Anda di halaman 1dari 40

TIPOLOGI KEPRIBADIAN DALAM ISLAM

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

Dosen Pengampu : Layyinah., M.Si.

Laila Sapira 11190700000054

Afif Royhan Baasitha 11190700000108

Silvia Yulianti 11190700000131

El-Ashry Omar Zidane 11190700000136

Syifa Qurrota Ayunina 11190700000168

Kelas 7D

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. karena atas berkat dan rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “TIPOLOGI KEPRIBADIAN
DALAM ISLAM”. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas
mata kuliah Islam dan Psikologi, serta untuk menambah pengetahuan bagi kami sebagai
mahasiswa mengenai pengetahuan kepribadian dalam agama islam yang nantinya akan
dijabarkan dibawah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dan keterbatasan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar penyusunan
makalah dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya. Harapan kami semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 5 Oktober 2022

Pemakalah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tipologi memiliki pengertian sebagai penggolongan sesuatu menjadi tipe-tipe


tertentu yang memiliki dasar faktor kesamaan baik dalam bentuk fisik, budaya, dan
sebagainya. Sedang dari itu, tipologi memiliki pengertian umum penggolongan
makhluk hidup. Dalam islam, tipologi berfungsi dalam pembagian fungsi jiwa dan
sikap jiwa dalam tiap-tiap individu. Prof Mujib dalam bukunya menyebutkan bahwa
tipologi kepribadian islam itu dimaksudkan sebagai satu pola karakteristik yang berisi
sekumpulan sifat-sifat yang sama, yang akan menentukan ciri khas seorang Muslim
yang akan membedakannya dengan yang lain.

Prof. Mujib hanya menggunakan tiga tipe manusia yaitu ammarah, lawwamah, dan
muthmainnah. Ketiganya ini jika dikaji secara teoritik dapat diklasifikasikan mana
perilaku iman, islam dan ihsan, namun secara praktis, ketiga aspek ini menyatu dan
sulit untuk di peta-petakan, karena ketiganya menyatu dalam perilaku. Masing-masing
dari kepribadian tersebut merupakan komponen yang saling kait-mengait.

Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan kepribadian muthmainnah terbagi atas
tiga kategori. Kepribadian mukmin yaitu orang beriman yang memegang dan
melaksanakan amanat. Yang kedua adalah kepribadian muslim yaitu orang yang
berislam adalah orang menyerah, tunduk, patuh, dalam melakukan perilaku yang baik,
agar hidupnya bersih lahir dan batin yang pada gilirannya akan mendapatkan
keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat dan yang terakhir kepribadian
muhsin yaitu orang yang seluruh perilakunya didasarkan untuk mendatangkan manfaat
tanpa adanya unsur kemudharatan di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tipologi Islam?
2. Pengertian kepribadian mukmin
3. Pengertian kepribadian muslim
4. Pengertian kepribadian muhsin
C. Tujuan Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui dan memahami tipologi islam
2. Untuk memahami apa itu kepribadian mukmin
3. Untuk memahami apa itu kepribadian muslim
4. Untuk memahami apa itu kepribadian muhsin
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tipologi Kepribadian

1. Pengertian

Secara umum tipologi adalah pengetahuan yang berusaha


menggolongkan manusia menjadi tipe-tipe tertentu atas dasar faktor tertentu,
yaitu karakter fisik maupun psikis, pengaruh dominan dari budaya ataupun
sebagainya. Islam menjelaskan tipologi adalah segala sesuatu bentuk usaha
yang berkaitan dengan fungsi jiwa dan sikap jiwa sehari-hari dalam diri setiap
individu. Al-Ghazali menyebutkan bahwa tipologi kepribadian individu
bersumber pada norma keberagamaannya, tidak semata-mata hanya pada
perilaku manusia itu sendiri. Tipologi merupakan segala bentuk usaha untuk
memahami atau mengungkap perilaku.

Prof Mujib dalam bukunya menyebutkan bahwa tipologi kepribadian


islam itu dimaksudkan sebagai satu pola karakteristik yang berisi sekumpulan
sifat-sifat yang sama, yang akan menentukan ciri khas seorang Muslim yang
akan membedakannya dengan yang lain. Perbedaan ini baik antar sesama
Muslim atau bahkan antara seorang Muslim dengan yang non-Muslim.
Tipologi kepribadian dalam islam tidak semata hanya bersumber dari norma
Islam saja, atau bahkan dari perilaku yang dikaitkan dengan nilai saja, tapi
pada kerangka nafsani manusia yaitu Pertama, (akal, hawa nafsu dan qalbu).
Kedua, Menggunakan paradigma bagaimana seharusnya bukan sekedar apa
adanya, karena terdapat unsur-unsur penilaian baik-buruk. Tujuannya agar
tidak ada keterpisahan antara ilmu dan nilai keislaman, jadi kepribadian Islam
tidak hanya sekedar mendeskripsikan tentang sifat-sifat manusia, tetapi juga
menilai baik buruknya. Ketiga, berorientasi teosentris, sebab kriteria yang
digunakan bersumber dari norma wahyu ilahi dan pendekatan deduktif tanpa
menghilangkan ijtihad manusia.

2. Pola Penelusuran Tipologi dalam Kepribadian Islam


Jika dilihat dari wacana filsafat dalam menemukan tipologi manusia
mereka mendasarkan pada potensi manusia yaitu “jiwa”. Dari teori jiwa inilah
mereka menentukan tipologi manusia, seperti:

1. Jiwa tambang (ma’adin) yang memiliki ciri benda mati, yang


mengikuti watak benda-benda di alam.

2. Jiwa tumbuhan (nabatiyah) yang memiliki ciri melahirkan, tumbuh


dan makan. Maka tipologi manusia dikonseptualisasikan dengan
berbagai jenis tanaman.

3. Jiwa kehewanan (hayawaniyah) yang memiliki ciri menangkap


berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan, maka tipologi
manusia dikonsepkan dengan berbagai shio atau zodiak seperti hewan.

4. Jiwa rasional (nathiqah) yang memiliki ciri berperilaku eksistensial


berdasarkan ikhtiar pikiran dan ide namun pada sisi lain
mempersepsikan semua persoalan secara universal. Maka tipologi
manusia dikonseptualisasikan pada riset ilmiah.

5. Jiwa kemalaikatan (malakiyah) yang memiliki ciri selalu tunduk dan


patuh pada ketentuan dan aturan Allah SWT, yang pada saat
bersamaan terdapat unsur setan (syaithaniyah) yang memiliki ciri
selalu membangkang dan menyalahi ketentuan dan aturan Allah.

6. Jiwa ketuhanan (ilahiyah) yang memiliki ciri seperti pada nama Allah
Swt.

Pada penentuan tipologi kepribadian dalam islam ditentukan dengan


bersumberkan kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang beragam, yang bersala
dari perbedaan dan keberagaman sudut pandang dalam melihat dan
mengklasifikasikasi ayat atau hadis Nabi Saw. Dalam Al-Qur’an dan Al-
Sunnah, secara khusus menunjukkan tipologi manusia yang mempunyai
beberapa pola penggolongan yang disesuaikan.
Tipologi pertama dengan pola berlawanan seperti positif versus negatif
atau baik versus buruk. Yusuf dalam (Sofiah, 2019) menjelaskan bahwa
terdapat tiga kelompok tipologi kepribadian :

a. Mukmin (orang yang beriman)

Orang-orang yang berpandangan dengan aqidah yang sesuai syari’at


agama.

b. Kafir (menolak kebenaran)

Mereka adalah orang-orang yang tidak mengimani Allah SWT dan


melanggar syari’at agama.

c. Munafik (meragukan kebenarannya)

Ialah orang-orang yang bersifat ragu terhadap aqidah, selalu riya


bahkan malas

Menurut pandangan al-Qur’an yaitu: Dalam QS Al-Baqarah ayat 1-20;


Ali Imran ayat 72; Al-A’raf ayat 87; dan Al-Shaf ayat 14 juga menyebutkan
hal yang sama.

a. Tipe mukmin, yang percaya atau beriman kepada hal yang gaib (Allah,
malaikat dan roh); tipe ini digolongkan sebagai tipe yang beruntung
(muflih), karena telah mendapatkan petunjuk.

b. Tipe kafir, mereka yang ingkar terhadap hal-hal yang harus dipercayai
sebagai seorang mukmin. Tipe ini dianggap sesat, karena hatinya
terkunci, pendengaran dan penglihatannya dalam masalah kebenaran.
Siksa allah Swt yang pedih menjadi bagian dari kehidupan akhirnya.

c. Tipe Munafiq, yaitu mereka yang beriman kepada Allah Swt dan hari
akhir tapi imannya hanya dimulut belaka, namun hatinya ingkar.
Mereka adalah golongan yang menipu diri sendiri, sedang mereka
tidak sadar. Mereka tidak mendapat penerangan dan petunjuk sehingga
senantiasa dalam kegelapan.
Selanjutnya dalam QS A.-Mujadilah ayat 19-22 dan Al-Maidah ayat 56
disebutkan tipe:

a. Tipe yang orientasi hidupnya untuk partai (hizb) Allah,


b. Tipe yang orientasi hidupnya untuk Syetan

Serta dalam beberapa surat lainnya juga disebutkan beberapa tipe


lainnya. Hingga pada surat Al-Maidah ayat 66 yang membagi manusia
kedalam tiga tipe

1. Zalim terhadap dirinya sendiri (zhalim li nafsih)

2. Muqtasid yang berada di tengah-tengah antara baik-buruk dan antara


berbuat dosa tetapi ia segera berbuat taubat dan menyesali
perbuatannya

3. Tipe bersegera dalam melaksanakan kebajikan (shabiqun bi al-


khayrat). Yang mempunyao karakter dsar yang baik dan perilaku yang
bermuara pada ibadah yang berpahala.

