensi ini mencakup bukan saja ritual peribadatan tetapi
juga mengikuti layanan spiritual, membaca Kitab Suci atau buku-buku tentang Agama, percaya
akan adanya sesuatu kekuatan diluar tubuh manusia, dan memiliki seseorang yang selalu
mendoakan. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang sangat penting yang dirasakan pasien dan
menjadi urutan pertama/tertinggi dengan nilai rata-rata tingkat kebutuhan.
Dimensi Moralitas dan Etika
Budaya Indonesia secara universal termasuk dalam budaya timur. Budaya timur memiliki
tenggang rasa yang kuat, ramah dan rukun terhadap sesama, dan menjunjung tinggi etika dan
nilai-nilai moral/kemanusiaan (Arifin, Lestari, 2019). Sedangkan Budaya Sunda termasuk
budaya spesifik yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Cermin budaya dan kultur
masyarakat sunda terkenal dengan istilah someah yang artinya ramah tamah, lemah lembut,
murah senyum. Budaya Sunda sangat menghormati orang tua dan menyayangi pada yang lebih
muda sesuai dengan prinsip hidupnya yaitu silih asah, silih asih, silih asuh (Mulyani Ratnapuri,
2018).
Dimensi Cinta/Rasa Memiliki/Menghormati
Kebutuhan pasien terhadap dimensi ini sudah hampir sebagian besar terpenuhi.
Tingginya faktor dukungan keluarga membuat kebutuhan Cinta/rasa memiliki/ menghormati
menjadi kebutuhan yang penting bagi responden. Hal ini disebabkan karena keluarga pasien dan
tenaga kesehatan merupakan faktor yang berpotensi untuk pemenuhan kebutuhan spiritual
pasien. Pasien yang tidak memiliki dukungan sosial dari lingkungan sekitar lebih cenderung
melapor ketidakadekuatan pemenuhan kebutuhan (Saarelainen, 2020).
Dimensi Berpikir Positif/Rasa Syukur/ Harapan/ Rasa Damai
Saarelainen (2020) mengemukakan pendapat bahwa pada pasien kanker, selain
menjadikan mereka siap untuk membantu orang lain meningkatkan makna dan harapan dalam
hidup, mereka juga mampu memberi harapan kepada orang lain. Juga, mereka menyimpulkan
bahwa lebih dari 93% pasien kanker percaya bahwa spiritualitas membantu mereka untuk
memperkuat harapan mereka.
Dimensi Makna dan Tujuan
Seperti kita ketahui penyakit fisik terutama kondisi terminal dapat bertindak sebagai
pemicu dalam mempertimbangkan pertanyaan tentang hidup dan mati, apa arti hidup/alasan
hidup ini sebenarnya, dan menemukan makna dalam penderitaannya saat ini. Untuk dapat
memahami penyakitnya yang sedang diderita sangat sulit sekali bagi pasien terminal, kadang-
kadang mereka perlu waktu lama untuk menerima kondisinya saat ini bahkan tidak menerima
sampai akhir. Ditinjau dari karakteristik responden yang dominan adalah dewasa akhir, pada
tahap ini bagi mereka yang spiritualnya kurang maka tujuan hidup juga kurang dan tidak mampu
menerima kehidupan (Saarelainen, 2020).
Dimensi Resolusi/Kematian
Pendapat ini didukung dalam jurnal Martins, Caldeira (2018) tentang peranan spiritual
pada pasien terminal diuraikan bahwa kebutuhan spiritual yang terpenting adalah segera
menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan. Karena pada pasien terminal sangat penting
untuk merasa siap sebelum meninggalkan dunia tanpa penyesalan karena masih ada masalah
yang belum selesai. Mereka butuh rekonsiliasi, untuk dimaafkan dan memafkan agar
menemukan kedamaian sebelum ajal menjemput.
Dimensi Apresiasi
Keindahan Dimensi terakhir yang dibutuhkan responden adalah dimensi Apresiasi
keindahan. Menikmati dan menghargai keindahan baik alam maupun seni dapat memberikan
inspirasi dan rasa nyaman, menurunkan kecemasan dan musik juga dapat meningkatkan
kreatifitas dan rasa damai dari dalam diri (Post et al., 2020).
Kesimpulan
Pasien kanker stadium lanjut yang dirawat di salah satu rumah sakit di Bandung
membutuhkan pelayanan spiritual yang meliputi tujuh dimensi spiritual. Dimensi kebutuhan
spiritual tertinggi adalah dimensi ketuhanan dan terendah dimensi apresiasi keindahan.

