Disusun oleh :
Kelompok I
1. Nining (220606214) 17. siti badriah (220606447)
2. Sholehah fitriani (220606056) 18. Dwi ramadhanti (220606012)
2
i
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah tuhan semesta alam, dimana berkat dan rahmat dan hidayahnya
kami bisa menyelesaikan proses penyusunan makalah ini. Tidak lupa shalawat beserta salam
semoga terlimpah curahkan kepada nabi kita semua, yaini Muhammad SAW, kepada para
sahabat, para tabinwaltabiat, para keluarganya dan semoga sampai pada kita selalu umatnya.
Makalah ini berisi materi mengenai, “Manajemen pada resiko bunuh diri dan kekerasan
oleh pasangan”, makalah ini berisi 3 bab dengan rincian, bab 1 adalah pendahuluan, bab 2 adalah
tinjauan teori dan bab 3 adalah penutup, kami juga tidak lupa untuk mencantumkan sumber
referensi kami dalam daftar pustaka di bagian paling belakang.
Semoga Makalah yang kami buat ini bisa bermanfaat bagi para teman-teman sekalian,
serta bisa diterima sebagai tugas makalah yang baik, bagi dosen yang bersangkutan, Kami sangat
berterimakasih jika ada kritik maupun saran untuk pembuatan makalah ini karena dengan hal itu
kami bisa membuat makalah lebih baik lagi.
i
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I...........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG......................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..................................................................................................2
C. TUJUAN...........................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................3
LANDASAN TEORI...................................................................................................................3
ii
2.11 Faktor faktor yang mempengaruhi coping..................................................................18
BAB III......................................................................................................................................21
PENUTUP.................................................................................................................................21
A. KESIMPULAN.................................................................................................................21
B.SARAN..............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bunuh diri merupakan tindakan yang sangat personal, pribadi dan rumit. Seseorang yang
melakukan tindakan bunuh diri menunjukkan bahwa diriny amengalami kegagalan dalam
mengelola dirinya sendiri. Masalah yang muncul dalam kehidupan seseorang tidak diselesaikan
dengan tuntas, tetapi justru menggunakan cara alternatif yaitu mengakhiri hidupnya. Oleh karena
itu, gejala awal bunuh diri adalah seseorang mengalami gejala depresi, dimana seseorang tidak
mampu untu kmengelola dirinya sendiri dengan baik. Perilaku bunuh diri merupakan fenomena
yang marak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Kisarantahun 2000-2012,
WHO (2014) memperkirakan ada lebih dari 800.000 orang yang meninggal akibat bunuh diri
setiap tahunnya. Menurut WHO, kasus bunuh diri merupakan peringkat ketiga yang menjadi
penyebab kematian pada usia 15-44 tahun pada pria dan wanita. Indonesia menempatiperingkat
137 dari 172 negara yang memiliki kasus bunuh diri terbanyak di dunia. Berdasarkan data
estimasi WHO (2014), pada tahun 2012 angka bunuh diri di Indonesia mencapai 4,3% per
100.000 populasi.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. (Keliat, Ana
Budi. Dkk, 2009). Perilaku kekerasan merupakan salah satugejala yang sering terjadi pada pasien
gangguan jiwa (Skizofrenia). Pada perilaku kekerasan ditandai dengan melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, sepertimencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Selain itu dalam psikologis, seseorang yang mengalami gangguan jiwa dengan perilaku
kekerasan dapat diketahui dengan emosi yang tinggi, marah dan mudah tersinggung pada orang
lain. Pada spiritual dirinya merasa sangat berkuasa dan tidak mempunyai moral (Keliat,2012).
Coping adalah proses dalam mengelola tuntutan-tuntutan yang datang baik berasal dari
dalam maupun dari luar diri individu yang dinilai dapat membebani atau melebihi kemampuan
individu. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Lazarus dkkdalam Taylor (1999) , Coping
meliputi usaha-usaha yang bukan saja terpusat pada mental tetapi juga perilaku untuk mengelola
( seperti menguasai, mentoleransi, meminimalisirkan) tuntutan-tuntutan yang datang dari dalam
dan dari lingkungan.