Tipologi pola kedua yaitu linear. Merupakan tipe manusia yang ingin
berjuang (berperang) di jalan Allah, sedang sebagian yang lain bertipe pelajar
agar memberi peringatan kepada kaumnya (QS Al-Taubah; 122). Sedang
dalam QS Al-Baqarah ayat 200-201 dan Al-Syura ayat 20 menjelaskan tentang
tipe manusia yang berorientasi pada kebaikan kehidupan dunia saja, kebaikan
akhirat saja, dan kebaikan kehidupan dua-duanya.

3. Bentuk-bentuk Tipologi dalam Islam

Dari beberapa tipe yang disebutkan diatas sesuai dengan surah-surah-


Nya, bentuk-bentuk tipologi kepribadian manusia dalam buku Prof. Mujib
hanya menggunakan tiga tipe manusia yaitu ammarah, lawwamah, dan
muthmainnah. Yang didasarkan pada konsistensinya dengan pembahasan
struktur kepribadian dan dinamikanya.

1. Tipologi Kepribadian Ammarah kepribadian yang cenderung melakukan


perbuatan rendah sesuai dengan naluri primitifnya yang merupakan
sumber kejelekan dan perbuatan tercela. Bentuk-bentuk tipologi
kepribadiannya adalah syirik, kufur, riya, hawa nafsu dan syahwat,
sombong dan ujub, membuat kerusakan, boros, memakan riba,
mengumpat dll.

2. Tipologi Kepribadian Lawwamah adalah kepribadian yang mencela


perbuatan buruknya setelah memperoleh cahaya qalbu. Bentuk-bentuk
tipologi kepribadian lawwamah sulit ditentukan, sebab ia terletak antara
kepribadian ammarah dan muthmainnah yang berarti netral. Artinya
memiliki nilai baik dengan gesekan motivasi yang menjadikan baik
buruk nilainya tergantung pada kekuatan daya yang mempengaruhi.
Bernilai baik menurut ukuran manusia, tetapi belum tentu baik menurut
ukuran Tuhan.

3. Tipologi Kepribadian Muthmainnah adalah kepribadian yang tenang


setelah diberi kesempurnaan nur qalbu, sehingga dapat meninggalkan
sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Bentuk-bentuk
tipologi kepribadian muthmainnah adalah Iman, Islam dan Ihsan sesuai
dengan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi dari Umar
ibn al-Khattab. Aspek islam disebutkan dalam hadis ini identik kepada
peribadatan yang mencakup pembacaan syahadat, menunaikan shalat,
membayar zkat, mengerjakan puasa dan haji; aspek iman identik kepada
kepercayaan yang mencakup iman kepada Allah, malaikata, kitab Allah,
dan hari akhir, dan ihsan identik kepada akhlak atau moral.

● Iman sebagai asas (foundation) kemanusiaan


● Islam sebagai bangunannya
● Ihsan sebagai aksesorisnya.

Ketiganya ini jika dikaji secara teoritik dapat diklasifikasikan mana


perilaku iman, islam dan ihsan, namun secara praktis, ketiga aspek ini menyatu
dan sulit untuk di peta-petakan, karena ketiganya menyatu dalam perilaku.
Dalam surat Al-Hujurat ayat 14 menyiratkan bahwa iman merupakan dimensi
batiniah, sedangkan islam merupakan dimensi lahiriah.

Kepribadian muthmainnah, terbagi atas tiga kategori;


1. Kepribadian mukmin yang memiliki bentuk kepribadian rabbani atau
olaho, malaki, qur’ani, rasuli, yawn akhiri, taqdiri.

2. Kepribadian Muslim yang memiliki lima bentuk kepribadian, yaitu


syahadatain, mushalli, shaim, muzakki, haji.

3. Kepribadian muhsin, memiliki multi bentuk kepribadian. Dikemukakan


oleh Abu Ismail abd Allah al-Anshari dan diberi penjelasan oleh Ibn
Qayyim Al -Jawziyyah dalam bukunya, yaitu:

a. Tingkatkan permulaan (bidayah), meliputi kesadaran (al-


yaqzhah), taubat (al-tawbah), intropeksi (al-muhasabah),
kembali kejalan Allah (al-inabah), berfikir (al-tafakur),
berzikir (al-tadzakkur), menjaga diri (al-i’tisham), lari dari
keburukan menuju jalan Allah (al-firar), latihan spiritual (al-
riyadhah), dan mendengar dengan suara hati (al-sima’).

b. Tingkatkan pintu-pintu masuk (abwab), meliputi kesedihan (al-


huzn), ketakutan (al-khawf), takut (al-isyfaq minhu),
kekhusyukan (al-khusyu’), rendah hati dihadapan Allah (al-
ikhbat), zuhud (al-zuhud), menjaga diri (al-wara’), ketekunan
(al-tabattul), harapan (al-raja’) dan kecintaan (al-raghbah).

c. Tingkatkan pergaulan (mu’amalah), meliputi pemeliharaan diri


(al-ri’ayah), menghadirkan hati kepada Allah (al-muraqabah),
kehormatan (al hurmah), ketulusan (al-Ikhlash), pendidikan
(al-tahdzib), kontinue (al-istiqamah), tawakkal (al-tawakkal),
pelimpahan wewenang (al-tafwidh), keterpercayaan (al-tsiqah)
dan penyerahan (al-taslim).

d. Tingkatan etika (akhlaq), meliputi sabar (al-shabr), rela (al-


ridha), berterima kasih (al-syukur) malu (al-haya’) jujur (al-
shidq), mementingkan orang lain (al-itsar), kerendahan hati
(al-twadhu’) dan kejantanan (al-futuwah).

e. Tingkatkan pokok (ushul), meliputi tujuan (al-qashd), tekad


(al-‘azm), hasrat (al-iradah), sopan santun (al-adab),
keyakinan (al-yaqin), keintiman (al-‘uns), mengingat (al-dzikr),
butuh rahmat (al-faqr) dan merasa kaya materi (al-ghani).

f. Tingkatkan terapi (adwiyah), meliputi baik (al-ihsan), ilmu


(al-‘ilm), hikmah (al-hikmah), pandangan batin (al-bashir),
firasat (al-firasah), kehormatan (al-ta’zhim), ilham (al-ilham),
ketenangan (al-sakinah), ketentraman (al-thuma’ninah) dan
cita-cita (al-himmah).

g. Tingkatkan keadaan (ahwal), meliputi cinta (al-mahabbah),


cemburu (al-ghyrah) rindu (al-syawq), kegoncangan (al-qalq)
haus (al-‘asthasy) suka cita (al-wijd), keheranan (al-dhasy),
kilat (al-barq) dan cita-rasa (al-dzawq).

h. Tingkatkan kewalian (walayah), meliputi sadar setelah


memperhatikan (al-lahazhah) waktu (al-waqt), jernih (al-
shafa’), gembira (al-surur), rahasia (al-sirr), nafas (al-nafs),
keterasingan (al-ghurbah), tenggelam (al-gharq) dan
kesanggupan hati (al-tamakkun).

i. Tingkatkan hakikat (haqa’iq) meliputi ketersingkapan (al-


mukasyafah), penyaksian (al-musyahadah), keterlihatan (al-
mu’ayanah), hidup (al-hayah), ketergenggaman (al-qabdh),
keterbentangan (al-basth) mabuk (al-sukr), lupa (al-shahw),
ketersambungan (al-ittishal), dan keterpisahan (al-infishal).

j. Tingkatkan puncak (nihayah), meliputi pengetahuan yang gaib


(il-ma’rifah), peniadaan materi (al-fana’), penetapan rohani
(al-baqa’), pembuktian (al-tahqiq), mendapatkan (al-wujud),
pengosongan (al-tajrid), ketersendirian (al-tafrid), penyatuan
(al-jam’u) dan ketauhidan (al-tawhid).

