Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Analisa Teori dan Kasus Kelolaan berdasarkan Konsep Medik dan
Konsep Keperawatan
Diabetes Melitus adalah suatu kondisi kronis yang terjadi pada tubuh
saat tidak bisa menghasilkan cukup insulin, tidak dapat menggunakan
insulin atau didiagnosis berdasarkan peningkatan kadar glukosa dalam
darah. Kekurangan insulin atau ketidakefektifan insulin pada seseorang
dengan DM tetapi glukosa tetap berada dalam darah akan menghasilkan
kadar glukosa dalam darah yang tinggi (dikenal sebagai hiperglikemi) dan
dapat menyebabkan kerusakan pada banyak jaringan didalam tubuh serta
membahayakan kesehatan
Secara umum, penderita DM yang biasanya mendapatkan perawatan
di RS diklasifikasikan menjadi dalam 2 bagian besar yaitu DM tipe 1 atau
Insulin Dependent Iabetes Mellitus/IDDM dan DM tipe 2 atau Insulin Non-
Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM.
Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien Tn.W.M., yang
bersangkutan didiagnosis dengan DM Tipe 2. Jika dibandingkan dengan
ciri-ciri DM Tipe 2 berdasarkan teori maka dapat ditarik benang merah pada
kasus pasien. Sesuai dengan teori maka DM Tipe 2 terjadi biasanya pada
usia 30 tahun. Hal ini sejalan dengan pasien dimana pasien terdiagnosis DM
tipe 2 pada tahun 2008, dimana saat itu pasien berusia 36 tahun. Dalam teori
dijelaskan bahwa penderita itu biasanya bertubuh gemuk (obesitas). Hal ini
juga seperti pada pasien dimana ia dulunya memiliki tubuh yang gemuk.
Faktor etiologi sesuai teori dari sisi herediter juga sejalan dengan pasien
dimana berdasarkan hasil pengkajian, pasien mengatakan bahwa ada riwayat
DM dalam keluarganya yaitu ibunya yang menderita DM. Faktor etiologi
lainnya yaitu lingkungan terkait pola hidup. Hal ini juga sejalan dengan
riwayat kesehatan pasien masa lalu dimana ia adalah seorang perokok berat
(1 hari dapat menghabiskan 3 bungkus rokok = ± 48 batang rokok), sering
mengkonsumsi minuman beralkohol (1 – 2 kali/minggu), sering

92
mengkonsumsi makanan cepat saji, daging serta makanan yang berkolestrol
tinggi lainnya.
Berdasarkan teori sehubungan dengan komplikasi dari DM maka salah
1 komplikasi makrovaskuler yaitu penyakit serebrovaskular. Berdasarkan
pengkajian pada pasien maka hal ini juga sejalan dimana berdasarkan
riwayat penyakit dahulu, tahun 2008 pasien dirawat di RS dan didiagnosis
dengan penyakit DM tipe 2 serta Hipertensi. Meskipun sudah menderita DM
tipe 2 dan Hipertensi, pasien tidak merubah pola hidupnya sehingga tetap
merokok, minum minuman keras dan makan makanan cepat saji, daging
serta makanan yang berkolestrol tinggi. Kondisi ini pada akhirnya
mencetuskan komplikasi penyakit serebrovaskuler dimana pada bulan Juni
2017 pasien dirawat di RS karna menderita Stroke, serta mengalami
kelemahan pada kaki dan tangan kiri, dan berbicara pelo.
Sehubungan dengan diagnosis pasien dengan Ganggren DM,
komplikasi mikrovaskuler seperti Neuropati Diabetik dan komplikasi
makrovaskuler seperti Penyakit Vaskuler Perifer dapat menjadi pencetus
munculnya Ganggren. Kondisi Neuropati dimana terjadinya gangguan
persarafan sehingga menyebabkan kehilangan sensasi rasa pada kaki dapat
memicu terjadinya ganggren karna pasien tidak bisa merasakan bila terjadi
luka pada kakinya, yang kemungkinan karna cedera pada kaki. Kondisi
Penyakit Vaskular Perifer dimana terjadi aterosklerotik dalam pembuluh
darah besar pada ekstremitas bawah yang berdampak pada oklusif arteri
yang parah pada ektremitas bawah juga merupakan penyebab utama
terjadinya ganggren. Dalam kasus Ganggren yang pasien alami ini, faktor
pencetus awal yaitu faktor cedera eksternal. Berdasarkan hasil pengkajian
pada pasien, luka pada daerah kakinya itu berawal dari kondisi pasien yang
mengalami hemiparesis pada ekstremitas atas dan bawah sebelah kiri akibat
penyakit stroke, sehingga pasien menjalani tindakan rehabilitasi di RS
maupun di rumah. Saat melakukan rehabilitasi secara mandiri dirumah,
pasien menggunakan alat terapi infra red untuk menyinari daerah kaki
kirinya. Kemungkinan karna terlalu lama disinari pada bagian kaki kiri,
maka saat pasien pergi mandi selesai terapi, begitu kakinya terkena siraman

