Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH PENGKAJIAN KEPERAWATAN


ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN PATOLOGI KLINIS PADA PASIEN
PRIMARY SJÖGREN SYNDROME (PSS)

Dosen Fasilitator: Dr. Ninuk Dian K. S.Kep.Ns., MANP

Oleh: Kelompok 1

1. Ni Made Sekar Sari (132114153007)


2. Indana Zulfa Yunaida (132114153009)
3. Hayatus Sa Adah Ayu Lestari (132114153011)
4. Ishomatul Faizah (132114153012)
5. Dia Metasari (132114153016)
6. Ariza Hartinah (132114153021)
7. Devi Rahma Sofia (132114153029)
8. Luh Dea Pratiwi (132114153030)
9. Ahmad Abdul Ghofar Abdullah (132114153036)
10. Suhaedi Kuling (132114153037)

PROGRAM STUDI MAGISTES KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Primary Sjögren Syndrome (PSS) merupakan suatu penyakit autoimun


sistemik kronis. PSS ini menjadi salah satu kondisi autoimun umum yang terutama
mempengaruhi jaringan epitel, sering kali termasuk ginjal. Ginjal adalah salah satu
bagian ekstraglandular umum yang terlibat dalam PSS, dengan nefritis
tubulointerstitial kronis (TIN) menjadi jenis patologi yang paling umum serta
glomerulonefritis juga dapat terjadi terkait adanya reaksi dari kompleks
imun. Keterlibatan ginjal pada PSS sering muncul sebagai TIN kronis disertai
dengan asidosis tubulus ginjal tipe 1 atau 2 (RTA) (Evans et al., 2016).

PSS diperkirakan telah mempengaruhi sebesar 0,6% dari populasi di


Amerika Serikat yaitu sekitar 1,3 juta orang dewasa. Berdasarkan hasil studi kohort
pada 573 pasien di Cina yang mengalami PSS, sebanyak 34% pasien dengan PSS
mengalami penurunan pada fungsi ginjal. Selain itu, berdasarkan studi prospektif
di India berhasil mengidentifikasi adanya penyakit ginjal pada 50% pada pasien
dengan PSS (François & Mariette, 2016). Berdasarkan studi retrospektif lainnya
menemukan tingkat keterlibatan masalah ginjal pada pasien PSS sebesar 4,3 sampai
6,5%, dan berdasarkan pengamatan studi prospektif bahkan ditemukan persentase
yang jauh lebih tinggi yaitu berkisar 28 hingga 42% (Evans et al., 2016).

PSS dapat menyebabkan lesi glomerulus yang mengakibatkan penurunan


fungsi ginjal ekskretoris dan proteinuria. Lesi itu sendiri biasanya merupakan
glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN), tetapi dapat muncul dengan
sejumlah lesi glomerulus lainnya misalnya dalam bentuk manifestasi nefropati
membranosa. Hal ini karena deposisi kompleks imun yang terkait dengan ekspansi
sel B (Aiyegbusi et al., 2020). Selain itu, kompleks imun ini juga sering kali
merupakan cryoglobulin, yang berikatan dengan endotel vaskular dan dapat
menyebabkan vaskulitis pembuluh darah kecil. Gambaran klinis ini terjadi dengan
ekspansi sel B klonal, yang biasanya berhubungan dengan limfoma, dan cenderung
terjadi pada akhir perjalanan penyakit (François & Mariette, 2016).
Inflamasi epitel pada PSS biasanya menyebabkan nefritis tubulointerstitial, yang
merupakan lesi ginjal yang paling umum pada pasien dengan PSS. Meskipun hal
ini dapat menyebabkan kerusakan ginjal, hal ini juga menyebabkan lesi tubulus
ginjal yang mungkin lebih sulit untuk didiagnosis. Nefritis tubulointerstitial yang
lebih khas dapat bermanifestasi dalam beberapa cara, termasuk dengan penurunan
ringan sampai sedang pada laju filtrasi glomerulus, hingga dapat berkembang
menjadi gagal ginjal stadium akhir. Disfungsi tubulus dapat bermanifestasi sebagai
disfungsi tubulus proksimal dengan proteinuria berat molekul rendah atau sindrom
Fanconi ginjal penuh dengan bikarbonaturia, urikosuria, fosfaturia, glikosuria dan
proteinuria berat molekul rendah. Penyakit tubulus distal dapat menyebabkan
asidosis tubulus ginjal distal yang khas dengan hipokalemia, nefrokalsinosis/batu
ginjal, osteomalasia dan asidosis metabolik atau diabetes insipidus nefrogenik (Du
et al., 2020; Evans et al., 2016).