Masing-masing dari kepribadian tersebut merupakan komponen yang


saling kait-mengait. Individu yang berkepribadian Islam tidak hanya
melakukan salah satu komponen, tapi secara keseluruhan tanpa dipilah-pilah.
Yang berarti kepribadian mukmin sangat tergantung pada kepribadian Muslim
dan muhsin, demikian pula sebaliknya. Ibn Qayyim memberi batas diametris
antara kepribadian mutmainnah dan ammarah. Jika kepribadian muthmainnah
dianggap sebagai suatu perilaku positif, obat dan berpahala maka kepribadian
ammarah adalah perilaku yang negatif, penyakut dan berdosa. Ibn Qayyim
tidak menyebutkan kepribadian lawwamah karena kepribadian ini berada pada
posisi netral, yang dapat ditarik ke kepribadian muthmainnah atau ammarah.

B. Kepribadian Mukmin

Mukmin sama dengan orang yang beriman. Secara etimologi iman


adalah pembenaran (tashdiq). Orang beriman adalah orang-orang yang
memegang dan melaksanakan amanat.

Iman ini sendiri merupakan lawan kata dari ragu-ragu (rayb). Orang
beriman akan tetap mempercayai adanya kebenaran tanpa memiliki bukti
empiris maupun nalar rasional dan tanpa keraguan sedikit pun. Keraguan yang
berasal dari manusia memang dapat dibenarkan, dikarenakan pemikiran yang
dihasilkannya bersifat temporer. Namun, keraguan terhadap zat yang mutlak
merupakan hal patut dipertanyakan dan bisa jadi sumber penyakit jiwa.
Namun hidup tanpa iman maka hidup atau usia manusia akan habis untuk
mencari sesuatu tanpa bisa berbuat dan menemukan hasilnya, karena belum
menemukan kebenaran.

Pada pembahasan ini dibatasi pada cabang:

1. Iman kepada Allah yang melahirkan kepribadian rabbani atau ilahi


2. Iman kepada Malaikat yang melahirkan kepribadian malaki
3. Iman kepada Al- Qur’an yang melahirkan kepribadian qur’ani
4. Iman kepada Rasullah yang melahirkan kepribadiam rasuli
5. Iman pada Hari akhir yang melahirkan kepribadian yawm akhiri
6. Iman pada Takdir yang melahirkan kepribadian taqdiri

Kemudian Abdullah Hadziq, telah menjelaskan mengenai beberapa


karakter kepribadian imani yang meliputi:

a. Karakter kepribadian Rabbani merupakan kepribadian yang mampu


mentransinternalisasikan (mengambil dan mengamalkan) sifat-sifat
Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan
manusianya. Apabila Allah maha cinta kasih (Rahman-Rahim), maka
kepribadian Rabbani menghendaki adanya cinta kasih, lemah-lembut,
penuh keakraban dan kesantunan. Kemudian apabila Allah mengetahui
(Alim), maka kepribadian Rabbani menghendaki adanya manusia
memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi.
b. Karakter kepribadian Malaki merupakan kepribadian yang mampu
mentransinternalisasikan sifat-sifat malaikat yang mulia ke dalam
tingkah laku keseharian. Karakter kepribadian Malaki diantaranya
adalah menjalankan perintah Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya
(QS. Al-Tahrim, 39: 75), dan selalu bertasbih kepada Allah Swt (QS.
Al-Zumar, 39: 75).
c. Karakter kepribadian Qur’ani merupakan kepribadian yang mampu
mentransinternalisasikan nilai-nilai al-Qur’an ke dalam tingkah laku
nyata keseharian. Diantara karakter kepribadian Qur’ani adalah
semangat membaca, memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran yang
terkandung dalam al-Qur’an.
d. Karakter kepribadian Rasuli merupakan kepribadian yang mampu
mentransinternalisasikan sifat-sifat Rasul yang mulia ke dalam tingkah
laku keseharian. Diantara karakter kepribadian Rasuli adalah jujur,
dapat dipercaya, menyampaikan ajaran wahyu dan cerdas. Lebih dari
itu karakter kepribadian Rasuli menghendaki adanya penterjemahan
mu’jizat Rasul dalam konteks empirik. Apabila Nabi Ibrahim mampu
mendinginkan api, maka isyaratnya menghendaki adanya pemanfaatan
api melalui energi listrik untuk kipas angin/AC yang mendinginkan.
Apabila Nabi Musa mampu membelah laut dengan tongkatnya menjadi
jalan, maka isyaratnya menghendaki adanya pembangunan jembatan
antar pulau/benua dengan teknologi canggih. Apabila Nabi Ismail
mampu mengepak-ngepakkan kakinya yang mengakibatkan keluar air
zam-zam dari perut bumi, maka isyaratnya menghendaki adanya upaya
untuk mengeluarkan isi perut bumi, baik dalam bentuk tambang,
minyak, emas, perak, batubara, besi maupun air atau sumber lain.
Kemudian, apabila Nabi Muhammad Saw mampu melakukan Isra’-
Mi’raj maka isyaratnya menghendaki penjelajahan keluar angkasa.
e. Karakter kepribadian hari akhir merupakan kepribadian ini
menghendaki adanya karakter yang mementingkan jangka panjang
(masa depan) dari pada jangka pendek (masa kini), dan tingkah laku
yang penuh perhitungan, karena di hari akhir nanti semua tindakan
akan dihisab dan ditimbang sesuai kenyataan keadaannya.
f. Karakter kepribadian Taqdiri merupakan kepribadian ini menghendaki
adanya penyerahan dan kepatuhan terhadap Sunnahtullah (hukum-
hukum dan aturan- aturan yang diciptakan Allah). Karakter
kepribadian ini diantaranya adalah mengetahui dan mematuhi sunnah-
sunnah Allah baik sunnah Qur’aniyah maupun sunnah kauniyah
(Abdullah Hadziq, 2017).
C. Kepribadian Muslim

Orang yang berislam adalah orang menyerah, tunduk, patuh, dalam melakukan
perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin yang pada gilirannya akan
mendapatkan keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.

Penyerahan diri sepenuh hati pada zat yang mutlak membawa kedamaian yang
sejati. Perilaku individu yang menyebabkan kekacauan dan kekhawatiran sesungguhnya
merupakan antitesis dari tujuan hakiki ajaran Islam, sekalipun ia seorang Muslim.
Kepribadian Muslim disini meliputi 5 rukun Islam, yaitu:

a. Membaca dua kalimat syahadat, yang melahirkan kepribadian syahadatain


b. Menunaikan shalat, yang melahirkan kepribadian Mushali
c. Mengerjakan puasa, yang melahirkan kepribadian sha’im
d. Membayar zakat, yang melahirkan kepribadian Muzakki
e. Melaksanakan haji, yang melahirkan kepribadian haji

1. Kepribadian Syahadatain

Syahadatain berasal dari kata syahida yang berarti bersaksi, menghadiri,


melihat, mengetahui dan bersumpah. Istilah syahadatain kemudian dinisbatkan
pada satu momen dimana individu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat setelah
mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta
menyadari akan segala konseskuensi persaksiannya tersebut.
Kepribadian syahadatain meliputi dominan kognitif dengan pengucapan dua
kalimat secara verbal, domain afektif dengan kesadaran hati yang tulus dan
domain psikomotorik dengan melakukan segala perbuatan sebagai konsekuensi
dari persaksiannya itu.

● Bentuk – Bentuk Kepribadian Syahadatain

Kesaksian akan ketuhanan Allah SWT, akan berimplikasi pada


pembentukan kepribadian syahadatain sebagai berikut:

1. Kepribadian yang bebas, merdeka dan tidak terbelenggu oleh tuhan –


tuhan yang nisbi dan temporer, untuk menuju pada lindungan dan
naungan Tuhan yang Mutlaq lagi sempurna.

2. Kepribadian yang berpengetahuan secara pasti, karena kepercayaan


kepada Tuhan merupakan sesuatu yang paling hakiki dalam kehidupan
manusia. Jika kepercayaan itu hanya dengan dugaan bukan
berdasarkan pengetahuan yang akurat maka dapat menjerumuskannya
ke dalam lembah kehancuran.

3. Kepribadian yang yakin dan menghilangkan segala bentuk keragu-


raguan. Dengan keyakinan terhadap Allah SWT, maka kehidupan ini
akan ditempuh dengan optimis, bergairah dan berusaha menempuh
sunnah – Nya.

