Anda di halaman 1dari 19

Laporan Pendahuluan

Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Muskoloskeletal Rheumatoid Arthritis


Di Puskesmas Oesapa Kota Kupang

OLEH
NAMA : Papy Imanuel Kurniawan
KELAS : PPN B Tingkat III
NIM : PO 5303209201206
PUSKESMAS : Oesapa

MENGETAHUI
PEMBIMBING INSTITUSI PEMBIMBING KLINIK

Emiliandry Banase,S.Kep.,Ns Dewi Rahmawati AMd.Kep

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG


JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2022
1. Konsep Dasar Penyakit
1.1 Defenisi Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik atau penyakit
autoimun dimana rheumatoid arthritis ini memiliki karakteristik terjadinya kerusakan
pada tulang sendi, ankilosis dan deformitas. Penyakit ini adalah salah satu dari
sekelompok penyakit jaringan penyambung difus yang diperantarai oleh imunitas
(Lukman & Nurna Ningsih, 2013).
1.2 Etiologi Rheumatoid Arthritis
Penyebab rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal
mengenai patogenesisnya telah terungkap. Faktor genetik dan beberapa faktor
lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Kecenderungan wanita untuk menderita rheumatoid arthritis dan sering dijumpainya
remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor
keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
penyakit ini. Walaupun demikian karena pembenaran hormon esterogen eksternal
tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini
belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab
penyakit ini (Aspiani, 2014).
Infeksi telah diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis. Dugaan faktor
infeksi timbul karena umumnya omset penyakit ini terjadi secara mendadak dan
timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga 9
kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu organisme dari jaringan synovial, hal ini
tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan
atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya rheumatoid
arthritis. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis
Antara lain bakteri, mikoplasma atau virus (Aspiani, 2014).
Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya faktor genetik
yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit beberapa penyakit virus, seperi
infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock Protein (HSP) adalah sekelompok protein
berukuran sedang yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap
stress. Walaupun telah diketahui terdapa hubungan antara Heat Shock Protein dan sel
T pada pasien Rheumatoid arthritis namun mekanisme hubungan ini belum diketahui
dengan jelas (Aspiani, 2014).
1.3 Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis
Menurut (Aspiani, 2014) ada beberapa gejala klinis yang umum ditemukan pada
pasien rheumatoid arthritis. Gejala klinis ini tidak harus timbul secara bersamaan.
Oleh karenanya penyakit ini memiliki gejala klinis yang sangat bervariasi.
a) Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun,
dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat.
b) Poliaritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal,
hampir semua sendi diartrodial dapat terangsang.
c) Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis
dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas
dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda
nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi
hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal
gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas.
d) Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan
sendi pada osteoartratis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa
menit dan selalu kurang dari satu jam.
e) Arthritis erosif, merupakan ciri khas rheumatoid arthritis pada gambaran
radiologic. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang
dan dapat dilihat pada radiogram.
f) Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, sublukasi sendi
metakarpofalangeal, leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang
sering di jumpai pasien. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput
metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang
besar juga dapat terangsang dan akan mengalami pengurangan kemampuan
bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
g) Nodula-nodula rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa penderita rheumatoid arthritis. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa elekranon (sendi siku), atau di
sepanjang permukaan ekstanor dari lengan, walaupun demikian nodul-nodul
ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Nodul-nodul ini biasanya
merupakan suatu tanda penyakit yang aktif dan lebih berat.
h) Manifestasi ekstra articular, rheumatoid arthritis juga dapat menyerang
organorgan lain diluar sendi. Jantung (pericarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan rusaknya pembuluh darah.
1.4 Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan
komponen self dan non-self. Pada kasus rheumatoid arthritis system imun
tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan synovial
serta jaringan penyokong lain. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim
tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membrane synovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya
adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi.
Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan
degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi
otot (Aspiani, 2014).
Imflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial seperti edema,
kongesti vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular. Peradangan yang
berkelanjutan, synovial menjadi menebal, terutama pada sendi articular
kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau
penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub chondria.
Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada
nutrisi kartilago artikuler, sehingga kartilago menjadi nekrosis. Tingkat erosi
dari kartilago menentukan ketidakmampuan sendi.Bila kerusakan kartilago
sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan
fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligament menjadi lemah dan bisa menimbulkan
subluksasi atau dislokasi dari persendian. Keadaan seperti ini akan
mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan
deformitas (Aspiani, 2014).
1.5 Pathway Hambatan
Kekakuan sendi
mobilitas fisik
Reaksi faktor R dengan antibody,
faktor metabolik, infeksi dengan
kecenderungan firus
Reaksi peradangan Nyeri