Penyakit ginjal pada kondisi PSS menghadirkan tantangan diagnostik,


karena gejala klinis sering tersembunyi. PSS mempengaruhi ginjal melalui infiltrasi
limfositik tubulus ginjal atau deposisi kompleks imun, yang mengarah ke berbagai
fitur klinis. Nefritis tubulointerstitial adalah pola histologis penyakit ginjal yang
paling umum. Cedera tubulus lainnya juga dapat terjadi termasuk asidosis tubulus
ginjal dengan hipokalemia, sindrom Fanconi dan diabetes insipidus (Du et al.,
2020). Sehingga diperlukan suatu pemeriksaan patologi pada pasien untuk
membantu dalam memastikan dan menegakkan kondisi medis pasien. Pada
makalah ini, penulis akan melakukan studi kasus yang berfokus dalam analisis
pemeriksaan patologi yang ditemukan pada kasus PSS dengan gangguan pada
ginjal. Adapun artikel studi kasus yang akan ditelaah oleh penulis dengan berfokus
pada hasil pemeriksaan patologi pasien adalah “Case report on a 32-year-old
female with elevated serum creatinine levels and primary Sjögren's
syndrome-chronic interstitial nephritis”. Pada studi kasus ini, ditemukan adanya
hasil gambaran klinis dan patologis, serta data laboratorium dan imunofluoresensi
dari pasien yang awalnya mengalami insufisiensi ginjal kronis, tetapi akhirnya
didiagnosis dengan PSS.
1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.


1. Mengetahui interpretasi hasil patologi klinik yang ditemukan dalam artikel
case study
2. Mengetahui Web of Cautions (WOC) yang sesuai dengan kasus dalam
artikel case study
3. Melakukan penyusunan asuhan keperawatan sesuai dengan kasus dalam
artikel case study
4. Mengetahui evaluasi intervensi yang telah diberikan serta memberikan
rekomendasi yang sesuai dengan kasus dalam artikel case study

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat digunakan oleh praktisi kesehatan salah
satunya perawat dalam memperdalam ilmu analisis patologi klinik serta dapat
digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menentukan asuhan
keperawatan yang tepat untuk dilakukan pada pasien sesuai dengan hasil
interpretasi dari pemeriksaan patologi klinik pada pasien.
BAB 2
HASIL

2.1 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik dan Pembahasan

Sindrom Sjögren primer (pSS) adalah gangguan autoimun kronis yang


ditandai dengan infiltrasi limfositik kelenjar eksokrin, terutama kelenjar ludah dan
lakrimal, yang menyebabkan gejala sicca. Pasien mungkin memiliki penyakit
ekstraglandular yang melibatkan banyak organ, termasuk ginjal (Aiyegbusi O, et al
2021).
Hasil pemeriksaan patologi klinik saat masuk rumah sakit (MRS) adalah
sebagai berikut :

Pemeriksaan Hasil` Nilai Normal

Darah

Hemoglobin 105 115-150 gr/dl

Sel darah putih 10.2 4‑10 x 109 /l

Trombosit 320 125‑350 x 109 /l

Kreatinin 221,3 mol/l 53‑98 mol/l

eGFR 24,6ml/menit/1,7 >90


3m2 mL/menit/1,73m2

K 3,77 3,50‑5,30 mmol/l

Na 135,5 137.0‑147.0
mmol/l

Cl 106,9 96.0‑108.0
mmol/l

PO 1,4 0,85‑1,51 mmol/l

Ca 2,3 2,11‑2,52 mmol/l

MG 0,9 0,75‑1,02 mmol/l

PTH 475,1 15‑65 pg/ml

ANA (berbintik) + (1:100)