4. Kepribadian yang menerima segala konsekuensi akibat dari persaksian


dan ucapannya. Perbedaan antara ucapan dan perilaku menunjukkan
adanya kemunafikan dalam diri individu, sebaliknya konsistensi antara
ucapan dan perilaku menunjukkan integritas diri yang baik.

5. Kepribadian yang tunduk dan patuh terhadap penciptanya. Individu


yang tunduk dan patuh pada Tuhan justru memiliki kematangan jiwa
atau kedewasaan diri, sebab ia dapat menempatkan dirinya pada posisi
yang sebenarnya.

6. Kepribadian yang jujur, sebab kesaksian menuntut pada ucapan dan


tindakan sesuai apa adanya.
7. Kepribadian yang tulus, dimana ia berperilaku bukan semata – mata
karena pengawasan orang lain atau sekedar mencari perhatian. Ia
bekerja dengan sungguh – sungguh semata -mata karena perintah dan
melaksanakan kewajiban.

8. Kepribadian Penuh Cinta, dimana cinta kepada Tuhannya berarti cinta


kepada diri sendiri, juga cinta pada orang yang cinta kepada-Nya.

2. Kepribadian Mushalli

Mushalli adalah orang yang shalat. Shalat secara etimologi berarti


memohon dengan baik, yaitu permohonan keselamatan, kesejahteraan dan
kedaiaman hidup di dunia dan di akhirat kepada Allah swt. Kepribadian mushalli
adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan shalat dengan
baik, konsisten, tertib dan khusyuk, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa
yang dikerjakan.

● Dimensi Kepribadian Mushalli

Penentuan-penentuan kepribadian mushalli dapat dilihat dari beberapa


sudut pandang. Jika dilihat dari domain yang terdapat dalam rukun shalat, maka
kepribadian mushaliimemiliki tiga dimensi, yaitu

1. Dimensi Aktif (Infi’ali) satu kepribadian mushalli yang


dibentuk dari pengalaman afektif shalat, sehingga menimbulkan perasaan-
perasaan dan daya emosi yang khas dan kuat. Kepribadian ini di dapat dari
rukun qalbiyah shalat seperti kekhusyuan

2. Dimensi kognitif (ma‟rifi), satu kepribadian yang dibentuk dari


pengalaman kognitif shalat, sehingga menimbulkan efek pengenalan,
pikirang dan daya cipta yang luar biasa. Kepribadian ini didapat dari tukun
qawliyyah shalat, seperti mengucap takbir, surat al-Fatihah, tasyahud dan
shalawat Nabi pada tasyahud akhir dan salam pertama

3. Dimensi psikomotorik, satu kepribadian mushalli yang


dibentuk dari pengalaman psikomotorik shalat, sehingga menimbulkan
kemauan, gerak. Kepribadian itu didapat dari rukun fi‟liyyah shalat, seperti
berdiri, ruku‟, sujud dan duduk dalam shalat.

Dilihat dari motivasi shalat maka kepribadian mushalli memiliki dua


dimensi yaitu:

1. Dimensi intrinsik satu, satu kepribadian mushalli yang dibentuk atau


didorong dari kewajiban shalat sendiri tanpa dikatikan dengan
kebutuhannya. Inisiatif pelaksanaan shalat didasarkan kepada
kewajiban melaksanakan ajaran agama, baik kewajban itu relevan
atau tidak tehadap kebutuhannya. Kepribadian itu didapat dari
pelaksanaan shalat wajib lima waktu, termasuk shalat rawatib.

2. Dimensi ekstrinsik, satu kepribadian mushalli yang dibentuk atau


didorong oleh kebutuhan sesuatu maka kebutuhan itu merangsangnya
untuk melaksanakan shalat. Kepribadian ini didapat dari pelaksanaan
shalat sunnah, misalnya shalat hajat, tahajjud, istikharah, shalat
taubat, shalat dhuha.

3. Kepribadian Shaim

Shaaim adalah orang yang berpuasa. Puasa secara etimologi berarti


menahan terhadap sesuatu, baik yang bersifat materi maupun non-materi.
Kepribadian shaaim adalah kepribadian individu yang didapat setelah
melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, sehingga ia dapat
mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa
orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa
memiliki kepribadian yang lebih kokoh, tahan uji dan stabil ketimbang orang
yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya.

Manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan dan saling tarik
menarik, yaitu potensi baik dengan daya kalbu dan potensi buruk dengan daya
nafsu. Agar daya nafsu tidak berkembang maka diperlukan aturan pertahanannya.
Salah satu pertahanan yang paling baik adalah dengan puasa, terutama puasa
wajib di bulan Ramadhan.

● Dimensi Kepribadian Shaaim


Ada banyak mengenai dimensi-dimensi puasa, tetapi dalam hal ini akan
dibagi dalam dua kategori.

1. Dimensi Lahiriah

Pertama, puasa fisik, yaitu menahan lapar, haus dan berhubungan


seks. Dimensi puasa ini merupakan dimensi lahiriah, yang verifikasinya
dapat menggunakan indikator lahiriyah, seperti menahan makan, minum
dan bersetubuh mulai dari terbitnya matahari fajar sampai terbenamnya
matahari. Individu yang mampu menahan ketiga aspek itu berarti ia telah
berkepribadian shaaim.

2. Dimensi Psikis

Yaitu menahan hawa nafsu dari segala perbuatan maksiat, seperti


menahan marah, sombong, dusta, serakah dan penyakit hati lainnya.
Dimensi kedua ini tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu dalam
berpuasa, tetapi jiga diluar puasa dan diluar bulan Ramadhan.

● Pola dan Bentuk Kepribadian Shaaim

1. Puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sabar, tabah, tahan


uji dan mengendalikan diri yang baik dalam mengarungi
kehdupan, terutama sabar dalam menjalankan perintah Tuhan.

2. puasa dapat menyebabkan „ayd (orang yang kembali ke fitrah) dan


fa‟iz (orang yang beruntung). Dikatakan „ayd karena tidak
memiliki dosa, baik dosa vertikal maupun dosa horizontal. Dosa
vertikal dihapus dengan melaksanakan ibadah puasa, shalat malam
dan bermalam-malam mencari Lailatul Qadar. Sedangkan dosa
horizontal ditebus dengan saling memaafkan ketika melakukan
halal bi halal. Karena kepribadian shaaim terbebas dari dosa, maka
hal pertama yang ia rasakan adalah idul fitri yang artinya kembali
pada fitrah semula.

3. Puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sehat, baik jasmani


maupun rohani. Secara jasmani, maka puasa dapat dijelaskan
dengan program diet, dimana individu melakukan pantangan
terhadap makanan atau minuman tertentu. Dengan puasa, endapan
zat-zat makanan yang tidak terpakai, seperti lemak, menjadi
berfungsi, sehingga mengurangi penyumhatan pembuluh darah
yang pada gilirannya akan menghidarkan dari penyakit stroke dan
jantung.

4. Kepribadian Muzakki

Muzakki adalah orang yang telah membayar zakat. Kepribadian muzakki


adalah kepribadian individu yang didapat setelah membayar zakat dengan penuh
keikhlasan, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dilakukan. Pengertian
ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang membayar zakat memiliki
kepribadian yang pandai bergaul, dermawan, terbuka, berani berkorban, tidak
arogan, memiliki rasa empati dan kepekaan sosial serta mudah menyesuaikan diri
dengan orang lain, sekalipun dengan orang yang berbeda statusnya.

● Pola dan Bentuk Kepribadian Muzzaki

1. Kepribadian yang suci dan menjadikan muzakki pada citra


awalnya yang tanpa dosa. Kesucian diperoleh setelah muzakki
mengeluarkan sebagian hartanya yang bukan miliknya, karena
penggunaan harta orang lain mengakibatkan kekotoran.
2. Kepribadian yang seimbang, dimana individu menyelaraskan
aktivitas yang berdimensi vertikal dan horizontal.
3. Kepribadian yang penuh empati terhadap penderitaan pribadi lain,
sehingga mengakibatkan kepekaan sosial. Jiwa muzakki
merasakan betapa resahnya orang yang hidup serba kekurangan,
betapa bingungnya orang yang tidak memiliki uang ketika
membutuhkan sesuatu, dan betapa sakitnya orang yang hidup
termarjinalkan. Zakat merupakan bentuk empati yang paling
realistis dibandingkan dengan upaya-upaya lain.
4. Kepribadian yang selamat dari petaka dan hikmah, sebab zakat,
infak dan sedekah dapat menolak bala.
5. Kepribadian yang kreatif dan produktif untuk memperoleh harta
benda yang hala dan mendistribusikannya dengan cara yang halal
pula.
5. Kepribadian Haji

Haji secara etimologi berarti menyengaja pada sesuatu yang diagungkan.


