MAKALAH
TAFSIR AYAT AL-QUR’AN TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Tafsir Tarbawi 2
Dosen pengampu: Dede Darisman, M.Pd.I.
Disusun Oleh :
Kelompok 2 Semester VII (Tujuh)
Arief Nabhan
Helmi Muhammad Rizki
Lita Qadariah
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS - JAWA BARAT
2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
berlimpah nikmat berupa kesehatan jasmani maupun rohani kepada Kami sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini sampai selesai. Sholawat dan salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW.
Kami menyadari tersusunnya makalah ini bukanlah semata-mata hasil jerih payah kami
sendiri, melainkan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, Kami menghaturkan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam penyusunan
makalah ini.
Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal dan menjadikan amal sholeh
bagi semua pihak yang telah turut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini. Akhir
kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin Ya Rabbal’alamin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1 QS. Ali Imran/3: 138-139 2
2.2 QS. Fath/48: 29 3
2.3 QS. Al-Dzariyat/51: 56 8
2.4 Tujuan Pendidikan Islam 9
2.5 Tujuan Pendidikan Islam Menurut Para Tokoh Pendidikan 9
BAB III PENUTUP 13
3.1 Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu usaha memperlakukan manusia untuk mencapai suatu tujuan.
Perlakuan itu akan manusiawi bila mempertimbangkan kapasitas dan potensi yang ada
pada manusia. Suatu usaha yang tidak memiliki tujuan tidak akan ada artinya. Ibarat
orang yang melakukan perjalanan tanpa mengetahui arah, hasilnya tidak lebih dari
pengalaman selama perjalanan.
Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan jelas mempunyai
tujuan. Sehingga diharapkan dalam penerapannya tidak kehilangan arah dan pijakan.
Dalam perkembangannya, teori-teori tentang tujuan pendidikan Islam mendapat
perhatian yang cukup besar dari para ahli pendidikan.
Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang membahas dan menjelaskan tujuan pendidikan
Islam. Sebagai contoh beberapa ayat yang akan dibahas dalam tulisan ini.
1
BAB II
PEMBAHASAN
)١٣٨ : َّاس َو ُه ًدى َّو َم ْو ِعظَةٌ لِّْل ُمت َِّقنْي َ ( اٰل عمران ِ ٰه َذا َبيَا ٌن لِّلن
)١٣٩ : َواَل هَتُِن ْوا َواَل حَتَْزنُ ْوا َواَْنتُ ُم ااْل َ ْعلَ ْو َن اِ ْن ُكْنتُ ْم ُّمْؤ ِمنِنْي َ ( اٰل عمران
Artinya: “(Al Quran) Ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia, dan petunjuk dan
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Jangan lemah, dan jangan sedih,
meskipun kamu adalah orang-orang (derajat) tertinggi, jika kamu orang-orang yang
beriman.” (QS Ali-'Imran: 138-139)
(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan bagi manusia, petunjuk dan pengajaran bagi orang-
orang yang bertakwa (138).
Dan Janganlah kamu merasa lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati. Padahal
kamu adalah orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu (benar-benar) beriman
(1390.
Al-Qur’an ini adalah penerang bagi manusia secara keseluruhan. Ini adalah kutipan
peristiwa kemanusiaan telah jauh berlalu, yang manusia sekarang tidak dapat
mengetahuinya jika tidak ada penerangan (penjelasan) yang menunjukannya. Akan
tetapi, hanya segolongan manusia tertentu saja yang mendapatkan petunjuk di
dalamnya, mendapatkan pelajaran dari padanya, mendapatkan manfaat dan menggapai
petunjuknya. Mereka itu adalah golongan “muttaqin” yaitu orang-orang yang bertaqwa.
Pernyataan Allah: (Al-Qur’an) Ini adalah penjelasan bagi manusia juga mengandung
makna bahwa Allah tidak akan langsung menjatuhkan sanksi sebelum manusia
mengetahui sanksi itu. Karena terlebih dahulu Allah akan memberikan petunjuk jalan
dan peringatan (Hidayah-Nya).
2. Munasabah
Munasabah ayat ini terdapat pada Q.S Al-Baqarah: 2
ِ ِ ِ ِ ك الْ ِكتَاب اَل ري ِ
ني
َ ب ۛ فيه ۛ ُه ًدى ل ْل ُمتَّق
َ َْ ُ َ َٰذل
2
Artinya: “Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa.”