Pannus
Synovial menebal Kurangnya informasi
tentang proses
penyakit

Nodul Infiltrasi dalam os.


subcondria
Defisiensi pengetahuan
ansietas
Deformitas sendi Hambatan nutrisi pada
kartilago Kartilago nekrosis

Gangguan body image


Kerusakan kartilago Erosi kartilago
dan tulang

Adhesi pada permukaan


Mudah luksasi dan Tendon dan megamen sendi
sub luksasi melemah

Ankilosis febrosa
Resiko cedera Hilangnya kekuatan otot

Ankilosis tulang

Kekuatan sendi
Keterbatasan gerak sendi

Hambatan mobilitas fisik


Defisit perawatan diri
1.6 Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis

Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang


akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik serta ketaatan pasien untuk
tetap berobat dalam jangka waktu yang lama (Aspiani, 2014).

OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) diberikan sejak dini untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang
diberikan yaitu aspirin, pasien dibawah umur 65 tahun dapat dimulai dengan
dosis 3-4 x 1g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 perminggu sampai terjadi
perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl. Ibuprofen, naproksen,
piroksikam, diklofenak dan sebagainya (Aspiani, 2014).

DMARD (Disease Modifying Antirheumatoid Drugs) digunakan unuk


melindungi rawan sendi dan tulang dari proes destruksi akibat rheumatoid
arthritis. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko
manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis
rheumatoid arthritis diegakkan, atau bila respon OAINS tidak ada. DMARD
yang diberikan: (Aspiani, 2014)
a) Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari
b) Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalu enteric, digunakan dalam
dosis 1 x 500 mg/hari, ditinggikan 500 mg/minggu, sampai mencapai
dosis 4 x 500 mg.
c) D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.
Digunakan dalam dosis 250-300 mg/ hari, kemudian dosis
ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 20-300 mg/hari.
d) Garam emas adalah gold standart bagi DMARD.
e) Obat imunosupresif atau imonoregulator; metotreksat dosis dimulai 5-
7, mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan idak menunjukkan perbaikan,
dosis harus ditingkatkan.
f) Korikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan Rheumatoid arthritis
dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa seperti vasculitis,
karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat.

Rehabilitasi bertujuan meningkatkan kualitas harapan hidup pasien. Caranya


antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan, pemanasan dan
sebagannya. Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang.
Bila tidak juga behasil, diperlukan pertimbangan untuk pertimbangan operatif.
Sering juga diperlukan alat-alat seperti pemakaian alat bidai, tongkat penyangga,
kursi roda, terapi mekanik, pemanasan baik hidroterapi maupun elekroterapi,
occupational therapy (Aspiani, 2014)

Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat
alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan tindakan pembedahan. Jenis pengobatan
ini pada pasien rheumatoid arthritis umunya bersifat orthopedic, misalnya
sinovektomi, artrodesis, memperbaiki deviasi ulnar (Aspiani, 2014)

