Anda di halaman 1dari 21

DOWN SYNDROM

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak Sakit Kronis dan
Terminal
Dosen Pengampu Septian Andriyani, S.Kp., M.Kep.

Disusun Oleh :
Anggi Rojiah Amalia 2009669
Arihni Raa’ihatal Jannah 2009688
Ayu Amelia 2009606
Cheli Cakrawati 2009685
Danies Laelatul Ahdiah 2002071
Desi Rahayu 2010114
Nadya Anggi Pratiwi 2001918
Shifa Fadhilah Anggraini 2001956
Silviana Safitri 2005592
Silvy Mutiara Dewi 2009903
Siti Mu’minah 2007948
Siti Sopiah 2007095
Sri Devi Vani Wijaya 2010070
Syaila Nur Khuldiyyah 2009970

PROGRAM STUDI S1-KEPERAWATAN


FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah tentang “Down Syndrom”. Makalah ini disusun unutk memenuhi syarat nilai mata
kuliah Keperawatan Anak Sakit Kronis dan Terminal.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Keperawatan
Anak Sakit Kronis dan Terminal yaitu Ibu Septian Andriyani, S.Kp., M.Kep. Tak lupa
penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang
telah mendukung serta membantu penulis selama proses penyelesaian masalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini masih jauh dari sempurna serta
kesalahan yang penulis yakini diluar batas kemampuan penulis. Maka dari itu penulis dengan
senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Penulis berharap
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandung, 21 Oktober 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Down Syndrome adalah suatu kumpulan gejala dari adanya abnormalitas
kromosom yaitu kromosom 21 yang gagal mengalami meiosis sehingga terbentuk
individu dengan 47 kromosom. Faktor resiko lahirnya anak dengan Down Syndrome
yaitu kesalahan asupan makanan maupun obat-obatan saat kehamilan, paparan radiasi,
kelainan kromosom saat pembuahan dan faktor usia saat ibu mengandung yaitu lebih
dari 30 tahun (Rahma and Indrawati, 2017).
Down Syndrome memiliki fenotip kognitif yang cenderung berbeda
sehingga terdapat adanya gangguan di berbagai tingkat perkembangan seperti
perkembangan motorik, fungsi sosial emosional, perilaku dan pengaturan diri,
kognisi, perhatian, serta bahasa. Terdapat adanya gangguan intelektual seperti
gangguan pada pemrosesan visual, daya ingat jangka pendek, visuospasial, dan
imitasi. Down Syndrome juga memiliki kekuatan otot yang rendah serta gait yang
lebar sehingga menyebabkan adanya gangguan pada perkembangan motorik yang
mencangkup keseimbangan, kontrol motorik halus dan motorik kasar, serta kekuatan
otot (Esbensen et al. 2017).
Selain itu, Down Syndrome juga mengalami gangguan psikomotorik yang
ditandai dengan ketidakseimbangan kepribadian seperti agitasi, perhatian mudah
teralihkan, kurangnya konsentrasi dan kemauan, serta kesulitan dalam koordinasi
gerak (Balint 2019).
Saraf pada anak Down Syndrome mengalami kesulitan dalam menerima
informasi yang akan dikoordinasikan untuk membentuk gerakan sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama dalam menerjemahkan perintah. Otot pada anak
Down Syndrome dapat melakukan gerakan, namun gerakan tersebut menjadi lebih
lambat, lebih lemah, dan tidak terkoordinasi dengan baik (Irwanto et al. 2019).
Menurut WHO (World Health Organization), jumlah penyandang Down
Syndrome di dunia ditaksir sebanyak 8 juta jiwa. Secara definit, tiap tahunnya
terdapat 3.000-5.000 kelahiran dengan kelainan kromosom yang terjadi di seluruh
dunia (Winurini 2018).
Akumulasi kejadian Down Syndrome di Indonesia melampaui angka
300.000 jiwa yang diperoleh dari pencatatan Indonesian Center for Biodiversity and
Biotechnology (ICBB) (Lestari & Mariyati 2015).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari drown syndrome ?
2. Bagaimana patofisiologi dari down syndrome ?
3. Bagaimana etiologi dari down syndrome ?
4. Apa saja komplikasi dari down syndrome ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari down syndrome ?
6. Apa saja pemeriksaan diagnotik dari down syndrome ?
7. Bagaimana penatalaksanaan medis pada penderita down syndrome ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita down syndrome ?
1.3 Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi dari down syndrome
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami patofisiologi pada down
syndrome
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami etiologi pada down syndrome
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konplikasi pada down
syndrome
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami manifestasi klinis pada down
syndrome
6. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostic pada
down syndrome
7. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis pada
down dyndrome
8. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada
penderita down syndrome
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan
mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom
menurut Cuncha dalam Mark L.Batshaw, M.D. Menurut Bandi (1992: 24) anak cacat
mental pada umumnya mempunyai kelainan yang lebih dibandingkan cacat lainnya,
terutama intelegensinya. Hampir semua kemampuan kognitif anak cacat mental
mengalami kelainan seperti lambat belajar, kemampuan mengatasi masalah, kurang dapat
mengadakan hubungan sebab akibat, sehingga penampilan sangat berbeda dengan anak
lainnya. Anak cacat mental ditandai dengan lemahnya kontrol motorik, kurang
kemampuannya untuk mengadakan koordinasi, tetapi dipihak lain dia masih bisa dilatih
untuk mencapai kemampuan sampai ke titik normal. Tanda-tanda lainnya seperti
membaca buku ke dekat mata, mulut selalau terbuka untuk memahami sesuatu pengertian
memerlukan waktu yang lama, mempunyai kesulitan sensoris, mengalami hambatan
berbicara dan perkembangan verbalnya. (Bukhari, 2000)

