Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

VOTUM, SALAM, DAN INTROITUS

D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Nama Kelompok 2
- Delila Bancin NIM. 200201068
- Mende Maharani Berutu NIM. 200201051
- Perawati Banurea NIM. 200201052
Prodi : Teologi
Grub :VC
Dosen Pengampu : Chintya Megaria Situmeang, M. Th

Institut Agama Kristen Negeri Tarutung


TA 2021/2022
Banyak tata kebaktian dari gereja-gereja di Indonesia mulai dengan votum dan salam.
Namun, ada juga yang memakai introitus: nyanyian masuk dengan atau tanpa nats
pendahuluan. Kebiasaan ini diambil alih dari gereja-gereja di Nederland. Gereja-gereja lain di
luar negeri tidak mengenal kebiasaan ini. Demikian pula gereja-gereja pada waktu reformasi
dan Gereja Lama dalam abad-abad pertama.
Gereja Katolik Roma: persiapan (yang terdiri dari doa imam di kaki mezbah,
pengakuan dosa dan permohonan pengampunan dosa), introitus, Kyrie eleison, Gloria
in excelsis Deo, dan seterusnya.
Gereja Katolik Lama: persiapan (yang terdiri dari doa imam di kaki mezbah,
pengakuan dosa dan permohonan pengampunan dosa), Kyrie eleison, Gloria in
excelsis Deo, dan seterusnya.
Gereja Yunani Ortodoks: persiapan (= proskomedia, yang terdiri dari penyediaan
elemen-elemen eukharistia), ekteni besar, Kyrie eleison, dan seterusnya.
Gereja Anglikan: mulai dengan doa Bapa Kami, kollekta (doa penyucian), dasar
firman, kollekta (doa) untuk raja, (doa) dari minggu itu, dan seterusnya.
Gereja Lutheran Evangelis (di Nederland): mulai dengan votum, adjutorium
(termasuk pengakuan dosa, permohonan pengampunan, pemberitaan anugerah),
introitus, Kyrie eleison, dan seterusnya.
Gereja Hervormd (di Nederland): mulai dengan votum, salam, introitu (terdiri atas nas
pendahuluan dan nyanyian, dasafirman, dan seterusnya
Gereja-gereja Gereformeerd (di Nederland): mulai dengan votum, salam berkat,
nyanyian pendahuluan, dasa firman, dan seterusnya.
1. Votum
Seperti yang dikatakan di atas, kombinasi votum dan salam adalah kebiasaan yang
diambil alih dari gereja-gereja di Nederland. Dalam abad-abad pertama jemaat memulai
ibadahnya dengan salam. Hal itu berjalan terus sampai masa reformasi.
Micron (1554) memulainya dengan: Karena Saudara-saudara berkumpul di sini untuk
belajar dari firman Allah tentang keselamatan jiwa Saudara-saudara, baiklah kita
pertama-tama memohon anugerah ilahi dari Tuhan kita.
Suatu tata kebaktian untuk pelayanan baptisan anak yang dipakai di Zürich (1525)
mulai dengan: Dalam nama Allah! Amin! Pertolongan kita berdasar atas kuasa Tuhan,
yang menjadikan langit dan bumi!
Calvin (dalam kebaktian pemberitaan firman) memulainya dengan: Pertolongan kita
adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi (Mzm. 124:8).
Berdasarkan kebiasaan Calvin tersebut Sinode Dordrecht (1574) kemudian mewajibkan
pemakaian Mazmur 124:8 sebagai votum di dalam kebaktian.
Votum adalah sebuah pernyataan dalam liturgi Gereja Protestan, yang dibacakan oleh
Pendeta, biasanya setelah perarakan Majelis (Introit). Votum merupakan suatu pernyataan
atau proklamasi bahwa Tuhan Sang Pencipta adalah yang melandasi peribadahan tersebut.
Votum bukanlah "Doa Pembukaan", karena doa pembukaan, yang umumnya dibacakan
setelah Votum, bertujuan memohon kehadiran Tuhan dalam peribadahan. Votum merupakan
kontribusi Yohanes Calvin bagi Gereja Protestan. Bacaan votum dalam liturgi gereja
biasanya berbunyi:
"Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi".