Kompres jahe hangat dapat menurunkan nyeri rheumatoid arthritis. Kompres


jahe merupakan pengobatan tradisional atau terapi alternative untuk mengurangi
nyeri rheumatoid arthritis. Kompres jahe hangat memiliki kandungan enzim siklo
oksigenasi yang dapat mengurangi peradangan pada penderita rheumatoid
arthritis, selain itu jahe juga memiliki efek farmakologis yaitu rasa panas dan
pedas, dimana rasa panas ini dapat meredakan rasa nyeri, kaku, dan spasme otot
atau terjadinya vasodilatasi pembuluh darah, mamfaat yang maksimal akan
dicapai dalam waktu 20 menit sesudah pengaplikasian (Agustin, 2015).
2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
a. Identitas
b. Keluhan Utama
Pada RA pasien mengeluh nyeri pada persendian yang terkena yaitu, sendi
pergelangan tangan, lutut, kaki (sendi diartosis), sendi siku, bahu, sterno klavikula,
panggul, dan pergelangan kaki. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,
pembengkakan, dan nyeri sendi (Putra dkk, 2013).
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Dahulu
Seperti riwayat penyakit muskoloskeletal sebelumnya, riwayat penggunaan
obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alkohol dan merokok.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang berupa uraian mengenai penyakit yang diderita
oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai klien dibawa
ke Rumah Sakit, dan apakah pernah memeriksakan diri ke tempat lain selain
Rumah Sakit umum serta pengobatan apa yang pernah diberikan dan
bagaimana perubahanya dari data yang di dapatkan saat pengkajian
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya riwayat keluarga yang terkena Rheumatoid arthritis
d. Pola Aktivitas
1) Pola Nutrisi
Pada penyakit RA biasanya dianjurkan untuk melakukan pola dict
mediteranian yang dapat memperbaiki inflamasi pada RA Mediteranian
adalah pola makan yang terutama mengandung ikan, sayur, dan minyak olive
dibandingkan unsur makanan yang lain. Pada klien RA gangguan
gastrointestinal yang sering adalah mual, nyeri lambung, yang menyebabkan
klien tidak nafsu makan dan terjadi penurunan berat badan, terutama klien
yang menggunakan obat reumatik dan NSAID. Dan peristaltik yang menurun
juga menyebabkan klien jarang defekasi.
2) Pola Eliminasi
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan. Dan umumnya klien RA tidak mengalami gangguan
climinasi Meski demikian perlu dikaji frekuensi konsistensi warna serta bau
leses dan urine.
3) Pola Istirahat dan Tidur
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap jam tidur sian
energi, jumlah jam tidur siang dan malam, masalah tidur. Biasanya pada
penderita RA rasa nyeri dapat menganggu pola tidur dan istirahatnya.
4) Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan
konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran,
dan identitas diri.
5) Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensorimeliputi
pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan dan pembau.
6) Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan kepuasan atau masalah terhadap seksual pada penderita RA.
7) Pola mekanisme stres dan koping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress pada penderita RA

e. Pengkajian Fisik
1) Keadaan Umum
a) Kesadaran biasanya compos mentis
b) GCS yang meliputi: Eye, Verbal, Motorik
c) TTV: Tekanan darah, nadi mungkin meningkat, respirasi dan suhu.
2) Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral), amati
warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan pembengkakan.
3) Lakukan pengukuran passive range of motion pada sendi-sendi synovial
a) Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi)
b) Catat bila ada krepitasi (suara berderak atau mendedas)
c) Catat bila terjadi nyeri saat sendi di gerakkan
4) Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral
a) Catat bila ada artrofi, tonus yang berukuran
b) Ukur kekuatan otot
5) Kaji tingkat nyeri, derajat, dan mulainya
6) Kaji aktivitas dan kegiatan sehari hari
7) Neurosensori
Akan timbul gejala kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada
jaringan, dan pembengkakan sendi simetris.
8) Kelainan di luar sendi
a) Kepala dan wajah: Biasanya ada sianosis
b) Jantung: Kelainan jantung yang simtomatis jarang dapatkan, namun 40%
pada autopsy RA didapatkan kelainan perikard (Putra dkk, 2013).
c) Paru: Kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura) (Putra dkk, 2013).
d) Saraf berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering
terjadi berupa kehilangan rasa sensoris di ektremitas dengan gejala foot or
wrist drop (Putra dkk, 2013). Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita dan
pada penderita dengan penyakit RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
e) Kulit: Nodul rheumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk
di bawah kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan
seperti olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon Achilles.
9) Pemerikasaan Muskoloskeletal (Ekstremitas)
Inspeksi: amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, pembengkakan,
anggota gerak lengkap.
Palpasi: kekuatan otot 4 (dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang
ringan, edema pada kaki di persendian. Untuk mengetahui skala nyeri pada
pasien dengan menggunakann numeric.