Menurut Gunarhadi (2005 : 13) down syndrome adalah suatu kumpulan gejala akibat
dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21, yang tidak dapat memisahkan diri
selama meiosis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Kelainan ini pertama kali
ditemukan oleh Seguin dalam tahun 1844. Down adalah dokter dari Inggris yang
namanya lengkapnya Langdon Haydon Down. Pada tahun 1866 dokter Down
menindaklanjuti pemahaman kelainan yang pernah dikemukakan oleh Seguin tersebut
melalui penelitian. Seguin dalam Gunarhadi 2005:13 mengurai tanda-tanda klinis
kelainan aneuploidi pada manusia. Seorang individu aneuploidi memiliki kekurangan atau
kelebihan di dalam sel tubuhnya. Pada tahun 1970-an para ahli dari Amerika dan Eropa
merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu
pertama kali syndrome ini dengan istilah down syndrome dan hingga kini penyakit ini
dikenal dengan istilah yang sama.

B. Patofisiologi
Sindrom Down pada umumnya (95%) disebabkan karena gagalnya pembelahan sel
gamet (sel telur atau sperma) pada proses Meiosis I ataupun Miosis II (non-disjunction)
sehingga mengakibatkan terjadinya kelebihan kromosom 21 sel gamet, apabila sel gamet
tersebut dibuahi akan menghasilkan bayi dengan kelebihan 1 kromosom 21 atau disebut
Trisomi 21 dengan kariotip: 47, XX,+21 (Perempuan) atau 47, XY, +21 (Laki-laki).
Sindrom Down jenis ini disebut sebagai Sindrom Down Klasik dan tidak diturunkan.
Gambar 1. Kariotip Sindrom Down Klasik Perempuan (47,XX,+21)

Sebagian kecil kasus (5%) terjadi akibat terjadinya translokasi (perpindahan


sebagian atau seluruh kromosom ke kromosom lain) yang terjadi akibat adanya translokasi
kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik (tidak mempunyai lengan pendek) lain
misalnya kromosom 14 (paling sering), kromosom 13, kromosom 15, dan dengan
kromosom 21. Sindrom Down jenis ini disebut sebagai Sindrom Down Translokasi dan
pada umumnya diturunkan dari orang tuanya (karier).

Gambar 2. Kariotip Sindrom Down


Translokasi (46,XY,t (14;21)
(q10:q10),+21)

Kegagalan terjadinya pembelahan sel gamet (Meiosis non-disjunction) belum


diketahui secara pasti penyebabnya, namun beberapa literatur mengatakan faktor
lingkungan seperti polusi, merokok, paparan sinar radiasi, kurang gizi, gangguan
metabolisme asam folat menjadi faktor yang diduga merupakan faktor yang menyebabkan
gagalnya pembelahan sel gamet.

Umur ibu yang lanjut (>35 tahun) atau disebut advance maternal age disebut
sebagai risiko yang tinggi nterhadap kejadian Sindrom Down. Oleh karena itu wanita yang
berumur lebih dari 35 tahun apabila mengandung sebaiknya melakukan skrining tes untuk
mengetahui keadaan janin yang sedang dikandung. Jenis tes yang dilakukan dapat berupa
pemeriksaan darah ibu (maternal serum screening) pada trimester satu (<12 minggu) atau
dengan pemeriksaan ultrasonography (USG) pada trimester satu (<12 minggu) usia
kandungan.
Gambar 3. Risiko mempunyai anak dengan Sindrom Down risikonya meningkat seiring
dengan usia ibu.