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
- Untuk Mengetahui dan Memahami apa definisi Bunuh diri dan perilaku
kekerasaan
- Mengetahui dan Memahami ApaTipe/jenis perilaku bunuh diri dan perilaku
kekerasan
- Mengetahui dan Memahai Apa saja yang mempengaruhi factor-faktor Bunuh diri
dan perilaku kekerasan
- Mengetahui dan Memahami Bagaimana Manajemen pada resiko bunuh diri dan
kekerasan oleh pasangan
- Untuk Mengetahui dan Memahami apa definisi Coping stress
2
BAB II
LANDASAN TEORI
3
g. Bunuh diri ialah suatu derajat sentral dari keputusan pelaku yang memutuskan untuk
memprakarsai satu perbuatan mengarah pada kematian sendiri.
h. Bunuh diri adalah derajat ketegasan dan ketegaran keputusan untuk memprakarsai perbuatan
yang mengarah pada kematian sendiri.
i. Bunuh diri ialah kemauan berbuat mengarah pada kematian sendir
j. Bunuh diri ialah derajat efektifitas satu perbuatan yang disengaja dan bertujuan, yang
mengakibatkan kematian.
k. Bunuh diri ialah pengetahuan seorang mengenai relasi dirinya dengan kondisi obyektif dari
kematian.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasanya bunuh diri adalah usaha
seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri dengan tujuan untuk meniadakan atau menghilangkan
nyawanya sendiri, hal ini biasanya dilakukan atas dasar motivasi-motivasi tertentu seperti
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. (Keliat, Ana
Budi. Dkk, 2009).Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang sering terjadi pada pasien
gangguan jiwa (Skizofrenia)..Pada perilaku kekerasan ditandai dengan melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, seperti mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Selain itu dalam psikologis, seseorang yang mengalami gangguan jiwa dengan perilaku
kekerasan dapat diketahui dengan emosi yang tinggi, marah dan mudah tersinggung pada orang
lain. Pada spiritual dirinya merasa sangat berkuasa dan tidak mempunyai moral (Keliat,2010).
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang
dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan merupakan suatu komunikasi atau proses
penyampaian pesan individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaian
pesan bahwa ia “tidak setuju, merasa tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituntut
atau diremehkan” (Yosep, 2011).
Joyal (2008) menambahkan bentuk perilaku kekerasan yang dilakukan seseorang dapat
berupa kekerasan verbal, kekerasan terhadap diri sendiri, benda dan kekerasan terhadap orang
lain. Berdasarkan pernyataan tersebut perilaku 9 kekerasan dapat disimpulkan sebagai bentuk
perilaku agresi yang merupakan respon maladaptif dari kemarahan seseorang dengan disertai
4
hilangnya kontrol diri yang berupa kekerasan verbal, kekerasan terhadap diri sendiri, benda dan
kekerasan terhadap orang lain
Sosiolog Emile Durkheim (1897, 1951) membedakan bunuh diri menjadi empat jenis
yaitu : (Upe, 2010:99)
a. Bunuh diri egoistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa
kepentingan individu lebih tinggi dari pada kepentingan kesatuan sosialnya,
b. Bunuh diri altruistik, yaitu bunuh diri karena adanya perasaan integrasi antar sesama individu
yang satu dengan yang lainnya sehingga menciptakan masyarakat yang memiliki integritas
yang kuat, misalnya bunuh diri harakiri di Jepang,
c. Bunuh diri anomi, yaitu tipe bunuh diri yang lebih terfokus pada keadaan moral dimana
individu yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya,
d. Bunuh diri fatalistik, tipe bunuh diri yang demikian tidak banyak dibahas oleh Durkheim.
pada tipe bunuh diri anomi terjadi dalam situasi di mana nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat melemah, sebaliknya bunuh diri fatalistik terjadi ketika nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat meningkat dan terasa berlebihan.