93
air dingin, maka kaki kirinya sampai pada jari-jari kaki langsung melepuh.
Kondisi dimana pasien tidak mampu merasakan panas yang sudah
berlebihan dari penyiranan infra red ini bisa merupakan salah satu tanda
adanya komplikasi neuropati dimana kehilangan sensasi rasa, yang juga
dipengaruhi oleh kondisi gangguan persarafan akibat stroke hemiparesis
yang dialami pasien.
Setelah terjadinya luka pada daerah kaki kirinya, pasien berpikir
bahwa luka itu pasti dapat sembuh sehingga hanya dirawat dengan betadin
dan ditutupi kasa serta tidak pernah dikonsultasikan ke dokter. Pasien dan
istrinya kemudian menyadari bahwa luka ini sulit sembuh dan malah
semakin besar, bernanah kuning kecoklatan dan berbau, setelah kurang lebih
2 ½ bulan kemudian. Setelah menyadari hal ini barulah pasien
memeriksakan diri ke poli RS Kramat, dan berdasarkan hasil pemeriksaan
dokter maka pasien dianjurkan untuk dirawat di RS dan menjalani operasi
untuk debridement lukanya.
Pemahaman pasien dan istrinya ini sehubungan dengan penyembuhan
luka tentu tidak sesederhana dengan proses penyembuhan luka tanpa
komplikasi DM. Luka ganggren pada DM sulit untuk sembuh jika tidak
dirawat secara dini dengan baik karna pengaruh tingkat glukosa yang tinggi
dalam darah yang dapat menghambat proses penyembuhan luka, serta selain
itu dengan adanya peningkatan glukosa darah, kondisi ini dapat menarik
perkembangan bakteri/kuman pada daerah luka sehingga menyebabkan luka
mengalami terinfeksi, menghasilkan eksudat dan bau, serta sangat sulit
untuk disembukan jika hanya dengan perawatan seadanya seperti yang
pasien lakukan.
Dalam penanganan luka ganggren yang pasien alami, pasien
menjalani tindakan pembedahan debridement, sehingga saat pengkajian
pasien didiagnosis dengan Post Debridement Ganggren DM. Pada malam
hari setelah dilakukannya debridement, terjadi perdarahan pada luka namun
langsung mendapatkan penanganan. Pasien mengatakan bahwa lukanya
mengalami perdarahan yang cukup banyak hingga menetes melalui perban
dan merembes ke tempat tidur, namun segera ditangani oleh dokter dan