EVIDENCE BASED NURSING TRANS CULTURAL


DALAM PERAWATAN PALIATIF

Review Artikel / Jurnal Ebn Transkultural Paliatif


Judul : EVIDENCE BASED NURSING SELF-MANAGEMENT UNTUK MENGURANGI
KONSTIPASI PADA PASIEN KANKER PAYUDARA YANG MENJALANI KEMOTERAPI
Penulis : Weny Amelia (STIKes Mercubakti jaya Padang)
Tahun : 2017
Pengertian
Menurut Greenberg & Pyle (2006) dalam Keele (2011), “Evidence-Based Practice adalah
penggunaan bukti untuk mendukung pengambilan keputusan di pelayanan kesehatan”.
ABSTRAK
Self-management (SM) adalah salah satu penerapan Evidence Based Nursing (EBN)
untuk mengurangi konstipasi pada pasien kanker payudara akibat kemoterapi yang
mendapatkan antiemetik 5-hydroxytryptamine (serotonin; 5HT3 yaitu ondansentron). SM
terdiri dari abdominal massage, abdominal streching, dan pendidikan posisi buang air
besar yang tepat. Tujuan dari EBN ini adalah mengidentifikasi efektivitas self-management
(SM) terhadap penurunan konstipasi pada pasien kanker payudara.
Pendahuluan
Kanker payudara merupakan penyebab angka kesakitan dan kematian yang tertinggi di
seluruh dunia termasuk Indonesia. Ada beberapa faktor risiko yang berperan dalam penyakit
kanker payudara, diantaranya yaitu jenis kelamin dan usia. Perempuan mempunyai peluang 100
kali lebih besar mengalami kanker payudara dibandingkan dengan laki-laki dan insiden tersebut
meningkat seiring dengan bertambahnya usia (LeMone & Burke, 2008). Kemoterapi merupakan
salah satu modalitas pengobatan kanker yang sering dan dipilih terutama untuk mengatasi kanker
stadium lanjut lokal maupun metastase (Desen,2011 ). Efek samping dari kemoterapi sangat
banyak, salah satunya adalah konstipasi pada pasien kanker payudara yang mendapatkan
antiemetic 5- hydroxytryptamine (serotonin; 5HT3). Insiden konstipasi pada pasien kanker
payudara akibat dari antiemetik 5HT3 selama menjalani kemoterapi yaitu sebesar 84%.
Perlunya intervensi untuk mengurangi konstipasi pada pasien kanker payudara yang
menjalani kemoterapi yang mendapatkan antiemetik 5HT3. Selain mendapatkan terapi
farmakologis, penanganan konstipasi dapat dilakukan secara non farmakologi. Salah satu terapi
nonfarmakologi yang dapat digunakan yaitu self-management (SM). SM terdiri dari abdominal
massage, abdominal streching, dan pendidikan posisi buang air besar yang tepat (Hanai , et al.,
2016). Abdominal massage telah terbukti efektif menguragi konstipasi (Lamas, 2011).
Menurut beberapa penelitian yang RCT ditemukan bahwa abdominal massage dan
abdominal streching dapat meningkatkan peristaltik sehingga dapat meningkatkan frekuensi
buang air besar dan dapat mengurangi konstipasi kronik (Sinclair, 2011). Abdominal massage
dan abdominal streching tidak boleh dilakukan dalam keadaan demam, menderita penyakit kulit
menular, menderita penyakit infeksi menular, dan gangguan jantung seperti radang pembuluh
darah atau trombosis serta tidak boleh juga dilakukan kepada yang mempunyai varises, luka
baru, luka memar, dan tulang sendi yang meradang atau bergeser (McClurg, 2011). Selain itu
abdominal massage dan abdominal streching tidak boleh dilakukan pada penderita riwayat
obstruksi usus ganas, riwayat penyakit radang usus, spactic colon akibat sindrom iritasi usus
besar, cedera tulang belakang yang tidak stabil, jaringan parut, dan lesi kulit (Lindley, 2014).
Penerapan EBN
Penerapan EBN dilakukan di ruangan rawat inap teratai dan melati Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta pada tanggal 17 April sampai 28 April 2017. Dan dilakukan identifikasi
subjek yang dilibatkan dalam penerapan EBN ini dengan kriteria inklusi pasien yang menjalani
kemoterapi dan mendapatkan antiemetik 5HT3 (ondansentron), pasien yang memiliki skala
ECOG 0 atau 1, pasien yang memiliki kemampuan buang air besar normal sebelum menjalani
kemoterapi, dan pasien yang bersedia ikut serta dalam pelaksanaan EBN dan telah
menandatangai informed consent.
Prosedur dalam penerapan EBN ini dilakukan dengan memperhatikan konsisi klinis
pasien, mengkaji data dasar pasien yang meliputi umur, berat badan, tinggi badan, IMT, dan
protokol atau agen kemoterapi, mengkaji BAB pasien (normal atau konstipasi), dilakukan
pengukuran skor CAS sebelum pelaksanaan intervensi, melakukan SM (pijat perut,
peregangan otot perut, dan menerapkan posisi BAB yang benar dan tepat) selama menjalani
kemoterapi, dan dilakukan pengukuran skor CAS kembali setelah dilakukan intervensi SM.
Langkah-langkah SM yang dilakukan adalah:
