Pak Sahar Fix KLMPK
Pak Sahar Fix KLMPK
HEPATITIS
OLEH KELOMPOK 2
1
DAFTAR ISI
SAMPUL…...............................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................2
BAB I
A. PENGERTIAN...........................................................................4
B. ANATOMI FISIOLOGI............................................................10
C. PATOFISIOLOGI......................................................................10
D. DAMPAK KDM........................................................................11
E. INSIDEN....................................................................................12
F. GEJALA.....................................................................................13
G. PENYEBAB...............................................................................13
H. PENCEGAHAN.........................................................................14
I. PENATALAKSANAAN...........................................................15
J. PENGOBATAN.........................................................................21
K. PEMERIKSAAN PENUNJANG...............................................25
2. Konsep keperawatan........................................................................26
a. PENGKAJIAN...........................................................................26
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN...............................................30
c. INTERVENSI............................................................................31
2
d. EVALUASI................................................................................35
BAB II
A. Kesimpulan...................................................................................40
B. Saran.............................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA............................................................................41
3
BAB I
1. KONSEP MEDIK
A. PENGERTIAN
4
pengguna, hingga penggunaan obat-obatan juga faktor lainnya. Selain
disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, hepatitis juga terjadi karena
kerusakan pada hati yangdisebabkan senyawa kimia utamanya alkohol
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Konsumsi alcohol jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati
menjadi permanen hingga dapat tumbuh berkembang menjadi gagal hati
yang kita kenal dengan istilah sirosis.Pemakaian obat-obatan melebihi dosis
atau paparan yang telah
ditetapkan oleh dokter juga dapat menyebabkan hepatitis.
Virus Hepatitis merupakan peradangan (pembengkan) pada hati hinngga
liver dengan penyebab utama infeksi, virus, melakukan satu tubuh dengan
pengguna, hingga penggunaan obat-obatan juga faktor lainnya. Selain
disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, hepatitis juga terjadi karena
kerusakan pada hati yangdisebabkan senyawa kimia utamanya alkohol
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Konsumsi alkohol jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel
hati menjadi permanen hingga dapat tumbuh berkembang menjadi gagal
hati yang kita kenal dengan istilah sirosis. Pemakaian obat-obatan
melebihi dosis atau paparan yang telah ditetapkan oleh dokter juga dapat
menyebabkan hepatitis.
Virus Hepatitis merupakan peradangan (pembengkan) pada hati hinngga
liver dengan penyebab utama infeksi, virus, melakukan satu tubuh dengan
pengguna, hingga penggunaan obat-obatan juga faktor lainnya. Selain
disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, hepatitis juga terjadi karena
kerusakan pada hati yang disebabkan senyawa kimia utamanya alkohol
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Konsumsi alkohol jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati
menjadi
permanen hingga dapat tumbuh berkembang menjadi gagal hati yang
kita kenal
5
dengan istilah sirosis. Pemakaian obat-obatan melebihi dosis atau
paparan yang telah ditetapkan oleh dokter juga dapat menyebabkan hepatitis.
Virus Hepatitis merupakan peradangan (pembengkan) pada hati hinngga
liver dengan penyebab utama infeksi, virus, melakukan satu tubuh dengan
pengguna, hingga penggunaan obat-obatan juga faktor lainnya.Selain disebabkan
oleh faktor-faktor tersebut, hepatitis juga terjadi karena kerusakan pada hati
yangdisebabkan senyawa kimia utamanya alkohol (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014).
Konsumsi alkohol jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel
hati menjadi permanen hingga dapat tumbuh berkembang menjadi gagal
hati yang kita kenal dengan istilah sirosis. Pemakaian obat-obatan
melebihi dosis atau paparan yang telah ditetapkan oleh dokter juga dapat
menyebabkan hepatitis.
Virus Hepatitis merupakan peradangan (pembengkan) pada hati hinngga
liver dengan penyebab utama infeksi, virus, melakukan satu tubuh dengan
pengguna, hingga penggunaan obat-obatan juga faktor lainnya.
Selain disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, hepatitis juga terjadi
karena kerusakan pada hati yangdisebabkan senyawa kimia utamanya alkohol
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Konsumsi alkohol
jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati menjadi
permanen hingga dapat tumbuh berkembang menjadi gagal hati yang
kita kenal dengan istilah sirosis. Pemakaian obat-obatan melebihi dosis
atau paparan yang telah ditetapkan oleh dokter juga dapat menyebabkan
hepatitis.
6
faktor infeksi dan faktor non infeksi. Faktor penyebab infeksi antara lain virus
hepatitis dan bakteri. Selain karena virus Hepatitis A, B, C, D, E dan G masih
banyak virus lain yang berpotensi menyebabkan hepatitis misalnya
adenoviruses, CMV, Herpes simplex, HIV, rubella, varicella dan lain-lain.
