Makalah
Di Susun Oleh:
(Kelompok 5)
Semester 3
Kelas: 3D PGSD
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya sehingga penulisan
tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan. Penyusunan tugas
makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Telaah Kurikulum”, topik
yang dibahas adalah “Otonomi Kurikulum Sekolah”.
Penyusunan tugas ini dengan harapan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami
materi tentang “Otonomi Kurikulum Sekolah”. Namun demikian, tentu saja dalam penyusunan
masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan dan pemilihan kata yang tepat. Dengan ini,
memohon saran dan kritik yang konstruktif, sehingga penulis bisa menyempurnakan hasil makalah
yang telah dibuat.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan.............................................................................................................................2
D. Manfaat...........................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
A. Paradigma Otonomi Kurikulum......................................................................................4
B. Hakikat Otonomi Kurikulum Sekolah............................................................................9
C. Tujuan Otonomi Kurikulum Sekolah............................................................................11
D. Tahapan Otonomi Kurikulum Sekolah.........................................................................14
E. Prinsip Otonomi Kurikulum Sekolah............................................................................22
F. Strategi Implementasi Otonomi Kurikulum Sekolah....................................................24
G. Desain Otonomi Kurikulum Sekolah............................................................................31
BAB III.....................................................................................................................................43
PENUTUP................................................................................................................................43
A. Kesimpulan...................................................................................................................43
B. Saran..............................................................................................................................44
Daftar Pustaka..........................................................................................................................45
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penting bagi umat manusia, karena pendidikan selalu
menjadi tumpuan dan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Pendidikan
merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan menyiapkan
generasi yang mampu berbuat banyak bagi kepentingan umat manusia di muka bumi ini.
Pendidikan juga merupakan barometer sebuah negara. Manakala suatu bangsa rusak
moralnya, tergoncang kredibilitasnya serta kemajuan teknologinya terhambat, maka yang
pertama ditinjau ulang adalah sistem pendidikan yang digunakan.
Pengalaman pembangunan di negara-negara maju, khususnya negara- negara di dunia
barat, membuktikan berapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara
umum telah diakui bahwa pendidikan merupakan penggerak utama (prima mover) bagi
pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, maka suatu bangsa ingin menjadi bangsa yang maju
dan memiliki peradaban yang tinggi hendaklah mengedepankan pendidikan, karena melalui
pendidikan suatu negara akan bergerak maju lebih cepat.
Lahirnya pendidikan karena adanya masyarakat, jadi pendidikan pada mulanya
berfungsi sebagai sarana mensosialisasikan nilai dan tradisi yang dianut oleh masyarakat,
sehingga wajar ketika keduanya saling mempunyai keterkaitan. Pendidikan Islam memberi
kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk gagasan
konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan. Pendidikan Islam yang merupakan
salah satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik
dan saling tergantung dengan unsur-unsur lainnya.
Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menjalankan misinya terlebih di era
otonomi daerah adalah tidaklah kecil. Pertama, perubahan orientasi masyarakat suatu daerah.
Persiapan menuju industrialisasi telah menyebabkan orientasi pendidikan masyarakat berubah
dari belajar mencari ilmu menjadi bersifat materialistik. Kedua, perubahan orientasi
pendidikan umum lebih diutamakan daripada pendidikan keagamaan. Ketiga, kenyataan
bahwa kualitas layanan pendidikan Islam terkesan lebih rendah daripada layanan pendidikan
yang diberikan oleh sebagian sekolah umum. Untuk menghadapi perubahan orientasi
pendidikan masyarakat tidak ada jalan lain bagi pendidikan Islam kecuali memberikan
sesuatu yang diinginkan masyarakat, oleh karena itu kurikulum pendidikan Islam diharapkan
1
agar mampu mentransformasikan potensi daerah, sehingga perlu adanya desentralisasi
kurikulum di daerah. Hal ini menggambarkan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus
mampu menjawab problem dalam masyarakat sehingga pendidikan Islam menjadi solusi
terbaik.
Dari serangkaian pembahasan yang diuraikan, kami melakukan pengkajian dan penelitian
untuk mencoba mengangkat masalah tentang otonomi kurikulum sekolah atau otonomi pendidikan.
Bagaimana paradigma dari otonomi kurikulum sekolah, hakikat otonomi kurikulum sekolah, tujuan
dan tahapan apa saja yang terdapat pada otonomi kurikulum sekolah, serta apa prinsip otonomi
kurikulum sekolah dan bagaimana strategi untuk mengimplementasikan serta seperi apa desain dari
otonomi kurikulum sekolah dan bagaimana pengembangannya. Melalui makalah ini, penulis berharap
nantinya pokok permasalahan akan terjawabdan pembaca akan lebih memahami mengenai otonomi
kurikulum sekolah.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini meliputi:
1. Apa yang dimaksud dari paradigma otonomi kurikulum sekolah?
2. Bagaimana hakikat dari otonomi kurikulum sekolah?
3. Apa tujuan dari otonomi kurikulum sekolah?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang paradigma otonomi kurikulum sekolah.
2. Untuk menjelaskan tentang hakikat otonomi kurikulum sekolah.
3. Untuk menjelaskan tentang tujuan otonomi kurikulum sekolah.
4. Untuk menjelaskan tentang tahapan otonomi kurikulum sekolah.
5. Untuk menjelaskan tentang prinsip otonomi kurikulum sekolah.
6. Untuk menjelaskan tentang strategi implementasi otonomi kurikulum sekolah.
7. Untuk menjelaskan tentang desain otonomi kurikulum sekolah.
8. Untuk menjelaskan tentang pengembangan otonomi kurikulum sekolah.
2
D. Manfaat
1. Memahami tentang paradigma otonomi kurikulum.
2. Memahami tentang hakikat otonomi kurikulum sekolah.
3. Memahami tentang tujuan otonomi kurikulum sekolah.
4. Memahami tentang tahapan otonomi kurikulum sekolah.
5. Memahami tentang prinsip otonomi kurikulum sekolah.
6. Memahami tentang strategi implementasi otonomi kurikulum sekolah.
7. Memahami tentang desain otonomi kurikulum sekolah.
8. Memahami tentang pengembangan otonomi kurikulum sekolah.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab; dan (b) masyarakat,
termasuk keluarga, bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Agak berbeda dengan itu, dalam buku Depdiknas (2002:10), selain hal tersebut, juga
ditegaskan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke
“debirokratisasi”, dari “manajemen tertutup” (closed management) ke “manajemen terbuka”
(open management), dan pengembangan pendidikan, yang semula biayanya terbesar menjadi
tanggung jawab pemerintah, berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua
peserta didik dan masyarakat (stakeholders)”.