94
perawat. Sejak malam hingga pagi ini sudah tidak ada perdarahan lagi.
Perdaharan luka ini bisa terjadi karna pengaruh vascular perifer dimana
gangguan DM juga dapat menyebabkan efek pada faktor koagulan darah.
Efek dari perdaharan, baik saat operasi maupun juga bisa karna perdarahan
luka post operasi itu dapat teridentifikasi pada pemeriksaan laboratorium
tanggal 8 November 2017 dimana nilai Hb turun menjadi 9.90 (normal
12.00 – 14.00), Hematokrit turun menjadi 28.30 (normal 36.00 – 42.00).
Dengan data sehubungan dengan perdarahan dan hasil laboratorium serta
kondisi pasien ini maka penulis menetapkan salah satu masalah keperawatan
yaitu Risiko Perdarahan.
Dalam pengkajian yang dilakukan, Pasien mengatakan bahwa ia
masih merasa nyeri pada luka daerah kaki kirinya, skala nyeri 6 – 7. Pasien
mengatakan rasa nyeri pada luka kaki kirinya dirasakan sejak dia sadar
penuh setelah operasi, sekitar pukul 21.00 malam tanggal 7 November 2017.
Didasarkan pada data yang ada maka penulis juga menetapkan salah satu
masalah keperawatan yaitu Nyeri Akut. Meskipun nyeri yang dialami pasien
skalanya 6 – 7, intensitas nyeri sedang – berat, namun hal ini juga
merupakan satu focus penanganan karna dalam konsep kenyamanan, hal ini
merupakan suatu gangguan ketidaknyamanan yang perlu mendapatkan
penanganan agar pasien terbebas dari gangguan rasa nyaman.
Dalam pengkajian pada pasien, kondisi hemiparesis pada ekstremitas
kanan dan kiri masih sangat nampak jelas. Hal ini menyebabkan pasien
mengalami hambatan dalam aktifitasnya. Hambatan ini pula diperberat
dengan adanya luka post debridement pada daerah kaki kirinya.
Pemeriksaan kekuatan otot pada lengan kiri yaitu nilai 2 (Mampu menahan
tegak/gaya grafitasi, tapi dengan sentuhan akan jatuh ), sedangkan untuk
kaki kiri tidak diperiksa karna adanya luka post debridement. Jika
dibandingkan dengan keterangan pasien bahwa saat proses rehabilitasi
fisioterapi, pasien sebenarnya sudah bisa berjalan secara perlahan-lahan
dengan menggunakan tongkat. Dengan data ini maka penulis juga
menetapkan salah satu masalah keperawatan yaitu hambatan mobilitas fisik.

95
Masalah keperawatan lainnya yang juga penulis tetapkan pada kasus
pasien ini adalah Risiko Infeksi. Berdasarkan data hasil pengkajian dimana
adanya luka post debridement ganggren DM, dan didukung dengan adanya
peningkatan leukosit yaitu 14,39 (normal 5.00 – 10.00), kemudian ada
riwayat perdarahan pada luka beberapa jam setelah post operatif. Saat dikaji
memang SB masih dalam rentang normal yaitu 36,6˚C dan pemeriksaan
GDS tanggal 8 November 2017 dalam rentang normal yaitu 149.00 (80.00 –
180.00), namun kewaspadaan dalam hal kejadian risiko infeksi luka sangat
penting untuk menjadi focus perhatian dalam perawatan pada pasien. Hal ini
juga untuk mengevaluasi kemajuan penyembuhan luka, karna bila terjadi
infeksi maka proses penyembuhan luka akan menjadi semakin lebih lambat
dan yang paling dikhawatirkan adalah jika justru luka post debridement ini
berkembang menjadi ganggren yang lebih berat sehingga dapat
menyebabkan amputasi, akibat adanya infeksi yang meluas dan tidak
tertangani dari awal perawatan luka.
Dalam merawat pasien Tn.W.M. ini, penulis mengaplikasikan teori
keperawatan dari Dorothea E. Orem yaitu Self Care atau Perawatan Diri.
Teori ini diaplikasikan dalam perawatan pasien ini karna didasarkan pada
konsep Orem tentang keperawatan dimana dijelaskan bahwa “keperawatan
merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang diselenggarakan untuk
memberikan perawatan langsung kepada orang-orang yang benar-benar
memiliki kebutuhan perawatan langsung akibat gangguan kesehatan mereka
atau secara alamiah mereka yang membutuhkan perawatan kesehatan”.
Sesuai dengan konsep ini maka pasien Tn.W.M ini merupakan individu
yang memerlukan kebutuhan untuk perawatan langsung karna adanya
gangguan kesehatan yang dialami, yaitu adanya luka post debridement pada
kaki kiri, serta kondisi dimana pasien mengalami hemiparesis pada
ekstremitas atas dan bawah sebelah kiri akibat dari penyakit Stroke yang
diderita.
Dalam konteks syarat perawatan diri sesuai dengan konsep Orem,
dijelaskan bahwa hal ini ada untuk orang sakit atau terluka, yang memiliki
kondisi khusus atau gangguan patologis, termasuk defek dan disabilitas, dan

