Anda di halaman 1dari 16

TUTORIAL KMB III TRAUMA MEDULLA SPINAL

Dosen Pembimbing : Ns. Satriya Pranata, M.Kep., Ph.D


Nama Anggota Kelompok :
1. Avipta Fatal Zain (G2A020064)
2. Nuria Suci Fahreza (G2A020066)
3. Shofi Roossalina Mustikasari (G2A020067) (Ketua)
4. Nabila Amalia (G2A020068)
5. Nur Kholifa (G2A020069)
6. Anisa fitri Hanita (G2A020070)
7. Nofa Roselina Toybah (G2A020071)
8. Yunita Mardela (G2A020072)
9. Reni Agustin (G2A020073)
10. Niswatul Khoiriyah (G2A020074)
11. Hasnaa Putri Aziizah (G2A020075) (Notulen)
12. Bella Savitri (S2H422171)
13. Berlian Dwi Linda Miarni (S2H422169)

S1 Ilmu Keperawatan
Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Semarang
2022
Step 1 Bahasa Asing
1. (Avipta) Rontgen?
(Vika) Rontgen merupakan tindakan medis yang menggunakan radiasi gelombang
elektromagnetik untuk mengambil gambar bagian dalam dari tubuh seseorang.
Step 2 Pertanyaan
1. (Avipta) Mengapa bisa sampai wajah berubah menjadi perot?
2. (Hasnaa) Apa yang menyebabkan inkontinensia urin pada pasien pasca terjatuh?
3. (Riska) Apa yang menyebabkan pasien mengalami gangguan fungsi pendengaran?
4. (Nuria) Apakah medulla spinal merupakan penyakit yang bisa diturunkan melalui gen?
5. (Nofa) Mengapa klien merasa nyeri bertambah ketika malam hari?
6. (Yunita) Apa yang menyebabkan pasien pada kasus trauma medulla spinalis merasakan
mual dan muntah?
7. (Nabila) Bagaimana pertolongan pertama dan penanganan pada pasien trauma medulla
spinal?
Step 3 Jawaban
1. (Niswa) Akibat peradangan dan pembengkakan saraf yang mengontrol otot pada salah
satu sisi wajah. Biasanya kondisi tersebut membuat perubahan bentuk pada salah satu sisi
wajah atau terlihat perot.
2. (Riska) Karena adanya cedera tulang belakang dapat menyebabkan gangguan saraf
kandung kemih atau inkontinensia urin.
3. (Reni) Penyebab pasien mengalami gangguan pada fungsi pendengaran bisa dikarenakan
dari kecideraan yang dikarenakan habis jatuh dari bangunan setinggi 7 meter.
4. (Vika) Tidak, karena medulla spinalis pada umumnya disebabkan oleh tabrakan
kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan fisik, dan olahraga.
5. (Atikah) Karena respon tubuh yang mengeluarkan mediator inflamasi akibat faktor-faktor
yang menyebabkan nyeri sehingga jaringan otot atau tulang yang cedera memicu
pengeluaran sitokin pro-inflamasi yang akan menimbulkan persepsi nyeri.
6. (Berlian) Pada sistem saraf pusat, terdapat tiga struktur yang dianggap sebagai pusat
koordinasi refleks muntah, yaitu chemoreceptor trigger zone (CTZ), pusat muntah, dan
nukleus traktus solitarius.
Ketiga struktur tersebut terletak pada daerah batang otak dan ada dua daerah anatomis di
medula yang berperan dalam refleks muntah, yaitu CTZ dan central vomiting centre
(CVC). CTZ terletak di area postrema pada dasar ujung kaudal ventrikel IV di luar sawar
darah otak.
Reseptor di daerah ini diaktifkan oleh zat-zat proemetik didalam sirkulasi darah atau di
cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid, CSF). Sinyal eferen dari CTZ dikirim ke CVC
dan selanjutnya melalui nervus vagus sebagai jalur eferen dari senyawa neuroaktif,
terjadilah serangkaian reaksi simpatis parasimpatis yang diakhiri dengan refleks muntah.
CVC terletak dekat nukleus traktus solitarius dan di sekitar formasio retikularis medula
tepat di bawah CTZ
7. (Bella) Tujuan utama pertolongan pertama pada trauma spinal adalah untuk menjaga agar
korban tetap pada posisi yang sama dengan saat ditemukan. Tempatkan handuk tebal
pada kedua sisi leher atau sangga kepala dan leher untuk mencegah gerakan.
Step 4 Pathways
Terjatuh, Kecelakaan kerja