Bila pendapat Jalal & Supriadi digabungkan dengan yang tercantum dalam buku
Depdiknas, maka karakteristik paradigma baru pendidikan meliputi: pertama, desentralisasi
pendidikan. Dalam era reformasi, cara pandang yang sentralistik berubah ke desentralistik.
Menurut Kotter (1996), lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara
lain: (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan
kebutuhan yang selalu berubah; (2) lebih efektif; (3) lebih inovatif; dan (4) menghasilkan
semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Budiono,
Irfan & Andi (1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan 6 keputusan oleh
organisasi tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih
baik.
5
seluruh pelaku pembangunan, melalui forum Musrenbang tingkat kelurahan, kecamatan, dan
kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah.
6
dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders),
dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan apabila ditemukan hal-hal yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, dari segi pendidikan, paradigma baru terkait dengan banyak aspek.
Pada aspek kurikulum, paradigma baru menuntut kurikulum yang dapat mengakomodasi
keragaman. Sistem pengembangan kurikulum menjadi lebih demokratis melalui diversifikasi
kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam. Satuan pendidikan
memiliki kebebasan untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri sesuai ciri satuan
pendidikan dan karakteristik lingkungannya masing-masing, sepanjang kurikulum itu
memenuhi standar isi dan standar kompetensi lulusan (Depdiknas, 2007).
7
diterimanya, sehingga bermakna untuk kehidupan. Sementara itu, orientasi pengembangan
kemanusiaan mempunyai perspektif yang secara substansi lebih luas daripada wacana
pengembangan prestasi akademik (Armstrong, 2006:36). Asumsi yang diyakini, antara lain:
(a) menjadi manusia utuh adalah aspek belajar yang penting; (b) proses yang penuh makna,
terus menerus dan bersifat kualitatif; (c) kurikulum yang luwes; (d) berorientasi individu; (e)
memberi pilihan-pilihan yang bermakna pada siswa; (f) menghargai masa lalu, kini dan masa
depan setiap siswa; dan (g) mendasarkan validitas pada kekayaan pengalaman manusia.
8
Demikianlah berbagai karakteristik paradigma baru pendidikan, baik dari segi
manajemen maupun pendidikannya. Dalam perkembangannya, jiwa dan semangat paradigma
baru pendidikan tersebut tercermin dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Dalam UU tersebut, dikemukakan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan, meliputi:
Dari berbagai prinsip ini, demokratisasi pendidikan dapat dikembangkan, baik dalam
ranah konseptualisasi maupun praksisnya. Dari prinsip ini jelas terlihat 10 bahwa prinsip
penyelenggaraan pendidikan jauh lebih demokratis dan berorientasi pada teori, sistem dan
praksis pendidikan yang semakin mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai global-
universal. Implikasinya, dalam hubungannya dengan pendidikan prinsip-prinsip tersebut akan
berdampak pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan, menyangkut semua
komponen sistem pendidikan.
Pengertian “paradigma” itu sendiri kurang jelas, karena berbagai pengertian yang
dikemukakan Thomas Kuhn, kadang terasa tidak begitu konsisten satu sama lain. Meskipun
demikian, Verhaak dan Imam (1989:165) menyimpulkan bahwa paradigma merupakan cara
pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkret. Paradigma
adalah asumsiasumsi dasar yang terkandung atau tersirat dalam satu atau sejumlah teori
dominan. Asumsi-asumsi dasar ini membentuk kerangka keyakinan (belief framework) dan
merupakan konstelasi komitmen intelektual suatu masyarakat ilmuwan. Ini berfungsi sebagai
semacam acuan, kiblat, atau pedoman, dan menentukan cara untuk melihat persoalan dan
bagaimana menyelesaikannya. Selain itu, paradigma juga bisa berarti contoh, menunjuk pada
teknik-teknik 3 percobaan yang unggul, yang lazimnya telah membuktikan kebolehannya
dalam menghasilkan terobosan-terobosan keilmuan yang krusial, dan diteladani oleh warga
masyarakat ilmuwan (Wilardjo,1999:72).
Dari uraian di atas, tampak ada berbagai pengertian paradigma, yang satu sama lain
tidak selalu sama. Berhubung dengan itu, Wilardjo (1999:73) meyakini bahwa adanya
10
kekurangjelasan pengertian atau kelenturan konseptual mengenai paradigma an sich tak ada
salahnya. Bahkan, bagi Hardiyanto (1999:103), dengan mengacu pada pendapat Thomas
Kuhn dan para ahli lainnya, rumusan paradigma itu dapat berkembang, meskipun inti
pengertiannya sendiri dianggapnya tidak berbeda.
11
Sedangkan merurut Hanson (2004:27) tujuan utama dari desentralisasi adalah:
Menurut Hadiyanto (2004: 30), secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi
pendidikan, yaitu:
12
Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan
kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut,
maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-mengajar.
Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor
yang paling menentukan.
Menurut Fiske (1996: 24) menyatakan bahwa tujuan desentralisasi pendidikan adalah:
educational improvement, administrative effeciency, financial efficiency, political goals,
effect on equity. Pengembangan kurikulum ditingkat sekolah tujuannya adalah meningkatkan
kompetensi yang seimbang antara sikap (attitude), ketrampilan (skill), dan pengetahuan
(knowledge) serta berbudaya sesuai dengan budaya dimana sekolah berada. Dengan harapan
peserta didik memiliki empat kompetensi.
