Anda di halaman 1dari 49

OTONOMI KURIKULUM SEKOLAH

Makalah

Disusun dan Diajukan Sebagai Tugas Terstruktur

Mata Kuliah : Telaah Kurikulum SD

Dosen Pengampu : Trio Ardhian, M.Pd

Di Susun Oleh:
(Kelompok 5)

1. AQIL BAGOS SAPUTRO (2020015350)


2. HALIMAH MUTIARA (2020015141)
3. RISKA DWI ANJANI (2020015145)
4. YUSTIKA SELVIA (2020015158)

Semester 3

Kelas: 3D PGSD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR (PGSD)


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

‫بِسْــــــــــــــــــــــ ِماللّ ِهالرَّحْ َمنِال َّر ِحي ِْم‬

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya sehingga penulisan
tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan. Penyusunan tugas
makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Telaah Kurikulum”, topik
yang dibahas adalah “Otonomi Kurikulum Sekolah”.

Penyusunan tugas ini dengan harapan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami
materi tentang “Otonomi Kurikulum Sekolah”. Namun demikian, tentu saja dalam penyusunan
masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan dan pemilihan kata yang tepat. Dengan ini,
memohon saran dan kritik yang konstruktif, sehingga penulis bisa menyempurnakan hasil makalah
yang telah dibuat.

Yogyakarta, 12 Oktober 2021

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan.............................................................................................................................2
D. Manfaat...........................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
A. Paradigma Otonomi Kurikulum......................................................................................4
B. Hakikat Otonomi Kurikulum Sekolah............................................................................9
C. Tujuan Otonomi Kurikulum Sekolah............................................................................11
D. Tahapan Otonomi Kurikulum Sekolah.........................................................................14
E. Prinsip Otonomi Kurikulum Sekolah............................................................................22
F. Strategi Implementasi Otonomi Kurikulum Sekolah....................................................24
G. Desain Otonomi Kurikulum Sekolah............................................................................31
BAB III.....................................................................................................................................43
PENUTUP................................................................................................................................43
A. Kesimpulan...................................................................................................................43
B. Saran..............................................................................................................................44
Daftar Pustaka..........................................................................................................................45

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penting bagi umat manusia, karena pendidikan selalu
menjadi tumpuan dan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Pendidikan
merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan menyiapkan
generasi yang mampu berbuat banyak bagi kepentingan umat manusia di muka bumi ini.
Pendidikan juga merupakan barometer sebuah negara. Manakala suatu bangsa rusak
moralnya, tergoncang kredibilitasnya serta kemajuan teknologinya terhambat, maka yang
pertama ditinjau ulang adalah sistem pendidikan yang digunakan.
Pengalaman pembangunan di negara-negara maju, khususnya negara- negara di dunia
barat, membuktikan berapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara
umum telah diakui bahwa pendidikan merupakan penggerak utama (prima mover) bagi
pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, maka suatu bangsa ingin menjadi bangsa yang maju
dan memiliki peradaban yang tinggi hendaklah mengedepankan pendidikan, karena melalui
pendidikan suatu negara akan bergerak maju lebih cepat.
Lahirnya pendidikan karena adanya masyarakat, jadi pendidikan pada mulanya
berfungsi sebagai sarana mensosialisasikan nilai dan tradisi yang dianut oleh masyarakat,
sehingga wajar ketika keduanya saling mempunyai keterkaitan. Pendidikan Islam memberi
kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk gagasan
konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan. Pendidikan Islam yang merupakan
salah satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik
dan saling tergantung dengan unsur-unsur lainnya.
Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menjalankan misinya terlebih di era
otonomi daerah adalah tidaklah kecil. Pertama, perubahan orientasi masyarakat suatu daerah.
Persiapan menuju industrialisasi telah menyebabkan orientasi pendidikan masyarakat berubah
dari belajar mencari ilmu menjadi bersifat materialistik. Kedua, perubahan orientasi
pendidikan umum lebih diutamakan daripada pendidikan keagamaan. Ketiga, kenyataan
bahwa kualitas layanan pendidikan Islam terkesan lebih rendah daripada layanan pendidikan
yang diberikan oleh sebagian sekolah umum. Untuk menghadapi perubahan orientasi
pendidikan masyarakat tidak ada jalan lain bagi pendidikan Islam kecuali memberikan
sesuatu yang diinginkan masyarakat, oleh karena itu kurikulum pendidikan Islam diharapkan

1
agar mampu mentransformasikan potensi daerah, sehingga perlu adanya desentralisasi
kurikulum di daerah. Hal ini menggambarkan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus
mampu menjawab problem dalam masyarakat sehingga pendidikan Islam menjadi solusi
terbaik.
Dari serangkaian pembahasan yang diuraikan, kami melakukan pengkajian dan penelitian
untuk mencoba mengangkat masalah tentang otonomi kurikulum sekolah atau otonomi pendidikan.
Bagaimana paradigma dari otonomi kurikulum sekolah, hakikat otonomi kurikulum sekolah, tujuan
dan tahapan apa saja yang terdapat pada otonomi kurikulum sekolah, serta apa prinsip otonomi
kurikulum sekolah dan bagaimana strategi untuk mengimplementasikan serta seperi apa desain dari
otonomi kurikulum sekolah dan bagaimana pengembangannya. Melalui makalah ini, penulis berharap
nantinya pokok permasalahan akan terjawabdan pembaca akan lebih memahami mengenai otonomi
kurikulum sekolah.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini meliputi:
1. Apa yang dimaksud dari paradigma otonomi kurikulum sekolah?
2. Bagaimana hakikat dari otonomi kurikulum sekolah?
3. Apa tujuan dari otonomi kurikulum sekolah?

4. Apa saja tahapan yang terdapat pada otonomi kurikulum sekolah?


5. Apa prinsip otonomi kurikulum sekolah?
6. Bagaimana cara mengimplementasikan otonomi kurikulum sekolah?
7. Bagaimana bentuk desain dari otonomi kurikulum sekolah?
8. Bagaimana pengembangan otonomi kurikulum sekolah?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang paradigma otonomi kurikulum sekolah.
2. Untuk menjelaskan tentang hakikat otonomi kurikulum sekolah.
3. Untuk menjelaskan tentang tujuan otonomi kurikulum sekolah.
4. Untuk menjelaskan tentang tahapan otonomi kurikulum sekolah.
5. Untuk menjelaskan tentang prinsip otonomi kurikulum sekolah.
6. Untuk menjelaskan tentang strategi implementasi otonomi kurikulum sekolah.
7. Untuk menjelaskan tentang desain otonomi kurikulum sekolah.
8. Untuk menjelaskan tentang pengembangan otonomi kurikulum sekolah.

2
D. Manfaat
1. Memahami tentang paradigma otonomi kurikulum.
2. Memahami tentang hakikat otonomi kurikulum sekolah.
3. Memahami tentang tujuan otonomi kurikulum sekolah.
4. Memahami tentang tahapan otonomi kurikulum sekolah.
5. Memahami tentang prinsip otonomi kurikulum sekolah.
6. Memahami tentang strategi implementasi otonomi kurikulum sekolah.
7. Memahami tentang desain otonomi kurikulum sekolah.
8. Memahami tentang pengembangan otonomi kurikulum sekolah.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Paradigma Otonomi Kurikulum

Para ahli pendidikan menggunakan kriteria yang berbeda-beda dalam menjelaskan


karakteristik paradigma baru pendidikan. Surakhmad (1999), menggunakan lima kriteria.
Dari segi manajemen, paradigma baru berbasis pada kekuatan masyarakat dan
mengutamakan kemandirian. Dari segi orientasi pendidikan, dalam paradigma baru
digalakkan nilai demokrasi, keteraturan dan kepastian hukum, serta mengutamakan
kemajuan. Sedangkan dari segi sikap dan pandangan kependidikan, karakteristiknya adalah
menghargai keberagaman, hak hak asasi manusia, pendidikan yang motivatif, merangsang
dan menghargai kreativitas dan inovasi, serta merangsang kerjasama secara terbuka dan
fleksibel. Dari segi metodologi, paradigma baru menekankan pada pengembangan dan
pemanfaatan iptek. Sedangkan dari segi program kurikuler, paradigma baru menggunakan
program kurikuler yang dinamis, riel dan kontekstual.

Sementara itu, Tilaar (2004:63) mengkonstruksi paradigma baru pendidikan dengan


bertolak dari empat kriteria. Dari segi popularisasi pendidikan, karakteristik paradigma baru
pendidikan adalah: (a) bahwa pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dibutuhkan
rakyat banyak; (b) partisipasi keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
semakin ditingkatkan; serta (c) investasi pendidikan sektor pemerintah ditingkatkan dan
dijadikan komitmen politik. Dari sudut sistematisasi pendidikan, karakteristiknya meliputi:
(a) pengembangan dan pemantapan sisdiknas diprioritaskan kepada pemberdayaan lembaga
dengan memberi otonomi yang luas; dan (b) mengembangkan sisdiknas yang terbuka bagi
keragaman dalam pelaksanaan.

Sementara dari segi proliferasi pendidikan, karakteristiknya adalah: (a) proliferasi


“delivery system” pendidikan yang semakin kompleks dalam dunia yang terbuka
memerlukan kebijakan yang terintegrasi dalam berbagai program; 5 dan (b) pendidikan dan
pelatihan tenaga-tenaga profesional dalam berbagai tingkat diorientasikan terutama pada
kebutuhan daerah dan kebutuhan pasar kerja di daerah. Sedangkan dari segi politisasi
pendidikan, karakteristik paradigma baru, meliputi: (a) pendidikan nasional ikut serta dalam
mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, yang sadar akan hak-hak

4
dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab; dan (b) masyarakat,
termasuk keluarga, bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Pendapat lain menyatakan bahwa paradigma baru menekankan pada penerapan


prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sementara, Jalal & Supriadi (2001:5)
menyatakan bahwa perubahan paradigma pendidikan, meliputi perubahan: (1) dari
sentralistik ke desentralistik; (2) dari kebijakan top down ke kebijakan bottom up; (3) dari
orientasi pengembangan parsial ke orientasi pengembangan holistik; (4) dari peran
pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat; serta (5) dari lemahnya
peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.

Agak berbeda dengan itu, dalam buku Depdiknas (2002:10), selain hal tersebut, juga
ditegaskan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke
“debirokratisasi”, dari “manajemen tertutup” (closed management) ke “manajemen terbuka”
(open management), dan pengembangan pendidikan, yang semula biayanya terbesar menjadi
tanggung jawab pemerintah, berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua
peserta didik dan masyarakat (stakeholders)”.

