Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Disusun Oleh:
dr.

Pembimbing:
dr. Vivianty Hartiono, Sp.A, MARS
dr. Yoki Stefanus, M.K.M.

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT HATIVE
PASSO
2022
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................... 1


Daftar Isi................................................................................................................ 2
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 3
1.2. Tujuan............................................................................................................. 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1. Definisi ........................................................................................................... 4
2.2. Etiologi ........................................................................................................... 4
2.3. Patogenesis ....................................................................................................... 5
2.4. Manifestasi Klinis ............................................................................................. 7
2.5. Diagnosis… ...................................................................................................... 7
2.6. Diagnosis Banding… ...................................................................................... 10
2.7. Tatalaksana ..................................................................................................... 11
2.8. Komplikasi.................................................................................................... 13
2.9. Prognosis ...................................................................................................... 14
2.10. Pencegahan. .................................................................................................. 15
BAB 3. LAPORAN KASUS .................................................................................. 16
3.1. Identitas Pasien… ........................................................................................... 16
3.2. Anamnesis ...................................................................................................... 16
3.3. Pemeriksaan Fisik… ....................................................................................... 16
3.4. Daftar Masalah… ............................................................................................ 17
3.6. Assessment ...................................................................................................... 17
3.7. Planning… ...................................................................................................... 18
3.8. Prognosis ........................................................................................................ 18
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhuh tubuh
(suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam
biasanya terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam sederhana
merupakan gangguan kejang yang paling lazim ditemukan pada anak. Kejang demam
merupakan suatu bangkitan kejang yang terjadi akibat adanya demam tinggi pada anak yang
umumnya disebabkan adanya infeksi, misalnya infeksi saluran pernapasan dan pendengaran.
Umumnya kejang demam terjadi antara periode 9 bulan hingga 5 tahun. Ada kecenderungan
genetik yang dijumpai pada kejang demam.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak, terutama golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Meski hal ini telah banyak diteliti,
masih terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian kejang demam, hubungannya
dengan sindroma epilepsy, manfaat pengobatan maintenance dan prognosis jangka panjang
dari anak yang menderita kelainan ini.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam
kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan
lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya.
Wegman (1939) dan Millichap (1959) berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya bangkitan kejang.

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang definisi, epidemiologi,
klasifikasi, etiologi, patogenesis manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang,
penanganan, komplikasi, dan prognosis kejang demam sederhana.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhuh
tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam biasanya terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.

Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,


kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum
tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

2.2 Etiologi
Diare Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan
pasti. Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang
demam, yaitu :
¤ Demam itu sendiri
¤ Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
¤ Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
¤ Gabungan semua faktor diatas
Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella mengaiami
kejang demam dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana angka
kejadian kejang demam hanya sekitar 1%. Menurut Lahat (1984), tingginya angka
kejadian kejang demam pada shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan
efek toksik akibat racun yang dihasilkan kuman bersangkutan.
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta
cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-
Buchthal (1971) berpendapat bah-wa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam
diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox
(1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat

4
kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang
demam. Suatu penelitian yang dilakukan memperlihatkan risiko kejang demam pada
beberapa jenis imunisasi sebagai berikut:
¤ DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi.
Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan menurun setelahnya.
¤ MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi.
Risiko meningkat pada hari 8-14 setelah imunisasi.
Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang
lebih besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca
imunisasi kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Jadi
kejang demam bukan merupakan kontra indikasi imunisasi.

2.3 Patogenesis
Untuk mempertahankan kinerja otak diperlukan adanya energi yang
didapatkan dari hasil metabolisme. Bahan yang dibutuhkan mutlak disini adalah
glukosa. Proses metabolisme ini juga membutuhkan oksigen yang dihantar oleh paru-
paru ke jantung kemudian ke otak. Sel syaraf, seperti sel lainnya dikelilingi oleh
suatu membrane yang permukaan dalamnya lipoid sedangkan permukaan luarnya
ionik. Dalam keadaan normal permeabilitas sel terhadap ion kalium lebih tinggi dari
ion natrium, sehingga kadar kalium dalam sel tinggi sedangkan kadar natrium dalam
sel rendah. Hal yang sebaliknya berlaku di luar sel saraf. Untuk menjaga homeostasis
ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase.
Keseimbangan potensial membrane ini dapat diubah oleh adanya perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstrasel, rangsangan yang datang mendadak misalnya
mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya dan adanya perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena adanya penyakit atau pengaruh keturunan.
Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1o C menyebabkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat hingga 20%. Pada
seorang anak yang berusia 3 tahun sirkulasi darah ke otak mencapai 65%, bandingkan
dengan orang dewasa yang hanya mencapai 30%. Jadi adanya kenaikan suhu tubuh