Menurut Kartono (2000:145) bunuh diri dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu :
a. Bunuh diri konvensional, adalah produk dari tradisi dan paksaan dari opini umum untuk
mengikuti kriteria kepantasan, kepastian sosial dan tuntutan sosial. Misalnya harakiri yang
dilakukan di Jepang, mati obong yang dilakukan semasa kerajaan jawa-bali untuk
menunjukkan kesetian pada suami yang telah meninggal ataupun Suttee atau membakar diri
sendiri yang dilakukan oleh janda di India tengah pada saat penguburansuaminya. bunuh diri
ini sudah banyak yang dihapuskan, sebagian dipengaruhi bangsa-bangsa lain atau oleh
tekanan bangsa lain, dan sebagian lagi karena adanya banyak perubahan pada kondisi-kondisi
sosial.
b. Bunuh diri personal, bunuh diri ini banyak terjadi pada masa modern, karena orang merasa
5
lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan dan tabu perilaku terentu. Orang tidak ingin
terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk memecahkan
kesulitan hidupnya. Sebaliknya, mereka mencari jalan singkat dengan caranya sendiri, yaitu
bunuh diri untuk mengatasi kesulitan hidupnya, atas keputusannya sendiri. Karena itu
peristiwa bunuh diri adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri
terhadap tekanan-tekanan sosial dan tuntutan-tuntutan hidup.
Selain itu juga terdapat bunuh diri yang dilakukan dengan adanya bantuan dari seorang
dokter atau tenaga medis, bunuh diri ini disebut Euthanasia, yaitu tindakan menghilangkan rasa
sakit pada penderita penyakit yang sulit diobati atau menderita sakit keras.Ada dua tipe
Eutanasia yaitu Eutanasia aktif dan Eutanasia pasif. dan Eutanasia aktif terjadi apabila
kematian disebabkan oleh suatu usaha yang dengan sengaja dilakukan untuk mengakhiri hidup
seseorang, seperti dengan injeksi obat yang mematikan dan Eutanasia pasif terjadi ketika
seseorang diizinkan mati dengan mencabut perawatan yang tersedia, seperti perlengkapan terapi
penopang hidup misal mencabut alat bantu pernafasan. (Santrock, 2002:264) Hal ini bermula
sekitar awal tahun 1990-an ketika seorang dokter asal Michigan, Jack Kevorkian membantu
seorang wanita asal Oregon berusia 54 tahun yang menderita Alzheimer tahap awal, suatu
penyakit otak degeneratif dan fatal, dalam kondisi belum menggalami kerusakan fisik yang
serius, ia dibantu Kevorkian untuk menekan tombol pada sebuah mesin yang dirancang
Kevorkian untuk menyuntikan obat yang menciptakan kondisi tidak sadar dan dosis mematikan
potasium klorida yang menghentikan denyut jantungnya. (Egan, 1990) selama sepuluh tahun ia
berperan aktif membantu seratus orang yang menggalami penyakit mematikan mengakhiri hidup
mereka, dari sini kemudian diketahui banyak praktek-praktek dokter yang mencabut kabel dari
pasien yang telah mati otaknya, namun tetap bertahan hidup secara fisik dengan menggunakan
peralatan yang canggih. (Davison. 2006:436)
Perilaku atau respon kemarahan dapat berflutuatif dalam rentang adaptif sampai maladaptif.
a. Perilaku asertif yaitu mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau
6
meyakiti orang lain, hal ini dapat menimbulkan kelegaan pada individu
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang tidak realistis
atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan.
c. Pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan marah
yang sekarang dialami, dilakukan dengan tujuan menghindari suatu tuntunan nyata.
d. Agresif merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tinggi atau ketakutan / panik. Agresif
memperlihatkan permusuhan, keras dan mengamuk, mendekati orang lain dengan ancaman,
memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya klien dapat mengontrol perilaku
untuk tidak melukai orang lain.
e. Kekerasan sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk. Perilaku kekerasan ditandai dengan
menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman, melukai pada tingkat
ringan sampai pada yang paling berat. Klien tidak mampu mengendalikan diri.