Pada saat lahir bayi dengan Sindrom Down mempunyai tonus otot yang lemah
(floppy baby) sehingga sering mangakibatkan bayi mengalami kesulitan minum susu yang
mengakibatkan berat badan bayi rendah.
Selain mengalami disabilitas intelektual dengan IQ berkisar antara 50-70, anak
dengan Sindrom Down mempunyai karakteristik fisik yang khas berupa:
 Kepala dan Leher: kepala kecil, mata sipit dan kecil dengan kelopak mata yang up-
slanting, hidung pesek, lidah besar (menjulur), telinga kecil dan rendah, leher
pendek
 Tangan dan Kaki: garis tangan tunggal dan lurus (simean creases), jari-jari tangan
dan kaki pendek, antara jari kaki ke-1 dan ke-2 lebar (sandal gap), kaki bebek (flat
feed)
 Perawakan pendek (short stature)

C. Etiologi Down Syndrome Pada Anak

(Suwoko, 2015) Penyebab dari down syndrome adalah adanya kelainan kromosom
yaitu terletak pada kromosom 21 dan 15, dengan kemungkinan-kemungkinan :

1. Non disjungtion (pembentukan gametosit)


a) Genetik
Down syndrome bersifat menurun. Hal ini dibuktikan dengan penelitian
epidemiologi pada kelurga yang memiliki riwayat down syndrome akan terjadi
peningkatan resiko pada keturunannya.
b) Radiasi
Menurut Uchida (dikutip dari Puechel dkk, dalam buku tumbuh kembang anak
karangan Soetjiningsih) menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan
anak dengan down syndrome adalah ibu yang pernah mengalami radiasi pada
daerah perut, Sehingga dapat terjadi mutasi gen.
c) Infeksi
Infeksi juga dikaitkan dengan sindrom down, tetapi sampai saat ini belum ada
ahli yang mampu menemukan virus yang menyebabkan sindrom down ini.
d) Autoimun
Penelitian Fial kow (dikutip dari Puechel dkk, dalam buku tumbuh kembang anak
karangan Soetjiningsih) secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan antibodi
ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down dengan anak yang normal.
e) Usia ibu
Usia ibu diatas 35 tahun juga mengakibatkan sindrom down. Hal ini disebabkan
karena penurunan beberapa hormon yang berperan dalam pembentukan janin,
termasuk hormon LH dan FSH.
f) Ayah
Penelitian sitogenetik mendapatkan bahwa 20 – 30% kasus penambahan
kromosom 21 bersumber dari ayah, tetapi korelasi tidak setinggi dengan faktor
dari ibu.
2. Gangguan intragametik yaitu gangguan pada gamet, kemungkinan terjadi
Translokasi kromosom 21 dan 15.
3. Organisasi nukleus yaitu sintesis protein yang abnormal sehingga menyebabkan
kesalahan DNA menuju ke RNA.
4. Bahan kimia juga dapat menyebabkan mutasi gen janin pada saat dalam kandungan.
5. Frekwensi coitus akan merangsang kontraksi uterus, sehingga dapat berdampak pada
janin.

D. Komplikasi Down Syndrome


Down syndrome dapat memicu beragam komplikasi, yang di antaranya dapat makin
terlihat jelas seiring bertambahnya usia. Komplikasi tersebut antara lain:

a. Sleep apnea
Kelainan bentuk tulang dan jaringan pada penderita Down syndrome bisa
menyumbat saluran napas dan berujung pada sleep apnea.
b. Gangguan pencernaan
Sebagian anak dengan sindrom Down menderita gangguan pencernaan,
seperti penyakit celiac.
c. Gangguan pendengaran
Sebagian besar anak dengan Down syndrome berisiko mengalami tuli atau hilang
pendengaran. Kondisi ini bisa terjadi akibat kelainan bentuk tulang di bagian dalam
telinga atau infeksi telinga.
d. Gangguan penglihatan
Lebih dari setengah penderita Down syndrome mengalami gangguan penglihatan,
seperti katarak, rabun jauh, rabun dekat, atau mata juling.
e. Hipotiroidisme
Penderita sindrom Down dapat terkena hipotiroidisme, atau kekurangan hormon
tiroid. Kondisi ini dapat terjadi sejak lahir atau berkembang seiring bertambahnya
usia.
f. Penyakit Alzheimer
Saat mencapai usia lanjut, penderita Down syndrome cenderung terserang penyakit
Alzheimer.
g. Gangguan mental
Anak dengan Down syndrome berisiko mengalami gangguan mental, seperti
gangguan obsesif–kompulsif, autisme, depresi, dan gangguan kecemasan.
h. Kelainan jantung
Sekitar setengah dari anak dengan Down syndrome diketahui terlahir
dengan penyakit jantung bawaan sehingga harus menjalani operasi.
i. Gangguan lain
Kondisi lain yang juga berisiko terjadi pada penderita sindrom Down antara lain
leukemia, obesitas, demensia, penyakit autoimun, dan epilepsi.

