MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak Sakit Kronis dan
Terminal
Dosen Pengampu Septian Andriyani, S.Kp., M.Kep.
Disusun Oleh :
Anggi Rojiah Amalia 2009669
Arihni Raa’ihatal Jannah 2009688
Ayu Amelia 2009606
Cheli Cakrawati 2009685
Danies Laelatul Ahdiah 2002071
Desi Rahayu 2010114
Nadya Anggi Pratiwi 2001918
Shifa Fadhilah Anggraini 2001956
Silviana Safitri 2005592
Silvy Mutiara Dewi 2009903
Siti Mu’minah 2007948
Siti Sopiah 2007095
Sri Devi Vani Wijaya 2010070
Syaila Nur Khuldiyyah 2009970
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Akumulasi kejadian Down Syndrome di Indonesia melampaui angka
300.000 jiwa yang diperoleh dari pencatatan Indonesian Center for Biodiversity and
Biotechnology (ICBB) (Lestari & Mariyati 2015).
1.3 Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi dari down syndrome
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami patofisiologi pada down
syndrome
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami etiologi pada down syndrome
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konplikasi pada down syndrome
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami manifestasi klinis pada down
syndrome
6. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostic pada
down syndrome
7. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis pada
down dyndrome
8. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada
penderita down syndrome
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom menurut
Cuncha dalam Mark L.Batshaw, M.D. Menurut Bandi (1992: 24) anak cacat mental pada
umumnya mempunyai kelainan yang lebih dibandingkan cacat lainnya, terutama
intelegensinya. Hampir semua kemampuan kognitif anak cacat mental mengalami kelainan
seperti lambat belajar, kemampuan mengatasi masalah, kurang dapat mengadakan
hubungan sebab akibat, sehingga penampilan sangat berbeda dengan anak lainnya. Anak
cacat mental ditandai dengan lemahnya kontrol motorik, kurang kemampuannya untuk
mengadakan koordinasi, tetapi dipihak lain dia masih bisa dilatih untuk mencapai
kemampuan sampai ke titik normal. Tanda-tanda lainnya seperti membaca buku ke dekat
mata, mulut selalau terbuka untuk memahami sesuatu pengertian memerlukan waktu yang
lama, mempunyai kesulitan sensoris, mengalami hambatan berbicara dan perkembangan
verbalnya. (Bukhari, 2000)
Menurut Gunarhadi (2005 : 13) down syndrome adalah suatu kumpulan gejala akibat
dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21, yang tidak dapat memisahkan diri
selama meiosis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Kelainan ini pertama kali
ditemukan oleh Seguin dalam tahun 1844. Down adalah dokter dari Inggris yang namanya
lengkapnya Langdon Haydon Down. Pada tahun 1866 dokter Down menindaklanjuti
pemahaman kelainan yang pernah dikemukakan oleh Seguin tersebut melalui penelitian.
Seguin dalam Gunarhadi 2005:13 mengurai tanda-tanda klinis kelainan aneuploidi pada
manusia. Seorang individu aneuploidi memiliki kekurangan atau kelebihan di dalam sel
tubuhnya. Pada tahun 1970-an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari
kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali syndrome
ini dengan istilah down syndrome dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang
sama.
2.2 Patofisiologi
Sindrom Down pada umumnya (95%) disebabkan karena gagalnya pembelahan sel
gamet (sel telur atau sperma) pada proses Meiosis I ataupun Miosis II (non-disjunction)
sehingga mengakibatkan terjadinya kelebihan kromosom 21 sel gamet, apabila sel gamet
tersebut dibuahi akan menghasilkan bayi dengan kelebihan 1 kromosom 21 atau disebut
Trisomi 21 dengan kariotip: 47, XX,+21 (Perempuan) atau 47, XY, +21 (Laki-laki).
Sindrom Down jenis ini disebut sebagai Sindrom Down Klasik dan tidak diturunkan.