Dalam sejumlah gereja yang menganut Calvinis, seperti contohnya di GMIT, berbunyi:
"Pertolongan kita adalah dalam nama Bapa Putera dan Roh Kudus, Amin."
Kemudian jemaat biasanya menjawab dengan: "Amin" atau melantunkan dalam bentuk
nyanyian, misalnya Kidung Jemaat No. 478 c, "Amin" sebanyak 3 kali.
a. Menurut Kuyper votum itu bukan doa, melainkan suatu keterangan khidmat, "Dalam rapat-
rapat biasanya ketua memberikan keterangan yang semacam itu kalau ia mengatakan 'Saya
membuka rapat’. Keterangannya itu bukan suatu perkataan yang kosong saja, melainkan
suatu perbuatan penting, yang mengubah suatu pertemuan yang tidak teratur menjadi suatu
rapat yang teratur. Votum dapat dibandingkan dengan keterangan ketua ini. Benar, keduanya
tidak sama derajatnya, votum jauh lebih penting daripada keterangan ketua, tetapi fungsinya
tidak berbeda: oleh keterangan ketua, pertemuan yang tidak teratur berubah menjadi rapat
yang teratur. Demikian pula oleh votum, anggota-anggota jemaat yang datang berkumpul di
dalam ruang ibadah berubah menjadi persekutuan orang percaya. Maksud votum ialah untuk
mengkonstatir 'hadirnya Tuhan Allah' di tengah-tengah umat-Nya. Oleh karena itu, votum
harus diucapkan pada permulaan kebaktian.”
Pemimpin-pemimpin Gerakan Liturgia (dari Gereja Hervormd) di Nederland
menganut pandangan yang sama. Dengan rupa-rupa jalan mereka mengulangi apa yang
dikatakan oleh Kuyper di atas, antara lain seperti berikut.
Van der Leeuw, "Votum harus diucapkan pelayan, segera sesudah pelayan memasuki
ruang ibadah. Dalam votum terletak amanat, kuasa (eksousia) Allah. Segala sesuatu
yang menyusul berlangsung dalam nama-Nya. Oleh karena itu, sama sekali tidak ada
gunanya mengucapkan votum sesudah bagian-bagian yang lain berlangsung. Votum
harus diucapkan pada permulaan kebaktian. Hanya nyanyian masuk saja yang boleh
mendahuluinya."
Stevens, "Votum artinya janji yang khidmat. Votum dapat diumpamakan dengan cap
pada sepucuk surat. Cap itu yang menentukan isinya. Jadi, votum mencap pertemuan
jemaat dan memeteraikannya menjadi ibadah atau kebaktian gereja. Melalui votum
pertemuan jemaat mendapat sifatnya yang khusus dan dibedakan dengan pertemuan-
pertemuan yang lain. Melalui votum orang-orang yang datang berkumpul dari segala
tempat (kota dan desa) di dalam kebaktian berubah menjadi jemaat Yesus Kristus.
Oberman juga mengumpamakan votum dengan cap dan keterangan yang mengubah
pertemuan orang-orang Kristen menjadi jemaat Yesus Kristus. Sama seperti kawan-
kawannya, ia juga menuntut supaya votum diucapkan pada permulaan kebaktian.
Brink, "Votum artinya janji. Janji Kristus adalah bahwa di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam nama-Nya, Ia akan hadir di tengah-tengah mereka. Melalui votum
pertemuan jemaat dicap menjadi ibadah, ibadah kepada Tuhan. Ia hadir bersama-sama
jemaat. Karena itu votum bukan hanya rumus pembukaan saja. Votum lebih daripada
itu.