Mengalami kerusakan Medulla Spinalis

Fraktur pada tulang belakang

Hemoragic

Pembengkakan

Trauma Medulla Spinalis

Reaksi peradangan Hernia saraf/ putusnya saraf

Agen – agen Servikalis Torakolumbalis Sakralis


peradangan
bradykinin

Sensasi nyeri C4 – C7 Torakolumbal S2 – S3

Nyeri Akut Blok saraf motoric ekstermitas Kerusakan saraf


motorik bawah

Kelumpuhan otot – otot ekstermitas Tidak mampu


menunda defekasi

Penglihatan kabur dan Gangguan Inkontinensia Urin


fungsi pendengaran Mobilitas Fisik
menurun

Gangguan Persepsi
Sensori

Step 5 Tujuan Umum dan Tujuan Khusus


Tujuan Umum
1. (Nuria) Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma
Medulla Spinal
Tujuan Khusus
1. (Nuria) Mahasiswa dapat mendefinisikan asuhan keperawatan Medulla Spinal.
2. (Shofi) Mahasiswa mengetahui etiologi dari asuhan keperawatan Medulla Spinal.
3. (Hasnaa) Mahasiswa dapat mengklasifikasikan asuhan kepearawatan Medulla Spinal.
4. (Avipta) Mahasiswa mengetahui faktor resiko asuhan keperawatan Medulla Spinal.
5. (Kholifa) Mahasiswa mengetahui patofisiologi asuhan keperawatan Medulla Spinal.
6. (Hanita) Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis asuhan keperawatan Medulla Spinal.
7. (Nabila) Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang asuhan keperawatan Medulla
Spinal.
8. (Niswa) Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan asuhan keperawatan Medulla Spinal.
9. (Atikah) Mahasiswa mengetahui komplikasi dari asuhan keperawatan Medulla Spinal.
10. (Bela) Mahasiswa dapat menyebutkan diagnosa keperawatan dari asuhan keperawatan
(Berlian) Medulla Spinal
11. (Afifah) Mahasiswa dapat memberikan pengkajian focus asuhan keperawatan Medulla
Spinal.
12. (Yunita) Mahasiswa dapat memberikan intervensi asuhan keperawatan Medulla Spinal.

Step 6 Laporan Mandiri


Step 7
A. Definisi
(Nofa) Medula spinalis merupakan organ yang berisi kumpulan saraf yangmenjadi
penghubung susunan saraf pusat dan berjalan sepanjang kanalis spinalis pada tulang
vertebra.
Trauma medulla spinalis merupakan kerusakan yang terjadi pada medula spinalis
karenatrauma langsung atau tidak langsung yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi
neurologis, diantaranya fungsi motorik, sensorik, otonom, dan refleks, baik terjadi secara
keseluruhan maupun sebagian.

Sumber : (Dytho, M. S., Annisa, V. Y., Firdausi, R. I., & Muzayyin, A. (2022). Transeksi
Spinal Komplet. Proceeding Book Call for Papers Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 162-178.)

(Riska) Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun
tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologisyang disebabkan oleh
benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner &Suddarth, 2001). Trauma medulla spinalis
adalah kerusakan tulang dansumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan
didalam tubuhmanusia yang diklasifikasikan sebagai:
a. Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
b. Tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)

Sumber :
Pertiwi, G. M. D., & Berawi, K. (2017). Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula
Spinalis. Jurnal Medula, 7(2), 48-52.
Brunner and Suddarth, 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi8, volume
2. Jakarta : EGC

B. Etiologi
(Avipta) Kecelakaan lalu lintas (penyebab paling sering), olahraga, kecelakaan jatuh dari
pohon atau bangunan, kejatuhan benda keras, gangguan spinal bawaan atau cacat sejak
kecil, atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang,
luka tembak atau luka tikam, gangguan lain yang menyebabkan cedera medulla spinalis,
atau trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance).