Kepribadian haji adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan
haji yang semata-mata dilakukan karena Allah swt, sehingga ia mendapatkan
hikmah dari apa yang dilakukan.

● Pola Kepribadian Haji

1.Pola Umum, yaitu pola yang diambil dari ayat-yat Al-Qur‟an


serta hadits Nabi saw yang membahas tentang haji. Pola ini bersifat
umum yang lazimnya membahas mengenai motivasi dan balasan bagi
orang yang melakukan ibadah haji.

2.Pola Khusus yaitu pola yang diambil dari hikmah dalam


melaksanakan ruku, wajib dan sunah haji. Masing-masing bagian haji
tersebut memiliki hikmah dalam kehidupan manusia, karena hal itu
menjadi miniatur perilaku manusia dari masa lalu, masa kini dan masa
yang akan datang.

● Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola umum diantaranya adalah:

1. Kepribadian tauhid, yaitu kepribadian yang utuh dalam memenuhi


panggilan Allah swt, yang diwujudkan dalam bacaan talbiyah dan
menyengaja menuju ka‟bah.

2. Kepribadian mujahid, yaitu orang yang berjihad dengan cara


berperang dan berkorban secara sungguh-sungguh demi
mendapatkan ridha Allah swt.

3. Kepribadian yang suci dan fitri, karena dalam hal ibadah tersebut
mencabut nuktah (titik hitam) dalam jiwanya.

4. Kepribadian yang sukses, karena telah melewati segala rintangan,


tantangan dan resiko yang berat dalam mensyiarkan agama Allah.
● Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola khusus, yang bersumber dari
rukun, wajib dan sunah haji diantaranya sebagai berikut:

1.Kepribadian muhrim (yang ihram), yaitu kepribadian yang


mengharamkan atau menahan diri terhadap perilaku yang dilarang,
demi persatuan dan kesatuan derajat antar sesama manusia dan
merendahkan diri di hadapan Allah.

2.Kepribadian thaawif (yang tawaf), yaitu kepribadian yang


hanya menuju Allah swt dengan cara berputar tujuh kali.

3.Kepribadian Waaqif (yang wukuf), yaitu kepribadian yang


menghentikan seluruh kegiatan duniawi dalam waktu sesaat, kecuali
hanya menunaikan shalat, berdzikir dan berdoa kepada Allah dengan
harapan agar mereka terbebas dari belenggu hawa nafsu dan materi

4.Kepribadian Sa‟i (yang sa‟i) yaitu kepribadian yang selalu


bekerja keras, dengan lari-lari kecil dalam mencapai suatu tujuan,
seperti bekerja mencari nafkah dalam menghidupi diri dan keluarga
tanpa merasakan kelelahan

5.Kepribadian mutahalli (yang tahallul), yaitu kepribadian yang


tidak melakukan sesuatu kecuali yang dihalalkan melakukannya. Untuk
mencapai kehalalan itu diperlukan adanya pengorbanan dengan
mencukur beberapa helai rambut, sebab rambut merupakan mahkota
seseorang. Tanpa pengorbanan, baik berupa harta, pikiran, bahkan
jabatan, sesuatu tidak memikili nilai lebih.

6.Kepribadian yang mandiri dan siap susah dengan cara mabit


(bermalam) di Muzdalifah mauun Mina. Pada mabit ini seseorang
ditempuh pada tempat, keadaan, sarana dan peralatan seadanya.

7.Kepribadian yang selalu membuang dan memerangi setan, baik


setan yang ada dalam dirinya (hawa nafsu) maupun setan melalui
melempar jumrah.
8.Kepribadian yang sadar akan kesalahannya dengan cara
menebusnya dengan mengalirkan darah (dam) kambing, unta atau sapi
di tanah haram, dalam rangka memenuhi ketentuan haji.

9.Kepribadian yang mengingat dan berkunjung (ziyarah) pada


tempat-tempat suci, yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.

D. Kepribadian Muhsin

Kepribadian muhsin merupakan serapan dari kata hasuna yang artinya baik atau
bagus. Seseorang yang muhsin dapat disebut juga dengan ihsan yang artinya seluruh
perilakunya didasarkan untuk mendatangkan manfaat tanpa adanya unsur
kemudharatan di dalamnya. Namun dikarenakan ihsan menurut manusia cenderung
relatif, maka tolak ukur yang disamakan dalam hal ini adalah ihsan yang sesungguhnya
dari Allah SWT. Dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian
muhsin merupakan suatu kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik
individu, baik dilihat dari sisi hubungannya dengan tuhan, manusia, alam semesta
ataupun terhadap dirinya sendiri.

Terdapat beberapa indikator yang membahas tentang ihsan yang dapat di temukan
dalam Al-Qur’an, seperti pada QS.Al-baqoroh:112 “berserah diri kepada Allah, agar
terhindar dari rasa takut (phobia) dan rasa sedih”, QS.Hud : 115 “bersabar dan tabah
dalam mengahadapi persoalan”, QS.Al-Qhashas:77 “mencari, menggunakan dan
memanfaatkan pemberian Allah (fitrah cinta) secara baik, dan QS lainnya yang dapat
mendukung perilaku ihsan seperti perilaku baik untuk memncapai ridha Allah. Ihsan ini
berkaitan dengan perilaku batin yang dapat menghiasi diri manusia, untuk
menyempurnakan keimanannya.

1. Pola Pembentukan Kepribadian Muhsin

Kepribadian muhsin dapat dibentuk dengan dua pola, yaitu:

1. Pola umum: segala sesuatu perilaku baik, yang dapat mempercantik


diri manusia dengan objeknya tidak terbatas pada subjek tertentu, contoh syukur,
sabar, tawakal, pemaaf dan lain sebagainya.

2. Pola khusus: segala sesuatu perilaku baik, yang dapat mempercantik


diri manusia yang objeknya ditunjukkan pada subjek tertentu, contoh perilaku
hormat anak kepada orang tua, perilaku taat istri kepada suami dan perilaku baik
majikan kepada pembantunya.

Kepribadian muhsin dapat dicapai dengan melalui penerapan tiga pola, yaitu:

1. Pola hierarki: setiap masing-masing karakter memiliki tata urut dan


tahapan yang telah ditentukan. Sebagai contoh untuk penerapan dalam
kepribadian muhsin ialah individu memiliki karakter taubah, diteruskan
dengan zuhud, sabar, faqir, tawadhu, takwa, tawakkal, ridha, cinta dan
berakhir pada ma’rifah.

2. Pola proporsional: setiap individu memiliki kepribadian ihsan dan


mampu untuk mencapainya tanpa harus melewati urutan, contoh ketika
seseorang memiliki sifat agresif dan gampang marah maka sabar adalah
karakter yang harus ditanamkan dalam diri seseorang tersebut.

3. Pola eklektis: individu menggunakan setiap sifat-sifat perilaku muhsin


dengan cara mencampurnya. Dikarenakan menurut pola ini setiap sifat
muhsin merupakan bagian dari kesatuan, contoh seseorang yang
materialistik merupakan seseorang yang tidak memiliki zuhud, sabar,
faqir, tawakkal dan ridha. Untuk menghilangkan sifat materialistik itu
maka dianjurkan untuk menerapkan lima karakter tersebut.

2. Bentuk-Bentuk Kepribadian Muhsin

Jika diuraikan bentuk-bentuk kepribadian muhsin sangatlah banyak, jika dihitung


kepribadian muhsin terbagi menjadi sepuluh tingkatan dengan dua puluh macam-
macamnya, yaitu:

1. Karakter ta’ib (Taubat): karakter yang menyesal telah berbuat dosa,


melepaskan semua perbuatan yang mengandung unsur dosa dan bertekat bulat
tidak mengulanginya kembali. Aspek-aspek psikologi yang dapat dilihat dari
karakter ini adalah dari sisi kognitif dengan menyebut kalimat istighfar, dari
sisi afektif ia menyesal dan bertekad untuk tidak mengulanginya dosa tersebut
dan dari sisi psikomotorik dapat dilihat ketika individu menjalankan semua
perintah Allah.
Menurut Ibn Qayyim karakter ta’ib memiliki 6 ciri-ciri, yaitu bersegera
bertaubat (tidak menunda), bertaubat atas dosa yang telah dilakukan, selalu
mengerjakan kebaikan untuk menghapus dosa, kesunggiuhan bertaubat dengan
diiringi dengan penyesalan (nangis, sedih, takut), jika terlibat antara manusia
maka permasalahan diselesaikan dengan pihak terkait dan terakhir bertaubat
atas dosa besar yang telah di lakukan (kufur, syirik).