1. Pijat perut menggunakan dua atu tiga jari, diusap ke perut searah jarum jam, dilakukan
selama kira-kira 1 menit dan diulang sebanyak 10 kali
2. Peregangan otot perut dilakukan dengan cara :
a. Wind-relieving pose : pasien meletakkan kedua tangannya pada satu lutut dan
menariknya kearah dada dengan lemah lembut kemudian menarik kepalanya
kearah lutut. Posisi ini dilakukan selama 15-30 detik, dalam keadaan yang tenang
pasien disuruh tarik nafas dalam secara perlahan-lahan. Hal yang sama dilakukan
pada lutut yang berlawanan. Posisi ini dilakukan 10 kali perhari.
b. Knees-to-chest-pose : pasien berbaring kemudian mengangkat lutut ke arah dada
dengan meletakkan kedua tangan pada lutut. Posisi ini dilakukan 10 kali perhari.
c. Reclined Spinal Twist: pasien disuruh berbaring di tempat tidur kemudian
memutar pinggul kearah kanan atau kiri sehingga kaki dalam keadaan menekuk
hingga membentuk sudut 90°. Posisi ini dilakukan 10 kali perhari.
3. Posisi buang air yang tepat adalah dengan semi jongkok. Outcome utama yang diukur
adalah penurunan skor konstipasi dengan SM yang diukur menggunakan Constipation
Assessment Scale (CAS).
Pembahasan
Mekanisme abdominal massage dan abdominal streching bisa mengurangi konstipasi
adalah dapat mendorong feses dengan adanya peningkatan tekanan pada inta abdominal. Pada
beberapa kasus neurologi, abdominal massage dan abdominal streching dapat memproduksi
gelombang rektum yang menstimulasi atau merangsang refleks somato autonomik yang
memberikan sensasi pada usus besar. Abdominal massage dan abdominal streching dapat
menurunkan waktu transit kolon, merangsang atau menstimulasi gerakan peristaltik,
meningkatkan frekuensi buang air besar pada pasien yang mengalami konstipasi, dan dapat
mengurangi perasaan tidak nyaman pada saat buang air besar, serta dapat membantu
mempercepat perbaikan konstipasi kronis fungsional.
Hasil yang didapatkan dalam penerapan EBN ini adalah terdapat penurunan skor
konstipasi selama menjalani kemoterapi dengan rata-rata skor konstipasi pada kelompok
intervensi setelah dilakukan SM adalah 3,2 dan rata-rata skor konstipasi pada kelompok kontrol
adalah 7,6. Sesuai dengan penelitian yang mengatakan bahwa tidak konstipasi apabila skor
CAS nya kurang dari 5 (Hanai et al, 2016). Penelitian lain mengemukakan bahwa
abdominal massage efektif dalam mengurangi konstipasi dengan nilai p=0,003 (Lamas, et
al.,2009). Menurut beberapa penelitian yang RCT ditemukan bahwa abdominal massage dan
abdominal streching dapat meningkatkan peristaltik sehingga dapat meningkatkan frekuensi
buang air besar dan dapat mengurangi konstipasi kronik (Sinclair, 2011).
Pemberian pendidikan kesehatan tentang cara buang air besar yang tepat dan benar
adalah posisi jongkok. Salah satu faktor yang berperan pada proses buang air besar adalah sudut
anorektal. Pada posisi jongkok, sudut anorektal menajdi lebih lurus sehingga akan
mempermudah dalam buang air besar. Hal ini juga mengurangi tenaga pada proses buang air
besar dan dapat mencegah serta mengatasi konstipasi. Pada beberapa penelitian menyatakan
bahwa posisi jongkok dapat mengurangi periode waktu buang air besar dan episode ketegangan
pada proses buang air besar (Hanai et al, 2016).
Tujuan dari penerapan EBN SM ini adalah untuk mengurangi konstipasi akibat
antiemetik (ondansentron) selama menjalani kemoterapi pada pasien kanker payudara. Dalam
penerapan EBN ini tidak terdapat kendala yang berarti dan efek yang merugikan. Penerapan
EBN ini dilakukan terhadap 10 orang pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di
ruangan rawat inap. Dalam penerapan EBN ini dapat di integrasikan dengan penerapan teori
peaceful end of life pada pasien kanker yang termasuk ke dalam praktik keperawatan berbasis
bukti- bukti ilmiah.
Kesimpulan
Konstipasi merupakan masalah yang mengganggu kenyamanan bagi pasien
kanker payudara. Pasien yang mengalami konstipasi sangat terkait dengan peran perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan dalam mengurangi konstipasi pasien. Intervensi terapi non
farmakologi merupakan intervensi penting untuk menjamin perawatan yang berkualitas tinggi.
Beberapa hasil penelitian telah melaporkan bahwa intervensi SM merupakan metode yang
mudah dilakukan dan sangat efektif dalam mengurangi konstipasi pada pasien kanker payudara
sehingga dapat meningkatkan kenyamanan pasien dan meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan yang diberikan.