E. Manifestasi Klinis.
Gejala yang biasanya merupakan keluhan utama dari orang tua adalah retardasi mental
atau keterbelakangan mental (disebut juga tunagrahita), dengan IQ antara 50-70, tetapi
kadang-kadang IQ bisa sampai 90 terutama pada kasus-kasus yang diberi latihan. Pada
bayi baru lahir, dokter akan menduga adanya Down Sindrom karena gambaran wajah
yang khas, tubuhnya yang sangat lentur, biasanya otot-ototnya sangat lemas, sehingga
menghambat perkembangan gerak bayi. Pada saat masih bayi tersebut sulit bagi
seorang dokter untuk menentukan diagnosisnya, apalagi orang tuanya juga mempunyai
mata yang sipit atau kecil. Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan
kromosom dari sel darah putih.
Ciri-ciri fisik anak down syndrome adalah sebagai berikut:
A. Bentuk kepala yang relative kecil dengan bagianbelakang yang tampak mendatar
(peyang).
- Hidung kecil dan datar (pesek), hal ini mengakibatkan mereka sulit bernafas.
- Mulut yang kecil dengan lidah yang tebal dan pangkal mulut yang
cenderungdangkal yang mengakibatkan lidah sering menjulur keluar.
B. Benruk mata yang miring dan tidak punya lipatan di kelopak matanya.
- Letak telinga lebih rendah dengan ukuran telinga yang kecil, hal ini
mengakibatkan mudah terserang infeki telinga.
- Rambut lurus, halus, dan jarang mengenal.
- Kulit yang kering.
Gejala-gejala;
1. Anak-anak yang menderita kelainan ini umumnya lebih pendek dari anak yang
umunya sebaya.
2. Kepandaiannya lebih rendah dari normal.
3. Lebar tengkorak kepala pendek, mata sipit dan turun, dagu kecil yang manalidah
kelihatan menonjol keluar dan tangan lebar dengan jari-jari pendek.
4. Pada beberapa orang, mempunyai kelainan jantung bawaan.

F. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik khusus yang ada
pada Down syndrome , meliputi:
- Bentuk kepala brakiosefali dan perawakan pendek
- Fisura palpebra oblique, adanya lipatan pada epikantus, dan brushfield spot
- Jembatan hidung rata
- Telinga kecil dan letak rendah
- Mulut kecil hampir selalu terbuka, sudut bibir ke bawah, makroglosia
- Bentuk gigi yang tidak normal (partial anodontia, microdontia) dan erupsi gigi
yang terlambat
- Leher pendek dan terdapat lipatan kulit
- Pada toraks dapat mengalami pectus  excavatum atau pectus carinatum
- Bentuk tangan lebar dengan jari pendek, sandal gap deformity, jari manis
tertekuk ke dalam, sindaktili, dan simian crease
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis Down syndrome dapat dilakukan saat
skrining pada ibu hamil. Pemeriksaan penunjang dilakukan menggunakan USG,
pemeriksaan serum darah ibu, amniosentesis, chorionic villus sampling (CVS),
dan Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS).
Pemeriksaan skrining dilakukan pada ibu hamil sebelum usia kehamilan 20 minggu
tanpa memandang usia ibu. Skrining prenatal berguna untuk mendeteksi dini
kemungkinan kelainan aneuploidi kromosom, termasuk Down syndrome.
Pemeriksaan skrining dilakukan menggunakan USG dan pemeriksaan biomarker
serum maternal.
1. Non Invasive Prenatal Testing (NIPT)
NIPT dapat mulai dilakukan pada trimester pertama kehamilan, pada usia
kehamilan 10–14 minggu). NIPT dilakukan melalui analisis fragmen DNA yang
bersirkulasi dalam darah ibu. Fragmen ini tidak berlokasi dalam nukleus sel tetapi
berlokasi dalam plasma sehingga disebut sebagai cell-free DNA (cfDNA). NIPT
dapat digunakan untuk skrining kelainan genetik fetus.
2. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat digunakan
saat skrining kehamilan dan diagnosis Down syndrome  yang dikombinasi dengan
pemeriksaan serum maternal.
USG dilakukan pada trimester pertama pada usia kandungan 11-14 minggu.
Apabila ditemukan penebalan pada translusensi nuchal lebih dari 3 mm dan nasal
bone hypoplasia, dapat menandakan adanya risiko kelainan genetik dan
malformasi kongenital, termasuk Down syndrome.
USG pada trimester kedua bertujuan untuk mencari soft marker Down syndrome.
Yang termasuk dalam soft marker Down syndrome  adalah echogenic
intracardiac focus, choroid plexus cyst,  ventriculomegaly, nuchal fold
thickness > 6 mm, echogenic bowel, shortened humerus, mild
pyelectasis, shortened femur, aberrant right subclavian artery (ARSA),
dan enlarged cysterna magna.
3. Pemeriksaan Serum Maternal
Pemeriksaan biomarker serum maternal merupakan pemeriksaan invasif yang
dilakukan untuk skrining dan pemeriksaan diagnosis Down syndrome.
Pemeriksaan biomarker serum maternal ini dapat dilakukan pada trimester
pertama pada usia kandungan 11-14 dan trimester kedua pada kehamilan 15-20
minggu.
Dari serum maternal dapat dilakukan pemeriksaan serum biomarker yang
meliputi pregnancy-associated plasma protein A (PAPP-A), unconjugated
estriol (uE3), dan free beta-human chorionic gonadotropin (β-HCG).
Pemeriksaan kadar biomarker yang dikombinasikan dengan pemeriksaan
translusensi nuchal USG dapat memprediksi Down syndrome dengan akurasi
hingga 90%.
Peningkatan β-HCG dan rendahnya kadar uE3 ditemukan sebagai penanda Down
syndrome. Peningkatan kadar inhibin A pada trimester pertama dan penurunan
kadar PAPP-A pada trimester pertama digunakan untuk mengidentifikasi
kecurigaan adanya Down syndrome.
4. Chorionic Villus Sampling
Pemeriksaan chorionic villus sampling (CVS) merupakan pemeriksaan diagnostik
invasif yang dikerjakan untuk mendeteksi kelainan kromosom pada janin
termasuk Down syndrome. Pemeriksaan ini mengambil sedikit sampel vilus
korion dari plasenta. CVS dapat dilakukan pada usia kehamilan lebih awal
dibandingkan amniosentesis, yakni pada usia kehamilan 10-13 minggu. Risiko
keguguran setelah tindakan CVS adalah sebesar 1 per 455 kehamilan. Indikasi
pemeriksaan CVS adalah bila didapatkan hasil yang positif dari pemeriksaan
skrining atau risiko kelainan genetik pada orang tua.
5. Amniosentesis
Amniosentesis adalah pemeriksaan diagnostik terhadap sel janin dengan
mengambil cairan amnion di dalam rahim ibu menggunakan jarum steril dengan
panduan ultrasonografi. Amniosentesis dapat dikerjakan pada usia kehamilan 14-
16 minggu atau pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Akurasi pemeriksaan ini
untuk mendeteksi kelainan kromosom mencapai 99,5%. Risiko abortus akibat
pemeriksaan ini adalah 1:200-300 kehamilan.
6. Pemeriksaan Sitogenetik
Pemeriksaan sitogenetik dapat dilakukan dari sampel yang diperoleh saat prenatal
atau postnatal. Saat prenatal, indikasi dilakukan pemeriksaan sitogenetik ketika
hasil pemeriksaan serum biomarker dan hasil USG dengan temuan abnormal.
Pada saat post natal pemeriksaan sitogenetik berguna untuk membedakan tipe
mutasi yang dialami pasien (kariotipe).
Uji sitogenetik adalah pemeriksaan kromosom untuk mengetahui kelainan
kromosom seperti aneuploidi dan kelainan struktur. Pemeriksaan sitogenetik juga
dapat mendiagnosis adanya keganasan serta menentukan terapi yang tepat untuk
stratifikasi prognostic.
7. Pemeriksaan Cell-Free DNA
Pemeriksaan cell-free DNA dapat menggunakan serum darah maternal atau cell
free fetal DNA dari plasenta (sampel dari amniosintesis, CVS, atau PUBS).
Indikasi pemeriksaan ini untuk mendeteksi trisomi 21,18, dan 13. Pemeriksaan
dapat dilakukan selama kehamilan setelah kandungan mencapai usia 10 minggu.
8. Pemeriksaan FISH
Pemeriksaan Fluorescence in situ hybridization (FISH) digunakan digunakan
untuk diagnosis cepat trisomi 21. Pemeriksaan diagnosis dengan FISH dapat
digunakan baik dalam diagnosis prenatal maupun diagnosis pada periode
neonatus. Pemeriksaan FISH menggunakan hibridisasi dari urutan DNA tertentu
pada kromosom yang terpilih ditandai dengan pewarnaan fluoresen untuk
persiapan pada kromosom. Urutan yang telah ditandai menempel pada DNA yang
bersangkutan dan dapat dilihat di bawah mikroskop. Dengan pemeriksaan
FISH, Down syndrome   dapat terdiagnosis hingga 86,67%.
9. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan penunjang lainnya dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
dan juga menemukan kelainan-kelainan yang dialami pasien Down syndrome.
Pemeriksaan TSH dan T4 digunakan untuk menyingkirkan diagnosis hipotiroid
pada bayi baru lahir. Echocardiography dilakukan untuk mendeteksi defek
kongenital jantung.
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan Down syndrome bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup,
