KELOMPOK 4:
1. Bella Septiana (G2A020170)
2. Dara Nabila Mutiara Irawan (G2A020171)
3. Norisya Erma Nursetya (G2A020172)
4. Restu Widya Pramesti (G2A020173)
5. Raihan Alif Zhafran (G2A020174)
6. Annisa (G2A020175)
7. Aulia Maharani (G2A020176)
8. Lia Safitri (G2A020179)
9. Himmatul Khoiriyah (G2A020180)
10. Intan Pria Widana (G2A020184)
11. Adnia Nurul Afifah (G2A020185)
12. Linda Alifah Laili Wahyuningrum (G2A020186)
13. Estevao Soares (G2A020187)
Puji syukur kehadirat tuhan yang Maha Esa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Makalah SGD Down Syndrome ini dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dari ibu dosen pengampu mata kuliah Keperawatan
Paliatif di Universitas Muhammadiyah semarang. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah
ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang makalah ini.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada ibu selaku dosen kami. Tugas
yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni
penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karna itu, kritik, dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah
ini.
Semarang, Januari 2023
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................3
B. Tujuan Penulisan.............................................................................................................3
C. Metode Penulisan...........................................................................................................4
D. Sistematika Penulisan......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi............................................................................................................................6
E. Etiologi............................................................................................................................6
F. Patofisiologi....................................................................................................................7
G. Manifestasi Klinis...........................................................................................................8
H. Faktor Risiko...................................................................................................................8
I. Karakteritik Fisik Anak Down Syndrome.......................................................................9
J. Komplikasi....................................................................................................................10
K. Pemeriksaan Penunjang................................................................................................11
L. Penatalaksanaan............................................................................................................12
M. Kelainan Kromosom Dan Gen Pada Sindrom Down ...................................................13
N. Skrining Dan Diagnosis Sindrom Down.......................................................................19
O. Masalah Kesehatan Anak Sindrom Down ...................................................................21
P. Pathways Keperawatan.................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................28
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sindrom Down (SD) merupakan suatu kelainan genetik yang paling sering terjadi dan
paling mudah diidentifikasi. SD atau yang lebih dikenal sebagai kelainan genetik trisomi,
di mana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Kromosom ekstra tersebut
menyebabkan jumlah protein tertentu juga berlebih sehingga mengganggu pertumbuhan
normal dari tubuh dan menyebabkan perubahan perkembangan otak yang sudah tertata
sebelumnya. Selain itu, kelainan tersebut dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit jantung, bahkan kanker
darah/leukemia.
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik
yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly)
dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela
hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia).
Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal
folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas
jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki
melebar. Tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar
menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid. Sementara itu
lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Dengan demikian penatalaksanaan dioptimalkan untuk
meminimalkan dampak yang dapat terjadi pada penderita serta memberikan dukungan
yang dapat memungkinkan penderita dapat tumbuh dan berkembang serta mampu
bersosialisasi dengan baik. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga
dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan
fisiknya mengingat tonus otot-oot yang lemah. Dengan demikian penderita harus
mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam
menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran
perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada
penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar
penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut.
Dengan adanya Leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi,
sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi
yang adekuat.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada klien anak dengan down syndrome.
2. Tujuan khusus
3
a. Mampu menjelaskan tentang definisi Down Syndrome
b. Mampu menjelaskan tentang etiologi Down Syndrome
c. Mampu menjelaskan tentang patofisiologi Down Syndrome
d. Mampu menjelaskan tentang manifestasi klinis Down Syndrome
e. Mampu menjelaskan tentang faktor risiko Down Syndrome
f. Mampu menjelaskan tentang karakteristik fisik pada Down Syndrome
g. Mampu menjelaskan tentang komplikasi yang biasa muncul dari Down
Syndrome
h. Mampu menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang dari Down Syndrome
i. Mampu menjelaskan tentang penatalaksanaan pada Down Syndrome
j. Mampu menjelaskan tentang kelainan kromosom dan gen pada penyakit
Dowm Syndrome
k. Mampu menjelaskan tentang skrining dan diagnosa pada anak dengan Down
Syndrome
l. Mampu menjelaskan tentang masalah kesehatan yang biasa muncul dari Down
Syndrome
m. Mampu menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada Anak dengan Down
Syndrome
C. Metode Penulisan
Data dan informasi yang mendukung penulisan makalah ini dikumpulkan dengan
melakukan penelusuran pustaka, pencarian sumber-sumber yang relevan dan pencarian
data melalui internet. Data dan yang dikumpulkan yaitu melalui buku KMB, jurnal,
media elektronik, dan beberapa pustaka lainnya yang relevan. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan:
1) Melakukan studi pustaka yang menjadi bahan pertimbangan dan penambahan
wawasan untuk penulis mengenai konsep yang terkait dalam penulisan.