Bila pendapat Jalal & Supriadi digabungkan dengan yang tercantum dalam buku
Depdiknas, maka karakteristik paradigma baru pendidikan meliputi: pertama, desentralisasi
pendidikan. Dalam era reformasi, cara pandang yang sentralistik berubah ke desentralistik.
Menurut Kotter (1996), lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara
lain: (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan
kebutuhan yang selalu berubah; (2) lebih efektif; (3) lebih inovatif; dan (4) menghasilkan
semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Budiono,
Irfan & Andi (1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan 6 keputusan oleh
organisasi tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih
baik.

Kedua, kebijakan bottom up. Di era otonomi, sebagian besar pengembangan


pendidikan dilakukan dengan pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach) secara
partisipatif, yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak dan memperhatikan
dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam penyusunan
perencanaan pembangunan, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi

5
seluruh pelaku pembangunan, melalui forum Musrenbang tingkat kelurahan, kecamatan, dan
kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Ketiga, orientasi pengembangan holistik. Setelah reformasi, orientasi pengembangan


pendidikan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk
bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama,
kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Jalal & Supriadi, 2001:5). Menurut
Suparno (2003:100), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang
cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi
(being).

Keempat, meningkatnya peranserta masyarakat. Sesudah otonomi, ada perluasan


peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat
Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk Komite
Sekolah.

Kelima, pemberdayaan peran institusi masyarakat. Dalam era otonomi, masyarakat


diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang
berfungsi mendidik masyarakat. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan,
sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan secara aktif dan bertanggung
jawab dalam pendidikan.

Keenam, debirokratisasi. Dalam era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan


memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara
profesional. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan, dan juga
pelimpahan wewenang dan tanggung 7 jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga
dilakukan deregulasi, dalam arti pengurangan aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak
sesuai dengan kondisi, potensi, prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat (stakeholders)
untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan kurikulum,
peningkatan mutu guru, dana dan sarana serta prasarana sekolah.

Ketujuh, manajemen terbuka. Dalam era reformasi, diterapkan manajemen terbuka


mulai dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan
perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan

6
dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders),
dan selanjutnya terbuka untuk menerima kritikan perbaikan apabila ditemukan hal-hal yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kedelapan, pengembangan pendidikan sebagian besar menjadi tanggung jawab orang


tua siswa dan masyarakat (stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan
banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah
Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan
pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari Depdiknas, dan dari Dinas
Provinsi.

Sementara itu, dari segi pendidikan, paradigma baru terkait dengan banyak aspek.
Pada aspek kurikulum, paradigma baru menuntut kurikulum yang dapat mengakomodasi
keragaman. Sistem pengembangan kurikulum menjadi lebih demokratis melalui diversifikasi
kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam. Satuan pendidikan
memiliki kebebasan untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri sesuai ciri satuan
pendidikan dan karakteristik lingkungannya masing-masing, sepanjang kurikulum itu
memenuhi standar isi dan standar kompetensi lulusan (Depdiknas, 2007).

Aspek orientasi pendidikan, berkenaan dengan tujuan pendidikan. John Dewey


menyatakan bahwa pendidikan harus berorientasi pada nilai demokrasi. Ide pokok demokrasi
adalah pandangan hidup yang menekankan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah
dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Bagi Dewey,
“school is not preparation for life but life itself”. Ia memandang sekolah sebagai sebuah
kehidupan dan 8 lingkungan belajar yang demokratis di mana setiap orang berpartisipasi
dalam proses pembuatan keputusan, sebagai latihan dan persiapan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat yang lebih besar (Knight, 1982:68).

Sementara, Suyanto (2006:126) menyatakan bahwa dalam paradigma baru pendidikan


berorientasi pada pengembangan belahan otak kanan dan kiri secara seimbang. Sementara,
Armstrong (2006), mengemukakan bahwa dalam upaya perbaikan sekolah, mestinya orientasi
pengembangan prestasi akademik dengan orientasi pengembangan kemanusiaan perlu
diperhatikan secara seimbang. Dalam orientasi pengembangan prestasi akademik, tujuan
utama pendidikan sekolah adalah sekedar untuk melatih siswa agar lulus tes dan memperoleh
peringkat yang baik, bukan agar mereka menerima dan mengolah gagasan-gagasan yang

7
diterimanya, sehingga bermakna untuk kehidupan. Sementara itu, orientasi pengembangan
kemanusiaan mempunyai perspektif yang secara substansi lebih luas daripada wacana
pengembangan prestasi akademik (Armstrong, 2006:36). Asumsi yang diyakini, antara lain:
(a) menjadi manusia utuh adalah aspek belajar yang penting; (b) proses yang penuh makna,
terus menerus dan bersifat kualitatif; (c) kurikulum yang luwes; (d) berorientasi individu; (e)
memberi pilihan-pilihan yang bermakna pada siswa; (f) menghargai masa lalu, kini dan masa
depan setiap siswa; dan (g) mendasarkan validitas pada kekayaan pengalaman manusia.

Dari aspek orientasi pembelajaran, paradigma baru menekankan pada pembelajaran


yang berpusat pada peserta didik (White,2010:17; Fennimore, 1995:215). Dengan demikian,
berkembangnya potensi peserta didik secara optimal merupakan sasaran utama pendidikan.
Optimal, menurut Muhadjir (2003:34) menunjuk pada perkembangan yang disesuaikan
dengan kemampuan subyek masing-masing, bukan penyesuaian dengan tujuan atau target
yang hendak dicapai. Pendidikan yang berorientasi pada peserta didik mempunyai tiga arti,
yaitu (a) peserta didik diperlakukan sebagai subyek; (b) pendidikan diselenggarakan sesuai
dengan perkembangan dan kemampuan peserta didik; dan (c) pendidikan itu
mengembangkan peserta didik secara utuh (Suparno, 2002:24).

Dengan demikian, karakteristik paradigma baru lebih bersifat konstruktivistik


(Suparno, 1997:18). Dalam paradigma konstruktivistik, manusia 9 dipandang sebagai
makhluk sadar, yang mampu mengalami, berfikir, mengambil keputusan dan bertindak.
Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai potensi, tujuan hidup, nilai-nilai,
pilihan, persepsi terhadap dirinya sendiri dan orang lain, serta tanggung jawab. Cara pandang
semacam ini akan berdampak pada pandangan tentang belajar, desain pembelajaran,
mengajar, pembelajaran, maupun evaluasi hasil belajar.

Dalam paradigma konstruktivistik, belajar adalah proses pengkonstruksian atau


pembentukan pengetahuan yang bermakna pada diri masing-masing peserta didik. Tujuan
belajar adalah pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam tentang obyek belajar
tertentu. Hal itu dilakukan melalui proses penataan materi belajar sendiri dan pengembangan
struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi. Jadi, yang utama adalah bagaimana siswa
menghasilkan pemahaman dan makna sendiri tentang segala sesuatu yang mereka pelajari.
Guru bukan lagi sebagai “mesin pemindah pengetahuan”, tetapi lebih sebagai fasilitator yang
membantu pemahaman peserta didik.

8
Demikianlah berbagai karakteristik paradigma baru pendidikan, baik dari segi
manajemen maupun pendidikannya. Dalam perkembangannya, jiwa dan semangat paradigma
baru pendidikan tersebut tercermin dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Dalam UU tersebut, dikemukakan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan, meliputi:

1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif


dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka
dan multimakna.
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Dari berbagai prinsip ini, demokratisasi pendidikan dapat dikembangkan, baik dalam
ranah konseptualisasi maupun praksisnya. Dari prinsip ini jelas terlihat 10 bahwa prinsip
penyelenggaraan pendidikan jauh lebih demokratis dan berorientasi pada teori, sistem dan
praksis pendidikan yang semakin mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai global-
universal. Implikasinya, dalam hubungannya dengan pendidikan prinsip-prinsip tersebut akan
berdampak pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan, menyangkut semua
komponen sistem pendidikan.

B. Hakikat Otonomi Kurikulum Sekolah


Secara etimologis, istilah paradigma (paradigm) berasal dari bahasa Yunani ”para
deigma”, dari kata ”para”, yang berarti di samping, di sebelah dan ”dekynai” yang berarti
model, contoh, ideal (Bagus, 2002:779; Dagun, 1997: 777). Sebagai suatu konsep, istilah
paradigma pertama kali dipopulerkan oleh ilmuwan Amerika, Thomas Kuhn. Menurutnya,
seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu. Paradigma ini membimbing
kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science), di mana ilmuwan berkesempatan
menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini
9
seorang ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas
ilmiahnya.
Selain itu, dengan paradigma memungkinkan sang ilmuwan untuk memecahkan
kesulitan yang dihadapi dalam rangka ilmunya, sampai muncul banyak anomali yang tak
dapat diterangkan dengan teorinya. Jika anomali semakin banyak dan kualitasnya semakin
tinggi, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai diperiksa dan
dipertanyakan. Dengan begitu sang ilmuwan sudah keluar dari ilmu normal. Untuk mengatasi
krisis itu sang ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil
memperluas cara-cara itu atau mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa
memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Jika yang terakhir ini
terjadi, berarti telah terjadi revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.

Pengertian “paradigma” itu sendiri kurang jelas, karena berbagai pengertian yang
dikemukakan Thomas Kuhn, kadang terasa tidak begitu konsisten satu sama lain. Meskipun
demikian, Verhaak dan Imam (1989:165) menyimpulkan bahwa paradigma merupakan cara
pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkret. Paradigma
adalah asumsiasumsi dasar yang terkandung atau tersirat dalam satu atau sejumlah teori
dominan. Asumsi-asumsi dasar ini membentuk kerangka keyakinan (belief framework) dan
merupakan konstelasi komitmen intelektual suatu masyarakat ilmuwan. Ini berfungsi sebagai
semacam acuan, kiblat, atau pedoman, dan menentukan cara untuk melihat persoalan dan
bagaimana menyelesaikannya. Selain itu, paradigma juga bisa berarti contoh, menunjuk pada
teknik-teknik 3 percobaan yang unggul, yang lazimnya telah membuktikan kebolehannya
dalam menghasilkan terobosan-terobosan keilmuan yang krusial, dan diteladani oleh warga
masyarakat ilmuwan (Wilardjo,1999:72).

Sementara itu, Hardiyanto (1999:102) mengartikan paradigma sebagai kerangka


berfikir dan tuladan representatif. Sedangkan Bagus (2002:779) memberi empat arti
paradigma, yaitu: (1) cara memandang sesuatu; (2) dalam ilmu pengetahuan berarti model,
pola, dan ideal yang digunakan untuk memandang dan menjelaskan suatu fenomena; (3)
totalitas premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu
studi ilmiah konkret; dan (4) dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk
memecahkan problem-problem riset.