Sumber : Juwita, J., & Hydayaturrahmi, H. (2022). Peran Steroid dalam Tatalaksana Trauma
Medula Spinalis Akut: Sebuah Laporan Kasus. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 5(2),
49-55.).

(Nuria) Mekanisme dari bagaimana terjadinya SCI dapat terjadi bedasarkan onsetnya
menjadi 2 yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera awal
yang bersifat akut dan tiba-tiba, disebabkan oleh faktor mekanis seperti kasus traumatis yang
memiliki gaya tekan dan transformasi energi tinggi, sehingga akan menyebabkan kegagalan
struktur integritas biomekanis dari tulang belakang (Copley et al., 2020; Patek & Stewart,
2020).
Cedera primer dapat terjadi secara direk maupun indirek (Copley et al., 2020). Cedera direk
atau langsung disebabkan oleh karena gangguan kompresi medula spinalis transien dan
persisten, distraksi, laserasi akibat akselerasi-deselerasi dan transeksi, yang akan
mengakibatkan gangguan integritas struktur pendukung seperti ligamen dan tulang.
Sedangkan cedera indirek atau tidak langsung dapat terjadi karena adanya transmisi kinetik
lewat jaringan saraf, tanpa adanya kerusakan struktur seperti fraktur.

Cedera primer memiliki empat mekanisme utama antara lain:


1) gangguan kompresi medula spinalis transien (sementara)
2) gangguan kompresi medula spinalis persisten atau terus menerus
3) cedera distraksi
4) laserasi atau transeksi langsung Cedera sekunder merupakan cedera lanjutan yang
disebabkan oleh eksaserbasi atau lanjutan dari cedera primer. Hasil dari cedera primer
seperti inflamasi dan edema lokal atau sistemik, hipotensi, hipoksemia, serta perdarahan,
memicu dari patofisiologi cascade yang akan menghasilkan gangguan perfusi dan
pengiriman oksigen serta aliran darah kedalam bagian medula spinalis yang sedang
mengalami kerusakan (Christopher et al., 2015; Copley et al., 2020; Patek & Stewart, 2020).

(Nabila) Etiologi cedera spinal atau spinal cord injury yang tersering adalah trauma, akan
tetapi sebagian kecil disebabkan oleh kasus-kasus non trauma. Kasus trauma cedera spinal
umumnya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kekerasan, olahraga, dan kejadian jatuh.
Kasus non trauma dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, iskemia, penyakit autoimun,
keganasan, penyakit infeksi, serta komplikasi dari prosedur medis.

Penyebab Traumatik di antara trauma yang menjadi penyebab spinal cord injury, kecelakaan
kendaraan bermotor ada di peringkat pertama (40,4%), diikuti oleh cedera karena jatuh
terutama pada orang dewasa usia 45 tahun ke atas (27,9%). Terbanyak ketiga adalah
kekerasan interpersonal (paling sering adalah luka tembak) sebanyak 15%. Penyebab
tersering selanjutnya adalah cedera karena olah raga (8%).

Sumber : Alizadeh A, Dyck SM, Karimi-Abdolrezaee S. 2019. Traumatic spinal cord injury:
an overview of pathophysiology, models and acute injury mechanisms. Frontiers in
neurology.

C. Patofisiologi
(Hanita) Penyebab utama cedera spinal pada orang dewasa berdasarkan angka kejadian yang
tersering adalah tabrakan mobil, kecelakaan penyelaman pada perairan dangkal, tabrakan
sepeda motor, jatuh dan cedera lain.
Vertebra servikal adalah tulang belakang yang paling rentan terhadap cedera dikarenakan
mobilitas dan paparannya. Vertebra yang mengalami trauma dapat menyebabkan kerusakan
pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena
fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut "whiplash"/trauma indirect. Whiplash
adalah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan
mendadak.