2) Menganalisa data dari studi pustaka yang sudah dipelajari. Untuk melakukan
pembahasan analisis dan sintesis data-data yang diperoleh, diperlukan data referensi
yang digunakan sebagai acuan, dimana data tersebut dapat dikembangkan untuk dapat
mencari kesatuan materi sehingga diperoleh suatu kesimpulan.
D. Sistematika Penulisan
Dalam makalah SGD ini digunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan teori pada makalah menguraikan tentang latar belakang, tujuan penulisan,
metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Konsep dasar menguraikan tentang pengertian, etiologi/predisposisi, patofisiologi,
manifestasi klinik, penatalaksanaan, pengkajian, diagnose keperawatan, dan intervensi
keperawatan.
4
BAB IV PENUTUP
Penutup berisikan kesimpulan dan saran.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Sindrom Down (SD) merupakan suatu kelainan genetik yang paling sering terjadi dan
paling mudah diidentifikasi. SD atau yang lebih dikenal sebagai kelainan genetik trisomi,
di mana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Kromosom ekstra tersebut
menyebabkan jumlah protein tertentu juga berlebih sehingga mengganggu pertumbuhan
normal dari tubuh dan menyebabkan perubahan perkembangan otak yang sudah tertata
sebelumnya. Selain itu, kelainan tersebut dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit jantung, bahkan kanker
darah/leukemia. Kelainan ini sama sekali tidak berhubungan dengan ras, negara, agama,
maupun status sosial ekonomi.
Berdasarkan kelainan struktur dan jumlah kromosom, Sindrom Down terbagi menjadi 3
jenis, yaitu:
1. Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada penderita
Sindrom Down, di mana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka
kejadian trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita Sindrom Down.
2. Translokasi adalah suatu keadaan di mana tambahan kromosom 21 melepaskan diri
pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang lainnya. Kromosom
21 ini dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4%
dari seluruh penderita Sindrom Down. Pada beberapa kasus, translokasi Sindrom
Down ini dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan
dari translokasi ini hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21.
3. Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, di mana hanya beberapa
sel saja yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan
Sindrom Down mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan yang
lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir dengan Sindrom Down trisomi 21 klasik
dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya mengenai sekitar 2-4% dari penderita
Sindrom Down. (Irwanto, Wicaksono Henry, Ariefa Arini, 2557)
B. ETIOLOGI
Beberapa faktor penyebab down syndrome, antara lain :
a. Faktor Biologis Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jerome Lejuene (1959
dalam Gruenberg, 1966), seorang ahli genetik prancis, bahwa anak yang mongoloid
memiliki 47 kromosom daripada 46 kromosom yang dimiliki orang normal. 0,5
sampai dengan 1 persen ditemukan adanya penyimpangan kromosom pada kelahiran
bayi yang diidentikkan dengan retardasi mental, infertilitas, dan penyimpangan yang
multiple. Salah satu dari penyimpangan tersebut adalah trisomy-21, yang
menyebabkan down syndrome karena adanya malformation dari nervus central
sehingga mempengaruhi perkembangan. Birth injuries dan komplikasi dapat
6
menyebabkan retardasi. Salah satunya adalah Anoxia, yaitu kekurangan supply
oksigen. Adanya malnutrisi dalam perkembangan kognitif sangat berbahaya, yaitu
lima bulan sebelum kelahiran dan sepuluh bulan setelah kelahiran.
b. Faktor Hereditas dan Cultural Family Adanya penelitian yang dilakukan dengan
meneliti 88 ibu dengan kelas ekonomi rendah dan 586 anak dengan komposisi yaitu
setengah dari sample ibu itu memiliki IQ dibawah 80 dan setengahnya lagi memiliki
IQ diatas 80. Ternyata dari hasil penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki
ibu dengan IQ dibawah 80, memiliki penurunan IQ selama memasuki masa sekolah
(Herber, dever, & Conry, 1968). 1-2 persen dari populasi yang memiliki retardasi
mental akan menghasilkan 36 persen generasi retardasi mental pada periode
selanjutnya. Sedangkan populasi secara keseluruhan yaitu 98-99 persen akan
menghasilkan 64 persen anak yang retardasi mental. (Rina, 2016)
C. PATOFISIOLOGI
Semua individu dengan sindrom down memiliki tiga salinan kromosom 21,
sekitar 95% memiliki salinan kromosom 21 saja. Sekitar 1% individu bersifat mosaic
dengan beberapa sel normal. Sekitar 4% penderita sindrom down mengalami translokasi
pada kromosom 21. Kebanyakan translokasi yang mengakibatkan sindrom down
merupakan gabungan pada sentromer antara kromosom 13,14,15. Jika suatu translokasi
berhasil diidentifikasi, pemeriksaan pada orang tua harus dilakukan untuk
mengidentifikasi individu normal dengan resiko tinggi mendapatkan anak abnormal 1.