3
Gambar 1. Kariotip Sindrom Down Klasik Perempuan
(47,XX,+21)
Umur ibu yang lanjut (>35 tahun) atau disebut advance maternal age disebut sebagai
risiko yang tinggi nterhadap kejadian Sindrom Down. Oleh karena itu wanita yang berumur
lebih dari 35 tahun apabila mengandung sebaiknya melakukan skrining tes untuk
mengetahui keadaan janin yang sedang dikandung. Jenis tes yang dilakukan dapat berupa
pemeriksaan darah ibu (maternal serum screening) pada trimester satu (<12 minggu) atau
4
dengan pemeriksaan ultrasonography (USG) pada trimester satu (<12 minggu) usia
kandungan.
Pada saat lahir bayi dengan Sindrom Down mempunyai tonus otot yang lemah
(floppy baby) sehingga sering mangakibatkan bayi mengalami kesulitan minum susu yang
mengakibatkan berat badan bayi rendah.
Selain mengalami disabilitas intelektual dengan IQ berkisar antara 50-70, anak
dengan Sindrom Down mempunyai karakteristik fisik yang khas berupa:
• Kepala dan Leher: kepala kecil, mata sipit dan kecil dengan kelopak mata yang up-
slanting, hidung pesek, lidah besar (menjulur), telinga kecil dan rendah, leher pendek
• Tangan dan Kaki: garis tangan tunggal dan lurus (simean creases), jari-jari tangan
dan kaki pendek, antara jari kaki ke-1 dan ke-2 lebar (sandal gap), kaki bebek (flat
feed)
• Perawakan pendek (short stature)
2.3 Etiologi
(Suwoko, 2015) Penyebab dari down syndrome adalah adanya kelainan kromosom
yaitu terletak pada kromosom 21 dan 15, dengan kemungkinan-kemungkinan :
5
dengan down syndrome adalah ibu yang pernah mengalami radiasi pada daerah
perut, Sehingga dapat terjadi mutasi gen.
c) Infeksi
Infeksi juga dikaitkan dengan sindrom down, tetapi sampai saat ini belum ada ahli
yang mampu menemukan virus yang menyebabkan sindrom down ini.
d) Autoimun
Penelitian Fial kow (dikutip dari Puechel dkk, dalam buku tumbuh kembang anak
karangan Soetjiningsih) secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan antibodi
ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down dengan anak yang normal.
e) Usia ibu
Usia ibu diatas 35 tahun juga mengakibatkan sindrom down. Hal ini disebabkan
karena penurunan beberapa hormon yang berperan dalam pembentukan janin,
termasuk hormon LH dan FSH.
f) Ayah
Penelitian sitogenetik mendapatkan bahwa 20 – 30% kasus penambahan
kromosom 21 bersumber dari ayah, tetapi korelasi tidak setinggi dengan faktor dari
ibu.
2. Gangguan intragametik yaitu gangguan pada gamet, kemungkinan terjadi Translokasi
kromosom 21 dan 15.
3. Organisasi nukleus yaitu sintesis protein yang abnormal sehingga menyebabkan
kesalahan DNA menuju ke RNA.
4. Bahan kimia juga dapat menyebabkan mutasi gen janin pada saat dalam kandungan.
5. Frekwensi coitus akan merangsang kontraksi uterus, sehingga dapat berdampak pada
janin.
Down syndrome dapat memicu beragam komplikasi, yang di antaranya dapat makin
terlihat jelas seiring bertambahnya usia. Komplikasi tersebut antara lain:
a. Sleep apnea
Kelainan bentuk tulang dan jaringan pada penderita Down syndrome bisa
menyumbat saluran napas dan berujung pada sleep apnea.