Dari uraian di atas, tampak ada berbagai pengertian paradigma, yang satu sama lain
tidak selalu sama. Berhubung dengan itu, Wilardjo (1999:73) meyakini bahwa adanya
10
kekurangjelasan pengertian atau kelenturan konseptual mengenai paradigma an sich tak ada
salahnya. Bahkan, bagi Hardiyanto (1999:103), dengan mengacu pada pendapat Thomas
Kuhn dan para ahli lainnya, rumusan paradigma itu dapat berkembang, meskipun inti
pengertiannya sendiri dianggapnya tidak berbeda.

Selanjutnya, bila berbagai pengertian paradigma di atas dianalisis, dapat disimpulkan


apa hakekat paradigma itu, paling tidak dari segi substansi dan fungsinya. Dari segi substansi,
paradigma menunjuk pada: (a) model, pola, ideal, contoh atau kerangka berfikir yang
digunakan sebagai cara untuk memandang dan menjelaskan suatu fenomena; (b) berisi
seperangkat asumsi-asumsi dasar mengenai obyek penelitian, nilai, cara kerja, dan validitas
dari ilmu; dan (c) kerangka keyakinan, yang merupakan komitmen, konsensus, yang
diteladani dan digunakan oleh komunitas ilmuwan. Dari segi fungsinya, paradigma berfungsi
sebagai dasar, acuan, kiblat, atau pedoman, dan menentukan cara untuk melihat persoalan dan
bagaimana menyelesaikannya.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, paradigma pendidikan dalam tulisan ini menunjuk


pada model, pola, ideal, contoh atau kerangka berfikir yang digunakan sebagai cara untuk
memandang dan menjelaskan suatu fenomena pendidikan. Paradigma pendidikan berisi
seperangkat asumsi-asumsi dasar mengenai obyek 4 penelitian, nilai, cara kerja, dan validitas
dari ilmu pendidikan. Paradigma pendidikan itu membentuk kerangka keyakinan, yang
merupakan komitmen, konsensus, yang diteladani dan digunakan oleh komunitas ilmuwan
bidang pendidikan serta berfungsi sebagai dasar, acuan, kiblat, atau pedoman, dan
menentukan cara untuk melihat persoalan pendidikan dan bagaimana menyelesaikannya.

C. Tujuan Otonomi Kurikulum Sekolah


Desentralisasi pendidikan mempunyai tujuan yang bervariasi berdasarkan pengalaman
desentalisasi pendidikan di beberapa Negara. Menurut Armida S (2002:2) tujuan dari
desentralisasi adalah:

1. Mencegah pemusatan keuangan


2. Sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan
rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
3. Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal
sehingga dapat lebih realistis

11
Sedangkan merurut Hanson (2004:27) tujuan utama dari desentralisasi adalah:

1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi


2. Meningkatkan efesiensi manajemen
2. Distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan
3. Meningkatkan demokratisasi melalui distribusi kekuasaan
4. Kontrol lokal menjadi lebih besar melalui deregulasi
5. Pendidikan berbasis kebutuhan pasar
6. Menetralisasi kebutuhan-kebutuhan kekuasaan
7. Meningkatkan kualitas pendidikan

Menurut Hadiyanto (2004: 30), secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi
pendidikan, yaitu:

1. Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan


dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi
dan distrik)
2. Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih
besar di tingkat sekolah

Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi


daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan
konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih
besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.

Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi


berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara
Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian
kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus
desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi
desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam
penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah
dan masyarakat).

12
Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan
kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut,
maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-mengajar.
Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor
yang paling menentukan.

Menurut Fiske (1996: 24) menyatakan bahwa tujuan desentralisasi pendidikan adalah:
educational improvement, administrative effeciency, financial efficiency, political goals,
effect on equity. Pengembangan kurikulum ditingkat sekolah tujuannya adalah meningkatkan
kompetensi yang seimbang antara sikap (attitude), ketrampilan (skill), dan pengetahuan
(knowledge) serta berbudaya sesuai dengan budaya dimana sekolah berada. Dengan harapan
peserta didik memiliki empat kompetensi.

Adapun tujuan utama dari otonomi sekolah adalah memberi keleluasaan kepada
sekolah dan keikutsertaan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan lebih besar.
Sedangkan manfaatnya adalah: Lembaga sosial-budaya, dunia usaha-industri, tokoh agama-
masyarakat, orang tua, dan siswa.

Bentuk partisipasi orangtua untuk kemajuan sekolah dapat diwujudkan dalam:

1. Pembelajaran
2. Perencanaan pengembangan sekolah
3. Pengelolaan kelas.

Sekolah perlu memberi kesempatan mengajak dan melibatkan orang tua dalam
pelaksanaan kurikulum (KBM), misalnya: mengoptimalkan buku komunikasi laporan yang
dibuat guru atas apa yang dilakukan siswa, orang tua memberi tanggapan, harapan terhadap
guru, atau hal lainnya. Orang tua yang menekuni secara khusus dan ahli pada bidang tertentu
(menari, bermain musik, berbahasa Inggris, dan lain-lain) hadir dan mengajar secara klasikal.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk melibatkan orang tua siswa dalam rencana
pengembangan sekolah, misal bersama-sama membahas dan memberikan masukan untuk
peningkatan mutu sekolah, kemudian hasilnya dilaporkan kepala sekolah.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama desentralisasi


adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan untuk mengurangi beban kerja

13
pemerintah pusat dalam upaya mensejahterakan masyarakat yang ada di daerah. Singkatnya,
tujuan desentralisasi adalah untuk merangsang kepekaan elit lokal terhadap tuntutan dan
kebutuhan masyarakat daerah. Desentralisasi pendidikan merupakan peluang bagi
peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, merupakan
peluang bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal ini karena perhatian
terhadap peningkatan mutu guru, peningkatan mutu manajemen kepala sekolah, peningkatan
sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan menjadi lebih baik jika dikelola
oleh para pejabat pendidikan yang ada di daerah. Pada akhirnya, tujuan desentralisasi
pendidikan adalah pada peningkatan mutu pendidikan.

D. Tahapan Otonomi Kurikulum Sekolah


Dalam pengembangan kurikulum ada beberapa tahapan yang harus di perhatikan agar
sesuai dengan harapan sekolah. Tahapan pengembangan kurikukum dengan memilih
kurikulum sesuai dengan karakteristik sekolah. Banyak model pengembangan kurikulum
yang bisa dijadikan rujukan. Salah satunya, model Tyler (Model Rasional) yang dimodifikasi
oleh Brown (1996) sebagai A Systemetic Approach to Program Development (1995). Model
ini kemudian diadaptasi sejalan dengan kelaziman pengembangan kurikulum yang merujuk
kepada aspek juridis dan panduan penyusunan kurikulum yang disarankan DIKTI (2008).
Menurut Tyler ada 4 hal yang dianggap fundamental untuk mengembangkan
kurikulum. Pertama, berhubungan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, kedua,
berhubungan dengan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan, ketiga, pengorganisasian
pengalaman belajar, dan keempat berhubungan dengan evaluasi. Model Ralp Tyler
menekankan pada empat pertanyaan, yaitu:
1. What educational purposes should the school seek to attain? (Apa tujuan
pendidikan yang hendak dicapai oleh sekolah?) (Objectives).
2. What educational experiences are likely to attain these objectives? (Pengalaman
pendidikan seperti apa yang memungkinkan untuk mencaapai tujuan ini?)
(Instructional Strategic and Content).
3. How can these educational experiences be organized effectively? (Bagaimana
pengalaman pendidikan ini dapat diatur secara efektif?) (Organizing Learning
Experiences).
4. How can we determine whether these purposes are being attain? (Bagaimana kita
dapat menentukan apakah tujuan ini tercapai?) (Assessment and Evaluation).