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan menyebabkan
perubahan sekuensi spektum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom
down akan menurunkan survival prenatal dan meningkatkan mordibitas prenatal dan
postnatal. Anak-anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan
fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat. Lokus 21q22.3
pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang tipikal seperti
retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada ekstermitas atas, dan penyakit
jantung kongenital. Hasil analisis molekular menunjukan regio 21q.22.1-q22.3 pada
kromosom 21 bertanggung jawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada
penderita sindrom down. Sementara gen yang baru lahir dikenal, yaitu DSCRI yang
diidentifikasi pada regio 21q22.1- q22.2 adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung
dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek jantung.
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme thiroid dan
malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem
imun yang lemah dan meningkatnya insidensi terjadi kondisi autoimun, termasuk
hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto. Penderita dengan down sindrom seringkali
menderita hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas
terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh anak-anak dengan
sindrom down yang menderita leukemia sangat sensitif terhadap methotrexate.
7
Menurunnya buffer proses metabolik menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia
dan meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus
Diabetes Mellitus pada penderita sindrom down.
Anak-anak yang menderita sindrom down lebih rentan menderita leukemia,
seperti Transient Myeleproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia.
Hampir keseluruhan anak yang menderita sindrom down yang mendapat leukemia terjadi
akibat mutasi hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada
anak-anak dengan sindrom down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1,
dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum diketahui pasti.
(Karo, 2020)
D. MANIFESTASI KLINIS
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik
yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly)
dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela
hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia).
Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal
folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas
jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki
melebar. Tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar
menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid. Sementara itu
lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). (Rina, 2016)
E. FAKTOR RISIKO
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit
primer yang perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada
tahap tersebut sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut, oosit mengalami non-
disjunction. Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21
autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka
terbentuk zigot trisomi 21. Nondisjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Infeksi virus. Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada prenatal
yang bersifat teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi embriogenesis dan
mutasi gen sehingga menyebabkan perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
2. Radiasi.
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal pada Sindrom Down.
Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan Sindrom Down pernah mengalami
radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Kecelakaan reaktor atom
Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan merupakan penyebab beberapa kejadian
Sindrom Down di Berlin.
3. Penuaan sel telur.
8
Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi
kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan
mengalami kesalahan dalam pembelahan. Sel telur wanita telah dibentuk pada saat
masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat
wanita tersebut mengalami menstruasi. Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi
sel telur tersebut terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada saat dibuahi oleh
spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan yang salah. Proses selanjutnya
disebabkan oleh keterlambatan pembuahan akibat penurunan frekuensi bersenggama
pada pasangan tua. Faktor selanjutnya disebabkan oleh penuaan sel spermatozoa laki-
laki dan gangguan pematangan sel sperma itu sendiri di dalam epididimis yang akan
berefek pada gangguan motilitas sel sperma itu sendiri juga dapat berperan dalam
efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah.
4. Usia ibu.
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan
Sindrom Down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka
kejadian Sindrom Down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran.
Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1 dalam 1000
kelahiran. Perubahan endokrin seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi
reseptor hormon, peningkatan hormon LH (Luteinizing Hormone) dan FSH
(Follicular Stimulating Hormone) secara mendadak pada saat sebelum dan selama
menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom
bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi
kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit
sebagai bagian dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom
lain.15-17 Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down adalah anaphase
lag yang merupakan kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke
salah satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan sel sebagai akibat dari
terlambatnya perpindahan atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak
masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis
ataupun mitosis. (Irwanto, Wicaksono Henry, Ariefa Arini, 2557)
9
- Bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia) sehingga tampak
menonjol keluar.
- Saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat menyebabkan
gangguan pendengaran jika tidak diterapi.
- Garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian crease)
- Penurunan tonus otot (hypotonia)
- Jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan jalan napas lebih
kecil sehingga anak Sindrom Down mudah mengalami hidung buntu.
- Tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak mencapai tinggi
dewasa rata-rata.
- Dagu kecil (micrognatia)
- Gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan yang tidak
sebagaimana mestinya.