mengoptimalkan potensi, serta menangani kelainan sistem organ yang dialami pasien.
Dibutuhkan keterlibatan berbagai bidang disiplin ilmu dalam menangani Down
syndrome.
a) Konseling Genetik
Konseling genetik terkait Down syndrome diberikan kepada orang tua setelah
diagnosis ditegakkan. Konseling genetik Down syndrome  merupakan
komunikasi yang diberikan terkait dengan penyakit genetik dalam keluarga.
Tujuan konseling genetik untuk pemberian pemahaman komprehensif pada orang
tua atau keluarga pasien Down syndrome tentang semua implikasi terkait dengan
penyakit Down syndrome, pemberian obat dan terapi yang berguna untuk
mengobati kondisi medis yang muncul, serta terapi yang dapat meningkatkan
kualitas hidup.
b) Medikamentosa
Pemberian medikamentosa pada Down syndrome bertujuan untuk mengobati
penyakit yang menyertai Down syndrome. Misalnya pasien Down syndrome yang
mengalami konstipasi kronik, diare intermiten, atau diabetes tipe 1.  Penanganan
penyakit penyerta ini berguna untuk meningkatkan kualitas dan harapan hidup
pasien.Patobiologi kompleks pada Down syndrome  dapat mengubah disposisi
dan respon obat dalam beberapa kasus. Perlu diperhatikan adanya peningkatan
risiko efek samping. Adanya disabilitas intelektual pada pasien Down
syndrome juga dapat berdampak pada kepatuhan terhadap regimen pengobatan.
c) Pembedahan
Pembedahan pada Down syndrome dilakukan untuk memperbaiki defek
kongenital, mencegah terjadinya komplikasi, dan menekan angka mortalitas
karena defek tersebut. Intervensi bedah pada Down syndrome memiliki risiko
komplikasi yang tinggi, terutama terkait infeksi dan penyembuhan luka.Kehati-
hatian manajemen jalan napas saat anestesi diperlukan karena risiko terkait
ketidakstabilan atlantoaksial. Evaluasi praoperasi untuk anestesi harus mencakup
evaluasi yang memadai dari jalan napas dan status neurologis pasien.
Saat intubasi untuk proses anestesi, posisi leher perlu dipertahankan dalam posisi
netral (tidak hiperekstensi).Pembedahan untuk mengoreksi penyakit jantung
bawaan perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi dan mengurangi mortalitas.
Anomali pada saluran pencernaan seperti atresia duodenum dan penyakit
Hirschsprung juga memerlukan terapi pembedahan segera.Terapi pembedahan
adenotonsilektomi dapat dilakukan pada kasus obstructive sleep
apnea (OSA) pasien Down syndrome. Kasus katarak kongenital juga memerlukan
penanganan sedini mungkin untuk mencegah ambliopia.
d) Terapi Suportif
Terapi suportif pada Down syndrome terkait dengan intervensi dini. Bentuk terapi
suportif yang dapat dilakukan pada anak dengan Down syndrome  diantaranya
terapi gizi, fisioterapi, terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi psikologi. Terapi-
terapi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengoptimalkan
bakat yang ada pada anak dengan Down syndrome.
 Intervensi Dini
Intervensi dini pada Down syndrome diberikan pada bayi baru lahir hingga
usia 3 tahun. Intervensi dini dirancang untuk memantau perkembangan
dengan berfokus pada pemberian makan, serta perkembangan motorik kasar
dan halus, bahasa, pribadi, dan sosial. Tujuan utama intervensi dini adalah
memaksimalkan kompetensi pasien di seluruh domain perkembangan serta
untuk mencegah dan meminimalkan keterlambatan.
 Intervensi Gizi
Intervensi gizi pada Down syndrome sangat diperlukan terutama untuk
mencegah risiko kekurangan gizi di tahun pertama kehidupan dan
mencegah obesitas di tahun berikutnya. Pasien Down syndrome juga sering
mengalami kondisi penyerta yang memerlukan intervensi nutrisi, seperti
konstipasi, gastroesophageal reflux disease, masalah gigi, atau kesulitan
makan.Intervensi gizi meliputi pendidikan parenting sejak dini dan
pemberian air susu ibu (ASI), makanan pendamping ASI, intervensi perilaku
dan kebiasaan makan, pendidikan gizi, serta pemberian nutrisi selama fase
pemulihan dari tindakan pembedahan. Intervensi gizi yang diberikan sedini
mungkin dilaporkan secara signifikan meningkatkan perkembangan anak
dengan Down syndrome.
e) Pendekatan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Pendekatan kedokteran fisik dan rehabilitasi pada Down syndrome  meliputi
pengelolaan kognisi, komunikasi, motorik, perkembangan emosi dan sosial,
serta pola asuh. Oleh karena itu,  rehabilitasi umumnya mencakup fisioterapi,
terapi okupasi, prostesis ortotik, terapi wicara, serta terapi psikologis dan
kedokteran sosial.
Pendekatan multidisipliner kedokteran fisik dan rehabilitasi pada anak Down
syndrome  meliputi:
 Fisioterapis: berfokus pada perkembangan motorik dan hipotonia dengan
tujuan meningkatkan tonus otot
 Terapis okupasi: berfokus pada penanganan keterlambatan dan ketrampilan
adaptif serta kemandirian, dengan mengajarkan ketrampilan perawatan diri
serta keterampilan motorik halus dan kasar
 Terapis wicara: berfokus pada ketrampilan komunikasi dan latihan
oromotor karena pada Down syndrome sering terjadi kesulitan bicara akibat
anomali pada anatomi mulut, lidah, dan rahang
 Psikologi: berfokus pada motivasi kepada orang tua dalam membina,
melatih, dan membesarkan anak Down syndrome
 Pekerja sosial: berfokus pada praktik pekerjaan sosial yang ditujukan untuk
penyandang disabilitas dalam keluarga dan lembaga sosial lainnya, seperti
sekolah, sistem kesehatan, dan sistem kesejahteraan
 Prostesis dan orthotik: prostesis dan ortosis berfokus pada penyediaan alat
bantu (seperti orthopaedic insoles dan plantar supports) dan alat ganti
(seperti dental implant) agar pasien Down syndrome dapat lebih produktif
dan memiliki kualitas hidup yang baik
f) Follow-up
Follow up pada Down syndrome sangat diperlukan terutama untuk memantau
tumbuh kembang dan deteksi dini komplikasi. Follow-up yang dilakukan
pada Down syndrome antara lain:
 Pemantauan berat badan dan tinggi badan setiap bulan hingga masa sekolah
 Pemantauan perkembangan (milestone) setiap bulan hingga memasuki masa
dewasa
 Pemantauan fungsi tiroid harus dilakukan pada saat bayi baru lahir, usia 6
bulan, usia 12 bulan, dan setiap tahun sesudahnya
 Pemantauan fungsi pendengaran pada usia 6 bulan, 1 tahun, dan setiap
tahun sesudahnya
 Pemantauan fungsi penglihatan setiap 3-6 bulan untuk anak di bawah usia 2
tahun, serta setiap 6 bulan untuk anak usia 2-5 tahun, kemudian setiap tahun
setelahnya
 Pemeriksaan hematologi dilakukan setiap tahun
 Pemantuan pasca pembedahan dilakukan setiap kali kunjungan dan setiap
tahun saat kondisi stabil
 Pemeriksaan radiologi leher dilakukan ketika usia 3 dan 5 tahun