Ketiga ayat ini memberi penjelasan bahwa Al-Qur’an sebagai petunjuk dan
petuah yang khusus bagi orang-orang yang bertakwa, karena mereka orang yang mau
mengambil petunjuk dengan kenyataan-kenyataan seperti ini. Mereka juga mau
mengambilnya sebagai pelajaran dalam menghadapai kenyataan-kenyataan yang sedang
mereka alami. Berkat petunjuk ini, mereka berjalan lurus sesuai dengan metode yang
benar, dan menjauh dari hal-hal yang mengakibatkan kelalaian yang sudah tampak jelas
akibatnya, yakni membahayakan diri mereka.
3
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar.” (Q.S Al-Fath:29)
Menurut al-Hâkim dan lain-lain dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwân bin al-
Hakam, surat al-Fath ini mulai dari awal hingga akhir diturunkan antara Makkah dan
Madinah dalam konteks perjanjian damai Hudaibiyyah. Perjanjian ini kelak
mengantarkan penaklukan kota Makkah dan tampilnya negara Islam sebagai adidaya
baru di Jazirah Arab.
Agar dapat dipahami konteksnya, ayat ini harus dihubungkan dengan ayat sebelumnya,
yang dalam istilah ‘Ulûm al-Qur’ân disebut Munâsabât bayn al-âyah, yaitu ayat:
ِ ِ) هو الَّ ِذي َأرسل رسولَه بِاهْل َدى و ِدي ِن احْل ِّق لِيظْ ِهره علَى الدِّي ِن ُكلِّ ِه و َك َفى ب
( اهلل َش ِهْي ًدا َ ْ َ ُ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ُْ َ َ َ ْ ْ َُ
Artinya: “Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa kebenaran dan
agama yang haq untuk memenangkannya atas agama-agama yang ada seluruhnya.
Cukuplah Allah sebagai saksinya”. (QS al-Fath : 28).
Sementara itu, frasa walladzîna ma‘ah[u] (dan orang-orang yang bersamanya), dengan
diawali huruf waw di depannya, ada yang menyatakan sebagai subyek kedua setelah
subyek pertama, yaitu: Muhammad[un]; kemudian frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr—
menurut pendapat ini—kedudukannya sebagai predikat kedua setelah predikat pertama,
yakni kata Rasûlullâh. Namun, ada juga yang menyatakan, bahwa frasa walladzîna
ma’ah[u] adalah ma‘thûf ‘alayh (frasa yang dihubungkan) dengan Muhammad[un]
sehingga subyek dan predikatnya hanya satu, masing-masing adalah Muhammad[un]
4
dan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr. Jika dipilih alternatif pertama, konotasinya: Muhammad
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang
yang sangat keras terhadap orang kafir dan sangat mencintai sesama mereka. Jika
pilihan kedua yang diambil, konotasinya: Muhammad, utusan Allah, dan orang-orang
yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang yang sangat keras terhadap orang kafir
dan sangat mencintai sesama mereka.
Inilah hasil pembacaan terhadap struktur lafal yang berbeda dan implikasinya terhadap
makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Hanya saja, perbedaan tersebut tidak
membawa implikasi yang serius terhadap makna ayat di atas secara keseluruhan. Di sisi
lain, as-Suyûthi, menjelaskan bahwa dinyatakannya: asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras
terhadap orang-orang Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka),
menunjukkan keunikan sifat Rasulullah dan para sahabat, yang memadukan ketegasan
dan kekerasan (terhadap orang kafir) dengan kasih-sayang (terhadap sesama Muslim).
Seandainya hanya dinyatakan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras terhadap orang-orang kafir),
tentu akan menimbulkan persepsi, seakan-akan mereka adalah orang-orang yang kasar.
Karena itu, dengan dinyatakan, ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), kesan
tersebut hilang. Struktur seperti ini, persis seperti yang digunakan oleh Allah dalam ayat
lain:
Artinya: “Yang bersikap lemah-lembut kepada orang Mukmin dan yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir”. (QS al-Maidah: 54).
Lalu apa maksud dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (sangat keras terhadap orang-orang
Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (sangat mencintai sesama mereka) dalam ayat tersebut?
Apakah ini hanya sifat Rasul dan para sahabatnya yang ikut dalam Perjanjian
Hudaibiyah saja atau bersifat umum meliputi karakter seluruh para sahabat?