- Spot putih di iris mata (Brushfield spots)
Sementara itu, Epstein (1991) mendapatkan sebanyak 50-120 karakteristik fisik yang
digolongkan sebagai Sindrom Down seperti yang tercantum dalam tabel berikut
G. KOMPLIKASI
- Defek kongenital jantung atau organ lain sering terjadi berkaitan dengan sindrom
Down.
- Risiko leukemia di masa kanak-kanak dapat meningkat pada anak pengidap sindrom
Down. Hal ini berkaitan dengan pengamatan bahwa sebagian bentuk leukemia dapat
berhubungan dengan de- fek pada kromosom 21. Pengidap sindrom Down juga
biasanya menderita penyakit Alzheimer selama empat atau lima dekade
10
kehidupannya. Hal ini berkaitan dengan hasil pengamatan bahwa penyakit Alzheimer
dapat muncul sebagian karena defek pada kromosom 21.
- Sekitar 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan antara masa kehamilan
10 dan 16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada endometrium atau ibu
mengalami keguguran. sebelum masa kehamilan 6 sampai 8 minggu.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji genetik pranatal (amniosentesis atau pengambilan sampel vilus korion) dapat
mengidentifikasi janin pengidap sindrom Down.
Pemeriksaan darah ibu dapat mengidentifikasi janin yang berisiko tinggi
mengidap sindrom Down. Dalam sebuah uji yang disebut uji quad, empat bahan
maternal yang bersirkulasi ditubuh diukur se- lama trimester dua kehamilan.
Setelah didapatkan hasilnya, kasus sindrom Down pada ibu adalah 75% pada ibu
berusia kurang dari 35 tahun dan 85%-90% pada ibu berusia 35 tahun atau lebih.
Bahan maternal ini meliputi:
- Estriol tak-terkonjugasi (uE3). uE3 diproduksi oleh plasenta. Kadarnya
menurun sekitar 25% dalam serum ibu yang kehamilannya disertai
sindrom Down dibandingkan kehamilan tanpa sidrom Down.
- Alfafetoprotein (AFP). AFP adalah protein serum utama dari janin. AFP
berpindah dari sirkulasi janin ke sirkulasi maternal. Kadar AFP menurun
pada serum maternal ibu yang mengandung janin sindrom Down. Kadar
AFP juga digunakan untuk mendeteksi defek tuba neural janin dan
anensefali, dan kadar AFP meningkat pada kedua defek ini.
- Human chorionic gonadotropin (hCG), hCG diproduksi selama ke-
hamilan, awalnya oleh trofoblas dan kemudian oleh plasenta Kadarnya
dalam serum maternal lebih tinggi pada kehamilan dengan sindrom Down
dibandingkan tanpa sindrom Down.
- Inhibin A.
Inhibin A adalah suatu glikoprotein yang dibentuk selama kehamilan
terutama oleh plasenta. Inhibin A meningkat pada ibu yang mengandung
janin sindrom Down
I. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Dengan demikian penatalaksanaan dioptimalkan untuk
11
meminimalkan dampak yang dapat terjadi pada penderita serta memberikan dukungan
yang dapat memungkinkan penderita dapat tumbuh dan berkembang serta mampu
bersosialisasi dengan baik. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga
dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan
fisiknya mengingat tonus otot-oot yang lemah. Dengan demikian penderita harus
mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam
menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran
perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada
penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar
penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut.
Dengan adanya Leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi,
sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi
yang adekuat.
Penatalaksanaan sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif
untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down Syndrom
juga dapat mengalami kemunduran dari sistem tubuhnya. Dengan demikian penderita
harus mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam
menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran
perkembangan fisik maupun mentalnya. Hal yang dapat dilakukan antara lain :
1. Penanganan Secara Medis
a) Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya
efekr jantung, mengingat sebagian besar penderita lenih cepat emninggal
dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut.
b) Pemeriksaan Dini
1) Pendengaran. Biasanya terdapat gangguan pada penderita sejak awal
kelahiran, sehingga dilakukan pemeriksaan secara dini sejak awal
kehidupannya.
2) Penglihatan. Sering terjadi gangguan mata, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan secat rutin oleh dokter ahli mata
3) Pemeriksaan Nutrisi. Pada perkembangannya anak dengan sindrom down
kan mengalami gangguan petumbuhan baik itu kekurangan gizi pada masa
sekolah dan dewasa, sehingga perlu adanya kerjasamna ahli gizi.
4) Pemeriksaan Radiologis. Diperlukan pemeriksaan radiologis untuk
memeriksa keadaan tulang yan dianggap sangat mengganggu atau
mengancam jiwa (spina servikalis).