Penggunaan alkohol dan narkotik merupakan factor yang sangat penting dalam
percobaan bunuh diri, hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa
7
penggunaan narkotik dan obat- obatan lainnya iku ambil bagian dalam kasus bunuh diri
denganprosentase antara 25% sampai 55%. (Murphy, 2000. Dalam Husain,2005:73)
Meskipun hubungan antara krisis kepribadian dan bunuh diri belum diyakini secara
umum, tapi beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa krisis kepribadian merupakan
faktor penting dalam melakukan percobaan bunuh diri. (Linehan et al, 2000) Krisis
kepribadian didapatkan pada 40%-53% dari orang-orang yang melakukan percobaan bunuh
diri. (Brent et al, 1994 ; Lesage et al, 1997 ; Roy&Draper, 1996)
Para pakar yang akhir-akhir ini meneliti bunuh diri secara biologis menyatakan
bunuh diri memiliki kesiapan-kesiapan genetis. Meskipun tindakan bunuh diri yang
dilakukan salah satu anggota keluarga atau kerabat bukanlah sebab langsung bagi bunuh
diri, namun para anggota keluarga ini lebih rentan terhadap bunuh diri dari pada yang lain.
Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa depresi dan penyakit-penyakit lainnya memiliki
kesiapan genetis.Jika tidak mendapatkan penanganan, penyakit-penyakit ini bisa jadi
mengakibatkan tindakan bunuh diri.
Revolusi ekonomi dan teknologi yang terjadi di dunia telah membawa dampak
positif dan negatif, disengaja dan tidak sengaja, baik dalam bidang ekonomi, sosial,
8
kejiwaan, politik dan budaya.Semua ini mempengaruhi kesehatan penduduk dunia, diantara
permasalahan serius yang dihadapi dunia secara bersama adalah semakin bertambahnya
jumlah pengangguran.Krisis moneter dan ekonomi di dunia mengakibatkan bertambahnya
pengangguran dan menimbulkan bahaya yang serius.
g. Kondisi keluarga
Berita tentang bunuh diri kadang dapat memicu tindakan bunuh diri, terutama bagi
orang-orang yang memang telah mempersiapkan diri untuk melakukannya. Ketika mereka
tahu bahwa orang yang mati bunuh diri sebelumnya hidup dengan posisi dan keadaan yang
sama dengan yang mereka alami, maka itu bisa mendorong mereka untuk meniru dan
melakukan perbuatan yang sama.
A. Faktor Predisposisi
9
mendapat perilaku kekerasan cenderung saat dewasa menjadi pelaku perilaku
kekerasan
b) Perilaku. 7 Kekerasan didapat pada saat setiap melakukan sesuatu maka kekerasan
yang diterima sehingga secara tidak langsung hal tersebut akan diadopsi dan
dijadikan perilaku yang wajar.
c) Sosial Budaya Budaya yang pasif – agresif dan kontrol sosial yang tidak pasti
terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah kekerasan adalah hal yang
wajar
d) Bioneurologis. Beberapa berpendapat bahwa kerusakan pada sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal, dan ketidakseimbangan neurotransmitter ikut
menyumbang terjadi perilaku kekerasan.
B. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan
(Yosep, 2009):
a) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi. c.
c) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
d) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
e) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme
dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
10
2.6 manajemenpada resiko bunuh diri dan kekerasan oleh pasangan
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien resiko bunuh diri salah
satunya adalah dengan terapi farmakologi.Menurut (videbeck, 2008), obat-obatan yang
biasanya digunakan pada klien resiko bunuh diri adalah SSRI (selective serotonine
reuptake inhibitor) (fluoksetin 20mg/hari per oral), venlafaksin (75-225mg/hari per oral),
nefazodon (300-600 mg/hari per oral), trazodon (200-300 mg/hari per oral) dan
bupropion (200-300 mg/hari per oral).Obat-obat tersebut sering dipilih karena tidak
beresiko letal akibat overdosis.
2. Penatalaksaan keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian pada klien dengan resiko bunuh diri selanjutnya petugas
kesehatan dapay merumuskan diagnose dan intervensi yang tepat bagi klien. Tujuan
dilakukannya intervensi pada klien dengan resiko bunuh diri adalah (Keliat,2009) :
Menurut Stuart dan Sundeen (1997, dalam Keliat, 2009-13) mengidentifikasi intervensi
11
utama pada klien untuk perilaku bunuh diri, yaitu :
1) Melindungi
Merupakan intervensi yang paling penting untuk mencegah klien melukai dirinya.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah tempatkan klien di tempat yang aman, bukan
diisolaso dan perlu dilakukan pengawasan, temani klien terus-menerus sampai klien
dapat dipindahkan ke tempat yang aman dan jauhkan klien dari semua benda yang
berbahaya.