5
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam
waktu singkat terjadi difusi ion natrium dan kalium sehingga kesimbangannya tidak
terjadi lagi.
Lepas muatan ini akan meluas ke seluruh sel maupun membran sel sekitarnya
dengan bantuan neurotransmitter. Tidak semua jenis neurotransmitter dapat
menyebabkan terjadinya perpindahan ini. Hanya neurotransmitter yang bersifat
eksitasi seperti glutamat dan asam aspartat yang dapat menyebabkan peningkatan
penyaluran impuls saraf. Adanya daerah neuron yang mati (misalnya oleh karena
adanya glioma tumbuh lambat, hematoma, gliosis dan malformasi arterivenosus) juga
dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitasi yang baru. Eksitasi berlebih
ini yang akan disalurkan menuju motor end plate sehingga menyebabkan kontraksi
secara tiba-tiba dari otot-otot rangka.
Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda-beda. Pada anak dengan
ambang kejang rendah, dapat timbul kejang pada suhu 38o C. Sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, dapat timbul kejang pada suhu 40o C atau lebih.
Oleh karena itu perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita mengalami
kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang demam yang berlangsung lama
biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
disebabkan oleh karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat akibat peningkatan
aktivitas otot dan selanjutnya diikuti peningkatan metabolisme. Hal ini pada akhirnya
dapat menyebabkan kerusakan pada neuron otak setelah berlangsungnya kejang pada
waktu yang cukup lama. Edema otak juga dapat terjadi karena adanya gangguan
peredaran darah yang menyebabkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas
kapiler.

6
2.4 Manifestasi Klinis
Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan
biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 38C atau lebih (rectal). Umumnya kejang
berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik. Bentuk kejang yang lain dapat juga
terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan
sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% yang
berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti sendiri setelah mendapat
pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak capek, mengantuk, tertidur pulas,
dan tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak atau disebut periode mengantuk singkat
pasca kejang, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan akan mulai
berangsur sadar tanpa defisit neurologis.. Biasanya, kesadaran pulih sepenuhnya setelah 10
sampai 15 menit. Dalam masa ini, anak agak sensitif (irritable) dan mungkin tidak
mengenali orang di sekitarnya.
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat fokal atau
unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh sementara pasca serangan
kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama
dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama
biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama.

2.5 Diagnosis
Berdasarkan kriteria Livingston, kejang demam dibagi atas kejang demam sederhana
(simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi demam (epilepsy triggered off by
fever). Pembagian ini dapat memprediksi prognosis dari pasien yang mengalami kejang
demam. Menurut Livingston, kriteria kejang demam sederhana adalah sebagai berikut:
¤ Umur anak ketika kejang antara 6 bulan - 4 tahun
¤ Kejang berlangsung sebentar, tidak melebihi 15 menit
¤ Kejang bersifat umum
¤ Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
¤ Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
7
¤ Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan
¤ Frekuensi bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
Pasien yang tidak memiliki minimal salah satu dari kondisi di atas merupakan pasien
yang menderita epilepsi yang diprovokasi demam (epilepsy triggered off by fever). Dengan
menggunakan kriteria Livingston tersebut, ternyata sangat banyak pasien yang termasuk
dalam golongan epilepsi yang diprovokasi demam, sehingga konsekuensinya pasien-pasien
yang memiliki kondisi tersebut harus menerima pengobatan rumat. Selain itu juga sulit sekali
untuk melakukan anamnesis berapa lama demam sudah berlangsung sebelum pasien
mengalami kejang. Oleh karena itu, pembagian kejang demam dibagi sebagai kejang demam
yang membutuhkan terapi rumat maupun yang tidak membutuhkan terapi rumat. Umumnya
kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan klonik atau tonik-klonik bilateral.
Seringkali kejang berhenti dengan sendirinya. Setelah kejang berhenti, anak langsung
menangis.
¤ Anamnesis
Anak yang mengalami kejang demam akan didahului dengan serangan demam baik
suhu tinggi maupun suhu yang tidak terlalu tinggi yang dapat disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Pastikan
tidak adanya infeksi sistem saraf pusat untuk mengeliminasi kemungkinan kejang oleh
penyebab lain.1 Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan untuk menganamnesis anak
dengan kejang demam:
♪ Usia anak berkisar 9-15 bulan
♪ Adanya riwayat infeksi seperti infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis maupun infeksi saluran kemih.
♪ Tidak ada infeksi sistem saraf pusat.
♪ Adanya demam sebelum timbulnya kejang
♪ Umumnya serangan kejang berlangsung 24 jam pertama sewaktu demam.
♪ Kemungkinan adanya pengaruh genetik, riwayat anggota keluarga yang juga pernah
mengalami kejang demam.
¤ Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada kejang demam. Umumnya dapat