Noordmans berkeberatan terhadap pandangan para pemimpin Gerakan Liturgia. Ia
mengatakan bahwa hadirnya Tuhan Allah di dalam kebaktian itu bukanlah secara mekanis,
melainkan berdasarkan atas kehendak dan kemurahan-Nya. Oleh karena itu, kita tidak dapat
berkata bahwa Tuhan Allah juga pergi ke gereja kalau kita pergi kesana. Kita tidak dapat
memaksa-Nya dengan alat-alat (antara lain kultus) kita untuk berbuat demikian. Allah hadir
kalau Ia mau. Kehadiran-Nya sama sekali tidak bergantung (dan terikat) pada akta-akta
liturgia tertentu, misalnya pada waktu votum diucapkan pelayan, "Ia dapat absen selama
kebaktian dan berdiam diri selama khotbah berlangsung". Ia juga dapat tuli terhadap doa dan
nyanyian (jemaat). Benar, berdasarkan kehadiran-Nya di segala tempat, Ia juga hadir di
dalam gereja, tetapi hal itu tidak kita perhatikan di sini. Yang kita maksudkan ialah arti (dan
maksud) religius dari kehadiran-Nya. Kalau kita bertemu dengan Allah, maka pertemuan itu
harus datang dari pihak-Nya. Untuk itu Ia telah memilih alat-alat-Nya (firman dan roh-Nya)
sendiri. Gereja Kristen sejak semula menyaksikan hal itu dalam epiklese (seruan kepada Roh
Kudus), dalam seruan tersebut kita memohon pertemuan dengan Tuhan Allah."
Stam juga tidak setuju dengan pandangan para pemimpin Gerakan Liturgia. Ia
berkata, "Tidak benar bahwa oleh votum kehadiran Allah ditetapkan di tengah-tengah jemaat
yang berkumpul. Tidak benar juga bahwa kalau orang mendengar, Tuhan Allah berkata-kata.
Hadirnya Tuhan Allah tidak bergantung pada kemauan kita untuk mendengarkan. Tetapi
dalam percaya bahwa Ia mau berkata-kata, jika Ia mau berbuat demikian, dan dalam harapan
(percaya) itu kita masuk ke dalam gedung gereja."
b. Sesuai dengan keputusan Sinode Dordrecht (1574), gereja-gereja di Nederland (dan di
Indonesia) memakai rumus votum "Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN, yang
menjadikan langit dan bumi" (Mzm. 124:8). Van der Leeuw dan Lekkerkerker tidak
berkeberatan kalau pada rumus ini ditambahkan kata-kata "yang memelihara kesetiaan
sampai selama-lamanya dan tidak meninggalkan (membiarkan) pekerjaan tangan-Nya" (bnd.
Mzm. 138:8 dan 146:6). Pemimpin-pemimpin lain telah merasa cukup dengan rumus
Mazmur 124:8, tanpa tambahan apa-apa. Alasan mereka ialah bahwa votum itu harus pendek
dan sederhana.
Di samping Mazmur 124:8 dipakai juga Matius 28:19 sebagai rumus votum, "Dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus." Rumus ini dipakai juga dalam kebaktian jemaat yang
berbahasa Jerman di Straszburg (1525).
Kuyper sedikit "memperluas" rumus ini seperti berikut: "Permulaan ibadah kita
adalah dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus". Perluasan ini umumnya tidak
disetujui oleh pemimpin-pemimpin gereja lain. Tentang rumus, yang dikutip dari
Wahyu 1, Kuyper berkata, "Rumus itu adalah perluasan dari rumus yang akhir (Mat.
28:19), benar rumus itu langsung dikutip dari Alkitab, tetapi itu terlampau panjang.' "
Lekkerkerker, yang tak menyetujui kombinasi votum dan salam, menganggap
Mazmur 124: 8 sebagai suatu pengakuan dalam doa pelayanan. Oleh karena itu, ia
mengusulkan supaya rumus itu diucapkan dengan mata tertutup.
Dalam agama Romawi kuno, suatu votum (jamak: vota) merupakan sumpah atau janji kepada
dewa. Kata ini muncul dalam bentuk past participle dari kata kerja bahasa Latin voveo,
vovere ("sumpah, janji"). Akibat dari perkataan ini, suatu votum juga berupa apa yang
memenuhi janji, yaitu hal-hal yang dijanjikan, misalnya persembahan berupa patung atau
rumah ibadah. Kata votum dalam agama Romawi mempunyai aspek perjanjian, tawar
menawar yang dinyatakan dalam istilah do ut des, "Aku memberi supaya engkau juga
memberi."