14
Sebagai bapak pengembangan kurikulum, Tyler telah menanamkan atas perlunya hal
yang rasional, sistematis, dan pendekatan yang berarti dalamtugas mereka. Tetapi pendapat
Tyler dipandang rendah oleh beberapa penulis sebelumnya
Beberapa penulis lain berpendapat bahwa Tyler tidak menjelaskan sumber tujuan
dengan memadai. Tetapi, sebenarnya Tyler telah membahas halitu dalam sebuah buku utuh.
Tyler telah menguraikan dan menganalisis sumber-sumber tujuan yang datang dari anak
didik, mempelajari kehidupan kontemporer, mata pelajaran yang bersifat akademik, filsafat,
dan psikologi belajar.
Walaupun demikian, Tyler tidak menyebutkan langkah-langkah konkret dalam
pengembangan kurikulum. Tyler hanya memberikan dasar-dasarnya saja. Model
pengembangan kurikulum ini dapat dilihat pada tahapan berikut:
1. Merumuskan Tujuan (Objectives)
Dalam menyusun suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah
pertama dan utama yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan merupakan arah atau
sasaran pendidikan. Hendak dibawa kemana anak didik? Kemampuan seperti apa
yang harus dimiliki anak didik setelah mengikuti program pendidikan? Semuanya
bermuara pada tujuan. Lalu dari mana dan bagaimana kita menentukan tujuan
pendidikan?
Tyler tidak menjelaskan secara detail tentang sumber tujuan. “Similarly, some
writers have argued that Tyler doesn’t adequately explain the source of
objectives” (Skilbeck, 1976: Kliebard, 1970). Namun demikian, Tyler
menjelaskan bahwa sumber perumusan tujuan berasal dari siswa, studi kehidupan
masa kini, disiplin ilmu, filosofis, dan psikologi belajar. Merumuskan tujuan
kurikulum sangat tergantung dari teori dan filsafat pendidikan serta model
kurikulum apa yang dianut. Bagi pengembang kurikulum subjek akademis,
penguasaan berbagai konsep dan teori seperti yang tergambar dalam disiplin ilmu
adalah sumber tujuan utama. Kurikulum yang bersifat “discipline oriented”
berbeda dengan pengembang kurikulum model humanistik yang lebih bersifat
“childish centered”, yaitu kurikulum yang lebih berpusat pada pengembangan
pribadi siswa, maka yang menjadi sumber utama dalam perumusan tujuan tentu
adalah siswa itu sendiri, baik itu yang berhubungan dengan pengembangan minat
dan bakat serta kebutuhan untuk membekali hidupnya nanti. Berbeda dengan
kurikulum rekonstruksi sosial. Kurikulum yang lebih bersifat “society centered”
ini memposisikan kurikulum sekolah sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan
15
masyarakat, maka kebutuhan dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan
merupakan sumber tujuan utama kurikulum ini.
Walaupun secara teoritis tampak ada pertentangan antara kurikulum yang
bersumber dari displin akademik, kurikulum yang bersumber dari kebutuhan
pribadi dan kebutuhan masyarakat, akan tetapi dalam praktiknya tidak seperti
yang terlihat dalam teori. Anak adalah organisme yang unik, yang memiliki
berbagai perbedaan satu sama lain. Selain itu anak juga adalah makhluk sosial
yang berasal dan akan kembali pada masyarakat, oleh karena itulah tujuan
kurikulum apa pun bentuk dan modelnya pada dasarnya harus
mempertimbangkan berbagai sumber untuk kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat.
2. Pengalaman belajar (Selecting Learning Experiences)
Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Menurut Tyler, pengalaman belajar bukanlah isi atau materi
pelajaran dan bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Pengalaman
belajar mengacu pada aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran. Dengan
demikian yang harus dipertanyakan dalam pengalaman belajar ini adalah "apa
yang akan atau telah dikerjakan siswa" bukan "apa yang akan atau telah diperbuat
guru" Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa.
Pertama, pengalaman belajar siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Kedua, setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa. Ketiga, setiap
rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan siswa. Keempat, satu
pengalaman belaja dapat mencapai beberapa tujuan yang berbeda
3. Mengorganisasikan pengalaman belajar (Organizing Leraning Experiences)
Mengorganisasikan pengalaman belajar siswa bisa dalam bentuk unit mata
pelajaran ataupun dalam bentuk program. Ada dua jenis pengorganisasian
pengalaman belajar, yaitu pengorganisasian secara vertikal dan secara horizontal.
Pengorganisasian secara vertikal apabila menghubungkan pengalaman belajar
dalam satu kajian yang sama dalam tingkat/kelas yang berbeda. Sedangkan
pengorganisasian secara horizontal jika kita menghubungkan pengalaman belajar
dalam tingkat/kelas yang sama. Ada tiga kriteria dalam mengorganisasi
pengalaman belajar ini yaitu: kesinambungan, urutan isi, dan integrasi. Prinsip
pertama artinya pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki
kesinambungan dan diperlukan untuk pengembangan pengalaman belajar
16
selanjutnya. Prinsip kedua erat hubungannya dengan kontinuitas. Perbedaannya
dengan prinsip pertama, terletak pada tingkat kesulitan dan keluasan bahasan,
artinya setiap pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa harus
memperhatikan tingkat perkembangan siswa. Prinsip ketiga menghendaki bahwa
suatu pengalaman yang diberikan pada siswa harus memiliki fungsi dan
bermanfaat untuk memperoleh pengalaman belajar dalam bidang lain.
4. Evaluasi (Evaluation)
Proses evaluasi merupakan langkah penting untuk mendapatkan informasi
tentang ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Karena dengan evaluasi kita
dapat menentukan apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh sekolah atau belum. Ada dua aspek yang perlu
diperhatikan dalam evaluasi. Pertama, evaluasi harus mampu menilai apakah
telah terjadi perubahan tingakah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang
telah dibuat. Kedua, evalusi sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat penilaian
dalam suatu waktu tertentu. Karena penilaian suatu program tidak mungkin hanya
mengandalkan hasil tes siswa di akhir proses pembelajaran. Penilaian dilakukan
dengan membandingkan hasil antara penilaian awal sebelum melakukan program
dan sesudah melakukan program. Dari perbandingan inilah nantinya akan terlihat
ada atau tidaknya perubahan tingkah laku yang diharapkan ssuai dengan tujuan
pendidikan.
Ada dua fungsi dalam evaluasi, yaitu pertama evaluasi digunakan untuk
memperoleh data tentang ketercapaian tujuan oleh peserta didik. Hal ini
dimaksudkan untuk melihat bagaimana tingkat pencapaian atau tingkat
penguasaan isi kurikulum oleh para siswa. Fungsi ini dinamakan sebagai fungsi
sumatif. Fungsi yang kedua adalah untuk melihat efektivitas proses pembelajaran.
Maksudnya adalah apakah program yang disusun telah dianggap sempurna atau
justru perlu perbaikan. Fungsi ini dinamakan juga fungsi formatif.
Model Objectives Tyler memandang evaluasi kurikulum sebagai pengukuran
performa atau penampilan siswa terhadap tujuan perilaku yang sudah dirumuskan
sebelumnya. Masih ada beberapa model lainnya yang mengacu pada evaluasi
ketercapaian tujuan, yaitu: Hammond yang lebih fokus pada pengaruh faktor
institusional dan instruksional di dalam mencapai tujuan; dan Provus, yang fokus
pada apakah terdapat perbedaan antara pengamatan kurikulum dan standar atau
tujuan yang sudah disepakati.
17
Tahapan dan komponen pengembangan kurikulum model Tyler (Model Rasional)
tersebut mencakup 6 komponen kurikulum. Dimana komponen yang satu komponen dengan
lainnya saling berkaitan. Hal yang perlu dilakukan sekolah.

MERUMUSKAN VISI & MISI SEKOLAH

Ambisius, Ideal, Rasional

Bersifat Menantang

Nuansa Kinerja Bermutu, Motivasi

Singkat, Jelas, dan Bermakna

Gambar sifat visi/misi sekolah yang bermutu


Setelah sekolah merumuskan Visi/misi seperti di atas, maka lakukan pengembangan
kurikulum sekolah bedasar karakteristik masyarakat atau karakteristik peserta didik.
Pengembangan kurikulum model Tyler (Model Rasional) dapat di jadikan rujukan, seperti
digambarkan berikut:

18
Analisis Kebutuhan
Kajian Dokumen
(Swot dan Market Signal)

Visi dan Misi Sekolah (prodi)

E
Tujuan V
A
L
U
Isi/Bahan Kajian
A
S
I
Proses Pembelajaran P
R
O
G

Penilaian Exits level (Penilaian


Kecakapan Akademik & Profesi)

Gambar Tahap Pengembangan Kurikulum Sekolah Model Tayler (Model Rasional),


(1988)

19
Apabila kita memperhatikan gambar bagan di atas, tahapan pengembangan kurikulum
pelajaran baik untuk program kependidikan maupun kependidikan harus melalui tahapan
sebagai berikut:

1. Kajian dokumen dan pustaka. Kegiatan ini dilakukan melalui berbagai kajian
pustaka yang berkaitan landasan fisolofis, sosiologis, historis dan juridis yang
relevan, antara lain: a) pendidikan guru, b) panduan pengembangan kurikulum
sekolah, c) kajian rambu-rambu penyelenggaraan satuan pendidikan termasuk
standar nasional pendidikan untuk sekolah dasar dan menengah seperti standar isi
dan proses, d) kurikulum sekolah yang akan menjadi pilihan stakeholder, e)
mengkaji perbanding dokumen kurikulum pelajaran sejenis baik dari lokal
nasional.
2. Analisis kebutuhan. Dalam analisis ini dilakukan:

a. Analisis situasi kajian berbagai aspek yang menyangkut SDM, peserta didik,
sarana, prasarana, dan daya dukung kependidikan lainnya yang dimiliki oleh
lembaga pendidikan.
b. Analisis kebutuhan peserta didik ketika mereka memasuki dunia kerja dan
mengembangkan pekerjaannya (market signal) menyangkut pengetahuan,
keterampilan termasuk keterampilan berpikir, sikap dan kepribadian.
Pendeknya menyangkut kajian aspek hard skills dan softskills yang
dibutuhkan mereka ketika memasuki dunia kerja agar mampu beradaptasi
dan mengembangkan profesinya

3. Rumusan visi dan misi Lembaga pendidikan dikembangkan berdasarkan analisis


di atas dan merujuk pula pada visi dan misi sekolah.
4. Rumusan tujuan pendidikan baik pada program intra maupun ekstra dalam bentuk
rumusan profile lulusan (outcome) dan kompetensi lulusan (output) yang
merupakaan pengejawantahan dari hasil analisis kebutuhan dan kajian dokumen
serta pustaka (lihat Rambu-rambu Pengembangan Kurikulum)
5. Entry level test (penilaian terhadap kemampuan akademik, pengetahuan dan
keterampilan pedagogi, serta karakteristik lain calon peserta didik) dilakukan
guna memetakan secara lebih awal pengetahuan, keterampilan, dan keperibadian
calon peserta didik/peserta didik yang akan memasuki baik intra kurikuler
maupun ekstra kurikuler.
20
6. Pemilihan dan pengorganisasian konten kurikulum pelajaran sekolah.
Pengorganisasian konten ini juga didasarkan pada hasil analisis dan kajian di atas
serta profile dan kompetensi lulusan. Bahan kajian tersebut dirumuskan dalam
bentuk mata pelajaran dan bahan ajar dengan menerapkan pendekatan koheren
(konten kurikulum berupa mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran harus
saling menunjang dalam membentuk dan menghasilkan kompetensi lulusan) dan
proporsional (pemilihan dan pengorganisasian konten sesuai dengan kecukupan
dan kebutuhan dalam menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang
diharapkan).
7. Rancangan pembelajaran dan pengembangan pemberian pengalaman belajar
kepada peserta didik. Rancangan pembelajaran yang disusun dalam kurikulum
didistribusikan ke dalam setiap semester yang didasarkan pada keterpaduan
antara pembelajaran konsep, prinsip, dan teori kependidikan dan pembelajaran
dengan hasil kajian terhadap praktek pembelajaran pada setting nyata di sekolah
dengan keterpaduan konsep, prinsip, teori, praktek dengan kebutuhan dan praktek
nyata di dunia kerja.

Dari penjelasan mengenai tahapan pengembangan otonomi kurikulum sekolah


tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam melakukan tahapan pengembangan
otpnomi kurikulum sekolah harus melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Objectives (menentukan tujuan pendidikan yang diharapkan).Dalam menentukan


tujuan pendidikan melalui langkah-langkahsebagai berikut; mempelajari siswa
sebagai sumber tujuan, mempelajari kehidupan kontemporer di lingkungan
masyarakat penentuan tujuan berdasarkan tinjauan filosofis, peninjauan
tujuanberdasarkan tinjauan psikologis.
2. Selecting Learning Experiences (menentukan pengalaman belajar yang akan
diperoleh guna mencapai tujuan yang dimaksud). Ada beberapa prinsip
pengalaman belajar; memberikan kesempatanpada siswa untuk berbuat tingkah
laku yang menjadi tujuan, pengalaman belajar harus menyenangkan bagi siswa,
siswa harus terlibat dalam belajar, diberikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan pendidikan, pengalaman belajar yang disediakan dapat memberikan
beberapa kemampuan, yaitu, kemampuan berpikir, memperoleh informasi,
mengembangkan sikap sosial, dan mengembangkan minat.