Adapun tujuan utama dari otonomi sekolah adalah memberi keleluasaan kepada
sekolah dan keikutsertaan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan lebih besar.
Sedangkan manfaatnya adalah: Lembaga sosial-budaya, dunia usaha-industri, tokoh agama-
masyarakat, orang tua, dan siswa.
1. Pembelajaran
2. Perencanaan pengembangan sekolah
3. Pengelolaan kelas.
Sekolah perlu memberi kesempatan mengajak dan melibatkan orang tua dalam
pelaksanaan kurikulum (KBM), misalnya: mengoptimalkan buku komunikasi laporan yang
dibuat guru atas apa yang dilakukan siswa, orang tua memberi tanggapan, harapan terhadap
guru, atau hal lainnya. Orang tua yang menekuni secara khusus dan ahli pada bidang tertentu
(menari, bermain musik, berbahasa Inggris, dan lain-lain) hadir dan mengajar secara klasikal.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk melibatkan orang tua siswa dalam rencana
pengembangan sekolah, misal bersama-sama membahas dan memberikan masukan untuk
peningkatan mutu sekolah, kemudian hasilnya dilaporkan kepala sekolah.
13
pemerintah pusat dalam upaya mensejahterakan masyarakat yang ada di daerah. Singkatnya,
tujuan desentralisasi adalah untuk merangsang kepekaan elit lokal terhadap tuntutan dan
kebutuhan masyarakat daerah. Desentralisasi pendidikan merupakan peluang bagi
peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, merupakan
peluang bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal ini karena perhatian
terhadap peningkatan mutu guru, peningkatan mutu manajemen kepala sekolah, peningkatan
sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan menjadi lebih baik jika dikelola
oleh para pejabat pendidikan yang ada di daerah. Pada akhirnya, tujuan desentralisasi
pendidikan adalah pada peningkatan mutu pendidikan.
14
Sebagai bapak pengembangan kurikulum, Tyler telah menanamkan atas perlunya hal
yang rasional, sistematis, dan pendekatan yang berarti dalamtugas mereka. Tetapi pendapat
Tyler dipandang rendah oleh beberapa penulis sebelumnya
Beberapa penulis lain berpendapat bahwa Tyler tidak menjelaskan sumber tujuan
dengan memadai. Tetapi, sebenarnya Tyler telah membahas halitu dalam sebuah buku utuh.
Tyler telah menguraikan dan menganalisis sumber-sumber tujuan yang datang dari anak
didik, mempelajari kehidupan kontemporer, mata pelajaran yang bersifat akademik, filsafat,
dan psikologi belajar.
Walaupun demikian, Tyler tidak menyebutkan langkah-langkah konkret dalam
pengembangan kurikulum. Tyler hanya memberikan dasar-dasarnya saja. Model
pengembangan kurikulum ini dapat dilihat pada tahapan berikut:
1. Merumuskan Tujuan (Objectives)
Dalam menyusun suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah
pertama dan utama yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan merupakan arah atau
sasaran pendidikan. Hendak dibawa kemana anak didik? Kemampuan seperti apa
yang harus dimiliki anak didik setelah mengikuti program pendidikan? Semuanya
bermuara pada tujuan. Lalu dari mana dan bagaimana kita menentukan tujuan
pendidikan?
Tyler tidak menjelaskan secara detail tentang sumber tujuan. “Similarly, some
writers have argued that Tyler doesn’t adequately explain the source of
objectives” (Skilbeck, 1976: Kliebard, 1970). Namun demikian, Tyler
menjelaskan bahwa sumber perumusan tujuan berasal dari siswa, studi kehidupan
masa kini, disiplin ilmu, filosofis, dan psikologi belajar. Merumuskan tujuan
kurikulum sangat tergantung dari teori dan filsafat pendidikan serta model
kurikulum apa yang dianut. Bagi pengembang kurikulum subjek akademis,
penguasaan berbagai konsep dan teori seperti yang tergambar dalam disiplin ilmu
adalah sumber tujuan utama. Kurikulum yang bersifat “discipline oriented”
berbeda dengan pengembang kurikulum model humanistik yang lebih bersifat
“childish centered”, yaitu kurikulum yang lebih berpusat pada pengembangan
pribadi siswa, maka yang menjadi sumber utama dalam perumusan tujuan tentu
adalah siswa itu sendiri, baik itu yang berhubungan dengan pengembangan minat
dan bakat serta kebutuhan untuk membekali hidupnya nanti. Berbeda dengan
kurikulum rekonstruksi sosial. Kurikulum yang lebih bersifat “society centered”
ini memposisikan kurikulum sekolah sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan
15
masyarakat, maka kebutuhan dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan
merupakan sumber tujuan utama kurikulum ini.
Walaupun secara teoritis tampak ada pertentangan antara kurikulum yang
bersumber dari displin akademik, kurikulum yang bersumber dari kebutuhan
pribadi dan kebutuhan masyarakat, akan tetapi dalam praktiknya tidak seperti
yang terlihat dalam teori. Anak adalah organisme yang unik, yang memiliki
berbagai perbedaan satu sama lain. Selain itu anak juga adalah makhluk sosial
yang berasal dan akan kembali pada masyarakat, oleh karena itulah tujuan
kurikulum apa pun bentuk dan modelnya pada dasarnya harus
mempertimbangkan berbagai sumber untuk kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat.
2. Pengalaman belajar (Selecting Learning Experiences)
Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Menurut Tyler, pengalaman belajar bukanlah isi atau materi
pelajaran dan bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Pengalaman
belajar mengacu pada aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran. Dengan
demikian yang harus dipertanyakan dalam pengalaman belajar ini adalah "apa
yang akan atau telah dikerjakan siswa" bukan "apa yang akan atau telah diperbuat
guru" Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa.