96
yang berada di bawah diagnosis dan pengomabtan medis. Terkait dengan
kondisi pasien maka syarat perawatan diri ini nampak pada disabilitas
pasien karna mengalami kondisi hemiparesis ekstremitas atas dan bawah
sebelah kiri, yang juga diperberat dengan adanya luka pada kaki kiri.
Syarat perawatan diri universal yang harus dipenuhi pada pasien
Tn.W.M ini yaitu terkait dengan pemeliharaan keseimbangan antara
aktivitas dan istirahat serta dalam hal pencegahan bahaya. Meskipun dalam
kondisi hemiparesis, akan tetapi pola keseimbangan aktifitas harus tetap
dipelihara dan dikembangkan seiring waktu agar pasien dapat berpartisipasi
dalam aktifitas terutama dalam pemenuhan kebutuhan ADL. Pencegahan
bahaya juga menjadi satu perhatian penting dalam self care karna dengan
kondisi pasien saat ini, bahaya untuk terjadinya perdarahan pada luka
maupun juga terjadinya risiko infeksi pada luka sangat penting untuk
dicegah. Selain itu faktor jatuh juga penting untuk diperhatikan karna
dengan kondisi saat ini, kejadian jatuh merupakan suatu hal yang patut
diwaspadai baik oleh keluarga maupun oleh tenaga kesehatan.
Dengan adanya bantuan terkait self care pada pasien maka diharapkan
bahwa kondisi pasien akan berangsur-angsur membaik, pemulihan serta
proses penyembuhan luka dapat berjalan dengan lancar. Setelah luka
sembuh maka melalui perawatan self care terkait aktivitas latihan untuk
rehabilitasi medic pada daerah ekstremitas atas dan bawah sebelah kiri juga
dapat dilakukan kembali secara rutin, sehingga pasien dapat pulih dari
kondisi hemiparesis yang dialami.

4.2 Analisa Pengalaman Penulis


Penulis merasa sangat terbantu dalam meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam hal perawatan pasien, khususnya pada kasus Tn.W.M.
dengan Post Debridement Ganggren Pedis Sinistra DM Tipe II, dengan
riwayat penyakit Stroke Non Hemoragic dan Hipertensi.
Dalam hal pengetahuan, penulis semakin memahami pengaruh dari
faktor pola hidup yang dapat menyebabkan DM Tipe 2. Pola hidup yang
tidak sehat seperti merokok, alcoholic, konsumsi makanan tinggi kolestrol