6
b. Gangguan pencernaan
Sebagian anak dengan sindrom Down menderita gangguan pencernaan,
seperti penyakit celiac.
c. Gangguan pendengaran
Sebagian besar anak dengan Down syndrome berisiko mengalami tuli atau hilang
pendengaran. Kondisi ini bisa terjadi akibat kelainan bentuk tulang di bagian dalam
telinga atau infeksi telinga.
d. Gangguan penglihatan
Lebih dari setengah penderita Down syndrome mengalami gangguan penglihatan,
seperti katarak, rabun jauh, rabun dekat, atau mata juling.
e. Hipotiroidisme
Penderita sindrom Down dapat terkena hipotiroidisme, atau kekurangan hormon
tiroid. Kondisi ini dapat terjadi sejak lahir atau berkembang seiring bertambahnya
usia.
f. Penyakit Alzheimer
Saat mencapai usia lanjut, penderita Down syndrome cenderung terserang penyakit
Alzheimer.
g. Gangguan mental
Anak dengan Down syndrome berisiko mengalami gangguan mental, seperti
gangguan obsesif–kompulsif, autisme, depresi, dan gangguan kecemasan.
h. Kelainan jantung
Sekitar setengah dari anak dengan Down syndrome diketahui terlahir
dengan penyakit jantung bawaan sehingga harus menjalani operasi.
i. Gangguan lain
Kondisi lain yang juga berisiko terjadi pada penderita sindrom Down antara lain
leukemia, obesitas, demensia, penyakit autoimun, dan epilepsi.
Gejala yang biasanya merupakan keluhan utama dari orang tua adalah retardasi mental
atau keterbelakangan mental (disebut juga tunagrahita), dengan IQ antara 50- 70, tetapi
kadang-kadang IQ bisa sampai 90 terutama pada kasus-kasus yang diberi latihan. Pada
bayi baru lahir, dokter akan menduga adanya Down Sindrom karena gambaran wajah
yang khas, tubuhnya yang sangat lentur, biasanya otot-ototnya sangat lemas, sehingga
menghambat perkembangan gerak bayi. Pada saat masih bayi tersebut sulit bagi seorang
dokter untuk menentukan diagnosisnya, apalagi orang tuanya juga mempunyai mata yang
sipit atau kecil. Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan kromosom
dari sel darah putih.
Ciri-ciri fisik anak down syndrome adalah sebagai berikut:
A. Bentuk kepala yang relative kecil dengan bagianbelakang yang tampak mendatar
(peyang).
- Hidung kecil dan datar (pesek), hal ini mengakibatkan mereka sulit bernafas.
- Mulut yang kecil dengan lidah yang tebal dan pangkal mulut yang
cenderungdangkal yang mengakibatkan lidah sering menjulur keluar.
B. Benruk mata yang miring dan tidak punya lipatan di kelopak matanya.
7
- Letak telinga lebih rendah dengan ukuran telinga yang kecil, hal ini
mengakibatkan mudah terserang infeki telinga.
- Rambut lurus, halus, dan jarang mengenal.
- Kulit yang kering.
Gejala-gejala;
1. Anak-anak yang menderita kelainan ini umumnya lebih pendek dari anak yang
umunya sebaya.
2. Kepandaiannya lebih rendah dari normal.
3. Lebar tengkorak kepala pendek, mata sipit dan turun, dagu kecil yang manalidah
kelihatan menonjol keluar dan tangan lebar dengan jari-jari pendek.
4. Pada beberapa orang, mempunyai kelainan jantung bawaan.
• Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik khusus yang ada
pada Down syndrome , meliputi:
- Bentuk kepala brakiosefali dan perawakan pendek
- Fisura palpebra oblique, adanya lipatan pada epikantus, dan brushfield spot
- Jembatan hidung rata
- Telinga kecil dan letak rendah
- Mulut kecil hampir selalu terbuka, sudut bibir ke bawah, makroglosia
- Bentuk gigi yang tidak normal (partial anodontia, microdontia) dan erupsi gigi
yang terlambat
- Leher pendek dan terdapat lipatan kulit
- Pada toraks dapat mengalami pectus excavatum atau pectus carinatum
- Bentuk tangan lebar dengan jari pendek, sandal gap deformity, jari manis tertekuk
ke dalam, sindaktili, dan simian crease
• Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis Down syndrome dapat dilakukan saat
skrining pada ibu hamil. Pemeriksaan penunjang dilakukan menggunakan USG,
pemeriksaan serum darah ibu, amniosentesis, chorionic villus sampling (CVS),
dan Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS).