Klien yang ingin bunuh diri mempunyai harga diri yang rendah.Bantu klien
mengekspresikan perasaan positif dan negative.Berikan pujian pada hal yang positif.
Petugas kesehatan perlu mengkaji koping yang sering dipakai klien.Berikan pujian
penguatan untuk koping yang konstruktif.Untuk koping yang destruktif perlu
dimodifikasi atau dipelajari koping baru.
4) Menggali perasaan
Untuk itu tenaga kesehatan mempunyai peran menggerakkan system social klien,
yaitu keluarga, teman dekat atau lembaga pelayanan di masyrakat agar dapat
mengontrol prilaku klien.
12
a) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan meminta
bantuan dari keluarga atau teman.
b) Meningkatkan harga diri klien, dengan cara :
Konflik yang muncul di dalam rumah tangga antara suami dan istri tersebut tentu
membutuhkan penyelesaian.Salah satu upaya untuk menyelesaikan konfil adalah dengan
pendekatan manajemen konflik.Manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil tertentu yang
mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik.Manajemen
konflik merupakan serangkaian aksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik.
Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar
dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentinga n (interest) dan interpretasi. Menurut robbins,
manajemen konflik adalah tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasikan, digerakkan
dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik. Manajemen konflik
harus dilakukan sejak pertama kali konflik mulai tumbuh. Sangat dibutuhkan kemampuan
manajemen konflik, antara lain melacak berbagai factor positif pencegahan konflik daripada
melacak factor negative yang mengancam konflik.
Berdasarkan beberapa defenisi mengenai manajemen konflik, dapat ditarik kesimpulan
13
bahwa manajemen konflik adalah upaya yang direncanakan dan dilakukan sebagai usaha untuk
mengakhiri konflik.Manajemen konflik tersebut dapat dilakukan oleh kedua pihak yang terlibat
konflik, ataupun melalui bantuan pihak ketiga.Jika dikaitkan kepada konflik yang terjadi di
dalam rumah tangga, maka manajemen konflik dalam rumah tangga adalah upaya yang
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang terlibat konflik untuk mencari solusi atau
penyelesaian terhadap masalah rumah tangga yang sedang dihadapinya.
Karena konflik tidak dapat dihindarkan dan ada dalam hamper semua hubungan,
pasangan harus berusaha mencari carauntuk menyelsaikan konflik mereka secara konstruktif
(Curran, Ogolsky, Hazen dan Bosch, 2011 ; Gottman, 1994 ; Storaasli dan Markman , 1990)
avoidance atau penghindaran, ada dua tipe penghindaran di dalam menghadapi konflik pasangan
ini :
1. Yang pertama penghindaran dilakukan untuk memenangkan diri hal ini. Bahwa lebihbaik
diam karena kalau diladeni akan semakin panjang.
2. Penghindaran yang kedua dilakukan karena memang mereka tidak ingin membahas
konflik, hal ini lebih dilkaukan informan karena apabila konflik tidak dihindari
makaberesiko mengancam keutuhan rumah tangga. Mereka khawatir dengan adanya
perpisahan akan berimbas pada anaknya.
Dalam menyelesaikan konflik lebih berinisiati untuk menyelesaikan dibanding dan
ingin mengusahakan yang terbaik untuk perkawinannya, karena konflik perkawinan hadir dalam
semua hubungan, sangat penting bahwa pasangan yang sudah menikah, yang ingin tetap
bersama, menemukan solusi untuk konflik mereka (Curran, Ogolsky, Hazen dan Bosch, 2011).
Coping merupakan suatu proses yang dilakukan setiap waktu dalam lingkungan
keluarga, lingkungan kerja, sekolah maupun masyarakat. Coping digunakan seseorang untuk
mengatasi stress dan hambatan–hambatan yang dialami.