2. Pendidikan
a) Pendidikan khusus
Program khus untuk menangani anak dengan sindrom down adalah membuat
desain bangunan dengan menerapkan konsep rangsangan untuk tempat pendidikan
12
anak-anak down’s syndrome. Ada tiga jenis rangsangan, yakni fisik, akademis dan
sosial. Ketiga rangsangan itu harus disediakan di dalam ruangan maupun di luar
ruangan. Hal ini diharapkan anak akan mampu melihat dunia sebagai sesuatu yang
menarik untuk mengembangkan diri dan bekerja.
b) Taman bermain atau taman kanak – kanak
Rangsangan secara motorik diberikan melalui pengadaan ruang berkumpul dan
bermain bersama (outdoor) seperti :
- Cooperative Plaza untuk mengikis perilaku pemalu dan penyendiri.
- Mini Zoo dan Gardening Plaza adalah tempat bagi anak untuk bermain
bersama hewan dan tanaman.
c) Intervensi dini
Pada akhir – akhir ini terdapat sejumlah program intervensi dini yang dipakai
sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberikan lingkungan bagi anak dengan
sindrom down. Akan mendapatkan manfaat dari stimulasi sensori dini, latihan
khusus untuk motorik halus dan kasar dan petunjuk agar anak mau berbahasa.
Dengan demikian diharapkan anak akan mampu menolong diri sendiri, seperti
belajar makan, pola eliminasi, mandi dan yang lainnya yang dapat membentuk
perkembangan fisik dan mental.
16
Translokasi Robersonian terjadi pada 3-4% dari semua kasus trisomi 21. Dalam
kasus ini, dua pembelahan terjadi di kromosom yang terpisah, biasanya pada
kromosom 14 dan 21. Ada penataan ulang materi genetik sehingga beberapa dari
kromosom 14 digantikan oleh kromosom 21 tambahan (ekstra). Jadi pada saat
jumlah kromosom normal, terjadi triplikasi dari kromosom 21. Beberapa anak
mungkin hanya terjadi triplikasi pada kromosom 21, bukan pada keseluruhan
kromosom, yang biasa disebut dengan trisomi 21 parsial. Translokasi yang
dihasilkan dari trisomi 21 mungkin dapat diwariskan, jadi penting untuk
memeriksa kromosom orang tua dalam kasus ini untuk melihat apakah anak
mungkin memiliki sifat pembawa (carrier).
Translokasi Robersonian dan isokrosomal atau kromosom cincin merupakan
penyebab lain Sindrom Down. Isokromosom adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan keadaan di mana dua lengan panjang dan lengan pendek
berpisah bersamaan selama perkembangan sperma ovum. Trisomi (kariotipe 47,
XX + 21 untuk perempuan dan 47, XY + 21 untuk laki-laki) disebabkan oleh
kegagalan kromosom 21 untuk membelah selama perkembangan sperma atau
ovum. Pada translokasi Robertsonian yang hanya muncul pada 2-4% dari semua
kasus, lengan panjang dari kromosom 21 menempel dengan kromosom lain
(biasanya kromosom 14).
- Sindrom Down Mosaik
Sisa kasus trisomi 21 adalah karena kejadian mosaik. Orangorang ini memiliki
campuran garis sel, beberapa di antaranya memiliki sejumlah kromosom normal
dan lainnya memiliki trisomi 21.
Dalam mosaik sel, campuran ini terlihat berbeda dari jenis yang sama. Dalam
mosaik jaringan, satu set sel seperti semua sel darah mungkin memiliki kromosom
normal dan juga tipe yang lain, seperti semua sel-sel kulit, mungkin memiliki
trisomi 21. Proses ini bekerja dengan kesalahan atau kegagalan pembelahan yang
muncul setelah fertilisasi pada beberapa titik selama pembelahan sel. Sindrom
Down mosaik memiliki dua jalur keturunan sel yang berkontribusi pada jaringan
dan organ pada individu dengan mosaikisme (satu dengan jumlah kromosom
normal, dan satu lainnya dengan tambahan pada 21).
18
a. Superoxide Dismustase (SOD1) – ekspresi berlebih yang
menyebabkan penuaan dini dan menurunnya fungsi sistem imun.
Gen ini berperan dalam demensia tipe Alzheimer.
b. COL6A1 – ekspresi berlebih yang menyebabkan cacat jantung.
c. ETS2 – ekspresi berlebih yang menyebabkan kelainan tulang
(abnormalitas skeletal).
d. CAF1A – ekspresi berlebih yang dapat merusak sintesis DNA.
e. Cystathione Beta Synthase (CBS) – ekspresi berlebih yang
menyebabkan gangguan metabolisme dan perbaikan DNA.
f. DYRK – ekspresi berlebih yang menyebabkan retardasi mental.
g. CRYA1 – ekspresi berlebih yang menyebabkan katarak.
h. GART – ekspresi berlebih yang menyebabkan gangguan sintesis
dan perbaikan DNA.
i. IFNAR – gen yang mengekspresikan interferon, ekspresi berlebih
yang dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan sistem organ
lainnya.