Pemeriksaan skrining dilakukan pada ibu hamil sebelum usia kehamilan 20 minggu
tanpa memandang usia ibu. Skrining prenatal berguna untuk mendeteksi dini
kemungkinan kelainan aneuploidi kromosom, termasuk Down syndrome.
Pemeriksaan skrining dilakukan menggunakan USG dan pemeriksaan biomarker
serum maternal.
1. Non Invasive Prenatal Testing (NIPT)
NIPT dapat mulai dilakukan pada trimester pertama kehamilan, pada usia
kehamilan 10–14 minggu). NIPT dilakukan melalui analisis fragmen DNA yang
8
bersirkulasi dalam darah ibu. Fragmen ini tidak berlokasi dalam nukleus sel tetapi
berlokasi dalam plasma sehingga disebut sebagai cell-free DNA (cfDNA). NIPT
dapat digunakan untuk skrining kelainan genetik fetus.
2. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat digunakan saat
skrining kehamilan dan diagnosis Down syndrome yang dikombinasi dengan
pemeriksaan serum maternal.
USG dilakukan pada trimester pertama pada usia kandungan 11-14 minggu.
Apabila ditemukan penebalan pada translusensi nuchal lebih dari 3 mm dan nasal
bone hypoplasia, dapat menandakan adanya risiko kelainan genetik dan
malformasi kongenital, termasuk Down syndrome.
USG pada trimester kedua bertujuan untuk mencari soft marker Down syndrome.
Yang termasuk dalam soft marker Down syndrome adalah echogenic intracardiac
focus, choroid plexus cyst, ventriculomegaly, nuchal fold thickness > 6
mm, echogenic bowel, shortened humerus, mild pyelectasis, shortened
femur, aberrant right subclavian artery (ARSA), dan enlarged cysterna magna.
3. Pemeriksaan Serum Maternal
Pemeriksaan biomarker serum maternal merupakan pemeriksaan invasif yang
dilakukan untuk skrining dan pemeriksaan diagnosis Down syndrome.
Pemeriksaan biomarker serum maternal ini dapat dilakukan pada trimester pertama
pada usia kandungan 11-14 dan trimester kedua pada kehamilan 15-20 minggu.
Dari serum maternal dapat dilakukan pemeriksaan serum biomarker yang
meliputi pregnancy-associated plasma protein A (PAPP-A), unconjugated
estriol (uE3), dan free beta-human chorionic gonadotropin (β-HCG). Pemeriksaan
kadar biomarker yang dikombinasikan dengan pemeriksaan translusensi nuchal
USG dapat memprediksi Down syndrome dengan akurasi hingga 90%.
Peningkatan β-HCG dan rendahnya kadar uE3 ditemukan sebagai penanda Down
syndrome. Peningkatan kadar inhibin A pada trimester pertama dan penurunan
kadar PAPP-A pada trimester pertama digunakan untuk mengidentifikasi
kecurigaan adanya Down syndrome.
4. Chorionic Villus Sampling
Pemeriksaan chorionic villus sampling (CVS) merupakan pemeriksaan diagnostik
invasif yang dikerjakan untuk mendeteksi kelainan kromosom pada janin
termasuk Down syndrome. Pemeriksaan ini mengambil sedikit sampel vilus korion
dari plasenta. CVS dapat dilakukan pada usia kehamilan lebih awal dibandingkan
amniosentesis, yakni pada usia kehamilan 10-13 minggu. Risiko keguguran setelah
tindakan CVS adalah sebesar 1 per 455 kehamilan. Indikasi pemeriksaan CVS
adalah bila didapatkan hasil yang positif dari pemeriksaan skrining atau risiko
kelainan genetik pada orang tua.
