Saat itu di sebuah Sekolahan Menengah Atas Negeri Caca menemukan
sosok baru yang akan menemaninya selama 6 semester, tidak tahu apakah bisa membuatnya menjadi sosok yang lebih baik atau sebaliknya. Caca pikir dia akan menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup, tetapi pikiran itu sirna dalam sekejap mata, ia sama seperti Caca kecil yang aktif dan periang. Caca tidak pernah berpikir dari sifat periangnya akan menimbulkan guncangan – guncangan hebat dalam hidupnya. Awalnya Caca tanya menganggap hal tersebut sebagai angin lalu. Semester 3 tepatnya kelas XI Menengah Atas, Caca selalu salah mengambil keputusan dan hal tersebut tentu saja hal yang disadarinya. Namun, kesadaran tersebut muncul saat keputusan sudah dibulatkan. Caca saat itu ingin mengatakan dengan lantang akan keputusannya, namun itu semua menjadi kesalahpahaman yang semakin besar. Kesalahpahaman tersebut juga berujung ketidak senangan orang lain yang nyatanya tidak mengenali Caca. Membuat mereka yang belum mengenalnya berpikir buruk tentang Caca. Tepatnya saat ini, Caca yakin sudah memilih keputusan yang menurutnya benar. Tapi tetap saja saat saran dari Caca dan teman – teman sudah dikumpulkan dan menjadi hasil yang mereka inginkan, tapi pikiran Caca selalu terganggu bayangan – bayangan akan jadi apa keputusannya itu. Caca ingin sekali mundur dari pertanyaan – pertanyaan orang lain yang tidak dapat hadir pada pengambilan suara tersebut, namun tetap saja Caca dipanggil dan mereka bertanya, yang hanya Caca bisa ialah berpikir sekeras mungkin atas mengapa Caca mengambil keputusan tersebut. “Ca, tadi kamu milih siapa? Si Fanya apa si Januar?” Tanya salah satu teman Caca. “Aku kan kemarin gak bisa hadir karena ada acara keluarga” Sedihnya. “Ohh, kalau Caca bagaimana? Kamu pilih Januar atau Fanya?” “Ah, kemarin aku pilih si Janu, soalnya gimana ya. Menurutku si dia kompeten, dan baik. Terus kita dapat kabar, kalau si Fanya anaknya suka marah – marah kalau gak sesuai ekspektasi dia, aku takutnya organisasi yang kena.” Jawabku disertai alasan yang menurutku dapat dicerna dengan mudah oleh temanku. “Ohh, aku kira Fanya anaknya baik. Soalnya selama ini aku liatnya anaknya mudah berbaur, deket juga tuh sama anak – anak, terus juga dia paling sering datang kalau kita ada kegiatan di organisasi.” Balas temanku. “Yah, aku juga kurang tahu deh. Tapi itu pengakuan dari teman Fanya. Kalau dari aku pribadi si dia emang anaknya pemikir keras tapi dia maksain diri sendiri.” Jelasku kepada temanku. “Oke deh, terima kasih ya infonya Ca. Untung kamu kasih tahu baik buruknya dia, coba aku kurang teliti pasti sudah ku pilih dengan semangat.” Kata temanku dengan ibu jari sebelah kanan dinaikan lalu mengubahnya dengan lambaian tangan. “ Aku duluan ya, Ca.” Sementara itu Caca tidak menerangkan kepada temannya bahwa banyak yang terjadi saat pemungutan suara. Misalnya saja, adanya konflik antara kakak tingkat mereka dan juga bocornya informasi antara pemungut suara dan calon tersebut. “Ya sudahlah, nanti dia juga tahu sendiri kalau ada acara.” Putus Caca melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Sementara itu di lain sisi, Sheril sudah menunggu Caca untuk membahas permasalahan yang ada kemarin. Saat Caca sudah memasuki kelas mereka Sheril langsung memanggil Caca untuk membahas hal tersebut. “Ca, kemarin keadaannya kacau banget ya. Kemarin aku sempat liat temennya Fanya tuh ngasih tau ke si Fanya kalau dia diomongin di tempat pemungutan suara.” Jelas Sheril “Jadi saat kita terang – terangan bahas baik buruknya calon ketua selanjutnya temennya Fanya, bocorin ke Fanya?” Tanyaku. “Iya Ca, kayaknya temennya Fanya juga gak suka sama kamu deh. Tapi aku kurang suka juga sama temennya Fanya, dia merasa kalau dia ketuanya. Aku jadi males banget kalau ada kumpul organisasi lagi.” “Ohh, yaudah mau gimana lagi, itukan pendapat dia tentang aku, hak dia juga gak suka sama aku. Tapi kamu jangan males – malesan ngumpul kan ada aku.” “Iya sih, tapi kan dia sudah ngomongin anak – anak yang gak suka sama dia, terutama kamu tahu ca! Aku sempet denger dari kelas sebelah.” “Ya gapapa Ril, mereka kan tau aku dari ucapan orang lain bukan liat langsung seperti apanya aku.” “ihh, kamu tuh jangan gitu. Coba sekali – kali marah biar mereka tau kamu gimana, tunjukin bahwa kamu tuh gak seperti yang diomongin sama mereka, Ca.” “Percuma aku marah, Ril. Masalah harus dihadapi dengan kepala dingin, jangan apa – apa langsung marah.” Dan perdebatan tersebut terus berlanjut. Dan akhirnya Sheril mengalah dan merenungi apa yang telah Caca sampaikan, bahwa semua yang Caca sampaikan benar, kata Caca “Biarkan mereka menilaimu dari perkataan orang lain. Namun, bila dia mendekatimu tunjukkan bahwa semua perkataan tersebut hanyalah omong kosong.”