Gen lainnya yang mungkin juga terlibat, di antaranya APP, GLUR5,
S100B, TAM, PFKL, dan beberapa gen lainnya. Sekali lagi, penting
untuk diketahui bahwa belum ada gen yang sepenuhnya terkait dengan
setiap karakteristik yang berhubungan dengan Sindrom Down.
K. SKRINING DAN DIAGNOSIS SINDROM DOWN
- Skrining
Skrining dapat dilakukan dengan cara noninvasif, yaitu melalui triple, quad,
AFP/free beta, dan nuchal translucency screening test. Skrining yang positif harus
ditindaklanjuti dengan usaha untuk menegakkan diagnosis prenatal dengan
menggunakan cara yang lebih invasif, yaitu Chorionic Villous Sampling,
Amniocentesis, atau Percutaneus Umbilical Blood Sampling. Sementara diagnosis
Sindrom Down postnatal, dilakukan berdasarkan identifikasi karakteristik fisik
yang sering dijumpai pada bayi baru lahir dengan Sindrom Down dan
dikonfirmasi dengan analisis kromosom.
- Diagnosis Prenatal
Tes skrining pada trimester I (nuchal translucency, free ß-hCG dan PAPP-A) dan
triple test pada trimester II (Feto Protein, Unconjugated Estradiol 3 dan ß-hCG)
merupakan metode yang sering dipakai untuk skrining kelainan kromosom.
Prosedur standar (gold standard) untuk diagnosis prenatal adalah dengan fetal
karyotyping pada wanita hamil. Diagnosis definitif ini membutuhkan pemeriksaan
invasif yaitu CVS atau amniosintesis. Amniosintesis dilakukan dengan
mengambil sampel air ketuban yang kemudian diuji untuk menganalisis
kromosom janin. Pada trimester II (minggu ke 14-20 kehamilan), cara tersebut
merupakan teknik invasif yang paling umum digunakan karena lebih aman dan
19
lebih mudah (dibandingkan dengan amniosintesis pada trimester I dan CVS),
terpercaya, dan akurat dari segi sitogenetik serta biaya yang relatif murah
daripada metode skrining yang lain. Komplikasi amniosintesis berkisar antara 0,5-
2,2%. Amniosintesis dan CVS cukup dapat diandalkan tetapi memberikan risiko
keguguran sekitar 0,5-1%. CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari
plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin. Teknik ini
dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga empat belas.33,34
Berdasarkan tanda klinis seperti adanya tulang hidung yang kecil atau bahkan
tidak ada, ventrikel yang besar, dan leher yang tebal, risiko untuk janin Sindrom
Down dapat diidentifikasi melalui USG pada minggu gestasional ke 14 sampai
24.
Metode FISH dari nukleus interfase merupakan metode yang paling sering
digunakan dengan menggunakan HSA21 spesifik atau seluruh HSA21. Metode
lain yang sering digunakan di beberapa negara yaitu QFPCR, di mana tanda
polimorfik DNA (mikrosatelit) pada HSA21 digunakan untuk menentukan
keberadaan dari tiga alel berbeda. Metode ini mengandalkan tanda informatif dan
ketersediaan DNA. Diagnosis cepat dengan metode berdasarkan PCR
menggunakan tanda STR polimorfik mungkin menurunkan kesulitan dengan
pendekatan konvensional.
Metode terkini disebut Paralogous Sequence Quantification (PSQ), menggunakan
urutan paralog untuk kuantifikasi jumlah salinan HSA21. PSQ adalah metode
berbasis PCR untuk mendeteksi jumlah kromosom target yang abnormal yang
disebut PSQ, berdasarkan penggunaan dari gen paralog. Urutan paralog memiliki
derajat tinggi dalam identitas urutan, tetapi akumulasi pengganti nukelotida dalam
lokus spesifik. PSQ mudah digunakan, mudah untuk diatur sebagai metode untuk
diagnosis pada aneuploidi yang umum dan dapat dilakukan kurang dari 48 jam.
Pengurutannya secara kuantitatif digunakan dengan pyrosequencing.
Perbandingan hibridisasi genomik pada BAC dapat digunakan untuk diagnosis
dari trisomi atau monosomi penuh, dan untuk aneuploidi sebagian.
Uji diagnostik prenatal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan sampel vilus
korionik, amniosintesis, dan percutaneus blood sampling, dengan tingkat akurasi
98-99%.