● Bentuk indikator taubat

Dimensi Indikator

Lisan Membaca istighfar

Hati ⮚ Menyesal telah melakukan dosa

⮚ Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi

Perbuatan ⮚ Melepas perilaku dosa

⮚ Kembali ke jalan yang benar

⮚ Mengembalikanhak orang lain

2. Karakter Zahid (zuhud): karakter yang menganggap hina dan merasa bahwa
material merupakan bukan suatu hal yang penting bagi hidupnya. Menurut Al-
ghazali karakter Zahid merupakan karakter yang meninggalkan dunia, maksud
dari kata meninggalkan dunia disin bukan berarti hidup susah, tetapi tidak
merasa gembira berlebih ketika memiliki harta dan tidak merasa khawatir jika
kehilangannya. Hidayati (2016) di dalam jurnalnya menyatakan bahwa
karakter Zahid ini dapat mencegah rasa takut, cemas, khawatir akan dunia
yang fatamorgana ini, sehingga individu akan merasa lebih tenang dan tentram
baik dari sisi hati maupun psikisnya. Karakter zahid memiliki tiga tingkatan,
yaitu:
1) Syubhat, merupakan meninggalkan sesuatu yang meragukan dan hal
yang tidak jelas hukumnya.

2) Zuhud dari penggunaan harta yang berlebih, yaitu meninggalkan


penggunaan harta yang berlebih kecuali kebutuhan primer (sandang,
pangan, papan)

3) Perasaan zuhud yang minimal, yaitu ketika merasakan kesamaan rasa


ketika kedatangan ataupun kepergian sesuatu.

Terdapat indikator yang dapat merepresentasikan karakter zuhud, yaitu:

● Bentuk indikator Zuhud

Dimensi Indikator

Zuhud dan ⮚ Mengabaikan yang haram


syubhat
⮚ Meninggalkan yang tidak jelas halalnya

Zuhud dan ⮚ Meninggalkan perbuatan yang tidak


berlebih bermanfaat

⮚ Tidak merasa gembira dengan harta

⮚ Tidak merasa sedih ketika kehilangan harta

Zuhud dan zuhud ⮚ Merasa sama ketika kaya dan miskin

⮚ Berderma dengan yang ada

3. Karakter wari (wara): karakter ini merupakan karakter untuk menjaga diri dari
perbuatan yang tidak patut yang dapat menurunkan derajat seseorang.
Rahmawati (2017) mengatakan bahwa sikap wara ini sangat relevan dengan
psikologis seseorang, ketika seseorang menjaga dirinya dengan baik maka hal
yang akan didapatkan ialah rasa tenang, tentram dan nyaman sehingga dapat
terhindar dari berbagai macam psikologis kecemasan (anxiety). Menurut Ibn
Qoyyim terdapat 3 tingkatan karakter wara, yaitu:

1) Menjauhi perbuatan buruk agar terjaga dirinya dan memelihara iman

2) Memelihara ketentuan-ketentuan yang dibolehkan dan mengekalkan


ketakwaan. Hal tersebut dilakukan agar seseorang tidak disibukan
dengan perbuatan yang hukumnya mubah.

3) Menghindar dari pemutusan silaturahmi dan perceraian

Terdapat dimensi indikator dalam karakter wara, yaitu:

Dimensi Indikator

Fisik ⮚ Menghindarkan diri dari harta dan syubhat

⮚ Menghindarkan diri dari harta yang halal namun


bercampur dengan haram

Psikis ⮚ Membersihkan qolbu dari segala dosa

⮚ Meninggalkan perbuatan yang sia-sia

⮚ Menjauhkan qolbu dari perasaan qolbu

4. Karakter kha’if (khawaf): karakter akan takut dibenci, dan merasakan


kemurkaan ataupun siksaan dari Allah SWT. Ketakutan disini sangat berbeda
jika disamakan oleh phobia (perspektif psikologi), tetapi lebih condong kepada
ketakutan yang bernilai positif seperti ketakutan kepada Allah agar individu
dapat hidup lebih berhati-hati dan waspada kepada perilaku yang buruk.
Karakter kha’if ini lebih merujuk kepada seringnya individu introspeksi diri
dengan merenungi diri atas perbuatannya, menangisi perbuatan bodoh nya
tersebut (bertaubat) dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tangisan
yang muncul tersebut bukanlah bagian dari simtom kejiwaan yang negatif,
tetapi bentuk kesadaran individu bahwa manusia merupakan makhluk yang
lemah. Tidak semua orang dapat hingga ke titik itu, tangisan seperti itu
merupakan bagian dari afektif (affective experience) yang mengharuskan dan
menimbulkan perasaan yang kuat.

Terdapat dimensi dan indikator dalam karakter kha’if, yaitu:

Dimensi Indikator

Tuhan ⮚ Takut akan kebencian, kemurkaan dan siksaan Allah

⮚ Takut tidak mendapatkan Ridha-Nya

Diri Sendiri ⮚ Takut berbuat buruk dan dosa

⮚ Takut bertindak bodoh

5. Karakter raji’ (raja): karakter yang berharap suatu kebaikan kepada Allah
SWT. Karakter raji dapat berupa harapan terhadap pahala setelah ia
melakukan ketaatan kepada Allah SWT atau harapan dimaafkan atas
perbuatan dosanya. dari kata harapan tersebut menurut pakar psikologi Charles
Richard Snyder dapat membuat seseorang termotivasi untuk mencapai sebuah
harapan tersebut, sehingga seseorang akan semakin besar semangat dan jiwa
optimisme yang dimilikinya. Menurut Al-Ghazali karakter raji selalu
dikaitkan dengan kemungkinan adanya sebab yang menyertai, seperti harapan
untuk memperoleh ampunan atau pahala misalnya. Terdapat dimensi dan
indikator dalam karakter raji, yaitu:

Dimensi Indikator

Akhirat ⮚ Harapan masuk surga

⮚ Harapan bertemu dengan tuhan dan rasul

Dunia ⮚ Harapan yang dapat membuat seseorang Bahagia


karena amalnya

⮚ Harapan yang menghindarkan dari siksaan akhir


dengan menghilangkan harsat buruk

6. Karakter Mukhlis (ikhlas): karakter yang murni taat hanya kepada Allah SWT
dengan cara membersihkan perbuatan baik secara lahir ataupun batin. Menurut
pakar psikologi Ratih Ibrahim menyatakan bahwa ikhals merupakan
menerima, hanya ketidak ikhlasan yang membuat hidup susah. Di dalam
ikhlas terdapat energi positif, salah satu yang tampak dalam hal ini adalah
akan merasa lebih tenang dan terhindar dari pemikiran berlebih yang dapat
membuat seseorang menjadi stress. Sedangkan menurut Ibn Qoyyim karakter
mukhlis dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:

1) Tidak menganggap bernilai lebih terhadap perbuatan yang dilakukan

2) Merasa malu terhadap perbuatan yang yang telah dilakukan sambil


berusaha untuk meperbaikinya

3) Berbuat dengan ikhlas yang di dasarkan dengan ilmu dan hukum-


hukum Nya

Terdapat dimensi dan indikator dalam karakter mukhlis, yaitu:

Dimensi Indikator

Motif ⮚ Motif hanya kepada Allah

⮚ Membersihkan diri dari yang kotor (hawa nafsu,


harta)

perilaku ⮚ Menganggap tidak bernilai perbuatan yang


dilakukan
⮚ Ketulusan berbuat didasarkan atas ilmu dan
hukum

7. Karakter mustaqim (istiqomah): karakter yang melakukan pekerjaan sacara


terus menerus atau konsisten. Untuk mendapatkan perilaku konsisten tersebut
dibutuhkan niat dan usaha yang keras lillah karena Allah. karakter ini sangat
disarankan dalam membangun suatu kebiasaan positif pada seseorang dan
membentuk perilaku conditioning sehingga tercapailah suatu perilaku
konsisten. Ibn Qoyyim membagi 3 tingkatan dalam karakter istiqomah, yaitu:

1) Istiqomah dalam arti kesederhanaan dalam bersungguh-sungguh,


sehingga tidak melampui batas ikhlas, sunnah

2) Hakikat dengan melihat sesuatu berdasarkan ilmu dan cahaya


kesadaran.

3) Istiqomah dengan menganggap sesuatu yang tidak istiqomah, sehingga


individu akan terus beristiqomah dan terhindar dari perasaan sombong

Terdapat dimensi dan indikator dalam karakteristik istiqomah, yaitu:

Dimensi Indikator

Motif Niat dan dengan jalan yang benar

Perilaku ⮚ Disiplin

⮚ Komitmen

⮚ Konsistensi perilaku

8. Karakter shabir (sabar): karakter menahan diri atau lebih tepatnya


mengendalikan diri. Dilihat dari perspektif psikologi karakter sabar dapat
menghindari individu dari perasaan cemas, resah dan marah. sabar juga dapat
melatih individu agar dapat mengontrol dirinya sehingga individu tersebut
tidak terlalu mengedepankan emosionalnya. Menurut Al-Ghazali sabar terkait
dengan dua aspek, yaitu:

1) Fisik: menahan diri dari kesulitan dan kelelahan badan. Dalam sabar
ini seseorang sering mendapatkan cobaan yaitu rasa sakit, luka yang
sangat dalam

2) Psikis: menahan diri dari tuntutan hawa nafsu.