2. Salam
Sama seperti tata-tata kebaktian di Nederland, demikian pula banyak tata kebaktian
yang dipakai oleh gereja-gereja di Indonesia mengga.bungkan votum dengan salam.
a. Salam liturgia yang kita kenal saat ini berasal dari Perjanjian Baru, dan penulis-penulis
Perjanjian Baru mengambil alih dari ibadah Yahudi: dari rumus salam "Selamat! Selamatlah
engkau... (1 Sam. 25:6; 1 Taw. 12:18) dan rumus berkat "TUHAN kiranya menyertai kamu
(Rut 2:4)."
Dalam abad-abad pertama salam dipakai di tiga tempat: sebelum kollekta (doa),
sebelum prefasi (bagian doa konsekrasi) dan sebelum bubar (akhir kebaktian). Kemudian
salam dipakai juga di bagian-bagian lain: sebelum khotbah (sebagai pendahuluan) dan
mungkin juga sesudah khotbah. Menurut Pius Parsch salam diucapkan delapan kali di
beberapa bagian tempat dalam misa Romawi.
Pada masa reformasi jumlah salam sangat dibatasi. Tata-tata kebaktian Lutheran terus
memakainya di tiga tempat: sebelum kollekta, sebelum prefasi dan sebelum bubar. Di Swis
tata-tata kebaktian "untuk memulai dan mengakhiri khotbah" (1525-1535) memakainya
sebagai pendahuluan dari doa untuk pemberitaan firman dan syafaat untuk pemerintah serta
umat Kristen yang menderita. Demikian pula tata-tata kebaktian lain yang dipakai di sana.
Seperti yang telah kita dengar tadi, Calvin juga memulai kebaktian pemberitaan firman, yang
ia pimpin, dengan rumus Mazmur 124:8, yang menurut edisi-edisi kemudian (sejak 1562
dyb.) disebut "doa".
b. Kuyper mempunyai anggapan yang lain. Sebagai ganti salam ia memakai benediksi.
Benediksi, atau rumus berkat, ialah komplemen, penggenap votum. Keduanya berkaitan erat.
Jemaat mulai dengan pengakuan bahwa pertolongannya adalah di dalam nama Tuhan, yang
telah melepaskannya dari siksaan dan kematian untuk kehidupan yang kekal. Sebagai
jawaban atas pengakuan ini, Tuhan Allah memberikan kepastian tentang anugerah dan
kesejahteraan (keselamatan) kepada umat-Nya. Jadi, di sini pelayan menjalankan fungsi
kembar. Pertama-tama ia mengucapkan votum atas nama jemaat, sesudah itu benediksi
kepada jemaat atas nama Tuhan Allah. Sebagai pelayan jemaat, ia berkata, "Pertolongan kita
adalah dalam nama TUHAN yang menjadikan langit dan bumi." Sebagai hamba Allah, ia
kemudian berkata kepada jemaat, "Anugerah dan sejahtera (selamat) adalah dengan kamu
dari Allah Bapa kita oleh Yesus Kristus Tuhan kita, dalam persekutuan Roh Kudus".
Oberman tidak setuju dengan anggapan ini. Ia mengatakan, "Di sini Abraham Kuyper
khilaf. Salam itu bukan benediksi. Kita belum tiba kepada berkat. Berkat akan datang
kemudian sedangkan saat ini adalah salam. Kita berkumpul di dalam gereja. Kita bukan
datang untuk bersenang-senang, melainkan untuk membangun seorang akan yang lain. Tuhan
Allah yang memanggil kita. Ia hadir dengan kita. Itu janji-Nya dan kita percaya kepada janji-
Nya itu. Sekarang segala sesuatu menyusul secara otomatis. Bukan karena kita berkuasa atas
anugerah Allah, melainkan dari dalam sumber kasih dan anugerah Allah, yang kita kenal
dalam Kristus dan yang oleh Roh Kudus bekerja di dalam hati kita, sungai Allah mulai
mengalir. Mengalir dengan limpahnya, juga di tanah yang gersang dan kering, Tuhan Allah
mencari kita, karena itu kita mencari-Nya."