- Diagnosis Postnatal
Diagnosis Sindrom Down post natal didasarkan pada gabungan gambaran fisis
yang khas dan konfirmasi dengan pemeriksaan kariotipe genetik. Seringkali tanda
awal yang dapat dijumpai pada neonatus dengan SD adalah hipotoni. Gambaran
khas lainnya adalah brakisefal, fisura palpebra yang oblik, jarak antara jari kaki
ke-1 dan ke-2 yang agak jauh, jaringan kulit yang longgar di belakang leher,
hiperfleksibilitas, low set ears, protrusi lidah, depressed nasal bridge, lipatan
epikantus, bercak Brushfield (titik-titik kecil pada pupil yang letaknya tidak
20
beraturan dan berwarna kontras), jari ke-5 yang pendek dan melengkung, simian
crease, dan didapatkan tanda-tanda penyakit jantung bawaan.
Teknik umum yang digunakan untuk diagnosis Sindrom Down : Analisis
Sitogenetik, FISH (Fluorescence in situ hybridization), QF-PCR (Quantitative
fluorescentpolymerase chain reaction), PSQ (Paralogous sequence quantification),
MLPA (multiplex probe ligation assay). NGS (Next Generation Sequencing)
21
M. PATHWAYS KEPERAWATAN
22
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DOWN SYNDROME
PENGKAJIAN
Lakukan pengkajian Fisik
1. Kepala
- Sutura sagitalis yang terpisah
- Funtanela palsu
2. Mata
- Fisura palpebralis yang miring
- Terdapat bercak brushfield
- Terdapat lekukan epikantus
- Jarak pupil yang lebar
3. Telinga
- Ukuran telinga yang abnormal
- Letak telinga yang abnormal
4. Mulut
- Mulut terbuka
- Lidah terjulur
- Bentuk palatum jaringan sekitar leher
5. Leher
- Peningkatan jaringan sekitar leher
6. Ekstermitas 33
- Jarak yang lebar antara jari kaki ke 1 dan jari ke 2
- Plantar clase jari ke 1 ke 2
- Hiperleksibilitas
- Kelemahan otot
- Hipotomia
- Tangan yang pendek dan leher leber
Lakukan pengkajian perkembangan
Dapatkan riwayat keluarga, terutama yang berkaitan dengan usia ibu atau anak
lain mengalami keadaan serupa
Observasi adanya manifestasi Sindrom Down
1) Karakeristik Fisik (Paling sering terlihat)
Pada saat lahir terdapat kelemahan otot dan hipotonia
Kepala pendek (brachycephaly)
Lipatan epikantus bagian dalam dan fisura palpebra serong (mata miring
ke atas dan keluar)
Hidung kecil dengan batang hidung tertekan kebawah (hidung sadel)
Lidah menjulur kadang berfisura
23
Mandibula hipoplastik (membuat lidah tampak besar)
Palatum berlengkung tinggi
Leher pendek tebal
Muskulatur Hipotonik (perut buncit, hernia umbilikus)
Sendi hiperfleksibel dan lemas
Tangan dan kaki lebar, pandek tumpul.
Garis simian (puncak transversal pada sisi telapak tangan)
2) Intelegensia
Bervariasi dan retardasi hebat sampai intelegensia normal rendah
Umumnya dalam rentang ringa sampai sedang
Kelambatan bahasa lebih berat daripada kelambatan kognitif
3) Anomaly congenital (peningkatan insiden)
Penyakit jantung congenital (paling umum)
Defek lain meliputi: Agenesis renal, atresia duodenum, penyakit
hiscprung, fistula esophagus, subluksasi pinggul. Ketidakstabilan vertebra
servikal pertama dan kedua (ketidakstabilan atlantoaksial)
4) Masalah Sensori (sering berhubungan)
Kehilangan pendengaran kondukti (sangat umum)
Strabismus
Myopia
Nistagmus
Katarak
Konjungtivitis
5) Pertumbuhan dan perkembang seksual
Pertumbuhan tinggi badan dan BB menurun, umumnya obesitas
Perkembangan seksual terhambat, tidak lengkap atau keduanya
Infertile pada pria, wanita dapat fertile
Penuaan premature uum terjadi harapan hidup renda
DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Defisit nutrisi b.d kesulitan menelan makanan karena lidah menjulur dan palatum tinggi
- Gangguan tumbuh kembang
- Defisit pengetahuan (orang tua ) b.d kurang terpapar informasi terkait perawatan anak
down syndrom
INTERVENSI KEPERAWATAN
NO. DX INTERVENSI LUARAN
Gangguan Perawatan Perkembangan I. 10339 Status Perkembangan L.