Dalam kamus psikologi (Chaplin, 2002 ; 112), coping behavior diartikan sebagai
sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya,
dengan tujuan menyelesaikan sesuatu (tugas atau masalah). Lazarus dan Folkman (dalam
14
Sarafino ; 1997) mengartikan coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk
mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan
mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan (dalam Smet 1994 ; 143) Lazarus dan
Folkman mendefinisikan coping sebagai sesuatu proses dimana individu mencoba untuk
mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan, baik itu tuntutan yang berasal dari individu
maupun yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam
menghadapi stress.
Rasmun mengatakan bahwa coping adalah dimana seseorang yang mengalami stres atau
ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari yang memerlukan
kemampuan pribadi maupun dukungan dari lingkungan, agar dapat mengurangi stres yang
dihadapinya. Dengan kata lain, coping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam
menyelesaikan situasi stressful. Coping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap
situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. (Rasmun, 2004 ; 29)
Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa coping adalah segala usaha
individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan segala konflik yang muncul, mengurangi
ketidaksesuaian/kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi baik yang berasal dari individu
maupun lingkungan dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi stress.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas coping stress merupakan suatu bentuk upaya yang
dilakukan individu untuk mengatasi dan meminimalisasikan situasi yang penuh akan tekanan
(stress) baik secara kognitif maupun dengan perilaku.
l. Coping psikologis
Pada umumnya gejala yang ditimbulkan akibat stres psikologis tergantung pada dua faktor,
yaitu:
a. Bagaimana persepsi atau penerimaan individu terhadap stressor, artinya seberapa berat
ancaman yang dirasakan oleh individu tersebut terhadap stressor yang diterima.
15
b. Keefektifan strategi coping yang digunakan oleh individu; artinya dalam menghadapi
stressor, jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan
menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan fisik maupun psikologis.
2. Coping psiko-sosial
Adalah reaksi psiko-sosial terhadap adanya stimulus stres yang diterima atau dihadapi
oleh klien. Menurut Struat dan Sundeen mengemukakan (dalan Rasmun ; 2004) bahwa
terdapat 2 kategori coping yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres dan kecemasan:
A. Reaksi yang berorientasi pada tugas (task-oriented reaction). Cara ini digunakan
untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan dasar.
Terdapat 3 macam reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu:
a) Perilaku menyerang (fight). Individu menggunakan energinya untuk melakukan
perlawanan dalam rangka mempertahankan integritas pribadinya
b) Perilaku menarik diri (withdrawl) Merupakan perilaku yang menunjukkan
pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain.
c) Kompromi Merupakan tindakan konstruktif yang dilakukan individu untuk
menyelesaikan masalah melalui musyawarah atau negosiasi.13
B. Reaksi yang berorientasi pada Ego. Reaksi ini sering digunakan oleh individu dalam
menghadapi stres, atau ancaman, dan jika dilakukan dalam waktu sesaat maka akan
dapat mengurangi kecemasan, tetapi jika digunakan dalam waktu yang lama akan
dapat mengakibatkan gangguan orientasi realita, memburuknya hubungan
interpersonal dan menurunkan produktifitas kerja. (Rasmun, 2004 ; 30-34).
Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino ; 1997) secara umum membedakan bentuk dan
fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu sebagai berikut:
a. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah strategi untuk
penanganan stress atau coping yang berpusat pada sumber masalah, individu berusaha
16
langsung menghadapi sumber masalah, mencari sumber masalah, mengubah lingkungan
yang menyebabkan stress dan berusaha menyelesaikannya sehingga pada akhirnya stress
berkurang atau hilang. Untuk mengurangi stressor individu akan mengatasi dengan
mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru. Individu akan cenderung
menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi karena individu
secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi
yang menimbulkan stress. Strategi ini akan cenderung digunakan seseorang jika dia merasa
dalam menghadapi masalah dia mampu mengontrol permasalahan itu.14
b. Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) adalah strategi penanganan
stress dimana individu memberi respon terhadap situasi stress dengan cara emosional.
Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini melalui perilaku
individu bagaimana meniadakan faktafakta yang tidak menyenangkan. Bila individu tidak
mampu mengubah kondisi yang menekan individu akan cenderung untuk mengatur emosinya
dalam rangka penyesuaian diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi
atau situasi yang penuh tekanan. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini jika dia
merasa tidak bisa mengontrol masalah yang ada.
Berawal dari pendapat yang dikemukakan Lazarus mengenai tipe coping stres, suatu
studi lanjutan dilakukan oleh Folkman, dkk (dalam Smet, 1994 ; 145) mengenai variasi dari
kedua strategi terdahulu, yaitu problem-focused coping dan emotion focused coping. Hasil studi
tersebut menunjukkan adanya delapan bentuk coping yang muncul, yaitu :
17
2. Emotion focused coping
1) Distancing. Menggambarkan reaksi melepaskan diri atau berusaha tidak melibatkan diri
dalam permasalahan, disamping menciptakan pandangan-pandangan yang positif.
2) Self-Control. Menggambarkan usaha-usaha untuk meregulasi perasaan maupun
tindakan.
3) Accepting Responsibility. Yaitu usaha-usaha untuk mengakui peran dirinya dalam
permasalahan yang dihadapi dan mencoba untuk mendudukkan segala sesuatu dengan
benar sebagaimana mestinya.
4) Escape-Avoidance Menggambarkan reaksi berkhayal dan usaha menghindar atau
melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapi.
5) Positive Reappraisal. Menggambarkan usaha untuk menciptakan makna yang positif
dengan memusatkan pada pengembangan personal dan juga melibatkan hal-hal yang
bersifat religius.
A. Lahey (2004 ; 519-521) mengemukakan coping yang efektif antara lain :
a) Menjauhi sumber-sumber stress (removing stressor)
b) Melakukan penyesuaian dalam pemikiran ketika menghadapi suatu permasalahan
(cognitive coping)
c) Mengatur reaksi yang ditimbulkan karena stress atau segala tekanan
(managing stress reaction)
B. Sedangkan coping yang tidak efektif antara lain :
a) Penghindaran (withdrawal)
b) Bersikap agresi (aggression)
c) Mengobati diri sendiri, seperti minum-minuman keras dan pelarian pada obat
terlarang (self-medication)
d) Melakukan ego pertahanan diri (defends mechanism) seperti melakukan
displacement, sublimasi, proyeksi, reaksi formasi, regresi, rasionalisasi, represi,
denial, dan intelektualisasi.
Smet (1994 ; 146) juga berpendapat bahwa, tidak ada satupun metode yang dapat
digunakan untuk semua situasi stress. Tidak ada coping stres yang paling berhasil. Menurut
Rutter (dalam Smet, 1994 ; 146) coping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan
18
jenis stress dan situasi. Keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi coping
yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stress, daripada mencoba
menemukan satu strategi yang paling berhasil.
Menurut Pergament (1997 ; 101) beberapa hal yang menjadi sumber coping. Dalam hal
ini, sumber coping meliputi hal-hal yang memiliki pengaruh terhadap pemilihan seseorang atas
coping stres tertentu. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Materi (seperti makanan, uang);
b. Fisik (seperti vitalitas dan kesehatan);
c. Psikologis (seperti kemampuan problem solving);
d. Sosial (seperti kemampuan interpersonal, dukungan sistem sosial); dan
e. Spiritual (seperti perasaan kedekatan dengan Tuhan).
Sedangkan Mu‟tadin (2002) mengatakan bahwa cara individu menangani situasi yang
mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu sendiri yang meliputi :
1. Kesehatan fisik; kesehatan merupakan hal yang penting karena selama dalam usaha
mengatasi stress individu dituntut untuk mengesahkan tenaga yang cukup besar.
2. Keyakinan atau pandangan positif; keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat
penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan
individu pada penilaian ketidakberdayaan 18 (helplessness) yang akan menurunkan
kemampuan strategi coping tipe problem-focused coping.
3. Ketrampilan memecahkan masalah; ketrampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari
informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk
19
menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut
sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana
dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
4. Ketrampilan sosial; ketrampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan
bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilainilai sosial yang berlaku di
masyarakat.