8
dilakukan pemeriksaan tanda – tanda vital yaitu pemeriksaan suhu, frekuensi pernapasan,
denyut nadi serta tekanan darah pada penderita. Yang menonjol disini biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh.
Pemeriksaan tingkat kesadaran diperlukan pasca kejang untuk memperhatikan
apakah ada defisit neurologis atau tidak. Bentuk pemeriksaan kesadaran yang digunakan
dapat berbentuk pemeriksaan kualitatif maupun kuantitatif. Tingkat kesadaran kualitatif
pasien terbagi atas:
♪ Compos mentis: sadar terhadap diri dan lingkungan.
♪ Delirium : gaduh gelisah, kacau, disorientasi
♪ Somnolen : mengantuk, mudah dibangunkan, menangkis nyeri
♪ Stupor: dapat dibangunkan dengan rangsangan kuat, kemudian kesadaran turun lagi
♪ Koma : tanpa gerakan sama sekali
Secara kuantitatif dapat digunakan Glasgow Coma Scale. Pemeriksaan tanda
rangsang meningial dapat digunakan untuk mengeksklusi adanya meningitis. Bentuk
pemeriksaan tanda rangsang meningeal meliputi kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Laseque
dan tanda Brudzinsky.
¤ Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan kadar elektrolit,
glukosa serum, pemeriksaan CSS serta pemeriksaan radiologik yang sesuai. Adanya
pemeriksaan ini bukan hanya untuk menegakkan diagnosis kejang demam namun juga untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi sistem saraf pusat yang membangkitkan
serangan kejang.
Pemeriksaan elektrolit menunjukkan adanya hipokalsemia, hipomagnesia dan
hiperfosfatemia. Selain itu didapati penurunan kadar glukosa darah / hipoglikemia. Analisa
cairan serebrospinal tidak selalu dilakukan pada kejang demam. Pemeriksaan ini dilakukan
bila ada kecurigaan adanya meningitis pada bayi dan anak.
Pemeriksaan EEG tidak diindikasikan pasca kejang demam sederhana karena
umumnya gambarannya hanya akan membuktikan bentuk normal dan tidak akan mengubah
manajemen. EEG hanya diindikasikan pada kejang demam atipik maupun anak yang
beresiko berkembang menjadi epilepsi. Kelainan EEG berupa perlambatan yang mencolok
sering dialami pada anak dengan kejang afebris rekuren dibandingkan anak normal. EEG

9
tidak dapat digunakan untuk memperkirakan anak mana yang akan mengalami kejang
demam berulang atau yang mengalami epilepsi.