Kata asyiddâ’ adalah bentuk plural non-jender (jamak taktsîr) dari kata syadîd (orang
yang keras). Kata ruhamâ’ juga merupakan jamak taktsîr dari kata rahîm (orang yang
mengasihi). Kebanyakan ahli tafsir, seperti al-Qurthubi dan as-Syaukani, menjelaskan
konotasi dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr tersebut dengan menggunakan penafsiran Ibn
‘Abbâs, pakar tafsir, murid Rasulullah saw., yang menyatakan: ghilâdh[un] ‘alayhim ka
5
al-asad[i] ‘alâ farîsatih[i] (keras terhadap mereka, bak singa terhadap mangsa
buruannya). Secara umum, as-Suyuthi, menjelaskan maksud frasa tersebut dan frasa
berikutnya, bahwa mereka keras dan tegas terhadap siapa saja yang menyimpang dari
agamanya, dan saling kasih-mengasihi di antara sesama mereka (Muslim). Inilah
maksud dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr ruhamâ’ baynahum. Sebagian ahli tafsir,
menyebutkan bahwa sifat tersebut merupakan sifat sahabat yang terlibat dalam kasus
Hudaibiyah. Namun, pandangan ini dibantah oleh as-Syaukani, berdasarkan kaidah:
Keumuman itu tetap berlaku sesuai dengan keumumannya selama tidak ada dalil
pengkhusus yang dinyatakan (untuk mengkhususkannya).
Dari sini, beliau berpendapat, bahwa yang lebih tepat adalah menginterpretasikan
makna umum sesuai dengan keumumannya. Dengan demikian, sifat tersebut
merupakan sifat seluruh sahabat Rasulullah Saw.
Mereka juga ruku’ dan sujud dengan tulus ikhlas karena Allah, senantiasa mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya yang agung. Demikian itulah sifat-sifat yang agung
dan luhur serta tinggi. Demikian itulah keadaan orang mukmin pengikut Nabi
Muhammad SAW. Allah menjanjikan untuk orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal yang shaleh di antara mereka yang bersama Nabi serta
siapapun yang mengikuti cara hidup mereka dapat mencapai kesempurnaan atau luput
dari kesalahan atau dosa. Kalimat asyidda’u ‘ala al-kuffar sering kali dijadikan oleh
sementara orang sebagai bukti keharusan bersikap keras terhadap non muslim.
Kalaupun dipahami sebagai sikap keras, maka itu dalam konteks peperangan dan
penegakan sanksi hukum yang dibenarkan agama. Ini serupa dengan firman-Nya.
Dari hal di atas dapat kita ketahui makna yang terkandung dari ayat di atas sebagai
berikut:
1. Mewujudkan rasa hormat dan rasa kasih sayang sesama manusia.
2. Mewujudkan seorang hamba yang ahli sujud dan taubat.
6
3. Mewujudkan manusia yang selalu menyenangkan orang lain.
2. Munasabah
Munasabah ayat ini terdapat dalam Q.S Al-Maidah: 54
اللَّهُ بَِق ْوٍم حُيِ ُّب ُه ْم َوحُيِ بُّونَهُ َِأذلٍَّة َعلَى َ َم ْن َي ْرتَ َّد ِمْن ُك ْم َع ْن ِدينِ ِه فَ َس ْو$ين َآمنُوا
ف يَْأيِت ِ َّ
َ يَا َأيُّ َها الذ
ض ُل اللَّ ِه ِ ِ َأعَّز ٍة علَى الْ َكافِ ِرين جُي
ْ َك ف َ خَيَافُو َن لَ ْو َمةَ اَل ِئ ٍم ۚ َٰذل اه ُدو َن يِف َسبِ ِيل اللَّ ِه َواَل َ َ َ
ِ الْمْؤ ِمنِني
َ ُ
ِ ِ ِِ
ٌ يُْؤ تيه َم ْن يَ َشاءُ ۚ َواللَّهُ َواس ٌع َعل
يم
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
Pada Q.S Al-Maidah dijelaskan akan datang suatu kaum dimana mereka akan bersikap
lemah lembut terhadap kaum mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
sedangkan pada ayat selanjutnya Allah memberi penjelasan ini lah kaum yang telah
dijelaskan dalam Q.S Al-Maidah. Para sahabat Rasulullah yang sepeninggalannya
menjadi pemimpin terhadap kaum muslim yang tidak bersikap lemah dan bersikap
sedemikian keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut terhadap
sesama mukmin.
7
c. Bahwa mereka dengan amal mereka mengharapkan pahala dari Tuhan mereka dan
kedekatan disisi-Nya serta keridhaan dari-Nya.
d. Bahwa mereka mempunyai tanda yang dengan itu mereka mudah dikenal. Yakni
bahwa mereka bercahaya pada wajah mereka, khusyu’ dan tunduk yang biasa
dikenali orang yang cerdas.
e. Bahwa injil mengumpamakan keadaan mereka dengan mengatakan akan muncul
suatu kaum yang akan tumbuh bagian tumbuhnya tanaman, mereka menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.
ِ وما خلَ ْقت اجْلِ َّن واِإْل نْس ِإاَّل لِيعب ُد
ون ُْ َ َ َ ُ َ ََ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Q.S Az-Zariyat: 56)
2. Munasabah
Munasabah ayat ini terdapat dalam Q.S At-Taubah:31
Artinya: “padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.”