DsDNA 13,5 0.0‑20.0

Urine

Ca 1.04 0,00-6,20
mmol/24 jam

Protein 453.6 <150 mg/24 jam

ALB 160.2 <30 mg/24 jam

UPro:UCr 2.990.3 0,00‑100.00


mg/g

ALBU:CrU 1.797,3 0,00‑30.00


mg/gCr

Beta‑2 mikroglobulin 4.0 <0,4 mg/l

PH 6.0 4.5‑8.0

SG 1.01 1,003‑1.030

Dari data di atas, pasien memiliki beberapa hasil yang tidak normal.
Pemeriksaan pertama adalah pemeriksaan haemoglobin. Klien pada studi case
memiliki Hemoglogin (Hb) di bawah nilai normal yaitu 105 gr/dl (115-150 gr/dl). Sel
darah merah dibuat oleh sumsum tulang. Untuk mendapatkan sumsum untuk membuat
sel darah merah, ginjal membuat hormon yang disebut erythropoietin, atau EPO.
Ketika ginjal rusak, mereka mungkin tidak membuat cukup EPO. Tanpa EPO yang
cukup, sumsum tulang tidak membuat cukup sel darah merah, dan Anda mengalami
anemia. Dalam kebanyakan kasus, semakin rusak ginjal, semakin parah anemianya.
Secara umum, orang yang ginjalnya bekerja pada sepertiga atau kurang dari tingkat
normalnya dapat mengalami anemia (Staff, 2020). Mekanisme anemia pada CKD
bersifat multifaktorial. Pengurangan progresif kadar eritropoietin (EPO) endogen
secara klasik dianggap memainkan peran utama. Namun, faktor lain juga telah
dijelaskan berkontribusi terhadap anemia pada pasien CKD, seperti defisiensi besi
absolut karena kehilangan darah atau gangguan penyerapan besi, penggunaan
cadangan besi yang tidak efektif karena peningkatan kadar hepcidin, peradangan
sistemik karena CKD dan komorbiditas terkait, respons sumsum tulang yang berkurang
terhadap EPO karena racun uremik, rentang hidup sel darah merah yang berkurang,
atau defisiensi vitamin B12 atau asam folat (Portoles et al., 2021).
Pemeriksaan selanjutnya adalah sel darah putih. Dari data di dapatkan
bahwa sel darah putih pada pasien adalah 10.2 x 109 . Hal ini menunjukkan bahwa
sel darah putih mengalami kenaikan. Jumlah leukosit umumnya normal pada pasien
CKD tetapi ada perubahan fungsi.. Leukosit tersebut menyebabkan pertahanan
pasien CKD cenderung menurun yang dapat meningkatkan risiko infeksi bakteri
infeksi hingga empat kali lipat dari populasi yang sehat. (Kahdina et al., 2018).
Diketahui bahwa hilangnya fungsi ginjal sangat terkait dengan dua fitur yang
kontras. Pada satu sisi ada keadaan inflamasi yang tinggi pada pasien CKD, yang
disaksikan tingkat molekul pro-inflamasi dalam plasma; seperti Interleukin (IL)-1,
IL-6 dan Faktor nekrosis tumor (TNF)-α (Honda, Qureshi et al. 2006; Cohen,
Phillips et al. 2010), stres oksidatif (Locatelli, Canaud et al. 2003), dan aktivasi sel
imun seperti monosit. Peradangan yang sedang berlangsung ini menyebabkan
proses seperti aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. Di sisi lain ada
imunodefisiensi, yang menghasilkan kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi
(Sarnak dan Jaber 2000), peningkatan risiko terkait virus kanker (Stewart, Vajdic
et al. 2009) dan respons yang rendah terhadap vaksinasi (Robinson 2004). (Institutet,
2016)
Pemeriksaan ketiga adalah trombosit. Dari data didapatkan bahwa hasil
trombosit adalah 320 x 109 /l (125‑350 x 109 /l). Gagal ginjal akut digambarkan
sebagai sindrom dengan penurunan cepat dalam kemampuan ginjal untuk
menghilangkan produk limbah, mengatur keseimbangan asam-basa, dan mengatur
homeostasis air. Bila gangguan ini berlangsung lama dan memasuki fase kronis,
sekresi eritropoietin oleh organ ini menurun dan metabolisme toksik terakumulasi
dan menyebabkan perubahan hematologis meliputi penurunan HCT, MCV dan
RBC serta jumlah trombosit (Dorgalaleh et al., 2013). Dari hal tersebut, pada studi
kasus, pasien belum mengalami penurunan trombosit. Akan tetapi, menurut
Dorgalaleh et al. (2013) menyimpulkan bahwa rekomendasi untuk pasien gagal
ginjal kronis, untuk menurunkan risiko perdarahan adalah jumlah trombosit perlu
diperiksa secara rutin..
Pemeriksaan keempat adalah kreatinin. Hasil pemeriksaan menunjukkan
bahwa serum kreatinin pasien adalah 221,3 mol/l (53‑98 mol/l). Terjadi
peningkatan yang signifikan dari nilai normal. Konsentrasi plasma kreatinin dan
urea (yang sangat bergantung pada filtrasi glomerulus) mulai meningkat secara
hiperbolik seiring dengan penurunan GFR. Perubahan ini minimal sejak dini.
Ketika GFR turun di bawah 15 mL/menit/1,73 m2 (normal > 90 mL/menit/1,73 m2),
kadar kreatinin dan urea tinggi dan biasanya berhubungan dengan manifestasi
sistemik (uremia). Urea dan kreatinin bukan merupakan kontributor utama gejala
uremik; mereka adalah penanda untuk banyak zat lain (beberapa belum terdefinisi