97
yang berlebihan, serta ketidakpatuhan dalam memodifikasi pola hidup
sangat jelas dampaknya pada pasien ini. Dalam hal perawatan luka memang
penulis tidak mendapatkan pengalaman yang banyak karna perawatan dan
penggantian perban luka dilakukan setiap 5 hari dan penulis tidak sempat
untuk membantu pelaksaanaan perawatan luka. Namun terkait kondisi luka,
kejadian perdarahan ternyata patut menjadi kewaspadaan karna meskipun
pelaksanaan bedah debridement ini dipersiapkan dengan baik, risiko
perdarahan itu selalu ada dan berpotensi terjadi untuk kasus post operasi.
Dalam konteks stroke dengan hemiparesis yang dialami pasien,
penulis juga banyak mendapatkan informasi pengetahuan dimana fungsi
rehabilitasi medic sangat penting karna berdasarkan pengalaman klien
bahwa pada awalnya ia berbicara pelo, saat ini ia sudah bisa berbicara
dengan baik. Rehabilitasi kakinya juga membawa hasil yang baik, tentunya
sebelum kondisi ganggren luka dan tindakan debridement ini. Khusus pada
tangan kirinya, memang proses rehabilitasi agak lambat, namun satu hal
penting bahwa motivasi dari pasien untuk dapat pulih dari kondisi
kelemahan tubuh merupakan hal yang penting dalam hal terapi rehabilitasi
medic.
Dalam konteks pengalaman akan keterampilan merawat pasien ini,
salah satu keterampilan yang penting dalam mengawali proses perawatan
adalah keterampilan dalam hal komunikasi terapeutik. Komunikasi
terapeutik yang dibangun oleh penulis dengan pasien dan keluarga menjadi
jalan yang membawa penulis untuk dapat memperoleh kepercayaan pasien
dan dapat mengkaji serta memberikan tindakan keperawatan dengan
maksimal. Penulis menyadari bahwa tanpa adanya komunikasi terapeutik,
tentu hubungan saling percaya tidak akan terjalin dan hal itu akan membuat
fungsi pelayanan keperawatan menjadi tidak maksimal. Lewat komunikasi
terapeutik pula maka penulis dapat melakukan tindakan – tindakan
perawatan, terkait observasi, tindakan mandiri, penyuluhan serta pemberian
obat baik oral maupun intravena dapat penulis lakukan dengan baik pada
pasien ini. Lewat komunikasi terapeutik pula maka pasien dan keluarga
dapat menceritakan secara terbuka pengalaman mereka sehubungan dengan

98
kondisi penyakit yang dialami pasien, dan hal ini menjadi salah satu
kebanggaan penulis dimana penulis berhasil membangun hubungan saling
percaya dengan pasien dan keluarganya.

4.3 Evidence Base yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait
kasus dan teori
Berdasarkan kasus pada pasien Tn.W.M. dengan post debridement
ganggren DM, maka penelitian yang didasarkan pada evidence base yang
perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut adalah terkait dengan
penggunaan wound dressing untuk perawatan luka agar luka dapat sembuh.
Saat ini telah banyak modern wound dressing yang digunakan untuk
penyembuhan luka dengan hasil yang baik, namun perlu juga disadari
bahwa biaya untuk penggunaan modern wound dressing itu sangat besar
sehingga hal ini juga merupakan satu hambatan didalam pemilihan bahan
untuk perawatan luka. Didasarkan pada hal ini maka perlu untuk
dipertimbangkan kembali pemilihan wound dressing yang dapat menunjang
perawatan luka dengan biaya yang dapat terjangkau.
Terkait dengan pemilihan wound dressing yang low-cost ini maka
penulis hendak mengangkat 2 jurnal penelitian yang dapat dijadikan acuan
untuk dikembangkan melalui penelitian-penelitian kedepan sehingga dapat
memperkuat evidence base agar dapat menjadi alternative pilihan disaat
menghadapi kendala utama dalam perawatan yaitu sehubungan dengan
biaya perawatan luka.
Jurnal utama yang penulis gunakan yaitu “Comparative study of
papaya dressing versus normal saline dressing in healing of ulcers”
(Vasuki, V., et all., 2017) dan jurnal pembanding yaitu “Role of Papaya
Dressings in the Management of Diabetic Foot Ulcers” (Ihtasham, M., et
all., 2014).
Judul Jurnal  “Comparative study of papaya dressing versus normal
dan Peneliti saline dressing in healing of ulcers”
 Vasuki, V., et all (2017)
 International Surgery Journal Vasuki V et al. Int Surg J.