Para pemimpin lain dari Gerakan Liturgia mempunyai pandangan yang sama.
Van der Leeuw, "Sesudah votum menyusul salam. Bukan berkat. Berkat akan datang
kemudian. Sesudah amanat Allah berlangsung, pelayan memberi salam kepada jemaat
dan jemaat memberi salam kepada pelayan. Salam ini adalah tanda persekutuan.
Segala sesuatu yang akan berlangsung sekarang ini berkaitan dengan jemaat secara
keseluruhan, termasuk percakapannya: seorang dengan yang lain dan mereka
bersama-sama dengan Tuhan Allah."
Stevens, "Dengan rumus salam, pelayan memberi salam kepada jemaat. Di dalamnya
kita diberitahu bahwa Allah Bapa dan Yesus Kristus Tuhan dan Roh Kudus mau
mengaruniakan anugerah dan sejahtera (selamat) kepada kita. Karunia ilahi ini sudah
dapat kita terima pada permulaan kebaktian. Bila pelayan atas nama Allah memberi
salam kepada jemaat, telah sewajarnya jemaat membalas salamnya dengan anugerah
dan sejahtera (selamat) yang sama. Hal itu dapat ia buat dengan menyanyikan:
Amin!"
Brink, "Bilamana kita memberi salam kepada seseorang, kita mengharapkan
kebahagiaan baginya: mudah-mudahan hidupnya pada waktu itu dan waktu-waktu
yang akan datang sejahtera. Salam gerejawi berfungsi sama. Bedanya ialah gereja
bukan saja mengharapkan anugerah dan sejahtera dari salam yang diucapkannya,
melainkan menyampaikannya juga kepada jemaat dalam nama Bapa, Anak dan Roh."
Golterman (seorang ahli liturgia "doopsgezind") sependapat dengan pemimpin-
pemimpin Gerakan Liturgia. Ia mengatakan bahwa salam adalah usaha mendapatkan
kontak. Tuhan Allah mau mengadakan persekutuan dengan jemaat. Dalam kebaktian
ini, Allah mengaruniakan keselamatan kepada jemaat. Ia membuat hal itu dengan
salam-Nya yang disampaikan pelayan kepada jemaat.
c. Bentuk salam yang paling sederhana ialah yang dipakai oleh jemaat-jemaat dari Gereja
Lama, "Tuhan menyertai kamu!", dijawab oleh jemaat dengan, "Dan menyertai rohmu!"
Bentuk ini, seperti yang telah kita dengar, dipakai juga di tempat-tempat lain dalam liturgia.
Oleh karena itu, bentuk tersebut biasanya diganti dengan salam rasuli, "Anugerah dan
sejahtera adalah dengan kamu dari Allah Bapa dan dari Yesus Kristus, Tuhan dan dari Roh
Kudus."
Golterman mengusulkan rumus salam, "Kasih karunia menyertai kamu dan damai
sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus" (Rm. 1:7) atau, "Kasih
karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan dari Yesus Kristus" (2 Tim.
1:2). Kalau perlu dapat ditambah dengan "dan persekutuan Roh Kudus" (2 Kor.
13:13).
Salam diucapkan tanpa mengangkat tangan. Dengan tegas Oberman memperingatkan,
"Salam itu bukan berkat. Jadi, jangan mengangkat tangan. Jangan diucapkan dengan tangan
terulur. Kita belum tiba pada benediksi." Brink juga berpendapat demikian, "Masih banyak
terdapat pendeta (di Nederland) yang belum mengetahui arti salam. Mereka menyangka
bahwa salam sama dengan berkat karena itu mereka mengulurkan tangan mereka kalau
mereka mengucapkannya. Itu tidak benar. Penumpangan tangan atas jemaat berlaku sebentar,
sebelum jemaat keluar. Sekarang baru salam dan salam itu diucapkan pendeta tanpa
mengangkat tangan, kecuali kalau pendeta mengikuti kebiasaan lama yang dipakai di dunia
Timur: dengan satu tangan lurus ke atas." Salam pelayan dijawab oleh jemaat dengan "amin!"