Sabar membutuhkan pengendalian diri yang sangat tinggi, tentu saja hal
tersebut dibantu dengan regulasi emosional yang sangat terstruktur, baik
dilihat dari jangka waktu pendek, sedang maupun panjang. Sabar juga dapat
membantu individu untuk memanajemen stress pada dirinya, sehingga
biasanya orang yang sabar tidak terlalu memikul beban mental yang dapat
membuat seseorang frustasi dan dapat membuat coping mechanism pada diri
seseorang. Terdapat dimensi dan indikator pada karakter sabar, yaitu:

Dimensi Indikator

Sabar dari musibah ⮚ Menahan diri akan egonya

⮚ Bertahan dalam situasi yang tidak mengenakkan

⮚ Memberi makna dalam musibah

Sabar ⮚ Menahan diri menjauhi larangannya


meninggalkan
laranganNya

Sabar menjalankan ⮚ Konsisten menjalankan perintahNya


perintahNya
⮚ Merasa senang/nyaman menjalankan perintahNya
9. Karakter mutawakkil (tawakkal): karakter yang menyerahkan diri dan apa
yang dimiliki sepenuh hati kepada Allah, sehingga didalam hatinya tidak ada
beban psikologi yang mengganggunya. Dalam perspektif psikologi karakter
tawakkal dapat mengurangi rasa stress pada individu sebab mereka selalu
menggantungkan hidupnya kepada Allah SWT. Ibn Qoyyim mengemukakan
terdapat 3 tingkatan dalam karakter mutawakkil, yaitu:

1) Tawakkal yang disertai dengan permohonan dan menempuh sebab-


sebab untuk memperoleh permohonan tersebut

2) Tawakkal yang tidak disertai dengan permohonan sehingga ia


meninggalkan sebab-sebabnya. Karena itu dalam hal ini biasanya
mereka membenahinya dengan mengendalikan hawa nafsu dan
menjaga kewajiban

3) Tawakal yang mengetahui hakikat tawakkal, sehingga dapat


membebaskan diri dari penyakit yang mengganggu keimanan.

Terdapat indikator dalam karakter mutawakkil, yaitu:

Indikator

⮚ Menyerahkan diri dengan memperkuat qolbu

⮚ Menyandarkan qolbu kepada Allah sehingga akan lebih terasa


tenang

⮚ Menyerah diri dengan keyakinan yang benar tentang kehendak Allah


SWT

⮚ Menyerahkan diri dengan hukim sebab-akibat

10. Karakter qani (qana’ah): karakter yang mampu menerima apa adanya dan
seadanya. Karakter ini menuntut individu agar selalu optimal dalam menjalani
hidup, menerima hasil jerih payahnya, meskipun terkadang merasa gagal dan
frustasi tetapi akan tetap berusaha menerima apa adanya. Qana’ah dapat
dibilang sebuah karakter dikarenakan seseorang dapat merasa lepas dan
menikmati apa yang dimilikinya meskipun itu suatu hal yang minim di mata
orang lain. Dengan demikian qanaah dapat dibilang kepuasan jiwa seseorang
terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah. Merasa puas dengan apa yang
dimiliki tentu saja akan berpengaruh terhadap hidup individu itu sendiri, hidup
akan merasa lebih Bahagia dan lebih tenang dibandingkan dengan orrang yang
selalu merasa kurang. Terdapat indikator yang mewakili karakter qana’ah,
yaitu:

Indikator

⮚ Menerima apa adanya pemberian dari Allah

⮚ Tidak merasa frustasi, melainkan berusaha menerima yang ada

⮚ Menikmati apa yang dimiliki meskipun sangat minim

11. Karakter radhi (ridha): karakter ini merupakan karakter yang rela terhadap apa
yang dimiliki dan diberikan. Beberapa penelitian menemukan hubungan rida
(dalam arti satisfaction) dengan variable positif psikologi. Suatu penelitian
telah menemukan bahwa terdapat hubungan antara ridha atas kehidupan
(kepuasan hidup) dengan self-esteem pada mahasiswa (al-Namlah, 2013).
Selain itu, juga ditemukan hubungan yang signifikan antara kepuasan hidup
dengan penerimaan dukungan sosial pada pasien kanker payudara (Tshtush,
2015). Kepuasan hidup merupakan bagian dari subjective well-being, maka
seseorang yang puas akan hidupnya, maka dirinya akan memiliki afeksi positif
yang baik dan afeksi negatif yang rendah (Corrigan, Kolakowsky-Hayner,
Wright, Bellon, & Carufel, 2013). Kepuasan hidup yang baik tentunya hidup
yang penuh dengan moral dan akhlak yang baik. Kepuasan hidup,
kebahagiaan, dan moralitas merupakan tiga komponen yang tidak terpisahkan
dalam membentuk kesejahteraan psikologis seseorang (Horley,
1984).Terdapat dimensi dan indikator dalam karakter ridha, yaitu:

Dimensi Indikator

Perilaku Qalbu ⮚ Rela dan tidak marah atas pilihan Allah

⮚ Berbaik sangka terhadap pemberian tuhan

Perilaku Fisik ⮚ Berbuat untuk kebaikan dan manfaat atas tuhan


kehendaki

⮚ Dapat merelakan hal-hal yang menyakitkan

⮚ Tunduk dan patuh pada aturanNya

12. Karakter Syakir (syukur): karakter menerima pemberian tuhan dan yang
menampakkan nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya. Syukur dalam
perspektif psikologi berfungsi sebagai obat atau katalisator terhadap keluaran
bersifat maladaptif seperti stres, depresi dan afeksi negatif (Froh, Sefick &
Emmons, 2008; Lambert, Fincham & Stillman, 2012; Wood, Maltby, Gillet,
Linley & Joseph, 2008). Kaitannya dengan konsep besar tentang well being ini
tidak terlepas dari adanya emosi positif yang dirasakan dari pelaku syukur.
Pengalaman emosi positif ini kemudian memperluas pola pikir (mindsets) dan
pola tindakan (action sequences) seseorang. Pola pikir dan tindakan yang
diperluas ini, secara akumulatif memperkaya sumber daya psikologis (key
psychological resources) individu (Fredrickson, 2001; Fredrickson &
Branigan, 2005).Karakter syakir dilakukan dengan 3 tahap, yaitu:

1) Mengetahui nikmat dengan cara memasukan dalam ingatan bahwa


nikmat yang diberikan oleh pemberi telah sampai pada penerimanya

2) Menerima nikmat dengan cara menampakkan bahwa sangat butuh


terhadap pemberiannya dan tidak meminta lebih
3) Memuji pemberiannya dengan cara menggunakan kata hamdallah.

Terdapat dimensi dan indikator dalam karakter syakir, yaitu:

Dimensi Indikator

Lisan Memuji dengan membaca hamdallah

Hati ⮚ Mengetahui nikmat yang semuanya berasal dari tuhan

⮚ Menerima dengan senang hati dengan menampakkan


rasa senang kepada pemberi

Perbuatan ⮚ Menggunakan sebagaimana yang dianjurkan

⮚ Mengapa banyak apa yang diberikan

13. Karakter al haya (malu): kepekaan diri yang mendorong untuk meninggalkan
perilaku yang buruk. Rasa malu dapat membantu seseorang mengontrol ego
dan bagian dari kontribusi dari super ego atas teori Sigmund freud. Karakter
malu menurut Ibn Qoyyim terbagi atas tiga tingkatan, yaitu:

1) Malu yang timbul dari pengetahuan seseorang akan hakikat dirinya,


sehingga memotivasi untuk terus beribadah dan mencela
keburukannya.

2) Malu yang ditimbulkan dari kedekatan kepadaNya sehingga


menimbulkan kecintaan dan kerinduan

3) Malu yang ditimbulkan atas kesaksian akan kehadiran-Nya.