99
2017 Apr;4(4):1209-1216 http://www.ijsurgery.com
 DOI: http://dx.doi.org/10.18203/2349-
2902.isj20171020
 Received: 21 February 2017
 Accepted: 07 March 2017
Population/  Populasi: Pasien dengan ulcer diabetes mellitus, infeksi
Disease of luka di Chennai, Tamilnadu, India
Interest  Sampel: 100 orang yang mengalami ulcer diabetes
mellitus, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
1. Kelompok Intervensi dengan menggunakan
dressing luka berbahan Pepaya: 54 laki-laki dan 46
perempuan
2. Kelompok Intervensi dengan menggunakan
dressing luka cairan normal saline : 56 laki-laki
dan 44 perempuan
 Kriteria Inklusi
 Pasien berusia di atas 20 tahun dengan ulkus
diabetes dan ulkus yang terinfeksi.
 Ulcer grade-II dan grade-III.
 Kriteria Eksklusi
 Luka dengan infeksi aktif yang parah
 ulcer grade lebih dari III
 Gambaran X-Ray dari osteomielitis yang
mendasarinya
 Kaki diabetik dengan penyakit vaskular mayor
 Diabetes melitus yang tidak terkontrol
 Pasien dengan penyakit hati, ginjal dan
hematologis
yang merusak penyembuhan luka
 Pasien dengan obat imunosupresif, jangka panjang
terapi steroid, terapi radio atau kemoterapi.
Intervention/  Jenis penelitian: Kualitatif

100
Issue of
Interest  Metode penelitian: Randomized, Comparative
Interventional
 Tujuan: Untuk membandingkan efektivitas saus pepaya
versus debridemen dengan cairan normal saline dalam
penyembuhan ulkus.
 Intervensi perawatan luka dengan menggunakan saus
papaya dan cairan normal saline dilakukan selama 4
minggu
Compare  Judul dan Peneliti: “Role of Papaya Dressings in the
Management of Diabetic Foot Ulcers” (Ihtasham, M.,
et all., 2014).
 Sumber jurnal: Journal of Rawalpindi Medical College
(JRMC); 2014;18(1):87-89
 Tujuan Penelitian: Untuk menilai peran dressing
pepaya dalam pengelolaan kaki diabetik dalam hal
penyembuhan ulkus.
 Sampel:
 Pasien berjumlah 43 orang dengan kaki diabetes
dari semua kelas yang disertakan.
 Usia pasien berkisar antara 40 sampai 70 tahun.
 Rentang usia pasien berada pada kelompok umur
50 sampai 60 tahun.
 Mayoritas laki-laki (72,1%) dengan rasio laki-laki
dan perempuan 2,6 : 1. Ada 55,8% pasien dengan
luka grade II. 24 pasien (55,8%) dioperasikan
untuk debridemen dan 19 pasien (44,2%) dengan
amputasi.
 Pasien dengan kaki diabetes berulang, gula darah
yang tidak terkontrol, penyakit iskemik perifer,
gagal ginjal kronis, penyakit jantung iskemik,
hepatitis dan keganasan dikeluarkan.

101
 Grade ulkus diabetes dikelompokkan menurut
sistem klasifikasi Wagner.
 Metode penelitian: Penelitian Eksperimental
 Pelaksanaan penelitian:
 Manajemen awal meliputi antibiotik empiris,
debridement bedah atau amputasi, kontrol glikemia
dengan bantuan dokter dan kemudian perawatan
luka dengan bantuan dressing pepaya.
 Kulit dan biji pepaya dibuang dan dagingnya
dihaluskan menjadi pasta. Pasta dioleskan ke luka
dan ditutup dengan potongan kain kasa steril untuk
dressing. Pasta pepaya disimpan dingin dan
digunakan sampai habis.
 Pasien dan petugas juga dididik untuk penggantian
dressing luka.
 Dressing diganti setiap 48 jam sekali. Pasien
dipulangkan setelah penanganan luka awal dan
pengendalian gula darah. Sisa dressing dilakukan
secara kunjungan rawat jalan.
 Lukanya dinyatakan sehat saat diisi dengan
jaringan granulasi yang sehat dan mengalami
pertumbuhan epitel di tepinya.
 Setelah itu dressing pepaya dihentikan dan dressing
sederhana tanpa obat dilakukan sampai penutupan
luka total.
 Hasil penelitian:
 Penggunaan balutan pasta pepaya dalam penelitian
kami secara signifikan mengurangi risiko
intervensi bedah dan amputasi. Durasi
penyembuhan rata-rata kaki diabetes dalam
penelitian kami adalah 19,23 hari. Penyembuhan
itu diberi label pada luka-luka yang memiliki