8
2.4. Tujuan pendidikan islam
Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan islam terlebih dahulu dijelaskan apa
sebenarnya makana dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi, tujuan adalah arah,
maksud atau haluan. Dalam bahasa Arab “tujuan” diistilahkan dengan “ghayat, ahdaf
atau maqashid”. Sementara dalam bahasa inggris diistilahkan dengan “goal, purpose,
objectives atau aim”. Secara terminology, tujuan berarti “sesuatu yang diharapkan
tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai”. Oleh H.M Arifin menyebutkan,
bahwa tujuan pendidikan islam adalah “identitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai
Islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam
secara bertahap.”
Berdasrkan kepada pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan
untuk menciptakan manusia-manusia seutuhnya; beriman dan bertakwa kepada Tuhan
serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang
berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini
berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.
Secara umum, tujuan pendidikan islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan sementara,
tujuan akhir dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai
dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain.
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah
pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum tujuan akhir adalah
tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan
kamil) setelah menghabiskan sisa umurnya. Sementara tujuan operasional adalah tujuan
praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
Namun demikian agar tujuan-tujuan yang dimaksud lebih dipahami, berikut ini akan
diuraikan tujuan pendidikan Islam dalam perspektif para ulama muslim.
9
1. Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah
Selanjutnya tujuan pendidikan Islam menurutnya dibangun atas tiga komponen sifat
dasar manusia yaitu: 1). Tubuh; 2). Ruh, dan 3). Akal yang masing-masing harus dijaga.
Berdasarkan hal tersebut maka tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada:
Kekuatan fisik merupakan bagian pokok dari tujuan pendidikan, maka pendidikan harus
mempunyai tujuan ke arah keterampilan-keterampilan fisik yang dianggap perlu bagi
tumbuhnya keperkasaan tubuh yang sehat. Pendidikan Islam dalam hal ini mengacu
pada pembicaraan fakta-fakta terhadap jasmani yang relevan bagi para pelajar.
Orang yang betul-betul menerima ajaran Islam tentu akan menerima seluruh cita-cita
ideal yang terdapat dalam Al-Qur’an. Peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya
kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani dari tingkah
laku Nabi saw. merupakan bagian pokok dalam tujuan pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan islam harus mampu membawa dan mengembalikan ruh tersebut
kepada kebenaran dan kesucian. Maka pendidikan islam menurut Muhammad Qurb
ialah meletakkan dasar-dasar yang harus memberi petunjuk agar manusia memelihara
kontaknya yang terus menerus dengan Allah SWT.
10
pendidikan islam mengacu kepada tujuan memberi daya dorong menuju peningkatan
kecerdasan manusia.
Seorang khalifah mempunyai kepribadian utama dan seimbang, sehingga khalifah tidak
akan hidup dalam keterasingan dan ketersendirian. Oleh karena itu, aspek sosial dari
khalifah harus dipelihara.
a.) Membentuk Insan Purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
b.) Membentuk Insan Purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup baik di dunia
maupun di akhirat.
Dari kedua tujuan di atas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan versi Al-Ghazali
tidak hanya bersifat ukhrawi (mendekatkan diri kepada Allah), sebagaimana yang
dikenal dengan kesufiannya, tetapi juga bersifat duniawi. Karena itu Al-Ghazali
11
memberi ruang yang cukup luas dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan
duniawi.
b. Peningkatan moral, tingkah laku yang baik dan menanamkan rasa kepercayaan anak
terhadap agama dan kepada Tuhan.
c. Mengembangkan intelegnsi anak secara efektif agar mereka siap untuk
mewujudkan kebahagiaannya di masa mendatang.
Islam telah memberi jawaban yang tegas dalam hal ini, seperti firman Allah swt:
ِ وما خلَ ْقت اجْلِ َّن واِإْل نْس ِإاَّل لِيعب ُد
ون ُْ َ َ َ ُ َ ََ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Q.S Az-Zariyat: 56)
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan pendidikan islam adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah proses
pendidikan berakhir. Tujuan ini diklasifikasikan kepada: tujuan umum, tujuan
sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional. Banyak sekali konsep dan teori tujuan
pendidikan yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan; baik pada zaman klasik,
pertengahan maupun dewasa ini. Namun dapat dipahami, bahwa beragamnya konsep
dan teori tujuan pendidikan Islam tersebut merupakan bukti adanya usaha dari para
intelektual muslim dan masyarakat muslim umumnya untuk menciptakan suatu sistem
pendidikan yang baik bagi masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://edhakidam.blogspot.com/2015/01/makalah-tujuan-pendidikan-islam-dalam.html
13