dengan baik) yang menyebabkan gejala (Malkina, 2021). Kreatinin merupakan
hasil penguraian kreatin, yaitu senyawa yang mengandung nitrogen, yang terutama
terdapat di otot. Di setiap orang, jumlah kreatinin yang dihasilkan dari perputaran
kreatin cenderung tetap (konstan). Jumlah yang dihasilkan dan dibuang (ekskresi)
setara dengan massa otot dan biasanya lebih tinggi di laki-laki dibanding dengan
perempuan. Buangan (ekskresi) kreatinin merupakan indeks yang bermanfaat untuk
kegiatan (aktivitas) ginjal dan keseragaman pengumpulan air kemih (urin). Setiap
orang mengeluarkan sejumlah kreatinin setiap hari yang lebih bergantung pada
massa otot total daripada kegiatan (aktivitas) otot atau tingkat metabolisme protein
walaupun keduanya juga menimbulkan akibat (efek). (Steven LA,2006) (Sacher
RA, 2004). Kreatinin serum meningkat apabila fungsi ginjal menurun..(Sacher RA,
2004). Dari hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan serum kreatinin darah
menggambarkana pasien telah mengalami penurunan fungsi ginjal.
Pemeriksaan kelima adalah eGFR. Dari hasil pemeriksaan pasien
didapatkan eGFR 24,6ml/menit/1,73 m 2 dengan nilai normal >90
mL/menit/1,73m2. Laju filtrasi glomerulus (GFR) adalah jumlah cairan yang
disaring dari glomerulus ke dalam kapsul Bowman per satuan waktu. Ini
menunjukkan kondisi ginjal dan dapat digunakan untuk membantu memandu
manajemen dalam kasus seperti penyakit ginjal kronis.. (Dalal, Rajeev, 2021). Laju
filtrasi glomerulus dianggap sebagai pengukuran keseluruhan fungsi ginjal terbaik
dan berkorelasi baik dengan gangguan pada fungsi ginjal. Apabila terjadi kerusakan
glomerulus pada ginjal, akan menyebabkan penurunan GFR.
Pemeriksaan selanjutnya adalah Kalium. Kalium (K), kation utama di dalam
sel, berperan dalam menjaga osmolaritas seluler dan keseimbangan asam-basa,
serta transmisi stimulasi saraf, dan regulasi jantung dan fungsi otot. Baru-baru ini
juga ditunjukkan bahwa K memiliki efek antihipertensi dengan mempromosikan
ekskresi natrium, sementara itu juga menarik perhatian sebagai komponen penting
yang dapat menekan hipertensi yang berhubungan dengan asupan natrium yang
berlebihan. Karena sebagian besar K yang tertelan diekskresikan melalui ginjal,
penurunan fungsi ginjal merupakan faktor utama dalam peningkatan kadar serum,
dan nilai target untuk asupannya sesuai dengan tingkat disfungsi ginjal telah
ditetapkan Menurut Giligan S (2017) menyebutkan bahwa kelainan metabolisme
kalium (K) diinduksi oleh berbagai faktor. Namun, karena metabolisme K sebagian
besar diatur oleh ginjal, sebagian besar kasus hiper dan hipokalemia disebabkan
oleh mekanisme ginjal. Penurunan fungsi ginjal meningkatkan risiko
pengembangan metabolisme K yang abnormal (Yamada & Inaba, 2021). Pada tabel
di atas, hasil pemeriksaan pasien adalah 3,77 mmol/l (3,50‑5,30 mmol/l ). Hal ini
menunjukkan bahwa nilai Kalium pasien masih dalam batas normal.
Pemeriksaan ketujuh adalah natrium. Kumar S (1999) menyebutkan bahwa
penyakit ginjal kronis (PGK) menyebabkan disfungsi dalam mengatur homeostasis
air karena penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). (Lim et al., 2016). Pasien
dengan CKD berada pada tingkat yang lebih tinggi risiko hiponatremia daripada
populasi umum karena penurunan GFR dan regulasi tubulus.(Dhondup & Qian,
2017). Hal ini sesuai dengan hasil pasien. Data pasien menunjukkan hiponatremia,
yaitu 135,5 mmol/l (normal 137.0‑147.0 mmol/l).
Pemeriksaan selanjutnyanya adalah Chlorida. Hasil pemeriksaan pasien,
nilai Chlorida menunjukkan nilai 106,9 mmol/l (normal 96.0‑108.0 mmol/l ). Data
menunjukkan nilai normal. Pada pasien CKD, serum klorida yang lebih tinggi
berkaitan dengan penurunan eGFR yang sedikit lebih signifikan. Hal ini mungkin
menjadi biomarker yang berguna untuk memprediksi perkembangan CKD. Studi
lebih lanjut diperlukan untuk menentukan kausalitas. (Khatri et al., 2020)
Pemeriksaan ke sembilan adalah PO. Hasil pemeriksaan pasien
menunjukkan nilai 1,4 mmol/l (normal 0,85‑1,51 mmol/l ). Selama CKD, jumlah
dan massa nefron yang berfungsi di ginjal menurun, menyebabkan penurunan yang
sesuai dalam jumlah plasma, dan fosfor yang disaring. Ini diwakili oleh penurunan
perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR). Untuk mempertahankan ekskresi normal
kelebihan fosfor, jumlah fosfor yang diserap kembali di tubulus ginjal berkurang
(yaitu, ekskresi pecahan fosfor meningkat). Ekskresi fraksional fosfor dapat
diregulasi secara dramatis sehingga hanya sebagian kecil (∼10%) dari fosfor yang