21
3. Organizing Learning Experiences (mengorganisasi pengalamanbelajar yang akan
diberikan)
4. Evaluation (Mengevaluasi efektivitas pengalaman belajar gunamengetahui tujuan
pendidikan telah dicapai). Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar
siswa sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

E. Prinsip Otonomi Kurikulum Sekolah


Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut Tilaar dan
Salman (2010) mencakup enam aspek, yakni : (1) Pengaturan perimbangan kewenangan
pusat dan daerah, (2) Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan, (3) Penguatan
kapasitas manajemen pemerintah daerah, (4) pemberdayaan bersama sumber daya
pendidikan, (5) hubungan kemitraan “stakeholder” pendidikan, (6) pengembangan
infrastruktur sosial.
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama,
desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek
pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik), dan kedua,
desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di
tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan
otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah,
sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan
yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan
kualitas pendidikan.

Tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan


pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, di
Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di
sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi
pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada
pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisi
pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber
daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah dan masyarakat).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional, Bab X, Pasal 36 dikatakan bahwa:

22
1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik.
3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a) Peningkatan iman dan takwa;
b) Peningkatan akhlak mulia;
a) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
b) Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
c) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
d) Tuntutan dunia kerja;
e) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
f) Agama;
g) Dinamika perkembangan global; dan
h) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pedoman yang digunakan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk mengelola


sekolah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat mendukung ketercapaian tujuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nurkolis (2005: 52-55) bahwa prinsip-prinsip MBS adalah
(1) ekuifinalitas (equifinality), (2) desentralisasi (decentralization), (3) pengelolaan mandiri
(self-managing system), (4) Inisiatif manusia (human initiative).
Prinsip ekuifinalitas berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda
untuk mencapai suatu tujuan. Manajemen berbasis sekolah menekankan fleksibilitas sehingga
sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi masing-masing, walaupun
sekolah yang berbeda dihadapkan masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan
antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain.
Prinsip desentralisasi adalah efesiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari
masalah. Desentralisasi pendiidkan memberikan peluang yang luas kepada sekolah untuk
mengelola sumber daya sekolah menurut strategi-strategiyang unik dalam mencapai tujuan
yang ditetapkan.

23
Prinsip pengelolaan mandiri, memberikan kewenangan sekolah untuk mengelola
secara mandiri dengan kebijakan yang telah ditetapkan secara kolaboratif. Dengan demikian,
sekolah memiliki otonomi untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen,
distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah dan
mencapai tujuan berdasarkan kondisi masing-masing.
Prinsip inisiatif manusia, mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis,
melainkan dinamis. Karena itu potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan,
dan kemudian dikembangkan. Lembaga pendidikan harus menggunakan human resources
development, yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus
dikembangkan.
Maka dapat disimpulkan jika prinsip-prinsip yang dimaksud apabila dapat dipenuhi,
maka implementasi otonomi kurikulum sekolah dapat meningkatkan pelayanan dan mutu
pendidikan disekolah dengan melibatkan sumber daya sekolah dan masyarakat. Dengan
adanya prinsip-prinsip tersebut penyelenggaraan otonomi kurikulum sekolah bisa berjalan
sesuai dengan tujuan dari otonomi kurikulum sekolah sendiri. Dengan adanya prinsip-prinsip
otonomi kurikulum sekolah ini juga pengimplementasian yang dilakukan didasarkan pada
prinsip-prinsip otonomi kurikulum yang berlaku.

F. Strategi Implementasi Otonomi Kurikulum Sekolah


Desentralisasi pendidikan memberikan kewenangan kepada sekolah yang dikenal
dengan otonomi pendidikan atau sekolah. Kewenangan tersebut memberikan ruang gerak
yang lebih luas kepada sekolah untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia
sesuai dengan potensi daerah yang ada.
Otonomi dibidang pendidikan tidak berhenti pada daerah tingkat kabupaten/kota
tetapi sampai pada tingkat sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan.
Dengan adanya pengalihan kewenangan pada level sekolah, maka sekolah diharapkan
mampu menentukan arah pengembangan program yang sesuai dengan kondisi dan potensi
daerah yang ada.
Menurut Umiarso dan Gojali, Konsep penyelenggaraan pendidikan yang bersifat
desentralisasi dikenal dengan manajemen berbasis sekolah yang merupakan perubahan
paradigma pengelolaan pendidikan yang semula berpusat pada pemerintah pusat beralih ke
pengelolaan pendidikan pada pola manajemen dimana sekolah tersebut yang mengelolanya.

24
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari “schoolbased
management” istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai
mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat
setempat. Paradigma manajemen ini muncul ketika masyarakat Amerika Serikat sudah tidak
lagi mendapatkan manfaat yang signifikan atas keberadaan lembaga pendidikan, dimana
output pendidikan cenderung menjauh dari realitas sosialnya.
Sehingga pendidikan harus direformasi menuju pendidikan yang mampu melibatkan
masyarakat dan memiliki dampak langsung atas output pendidikan. “Manajemen Pendidikan
Berbasis Sekolah merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas
pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional,
Otonomi yang diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana
dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap
kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami,
membantu dan mengontrol pengelolaan pendidikan.

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa MBS merupakan sebuah paradigma
manajemen yang mengarusutamakan otonomi dan pelibatan masyarakat, otonomi pendidikan
yang dimaksud adalah sebuah upaya untuk memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada
sekolah untuk mengembangkan dan mengelola institusinya, selain itu juga institusi
pendidikan diharapkan mampu menemukan relevansinya dengan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat setempat dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan dan pengawalan
kebijakan pendidikan.

Menurut Danim, kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia baru dimulai


sejak tahun 1999/2000, yaitu dengan peluncuran dana bantuan yang disebut dengan Bantuan
Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Dana tersebut disetor langsung ke rekening
sekolah, tidak melalui alur birokrasi pendidikan di atasnya.

Menurut Umiarso dan Gojali (2010:81) adapun Kementerian Pendidikan Nasional


mendeskripsikan bahwa tujuan pelaksanaan MBS adalah meningkatkan mutu pendidikan
melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola serta memberdayakan sumber
daya yang ada yang tersedia; meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; meningkatkan
tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu

25
sekolahnya; serta meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan
yang akan dicapai.

Menurut Umiarso dan Gojali, Konsep dasar manajemen berbasis sekolah adalah
pengelolaan peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan sekolah secara mandiri dengan
melibatkan semua pihak yang terkait dengan pendidikan yang biasa disebut dengan otonomi
pendidikan atau sekolah. Sehingga dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi mutu
pendidikan di sekolah mampu melibatkan stakeholder sekolah, karena esensi MBS adalah
otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu
pendidikan di sekolah.

Menurut Hasbullah, dalam bidang pendidikan, otonomi akan memberdayakan aparat


tingkat daerah dan lokal sehingga memberikan hasil yang lebih baik. Dibidang pendidikan
sendiri otonomi diberikan sampai pada tingkat sekolah. Otonomi persekolahan diharapkan
memperbaiki pelayanan, menata organisasi sekolah, mencari, mengembangkan dan
mendayagunakaan sumber daya pendidikan yang tersedia, serta memperbaiki kinerja sekolah
dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan.

Menurut Kemendiknas dalam Sujanto, fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan


ke sekolah adalah:

1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk


melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk
meningkatkan mutu sekolah. Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan
evaluasi, khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri.

2. Pengelolaan kurikulum. Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh


mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh
Pemerintah Pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan
kurikulum muatan lokal. Menurut Hasbullah Kurikulum kelembagaan pendidikan
yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan
untuk masyarakat, yaitu kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada
komunitas masyarakat.

26
3. Pengelolaan proses belajar mengajar. Sekolah diberi kebebasan untuk memilih
strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru
dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.

4. Pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan


perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan
kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah
kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi
di atasnya.

5. Pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya


dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga
pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling
mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya
terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses
belajar mengajar.

6. Pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama


pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah.
Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatankegiatan yang
mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata
tergantung pada pemerintah.

7. Pelayanan siswa. Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru,


pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan
sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu
telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitasnya. Menurut Umiarso dan Gojali18 Manajemen kesiswaan merupakan
salah satu bidang operasional manajemen berbasis sekolah. Manajemen
kesiswaan adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan
secara sengaja serta pembinaan secara berkelanjutan terhadap seluruh peserta
didik agar dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan efektif dan efisien.

27
8. Hubungan sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat
adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan
dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah
didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitasnya. Menurut Mulyasa, hubungan sekolah dengan masyarakat pada
hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan
mengembangkan pertumbuhan pribadi siswa di sekolah.

9. Pengelolaan iklim sekolah. Iklim sekolah yang kondusif-akademik merupakan


prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan
sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga
sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatankegiatan yang terpusat pada siswa adalah
contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim
sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang diperlukan adalah
peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

Dari penjelasan mengenai implementasi otonomi kurikulum sekolah tersebut maka


dapat ditarik kesimpulan bahwa, desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai
garis depan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan
apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan
rakyatnya. Perubahan paradigma sistem pendidikan membutuhkan masa transisi. Reformasi
pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehingga diharapkan para pelaku
maupun penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis dan mau berubah.

Belajar dari pengalaman sebelumnya yang sentralistik dan kurang demokratis


membuat bangsa ini menjadi terpuruk. Marilah kita melihat kepentingan bangsa dalam arti
luas dari pada kepentingan pribadi atau golongan atau kepentingan pemerintah pusat semata
dengan menyelenggarakan otonomi pendidikan sepenuh hati dan konsisten dalam rangka
mengangkat harkat dan martabat bangsa dan masyarakat yang berbudaya dan berdaya saing
tinggi sehingga bangsa ini duduk sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia.

Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan
mutu pendidikan. Pertama, salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif
untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga
sekolah, termasuk masyarakat dan orang tua siswa.Upaya untuk memperkuat peran kepala

28
sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS.“ An essential
point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is
to work” demikian De Grouwe menegaskan.

Kedua, membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan
akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban
kepada masyarakat.Model memanjangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang
dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat
positif.Juga membuat laporan secara incidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang
rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah
dapat tampil bersama dalam media tersebut.

Ketiga, pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan
kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam
rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block
grant yang diterima sekolah.

Keempat, mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya


sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi
kepala sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitas dinilai
lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa
penataran MBS.