Sumber : Basic Trauma dan Cardiovascular Live Support (2nd ed). (2018). Bogor : Pro
Emergency

(Atikah) Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-
fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer.
Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran
neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea
dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa
menit kemudian.Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur- dislokasi,
fraktur, dan dislokasi.
Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1. Fraktur tidak mempunyai tempat
predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian yang sangat
mobil .
Sumber : Advance Trauma Life Support for Doctor, ATLS Student Course Manual, Eight
Edition. Trauma Medulla Spinalis

(Vika) Patofisiologi cedera spinal atau spinal cord injury melibatkan kecelakaan lalu lintas,
jatuh, dan tindak kekerasan. Hal ini kemudian mempengaruhi akson dari saraf spinal dan
menyebabkan perubahan temporer atau permanen dari fungsi motorik, sensorik, atau
otonom.
Cedera Primer. Patofisiologi spinal cord injury primer terjadi karena adanya trauma
mendadak pada spinal sehingga menyebabkan fraktur atau dislokasi pada vertebra. Cedera
dapat berupa tergesernya fragmen tulang, komponen diskus, atau kerusakan ligament ke
dalam jaringan korda spinal. Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit
ataupun inkomplit. Hal ini disebabkan oleh cedera mekanik, berupa:
Kompresi,distraksi,Laserasi,Transeksi
Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah ataupun membran
sel. Pada banyak kasus, cedera meninggalkan ”subpial rim” dari akson terdemielinisasi atau
tidak terdemielinisasi yang berpotensi untuk mengalami regenerasi.

Sumber :

D. Klasifikasi
(Yunita) Berdasarkan beratnya cedera, trauma medula spinalis dibagi menjadi 2 kategori
antara lain :
1) Cedera komplit
Dikatakan cedera komplit bila terjadi kehilangan fungsi sensorik (protopatik atau
propioseptik) kehilangan fungsi motorik dibawah level lesi medulla spinalis, dan peeriksaan
radiologi vertebrae menunjukkan fraktur, luksasi, atau listesis. Lesi komplit menyebabkan
semua fungsi reflek hilang pada semua segmen medulla spinalis, dibawah level lesi.
2) Cedera medulla spinalis/cedera inkomplit
Dikatakan cedera inkomplit bila terjadi penurunan fungsi sensorik dan motorik, dan
pemeriksaan radiologi vertebrae menunjukkan hasil normal.

Sumber : Juwita, J., & Hydayaturrahmi, H. (2022). Peran Steroid dalam Tatalaksana Trauma
Medula Spinalis Akut: Sebuah Laporan Kasus. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 5(2),
49-55.

(Kholifa) Klasifikasi cedera tulang belakang komplet maupun inkomplet dan serta level
cedera dapat ditentukan dengan pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan
motorik dilakukan secara cepat dengan melakukan beberapa gerakan. Fungsi otonom
dinilai dengan menguji ada tidaknya retensi urin, retensi urin, atau tonus sfingter
anal. Suhu kulit yanghangat dan kemerahan menunjukkan hilangnya tonus simpatis di
bawah tingkat cedera.

Sumber : (Dytho, M. S., Annisa, V. Y., Firdausi, R. I., & Muzayyin, A. (2022). Transeksi
Spinal Komplet. Proceeding Book Call for Papers Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 162-178.)

E. Manifestasi Klinik
(Bella)
a. Nyeri akut pada belakang leher,yang menyebar sepanjang syaraf yang terkena
b. paraplegia
c. tingkat neurologik
d. paralisis sensorik motorik total
e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f. penurunan keringat dan tonus vasomoto
g. penurunan fungsi pernafasan
h. gagal nafas

Sumber : Nurafif, Amin Huda.2015.NANDA NIC NOC. Jogjakarta : Mediaction.

F. Pemeriksaan Penunjang
(Nuria)
1. X-Ray Spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi.
2. CT Scan Spinal : untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan
structural
3. MRI Spinal : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan
kompresi.
4. Mielografi : jenis pemeriksaan radiografi yang menggunakan media kontras
untuk mendeteksi patologi sumsum tulang belakang, termasuk lokasi cedera tulang
belakang (Copley et al., 2020; Souter, K.H. & J., 2017)
5. Pemeriksaan penunjang yang disarankan meliputi pemeriksaan laboratorik darah dan
pemeriksaan radiologik.
Sumber:
- Copley, P. C., Jamjoom, A. A. B., & Khan, S. (2020). The management of traumatic
spinal cord injuries in adults: a review. Orthopaedics and Trauma, 34(5), 255–265.
- Souter, K.H., K. L., & J., M. (2017). Spinal cord injury. Challenging Topics in
Neuroanesthesia and Neurocritical Care, 1–339.