Pertama, pengalaman belajar siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Kedua, setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa. Ketiga, setiap
rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan siswa. Keempat, satu
pengalaman belaja dapat mencapai beberapa tujuan yang berbeda
3. Mengorganisasikan pengalaman belajar (Organizing Leraning Experiences)
Mengorganisasikan pengalaman belajar siswa bisa dalam bentuk unit mata
pelajaran ataupun dalam bentuk program. Ada dua jenis pengorganisasian
pengalaman belajar, yaitu pengorganisasian secara vertikal dan secara horizontal.
Pengorganisasian secara vertikal apabila menghubungkan pengalaman belajar
dalam satu kajian yang sama dalam tingkat/kelas yang berbeda. Sedangkan
pengorganisasian secara horizontal jika kita menghubungkan pengalaman belajar
dalam tingkat/kelas yang sama. Ada tiga kriteria dalam mengorganisasi
pengalaman belajar ini yaitu: kesinambungan, urutan isi, dan integrasi. Prinsip
pertama artinya pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki
kesinambungan dan diperlukan untuk pengembangan pengalaman belajar
16
selanjutnya. Prinsip kedua erat hubungannya dengan kontinuitas. Perbedaannya
dengan prinsip pertama, terletak pada tingkat kesulitan dan keluasan bahasan,
artinya setiap pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa harus
memperhatikan tingkat perkembangan siswa. Prinsip ketiga menghendaki bahwa
suatu pengalaman yang diberikan pada siswa harus memiliki fungsi dan
bermanfaat untuk memperoleh pengalaman belajar dalam bidang lain.
4. Evaluasi (Evaluation)
Proses evaluasi merupakan langkah penting untuk mendapatkan informasi
tentang ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Karena dengan evaluasi kita
dapat menentukan apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh sekolah atau belum. Ada dua aspek yang perlu
diperhatikan dalam evaluasi. Pertama, evaluasi harus mampu menilai apakah
telah terjadi perubahan tingakah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang
telah dibuat. Kedua, evalusi sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat penilaian
dalam suatu waktu tertentu. Karena penilaian suatu program tidak mungkin hanya
mengandalkan hasil tes siswa di akhir proses pembelajaran. Penilaian dilakukan
dengan membandingkan hasil antara penilaian awal sebelum melakukan program
dan sesudah melakukan program. Dari perbandingan inilah nantinya akan terlihat
ada atau tidaknya perubahan tingkah laku yang diharapkan ssuai dengan tujuan
pendidikan.
Ada dua fungsi dalam evaluasi, yaitu pertama evaluasi digunakan untuk
memperoleh data tentang ketercapaian tujuan oleh peserta didik. Hal ini
dimaksudkan untuk melihat bagaimana tingkat pencapaian atau tingkat
penguasaan isi kurikulum oleh para siswa. Fungsi ini dinamakan sebagai fungsi
sumatif. Fungsi yang kedua adalah untuk melihat efektivitas proses pembelajaran.
Maksudnya adalah apakah program yang disusun telah dianggap sempurna atau
justru perlu perbaikan. Fungsi ini dinamakan juga fungsi formatif.
Model Objectives Tyler memandang evaluasi kurikulum sebagai pengukuran
performa atau penampilan siswa terhadap tujuan perilaku yang sudah dirumuskan
sebelumnya. Masih ada beberapa model lainnya yang mengacu pada evaluasi
ketercapaian tujuan, yaitu: Hammond yang lebih fokus pada pengaruh faktor
institusional dan instruksional di dalam mencapai tujuan; dan Provus, yang fokus
pada apakah terdapat perbedaan antara pengamatan kurikulum dan standar atau
tujuan yang sudah disepakati.
17
Tahapan dan komponen pengembangan kurikulum model Tyler (Model Rasional)
tersebut mencakup 6 komponen kurikulum. Dimana komponen yang satu komponen dengan
lainnya saling berkaitan. Hal yang perlu dilakukan sekolah.
Bersifat Menantang
18
Analisis Kebutuhan
Kajian Dokumen
(Swot dan Market Signal)
E
Tujuan V
A
L
U
Isi/Bahan Kajian
A
S
I
Proses Pembelajaran P
R
O
G
19
Apabila kita memperhatikan gambar bagan di atas, tahapan pengembangan kurikulum
pelajaran baik untuk program kependidikan maupun kependidikan harus melalui tahapan
sebagai berikut:
1. Kajian dokumen dan pustaka. Kegiatan ini dilakukan melalui berbagai kajian
pustaka yang berkaitan landasan fisolofis, sosiologis, historis dan juridis yang
relevan, antara lain: a) pendidikan guru, b) panduan pengembangan kurikulum
sekolah, c) kajian rambu-rambu penyelenggaraan satuan pendidikan termasuk
standar nasional pendidikan untuk sekolah dasar dan menengah seperti standar isi
dan proses, d) kurikulum sekolah yang akan menjadi pilihan stakeholder, e)
mengkaji perbanding dokumen kurikulum pelajaran sejenis baik dari lokal
nasional.
2. Analisis kebutuhan. Dalam analisis ini dilakukan:
a. Analisis situasi kajian berbagai aspek yang menyangkut SDM, peserta didik,
sarana, prasarana, dan daya dukung kependidikan lainnya yang dimiliki oleh
lembaga pendidikan.
b. Analisis kebutuhan peserta didik ketika mereka memasuki dunia kerja dan
mengembangkan pekerjaannya (market signal) menyangkut pengetahuan,
keterampilan termasuk keterampilan berpikir, sikap dan kepribadian.
Pendeknya menyangkut kajian aspek hard skills dan softskills yang
dibutuhkan mereka ketika memasuki dunia kerja agar mampu beradaptasi
dan mengembangkan profesinya
21
3. Organizing Learning Experiences (mengorganisasi pengalamanbelajar yang akan
diberikan)
4. Evaluation (Mengevaluasi efektivitas pengalaman belajar gunamengetahui tujuan
pendidikan telah dicapai). Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar
siswa sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
22
1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik.