Sedangkan bakteri yang menyebabkan hepatitis antara lain misalnya bakteri
Salmonella thypi, Salmonella parathypi, tuberkulosis, leptosvera. Faktor non
infeksi karena obat. Obat tertentu dapat mengganggu fungsi hati dan
menyebabkan hepatitis
1. Hepatitis A
Hepatitis infeksiosa atau yang sering kita kenal dengan (HVA)
merupakan infeksi virus pada hati salah satunya dapat ditularkan melalui air
tercemar bahkan sebagian besar dapat diltularkan juga melalui transmisi
oleh endemik ataupun sporadik
denganbersifat tidak terlalu dramatis. Pravelensi infeksi
diindikasikanpada tingkatan
antibodi anti HVAyang sudahdiketahui universal dan memiliki keterkaitan erat
antar setiap
hubungandengan sanitasi daerah yang bersangkutan dimana masih
tergolong dibawah
1. Hepatitis A
Hepatitis A infeksiosa atau yang sering kita kenal dengan (HVA) merupakan
infeksi virus pada hati salah satunya dapat ditularkan melalui air tercemar
bahkan sebagian besar dapat diltularkan juga melalui transmisi oleh
endemik ataupun sporadik denganbersifat tidak terlalu dramatis.
Pravelensi infeksi diindikasikanpada tingkatan antibodi anti HVA yang
sudahdiketahui universal dan memiliki keterkaitan erat antar setiap
hubungandengan sanitasi daerah yang bersangkutan dimana masih tergolong
7
dibawah.standar internasional. Infeksi Virus Hepatitis A tetap menjadi suatu
persoalan penting di bidang kesehatan di banyak negara-negara industri
diantara kelompok risiko tinggi seperti Petugas kesehatan, pekerja
sanitasi, penyalahgunaan obat, kelompok homoseksual,hingga mereka yang
melakukan transmigrasi daerah dengan curah endemisitas level paling
rendah ke tinggi hingga beberapa rumah tahanan (Sulaiman, Akbar
danLesmana, 2012).
2. Hepatitis B
Hepatitis B atau yang sering kita dengar HBV merupakan infeksi serius yang
ditularkan melalui darah ataupun cairan tubuh. Virus Hepatitis B dapat
dijumpai di ruangdengan endemikyangtinggi, dan penyebaraninfeksi
HBVberlakumelalui infeksi musim perinatal dengan istilah masa indukkanak-
kanak dengan proses yang dinamis antara virus, hepatosit, dan sistem imun
manusia. Hasil yang didapatkan Riset Kesehatan Dasar
(RISKEDAS) 2007 memperlihatkanbahwasanya prevalensi pasien yang
terjangkit Hepatitis B sejumlah9,4%memiliki arti bahwasanya satu dari
sepuluh penduduk Indonesia terjangkit Hepatitis B (HBV) dan data
tersebut divisualisasikan dengan jumlah keseluruhan penduduk
Indonesia di tahun 2007, maka jumlah penderita virus HBV dapat
mencapai 23 juta orang (Ahmad danKusnanto, 2017). Hepatitis B
menimbulkan gejala yang beragam mulai dengan tanpa gejala hingga gejala yang
dikategorikan sangat berat seperti Hematemesis (Muntah Darah) maupun
koma. Masa perinatal merupakan kasus yang menimpa banyak sekali
terinfeksi Hepatitis B dan dapat menjadi kronik pada 90%
kasus (Sulaiman, AkbardanLesmana, 2012).Berikut merupakan salah satu gejala
Hepatitis B.
3. Hepatitis C
8
menyebar melalui jarum suntik pengguna narkoba IV yang terkontaminasi.
80% orang yang menderita hepatitis C tidak memiliki gejala, tetapi yang
lain mungkin akan mengalami kegelisahan, kelelahan, dan anoreksia.
4. Hepatitis D
Jenis-jenis hepatitis yang keempat yakni hepatitis D. Ini adalah bentuk hepatitis
langka yang hanya terjadi bersamaan dengan infeksi hepatitis B. Virus
hepatitis D (HDV) dapat menyebabkan peradangan hati seperti jenis lainnya,
tetapi seseorang tidak dapat tertular hepatitis D tanpa adanya infeksi hepatitis
B. Secara global, hepatitis D mempengaruhi hampir 5 persen orang yang
menderita hepatitis B kronis. Beberapa gejala yang mungkin muncul antara
lain adalah kegelisahan,kelelahan. anoreksia, dan penyakit ringan.