5. Amniosentesis
9
Amniosentesis adalah pemeriksaan diagnostik terhadap sel janin dengan
mengambil cairan amnion di dalam rahim ibu menggunakan jarum steril dengan
panduan ultrasonografi. Amniosentesis dapat dikerjakan pada usia kehamilan 14-
16 minggu atau pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Akurasi pemeriksaan ini
untuk mendeteksi kelainan kromosom mencapai 99,5%. Risiko abortus akibat
pemeriksaan ini adalah 1:200-300 kehamilan.
6. Pemeriksaan Sitogenetik
Pemeriksaan sitogenetik dapat dilakukan dari sampel yang diperoleh saat prenatal
atau postnatal. Saat prenatal, indikasi dilakukan pemeriksaan sitogenetik ketika
hasil pemeriksaan serum biomarker dan hasil USG dengan temuan abnormal. Pada
saat post natal pemeriksaan sitogenetik berguna untuk membedakan tipe mutasi
yang dialami pasien (kariotipe).
Uji sitogenetik adalah pemeriksaan kromosom untuk mengetahui kelainan
kromosom seperti aneuploidi dan kelainan struktur. Pemeriksaan sitogenetik juga
dapat mendiagnosis adanya keganasan serta menentukan terapi yang tepat untuk
stratifikasi prognostic.
7. Pemeriksaan Cell-Free DNA
Pemeriksaan cell-free DNA dapat menggunakan serum darah maternal atau cell
free fetal DNA dari plasenta (sampel dari amniosintesis, CVS, atau PUBS). Indikasi
pemeriksaan ini untuk mendeteksi trisomi 21,18, dan 13. Pemeriksaan dapat
dilakukan selama kehamilan setelah kandungan mencapai usia 10 minggu.
8. Pemeriksaan FISH
Pemeriksaan Fluorescence in situ hybridization (FISH) digunakan digunakan
untuk diagnosis cepat trisomi 21. Pemeriksaan diagnosis dengan FISH dapat
digunakan baik dalam diagnosis prenatal maupun diagnosis pada periode neonatus.
Pemeriksaan FISH menggunakan hibridisasi dari urutan DNA tertentu pada
kromosom yang terpilih ditandai dengan pewarnaan fluoresen untuk persiapan
pada kromosom. Urutan yang telah ditandai menempel pada DNA yang
bersangkutan dan dapat dilihat di bawah mikroskop. Dengan pemeriksaan
FISH, Down syndrome dapat terdiagnosis hingga 86,67%.
9. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan penunjang lainnya dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
dan juga menemukan kelainan-kelainan yang dialami pasien Down syndrome.
Pemeriksaan TSH dan T4 digunakan untuk menyingkirkan diagnosis hipotiroid
pada bayi baru lahir. Echocardiography dilakukan untuk mendeteksi defek
kongenital jantung.
10
Dibutuhkan keterlibatan berbagai bidang disiplin ilmu dalam menangani Down
syndrome.
a) Konseling Genetik
Konseling genetik terkait Down syndrome diberikan kepada orang tua setelah
diagnosis ditegakkan. Konseling genetik Down syndrome merupakan komunikasi
yang diberikan terkait dengan penyakit genetik dalam keluarga. Tujuan konseling
genetik untuk pemberian pemahaman komprehensif pada orang tua atau keluarga
pasien Down syndrome tentang semua implikasi terkait dengan penyakit Down
syndrome, pemberian obat dan terapi yang berguna untuk mengobati kondisi medis
yang muncul, serta terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup.
b) Medikamentosa
Pemberian medikamentosa pada Down syndrome bertujuan untuk mengobati
penyakit yang menyertai Down syndrome. Misalnya pasien Down syndrome yang
mengalami konstipasi kronik, diare intermiten, atau diabetes tipe 1. Penanganan
penyakit penyerta ini berguna untuk meningkatkan kualitas dan harapan hidup
pasien.Patobiologi kompleks pada Down syndrome dapat mengubah disposisi dan
respon obat dalam beberapa kasus. Perlu diperhatikan adanya peningkatan risiko
efek samping. Adanya disabilitas intelektual pada pasien Down syndrome juga
dapat berdampak pada kepatuhan terhadap regimen pengobatan.