3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a) Peningkatan iman dan takwa;
b) Peningkatan akhlak mulia;
a) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
b) Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
c) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
d) Tuntutan dunia kerja;
e) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
f) Agama;
g) Dinamika perkembangan global; dan
h) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
23
Prinsip pengelolaan mandiri, memberikan kewenangan sekolah untuk mengelola
secara mandiri dengan kebijakan yang telah ditetapkan secara kolaboratif. Dengan demikian,
sekolah memiliki otonomi untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen,
distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah dan
mencapai tujuan berdasarkan kondisi masing-masing.
Prinsip inisiatif manusia, mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis,
melainkan dinamis. Karena itu potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan,
dan kemudian dikembangkan. Lembaga pendidikan harus menggunakan human resources
development, yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus
dikembangkan.
Maka dapat disimpulkan jika prinsip-prinsip yang dimaksud apabila dapat dipenuhi,
maka implementasi otonomi kurikulum sekolah dapat meningkatkan pelayanan dan mutu
pendidikan disekolah dengan melibatkan sumber daya sekolah dan masyarakat. Dengan
adanya prinsip-prinsip tersebut penyelenggaraan otonomi kurikulum sekolah bisa berjalan
sesuai dengan tujuan dari otonomi kurikulum sekolah sendiri. Dengan adanya prinsip-prinsip
otonomi kurikulum sekolah ini juga pengimplementasian yang dilakukan didasarkan pada
prinsip-prinsip otonomi kurikulum yang berlaku.
24
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari “schoolbased
management” istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai
mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat
setempat. Paradigma manajemen ini muncul ketika masyarakat Amerika Serikat sudah tidak
lagi mendapatkan manfaat yang signifikan atas keberadaan lembaga pendidikan, dimana
output pendidikan cenderung menjauh dari realitas sosialnya.
Sehingga pendidikan harus direformasi menuju pendidikan yang mampu melibatkan
masyarakat dan memiliki dampak langsung atas output pendidikan. “Manajemen Pendidikan
Berbasis Sekolah merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas
pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional,
Otonomi yang diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana
dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap
kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami,
membantu dan mengontrol pengelolaan pendidikan.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa MBS merupakan sebuah paradigma
manajemen yang mengarusutamakan otonomi dan pelibatan masyarakat, otonomi pendidikan
yang dimaksud adalah sebuah upaya untuk memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada
sekolah untuk mengembangkan dan mengelola institusinya, selain itu juga institusi
pendidikan diharapkan mampu menemukan relevansinya dengan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat setempat dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan dan pengawalan
kebijakan pendidikan.
25
sekolahnya; serta meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan
yang akan dicapai.
Menurut Umiarso dan Gojali, Konsep dasar manajemen berbasis sekolah adalah
pengelolaan peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan sekolah secara mandiri dengan
melibatkan semua pihak yang terkait dengan pendidikan yang biasa disebut dengan otonomi
pendidikan atau sekolah. Sehingga dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi mutu
pendidikan di sekolah mampu melibatkan stakeholder sekolah, karena esensi MBS adalah
otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu
pendidikan di sekolah.
26
3. Pengelolaan proses belajar mengajar. Sekolah diberi kebebasan untuk memilih
strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru
dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
27
8. Hubungan sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat
adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan
dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah
didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitasnya. Menurut Mulyasa, hubungan sekolah dengan masyarakat pada
hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan
mengembangkan pertumbuhan pribadi siswa di sekolah.
Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan
mutu pendidikan. Pertama, salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif
untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga
sekolah, termasuk masyarakat dan orang tua siswa.Upaya untuk memperkuat peran kepala
28
sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS.“ An essential
point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is
to work” demikian De Grouwe menegaskan.
Kedua, membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan
akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban
kepada masyarakat.Model memanjangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang
dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat
positif.Juga membuat laporan secara incidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang
rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah
dapat tampil bersama dalam media tersebut.
Ketiga, pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan
kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam
rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block
grant yang diterima sekolah.
29
dengan mempertimbangkan prioritas waktu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.
Strategi implementasi MBS bisa berbeda-beda antar Negara, antar daerah bahkan
antarsekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya. Secara umum, suatu
implementasi MBS akan berhasil jika melalui strategi-strategi berikut ini:
Pertama, sekolah harus memiliki otonomi dalam empat hal, yaitu dimilikinya otonomi
dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara
berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada
setiap pihak yang berhasil.
Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses
pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta noninstruksional. Sekolah
harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun
sekolah adalah bagian dari masyarakat secara luas.
Ketiga, adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan
mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus
menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum.
Kepala sekolah dalam penerapan MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan
liaison.
Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggungjawabnya secara sungguh-
sungguh.Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing—masing harus ada
sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri.
30
tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang
diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing.
Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan
lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi
bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk
itu.
Dalam menentukan strategi. Langkah pertama yakni menentukan Visi, misi dan
tujuan sekolah. Langkah kedua mengidentifikasi tantangan nyata sekolah. Langkah ketiga
mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran. Langkah keempat
menggunakan analisis SWOT untuk memecahkan persoalan dalam menyusun rencana dan
program sekolah yang mana untuk meningkatkan mutu pendidikan. Langkah kelima
31
melaksanakan rencana peningkatan mutu kemudian melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan.
Desain kurikulum dapat ini dapat dilihat dari dua dimensi yang berkenaan langsung
dengan penyusunan bahan kurikulum, dan dimensi yang menyangkut penyusunan bahan
kurikulum dari tingkat kesukaran (Sukamadinata, 2007 dalam Firdaus, 2021).
Desain kurikulum menurut Fred Pervicial dan henry Ellington adalah pengembangan
proses perencanaan, validasi, implementasi, dan evaluasi kurikulum.