5. Dukungan sosial; dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara,
teman dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
6. Materi; dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang
biasanya dapat dibeli. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang memiliki
pengaruh terhadap pemilihan seseorang atas coping stressnya, antara lain : materi (seperti
makanan, uang); fisik (seperti vitalitas dan kesehatan); psikologis (seperti kemampuan
problem solving); sosial (seperti kemampuan interpersonal, dukungan sistem sosial); dan
spiritual (seperti perasaan kedekatan dengan Tuhan).
Folkman dan Lazarus (Rahmatus Sa‟adah, 2008 ; 65-66), coping yang berpusat pada
emosi (emotion-focused coping) berfungsi untuk meregulasi respon emosional terhadap masalah.
Coping ini sebagian besar terdiri dari proses-proses kognitif yang ditujukan pada pengukuran
tekanan emosional dan strategi yang termasuk di dalamnya adalah :
a) Penghindaran, peminiman atau pembuatan jarak
b) Perhatian yang selektif
c) Memberikan penilaian yang positif pada kejadian yang negatif
Sedangkan coping yang berpusat pada masalah (problem-focused coping) berfungsi untuk
mengatur dan merubah masalah penyebab stres. Strategi yang termasuk di dalamnya adalah :
a) Mengidentifikasikan masalah
b) Mengumpulkan alternatif pemecahan masalah
c) Mempertimbangkan nilai dan keuntungan alternatif tersebut
d) Memilih alternatif terbaik
20
e) Mengambil tindakan
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahwasanya bunuh diri adalah usaha seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri
dengan tujuan untuk meniadakan atau menghilangkan nyawanya sendiri, hal ini biasanya
dilakukan atas dasar motivasi-motivasi tertentu seperti menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain
Pada perilaku kekerasan ditandai dengan melakukan tindakan yang dapat membahayakan
secara fisik, seperti mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Selain itu dalam
psikologis, seseorang yang mengalami gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan dapat
diketahui dengan emosi yang tinggi, marah dan mudah tersinggung pada orang lain. Pada
spiritual dirinya merasa sangat berkuasa dan tidak mempunyai moral,jenis perilaku bunuh
diri dan perilaku kekerasan bunuh diri egoistik,bunuh diri altruistik,bunuh diri
anomi,bunuh diri fatalistik.Jenis perilaku kekerasan Perilaku atau respon kemarahan
dapat berflutuatif dalam rentang adaptif sampai maladaptif,Perilaku
asertif ,Frustasi ,Pasif,Agresif ,Kekerasan sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk
21
Terdapat banyak faktor yang dapat mengakibatkan seseorang melakukan percobaan
bunuh diri,Adanya gangguan psikologis ,Penggunaan alkohol dan narkotik,Krisis
kepribadian ,Penyakit-penyakit jasmani ,Faktor-faktor genetis ,Perubahan dalam bursa
kerja ,Kondisi keluarga,Pengaruh media massa.
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien resiko bunuh diri salah
satunya adalah dengan terapi farmakologi.Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi
dengan system neurotransmitter monoamine di otak khususnya norapenefrin dan
serotonin.Setelah itu dilakukan pengkajian pada klien dengan resiko bunuh diri
selanjutnya petugas kesehatan dapay merumuskan diagnose dan intervensi yang tepat
bagi klien
B.SARAN
22
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, N. ( 2020). Faktor Psikologi Sebagai Risiko Utama Ide Bunuh Diri pada Remaja di Kota
Rengat Kabupaten. Faktor Psikologi Sebagai Risiko Utama Ide Bunuh Diri pada Remaja di Kota
Rengat Kabupaten , 5.
Jatmiko, I. (2021). ANALISIS FAKTOR PENYEBAB IDE BUNUH DIRI PADA REMAJA:
LITERATUR. ANALISIS FAKTOR PENYEBAB IDE BUNUH DIRI PADA REMAJA:
LITERATUR , 14.
Santrock, h. 3. (1999). Bunuh diri adalah masalah umum yang terjadi di masyarakat. .
YOGYAKARTA.
23