5. Hepatitis E
Hepatitis E adalah penyakit yang ditularkan melalui air yang dihasilkan dari
paparan virus hepatitis E (HEV). Hepatitis E biasa ditemukan di daerah dengan
sanitasi yang buruk dan biasanya mengonsumsi air yang tercemar. Hepatitis E
biasanya menjadi kondisi yang akut, tetapi bisa sangat berbahaya pada wanita
hamil. Selain itu, hepatitis E juga bisa ditularkan melalui konsumsi daging atau
makanan atau minuman yang kurang matang, atau yang terkontaminasi
dengan kotoran seseorang yang terinfeksi. Gejala yang biasa dirasakan
mungkin berupa penyakit ringan.
6. Hepatitis G
9
B. ANATOMI FISIOLOGI
Hati adalah kelenjar terbesar yang ada di dalam tubuh, yang terletak di rongga
perut sebelah kanan atas, di bawah sekat rongga badan atau diafragma. Hati secara
luas dilindungi oleh tulang iga, berat hati 1500 gr atau 2,5% berat tubuh pada
orang dewasa normal. Hati terbagi dalam dua belahan utama, kanan dan kiri.
Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma, permukaan
bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan disebut fisura tranversum. Fisura
longitudinal memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah, sedangkan
ligamen falsiformis memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan atas hati
(Irianto, 2013).
C. PATOFISIOLOGI
VHA memiliki masa inkubasi ± 4 minggu. Replikasi virus dominasi terjadi pada
hepatosit,
meski VHA juga ditemukan pada empedu, feses, dan darah. Anti gen VHA dapat
ditemukan
pada feses pada 1-2 minggu sebelum dan 1 minggu setelah awitan penyakit
Fase akut
penyakit ditandai dengan peningkatan kadar aminotransferase serum,
ditemukan antibodi VHA memiliki masa inkubasi ± 4 minggu. Replikasi virus
dominasi terjadi pada hepatosit, meski VHA juga ditemukan pada empedu, feses,
dan darah. Anti gen VHA dapat ditemukan pada feses pada 1-2 minggu
sebelum dan 1 minggu setelah awitan penyakit Fase akut penyakit ditandai
dengan peningkatan kadar aminotransferase serum, ditemukan antibody
terhadap VAH (IgM anti-VAH), dan munculnya gejala klinis (jaundice). Selama
fase akut, hepatosit yang terinfeksi umumnya hanya mengalami perubahan
morfologi yang minimal, hanya <1% yang menjadi fulminant. Kadar IgM anti-
VAH umumnya bertahan kurang dari 6 bulan, yang kemudian digantikan oleh
IgG anti-VAH yang akan bertahan seumur hidup. Infeksi VHA akan sembuh
secara spontan, dan tidak pernah menjadi kronis atau karier.
10
D. DAMPAK KDM
Masuk sirkulasi
Produksi garam empedu Kerusakan jaringan hepar Terjadi inflamasi sel hati
Suasana duodenum
Pembatasan aktifitas
Menjadi asam Pelepasan zat proteolitik
11
Gejala GI
Rangsangan M.oblongata
KONSTIPASI
Anoreksia
Intake kurang
NUTRISI
KURANG
E. INSIDEN
Kasus baru Hepatitis Akut yang belum diketahui penyebabnya bertambah. Data
per 29 September 2022 pukul 16.00 WIB, kasus probable Hepatitis Akut
bertambah 3 kasus sehingga totalnya menjadi 38 orang, kasus pending bertambah
5 orang total 12 orang, sementara kasus discarded tetap di 49 kasus. Dengan
demikian total kasus Hepatitis Akut di Indonesia menjadi 99 kasus.
Lebih lanjut, terkait dengan kondisi pasien dari 50 kasus yang terkonfirmasi 17
pasien dinyatakan meninggal, 5 pasien tengah menjalani rawat inap, 24 pasien
12
telah dinyatakan sembuh dan telah pulang, kemudian 4 pasien saat ini menjalani
rawat jalan.
F. GEJALA
Penderita hepatitis biasanya tidak merasakan gejala sampai beberapa minggu atau
telah terjadi gangguan fungsi hati. Pada penderita hepatitis akibat infeksi virus,
gejala akan muncul setelah masa inkubasi, yakni sekitar 2 minggu sampai 6 bulan.
G. PENYEBAB
1. Hepatitis A
2. Hepatitis B
13
darah. Pada kasus yang jarang terjadi, ibu hamil yang terinfeksi virus hepatitis B
bisa menularkan virus ini ke janinnya.
3. Hepatitis C
Sama seperti hepatitis B, virus ini bisa menular dari ibu yang terinfeksi hepatitis C
ke janinnya.
4. Hepatitis D
Hepatitis D adalah peradangan hati akibat infeksi virus hepatitis D (HDV). Jenis
hepatitis ini jarang terjadi, tetapi bisa menimbulkan masalah kesehatan yang
serius.