c) Pembedahan
Pembedahan pada Down syndrome dilakukan untuk memperbaiki defek
kongenital, mencegah terjadinya komplikasi, dan menekan angka mortalitas karena
defek tersebut. Intervensi bedah pada Down syndrome memiliki risiko komplikasi
yang tinggi, terutama terkait infeksi dan penyembuhan luka.Kehati-hatian
manajemen jalan napas saat anestesi diperlukan karena risiko terkait
ketidakstabilan atlantoaksial. Evaluasi praoperasi untuk anestesi harus mencakup
evaluasi yang memadai dari jalan napas dan status neurologis pasien.
Saat intubasi untuk proses anestesi, posisi leher perlu dipertahankan dalam posisi
netral (tidak hiperekstensi).Pembedahan untuk mengoreksi penyakit jantung
bawaan perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi dan mengurangi mortalitas.
Anomali pada saluran pencernaan seperti atresia duodenum dan penyakit
Hirschsprung juga memerlukan terapi pembedahan segera.Terapi pembedahan
adenotonsilektomi dapat dilakukan pada kasus obstructive sleep
apnea (OSA) pasien Down syndrome. Kasus katarak kongenital juga memerlukan
penanganan sedini mungkin untuk mencegah ambliopia.
d) Terapi Suportif
Terapi suportif pada Down syndrome terkait dengan intervensi dini. Bentuk terapi
suportif yang dapat dilakukan pada anak dengan Down syndrome diantaranya
terapi gizi, fisioterapi, terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi psikologi. Terapi-
terapi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengoptimalkan
bakat yang ada pada anak dengan Down syndrome.
• Intervensi Dini
Intervensi dini pada Down syndrome diberikan pada bayi baru lahir hingga
usia 3 tahun. Intervensi dini dirancang untuk memantau perkembangan dengan
berfokus pada pemberian makan, serta perkembangan motorik kasar dan halus,
bahasa, pribadi, dan sosial. Tujuan utama intervensi dini adalah
memaksimalkan kompetensi pasien di seluruh domain perkembangan serta
untuk mencegah dan meminimalkan keterlambatan.
• Intervensi Gizi
11
Intervensi gizi pada Down syndrome sangat diperlukan terutama untuk
mencegah risiko kekurangan gizi di tahun pertama kehidupan dan
mencegah obesitas di tahun berikutnya. Pasien Down syndrome juga sering
mengalami kondisi penyerta yang memerlukan intervensi nutrisi, seperti
konstipasi, gastroesophageal reflux disease, masalah gigi, atau kesulitan
makan.Intervensi gizi meliputi pendidikan parenting sejak dini dan pemberian
air susu ibu (ASI), makanan pendamping ASI, intervensi perilaku dan
kebiasaan makan, pendidikan gizi, serta pemberian nutrisi selama fase
pemulihan dari tindakan pembedahan. Intervensi gizi yang diberikan sedini
mungkin dilaporkan secara signifikan meningkatkan perkembangan anak
dengan Down syndrome.