Manajemen Berbasis Sekolah telah banyak diterapkan di sekolah, bukan hanya di


Negara maju, tetapi juga telah menyebar di Negara berkembang. Penerapan MBS telah
banyak menjanjikan untuk peningkatan mutu pendidikan. Penerapan MBS akan berhasil jika
diberikan prakondisi dengan membangun kapasitas dan komitmen sekolah, termasuk semua
pemangku kepentingan, yang memiliki tanggung jawab bersama terhadap upaya peningkatan
mutu pendidikan.

Keberhasilan sekolah dalam menerapkan MBS dipengaruhi oleh kepedulian


pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong dan memberikan kesempatan sekolah
menerapkan MBS di sekolah. Strategi pencapaian implementasi MBS perlu
mempertimbangkan kompleksitas permasalahan persekolahan di Indonesia dengan
menggunakan SWOT Analysis. Untuk itu, perlu suatu penahapan dalam penerapannya

29
dengan mempertimbangkan prioritas waktu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.

Strategi implementasi MBS bisa berbeda-beda antar Negara, antar daerah bahkan
antarsekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya. Secara umum, suatu
implementasi MBS akan berhasil jika melalui strategi-strategi berikut ini:

Pertama, sekolah harus memiliki otonomi dalam empat hal, yaitu dimilikinya otonomi
dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara
berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada
setiap pihak yang berhasil.

Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses
pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta noninstruksional. Sekolah
harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun
sekolah adalah bagian dari masyarakat secara luas.

Ketiga, adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan
mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus
menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum.
Kepala sekolah dalam penerapan MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan
liaison.

Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan


dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus
mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang
harus dilayani oleh kepala sekolah adalah murid dan orang tuanya, masyarakat dan para guru.

Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggungjawabnya secara sungguh-
sungguh.Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing—masing harus ada
sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri.

Keenam, adanya guidelines dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mampu


mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan
sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah.Artinya,

30
tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang
diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing.

Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal


diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban setiap tahunnya.Sebagai bentuk
pertanggungjawaban sekolah terhadap semua stakeholder.Untuk itu sekolah harus dijalankan
secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan
kepada setiap pihak terkait.

Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan
lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi
bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk
itu.

Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialisasi dari konsep MBS identifikasi


peran masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building) mengadakan pelatihan-
pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas
pelaksanaan di lapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan.

Berdasarkan penjelasan mengenai strategi MBS maka dapat disimpulkan bahwa,


Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah meliputi: Manajemen kurikulum, manajemen
tenaga kependidikan, manajemen kesiswaan, manajemen pendanaan/keuangan, manajemen
hubungan dengan masyarakat, dan manajemen layanan khusus meliputi perpustakaan dan
UKS. Pada setiap bidang, implementasi Manajemen Berbasis Sekolah sudah dilaksanakan
sesuai dengan program kerja yang direncanakan dan disusun oleh sekolah, sehingga program
sekolah dapat tercapai dan berjalan dengan baik. Strategi dalam Implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) harus melibatkan semua pihak sekolah dalam pengambilan
keputusan. Jadi ketika menentukan strategi sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan
melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dilakukan bersama-sama.

Dalam menentukan strategi. Langkah pertama yakni menentukan Visi, misi dan
tujuan sekolah. Langkah kedua mengidentifikasi tantangan nyata sekolah. Langkah ketiga
mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran. Langkah keempat
menggunakan analisis SWOT untuk memecahkan persoalan dalam menyusun rencana dan
program sekolah yang mana untuk meningkatkan mutu pendidikan. Langkah kelima

31
melaksanakan rencana peningkatan mutu kemudian melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan.

G. Desain Otonomi Kurikulum Sekolah


Secara etimologi desain merupakan kata serapan dari bahasa inggris yaitu design.
Sebenarnya kata rancang atau merancang adalah terjemahan dari kata tersebut. Namun
perkembangan dari kata desain menggeser arti dari kata rancang karena kata tersebut tidak
bisa mencakup kegiatan, keilmuan, keuluasan, dan profesi atau kompetensi desainer (Sachari
dan Sunarya, 2000 dalam Firdaus, 2021).

Desain kurikulum dapat ini dapat dilihat dari dua dimensi yang berkenaan langsung
dengan penyusunan bahan kurikulum, dan dimensi yang menyangkut penyusunan bahan
kurikulum dari tingkat kesukaran (Sukamadinata, 2007 dalam Firdaus, 2021).

Menurut Longstreet, desain kurikulum merupakan hasil dari sebuah proses


menghubungkan tujuan pendidikan dan organisasi content. Content dapat bersifat statis
maupun dinamis, dapat mencakup tentang pengalaman belajar yang luas, dapat mencakup
pengembangan metodologi pembelajaran, serta juga dapat mencakup evaluasi hasil belajar
(Longstreet and Shane, 1995 dalam Firdaus, 2021).

Desain kurikulum menurut Fred Pervicial dan henry Ellington adalah pengembangan
proses perencanaan, validasi, implementasi, dan evaluasi kurikulum.

Menurut Musyarapah, mendesain kurikulum adalah menyusun rancangan atau


menyusun model sesuai visi dan misi lembaga pendidikan.

Desain kurikulum merupakan aspek yang sangat penting dalam curriculum planning
karena menunjukkan elemen-elemen yang harus diperhatikan dalam perencanaan kurikulum
dan hubungan elemen-elemen ini dalam proses pengembangan kurikulum, merupakan cara
untuk menentukan pemilihan organisasi berbagai pengalaman belajar yang diselenggarakan
di sekolah, dan menentukan peranan pendidik, peserta didik, dan orang lain yang terlibat
dalam perencanaan kurikulum (Aprilia, 2020)

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa desain kurikulum merupakan
suatu pengorganisasian tujuan, isi, proses belajar yang akan diikuti peserta didik pada
berbagai tahap perkembangan pendidikan. Dalam desain kurikulum akan tergambar unsure-

32
unsur dari kurikulum, hubungan antara satu unsure dengan unsure lainnya, prinsip-prinsip
pengorganisasian, serta hal-hal yang yang diperlukan dalam pelaksanaannya.

Saylor mengajukan delapan prinsip ketika akan mendesain kurikulum, prinsip-prinsip


tersebut adalah sebagai berikut:

a. Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong seleksi serta


pengembangan semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi pencapaian
prestasi belajar, sesuai dengan hasil yang diharapkan.

b. Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna dalam rangka


merealisasikan tujuan–tujuan pendidikan, khususnya bagi kelompok siswa yang
belajar dengan bimbingan guru;

c. Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru untuk


menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam memilih, membimbing, dan
mengembangkan berbagai kegiatan belajar di sekolah;

d. Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan pengalaman dengan


kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa.

e. Desain harus mendorong guru mempertimbangkan berbagai pengalaman belajar


anak yang diperoleh diluar sekolah dan mengaitkannya dengan kegiatan belajar di
sekolah.

f. Kurikulum harus di desain agar dapat membantu siswa mengembangkan watak,


kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi yang menjiwai kultur.

Longstreet mendefinisikan desain kurikulum merupakan desain kurikulum yang


berpusat kepada pengetahuan (the knowledge centered desain) yang dirancang berdasarkan
struktur disiplin ilmu, oleh karena itu model desain ini juga dinamakan model kurikulum
subjek akademis yang penekanannya diarahkan untuk pengembangan intelektual siswa.

Ada tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu, yaitu:
subject centered desain, learned centered desain, problem centered desain. Setiap desain
kurikukum memberikan teknik atau cara yang efektif dalam proses pembelajaran agar

33
berjalan dengan efektif dan efisien. Tetapi tidak setiap desain kurikulum dapat dijadikan
pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena setiap desain kurikulum memiliki
kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanannya.

1. Subject Centered Design

Subject centered design curiculum merupakan bentuk desain yang paling populer,
paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design, kurikulum
dipusatkan pada isi atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata-
mata pelajaran, dan matamata pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah. Karena
terpisahpisahnya itu maka kurikulum ini disebut juga separated subject curiculum.

Subject centered design berkembang dari konsep pendidikan klasik yang


menenkankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya untuk
mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan isi atau bahan ajar atau
subject matter tersebut, maka desain kurikulum ini disebut juga subject academic curriculum.

2. The Subject Design

The Subject Curiculum merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered
design. Materi pelajaran disajikan secara terpisahpisah dalam bentuk mata-mata pelajaran. Model
desain ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani kemudian Romaaw imengembangkan Trivium
dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan retorika, sedangkan Quadrivium meliputi
matematiks, geometri, astonomi, dan musik. Paada saat itu pendidikan tidak diarahkan pada mencari
nafkah, tapi oada pembentuakan pribadi dan status sosial (Liberal Art). Pendidikan hanya di
peruntukan bagi anak-anak golongan bangsawan yang tidak usah bekerja mencari nafkah.

Adapun kelemahan-kelemahan bentuk kurikulum ini adalah:

a. Kurikulum memberikan pengetahuan terpisah-pisah, satu terlepas dari yang


lainnya.

b. Isi kurikulum diambil dari masa lalu, terlepas dari kejadian-kejadian yang hangat,
yang sedang berlangsung saat sekarang. Kurikulum ini kurang memperhatiakan
minat, kebuutuhan dan pengalaman peserta didik

34
c. Isi kurikulum disusun berdasarkan sistematika ilmu sering menimbulkan
kesukaran di dalam mempelajari dan menggunakannya

d. Kurikulum lebih mengutamakan isi dan kurang memperhatiakn cara


penyampaian. Cara penyampaian utama adalah ekspositori yang menyebabkan
peran siswa pasif.

Meskipun ada kelemahan-kelemahan di atas, bentuk desain kurikulum ini mempunyai


beberapa kelebihan karena kelebihan-kelebihan tersebut bentuk kurikulum ini lebih banyak
dipakai, yaitu:

a) Karena materi pelajaran diambil dari ilmu yang sudah tersusun secara sitematis
logis, maka penyusunnya cukup mudah.

b) Bentuk ini sudah di kenal sejak lama, baik oleh guru-guru maupun orang tua,
sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan.

c) Bentuk ini memudahkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan di perguruan


tinggi, sebab pada perguruan tinggi umumnya menggunakan bentuk ini.

d) Bentuk ini dapat dilaksanakan secara efisien, karena metode utamanya adalah
metode ekspositori yang dikenal tingkat efisiennya cukup tinggi

e) Bentuk ini sagat ampuh sebagai alat untuk melestarikan dan mewariskan warisan
budaya masa lalu.