2.6 Diagnosis Banding


Berikut ini beberapa jenis penyakit yang dapat dibandingkan dengan kejang demam
sederhana:
¤ Kejang Demam Kompleks / Atipikal
Merupakan kejang pada demam dengan manifestasi klinis yang lebih lama (lebih
dari 15 menit) yang disertai dengan tanda fokal. Serangan kejang yang kompleks dapat
terjadi lebih dari satu kali dalam satu hari. Adanya kejang demam kompleks harus
diwaspadai karena dapat merupakan pertanda infeksi akut yang serius serta dapat
menyebabkan komplikasi berupa timbulnya epilepsi. Dua hal yang perlu diperhatikan untuk
membedakan kejang demam kompleks dan sederhana ialah lama berlangsungnya kejang
serta jumlah serangan kejang yang terjadi.
¤ Meningitis
Merupakan infeksi pada meningen, yaitu selaput pembungkus otak. Infeksi ini
dapat disebabkan oleh bakteri seperti Stereptococcus pneumonia, Eschericia coli, dan
Haemophilus influenzae maupun virus seperti virus herpes zoster dan herpes simplex. Ada
triad klasik dari meningitis, yaitu berupa kaku kuduk, demam tinggi dan perubahan status
mental. Selain itu dapat dijumpai adanya fotofobia dan fonofobia. Jika tidak ada gejala
klasik ini, maka sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis pada seseorang. Pada anak
biasanya terlihat irritabel dan kurang sehat. Pada bayi berusia hingga 6 bulan biasanya
didapai penonjolan fontanella.
Adanya pemeriksaan analisa cairan serebrospinal dapat digunakan untuk
menegakkan adanya meningitis.
¤ Ensefalitis
Merupakan merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang umumnya disebabkan
oleh virus, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri. Mikroorganisme ini dapat masuk
melalui kulit, saluran nafas dan saluran cerna. Gejala yang dialami biasanya berupa demam
tinggi, pusing kepala, kebingungan dan terkadang kejang. Pada pasien anak umumnya
dijumpai demam, tidak nafsu makan dan irritabilitas. Adanya ensefalitis juga dapat diikuti

10
dengan adanya meningitis. Analisa cairan otak dapat menunjukkan peningkatan kadar
protein dan sel darah putih, sedangkan kadar glukosa darah normal. Pada beberapa pasien
tidak dijumpai perubahan berarti pada analisa cairan serebrospinal.
¤ Abses Otak
Abses otak jarang terjadi pada bayi berusia dibawah 1 tahun, namun insidensinya
akan meningkat setelah masa itu dan hampir sepertiga dari semua kasus abses otak terjadi
pada kelompok usia pediatrik. Abses otak umumnya timbul sekunder dari infeksi tubuh di
tempat lain atau melalui luka tembus. Penyebabnya antara lain oleh karena absen hematogen
atau metastatic pada anak dengan kelainan jantung bawaan, oleh penetrasi otak oleh benda
asing atau pembedahan maupun akibat infeksi kulit kepala.
Gejala yang dijumpai berupa letargi, anoreksia dan muntah. Anak yang usianya
lebih tua dapat mengeluhkan adanya nyeri kepala. Dapat dijumpai kejang yang bersifat fokal
maupun umum yang disertai dengan demam yang tidak terlalu tinggi. Adanya abses
biasanya akan disertai dengan timbulnya defisit neurologis seperti hemiparesis, gangguan
sensorik dan kelainan lapang pandang. Adanya abses pada fossa posterior akan
menyebabkan ataksia, dismetria, serta kelumpuhan saraf kranialis. Defisit neurologis ini
tidak dijumpai pada kejang demam sederhana.
Pemeriksaan CSS umumnya tidak memberikan hasil bermakna. Sedangkan CT
Scan dapat digunakan menegakkan diagnosis dan evaluasi pengobatan penyakit ini.

2.7 Tatalaksana
¤ Non medika mentosa
Seringkali kejang yang terjadi akan berhenti dengan sendirinya. Penting untuk menjaga jalan
napas agar tetap lancar pada pasien yang mengalami serangan kejang demam.
♪ Jika anak mengalami kejang, posisikan anak miring (semiposisi) dengan leher yang
diekstensikan sehingga sekresi dapat keluar secara lancar melalui mulut.
♪ Jika pernasapan sulit: buka saluran napas dengan ekstensi leher secara hati-hati, angkat
rahang ke depan. Jangan letakkan apapun ke dalam mulut. Berikan O 2 jika tersedia.
♪ Tetap perhatikan keadaan vital pasien seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan
dan fungsi jantung. Penting untuk mengetahui pada suhu berapa anak mengalami kejang
sehingga kita dapat mengetahui ambang kejang anak tersebut.