(Afifah)
1. Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami
trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan
dislokasi.Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu
dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
2. Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor
serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan
beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini
harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat
memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus
dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
3. Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah
lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebrali.
Sumber : Ostensen H, Pettersson H. The WHO Manual of Diagnostic Imaging :
Radiographic Anatomy and interpretation of the Musculoskeletal System.

G. Komplikasi
(Reni) Komplikasi pada cedera medula spinalis, antara lain :
1. Ulkus decubitus
2. Osteoporosis dan fraktur
3. Pneumonia, atelectasis, dan aspirasi
4. Deep Vein Thrombosis (DVT)
5. Cardiovaskuler disease
6. Neuropatic pain
7. Kontrol bladder dan bowel Terganggu
8. Respon seksual terganggu
9. Menstruasi terhambat
Sumber :
Dytho, M. S., Annisa, V. Y., Firdausi, R. I., & Muzayyin, A. (2022). Transeksi Spinal
Komplet. Proceeding Book Call for Papers Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 162-178.

(Berlian)
1. Pendarahan mikroskopik.
2. Hilangnya sensasi,kontrol motorik dan refleks
3. Syok spinal
4. Hiperrefleksial otomon
Sumber : Brunner and Suddarth, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi8,
volume 2. Jakarta : EGC
H. Penatalaksanaan
(Nuria) ABCDE (Sjamsuhidajat & Jong, 2019; Souter, K.H. & J., 2017).
1. Airway : memberikan oksigenasi yang adekuat sangatlah penting untuk mencegah
dari iskemia dan cedera sekunder medula spinalis. Pasien yang memiliki gejala pada
pernapasan seperti sesak, takipnea, sulit berbicara, ataupun penurunan kesadaran dapat
dilakukan penilaian awal terhadap pernapasan baik patensi jalan napas dan oksigenasi
yang adekuat (Patek & Stewart, 2020)
2. Breathing : pasien yang mengalami SCI pada bagian servikal hingga toraks terutama
diatas T8, biasanya memiliki gangguan pada fungsi otot diafragma dan atau interkorta
yang akan menyebabkan kegagalan napas sehingga diperlukan tindakan supportif
berupa pemberian ventilasi napas. Pasien dengan ancaman gagal napas dapat dilakukan
penatalaksanaan berupa intubasi endotrakeal tube dan ventilator mekanik (Souter, K.H.
& J., 2017).
3. Circulation : The American Society of Anesthesiologists merekomendasikan
monitoring tandatanda vital pasien dengan SCI seperti denyut jantung,
elektrokardiogram, tekanan darah, oksimetri nadi, kapnografi, dan suhu. Pasien yang
mengalami SCI traumatik umumnya mengalami perdarahan hebat yang dapat berujung
pada keadaan syok hipovolemik yang akan menyebabkan hipotensi (SBP <90mmHG).
Pada kondisi ini, pasien memerlukan pemberian cairan segera untuk resusitasi agar
kembali menjadi euvolemik (Souter, K.H. & J., 2017).
4. Disability : pemeriksaan neurologis lengkap harus segera dilakukan dan dapat
dilakukan secara simultan dengan pemeriksaan lainnya untuk menilai tingkat lokasi dan
keparahan defisit neurologis. Pemantauan terhadap pemeriksaan neurologis dapat dinilai
menggunakan American Spinal Injury Association Spinal cord injury (ASIA SCI)
scoring yang dapat melihat fungsi neurologis motorik dan sensorik pasien secara
menyeluruh. Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan punggung
dan rectal toucher yang dilakukan setelah pasien terlepas dari log roll untuk
meminimalisir dari mobilisasi (Patek & Stewart, 2020; Souter, K.H. & J., 2017).
Sumber :
- Sjamsuhidajat, R., & Jong, D. (2019). Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 4, Vol 3. Jakarta
- Souter, K.H., K. L., & J., M. (2017). Spinal cord injury. Challenging Topics in
Neuroanesthesia and Neurocritical Care, 1–339.
- Patek, M., & Stewart, M. (2020). Spinal cord injury. Anaesthesia and Intensive Care
Medicine, 21(8), 411–416.