12
• Pemantauan fungsi penglihatan setiap 3-6 bulan untuk anak di bawah usia 2
tahun, serta setiap 6 bulan untuk anak usia 2-5 tahun, kemudian setiap tahun
setelahnya
• Pemeriksaan hematologi dilakukan setiap tahun
• Pemantuan pasca pembedahan dilakukan setiap kali kunjungan dan setiap
tahun saat kondisi stabil
• Pemeriksaan radiologi leher dilakukan ketika usia 3 dan 5 tahun
•
2.8 Pengkajian
• Pengkajian
a. Lakukan pengkajian Fisik
b. Lakukan Pengkajian Perkembangan
c. Lakukan pengkajian riwayat keluarga, terutama yang berkaitan dengan usia ibu
atau anak lain mengalami keadaab serupa
• Pemeriksaan Fisik
a. Observasi adanya manifestasi Sindrom Down
1. Karakteristik fisik ( paling sering terlihat)
• Pada saat lahir terdapat kelemahan otot dan hipotonia
• Kepala pendek (brachycephaly)
• Lipatan epikantus bagian dalam dan fisura palpebra serong (mata miring
ke atas dan keluar)
• Hidung kecil dengan batang hidung tertekan kebawah (hidung sadel)
• Lidah menjulur kadang berfisura
• Mandibula hipoplastik (membuat lidah tampak besar)
• Palatum berlengkung tinggi
• Leher pendek tebal
• Muskultur hipotonik (perut buncit, hernia umbilikus)
• Sendi hiperfleksibel dan lemas
• Tangan dan kaki lebar, pendek tumpul
• Garis simian (puncak transversal pada sisi telapak tangan)
2. Intelegensia
a. Bervariasi dan retardasi hebat sampai intelegensia normal rendah
b. Umumnya dalam rentang ringan sampai sedang
c. Kelambatan bahasa lebih berat daripada kelambatan kognitif
3. Anomaly congenital (peningkatan insiden)
13
a. Penyakit jantung kongenital ( palinh umum )
b. Defek lain meliputi : agenesis renal, atresia duodenum, penyakit hiscprung,
fistula esophagus, subliksasi pinggul, ketidakstabilan vertebra servikal
pertama dan kedua (ketidakstabilan atlantoaksial)
4. Masalah sensori ( sering berhubungan)
a. Kehilangan pendengaran koduktif ( sangat umum)
b. Strabismus
c. Myopia
d. Nistagmus
e. Katarak
f. Kongjungtivitis
5. Pertumbuhan dan perkembangan seksual
a. Pertumbuhan tinggi badan dan BB menurun, umumnya obesitas
b. Perkembangan seksual terhambat, tidak lengkap atau keduanya
c. Infertile pada pria, wanita dapat fertile
d. Penuaan premature umum terjadi harapan hidup rendah
Ketidakmampuan menelan
makanan
2 Ds : Perubahan sensasi Risiko cedera
- Kemampuan pendengaran
berkurang
- Pertumbuhan tulang
lambat
Do :
- Gangguan pendengaran
3 Ds : Keterbatasan fisik dan mental Gangguan interaksi
- Merasa tidak nyaman sosial
dengan situasi sosial
Do :
Kurang interaksi
14
- Kurang responsif atau
tertarik pada orang lain
- Tidak berminat Keengganan berpisah dengan
melakukan kontak emosi orang terdekat
dan fisik
Diagnosa keperawatan
1. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
2. Risiko cedera d.d Perubahan sensasi (pendengaran )
3. Gangguan interaksi sosial b.d Keengganan berpisah dengan orang terdekat
15
6. Monitor hasil memonitoring
pemeriksaan BB
laboratorium - Agar makanan
Terapeutik disajikan secara
1. Lakukan oral menarik atau
hygiene suhu yang
sebelum makan, sesuai
jika perlu - Untuk
2. Fasilitasi mencegah
menentukan konstipasi
pedoman diet - Untuk
(mis: piramida memberikan
makanan) kenyamanan
3. Berikan kepada klien
makanan tinggi - Untuk medikasi
serat untuk sebelum makan
mencegah - Untuk
konstipasi menentukan
4. Berikan jumlah kalori
makanan tinggi dan jenis
kalori dan tinggi nutrient yang
protein dibutuhkan
5. Berikan
suplemen
makanan, jika
perlu
Edukasi
1. Ajarkan posisi
duduk, jika
mampu
2. Ajarkan diet
yang
diprogramkan
16
Kolaborasi
- Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menentukan