5. Hepatitis E
H. PENCEGAHAN
Cara terbaik untuk mencegah virus adalah dengan melakukan vaksin. Vaksin
dapat dilakukan sejak usia balita hingga dewasa. Selain melakukan vaksin,
beberapa cara ini dapat Anda terapkan untuk mencegah datangnya virus hepatitis
A, B dan ke dalam tubuh Anda. Cara tersebut antara lain adalah:
14
c) Jangan minum cocktail dengan es batu yang tidak terjamin kebersihan
airnya
d) Hindari produk susu dan daging serta ikan yang kurang matang.
e) Biasakan untuk mencuci buah dan sayur yang Anda beli sebelum
dikonsumsi
f) Cuci tangan usai dari kamar mandi
g) Usahakan makan dan memasak di rumah, agar terjaga kebersihan makanan
h) Jangan gunakan sikat gigi atau pisau cukur yang sama
i) Jangan menggunakan jarum suntik yang sama
j) Jika Anda ingin memiliki tato, pastikan Anda mengetahui bagaimana
pekerjanya melakukan sterilisasi terhadap alat-alat yang digunakan.
k) Gunakan proteksi saat Anda melakukan hubungan seksual
Hepatitis C tidak memiliki vaksin khusus. Sebagai bentuk perlindungan diri, Anda
dapat melakukan cara-cara di bawah ini, agar Anda dapat terhindar dari resiko
hepatitis C:
a. Penatalaksanaan farmokologi
Terapi tanpa obat tidak menjamin kesembuhan, untuk itu dilakukan cara
lain dengan menggunakan obat-obatan. Golongan obat yang digunakan
antara lain adalah aminoglikosida, antiamuba, antimalaria, antivirus,
diuretik, kolagogum, koletitolitik dan hepatik protektor dan multivitamin
dengan mineral.
Aminoglikosida
15
Antibiotika digunakan pada kasus abses hati yang disebabkan oleh
infeksi bakteri. Diberikan 3 kali sehari secara teratur selama tujuh hari
atau sesuai petunjuk dokter. Antibiotika kombinasi biasanya
digunakan untuk mencegah ketidakaktifan obat yang disebabkan oleh
enzim yang dihasilkan bakteri
Antiamuba
Antiamuba seperti dehydroemetine, diiodohydroxyquinoline,
diloxanide furoate, emetine, etofamide, metronidazole, secnidazole,
teclozan, tibroquinol, tinidazole adalah preparat yang digunakan
untuk amubiasis. Dengan terapi ini maka risiko terjadinya abses
hati karena amuba dapat diminimalkan.
Antimalaria
Antimalaria, misalnya klorokuin, dapat juga digunakan untuk
mengobati amubiasis. Obat ini mencegah perkembangan abses hati
yang disebabkan oleh amuba.
Antivirus
Lamivudine adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita
hepatitis B. Virus hepatitis B membawa informasi genetik DNA.
Obat ini mempengaruhi proses replikasi DNA dan membatasi
kemampuan virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudine
merupakan analog nukleosida deoxycytidine dan bekerja dengan
menghambat pembentukan DNA virus hepatitis B. Pengobatan
dengan lamivudine akan menghasilkan HBV DNA yang menjadi
negatif pada hampir semua pasien yang diobati selama 1 bulan.
Lamivudin akan meningkatkan angka serokonversi HBeAg,
mempertahankan fungsi hati yang optimal,dan menekan terjadinya
proses nekrosis-inflamasi. Lamivudine juga mengurangi
kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudine
sangat memuaskan, dimana profil keamanannya sebanding dengan
plasebo. Lamivudine diberikan peroral sekali sehari, sehingga
16
memudahkan pasien dalam penggunaannya dan meningkatkan
kepatuhan penggunaan obat. Oleh karenanya penggunaan
lamivudine adalah rasional untuk terapi pada pasien dengan
hepatitis B kronis aktif. Dalam pengobatan Anti Retroviral (ARV)
pada koinfeksi hepatitis C, saat ini tersedia ARV gratis di
Indonesia. ARV yang tersedia gratis adalah Duviral (Zidovudine +
Lamivudine) dan Neviral (Nevirapine). Sedangkan Efavirenz
(Stocrin) tersedia gratis dalam jumlah yang amat terbatas.
Didanosine atau Stavudine tidak boleh diminum untuk penderita
yang sedang mendapat pengobatan interferon dan Ribavirin, karena
beratnya efek samping terhadap gangguan faal hati.
Zidovudine, termasuk Duviral dan Retrovir harus ketat dipantau
bila digunakan bersama Ribavirin (untuk pengobatan hepatitis C),
karena masing-masing dapat menimbulkan anemia. Anemia dapat
diantisipasi dengan pemberian eritropoietin atau tranfusi darah.