11
♪ Jangan letakkan apapun (sendok, jari) di mulut pasien.
♪ Suhu tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian
antipiretik. Antipiretik yang dapat digunakan pada anak adalah Paracetamol. Jangan
gunakan asam salisilat sebagai antipiretik karena dapat menyebabkan sindrom Reye.
Setelah kejang berhenti, periksa kadar glukosa dan elektrolit darah. Pada kejang
demam biasanya didapati peningkatan kadar fosfor, penurunan kadar magnesium dan
kalsium serta penurunan kadar glukosa darah.
Hal yang perlu diperlukan adalah untuk menyingkirkan penyebab kejang akibat
infeksi pada sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses otak. Oleh karena itu
dapat dilakukan pungsi lumbal pada L4 – L5 untuk mengambil cairan serebrospinal. Cairan
ini kemudian dianalisa untuk mengetahui kemungkinan adanya infeksi pada sistem saraf
pusat. Namun, analisa cairan serebrospinal ini tidak dilakukan pada semua kasus kejang
demam melainkan hanya dilakukan pada:
♪ Kejang dengan usia pasien dibawah 1 tahun.
♪ Kejang yang berulang.
♪ Adanya gejala-gejala gangguan sistem saraf pusat seperti adanya defisit neurologis pasca
kejang.
¤ Medika Mentosa
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan adalah
mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat-obatan antipiretik
sanagt diperlukan. Obat-obat yang dapat digunakan sebagai antipiretik adalah asetaminofen
10-15 mg/kgBB/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari setiap 4-6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek terapeutik
diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius
hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg
persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan intrarectal. Dosis diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20
mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar
dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali
menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah

12
dibuktikan keampuhannya. Pemberian dilakukan pada anak atau bayi dalam posisi miring
atau menungging dan dengan rektiol yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa
saluran keluar rektal ke rektum sedalam 3-5 cm. Kemudian rektal dipijat hingga kosong betul
dan selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua
muskulus gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg)
atau 10 mg (BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian,
bila tidak berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan
dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital yang
langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan-1 tahun 50
mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular. Lalu 4 jam kemudian diberikan
fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik
peroral. Harus diperhatikan bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari karena efek
sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.

2.8 Komplikasi
¤ Epilepsi
Anak yang menderita kejang demam berseiko lebih besar mengalami epilepsi
dibandingkan dengan yang tidak. Besarnya resiko ini dipengaruhi banyak faktor, namun
yang terpenting adalah kelainan status neurologik sebelum kejang, timbulnya kejang
demam yang kompleks dan riwayat kejang afebris pada keluarga. Seorang anak normal
yang mengalami kejang demam memiliki resiko 2x lipat lebih besar dibandingkan
populasi kontrol.
Apabila kejang pertamanya kompleks, atau bila anaknya abnormal, resiko dapat
meningkat hingga 5 kali lipat. Bila kedua faktor ada maka resikonya menjadi 18 kali lipat
dan insidensi epilepsi dapat mencapai 10% dalam kelompok ini. Anak dengan serangan
kejang demam fokal, berkepanjangan, dan berulang dengan penyakit yang sama memiliki
50% kemungkinan menderita epilepsi saat ia berusia 25 tahun.

13
¤ Retardasi mental
Gangguan belajar dan perilaku, retardasi mental, defisit koordinasi dan motorik dan status
epileptikus pernah dilaporkan sebagai gejala sisa kejang demam. Kejang yang
berkepanjangan tampaknya merupakan faktor pemicu timbulnya sekuele.

2.9 Prognosis
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya
kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila
melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973)
mendapatkan:
¤ Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan
pria 33%.
¤ Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya
kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.

14
2.10 Pencegahan
Pencegahan terutama dari kejang demam adalah mencegah agar suhu tubuh anak
tidak terlalu tinggi sehingga tidak menjadi faktor pemicu timbulnya kejang. 3 Hal yang dapat
dilakukan ialah:
¤ Memberi kompres air dingin pada anak yang demam.
¤ Tidak mengenakan baju yang tebal dan tertutup pada anak.
¤ Menggunakan obat penurun suhu tubuh, yaitu Paracetamol.
Pencegahan sekunder berupa mencegah rekurensi demam telah dibahas di bagian
penatalaksanaan, yaitu dengan pemberian diazepam oral 0,33 mg/kg setiap 8 jam.