EVIDENCE BASED NURSING (NON FARMACOLOGICAL PAIN MANAGEMENT)

Review Artikel/Jurnal EBN Spritual Care dalam Perawatan Paliatif


Judul : PROMOSI MANAJEMEN NYERI NONFARMAKOLOGI OLEH KELUARGA PADA
PASIEN POST OPERASI DI RUANG BCH RSUPN DR.CIPTOMANGUN KUSUMO
JAKARTA
Penulis : Reni Ilmiasih
Tahun : 2013
Pendahuluan
Ruang BCH merupakan salah satu ruang rawat inap bedah anak yang mempunyai
kapasitas total 27 tempat tidur yang terdiri ruang rawat kelas 2 dan kelas 3. BOR rata-rata dalam
satu bulan mencapai 90%, dengan jumlah tenaga perawat total adalah 19 perawat. Kondisi ini
juga merupakan tantangan baru bagi pelayanan keperawatan di ruang BCH, dimana ruang bedah
yang rata-rata pasien anak memerlukan pengawasan ketat dan tingkat ketergantungan yang tinggi
dengan jumlah perawat yang terkadang tidak sesuai dengan rasio ketergantungan pasien (Studi
dokumentasi proyek inovasi, 2013).
Data yang didapatkan dari pengkajian proyek inovasi sebelumnya oleh Mahasiswa
Praktek Residensi Keperawatan dan mahasiswa aplikasi di ruang BCH didapatkan sebanyak
14,29% perawat menerapkan manajemen nyeri pada anak, hal ini berarti sebagian perawat belum
menerapkan manajemen nyeri khususnya nonfarmakologi pada pasien yang mengalami nyeri
post operasi, dimana dari hasil pencatatan dokumentasi keperawatan didapatkan hampir semua
anak dengan post operasi didapatkan gangguan rasa nyeri meskipun telah diberikan analgesik
(Laporan proyek inovasi, 2012).
Jumlah BOR yang tidak sesuai dengan jumlah perawat mengakibatkan pemberian
pelayanan kurang optimal sehingga salah satu cara dalam membatu optimalisasi pelayanan
keperawatan adalah dengan melibatkan keluarga. Melibatkan keluarga dalam pemberian asuhan
keperawatan sudah dilakukan dalam perawatan colostomy, pengawasan pemberian cairan dan
output, akan tetapi belum dilakukan pada penerapan manajemen nyeri nonfarmakologi.
Metode
Metode pelaksanaan dalam melakukan promosi manajemen nyeri dimulai dengan
pengkajian dan identifikasi masalah di ruang BCH RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Proses selanjutnya dilakukan analisis masalah dan pemecahan masalah. Intervensi sesuai dengan
permasalahan dilakukan setelah disepakati pemecahan masalah bersama dengan perawat
ruangan. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan dan evaluasi. Pengkajian dilakukan dengan
menyebarkan kuesioner mengenai permasalahan utama yang disepakati dengan pihak ruangan.
Penyebaran kuesioner mengenai persepsi perawat tentang manajemen nyeri dan pelaksanaan
manajemen nyeri serta mekanismenya dan siapa yang melakukan pendidikan kesehatan
mengenai manajemen nyeri di lakukan kepada seluruh perawat di ruang BcH. Data pengkajian
yang didapatkan dari aplikasi Evidence Base Nursing dan proyek inovasi sebelumnya, serta data
observasi dan wawancara dengan perawat dan kepala ruang dijadikan data pelengkap dalam
pengkajian.
Hasil dan Pembahasan
Pelaksanaan kegiatan dilakukan mulai dari pengkajian dengan melengkapi data yang
sudah ada, melakukan observasi dan wawancara dengan perawat dan kepala ruang mulai tanggal