Desain kurikulum merupakan aspek yang sangat penting dalam curriculum planning
karena menunjukkan elemen-elemen yang harus diperhatikan dalam perencanaan kurikulum
dan hubungan elemen-elemen ini dalam proses pengembangan kurikulum, merupakan cara
untuk menentukan pemilihan organisasi berbagai pengalaman belajar yang diselenggarakan
di sekolah, dan menentukan peranan pendidik, peserta didik, dan orang lain yang terlibat
dalam perencanaan kurikulum (Aprilia, 2020)
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa desain kurikulum merupakan
suatu pengorganisasian tujuan, isi, proses belajar yang akan diikuti peserta didik pada
berbagai tahap perkembangan pendidikan. Dalam desain kurikulum akan tergambar unsure-
32
unsur dari kurikulum, hubungan antara satu unsure dengan unsure lainnya, prinsip-prinsip
pengorganisasian, serta hal-hal yang yang diperlukan dalam pelaksanaannya.
Ada tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu, yaitu:
subject centered desain, learned centered desain, problem centered desain. Setiap desain
kurikukum memberikan teknik atau cara yang efektif dalam proses pembelajaran agar
33
berjalan dengan efektif dan efisien. Tetapi tidak setiap desain kurikulum dapat dijadikan
pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena setiap desain kurikulum memiliki
kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanannya.
Subject centered design curiculum merupakan bentuk desain yang paling populer,
paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design, kurikulum
dipusatkan pada isi atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata-
mata pelajaran, dan matamata pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah. Karena
terpisahpisahnya itu maka kurikulum ini disebut juga separated subject curiculum.
The Subject Curiculum merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered
design. Materi pelajaran disajikan secara terpisahpisah dalam bentuk mata-mata pelajaran. Model
desain ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani kemudian Romaaw imengembangkan Trivium
dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan retorika, sedangkan Quadrivium meliputi
matematiks, geometri, astonomi, dan musik. Paada saat itu pendidikan tidak diarahkan pada mencari
nafkah, tapi oada pembentuakan pribadi dan status sosial (Liberal Art). Pendidikan hanya di
peruntukan bagi anak-anak golongan bangsawan yang tidak usah bekerja mencari nafkah.
b. Isi kurikulum diambil dari masa lalu, terlepas dari kejadian-kejadian yang hangat,
yang sedang berlangsung saat sekarang. Kurikulum ini kurang memperhatiakan
minat, kebuutuhan dan pengalaman peserta didik
34
c. Isi kurikulum disusun berdasarkan sistematika ilmu sering menimbulkan
kesukaran di dalam mempelajari dan menggunakannya
a) Karena materi pelajaran diambil dari ilmu yang sudah tersusun secara sitematis
logis, maka penyusunnya cukup mudah.
b) Bentuk ini sudah di kenal sejak lama, baik oleh guru-guru maupun orang tua,
sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan.
d) Bentuk ini dapat dilaksanakan secara efisien, karena metode utamanya adalah
metode ekspositori yang dikenal tingkat efisiennya cukup tinggi
e) Bentuk ini sagat ampuh sebagai alat untuk melestarikan dan mewariskan warisan
budaya masa lalu.
Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan mengenai desain kurikulum yaitu
Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong semua jenis pengalaman belajar bagi
pencapaian prestasi belajar siswa, Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang
bermakna dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan, Desain harus
35
memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru untuk menggunakan prinsip-prinsip
belajar dalam kegiatan belajar di sekolah, Desain harus memungkinkan guru untuk
menyesuaikan pengalaman dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa.
Menurut Majir (2008) salah satu contoh pengembangan kurikulum di sekolah yang
menjadi harapan semua stakeholder adalah pendidikan karakter. Karakter di adopsi dari kata
Latin yaitu Kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya “tool for marking”, “to
engrave”, dan “pointed stake”. Dalam Bahasa Indonesia karakter, diartikan sebagai tabiat;
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari pada yang
lain.
Martin Luther King, pernah menyatakan: intelligence plus character that is the goal
of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang
sebenarnya). Pengembangan kurikulum pendidikan berbasis karakter atau budi pekerti plus
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action), dimana
dengan memasukkan pelajaran karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan
seoarang anak akan menjadi cerdas emosinya.
36
meningkatkan kerja sama antar sekolah, orang tua peserta didik, dan masyarakat dalam
membudayakan atau membiasakan nilai-nilai karakter di lingkungan sekolah, lingkungan
rumah tangga dan lingkungan masyarakat.
Terdapat Sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, menurut
Syafeudin dkk, 2006 (dalam Majir, 2018: 63), yaitu:
3. Kejujuran/amanah, diplomatis;
Berdasarkan pernyataan menurut para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengembangan kurikulum sekolah yang menjadi harapan utama adalah pendidikan karakter.
Dimana pendidikan karakter dapat dilakukan melalui 3 hal yaitu mengintegrasikan butir-butir
nilai karakter keseluruh mata pelajaran, muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri,
pembiasaan kehidupan di sekolah, meningkatkan kerja sama antara sekolah, orang tua siswa,
dan masyarakat dalam membiasakan nilai-nilai karakter dilingkungan sekolah.
Kurikulum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu
kurikulum disusun mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum; dan suatu teori
kurikulum diturunkan atau dijabarkan dari satu atau beberapa teori pendidikan. Untuk lebih
memahami hubungan antara kurikulum dengan pendidikan, dikemukakan beberapa teori
pendidikan dan modelmodel kurikulum dari masing-masing teori tersebut.
37
Sekurang-kurangnya ada empat teori pendidikan yang dipandang mendasari
pengembangan model kurikulum dan pelaksanaan pendidikan, yaitu pendidikan klasik,
pendidikan pribadi, pendidikan interaksional, dan teknologi pendidikan (Lapp, 1975).