Terdapat dimensi dan indikator dalam karakter malu, yaitu:

Dimensi Indikator

Keterbatasan ⮚ Malu atas dosa atau salah yang telah dilakukan


diri

⮚ Malu atas karena keterbatasan diri

⮚ Malu atas terhina dan kecil hati

Keagungan yang ⮚ Malu akan keagungan tuhan


lain
⮚ Malu akan rasa ibadah

⮚ Malu akan cinta

14. Karakter shaddiq (jujur): karakter yang dapat berkata sesuai dengan kejadian
yang dialaminya, kesesuaian antara dihati dengan yang diterapkan, singkatnya
pengertian kata jujur merupakan kebenaran yaitu kesesuaian antara ucapan,
perbuatan, perasaan dengan kenyataan sebenarnya. Islam mewajibkan perilaku
jujur tentu karena ada sebab yaitu akan membawa manusia pada kebaikan.
Suud, F., & Subandi, (2018) Orang yang jujur adalah mereka yang memiliki
jiwa pahlawan dan berani menerima kenyataan serta kejujuran dapat
meningkatkan ketenangan, dan kesehatan seseorang baik secara fisik maupun
secara psikis. Ibn Qoyyim membagi karakter shiddiq menjadi 3 tingkatan,
yaitu:

1) Jujur dalam tujuan, dengan menyempurnakan harsat agar hati


termotivasi untuk selalu jujur

2) Jujur dengan tidak mengharapkan sesuatu kecuali hanya kebenaran

3) Jujur dalam mengetahui kejujuran

Terdapat dimensi dan indikator dalam karakteristik jujur, yaitu:

Dimensi Indikator

Ucapan Kesesuaian yang diucapkan dengan kejadian yang


sesungguhnya

Perbuatan Kesesuaian yang dibuat dengan peraturan yang


ditetapkan dan aturan yang berlaku

Keadaan Kesesuaian niat qalbu dengan aktivitas fisik

15. Karakter mu’tsir (itsar): karakter yang mementingkan atau mendahulukan


kepentingan orang lain. Kepentingan ini berkaitan dengan muamalah. Dilihat
dari sisi psikologi itsar identik dengan altruism. Menurut baron & byrne
(2005) altruism kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan
untuk orang lain.

16. Karakter muthawadhi (tawadhi): karakter yang mencerminkan seseorang


dengan rendah hati, berwibawa, tenang, lemah lembut dan tidak ada perasaan
jahat. Karakter ini tidak menunjukkan kebodohan seseorang, tetapi
menunjukkan kedewasaan seseorang. Dalam perilaku tawadhi seseorang akan
diberikan kesempatan atau mendorong temannya untuk berprestasi melebihi
dirinya sendiri, dan untuk dirinya sendiri tetap aktif berprestasi. Terdapat
manfaat dari karakter ini jika dilihat dari perspektif psikologi, yaitu seseorang
menjadi lebih dewasa dalam mengolah emosinya (kecerdasan emosi).

17. Karakter muri (muru’ah): karakter keperwiraan yang menjunjung tinggi


terhadap sifat kemanusiaan. Karakter muri meliputi pengamalan perilaku baik
dan menghindari perilaku buruk. Ibn Qoyyim membagi karakter muri menjadi
3 tingkatan, yaitu:

1) Maru’ah ketika menyendiri, dengan cara membawa individu untuk


melakukan aktivitas yang positif

2) Maru’ah ketika Bersama orang lain, dengan cara menjaga etika


Bersama sehingga akan merasa malu jika melanggar etika tersebut
3) Maru’ah Bersama Allah, merasa malu ketika sadar selalu dipantau
olehNya.

18. Karakter muhibb (mahabbah): karakter ini memiliki ciri perasaan saling
memperhatikan, mempercayai dan mendekat, sehingga keduanya bisa tetap
Bersatu baik secara lahir dan batin. Imam Al-Ghazali menyebutnya dengan
kata cinta. Kualitas cinta tidak dapat diukur dari usia atau lama masa
hubungannya, tetapi cinta yang berkualitas ketika memiliki kedalaman atau
efek psikologis seperti tumbuhnya rasa motivasi berprestasi, berkreasi dan
beraksi. Di dalam karakter muhibb sendiri terdapat efek-efek psikologis
lainnya, seperti rasa cemburu, rindu, goncangan, kehausan akan kasih sayang
dan suka cita.

Ibnu Miskawaih filosof pakar etika membagi tipe cinta dalam empat kategori,
yaitu:

1) Cinta kenikmatan, yaitu cinta yang terjalin dengan cepat dan


pupusnya pun dengan cepat

2) Cinta kebaikan, yaitu cinta yang terjalin dengan cepat namun


pupusnya lambat

3) Cinta manfaat, yaitu cinta yang terjalinnya dengan lambat namun


pupusnya cepat

4) Cinta perpaduan antara kenikmatan, kebaikan dan manfaat, yaitu


cinta yang terjalin dengan lambat dan pupusnya pun juga lambat.

Eric Fromm yaitu salah satu tokoh psikologis yang membangun teorinya dari
cinta mengatakan bahwa cinta merupakan sikap yang berorientasi pada watak
pada hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan. Fromm kemudian
mengklasifikasi cinta menjadi lima tipe, yaitu cinta persaudaraan, cinta
keibuan, cinta erotis, cinta diri sendiri dan cinta pada tuhan. Sedangkan
dalam teori pakar psikologi lainnya yaitu Sigmund freud mengatakan bahwa
cinta persaudaraan merupakan aktualisasi struktur super ego, cinta diri
sendiri dari ego dan cinta erotis dari id.
19. Karakter mukhbit: karakter yang memiliki keindahan dan kelembutan hati,
merasa tenang jika dekat Allah dan tidak suka menyakiti orang lain. Karakter
ini merupakan dasar untuk mendapatkan jiwa yang tenang. Dalam tafsiran
QS.Al-Hajj:34-35 oleh Al-Syayrazi dikatakan bahwa karakter mukhbit terbagi
menjadi dua macam, yaitu:

1) Berkaitan dengan aktivitas psikis, seperti jika disebut nama Allah


hatinya berdebar

2) Berkaitan dengan aktivitas fisik, seperti mau mengerjakan sholat

20. Karakter muttaqi (taqwa): karakter yang mencerminkan rasa takut kepada
murka dan siksaan Allah. Karakter muttaqi dibarengkan dengan perilaaku
khusyu yaitu tunduk, patuh, rendah hati dan ketenangan jiwa dalam menerima
kebenaran. Muttaqi merupakan puncak kepribadian mukhsin. Seseorang yang
dapat predikat muttaqi sudah melewati semua karakter yang telah kita bahas
sebelumnya dan seseorang tersebut telah mampu mengintegrasikan dirinya
dengan benar baik dari diri sendiri, orang lain, semesta ataupun tuhannya.
BAB III
PENUTUPAN

Dalam uraian yang telah dijabarkan, ditarik kesimpulan bahwa tipologi kepribadian
dalam islam ditentukan dengan bersumberkan kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang
beragam, yang berasal dari perbedaan dan keberagaman sudut pandang dalam melihat dan
mengklasifikasikan ayat atau hadis Nabi Saw. Masing-masing dari kepribadian tersebut
merupakan komponen yang saling kait-mengait. Yang berarti kepribadian mukmin sangat
tergantung pada kepribadian Muslim dan muhsin, demikian pula sebaliknya.

Kepribadian Muslim adalah orang yang berislam adalah orang menyerah, tunduk, patuh,
dalam melakukan perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin yang terbagi atas 5
meliputi 5 rukun Islam. Kepribadian mukmin sama dengan orang beriman adalah orang-
orang yang memegang dan melaksanakan amanat. Kepribadian muhsin merupakan suatu
kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu, baik dilihat dari sisi
hubungannya dengan tuhan, manusia, alam semesta ataupun terhadap dirinya sendiri.
Kepribadian muhsin terbagi menjadi sepuluh tingkatan dengan dua puluh macam.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib, Teori Kepribadian Perspektif Psikologi Islam, Ke 2 (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2017)
Suud, F., & Subandi, . (2018). Kejujuran dalam perspektif psikologi Islam: Kajian konsep
dan empiris. Jurnal Psikologi Islam, 4(2), 121—134.
Rachmadi, AG., et al. (2019). Kebersyukuran: Studi Komparasi Perspektif Psikologi Barat
dan Psikologi Islam. jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 24(2), 115-128
Hidayati T Wahyu. (2016). Perwujudan Sikap Zuhud Dalam Kehidupan. journal of islamic
studies and humanities, 1(2), 91-106
Sofiah, U. H. (2019). POTENSI KEPRIBADIAN MUKMIN ANAK JALANAN MENURUT
PANDANGAN PSIKOLOGI ISLAM ( STUDI KASUS ANAK JALANAN
DIKAMPUNG SOSIAL DESA HADIPOLO ).
Maulana, A. S. (2019). Kepribadian Berbasis Imani Perspektif Psikologi Islam.
HIKMATUNA, 5(1), 84-98.

Anda mungkin juga menyukai