102
jaringan granulasi yang sehat dan memiliki
epitelium tumbuh di pinggirannya.
 Upah pepaya topikal memberikan hasil yang baik
pada pasien dengan ulkus kaki diabetik dengan
mempercepat durasi penyembuhan dan mengurangi
intervensi bedah karena debridemen mikro
enzimatik dan juga merupakan pilihan biaya yang
efektif untuk pengelolaan kaki diabetes.
 Waktu penelitian: 1 September 2011 sampai 30 Juni
2013.
Outcome  Kelompok intervensi dengan menggunakan saus
pepaya menunjukkan penurunan reduksi slough luka
yang lebih baik pada minggu ke-2, ke-3 dan ke-4
dibandingkan dengan penggunaan cairan normal saline
 Perbandingan antara kedua kelompok menunjukkan
hasil bahwa pepaya menunjukkan pembentukan
jaringan granulasi yang lebih baik setelah minggu ke 2,
3 dan 4 bila dibandingkan dengan kelompok intervensi
dengan penggunaan cairan normal saline
 Ada perbedaan yang signifikan dalam persentase
penurunan slough jaringan nekrotik pada kelompok
pepaya dibandingkan dengan kelompok penggunaan
cairan normal saline. Hilangnya jaringan slough /
nekrotik lebih signifikan pada kelompok pepaya pada
minggu ke 3 dan ke 4 bila dibandingkan dengan
kelompok penggunaan cairan normal saline.
 Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan (p-value <0,001) dalam
pembentukan jaringan granulasi dengan saus pepaya
bila dibandingkan dengan penggunaan cairan normal
saline pada minggu ketiga dan keempat. Hal ini
disebabkan pembentukan jaringan granulasi yang

103
disebabkan oleh papain dan chymopapain. Penurunan
slough dengan pepaya juga signifikan, karena 96%
pasien benar-benar sembuh dari slough pada akhir
minggu keempat, bila dibandingkan dengan 36%
dengan penggunaan cairan normal saline. Nilai p
(0,0082) signifikan selama minggu kedua, minggu
ketiga dan keempat dari saus pepaya.
Time Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Medis Kilpauk dari
Agustus 2013 sampai Agustus 2014

4.4 Implementasi Aspek Etik dan Legal terkait dengan Klien dan Keluarga
1) Autonomy/Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa
dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih
dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh
orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan
kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional
merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam
membuat keputusan tentang perawatan dirinya. Dalam kasus ini maka
perawat menjalankan tugas pelayanan dengan mengkomunikasikan
segala bentuk tindakan yang hendak dilakukan serta tujuan pelaksanaan
tindakan itu. Namun untuk melakukannya, perawat tentunya
membutuhkan persetujuan dari pasien karna pasien memiliki hak untuk
menyetujui maupun tidak menyetujui tindakan yang hendak dilakukan.
Dengan menghormati keputusan pasien ini maka perawat telah
menerapkan prinsip ini, dengan tetap memberikan pendidikan kesehatan
agar pasien bisa mengerti dengan baik segala tindakan keperawatan
yang hendak diberikan.

104
2) Beneficience/Bermanfaat
Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan hal yang baik dan
bermanfaat. Dalam hubungan dengan kasus klien ini maka peran
perawat adalah memberikan perawatan yang sesuai dengan standar
prosedur operasional serta berdasarkan evidence base nursing sehingga
segala tindakan keperawatan yang diberikan benar-benar dapat
bermanfaat untuk status pemulihan kondisi penyakit klien. Tindakan
mandiri perawat seperti dalam mencegah nyeri dengan teknik relaksasi
napas dalam, mencegah perdarahan dengan meninggikan daerah kaki
yang merupakan lokasi debridement, pencegahan infeksi dengan
mengedepankan praktik cuci tangan sebelum dan sesudah merawat
pasien merupakan contoh-contoh nyata tindakan yang dapat bermanfaat
untuk pasien dalam meningkatkan proses penyembuhan.
3) Non-maleficience/Tidak merugikan
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada pasien. Dalam hubungan dengan kasus klien ini maka
peran perawat adalah memberikan perawatan tanpa menimbulkan efek
negative/bahaya pada klien. Hal ini tentu dapat diwujudkan jika perawat
bertindak sesuai dengan standar prosedur operasional yang berlaku dan
selalu mengkonfirmasikan kembali dengan teman sejawat segala hal
sehubungan dengan perawatan klien. Pendidikan kesehatan dalam hal
meningkatkan mobilisasi pasien harus menyesuaikan dengan kondisi
pasien agar tidak menimbulkan cedera pada pasien. Pendampingan pada
pasien saat hendak mobilisasi seperti saat pasien hendak ke WC
merupakan salah satu contoh tindakan untuk mencegah kondisi yang
dapat menyebabkan kerugian berupa cedera pada pasien.
4) Justice/Keadilan
Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja
benar sesuai hukum, standar praktik dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan tanpa membedakan pasien
berdasarkan status ekonomi, sosial, suku, ras, dll. Dalam hubungan