(Avipta) Penatalaksanaan awal spinal cord injury atau cedera spinal berfokus pada prosedur
life-saving, yakni menjaga patensi jalan napas, sirkulasi, dan pernapasan (airway, breathing,
circulation). Manajemen jalan napas sangat penting karena komplikasi sistem respirasi
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada cedera spinal. Dalam
penanganan awal, dokter juga perlu mengatasi hipotensi dan mewaspadai iskemia-reperfusi.
Sumber : Mahardhika, VW, Santoso, TB, & Larasati, P. (2021). PENATALAKSANAAN
FISIOTERAPI TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL PADA
PASIEN SPINAL CORD INJURY DENGAN SPONDYLITIS TUBERKULOSIS POST
PSF L2-L3 (ASIA A) DI RUMAH SAKIT ORTOPEDI PROF. DR. SOEHARSO
SURAKARTA (STUDI KASUS). Jurnal Riset dan Pengetahuan Inovasi , 2 (7), 2811-2818.

(Bella)
1. Penatalaksanaan kedaruratan
pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang
tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban
kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , Trauma olahraga kontak,
jatuh, atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan
mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan
2. Penatalaksanaan trauma medula spinalis (Fase akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah Trauma medula spinalis lebih lanjut
dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi
sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovask
Sumber : Nurafif, Amin Huda.2015.NANDA NIC NOC. Jogjakarta : Mediaction

I. Pengkajian
1. Identitas
a) Nama : Tn. x
b) Umur : 32 tahun
c) Jenis Kelamin : Laki laki
d) Alamat : Kedungmundu, Semarang
2. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada penyakit terdahulu
b) Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien terjatuh dari bangunan setinggi 7m
pada posisi duduk dan mengenai punggung bagian bawah lalu pasien dibawa
ke rumah sakit dan mengatakan nyeri sekali pada tulang belakangnya dirasa
tidak hilang terutama di malam hari dan terus menerus, pasien tidak bisa
mengontrol buang air kecil dirasa timbul mendadak dan terus mnerus, merasa
sakit kepala disertai mual muntah, pasien merasa penglihatan kabur dan
fungsi pendengaran menurun serta tampak wajah perot dan didapatkan hasil
rontgen tulang belakang pasien patah.
c) Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada penyakit keluarga atau menurun
3. Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)
a) Kepala : sakit kepala, wajah perot
b) Mata : penglihatan kabur
c) Telinga : fungsi pendengaran menurun
d) Genetalia : tidak bisa menahan pipis
e) Ekstermitas : tulang belakang pasien patah
4. Data Objektif :
- Pasien tampak wajah memerot
5. Data Subjektif :
- Pasien mengatakan nyeri sekali pada tulang belakangnya di malam hari dan
terasa terus menerus
- Pasien mengatakan sakit kepala
- Pasien mengatakan mual dan muntah
- Pasien mengatakan merasa penglihatan kabur
- Pasien mengatakan pendengaran mulai tidak jelas
- Pasien mengatakan tidak bisa mengontrol buang air kecil sejak terjatuh, keluhan
dirasakan timbul mendadak, dan dirasa terus menerus sampai sekarang.
6. Pemeriksaan : Hasil rontgen tulang belakang patah

J. Analisa Data
1. DS :
 Pasien mengatakan nyeri sekali pada tulang belakangnya di malam hari dan terasa
terus menerus
 Pasien mengatakan sakit kepala
 Pasien mengatakan mual dan muntah
 Pasien mengatakan merasa penglihatan kabur
 Pasien mengatakan pendengaran mulai tidak jelas
 Pasien mengatakan tidak bisa mengontrol buang air kecil sejak terjatuh, keluhan
dirasakan timbul mendadak, dan dirasa terus menerus sampai sekarang.

