Berbicara
Kegiatan Belajar 1
Hakikat Berbicara
A. PENGERTIAN BERBICARA
Dalam mengungkapkan pengertian berbicara, para ahli menggunakan sudut pandang yang berbeda. Oleh
karena itu, jangan heran jika Anda menemukan beberapa pengertian berbicara yang berbeda satu sama lainnya.
Muljana mengatakan bahwa suatu pengertian harus dilihat kemanfaatannya dalam menjelaskan fenomena yang
dibatasi (2001: 42). Sesuai dengan kebutuhannya, dapat saja berbicara didefinisikan secara sempit, misalnya
berbicara adalah bentuk komunikasi dengan menggunakan media bahasa lisan.
Secara umum, berbicara merupakan proses penuangan gagasan dalam bentuk ujaran. Dalam hal ini Suhendar
mengatakan, “Berbicara adalah proses perubahan wujud pikiran/perasaan menjadi wujud ujaran.” (1992: 20).
Ujaran yang dimaksud adalah bunyi-bunyi bahasa yang bermakna. Coba Anda bayangkan, jika seseorang meminta
sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan gerak dan isyarat tangan, tanpa menggunakan ujaran. Komunikasi
hanya dengan isyarat dapat saja berjalan, tetapi komunikasi seperti itu memiliki keterbatasan. Komunikasi tanpa
ujaran akan berlangsung tidak selancar komunikasi dengan ujaran, karena akan ada gagasan yang tidak saling
dipahami oleh kedua belah pihak.
Jadi, apa hakikat berbicara sebenarnya, silakan ikuti uraian atau pendapat beberapa pakar komunikasi tentang
pengertian berbicara.
1. Tujuan Berbicara
Tujuan utama berbicara adalah menyampaikan informasi berupa gagasan-gagasan kepada pendengar. Secara
khusus, berbicara memiliki banyak tujuan. Tujuan tersebut antara lain untuk memberi informasi, menyatakan diri,
mencapai tujuan, berekspresi, menghibur, dan lain-lain.
Berbicara dengan tujuan memberi informasi. Dalam kegiatan berbicara ini pembicara memiliki informasi-
informasi yang akan disampaikan kepada pendengar. Contoh berbicara dengan tujuan memberi informasi misalnya,
kegiatan berbicara seorang guru kepada para siswanya di dalam kelas, seorang penyaji dalam kegiatan seminar,
seorang dai dalam kegiatan pengkajian Al-Quran, atau pembicara dalam kegiatan-kegiatan pelatihan.
Berbicara dengan tujuan menyatakan diri. Contoh kegiatan berbicara dengan tujuan menyatakan diri berupa
kegiatan berbicara yang dilakukan seseorang ketika memperkenalkan diri atau ketika menyampaikan argumentasi
dalam suatu masalah.
Berbicara dengan tujuan mencapai tujuan adalah kegiatan berbicara yang dilakukan untuk memperoleh sesuatu.
Contoh kegiatan berbicara dengan tujuan antara lain berbicara dalam mempresentasikan program dalam rangka
memperoleh jabatan, berbicara dalam kampanye, berbicara dalam rangka memperoleh pinjaman, menawarkan
barang dagangan, dan lain-lain.
Berbicara dengan tujuan berekspresi. Kegiatan berbicara dengan tujuan berekspresi biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang berkecimpung dalam bidang karya sastra. Contohnya, ketika mendongeng, menyatakan perasaan
kepada orang lain, dan berbicara berdasarkan empati.
Berbicara untuk menghibur. Berbicara dengan tujuan menghibur adalah kegiatan berbicara dengan
menggunakan kata-kata yang mengandung humor. Contoh kegiatan berbicara dengan tujuan menghibur biasa
dilakukan oleh para pelawak atau acara-acara yang bersifat komedi.
2. Jenis Berbicara
Jenis berbicara dalam pembahasan ini mengacu pada situasi. Situasi yang dimaksud adalah situasi yang
berkaitan dengan tujuan berbicara, di mana, kapan, dan dengan siapa orang berbicara. Berdasarkan situasi tersebut,
berbicara dikelompokkan ke dalam dua situasi yaitu berbicara dalam situasi nonformal dan berbicara dalam situasi
formal.