105
dengan kasus pasien ini, perawat hadir sebagai pemberi pelayanan tanpa
membeda-bedakan antara pasien yang satu dengan yang lain, sehingga
tindakan keperawatan yang diberikan benar-benar maksimal dan dapat
bermanfaat untuk klien.
5) Veracity/Kejujuran
Nilai ini bukan hanya dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki oleh
seluruh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran
pada setiap klien untuk meyakinkan agar klien mengerti. Informasi
yang diberikan harus akurat, komprehensif, dan objektif. Kebenaran
merupakan dasar membina hubungan saling percaya. Dalam hubungan
dengan kasus ini, perawat menjadi sumber informasi bagi klien maupun
keluarga dalam hal memberikan kejelasan baik yang berhubungan
dengan kondisi klien, tujuan perawatan, sumber yang mendukung
perawatan klien, maupun segala hal yang hendak diketahui oleh
keluarga maupun klien dengan tentunya mempertimbangkan kondisi
klien khususnya agar didalam pemberian informasi tidak menimbulkan
masalah stress yang menjadi masalah baru bagi klien ataupun bagi
keluarga. Informasi sehubungan dengan proses penyembuhan luka
harus dijelaskan bahwa untuk kasus pasien ini, penyembuhan luka
memang memakan waktu yang agak lama, namun dengan motivasi dan
kepatuhan pasien dalam menjalani perawatan, maka peluang untuk
kesembuhan luka dapat berjalan lancar.
6) Confidentiality/Kerahasiaan
Kerahasiaan mengenai informasi tentang klien harus dijaga karena hal
tersebut merupakan privasi klien. Dalam hubungan dengan kasus ini
maka peran perawat adalah menjaga kerahasiaan informasi kesehatan
klien dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan.

4.5 Hambatan saat Pengkajian


Dalam melaksanakan pengkajian pada pasien ini ada beberapa
hambatan yang penulis alami yaitu:

106
1. Pemeriksaan laboratorium yang tidak dilakukan secara rutin. Hal ini
menjadi satu hambatan karna penulis hendak memantau perkembangan
Hemoglobin, Hematokrit, dan Leukosit maupun juga hasil GDS terkait
dengan kondisi pasien dimana adanya luka post debridement yang
berisiko terjadinya perdarahan berulang, maupun juga berisiko
terjadinya infeksi sekunder
2. Penulis tidak melihat secara langsung kondisi luka sebelum dan sesudah
dilaksanakannya tindakan debridement. Hal ini menjadi satu hambatan
dalam pengkajian karna dalam menentukan luas luka, kondisi luka dan
kedalaman luka sebelum debridement, serta kondisi luka post
debridement itu itu tidak ada data yang akurat.
3. Penulis tidak mendapatkan kesempatan untuk merawat luka post
debridement karna perawatan luka nanti dilakukan 5 hari kemudian
oleh dokter bedah. Hal ini menjadi salah satu kekurangan karna penulis
tidak dapat mengevaluasi kondisi luka sehubungan dengan proses
penyembuhan luka, serta penulis tidak mendapatkan pengalaman secara
nyata dalam hal keterampilan perawatan luka post debridement.

107

Anda mungkin juga menyukai