disaring diserap kembali, dan konsentrasi fosfor serum dapat dipertahankan dalam
kisaran normal sampai fungsi ginjal sangat berkurang (eGFR <30 mL/menit /1,73
m2). (St-jules et al., n.d.). Dari data pasien. hasil menunjukkan masih dalam batas
normal.
Pemeriksaan kesepuluh adalah Ca atau Kalsium. Gagal ginjal diketahui
mengganggu sejumlah mekanisme homeostatis yang mengontrol serum kalsium
serum dan metabolisme tulang normal. Pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD)
telah ditandai gangguan metabolisme tulang dan mineral yang mengakibatkan
gangguan kompleks yang disebut gangguan tulang CKD-mineral (CKD-MBD).
Gangguan dimulai pada tahap awal CKD dan memburuk dengan penyakit ginjal
progresif. Perubahan biokimia CKD-MBD termasuk peningkatan faktor
pertumbuhan fibroblast-23 (FGF23) dan hormon paratiroid (PTH), penurunan 1,25-
dihidroksivitamin D (1,25D), peningkatan serum fosfat, dan penurunan serum. Di
hasil pasien, didapatkan bahwa hasil Ca adalah 2,3 mmol/l (normal 2,11‑2,52
mmol/l). Hal ini berarti kalsium masih terkontrol dengan normal.(Gallant & Spiegel,
2017).
Pemeriksaan kesebelas adalah Mg. Magnesium (Mg 2+ ) adalah kation
intraseluler terbanyak kedua dengan lebih dari 99% terletak di intraseluler (53%
pada tulang, 46,5% pada jaringan lunak) dan kurang dari 0,5% terletak ekstraseluler.
Sekitar 20-30% dari Mg 2+ . yang bersirkulasi terikat protein (terutama dengan
albumin), sedangkan 70-80% terikat bebas disaring oleh ginjal. Ginjal menyaring
sekitar 2.400 mg Mg2+setiap hari, di mana 100 mg diekskresikan dalam urin.
Tidak seperti Na + , K + , dan Ca 2+ , sebagian besar Mg 2+ tersaring (sekitar 70%)
adalah diserap kembali di TALH dan hanya sekitar 20% yang diserap kembali di
tubulus proksimal. Sisanya 5-10% disaring Mg2+ direabsorbsi di tubulus distal.
Hipomagnesemia pada pasien CKD dapat terjadi karena asupan yang tidak
memadai, penyerapan usus yang buruk (karena sindrom atau penggunaan
malabsorpsi) inhibitor pompa proton) dan kehilangan dari ginjal atau ekstrarenal
seperti diare kronis. (Dhondup & Qian, 2017). Ginjal memiliki peran penting dalam
homeostasis magnesium dan, meskipun penanganan magnesium sangat mudah
beradaptasi, kemampuan ini memburuk ketika fungsi ginjal menurun secara
signifikan. Pada penyakit ginjal kronis sedang (CKD), peningkatan ekskresi
fraksional magnesium sebagian besar mengkompensasi hilangnya laju filtrasi
glomerulus untuk mempertahankan kadar magnesium serum normal. (Messa, 2012).
Pemeriksaan pasien menunjukkan hasil laboratorium dalam batas normal yaitu 0,9
mmol/l (normal 0,75‑1,02 mmol/l ). Dari sini menandakan bahwa penyerapan
Mg2+ oleh ginjal masih berjalan dengan normal.
Pemeriksaan selanjutnya adalah PTH. Penyakit ginjal kronis (CKD)
dikaitkan dengan gangguan mineral dan tulang (CKD-MBD) yang dimulai pada
awal perjalanan penyakit dan memburuk dengan perkembangannya. Kelainan
biokimia serum awal utama adalah peningkatan faktor pertumbuhan fibroblas 23
(FGF23) dan hormon paratiroid (PTH) dan penurunan 1,25 dihidroksi vitamin D
(kalsitriol) dan -Klotho (Klotho) terlarut, memungkinkan kalsium dan fosfat serum
tetap normal. (Drüeke TB, 2021). Hasil pasien menunjukkan peningkatan yang
signifikan, yaitu 475,1 pg/ml (normal 15-65 pg/ml).
Pemeriksaan selanjutnya adalah ANA dan DsDNA. ANA dan DsDNA pada
pasien PSS adalah untuk mendeteksi adanya penyakit autoimun.hasil pemeriksaan
ANA test 1:100 dan DsDNA 13,5 (0.0-20). Dari hasil pemeriksaan didapatkan
adanya kelainan autoimun. Pada kasus PSS terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
atau sistem imun menyerang sel-sel ginjal yang sehat, sehingga ginjal tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.(Evans et al., 2016)
Pada pemeriksaan urin pada pasien didapatkan hasil sebagai berikut:
Pemeriksaan protein 453,6 (nilai normal 150mg/24 jam) artinya terjadi proteinuria
+4 menandakan penurunan fungsi ginjal . Albumin 160,2 (normal <30 mg/24 jam)
menunjukkan adanya albuminuria menandakan adanya kerusakan ginjal. Upro:UCr
2.990.3 (0.00-100.00 mg/g) dan ALBU:CrU 1.797.3 (0.00-30.00mg/gcr) . dari hasil
pemeriksaan tersebut didapatkan semua hasil melebihi batas normal.Hal ini
menunjukkan adanya kerusakan fungsi ginjal. Jadi pada pasien ini, indikator adanya
CKD stage V adalah peningkatan BUN, kreatinin, penurunan klirens kreatinin dan
adanya proteinuria ,albumiuria. (Kemenkes RI, 2011).
Perkembangan hasil patologi klinik setelah mendapatkan tindak lanjut