Neviraldapat mengganggu faal hati. Jadi, kadar hemoglobin dan
leukosit serta tes faal hati (SGOT, SGPT, bilirubin, dan lain-lain)
harus dipantau ketat.
Menurut tim ahli Amerika (DHHS, April 2005), Nevirapin
walaupun dapat menimbulkan gangguan faal hati, boleh digunakan
pada penderita dengan koinfeksi hepatitis C, dengan pemantauan
yang seksama. Konsensus Paris 2005 menganjurkan pemberian
Pegylated Interferon-Ribavirin selama 48 minggu. Koinfeksi
dengan hepatitis C memerlukan penatalaksanaan yang lebih khusus
dan komprehensif. Jenis kombinasi ARV juga perlu dipantau lebih
ketat terhadap gangguan faal hati, anemia dan leukopenia.
Peginterferon dan Ribavirin dalam kombinasi dengan Interferon
selain bermanfaat mengatasi hepatitis C juga untuk hepatitis D.
Ada juga obat-obatan yang merupakan kombinasi imunologi dan
antivirus yang tampaknya dapat menekan kadar virus hepatitis C
17
dalam darah secara lebih efektif dari pada terapi ulang dengan
interferon saja.
Thymosin alpha 1 adalah suatu imunomodulator yang dapat
digunakan pada terapi hepatitis B kronik sebagai monoterapi atau
terapi kombinasi dengan interferon.
Diuretik
Diuretik tertentu, seperti Spironolactone, dapat membantu
mengatasi edema yang menyertai sirosis hati, dengan atau tanpa
asites. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan
keseimbangan elektrolit atau gangguan ginjal berat karena
menyebabkan ekskresi elektrolit. Obat diuretik lain yang digunakan
dalam penyakit hati selain spironolakton adalah furosemid yang
efektif untuk pasien yang gagal memberikan tanggapan terhadap
Spironolactone. Obat lain seperti Thiazide atau Metolazone dapat
bermanfaat pada keadaan tertentu.
Kolagogum, kolelitolitik dan hepatic protector.
Golongan ini digunakan untuk melindungi hati dari kerusakan yang
lebih berat akibat hepatitis dan kondisi lain. Kolagogum misalnya:
calcium penthothenat, phosphatidyl choline, silymarin dan
ursodeoxycholic acid dapat digunakan pada kelainan yang
disebabkan karena kongesti atau insufisiensi empedu, misalnya
konstipasi biliari yang keras, ikterus dan hepatitis ringan, dengan
menstimulasi aliran empedu dari hati. Namun demikian, jangan
gunakan obat ini pada kasus hepatitis akut atau kelainan hati yang
sangat toksis
18
memainkan peranan penting dalam beberapa langkah metabolisme
vitamin. Vitamin terdiri dari vitamin-vitamin yang larut dalam
lemak (fat-soluble) seperti vitamin A, D, E dan K atau yang larut
dalam air (water-soluble) seperti vitamin C dan B-kompleks.
kompleks.
Penyimpanan vitamin B12 biasanya jauh melebihi kebutuhan
tubuh; defisiensi jarang terjadi karena penyakit hati atau gagal hati.
Tetapi, ketika masukan gizi makanan menurun, biasanya tubuh
juga kekurangan tiamin dan folat. Biasanya suplemen oral cukup
untuk mengembalikan tiamin dan folat ke level normal.
Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak tidak hanya
membutuhkan asupan gizi makanan yang cukup tetapi juga
pencernaan yang baik serta penyerapan yang baik oleh tubuh. Oleh
sebab itu, produksi bilirubin dalam saluran cerna atau usus
dibutuhkan untuk penyerapan vitamin-vitamin ini dengan baik.
Bilirubin bekerja sebagai deterjen, memecah-mecah dan
melarutkan vitamin-vitamin ini agar mereka dapat diserap tubuh
dengan baik. Jika produksi bilirubin buruk, suplemen oral vitamin-
vitamin A, D, E, K mungkin tidak akan cukup untuk
mengembalikan level vitamin ke level normal. Penggunaan larutan
serupa deterjen dari vitamin E cair meningkatkan penyerapan
vitamin E pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut. Larutan
yang sama juga dapat memperbaiki penyerapan vitamin A, D, dan
K jika vitamin K diminum secara bersamaan dengan vitamin E.