jumlah kalori
dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika
perlu
17
2. Gunakan alas intervensi
lantai jika pencegahan jatuh
berisiko ke pasien dan
mengalami keluarga
cedera yang
serius
3. Sediakan alas
kaki anti slip
Edukasi
1. Jelaskan alasan
intervensi
pencegahan
jatuh ke pasien
dan keluarga
3. (D.0118) Setelah dilakukan tindakan Modifikasi Perilaku - Untuk
Gangguan keperawatan selama 3x24 Keterampilan Sosial mengidentifikasi
Interaksi sosial jam maka diharapkan (I.03119) penyebab
b.d Keengganan Interaksi Sosial membaik Observasi kurangnya
berpisah dengan dengan kriteria hasil yang 1. Identifikasi keterampilan
orang terdekat diharapkan yaitu : penyebab social
1. Perasaan nyaman kurangnya - Untuk
dengan situasi sosial keterampilan mengidentifikasi
(3) social focus pelatihan
2. Perasaan mudah 2. Identifikasi keterampilan
menerima atau focus pelatihan sosial
mengkomunikasikan keterampilan - Untuk
perasaan (3) sosial meningkatkan
3. Responsif pada Terapeutik motivasi
orang lain (3) 1. Motivasi untuk berlatih
4. Perasaan tertarik berlatih keterampilan
pada orang lain (3) keterampilan sosial
sosial - Untuk
Interaksi Sosial (L.13115) 2. Beri umpan memberikan
18
balik positif semangat
3. Libatkan kepada klien
keluarga - Untuk
selama Latihan memandirikan
keterampilan keluarga
sosial - Untuk melatih
Edukasi keterampilan
1. Jelaskan tujuan sosial
melatih
keterampilan
social
19
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
1. Bagi para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus down syndrome
sebaiknya segera memeriksakan anak nya jika terdapat tanda dalam perkembangan
pada anaknya sehingga mempercepat terapi yang berpengaruh dalam pertumbuhan
anak.
2. Bagi mahasiswa diharapkan makalah ini dapat dijadikan dasar pengetahuan dan
penambah wawasan bagi teman-teman sekalian.
20
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar F, Bokhari SRA. Down syndrome . [Updated 2021 Dec 12]. In: StatPearls. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526016/
Suwoko, W. (2015). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Anak. J Dengan Down
Syndrome Dan Malformasi Anorektal Post Psarp Dengan Terapi Bermain Dan Terapi Jus
Mengkudu Di Ruang Pediatric Intensive Care Unit Rsud Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda Tahun 2015. Karya Ilmiah Akhir.
Esbensen, A. J. et al. (2017) ‘Outcome Measures for Clinical Trials in Down Syndrome’,
American Journal on Intelectual and Developmental Disabilities, 122(3), pp. 247–281.
doi: 10.1352/1944-7558-122.3.247.
Balint, E. (2019) ‘Motor Learning Children with Down Syndrome’, Series IX Sciences of
Human Kinetics, 12(61)(2), pp. 131–138. doi: 10.31926/but.shk.2019.12.61.2.48.
Lestari F. A.,& Mariyati L. I. (2015). Resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome di
Sidoarjo. PSIKOLOGIA.
Alfiani, Nailla Fariq. (2021). Diagnosis Down Syndrome. Diakses pada tanggal 22 Oktober
2022 melalui https://www.alomedika.com/penyakit/kedokteran-genetika/down-
syndrome/diagnosis
Rahma, Agus Abdul. (2017). Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan
Empirik. Jakarta: Rajawali Pers.
Indrawati, Endang Sri dkk. (2017). Buku Ajar Psikologi Sosial. Yogyakarta: Psikosain
RSND Rumah Sakit Nasional Diponegoro, Tri Indah Winarni, SINDROM DOWN
(TRISOMI 21), 21 Oktober 2022, https://rsnd.undip.ac.id/sindrom-down-trisomi-21/
Aryanto. 2008. Gangguan Pemahaman Bahasa pada Anak Down Syndrome. Jakarta: EGC.
Irwanto et al. (2019) A-Z Sindrom Down. Surabaya: Airlangga University Press.
21