Daftar Pustaka

WOC
2.2 WOC

Sindrom Sjorgen

inflamasi pada ginjal Xerostomia (Produksiair


liur menurun)
Imunosupresi
Terapi farmakologi
Gloerulonephritis kronis
dan pieolonefritis
Nefritis Interstisial Kronis
Respon inflamasipada
Kerusakan fungsi Produksi di aliran ginjal
Kerusakan glomerulus darah memburuk MK: DEFISIT
ginjal Tidak tahu kondisidan
pada ginjal PENGETAHUAN
pengobatan
Peningkatan kadar
Kreatinin
Penurunan laju GFR Lesi pada ginjal
MK: ANSIETAS

Retensi cairan

Terdapat masalah
Gangguan pada sistem
pencernaan
mekanisme regulasi

MK: RISIKO
Disfungsi Ginjal. Malnutrisi MK: DEFISIT
KELEBIHAN CAIRAN Peningkatan kadar Produksi eritorisit NUTRISI
BUN dan Kreatinin. menurun

Retensi Na+

WBC meningkat
MK: RISIKO
Hemoglobin menurun
KETIDAKSEIMBANGAN
dan Anemia MK: RISIKO INFEKSI
ELEKTROLIT
Hipersensivitas pada
area pinggang > 6 MK: RISIKO PERFUSI
bulan Suplai oksigen ke
PERIFER TIDAK
jaringan menurun EFEKTIF

MK: NYERI KRONIS


MK: RISIKO
KELETIHAN

Edema
Edema pada paru
MK : RISIKO

PERFUSI RENAL
TIDAK EFEKTIF
MK: HIPERVOLEMIA
MK: GANGGUAN
PERTUKARAN GAS
Penurunan produksi
urine

MK: GANGGUAN
ELIMINASI URINE
2.3 ANALISA DATA

NO. KELOMPOK DATA PENYEBAB MASALAH


KEPERAWATAN

1 DS : Defisit Nutrisi
Sindrom Sjorgen
Pasien mengatakan (D.0019)
mempunyai riwayat riwayat
xerostomia yang panjang
Produksi air liur
menurun dan infamasi
DO :
pada ginjal
● pasien memiliki berat
badan 47,0 kg
● indeks massa tubuh 18,3
● Mukosa mulut kering
● Mengalami gangguan Neflitis Intestinal Kronis
fungsi pengecapan
● Peningkatan BMR akibat
dari peningkatan hormon
paratiroid (PTH 475,1)
● Td 123/77 Kerusakan fungsi ginjal
● N 86
● ALB urin, mg/24 h (<30)
160.2

Peningkatan kadar
kreatinin

Terdapat masalah pada


sistem pencernaan

Malnutrisi
Defisit Nutrisi

2. DS: Sindrom Sjorgen Risiko


ketidakseimbangan
Pasien mengatakan elektrolit (D.0037)
mempunyai riwayat riwayat
xerostomia dan sindrom mata
kering yang panjang Infamasi pada ginjal

DO:
● Pasien mengalami
anemia ringan (Hb Neflitis Intestinal Kronis
(115‑150) = 131)
● Kadar kreatinin darah
229,0 mol/l (53–98 mol/l)
● Kadar ureum 11,2 mmol/l
(2,86-7,14 mmol/l) Disfungsi ginjal
● Kadar kolesterol total 6,3
mmol/l (3–5,2 mmol/l)
● Protein Urin, mg/24 h
(<150) 453.6
● PTH, pg/ml (15‑65) Risiko
475.1 ketidakseimbangan
● ALB urin, mg/24 h (<30) eletrolit
160.2

3. DS: Sindrom Sjorgen Resiko Infeksi


(D.0142)
Pasien mengatakan
mempunyai riwayat nyeri
ringan selama 6 bulan pada
pinggang dan kaki Respon inflamasi pada
ginjal

DO
● wbc (4‑10) = 11,0
(meningkat) Ketidak adekuatan
● Pasien mempunyai pertahanan tubuh
gangguan pada sistem sekunder: Imunosupresi
kekebalan tubuhnya
● Hasil pemeriksaan ginjal :
tedapat inflamasi kronik
yang parah
● Td 123/77 WBC cenderung
● N 86 meningkat

2.4 DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko Infeksi dengan faktor risiko ketidak adekuatan pertahanan tubuh


sekunder: Imunosupresi (Kode diagnosa: 0142)
2. Risiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor risiko disfungsi ginjal
(Kode diagnosa: D.0037)
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan malnutrisi (Kode diagnosa: D.0019)
2.5 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO. DIAGNOSA LUARAN (SLKI) INTERVENSI (SIKI)


KEPERAWATAN

1 Defisit Nutrisi Tujuan :


Pemantauan Nutrisi (I. 03123)
(D.0019) Setelah dilakukan
asuhan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam,
masalah keperawatan 1. Identifikasi faktor yang
defisit nutrisi teratasi, mempengaruhi asupan gizi
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi perubahan BB
3. Monitor hasil laboratorium
Status Nutrisi
(L.03030) Terapuetik

1. Serum albumin 4. Timbang dan hitung perubahan


menurun BB secara berkala sesuai interval
2. Membran mukosa pamantauan yang disesuaikan
membaik dengan kondisi pasien
3. BB membaik 5. Ukur antropometrik komposisi
4. IMT membaik tubuh
6. Dokumentasikan hasil

Edukasi

7. Jelaskan tujuan dan infromasikan


hasil pemantauan

Manajemen Nutrisi (I.03119)

Observasi

1. Identifikasi status nutrisi


2. Monitor asupan makanan

Terapuetik

3. Fasilitasi penentuan pedoman


diet
4. Berikan makanan sesuai kondisi
status nutrisi pasien
5. Lakukan oral gygiene bila perlu
6. Berikan suplemen jika
diperlukan
Edukasi

7. Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

8. Kolaborasi dengan ahli gizi


untuk penentuan asupan nutrisi
yang diperlukan
9. Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan jika diperlukan
2 Resiko Tujuan : Pemantauan Elektrolit (I.03122)
Ketidakseimbanga
n Elektrolit Setelah dilakukan Observasi
asuhan keperawatan
(D.0037) selama 1x24 jam, 1. Identifikasi kemungkinan
masalah keperawatan penyebab & ketidakseimbangan
keseimbangan elektrolit
elektrolit meningkat, 2. Monitor kadar elektrolit serum
dengan kriteria : 3. Monitor kehilangan elektrolit,
jika perlu
1. Serum natrium
meningkat Terapeutik