2.2 Analisa Data


Data fokus adalah data tentang perubahan-perubahan atau respon pasien terhadap
kesehatan dan masalah kesehatannya serta hal-hal yang mencakup tindakan yang
dilaksanakan terhadap pasien.
Menurut Wilkinson (2011), analisa data dari diagnosis keperawatan hambatan
mobilitas fisik mempunyai data objektif adalah penurunan waktu reaksi, kesulitan
membolak-balik posisi tubuh, asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti
pergerakan, dispnea saat beraktivitas, perubahan cara berjalan, pergerakan
menyentak, keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motorik halus,
keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motorik kasar, keterbatasan
rentang pergerakan sendi, tremor yang diinduksi oleh pergerakan, ketidakstabilan
postur tubuh, melambatnya pergerakan, dan gerakan tidak teratur atau tidak
terkoordinasi.
a) Data Subyektif
Data yang didapatkan dan pasien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan
kejadian. Informasi tersebut tidak bisa ditentukan oleh perawat, mencakup persepsi,
perasaan, ide pasien tentang status kesehatannya. Misalnya tentang nyeri, perasaan
lemah, kekuatan, kecemasan, frustasi, mual, perasaan malu.
b) Data Obyektif
Data yang dapat diobservasi dan diukur, dapat diperoleh menggunakan panca indera
(lihat, dengar, cium, raba) selama pemeriksaan fisik. Misalnya frekuensl nadi,
pernafasan, tekanan darah, edema, berat badan, tingkat kesadaran.

2.3 Diagnosa Keperawatan


1) Nyeri kronis b/d kondisi muskuloskeletal kronis
2) Gangguan Mobilitas Fisik b/d Nyeri dan kekakuan sendi
3) Defisit perawatan diri
4) Gangguan Citra Tubuh b/d perubahan fungsi tubuh 

2.4 Intervensi Keperawatan

No Dx Keperawatan Tujuan Intervensi

SDKI D.0078 SLKI L.08066 SIKI I.03098


1 Nyeri kronis b/d Goal: Tingkat Nyeri Observasi:
kondisi menurun 1. Identifikasi lokasi,
muskuloskeletal Objektif : Dalam jangka karakteristik, durasi,
kronis waktu 1x24 jam pasien frekuensi, kualitas,
akan menunjukkan kriteria intensitas nyeri
hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun Terapeutik:
2. Merigis menurun 1. Anjurkan memonitor nyri
3. Sikap protektif secara mandiri
menurun 2. Anjurkan menggunakan
4. Gelisah dan kesulitan analgetik secara tepat
tidur menurun 3. Ajarkan teknik
5. Anoreksia, mual, nonfarmakologis untuk
muntah menurun mengurangi rasa nyeri
6. Ketegangan otot dan
pupil dilatasi menurun
7. Pola napas dan tekanan Kolaborasi:
darah membaik 1. Kolaborasi pemberian
analgetik, antihistaamin
jika perlu
SDKI D.0054 SLKI L.05042 SIKI I.08238
2 Nyeri akut b.d agen Goal : Mobilitas Fisik Observasi :
pencedera biologi meningkat 1. Identifikasi adanya nyeri
Objektif : Dalam jangka atau keluhan fisik lainnya
waktu 1x24 jam pasien 2. Identifikasi toleransi fisik
akan menunjukkan kriteria melakukan ambulasi
hasil : 3. Monitor frekuensi jantung
1. Pergerakan ekstremitas dan tekanan darah
meningkat sebelum memulai
2. Kekuatan Otot ambulasi
Meningkat 4. Monitor kondisi umum
3. Rentang Gerak (ROM) selama melakukan
meningkat ambulasi
4. Gerakan tidak
terkoordinasi menurun Terapeutik :
5. Gerakan Terbatas 1. Fasilitasi aktivitas
menurun ambulasi dengan alat
6. Kelemahan Fisik bantu Seperti tongkat, dan
Menurun kruk.
2. Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik, jika perlu
3. Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan Seperti  berjalan
dari tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi,
sesuai toleransi.