Asupan vitamin A dalam jumlah yang cukup, dapat membantu
mencegah penumpukan jaringan sel yang mengeras, yang
merupakan karakteristik penyakit hati. Tetapi penggunaan vitamin
yang larut lemak ini untuk jangka panjang dan dengan dosis
berlebihan dapat menyebabkan pembengkakan hati dan penyakit
hati. Vitamin E dapat mencegah kerusakan pada hati dan sirosis,
menurut percobaan dengan memberi suplemen vitamin E pada
19
tikus dalam jumlah yang meningkatkankadar vit. E di hati. Tikus-
tikus itu kemudian diberi karbon tetraklorida yang bersifat
hepatotoksis, untuk melihat apakah suplemen vitamin E yang
dilakukan sebelumnya dapat melindungi mereka baik dari
kerusakan hati akut atau kronis dan sirosis. Suplemen vitamin E
meningkatkan kandungan vitamin dalam tiga bagian hati dan
mengurangi kerusakan oksidatif pada sel-sel hati, tetapi tidak
memiliki dampak perlindungan apapun pada infiltrasi lemak hati.
Sirosis juga tampak dapat dicegah dalam kelompok tikus yang
diberi suplemen vitamin E. Tampaknya vitamin E memberi cukup
perlindungan terhadap nekrosis akibat karbon tetraklorida dan
sirosis, mungkin dengan mengurangi penyebaran proses oksidasi
lipid dan mengurangi jangkauan kerusakan oksidatif di hati.
20
akan menghasilkan antibody terhadap HbSAg pada 95 % kasus
yang divaksinasi, namun tidak memiliki efek terhadap individu
pembawa.
b. Penatalaksanaan non farmakologi
Terapi Suportif
Bed rest penting pada saat fase akut. Perawatan di rumah sakit dan pemberian
cairan intravena dapat dipertimbangkan jika pasien mengalami dehidrasi karena
21
gejala mual dan muntah. Pasien dewasa lebih sering memerlukan perawatan di
rumah sakit karena gejala yang timbul lebih berat daripada pasien anak.
Beberapa terapi suportif yang dapat diberikan pada pasien hepatitis A adalah:
Profilaksis Imunoglobulin
Imunisasi pasif dapat mengurangi risiko infeksi hepatitis A jika diberikan dalam
waktu 14 hari setelah terpapar dengan penderita hepatitis A. Profilaksis pasca
paparan direkomendasikan untuk individu yang belum menerima vaksin hepatitis
A.
Pada saat ini terapi yang dilakukan pada praktik klinis sehari-hari, menggunakan
IFN-a dan peginterferon alfa-2b atau peginterferon alfa-2a untuk infeksi HDV
kronis.
Berobat Jalan
Pada pasien dengan hasil deteksi antigen permukaan hepatitis B atau HBsAg
positif yang bergejala, perlu dilakukan screening anti-HDV (hepatitis D virus).
22
Bila anti HDV negatif dapat ditatalaksana sesuai standard tata laksana hepatitis B.
Bila anti-HDV positif perlu diperiksa HDV RNA, bila HDV RNA negatif dan
enzim hepar dalam batas normal, maka pasien boleh berobat jalan dan diobservasi
berkala setiap 3 sampai 6 bulan.
Pada observasi rutin, perlu dievaluasi pemeriksaan fungsi liver yang dilakukan
dengan pemeriksaan aspartate aminotransferase (AST) atau SGOT dan
aminotransferase alanine (ALT) atau SGPT, serta HDV RNA. Pada kasus di mana
terdapat perburukan klinis penyakit atau dicurigai akan terjadi komplikasi, dari
klinis perburukan dan hasil laboratorium perburukan, maka dapat
dipertimbangkan untuk rawat inap dan konsultasi ke spesialis terkait.
Persiapan Rujukan
Beberapa kriteria rujukan untuk pasien dengan infeksi HDV ke fasilitas tingkat
lanjut dapat mempertimbangkan:
Pada kelompok berisiko tinggi, seperti pasien imunodefisiensi dan memiliki faktor
risiko yang telah disebutkan sebelumnya, bila didapatkan HbsAg positif sebaiknya
diperiksa anti-HDV. Apabila anti-HDV positif dapat dirujuk dari fasilitas
kesehatan (faskes) primer ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi atau konsultasi
dengan spesialis untuk mendapatkan tata laksana segera dan menentukan staging
kerusakan hepar
23
penanganan awal sebaiknya dirujuk ke faskes yang lebih tinggi atau konsultasi
dengan spesialis terkait yang ada.
Terapi Medikamentosa
Pada pasien dengan infeksi virus hepatitis D (HDV) kronik, pengobatan saat ini
yang digunakan yaitu terapi interferon menggunakan pegylated Interferon-2a
(peg-IFNα) injeksi subkutan 180 μg seminggu atau pegylated IFN alfa-2b dengan
dosis 1,5 mcg/kgBB per minggu. Lama pengobatan adalah 1 tahun, tergantung
klinis. Namun, perlu diperhatikan bahwa obat ini belum disetujui FDA untuk
penatalaksanaan infeksi HDV.