2. Serum kalium 4. Atur interval waktu


meningkat pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
3. Serum klorida
meningkat 5. Dokumentasikan hasil
pemantauan
4. Serum kalsium
meningkat Edukasi

5. Serum 6. Jelaskan tujuan dan


magnesium prosedur pemantauan
meningkat
7. Informasikan hasil
6. Serum fosfor pemantauan, jika perlu.
meningkat

Manajemen Elektrolit (I.03102)

Observasi

1. Monitor efek samping pemberian


elektrolit suplemen

Terapeutik

2. Berika cairan, jika perlu


3. berikan diet yang tepat
4. pasang akses intravena, jika
perlu

Edukasi

5. Edukasi jenis, penyebab dan


penanganan ketidakseimbangan
elektrolit
Kolaborasi

6. Kolaborasi pemberian suplemen


elektrolit sesai indikasi

1 Resiko Infeksi Tujuan : Pencegahan Infeksi (I.14539)

(D.0142) Setelah dilakukan Observasi


asuhan keperawatan 1. Monitor tanda dan gejala
selama 1x24 jam, infeksi
masalah keperawatan Terapeutik
Status Imun 2. Berikan perawatan untuk
(L.14133) infeksi yang dialami
3. pertahankan teknin apseptik
1. Integritas mukosa pada pasien
membaik 4. cuci tangan sebelum dan
2. Titer antibodi sesudah kontak dengan
membaik lingkungan pasien
3. Infeksi berulang Edukasi
menurun
4. Penurunan BB 5. jelaskan tanda dan gejala
menurun infeksi
5. Sel darah putih 6. ajarkan cara meningkatkan
membaik nutri
7. ajarkan cara meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
Tingkat Infeksi
(L.14137) 8. Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika diperlukan
1. Nyeri menurun
2. Kultur darah Monitor TTV (I…..)
membaik
3. Kultur urine Observasi
membaik
1. Monitor tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu, oksimetri
nadi, tekanan nadi
2. identifikassi penyebab
perubahan yang terjadi
Terapeutik
3. atur interval pemantuan
4. dokumentasikan hasil
Edukasi
5. jelas tujuan dari prosedur
6. informasikan hasil bila perlu
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

PSS (Sindrom Sjögren Primer) adalah kondisi umum yang melibatkan


berbagai organ. Kerusakan ginjal terkait PSS mungkin asimtomatik atau hanya
muncul sebagai gangguan elektrolit. Menurut case report didapatkan beberapa data
pemeriksaan yang abnormal. Data laboratorium menunjukkan Hemoglobin, g/l
(115-150) 105, Creatinine, µmol/l 221.3, eGFR, ml/min/1.73 m2 (CKD-EPI) 24.6,
PTH, pg/ml (15-65) 475.1, Protein urine mg/24 h (<150) 453.6, ALB urin mg/24 h
(<30) 160.2. Riwayat pasien sebelumnya terdapat keluhan nyeri ringan selama 6
bulan di pinggang dan kaki, xerostomia, dan sindrom mata kering yang Panjang.
Pemeriksaan fisik didapati batu ginjal. Pemeriksaan mikroskop cahaya
komprehensif, imunofluoresensi dan mikroskop elektron menunjukkan adanya
nefritis interstisial kronis yang parah. ultrasonografi ginjal dilakukan menunjukkan
gema abnormal dari ginjal bilateral. serta beberapa kalkuli atau kalsifikasi pada
ginjal bilateral. Sehingga dapat diangkat masalah keperawatan yang dapat diangkat
yaitu defisit nutrisi Risiko gangguan elektrolit, dan risiko infeksi.
3.2 Saran

Pasien yang menunjukkan PSS dapat disarankan menjalani tes fungsi ginjal,
pemeriksaan urin, USG ginjal, gas darah arteri, pH urin diikuti dengan tes keasaman
urin dan biopsi ginjal (jika ada indikasi) (Jain et al, 2018). Pengkajian tambahan
pada pasien seperti. Tanda gejala lain yang dapat dikaji pada pasien PSS adalah
disfagia, artralgia, mialgia, hipotiroidisme, dan manifestasi kulit, termasuk ruam
non-blenching (Arman et al 2017). Sindrom Sjögren juga bisa menjadi penyebab
sekunder dari autoimun lainnya. kondisi umum, termasuk, namun tidak terbatas
pada, lupus sistemik eritematosus (SLE), rheumatoid arthritis (RA), dan penyakit
sistemik sklerosis (skleroderma) (Arman et al 2017). Direkomendasikan bahwa
pasien dengan PSS diskrining setidaknya dua kali setahun, termasuk protein urin,
pH urin, tekanan osmotik urin, kreatinin serum, laju filtrasi glomerulus dan kadar
elektrolit (Liu X et al, 2019).
Daftar Pustaka