H. Pengkajian
 Pengkajian
a. Lakukan pengkajian Fisik
b. Lakukan Pengkajian Perkembangan
c. Lakukan pengkajian riwayat keluarga, terutama yang berkaitan dengan usia ibu
atau anak lain mengalami keadaab serupa
 Pemeriksaan Fisik
a. Observasi adanya manifestasi Sindrom Down
1. Karakteristik fisik ( paling sering terlihat)
 Pada saat lahir terdapat kelemahan otot dan hipotonia
 Kepala pendek (brachycephaly)
 Lipatan epikantus bagian dalam dan fisura palpebra serong (mata
miring ke atas dan keluar)
 Hidung kecil dengan batang hidung tertekan kebawah (hidung sadel)
 Lidah menjulur kadang berfisura
 Mandibula hipoplastik (membuat lidah tampak besar)
 Palatum berlengkung tinggi
 Leher pendek tebal
 Muskultur hipotonik (perut buncit, hernia umbilikus)
 Sendi hiperfleksibel dan lemas
 Tangan dan kaki lebar, pendek tumpul
 Garis simian (puncak transversal pada sisi telapak tangan)
2. Intelegensia
a. Bervariasi dan retardasi hebat sampai intelegensia normal rendah
b. Umumnya dalam rentang ringan sampai sedang
c. Kelambatan bahasa lebih berat daripada kelambatan kognitif
3. Anomaly congenital (peningkatan insiden)
a. Penyakit jantung kongenital ( palinh umum )
b. Defek lain meliputi : agenesis renal, atresia duodenum, penyakit
hiscprung, fistula esophagus, subliksasi pinggul, ketidakstabilan vertebra
servikal pertama dan kedua (ketidakstabilan atlantoaksial)
4. Masalah sensori ( sering berhubungan)
a. Kehilangan pendengaran koduktif ( sangat umum)
b. Strabismus
c. Myopia
d. Nistagmus
e. Katarak
f. Kongjungtivitis
5. Pertumbuhan dan perkembangan seksual
a. Pertumbuhan tinggi badan dan BB menurun, umumnya obesitas
b. Perkembangan seksual terhambat, tidak lengkap atau keduanya
c. Infertile pada pria, wanita dapat fertile
d. Penuaan premature umum terjadi harapan hidup rendah
I. Intervensi

N Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasional


O Keperawatan
1. (D.0019) Defisit Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi - Untuk
nutrisi b.d keperawatan selama 3x24 (I.03119) mengidentifikasi
ketidakmampua jam maka diharapkan Status Observasi status nutrisi
n menelan Nutrisi membaik dengan 1. Identifikasi - Untuk
makanan kriteria hasil yang status nutrisi mengidentifikasi
diharapkan 2. Identifikasi alergi dan
yaitu : alergi dan intoleransi
1. Porsi makanan yang intoleransi makanan
dihabiskan (3) makanan - Untuk
2. Kekuatan otot 3. Identifikasi mengetahui
pengunyah (3) makanan yang makanan yanh
3. Indeks masa tubuh disukai disukai
(3) 4. Identifikasi - Untuk
4. Nafsu makan (3) kebutuhan mengetahui
kalori dan jenis kebutuhan
Status Nutrisi (L.03030) nutrien kalori dan jenis
5. Monitor berat nutrien
badan - Untuk
6. Monitor hasil memonitoring
pemeriksaan BB
laboratorium - Agar makanan
Terapeutik disajikan secara
1. Lakukan oral menarik atau
hygiene suhu yang
sebelum sesuai
makan, jika - Untuk
perlu mencegah
2. Fasilitasi konstipasi
menentukan - Untuk
pedoman diet memberikan
(mis: piramida kenyamanan
makanan) kepada klien
3. Berikan - Untuk medikasi
makanan tinggi sebelum makan
serat untuk - Untuk
mencegah menentukan
konstipasi jumlah kalori
4. Berikan dan jenis
makanan tinggi nutrient yang
kalori dan dibutuhkan
tinggi protein
5. Berikan
suplemen
makanan, jika
perlu
Edukasi
1. Ajarkan posisi
duduk, jika
mampu
2. Ajarkan diet
yang
diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menentukan
jumlah kalori
dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan,
jika perlu

2. (D.0017) Resiko Setelah dilakukan tindakan Pencegahan cedera - Untuk


Cedera . Bd keperawatan selama 3x24 (I.14537) mengidentifikasi
Gangguan jam maka diharapkan Observasi area lingkungan
Pendengaran Tingkat Cedera menurun 1. Identifikasi yang berpotensi
Dan Penglihatan dengan kriteria hasil yang area mengakibatkan
diharapkan yaitu : lingkungan cedera
1. Kejadian cedera yang - Untuk
luka/lecet sedang (3) berpotensi mengidentifikasi
2. Gangguan mobilitas mengakibatkan obat yang
Sedang (3) cedera berpotensi
3. Toleransi aktivitas 2. Identifikasi mengakibatkan
sedang (3) obat yang cedera
4. Nafsu makan sedang berpotensi - Untuk pencahayaan
(3) mengakibatkan yang memadai
cedera - Agar
Tingkat cedera (L.14136) Terapeutik meminimalisir d
1. Sediakan berisiko mengalami
pencahayaan cedera yang serius
yang memadai - Agar mengerti
2. Gunakan alas intervensi
lantai jika pencegahan jatuh
berisiko ke pasien dan
mengalami keluarga
cedera yang
serius
3. Sediakan alas
kaki anti slip
Edukasi
1. Jelaskan
alasan
intervensi
pencegahan
jatuh ke pasien
dan keluarga
3. (D.0118) Setelah dilakukan tindakan Modifikasi Perilaku - Untuk
Gangguan keperawatan selama 3x24 Keterampilan Sosial mengidentifikasi
Interaksi sosial jam maka diharapkan (I.03119) penyebab
b.d Keengganan Interaksi Sosial membaik Observasi kurangnya
berpisah dengan dengan kriteria hasil yang 1. Identifikasi keterampilan
orang terdekat diharapkan yaitu : penyebab social
1. Perasaan nyaman kurangnya - Untuk
dengan situasi sosial keterampilan mengidentifikasi
(3) social focus pelatihan
2. Perasaan mudah 2. Identifikasi keterampilan
menerima atau focus pelatihan sosial
mengkomunikasikan keterampilan - Untuk
perasaan (3) sosial meningkatkan
3. Responsif pada Terapeutik motivasi
orang lain (3) 1. Motivasi untuk berlatih
4. Perasaan tertarik berlatih keterampilan
pada orang lain (3) keterampilan sosial
sosial - Untuk
Interaksi Sosial (L.13115) 2. Beri umpan memberikan
balik positif semangat
3. Libatkan kepada klien
keluarga - Untuk
selama Latihan memandirikan
keterampilan keluarga
sosial - Untuk melatih
Edukasi keterampilan
1. Jelaskan sosial
tujuan melatih
keterampilan
social

Anda mungkin juga menyukai