Dengan adanya kelemahan-kelemahan di atas pengembang kurikulum subject design


tidak tinggal diam, mereka berusaha untuk memperbaikinya. Dalam rumpun subject centered,
the broad field designmerupakan pengembangan dari bentuk ini. Begitu juga pengembangan
bentuk-bentuk lain di luar subject centered, the broad field design, areas of living design dan
core design.

Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan mengenai desain kurikulum yaitu
Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong semua jenis pengalaman belajar bagi
pencapaian prestasi belajar siswa, Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang
bermakna dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan, Desain harus

35
memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru untuk menggunakan prinsip-prinsip
belajar dalam kegiatan belajar di sekolah, Desain harus memungkinkan guru untuk
menyesuaikan pengalaman dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa.

H. Pengembangan Otonomi Kurikulim Sekolah


Pengembangan kurikulum selalu dilakukan oleh dunia pendidikan sesuai dengan
tuntutan dari perkembangan teknologi dan dinamika penduduk yang dilaksanakan oleh suatu
lembaga pendidikan. Pengembangan kurikulum biasa dilakukan oleh Pemerintah secara
umum, dan oleh suatu sekolah yang ingin untuk meningkatkan mutu pada lembaga
pendidikan itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum yang harus diperhatikan terlebih
dahulu adalah terminologi dalam kurikulum itu sendiri.

Menurut Majir (2008) salah satu contoh pengembangan kurikulum di sekolah yang
menjadi harapan semua stakeholder adalah pendidikan karakter. Karakter di adopsi dari kata
Latin yaitu Kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya “tool for marking”, “to
engrave”, dan “pointed stake”. Dalam Bahasa Indonesia karakter, diartikan sebagai tabiat;
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari pada yang
lain.

Hill (Wanda Chrisiana dalam Endang Ekowarni, 2010), mengatakan “character


determines someone’s private thoughts and someone’s action done. Good character is the
inward motivation to do what is right, according to highest standart of behavior in every
situation”. Dalam konteks ini, karakter dapat diartikan sebagai identitas diri seseorang.

Martin Luther King, pernah menyatakan: intelligence plus character that is the goal
of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang
sebenarnya). Pengembangan kurikulum pendidikan berbasis karakter atau budi pekerti plus
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action), dimana
dengan memasukkan pelajaran karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan
seoarang anak akan menjadi cerdas emosinya.

Menurut Atma (2019), strategi pengembangan kurikulum berbasis pendidikan


karakter dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu mengintegrasi butir-butir nilai karakter ke
dalam seluruh mata pelajaran, muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri, pembiasaan
dalam kehidupan sehari-hari di sekolah (pelayanan, pengelolaan dan pengajaran), dan

36
meningkatkan kerja sama antar sekolah, orang tua peserta didik, dan masyarakat dalam
membudayakan atau membiasakan nilai-nilai karakter di lingkungan sekolah, lingkungan
rumah tangga dan lingkungan masyarakat.

Terdapat Sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, menurut
Syafeudin dkk, 2006 (dalam Majir, 2018: 63), yaitu:

1. Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;

2. Kemandirian dan tanggung jawab;

3. Kejujuran/amanah, diplomatis;

4. Hormat dan santun;

5. Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong/kerja sama

6. Percaya diri dan pekerja keras;

7. Kepemimpinan dan keadilan

8. Baik dan rendah hati, dan;

9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Berdasarkan pernyataan menurut para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengembangan kurikulum sekolah yang menjadi harapan utama adalah pendidikan karakter.
Dimana pendidikan karakter dapat dilakukan melalui 3 hal yaitu mengintegrasikan butir-butir
nilai karakter keseluruh mata pelajaran, muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri,
pembiasaan kehidupan di sekolah, meningkatkan kerja sama antara sekolah, orang tua siswa,
dan masyarakat dalam membiasakan nilai-nilai karakter dilingkungan sekolah.

Kurikulum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu
kurikulum disusun mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum; dan suatu teori
kurikulum diturunkan atau dijabarkan dari satu atau beberapa teori pendidikan. Untuk lebih
memahami hubungan antara kurikulum dengan pendidikan, dikemukakan beberapa teori
pendidikan dan modelmodel kurikulum dari masing-masing teori tersebut.

37
Sekurang-kurangnya ada empat teori pendidikan yang dipandang mendasari
pengembangan model kurikulum dan pelaksanaan pendidikan, yaitu pendidikan klasik,
pendidikan pribadi, pendidikan interaksional, dan teknologi pendidikan (Lapp, 1975).

1. Pendidikan Klasik Pendidikan

Klasik dapat dipandang sebagai konsep pendidikan tertua. Konsep pendidikan ini
bertolak dari asumsi bahwa seluruh warisan budaya, yaitu pengetahuan, konsep atau ide, dan
nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu. Pendidikan berfungsi memelihara,
mengawetkan, dan meneruskan semua warisan budaya tersebut kepada generasi berikutnya.
Guru atau para pendidik tidak perlu bersusah payah mencari dan menciptakan pengetahuan,
konsep, dan nilai-nilai baru, sebab semuanya telah tersedia, tinggal menguasai dan
mengajarkannya kepada anak. Teori pendidikan ini disebut juga Teori Transmisi (Seller &
Miller, 1985), lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses atau bagaimana
mengajarkannya. Isi pendidikan atau materi diambil dari khasanah ilmu pengetahuan, berupa
disiplin-disiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli tempo dulu.

Kurikulum Pendidikan Klasik lebih menekankan kepada isi pendidikan, yang diambil
dari disiplin-disiplin ilmu, disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan guru-guru. Isi
disusun secara logis, sistematis, dan berstruktur, dengan berpusatkan pada segi intelektual,
sedikit sekali memperhatikan segi-segi sosial atau psikologis peserta didik. Guru mempunyai
peranan yang sangat be sar dan lebih dominan dalam pembelajaran. Guru yang aktif dan
bertanggungjawab dalam segala aspek pembelajaran. Peserta didik mempunyai peran yang
pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari guru. Kurikulumnya dapat dika
tegorikan sebagai Kurikulum Subyek Akademik.

2. Pendidikan Pribadi

Berbeda dengan Pendidikan Klasik, Pendidikan Pribadi lebih mengutamakan peranan


peserta didik. Konsep Pendidikan Pribadi bertolak dari anggapan dasar bahwa sejak
dilahirkan, anak telah memiliki potensi-potensi, baik potensi untuk befikir, berbuat, dan
memecahkan masalah, maupun potensi untuk belajar dan berkembang sendiri. Pendidikan
diibaratkan persemaian, berfungsi menciptakan lingkungan yang menunjang dan terhindar
dari hama-hama. Tugas guru seperti halnya petani, mengusahakan tanah yang gembur,

38
pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dari
tanaman (peserta didik).

Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Peserta didik menjadi
subyek pendidikan; dialah yang menduduki tempat utama dalam pendidikan. Pendidik
menempati posisi kedua, bukan lagi sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan
ekspert dalam disiplin ilmu. Ia lebih berfungsi sebagai psikolog yang mengerti segala
kebutuhan dan masalah peserta didik. Ia juga berperan sebagai Bidan yang membantu peserta
didik melahirkan segala ideidenya. Guru adalah pembimbing, pendorong (motivator),
fasilitator, dan pelayan peserta didik.

Kurikulum Pendidikan Pribadi lebih menekankan pada proses pengembangan potensi


peserta didik. Materi ajar dipilih yang sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik.
Pengembangan kurikulum dilakukan oleh guruguru dengan melibatkan peserta didik. Tidak
ada kurikulum standar, yang ada adalah kurikulum minimal, yang dalam implementasinya
dikembangkan bersama peserta didik. Isi dan proses pembelajarannya selalu berubah sesuai
dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Kurikulumnya dapat dikategorikan sebagai
Kurikulum Pribadi atau Kurikulum Berpusat pada Peserta Didik atau Kurikulum Humanistik.

3. Pendidikan Interaksional

Teori ini bertolak dari pemikiran manusia sebagai makluk sosial. Dalam
kehidupannya, manusia selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama,
berinteraksi, dan bekerjasama. Karena kehidupan bersama dan kerjasama ini, mereka dapat
hidup, berkembang, dan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi. Dapat dibayangkan apa yang akan dihadapi seseorang, bila ia hidup
sendiri di sebuah pulau terpencil. Bila lingkungannya mendukung, mungkin ia dapat bertahan
hidup, tetapi tidak mungkin dapat mencapai kemajuan seperti yang dialami oleh orang-orang
yang hidup bersama dengan orang lain.

Dalam Pendidikan Interaksional belajar lebih dari hanya sekedar mempelajari fakta-
fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut,
memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh, serta memahaminya dalam konteks
kehidupannya. Setiap peserta didik, demikian juga halnya guru, mempunyai rentetan
pengalaman dan persepsi sendiri. Dalam proses belajar, persepsi-persepsi yang berbeda

39
tersebut digunakan untuk menyoroti masalah bersama yang muncul dalam kehidupannya.
Dalam proses ini, dialog berlangsung, di mana setiap peserta didik dan guru saling
mendengarkan, memberikan pendapat, saling mengajar dan belajar. Pemahaman yang muncul
dari situasi demikian lebih dari jumlah seluruh sumbangan para peserta didik. Peserta didik
bukan hanya berperan sebagai peserta didik, tetapi juga sebagai guru; dan guru juga pada
suatu saat berperan sebagai peserta didik yang turut belajar bersama para peserta didiknya.

Kurikulum Pendidikan Interaksional menekankan baik pada isi maupun proses


pendidikan sekaligus. Isi pendidikan terdiri atas problemproblem nyata yang aktual yang
dihadapi dalam kehidupan di masyarakat. Proses pendidikannya berbentuk kegiatan-kegiatan
belajar kelompok yang mengutamakan kerjasama, baik antarpeserta didik, antara peserta
didik dengan guru, maupun antara peserta didik dan guru dengan sumber-sumber belajar
yang lain. Kegiatan penilaian dilakukan baik terhadap hasil maupun proses belajar. Guru-
guru melakukan kegiatan penilaian sepanjang kegiatan belajar. Kurikulumnya dikategorikan
sebagai Kurikulum Interaksi atau Kurikulum Berpusat pada Masalah atau Kurikulum
Rekonstruksi Sosial.

4. Teknologi Pendidikan

Aliran ini mempunyai persamaan dengan Pendidikan Klasik tentang peranan


pendidikan dalam mentransmisi informasi. Tapi, antara keduanya juga ada perbedaan, sebab
yang diutamakan oleh Teknologi Pendidikan adalah pembentukan dan penguasaan
kompetensi, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama.