"Jawaban jemaat adalah esensial, tidak ada salam tanpa jawab."
3. Introitus
Sesudah votum dan salam banyak gereja di Indonesia memakai unsur ketiga yang
dalam kata asing disebut dengan Introitus. Introitus terdiri dari nyanyian masuk dengan atau
tanpa nats pendahuluan.
a. Liturgia-liturgia lama (a.l. liturgia Mozarabia di Spanyol dan Gallia di Perancis) memulai
ibadahnya dengan suatu nyanyian yang disebut Inressa atau Officium. Dari nyanyian ini
timbul apa yang kemudian dalam ritus Romawi dinamai Introitus, yang antara lain kita temui
dalam sacramentarium Gregorius I (590-604), salah satu dari ketiga bentuk pertama dari misa
Romawi: paus dan para klerus masuk ke dalam ruang ibadah, sementara itu contor (penyanyi)
dan koor (paduan suara) berselang-seling menyanyikan introitus sampai paus tiba di mezbah.
Introitus terdiri dari: antifon, mazmur, dan Gloria kecil. Mazmur yang dipakai selalu
bergantian. Kemudian, mazmur-mazmur ini diperpendek, kadang-kadang hanya dinyanyikan
satu ayat. Gereja Katolik Roma pada saat ini berusaha menampilkan kembali nyanyian
introitus dengan maksud agar jemaat turut aktif menyanyikannya seperti dahulu. Sebab
introitus pada hakikatnya adalah nyanyian jemaat.
b. Pada masa reformasi introitus tetap dipakai di dalam kebaktian, umumnya dinyanyikan
oleh paduan suara. Luther pada satu pihak mengusulkan supaya mazmur introitus
dinyanyikan seluruhnya tanpa antifon. Pada pihak lain, Luther tidak berkeberatan kalau
mazmur introitus itu diganti dengan suatu nyanyian rohani. Dalam praktik, introitus hanya
dipakai di jemaat-jemaat besar yang mempunyai paduan suara. Di jemaat-jemaat kecil, yang
tidak ada paduan suara, introitus diganti dengan nyanyian jemaat. Kadang kadang ada jemaat
yang memakai kedua-duanya: mazmur introitus oleh paduan suara dan nyanyian masuk oleh
jemaat.
Kemudian, ketika ibadah jemaat tidak mendapat perhatian yang sewajarnya dari
gereja, introitus semakin lama semakin hilang dan akhirnya hanya tinggal nyanyian jemaat.
Berhubung dengan itu, dalam abad ke-19 gereja-gereja lutheran di Jerman berusaha
memulihkan kembali introitus dengan jalan: 1) menyanyikan secara gregorian oleh paduan
suara; 2) bernyanyi secara gregorian oleh jemaat; dan 3) mengucapkan sebagai "rumus
masuk" oleh pelayan dan disambung oleh jemaat dengan Gloria kecil. Dalam praktik, cara
terakhir ini yang paling berkembang dan paling besar pengaruhnya. Sekalipun demikian ahli-
ahli liturgia belum puas benar dengan pemulihan itu. Malahan ada yang menganggapnya
sebagai unsur yang merusak ibadah lutheran.
c. Cara lutheran ini diambil alih oleh gereja-gereja di Nederland dan diimpor ke Indonesia. Isi
dan dasarnya diterangkan oleh Van der Leeuw seperti berikut, "Votum memberikan amanat
secara am. Salam mengkonstitusikan persekutuan. Kini introitus menempatkan kebaktian
jemaat dalam suasana dari bagian sejarah selamat, yang dari padanya kita hidup pada saat ini:
kita berada dalam kebaktian Adven atau Pentakosta atau Trinitas."