Tumbuh Observasi : 10101
24
Kembang (D. - Identifikasi pencapaian tugas Setelah dilakukan tindakan
0106) perkembangan anak keperawatan 3x24 jam status
- Identifikasi isyarat perilaku dan pertumbuhan membaik
fisiologis yang ditunjukkan bayi (mis. dengan kriteria hasil :
lapar, tidak nyaman) 1. Berat badan sesuai usia
Terapeutik : meningkat
- Berikan sentuhan yang bersifat gentle 2. Panjang atau tinggi badan
dan tidak ragu-ragu sesuai usia meningkat
- Minimalkan nyeri 3. Indeks massa tubuh
- Minimalkan kebisingan ruangan meningkat
- Pertahankan lingkungan yang
mendukung perkembangan optimal
- Motivasi anak berinteraksi dengan anak
lain
- -Sediakan aktivitas yang memotivasi
anak berinteraksi dengan anak lainnya
- Fasilitasi anak berbagi dan
bergantian/bergilir
- Pertahankan kenyamanan anak
Edukasi :
- Jelaskan orang tua dan/atau pengasuh
tentang milestone perkembangan anak
dan perilaku anak
- Anjurkan orang tua menyentuh dan
menggendong bayinya
- Anjurkan orang tua berinteraksi dengan
anaknya
- Ajarkan anak keterampilan berinteraksi
Kolaborasi :
- Rujuk untuk konseling, jika perlu
Defisit nutrisi Manajemen Nutrisi I. 03119 Status Nutrisi L. 03030
(D. 0019) Observasi : Setelah dilakukan tindakan
- Identifikasi status nutrisi keperawatan 3x24 jam status
- Indentifikasi alergi dan intoleransi nutrisi terpenuhi dengan
makanan kriteria hasil :
- Indentifikasi makanan disukai - Porsi makan yang
- Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis dihabiskan meningkat
nutrisi - Berat badan atau IMT
- Indentifikasi perlunya penggunaan meningkat
selang nasogastrik - Frekuensi makan
- Monitor asupan makanan meningkat
- Monitor berat badan - Nafsu makan meningkat
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium - - Perasaan cepat kenyang
menurut
Terapeutik :
- Lakukan oral hygiene sebelum makan,
25
jika perlu
- Fasilitasi menentukan pedoman diet
(mis. Piramida makanan)
- Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
- Berikan suplemen makanan, jika perlu
- Hentikan pemberian makanan melalui
selang nasogastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi :
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis. pereda nyeri, antlemetik),
jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan, jika perlu
Risiko Infeksi Pencegahan Infeksi I. 14539 Tingkat Infeksi L. 14137
(D. 0142) Observasi : Setelah dilakukan tindakan
- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal keperawatan 3x24 jam
dan sistemik derajat infeksi berdasarkan
Terapeutik : observasi menurun dengan
- Batasi jumlah pengunjung kriteria hasil :
- Berikan perawatan kulit pada area 1. Demam menurun
edema 2. Kemerahan menurun
- Cuci tangan sebelum dan sesudah 3. Nyeri menurun
kontak dengan pasien dan lingkungan 4. Bengkak menurun
pasien
- Perhatikan teknik aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi :
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
26
Gangguan Dukungan mobilisasi (I. 05173) Mobilitas fisik (L. 05042)
Mobilitas Fisik Observasi : Setelah dilakukan tindakan
(D. 0054) - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan keperawatan 3x24 jam
fisik lainnya diharapkan mobilitas fisik
- Identifikasi toleransi fisik melakukan meningkat dengan kriteria
pergerakan hasil :
- Monitor kondisi umum selama 1. Pergerakan ekstremitas
melakukan mobilisasi meningkatkan
Terapeutik : 2. Kekuatan otot
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan meningkatkan
alat bantu (mis. pagar tempat tidur) 3. Nyeri menurun
- Fasilitasi melakukan pergerakan, jika 4. Gerakan terbatas menurun
perlu 5. Kelemahan fisik menurun
- Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. duduk di tempat
tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi
27
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. BUKU SAKU PATOFISIOLOGI ED 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Irwanto, Wicaksono Henry, Ariefa Arini, M. S. S. (2019). A-Z SYNDROME DOWN (Vol. 4,
Issue 1). Surabaya : Airlangga University Press
Karo, D. B. (2020). Asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan Sistem pernafasan : ispa.
2(1), 12–23.
PPNI (2018).“Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Defisit Dan Tindakan
Keperawatan.”Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). “Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Defisit dan Indikator Diagnostik.”
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). “Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Defisit dan Kriteria Hasil Keperawatan.”
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Rina, A. P. (2016). 291850174. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, 5(03), 215–225.
28