Aiyegbusi, O., McGregor, L., McGeoch, L., Kipgen, D., Geddes, C. C., & Stevens,
K. I. (2020). Renal Disease in Primary Sjögren’s Syndrome. Rheumatology
and Therapy, 1-18.
Arman, F., Shakeri, H., Nobakht, N., Rastogi, A., & Kamgar, M. (2017). A case of
kidney involvement in primary Sjögren’s syndrome. The American
journal of case reports, 18, 622.
Dalal, Rajeev, et al. (2021). Physiology, Renal Blood Flow and Filtration. NCBI.
Dhondup, T., & Qian, Q. (2017). Acid-Base and Electrolyte Disorders in Patients
with and without Chronic Kidney Disease : An Update. 55905, 136–148.
https://doi.org/10.1159/000479968
Dorgalaleh, A., Mahmudi, M., Tabibian, S., Khatib, Z. K., Tamaddon, G. H.,
Moghaddam, E. S., Bamedi, T., Alizadeh, S., & Moradi, E. (2013). Anemia
and thrombocytopenia in acute and chronic renal failure. International
Journal of Hematology-Oncology and Stem Cell Research, 7(4), 34–39.
Drüeke TB. (2021) Hyperparathyroidism in Chronic Kidney Disease. In: Feingold
KR, Anawalt B, Boyce A, et al., editors. Endotext [Internet]. South
Dartmouth (MA): MDText.com, Inc.; 2000-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK278975/
Du, T., Liu, X., Ye, W., Ye, W., & Li, C. (2020). Primary Sjögren syndrome-
associated acute interstitial nephritis and type 3 renal tubular acidosis in a
patient with thin basement membrane nephropathy: A case
report. Medicine, 99(32).
Evans, R. D., Laing, C. M., Ciurtin, C., & Walsh, S. B. (2016). Tubulointerstitial
nephritis in primary Sjögren syndrome: clinical manifestations and response
to treatment. BMC musculoskeletal disorders, 17(1), 1-9.
François, H., & Mariette, X. (2016). Renal involvement in primary Sjögren
syndrome. Nature Reviews Nephrology, 12(2), 82-93.
Gallant, K. M. H., & Spiegel, D. M. (2017). Calcium Balance in Chronic Kidney
Disease. 214–221. https://doi.org/10.1007/s11914-017-0368-x
Institutet, K. (2016). CHRONIC KIDNEY DISEASE : A COMPLEX NETWORK OF
LEUKOCYTE.
Jain, A., Srinivas, B. H., Emmanuel, D., Jain, V. K., Parameshwaran, S., & Negi,
V. S. (2018). Renal involvement in primary Sjogren’s syndrome: a
prospective cohort study. Rheumatology international, 38(12), 2251-
2262.
Kemenkes RI. (2011). Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementrian Kesehatan
RI, January, 1–83.
Khatri, M., Zitovsky, J., Lee, D., Nayyar, K., Fazzari, M., & Grant, C. (2020). The
association between serum chloride levels and chronic kidney disease
progression : a cohort study. 1–10.
Lim, L. M., Tsai, N. C., Lin, M. Y., Hwang, D. Y., Lin, H. Y. H., Lee, J. J., Hwang,
S. J., Hung, C. C., & Chen, H. C. (2016). Hyponatremia is Associated with
Fluid Imbalance and Adverse Renal Outcome in Chronic Kidney Disease
Patients Treated with Diuretics. Scientific Reports, 6(March), 1–10.
https://doi.org/10.1038/srep36817
Liu X, Li X, Li X, Li Z, Zhao D, Liu S, Zhang M, Zhang F, Zhu P, Chen J, dkk:
Kemanjuran dan keamanan total glukosida peony dalam pengobatan
sindrom Sjögren primer: Uji klinis multi-pusat, acak, tersamar ganda,
terkontrol plasebo. Klinik Reumatol. 38:657–664. 2019.
Malkina, A. (2021). Chronic Kidney Disease. MSD Manual Professional Version
Messa, P. (2012). Magnesium in chronic kidney disease Stages 3 and 4 and in
dialysis patients. https://doi.org/10.1093/ndtplus/sfr166
Portoles, J., Martin, L., Broseta, J. J., & Cases, A. (2021). Anemia in Chronic
Kidney Disease: From Pathophysiology and Current Treatments, to Future
Agents. https://doi.org/https://doi.org/10.3389/fmed.2021.642296
Sacher RA dan Person RA (2004). Penilaian Laboratorium Cairan Tubuh, Dalam
Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 11, Jakarta, Panerbit
Buku Kedokteran, EGC, 600–3
St-jules, D. E., Goldfarb, D. S., Pompeii, M. Lou, & Sevick, M. A. (n.d.). Phosphate
Additive Avoidance in Chronic Kidney Disease. 101–106.
Staff, H. (2020). Anemia of Chronic Kidney Disease. University Of Michigan
Health. https://www.uofmhealth.org/health-library/abr9104
Steven LA (2006). Assessing Kydney Function – Measured and Estimated
Glomerular Filtration Rate, in The New England Journal of Medicine, june
8, 354(23): 2473–83 (Review Article)
Yamada, S., & Inaba, M. (2021). Potassium metabolism and management in
patients with ckd. Nutrients, 13(6), 1–19.
https://doi.org/10.3390/nu13061751
Yu, Y., Zheng, B., Huang, J., Deng, D., & Jing, X. (2019). Case report on a
32-year-old female with elevated serum creatinine levels and primary
Sjögren's syndrome-chronic interstitial nephritis. Experimental and
therapeutic medicine, 18(6), 4363-4367.

Anda mungkin juga menyukai