Brink memberikan penjelasan yang lebih panjang. Ia antara lain mengatakan, "Arti
introitus benar tetap terpelihara dalam buku ibadah Gereja Hervormd, tetapi arti itu telah
menjadi sedikit kabur. Dalam keterangan di halaman 359 kita membaca bahwa nats
pendahuluan yang diucapkan harus dibedakan dari introitus yang dinyanyikan: maksud nats
pendahuluan ialah untuk menyatakan sifat yang khusus dari kebaktian jemaat dalam
hubungannya dengan tahun gerejawi atau dengan khothah pada minggu itu. Yang
dipentingkan di sini bukan sifat yang khusus dari tahun gerejawi, melainkan juga dari
khotbah pada minggu itu. Di halaman 211 kita membaca hahwa nats khotbah dapat dipilih
juga dalam hubungannya dengan nyanyian masuk. Namun, dari contoh-contoh yang
diberikan nyata bahwa pelayan dapat memakai tema pokok dari tahun gerejawi sebagai
pedoman. Selama nats pendahuluan belum dapat di nyanyikan oleh paduan suara dan jemaat,
baiklah pelayan membacakannya seperti yang dibuat dalam Gereja Lutheran. Tetapi kita
harus ingat bahwa dengan jalan yang demikian kita hanya memakai sebagian saja dari
introitus yang sebenarnya. Bila nats pendahuluan dibacakan, maka nyanyian masuk adalah
jawab jemaat atasnya (bukan sebaliknya) sehingga nyanyian juga harus erat berhubungan
dengan tahun gerejawi, khothah dan liturgia. Nyanyian masuk ini kalau dapat hendaknya
sebuah mazmur.
Lekkerkerker tidak begitu setuju dengan pemakaian nats pendahuluan yang diucapkan. Ia
mengusulkan agar nats pendahuluan itu sebaik-baiknya dihilangkan saja sama sekali.
d. Sesudah pelayan mengucapkan nats pendahuluan jemaat menyanyikan nyanyian masuk.
Nyanyian itu adalah suatu puji-pujian. Menurut Van der Leeuw, "Jika jemaat telah
menyanyikan suatu nyanyian, cukuplah di sini dinyanyikan Gloria kecil: Hormat bagi Bapa
serta Anak dan Roh Kudus! Itulah bentuk puji-pujian yang paling lapider, yang gereja
punyai. Kalau tidak dinyanyikan nyanyian masuk, maka di tempat pendengar menyanyikan
suatu kidung atau mazmur pujian-pujian. Kidung atau mazmur itu janganlah diberitahukan!
Jangan ada sesuatu yang begitu mematikan spontanitas nyanyian daripada pemberitahuan,
yang sering diulangi sampai dua atau tiga kali (saya berulang kali sekali) lagi. kita
bernyanyi...) dan membaca nyanyian-nyanyian. Ada pelayan yang sangat cepat
mengucapkannya, ada pula yang perlahan-lahan mengajinya (meresitasikannya), seolah-olah
mereka harus memenangkan suatu hadiah dalam pertandingan deklamasi puisi. Kedua.
doanya salah, tidak benar. Jemaat mengetahui isi Kitab Mazmur dan nyanyiannya. Sekarang
mereka mau bernyanyi, bukan mendengarkan. Jemaat juga tidak perlu membuat hambatan
Kelancaran kebaktian terhambat dan kesederhananya terganggu oleh pemberitahuan dan
membaca. Pelayan mengucapkan introitus dan jemaat terus menjawab dengan nyanyiannya."
Tentang jenis nyanyian, yang harus dinyanyikan disini, Golterman mengusulkan:
“suatu nyanyian tentang kerinduan akan Allah (ump. Mzm. 42); suatu mazmur
tentang kepergian ke mezbah-Nya, suatu kidung puji-pujian dan kidung-kidung lain.
Terutama mazmur-mazmur. Sama seperti Van der Leeuw, Golterman juga
menasihatkan agar nyanyian-nyanyian (mazmur-mazmur) itu jangan dibacakan, tetapi
terus dinyanyikan, sedapat-dapatnya seluruhnya (semua ayat).

Sumber: J.L. Ch. Abineno. Unsur-Unsur Liturgika. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Anda mungkin juga menyukai