Pembedahan
Transplantasi hati lebih disarankan bila sudah terjadi gagal hepar akut, ditandai
dengan perkembangan penyakit ke ensefalopati hepatikum dan kelainan
koagulasi, biasanya dengan nilai international normalized ratio (INR) 1,5 atau
lebih, serta pada pasien tanpa sirosis yang sudah ada sebelumnya, dan durasi
penyakit kurang dari 26 minggu.
Terapi Suportif
24
Selain itu, perawatan suportif juga dapat dilakukan untuk mengurangi keluhan
efek samping dari terapi interferon yang sedang dilakukan pada penderita hepatitis
D kronis.
Terapi suportif yang dimaksud misalnya dengan rehidrasi pada pasien yang
mengeluh mual dan muntah, misalnya dengan pemberian cairan intravena. Selain
itu, perlu diingat bahwa pasien juga harus dijauhkan dari obat atau substansi yang
sifatnya hepatotoksik, misalnya paracetamol dapat diganti dengan sistenol dan
edukasi untuk tidak minum alkohol.
Diet pada penderita infeksi HDV yang disarankan adalah diet tinggi energi agar
mencegah terjadinya katabolisme, protein 1,25–1,5 g/kgBB/hari, dan diet lemak
yang tidak jenuh (unsaturated) yang cukup sesuai kebutuhan. Diet per oral atau
per NGT lebih dipilih daripada parenteral, namun bila pasien terus menerus tidak
dapat mentoleransi diet, maka dapat diberikan diet parenteral.
Pasien juga dapat diberikan suplementasi vitamin D, vitamin B12, dan vitamin
lainnya sesuai kebutuhan. Pada pasien dengan edema atau asites, kebutuhan
natrium per hari harus dikurangi untuk mengurangi keparahan klinis edema.
K. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG pada kasus hepatitis dapat memberikan informasi
mengeani pembesaran hati, gambaran jaringan hati secara umum atau
ada idaknya sumbatan saluran empedu. USG dapat membuktikan ada
tidaknya embesaran hati yakni dari pengamatan tepi hati terlihat
tumpul atau tidak, tepi hati yang tumpul menunjukkan adanya
pembesaran hati. USG dapat membuktikan ada tidaknya pembesran
ahti. USG juga dapat melihat banyak tidaknya jaringan ikat (fibrosis).
Selain itu, karena hepatitis merupakan proses peradangan maka pada
USG densitas (kepadatan) hati terlihat lebih gelap jika dibandingkan
dengan densitas ginjal yang terletak dibawahnya.
2. Tes darah
25
Hitung darah lengkap. LED-anemia, trombositosis dan kenaikan
penanda menunjukkan adanya proses penyakit kronis. Biokimiawi
hasil tes fungsi hati yang abnormal menunjukkan kemungkinan
keganasan.
3. CT scan
Sangat bermanfaat untuk menentukan sifat massa retroperitoneal dan
mungkin lebih sensitif dalam mengidenfitikasi pembesaran KGB intra
abdomen.
4. MRI
Banyak digunakan, khususnya bagi massa adrenal atau massa yang
berasal dari tulang.
5. Biopsi
Jika ada keraguan mengenai sifat suatu massa intra abdomen, biasanya
bisa dilakukan aspirasi sel untuk pemeriksaan sitologi atau biopsi
perkuatan dengan bantuan USG atau CT scan.
2. KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Pasien mengeluh adanya ikterus, anoreksia, mual, muntah, kulit gatal, dan
gangguan pola tidur. Pada beberapa pasien juga mengeluh demam ringan,
nyeri otot, nyeri dan merasa ada benjolan pada abdomen kanan atas,
keluhan nyeri kepala, keluahan riwayat mudah mengalami perdarahan,
serta bias didapatkan adanya perubahan kesadaran secara progresif sebagai
26
respons dari hepatic ensefalopati, seperti agitasi (gelisah), tremor,
disorientasi, confussion, kesadaran delirium sampai koma.
c. Riwayat penyakit dahulu
(1) Kelemahan
(2) Kelelahan
(3) malaise
2) Sirkulasi
3) Eliminasi
27
(1) Anoreksia
(5) Asites
5) Neurosensori
(3) Letargi
(4) asteriksis
6) Nyeri/kenyamanan
(3) Myalgia
(4) Altralgia
7) Keamanan
(1) Demam
(2) Urtikaria
28
(4) Eritema
(5) Splemomegali
8) Seksualitas
f. Pemeriksaan penunjang
29
g. HbsAG : dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A).