2. DO :
 Pasien tampak wajah memerot

3. Diagnosa Keperawatan :
 Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang d.d pasien terjatuh
dari bangunan setinggi 7m, menyebabkan kerusakan lumbal, kerusakan lumbal
tersebut akan menyebabkan penurunan fungsi sendi (D.0054)
 Nyeri akut b.d agens cedera fisik d.d trauma jatuh (D.0077)
 Inkontinensia urin berlanjut b.d trauma dan kerusakan medulla spinalis d.d tidak
sadar inkontinensia urin (D.0042)
 Gangguan persepsi sensori b.d gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
(D.0085)

K. Intervensi dan Rasional


1. Diagnosa : Gg. Mobilitas fisik bd kerusakan integritas struktur tulang (D.0054)
Luaran :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan mobilitas fisik
meningkat dengan kriteria hasil (L. 05042)
a) Pergerakan ekstermitas meningkat
b) Kekuatan otot meningkat
c) Gerakan terbatas menurun
d) Kelemahan fisik menurun
Intervensi : Dukungan Mobilisasi (I. 05173)
Observasi
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
c) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
Terapeutik
a) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis: tongkat, kruk)
b) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
c) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
b) Anjurkan melakukan ambulasi dini
c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis: berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)
2. Diagosa : Nyeri akut b.d agens pencedera fisik d.d trauma jatuh (D. 0077)
Luaran :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan tingkat nyeri menurun
dengan kriteria hasil (L. 08066)
a) Keluhan nyeri menurun
b) Mual menurun
c) Muntah menurun
Intervensi: Manajemen Nyeri (I. 08238)
Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respon nyeri non verbal
d) Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
e) Monitor efek samping peggunaan analgetic
Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. terapi pijat,
kompres hangat/dingin)
b) Control ligkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
kebisingan)
c) Fasilitasi istirahat tidur
Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan peicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d) Anjukan menggunakan analgetic secara tepat
e) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu
3. Diagnosa : Inkontinensia urin berlanjut b.d trauma dan kerusakan medulla spinalis
d.d tidak sadar inkontinansia urin (D. 0042)
Luaran :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan kontinensia urin
membaik dengan kriteria hasil (L. 04036)
a) Desakan berkemih (urgensi) membaik
b) Distensi kandung kemih membaik
Intervensi : Perawatan Inkontinensia Urine (I. 04163)
Observasi
a) Identifikasi penyebab inkontinensia urin (mis. Gangguan medulla spinalis)
b) Identifikasi perasaan dan presepsi pasien terhadap inkontinensia urin yang
dialaminya
c) Monitor keefektifan obat, dan terapi modalitas berkemih
Terapeutik
a) Berikan pujian atas keberhasilan mencegah inkontinensia
b) Ambil sample urin untuk pemeriksaan urin lengkap atau kultur
Edukasi
a) Jelaskan definisi, jenis inkontinensia, penyebab inkontinensia urin
b) Jelaskan program penanganan inkontinensia urin
c) Anjurkan membatasi konsumsi cairan 2-3 jam menjelang tidur
d) Ajarkan memantau cairan keluar dan masuk serta pola eliminasi urin
e) Anjurkan minum minimal 1500 cc/hari, jika tidak ada kontraindikasi
f) Anjurkan menghindari kopi, minuman bersoda, the dan cokelat
g) Anjurkan konsumsi buah dan sayur untuk menghindari konstipasi
Kolaborasi
a) Rujuk ke ahli inkontinensia, jika perlu
4. Diagnosa : Gangguan presepsi sensori b.d gangguan penglihatan dan pendengaran
(D. 0085)
Luaran :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan persepsi sensori
membaik (L. 09083)
a) Verbalisasi mendengar bisikan membaik
b) Verbalisasi melihat bayangan membaik
c) Distorsi sensori membaik
Intervensi : Minimalisasi Rangsangan (I. 08241)
Observasi
a) Periksa status sensori, dan tingkat kenyamanan
Terapeutik
a) Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori (mis. bising, terlalu terang)
b) Batasi stimulus lingkungan (mis. cahaya, suara, aktivitas)
c) Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat
d) Kombinasikan prosedur/tindakan dalam satu waktu, sesuai kebutuhan
Edukasi
a) Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (mis. mengatur pencahayaan ruangan,
mengurangi kebisingan)
Kolaborasi
a) Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/tindakan

Anda mungkin juga menyukai