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. RA
Usia/BB : 6 Tahun
Jenis Kelamin : Laki laiki
Alamat :-

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Kejang
Pasien oleh kedua orang tuanya dengan keluhan kejang, kejang di rumah 2x SMRS
dengandurasi 1 menit, selama kejang pasien kaku dan tidak sadar, setelah itu pasien
sadar lagi, sebelumnya pasien demam, kemudian diberikan paracetamol namun
demam naik turun, nafsu makan berkurang, BAB dan BAK kurang

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak pernah MRS dan sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada yang keluarga serumah yang sakit 1 minggu ini.

Riwayat Pengobatan:
Tidak ada

3.3 Pemeriksaan Fisik


Berat Badan 19 kg

Tanda Vital
 GCS: 456 Compos Mentis
 Nadi: 114x/menit, kuat angkat, reguler
 Frekuensi napas: 26x/menit
16
 SpO2: 98%, pasien tidak sianosis
 Suhu: 38,2oC

Status Generalis
 Kepala/Leher: anemia - / ikterus - / sianosis - / dispnea – / pKGB -
 Toraks: simetris, retraksi –
o Paru: vesikuler/vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
o Jantung: S1S2 tunggal, murmur -, gallop –
 Abdomen: BU (+) meningkat, turgor baik
 Genitalia: Eritema (-)
 Ekstremitas: akral hangat kering merah, CRT <2 detik

3.4 Daftar Masalah


• Usia 6 Tahun
• Kejang
• Demam

3.5 Assessment
 Kejang Demam Sederhana

3.6 Planning
3.6.1 Diagnostik
Darah Lengkap
• Hb : 13,7 g/dL (N 9,5-14 g/dL)
• RBC : 4,76 x 106/μL (N 3,5-5,2 x 106/μL)
• HCT : 39,4 % (N 29-43%)
• MCV: 82,8 fl (N 80-95 fl)

• MCH: 28,8 pg (N 27-31 pg)


• MCHC: 34,0 g/dL (N 32-36 g/dL)
• WBC : 13.100 x 103/μL (N 6.200 – 17.000 x 103/μL)
• Neutrofil 80,0% (N 55-70%)

17
• Limfosit 16,5% (N 20-40%)
• Monosit 3,5% (N 2-8%)
• Eosinofil (tidak ada data)
• Basofil (tidak ada data)
• PLT : 313.000 x 103/μL (N 200.000 – 475.000)

3.6.2 Terapi
• IVFD RL 20 tpm / 24 j/ IV (mikro)
• Drips PCT 200mg/8j/iv (jika suhu diatas 38,5'C)
• Paracetamol Syr 3x2 cth / PO
• Inj. Ceftriaxone 500mg /12j/ iv
• Ambroxol Syr 3x1 cth / PO
Advice dr. Sp.A
• Fenitoin 2x100mg PO
• Buat kultur darah

3.6.3 Monitoring
• Klinis Pasien (frekuensi kejanng)
• Efek Samping Obat

3.7 Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanationam : bonam

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Richard EB, Robert MK, Ann MA. Kejang-kejang pada masa anak-anak. Ilmu kesehatan
anak nelson. Vol 3. Ed 15th. Jakarta: EGC; 2004.hal.2059-60.
2. Abraham MR, Julien IE, Colin DR. Sistem saraf. Buku ajar pediatric Rudolph. Vol 3. Ed
20th. Jakarta: EGC; 2007.hal.2160-1.
3. Staf Pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Kejang demam sederhana. Buku kuliah ilmu
kesehatan anak. Vol 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.hal.1190-2.
4. Taslim SS, Sofyan I. Kejang demam. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: Balai Penerbit
IDAI; 2001.hal.244-51.
5. Roy M, Simon JN. Kejang demam. Pediatrika. Ed 7th. Jakarta: Erlangga: 2005.hal.112-4.

19

Anda mungkin juga menyukai