Teknologi Pendidikan lebih berorientasi ke masa sekarang dan yang akan datang,
tidak seperti Pendidikan Klasik yang lebih melihat ke masa lalu. Perkembangan Teknologi
Pendidikan dipengaruhi dan sangat diwarnai oleh perkembangan ilmu dan teknologi, sebab
Teknologi Pendidikan bertolak dari dan merupakan penerapan prinsip-prinsip ilmu dan
teknologi dalam pendidikan. Teknologi telah masuk ke semua segi kehidupan, termasuk
dalam pendidikan. Kurikulum Teknologi Pendidikan menekankan kompetensi atau
kemampuankemampuan praktis. Materi disiplin ilmu dipelajari dan termasuk dalam
kurikulum, apabila hal itu mendukung penguasaan kemampuan-kemampuan tersebut. Dalam
kurikulum, materi disiplin ilmu tersebut disusun terjalin dalam kemampuan.

40
Pengembangan kurikulum dilakukan oleh para ahli dan/atau guru-guru yang
mempunyai kemampuan mengembangkan kurikulum. Perangkat kurikulum cukup lengkap,
mulai dari struktur dan sebaran mata pelajaran sampai dengan rincian bahan ajar yang
dipelajari oleh peserta didik, yang tersusun dalam satuan-satuan bahan ajar dalam bentuk
rencana pelaksanaan pembela jaran, pake t belajar, modul , paket program audio, video
dan/atau komputer. Di dalamnya tercakup pula kegiatan pembelajaran dan bentuk-bentuk
serta alat penilaiannya. Kurikulumnya dikategorikan sebagai Kurikulum Teknologi atau
Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model kurikulum pada hakikatnya dapat
dikelompokkan ke dalam model kurikulum: 1) subyek akademik, yang didasarkan pada teori
pendidikan klasik; 2) humanistik, yang didasarkan pada teori pendidikan pribadi; 3)
rekonstruksi sosial, yang didasarkan pada teori pendidikan interaksi sosial; dan 4) berbasis
kompetensi, yang didasarkan pada teori teknologi pendidikan. Sementara itu, model
pengelolaan pengembangan kurikulum antara lain dapat dikelompokkan ke dalam model
pengelolaan oleh: 1) Pemerintah Pusat, 2) Pemerintah Provinsi, 3) Pemerintah
Kabupaten/Kota, 4) Satuan Pendidikan (Widyastono, 2007).

Model implementasi kurikulum menurut Snyder, Bolin, & Zumalt (1992, dalam
Sukmadinata, 2007) meliputi model: 1) Fidelity, 2) Mutual adaptive, dan 3) Enachment.
Fidelity bercirikan: (a) kurikulum standar, (b) dokumen lengkap dan rinci, (c) implementasi
sesuai desain. Mutual adaptive bercirikan: (a) kurikulum inti, (b) materi pokok, (c) guru
mengadakan perubahan dan/atau penyempurnaan sesuai kondisi, kebutuhan, dan
perkembangan setempat. Enachment bercirikan: (a) kurikulum sekolah, dan (b) guru
mengembangkan kurikulum sesuai kondisi, kebutuhan, dan perkembangan setempat.

Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman


belajar yang disediakan bagi siswa sekolah. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai,
pengetahuan dan perubahan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan/ahli
kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsur masyarakat
lainya. Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum sebagai berikut:

Pertama, prinsip Relevansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum
yaitu relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar
maksudnya tujuan isi, dan proses belajar yang tercangkup dalam kurikulum hendaknya

41
relevansi dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Kurikulum menyiapkan
siswa untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat. Apa yang tertuang dalam kurikulum
hendaknya mempersiapkan siswa untuk tugas tersebut, kurikulum bukan hanya menyiapkan
anak untuk kehidupannya sekarang tetapi juga yang akan datang. Kurikulum juga harus
memiliki relevansi didalam yaitu kesesuaian antara komponenkomponen kurikulum, yaitu:
antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan
suatu keterpaduan kurikulum.

Prinsip kedua adalah Fleksibilitas, kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau
fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang,
disini dan ditempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang
berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi
dalam pelaksanannya memungkinkan terjadinya penyesuaianpenyesuaian berdasarkan
kondisi daerah, waktu maupun kemampuan, dan latar belakang anak.

Prinsip ketiga adalah Kontiunitas yaitu kesinambungan. Perkembangan proses belajar


anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau berhenti-henti. Oleh
karena itu, pengalamanpengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya
berkesinambungan antara satu tingkat kelas dengan kelas lainnya, antara satu jenjang
pendidikan dengan jenjang lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan.
Pengembangan kurikulum perlu dilakukan serempak bersama-sama, perlu selalu ada
komunikasi dan kerja sama antara pengembang kurikulum sekolah Dasar dengan SMP, SMA
dan Perguruan Tinggi.

Prinsip keempat adalah Praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat


sederhana, dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi. Betapapun
bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang
sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum tersebut tidak praktis dan sukar
dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-
keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia.

Prinsip kelima adalah efektifitas. Walaupun kurikulum tersebut harus murah,


sederhana, dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Keberhasilan
pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengembangan suatu
kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan.

42
Perencanaan dibidang pendidikan juga merupakan bagian yang dijabarkan dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dibidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan
mempengaruhi keberhasilan pendidikan.

Dari rumusan diatas menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum adalah


perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimasudkan untuk membawa siswa kearah
perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu
terjadi pada diri siswa. Sehingga dapat dipahami bahwa kurikulum tidak hanya meliputi
semua kegiatan yang direncanakan, melainkan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah
bimbingan sekolah, selain aktivitas kurikulum yang bersifat formal juga aktivitas yang
bersifat nonformal.

43
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan yang disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa
otonomi kurikulum sekolah dijadikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam melaksanakan
dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan pendidikan di daerahnya sendiri.
Paradigma pendidikan menunjuk pada model, pola, ideal, contoh atau kerangka berfikir yang
digunakan sebagai cara untuk memandang dan menjelaskan suatu fenomena pendidikan.
Paradigma pendidikan berisi seperangkat asumsi-asumsi dasar mengenai obyek 4 penelitian,
nilai, cara kerja, dan validitas dari ilmu pendidikan. Paradigma pendidikan itu membentuk
kerangka keyakinan, yang merupakan komitmen, konsensus, yang diteladani dan digunakan
oleh komunitas ilmuwan bidang pendidikan serta berfungsi sebagai dasar, acuan, kiblat, atau
pedoman, dan menentukan cara untuk melihat persoalan pendidikan dan bagaimana menyele-
saikannya.
Tujuan otonomi kurikulum sekolah adalah meningkatkan kompetensi yang seimbang
antara sikap (attitude), ketrampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge) serta berbudaya
sesuai dengan budaya dimana sekolah berada. Dengan harapan peserta didik memiliki empat
kompetensi dan memberi keleluasaan kepada sekolah dan keikutsertaan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan lebih besar. Dalam menciptakan otonomi kurikulum sekolah
ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu, kajian dokumen dan pustaka, aalisis kebu-
tuhan, rumusan visi misi dan tujuan, Entry level test (penilaian terhadap kemampuan
akademik, pengetahuan dan keterampilan pedagogi, serta karakteristik lain calon peserta
didik), pemilihan dan pengorganisasian konten kurikulum pelajaran sekolah, rancangan pem-
belajaran dan pengembangan pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik.
Dengan memenuhi prinsip dan strategi otonomi kurikulum sekolah dapat
meningkatkan pelayanan dan mutu pendidikan disekolah dengan melibatkan sumber daya
sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, otonomi pendidikan membutuhkan dukungan dan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan karena masyarakat tentunya yang
memiliki substainabiliti (kemampuan menopang) yang handal untuk mencapai pendidikan
yang berkualitas. Seiring dengan sistem desentralisasi pendidikan, perlu diterapkan kuriku-
lum yang tidak tunggal yang dapat diberlakukan untuk semua sekolah.

44
Menurut kelompok kami otonomi pendidikan kurikulum harus sesuai dengan peserta
didik dan masyarakat yang ada di suatu daerah. Hak setiap daerah untuk menentukan otonomi
sekolah harus sesuai dengan tahap, prinsip dan strategi yang berlaku dari pusat. Dengan
demikian, otonomi kurikulum sekolah memengang peran penting dalam keberhasilan sebuah
pendidikan bagi peserta didik.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan kepada para pembaca khusus-
nya kepada mahasiswa calon guru untuk dapat meningkatkan pemahamannya tentang
otonomi kurikulum sekolah guna terwujudnya pelaksanaan proses pembelajaran yang baik
khususnya pembelajaran otonomi kurikulum sekolah di Sekolah Dasar. Kami pun menyadari
makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu kami menyarankan kepada
para pembaca untuk tetap terus menggali sumber-sumber yang menunjang terhadap pemba-
hasan makalah ini untuk perbaikan yang akan datang.

45
Daftar Pustaka

Efendi, I. (2017). DESAIN PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI BERBASIS TECHER


AND STUDENT-CENTER. Edureligia | Vol. 01 No. 01 , 25-44.

Emmi Kholilah Harahap, M. P. (2016). MANAJEMEN OTONOMI PENDIDIKAN DI


INDONESIA. Harahap Manajemen Otonomi Pendidikan , 137-152.

Fajrin, R. (2018). Strategi Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Jurnal Manajemen


Pendidikan Islam, 132 - 150.

Husein, M. W., & Hufron. (2008). Hukum, Politik dan Kepentingan. Yogyakarta: Laks Bang
PRESS indo.
Ibrahim, J. (2009). Pendekatan ekonomi terhadap hukum, teori dan implikasi penerapannya
dalam penegakan hukum. Surabaya: ITS Press.
Mahfud, Moh. M. D. (2010). Membangun politik hukum, menegakkan konstitusi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Majir, A. (2017). Dasar Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Deepublish.

Masdiono. (2019). Desain Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar. BADA’A: JURNAL


PENDIDIKAN DASAR Vol. 1, No. 1 , 44-53.

Mulyasaa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


Raharjo, S. (2010). Penegakan hukum progresif. Jakarta: Kompas.
Sholehuddin. (2007). Modul Criminal Justice System. Surabaya.
(UUD No. 23 Tahun 2002)
Tilaar, HAR. (2002). Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Wahyudi. (2010). IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (SCHOOL
BASED MANAGEMENT) DALAM RANGKA DESENTRALISASI
PENDIDIKAN. Jurnal Guru Membangun, 1 - 7.

Wasito, A (2011). Paradigma Baru Pendidikan di Era Otonomi Daerah No.52-60 Salatiga,
50711.
Widyastono, H. (2010). Pengembangan Kurikulum Sekolah Bertaraf Internasional. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 3 , 265-274.

46

Anda mungkin juga menyukai