1. Radiologi
2. Pemeriksaan Tambahan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
30
C. INTERVENSI
31
makan) Penyiapan dari diprogramkan
penyimpanan makanan 4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
yang aman
Gejala dan Tanda Mayor medikasi sebelum makan
Penyiapan dan (mis. Pereda nyeri,
penyimpanan minuman antiemetik), jika perlu
Subjektif : (tidak yang aman Sikap Kolaborasi dengan ahli
tersedia) terhadap gizi untuk menentukan
makanan/minuman jumlah kalori dan jenis
sesuai dengan tujuan nutrient yang dibutuhkan,
Objektif : jika perlU
kesehatan
Perasaan cepat 2. PROMOSI BERAT BADAN
1. Berat badan menurun
kenyang
minimal 10% di bawah 1. Observasi
Nyeri abdomen
rentang ideal . Sariawan Identifikasi kemungkinan
penyebab BB kurang
Rambut rontok
Monitor adanya mual dan
Berat badan muntah
indeks Massa Tubuh Monitor jumlah
Gejala dan Tanda Minor (IMT) Frekuensi makan kalorimyang dikomsumsi
Nafsu makan sehari-hari
Monitor berat badan
Subjektif :
Monitor albumin, limfosit,
Bising usus Tebal dan elektrolit serum
1. Cepat kenyang setelah lipatan kulit trisep 2. Terapeutik
Berikan perawatan mulut
makan
Membran mukosa sebelum pemberian
makan, jika perlu
2. Kram/nyeri abdomen
Sediakan makan yang
tepat sesuai kondisi
3. Nafsu makan menurun .
pasien( mis. Makanan
dengan tekstur halus,
makanan yang diblander,
Objektif : makanan cair yang
diberikan melalui NGT
1. Bising usus hiperaktif atau Gastrostomi, total
perenteral nutritition sesui
2. Otot pengunyah lemah indikasi)
Hidangkan makan secara
3. Otot menelan lemah menarik
Berikan suplemen, jika
4. Membran mukosa pucat perlu
Berikan pujian pada
5. Sariawan pasien atau keluarga untuk
peningkatan yang dicapai
32
6. Serum albumin turun 3. Edukasi
Jelaskan jenis makanan
7. Rambut rontok berlebihan yang bergizi tinggi,
namuntetap terjangkau
Jelaskan peningkatan
asupan kalori yang
dibutuhkan
33
Konsistensi feses Letakkan telapak tangan
Peristaltik usus menghadap pasien 3 sampai
Jumlah feses 5 inci dari tubuh
Warna feses Fokus pada niat
memfasilitasi kesimetrisan
dan penyembuhan di area
yang terganggu
Gerakkan tangan perlahan
dan terus sebanyak
mungkin, mulai dari kepala
hingga kaki
Gerakkan tangan dengan
sangat lembut ke bawah
melalui medan energy
pasien
Perhatikan keseluruhan pola
aliran energy, terumata area
yang mengalami gangguan,
yang mungkin dirsakan
melalui tangan (mis.
Perubahan suhu,
kesemutan,atau perasaan
gerakan halus lainnya)
Edukasi
Anjurkan beristirahat
selama 20 menit atau lebih
setelah perawatan
34
D.0049 L.04033 I.04155
3
Eliminasi fekal Manajemen
Konstipasi berhubungan
Konstipasi
dengan ketidakcukupan Definisi :
asupan serat Observasi:
Proses defekasi
Definisi normal yang disetai Periksa tanda dan
dengan pengeluaran gejala
Penurunan defekasi normal
feses mudah dan
yang disertai pengeluaran Periksa pergerakan
kosistensi, frekuensi
feses sulit dan tidak tuntas usus, karakteristik
serta bentuk feses
serta fases kering dan banyak feses
normal.
Penyebab Identifikasi faktor
risiko konstipasi
Fisiologis Ekspektasi :
35
7. Kelemahan otot abdomen Urgency
toileting Kolaborasi
penggunaan obat
3. Aktivitas fisik harian
pencahar, jika perlu
kurang dari yang
dianjurkan
4. Penyalahgunaan laksatif
6. Ketidakteraturan
kebiasaan defekasi
7. Kebiasaan menahan
dorongan defekasi
8. Perubahan lingkungan
36
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
kali seminggu
dan sulit
Objektif
1. Feses keras
Subjektif
Objektif
1. Distensi abdomen
2. Kelemahan umum
D. EVALUASI
37
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui
sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini dilakukan
dengan cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria
hasil yang dibuat dalam rencana keperawatan.
38
BAB II
A. KESIMPULAN
B. SARAN
39
DAFTAR PUSTAKA
Bibliography
D, S. G. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan . Jakarta: Gunung Mulia.
Ermawati, D. (2009). Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Jakarta: Trans Info
Media.
RI, K. (2013). Komunikasi Dalam Keperawatan Modul 2. Jakarta: Badan PPSDM
Kesehatan.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
http://bnetpwj.blogspot.co.id/2016/09/makalah-komunikasi-terapeutik-pada-
bayi.html
40