Klasik dapat dipandang sebagai konsep pendidikan tertua. Konsep pendidikan ini
bertolak dari asumsi bahwa seluruh warisan budaya, yaitu pengetahuan, konsep atau ide, dan
nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu. Pendidikan berfungsi memelihara,
mengawetkan, dan meneruskan semua warisan budaya tersebut kepada generasi berikutnya.
Guru atau para pendidik tidak perlu bersusah payah mencari dan menciptakan pengetahuan,
konsep, dan nilai-nilai baru, sebab semuanya telah tersedia, tinggal menguasai dan
mengajarkannya kepada anak. Teori pendidikan ini disebut juga Teori Transmisi (Seller &
Miller, 1985), lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses atau bagaimana
mengajarkannya. Isi pendidikan atau materi diambil dari khasanah ilmu pengetahuan, berupa
disiplin-disiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli tempo dulu.
Kurikulum Pendidikan Klasik lebih menekankan kepada isi pendidikan, yang diambil
dari disiplin-disiplin ilmu, disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan guru-guru. Isi
disusun secara logis, sistematis, dan berstruktur, dengan berpusatkan pada segi intelektual,
sedikit sekali memperhatikan segi-segi sosial atau psikologis peserta didik. Guru mempunyai
peranan yang sangat be sar dan lebih dominan dalam pembelajaran. Guru yang aktif dan
bertanggungjawab dalam segala aspek pembelajaran. Peserta didik mempunyai peran yang
pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari guru. Kurikulumnya dapat dika
tegorikan sebagai Kurikulum Subyek Akademik.
2. Pendidikan Pribadi
38
pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dari
tanaman (peserta didik).
Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Peserta didik menjadi
subyek pendidikan; dialah yang menduduki tempat utama dalam pendidikan. Pendidik
menempati posisi kedua, bukan lagi sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan
ekspert dalam disiplin ilmu. Ia lebih berfungsi sebagai psikolog yang mengerti segala
kebutuhan dan masalah peserta didik. Ia juga berperan sebagai Bidan yang membantu peserta
didik melahirkan segala ideidenya. Guru adalah pembimbing, pendorong (motivator),
fasilitator, dan pelayan peserta didik.
3. Pendidikan Interaksional
Teori ini bertolak dari pemikiran manusia sebagai makluk sosial. Dalam
kehidupannya, manusia selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama,
berinteraksi, dan bekerjasama. Karena kehidupan bersama dan kerjasama ini, mereka dapat
hidup, berkembang, dan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi. Dapat dibayangkan apa yang akan dihadapi seseorang, bila ia hidup
sendiri di sebuah pulau terpencil. Bila lingkungannya mendukung, mungkin ia dapat bertahan
hidup, tetapi tidak mungkin dapat mencapai kemajuan seperti yang dialami oleh orang-orang
yang hidup bersama dengan orang lain.
Dalam Pendidikan Interaksional belajar lebih dari hanya sekedar mempelajari fakta-
fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut,
memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh, serta memahaminya dalam konteks
kehidupannya. Setiap peserta didik, demikian juga halnya guru, mempunyai rentetan
pengalaman dan persepsi sendiri. Dalam proses belajar, persepsi-persepsi yang berbeda
39
tersebut digunakan untuk menyoroti masalah bersama yang muncul dalam kehidupannya.
Dalam proses ini, dialog berlangsung, di mana setiap peserta didik dan guru saling
mendengarkan, memberikan pendapat, saling mengajar dan belajar. Pemahaman yang muncul
dari situasi demikian lebih dari jumlah seluruh sumbangan para peserta didik. Peserta didik
bukan hanya berperan sebagai peserta didik, tetapi juga sebagai guru; dan guru juga pada
suatu saat berperan sebagai peserta didik yang turut belajar bersama para peserta didiknya.
4. Teknologi Pendidikan
Teknologi Pendidikan lebih berorientasi ke masa sekarang dan yang akan datang,
tidak seperti Pendidikan Klasik yang lebih melihat ke masa lalu. Perkembangan Teknologi
Pendidikan dipengaruhi dan sangat diwarnai oleh perkembangan ilmu dan teknologi, sebab
Teknologi Pendidikan bertolak dari dan merupakan penerapan prinsip-prinsip ilmu dan
teknologi dalam pendidikan. Teknologi telah masuk ke semua segi kehidupan, termasuk
dalam pendidikan. Kurikulum Teknologi Pendidikan menekankan kompetensi atau
kemampuankemampuan praktis. Materi disiplin ilmu dipelajari dan termasuk dalam
kurikulum, apabila hal itu mendukung penguasaan kemampuan-kemampuan tersebut. Dalam
kurikulum, materi disiplin ilmu tersebut disusun terjalin dalam kemampuan.
40
Pengembangan kurikulum dilakukan oleh para ahli dan/atau guru-guru yang
mempunyai kemampuan mengembangkan kurikulum. Perangkat kurikulum cukup lengkap,
mulai dari struktur dan sebaran mata pelajaran sampai dengan rincian bahan ajar yang
dipelajari oleh peserta didik, yang tersusun dalam satuan-satuan bahan ajar dalam bentuk
rencana pelaksanaan pembela jaran, pake t belajar, modul , paket program audio, video
dan/atau komputer. Di dalamnya tercakup pula kegiatan pembelajaran dan bentuk-bentuk
serta alat penilaiannya. Kurikulumnya dikategorikan sebagai Kurikulum Teknologi atau
Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model kurikulum pada hakikatnya dapat
dikelompokkan ke dalam model kurikulum: 1) subyek akademik, yang didasarkan pada teori
pendidikan klasik; 2) humanistik, yang didasarkan pada teori pendidikan pribadi; 3)
rekonstruksi sosial, yang didasarkan pada teori pendidikan interaksi sosial; dan 4) berbasis
kompetensi, yang didasarkan pada teori teknologi pendidikan. Sementara itu, model
pengelolaan pengembangan kurikulum antara lain dapat dikelompokkan ke dalam model
pengelolaan oleh: 1) Pemerintah Pusat, 2) Pemerintah Provinsi, 3) Pemerintah
Kabupaten/Kota, 4) Satuan Pendidikan (Widyastono, 2007).