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
2. Anjurkan melakukan
ambulasi dini
3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
SDKI D. SLKI L.11103 SIKI I. 11348
3 Defisit perawatan Goal : Perawatan Diri Observasi :
diri Meningkat 1. Identifikasi kebiasaan
Objektif : Dalam jangka aktivitas perawatan diri
waktu 1x24 jam pasien sesuai usia
akan menunjukkan kriteria 2. Monitor tingkat
hasil : kemandirian
1. Kemampuan mandi 3. Identifikasi kebutuhan alat
meningkat bantu kebersihan diri,
2. Kemampuan berpakaian, berhias, dan
menggunakan pakaian makan
meningkat
3. Kemampuan makan Terapeutik :
meningkat 1. Sediakan lingkungan yang
4. Kemampuan ke toilet teraupetik
(BAB/BAK 2. Siapkan keperluan pribadi
Meningkat) 3. Dampingi dalam
5. Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri
melakukan perawatan sampai mandiri
diri meningkat 4. Jadwalkan rutinitas
6. Minat melakukan perawatan diri
perawatan diri Edukasi :
meningkat 1. Anjurkan melakukan
7. Mempertahankan perawatan diri secara
kebersihan diri konsisten sesuai
meningat kemampuan

SDKI D.0083 SLKI L.14125 SIKI I. 09305


4 Gangguan Citra Goal : Harapan Meningkat Observasi :
Tubuh b/d Objektif : Dalam jangka 1. Identifikasi harapan citra
perubahan fungsi waktu 1x24 jam pasien tubuh berdasarkan tahap
tubuh akan menunjukkan kriteria perkembangan
hasil : 2. Identifikasi budaya,
1. Verbalisasi agama, jenis kelamin, dan
keputusasaan menurun umur terkait citra tubuh
2. Perilaku Pasif menurun 3. Identifikasi perubahan
3. Afek datar menurun citra tubuh yang
4. Pola Tidur membaik mengakibatkan isolasi
sosial
4. Monitor frekuensi
pernyataan kritik tehadap
diri sendiri
5. Monitor apakah pasien
bisa melihat bagian tubuh
yang berubah

Terapeutik :
1. Latih fungsi tubuh yang
dimiliki
2. Latih peningkatan
penampilan diri (mis.
berdandan)
3. Latih pengungkapan
kemampuan diri kepada
orang lain maupun
kelompok

Edukasi :
1. Anjurkan mengungkapkan
gambaran diri terhadap
citra tubuh
2. Anjurkan menggunakan
alat bantu
3. Jelaskan kepada keluarga
tentang perawatan
perubahan citra tubuh

2.5 Implementasi Keperawatan


Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dirumuskan.

2.6 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan pelaksanaan yang
sudah berhasil dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
1. PERMATASARI, A. M. (2021). ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA

PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS TIPE II DI KELURAHAN MARGO

MULYO KECAMATAN BALIKPAPAN BARAT. Karya Tulis Ilmiah .

2. Huda, A., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Jogyakarta:

Mediaction.

3. PERKENI. (2015). Pengolahan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di

Indonesia. Jakarta.

4. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, dan Loscalzo J. Harrison's
Principles of Internal Medicine. Edisi 19. New York NY, McGraw Hill Education.
2012
5. Wilkinson, Judith M & Ahern, Nancy R. 2011. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnisa Medis & Nanda Nic Noc. Jakarta : EGC
6. Tim Pokja SDKI PPNI . 2019 . Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia . Jakarta .
DPP . PPNI
7. Tim Pokja SLKI PPNI . 2019 . Standar Luaran Keperawatan Indonesia . Jakarta .
DPP . PPNI
8. Tim Pokja SIKI PPNI . 2019 . Standar Intervensi Keperawatan Indonesia . Jakarta .
DPP . PPNI

Anda mungkin juga menyukai