8-13 April 2013. Sosialisasi hasil pengkajian dan strategi pelaksanaan dilakukan pada tanggal 17
April 2013 pada waktu operan shift pagi yang dihadiri oleh 15 perawat. Pelaksanaan kegiatan
dilakukan tanggal 22 April-03 mei 2013. Pasien post operasi yang dilakukan manajemen nyeri
nonfarmakologi oleh keluarga antara lain pasien dengan post operasi tutup kolostomi, pasien
post PSAR, pasien dengan post operasi batu ginjal, pasien dengan post operasi
apendiksitis.Keseluruhan jumlah pasien dalam kegiatan ini sebanyak 10 pasien. Keluarga rata-
rata melakukan sebagian besar kegiatan manajemen nonfarmakologi dengan mengisi ceklist yang
dibagikan oleh perawat.
Evaluasi tertulis dengan menyebarkan angket yang diisi keluarga didapatkan 100 %
keluarga menyatakan kegiatan pada format mudah, cukup membantu sebagai panduan, ada
perubahan perilaku anak lebih baik, tindakan yang dilakukan mampu mendistraksi anak terhadap
rasa nyeri, termotivasi untuk melakukan kegiatan di format, kegiatan bermanfaat dalam
menurunkan nyeri. Evaluasi dokumentasi yang dikerjakan perawat didapatkan tindakan
manajemen non farmakologi yang dilakukan orang tua didokumentasikan dalam intervensi
manajemen nyeri perawat pada kolom intervensi dan skala nyeri didokumentasikan sesuai
dengan standard yang seharusnya pada lembar monitor skala nyeri.
Kesimpulan
Pelaksanaan manajemen nyeri non farmakologi dengan bantuan keluarga cukup efektif
dalam meningkatkan intervensi masalah nyeri. Pelibatan keluarga juga efektif dalam
melakukakan intervensi mengatasi masalah nyeri yang di observasi oleh perawat. Sebagian besar
keluarga melakukan lebih dari 50% ceklist tindakan intervensi manajemen nyeri yang diberikan
perawat. Hasil evaluasi skala nyeri menunjukkan terdapat penurunan skala nyeri rata-rata dari
nyeri sedang ke nyeri ringan dan tidak nyeri dengan rentang skala 6-0 menggunakan skala VAS
dan FLACC. Pelaksaaan manajemen nyeri diperlukan adanya kerjasama antara keluarga dan
perawat.

PERAWATAN PASIEN YANG MENINGGAL


Pengertian : Perawatan khusus kepada pasien yang baru saja meninggal.
Tujuan :
 Memberihkan dan merapikan jenazah.
 Memberi rasa puas kepada keluarga pasien.
Persiapan alat :
1. Pakaian khusus (berakshort)
2. Pembalut atau verban
3. Bengkok
4. Pinset
5. Kapas lembab dan kain kasa secukupnya
6. Peralatan yang diperlukan untuk membersihkan jenazah misal baskom
7. Sprey/kain penutup jenazah
8. Tempat pakaian kotor
9. Surat kematian sesuai peraturan yang berlaku
Pelaksanaan :
1. Keluarga pasien diberitahu dengan seksama, bagaimana jenazah akan
dibersihkan
2. Petugas memakai pakaian khusus
3. Jenazah dibersihkan dan dirapikan sesuai kebutuhan
4. Letak tangan pasien diatur menurut agama
5. Kelopak mata dirapatkan dan lubang-lubang pada tubuh ditutup
6. Mulut dirapatkan dengan cara mengikat dagu
7. Kedua kaki dirapatkan, pergelangan kaki dan kedua ibu jari diikat verban
8. Jenazah ditutup rapi dengan kain penutup
9. Surat kematian harus diisi dengan lengkap
10. Jenazah dibawa ke kamar mayat

Anda mungkin juga menyukai