Model implementasi kurikulum menurut Snyder, Bolin, & Zumalt (1992, dalam
Sukmadinata, 2007) meliputi model: 1) Fidelity, 2) Mutual adaptive, dan 3) Enachment.
Fidelity bercirikan: (a) kurikulum standar, (b) dokumen lengkap dan rinci, (c) implementasi
sesuai desain. Mutual adaptive bercirikan: (a) kurikulum inti, (b) materi pokok, (c) guru
mengadakan perubahan dan/atau penyempurnaan sesuai kondisi, kebutuhan, dan
perkembangan setempat. Enachment bercirikan: (a) kurikulum sekolah, dan (b) guru
mengembangkan kurikulum sesuai kondisi, kebutuhan, dan perkembangan setempat.
Pertama, prinsip Relevansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum
yaitu relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar
maksudnya tujuan isi, dan proses belajar yang tercangkup dalam kurikulum hendaknya
41
relevansi dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Kurikulum menyiapkan
siswa untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat. Apa yang tertuang dalam kurikulum
hendaknya mempersiapkan siswa untuk tugas tersebut, kurikulum bukan hanya menyiapkan
anak untuk kehidupannya sekarang tetapi juga yang akan datang. Kurikulum juga harus
memiliki relevansi didalam yaitu kesesuaian antara komponenkomponen kurikulum, yaitu:
antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan
suatu keterpaduan kurikulum.
Prinsip kedua adalah Fleksibilitas, kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau
fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang,
disini dan ditempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang
berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi
dalam pelaksanannya memungkinkan terjadinya penyesuaianpenyesuaian berdasarkan
kondisi daerah, waktu maupun kemampuan, dan latar belakang anak.
42
Perencanaan dibidang pendidikan juga merupakan bagian yang dijabarkan dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dibidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan
mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
43
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan yang disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa
otonomi kurikulum sekolah dijadikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam melaksanakan
dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan pendidikan di daerahnya sendiri.
Paradigma pendidikan menunjuk pada model, pola, ideal, contoh atau kerangka berfikir yang
digunakan sebagai cara untuk memandang dan menjelaskan suatu fenomena pendidikan.
Paradigma pendidikan berisi seperangkat asumsi-asumsi dasar mengenai obyek 4 penelitian,
nilai, cara kerja, dan validitas dari ilmu pendidikan. Paradigma pendidikan itu membentuk
kerangka keyakinan, yang merupakan komitmen, konsensus, yang diteladani dan digunakan
oleh komunitas ilmuwan bidang pendidikan serta berfungsi sebagai dasar, acuan, kiblat, atau
pedoman, dan menentukan cara untuk melihat persoalan pendidikan dan bagaimana menyele-
saikannya.
Tujuan otonomi kurikulum sekolah adalah meningkatkan kompetensi yang seimbang
antara sikap (attitude), ketrampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge) serta berbudaya
sesuai dengan budaya dimana sekolah berada. Dengan harapan peserta didik memiliki empat
kompetensi dan memberi keleluasaan kepada sekolah dan keikutsertaan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan lebih besar. Dalam menciptakan otonomi kurikulum sekolah
ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu, kajian dokumen dan pustaka, aalisis kebu-
tuhan, rumusan visi misi dan tujuan, Entry level test (penilaian terhadap kemampuan
akademik, pengetahuan dan keterampilan pedagogi, serta karakteristik lain calon peserta
didik), pemilihan dan pengorganisasian konten kurikulum pelajaran sekolah, rancangan pem-
belajaran dan pengembangan pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik.
Dengan memenuhi prinsip dan strategi otonomi kurikulum sekolah dapat
meningkatkan pelayanan dan mutu pendidikan disekolah dengan melibatkan sumber daya
sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, otonomi pendidikan membutuhkan dukungan dan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan karena masyarakat tentunya yang
memiliki substainabiliti (kemampuan menopang) yang handal untuk mencapai pendidikan
yang berkualitas. Seiring dengan sistem desentralisasi pendidikan, perlu diterapkan kuriku-
lum yang tidak tunggal yang dapat diberlakukan untuk semua sekolah.
44
Menurut kelompok kami otonomi pendidikan kurikulum harus sesuai dengan peserta
didik dan masyarakat yang ada di suatu daerah. Hak setiap daerah untuk menentukan otonomi
sekolah harus sesuai dengan tahap, prinsip dan strategi yang berlaku dari pusat. Dengan
demikian, otonomi kurikulum sekolah memengang peran penting dalam keberhasilan sebuah
pendidikan bagi peserta didik.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan kepada para pembaca khusus-
nya kepada mahasiswa calon guru untuk dapat meningkatkan pemahamannya tentang
otonomi kurikulum sekolah guna terwujudnya pelaksanaan proses pembelajaran yang baik
khususnya pembelajaran otonomi kurikulum sekolah di Sekolah Dasar. Kami pun menyadari
makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu kami menyarankan kepada
para pembaca untuk tetap terus menggali sumber-sumber yang menunjang terhadap pemba-
hasan makalah ini untuk perbaikan yang akan datang.
45
Daftar Pustaka
Husein, M. W., & Hufron. (2008). Hukum, Politik dan Kepentingan. Yogyakarta: Laks Bang
PRESS indo.
Ibrahim, J. (2009). Pendekatan ekonomi terhadap hukum, teori dan implikasi penerapannya
dalam penegakan hukum. Surabaya: ITS Press.
Mahfud, Moh. M. D. (2010). Membangun politik hukum, menegakkan konstitusi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Majir, A. (2017). Dasar Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Deepublish.
Wasito, A (2011). Paradigma Baru Pendidikan di Era Otonomi Daerah No.52-60 Salatiga,
50711.
Widyastono, H. (2010). Pengembangan Kurikulum Sekolah Bertaraf Internasional. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 3 , 265-274.
46