Berbicara dalam situasi nonformal tidak terikat oleh aturan-aturan seperti yang ada dalam berbicara dalam
situasi formal. Berbicara dalam situasi formal sama artinya dengan berbicara formal. Berbicara yang berlangsung
dalam situasi formal, terikat oleh aturan-aturan tertentu dan berlangsung melalui tahapan-tahapan tertentu.
Penelepon : Baiklah, kalau begitu. Terima kasih atas informasinya. Oh, ya, jika sempat, tolong sampaikan bahwa
saya menelepon. Penerima : Baik, Pak. Terima kasih kembali.
Anda perhatikan bagaimana penerima telepon berbicara dengan bahasa yang cukup santun. Mengapa dia
berbicara dengan bahasa seperti itu? Apakah karena profesi dia sebagai sekretaris (berdasarkan konteks wacana di
atas)? Apakah dia tahu siapa yang bernama Sudirman yang berbicara di ujung telepon sana? Apakah penelepon itu
adalah orang penting? Sebelum menjawab pertanyaan itu semua, perhatikan pula cuplikan berikut!
Penelepon : Tolonglah Des, please Des! Kapan lagi kamu mau bantu
temenmu ini.
Penerima : Ah, dasar rayuan gombal, kamu ini enggak bisa berubah
dari dulu, bisanya cuma minta tolong melulu. Kapan kamu
nolongin aku?
Penelepon : Enak aja, gue nggak pernah nolong lo. Ingat gak, waktu lo,
minta disalamin sama si Fredy, siapa tuh yang jadi mak
comblangnya, kan gue sahabat setiamu ini.
Penerima : Sssst! Udah ah, itu masa lalu.
Penelepon : Masa lalu, sih masa lalu, tapi jangan dilupain gitu aja dong.
Itu kan cinta pertamamu.
Penerima : Udah, ah, jangan diomongin lagi. Jadi, udah nih, minta
bantuannya? Gue banyak kerjaan nih.
Penelepon : Sabar dong, non! Ya, apa lagi ya? Oke, untuk sementara
segitu dulu keperluan gue. Secepatnya gue kontak lo lagi.
Sudah ya, selamat bekerja Desi Fredyanti (seharusnya Desi
Febriyanti)
Penerima : Apa lo bilang, sompret. Dasar perempuan bawel ….
(“Truup”, telepon dari ujung sana sudah ditutup)
Anda perhatikan kedua wacana di atas. Kedua wacana tersebut dimulai dengan ucapan yang sama, yaitu
seorang sekretaris sebuah perusahaan menerima telepon dari dua penelepon yang berbeda. Penelepon pada wacana
pertama adalah seorang rekanan bisnis perusahaan tempat sekretaris itu bekerja, sedangkan penelepon pada wacana
kedua adalah seorang sahabat lama dari sekretaris tersebut. Pada awalnya, sekretaris itu memberi respon yang sama
dalam kedua wacana. Akan tetapi, respon yang diberikan sekretaris mengalami perubahan setelah dia tahu siapa
yang menelepon. Keseluruhan respon yang diberikan sekretaris pada wacana pertama menunjukkan respon yang
penuh dengan santun bahasa. Kalimat-kalimat yang digunakannya, walaupun mungkin dari segi struktur kurang
gramatikal, merupakan kalimat-kalimat yang cukup dipertimbangkan kesantunannya. Hal ini berbeda dengan
respon yang diberikan pada wacana kedua. Walaupun penelepon tidak mengatakan langsung identitasnya, sekretaris
itu sudah tahu siapa yang menelepon dari suaranya atau dari aspek-aspek kebahasaan lainnya, sehingga respon yang
dikembangkannya pun merupakan responrespon yang berbeda sama sekali dengan pada wacana pertama. Suasana
pembicaraan dibawa ke arah suasana akrab. Muncullah kata-kata percakapan dan slang yang mungkin biasa
diungkap ketika mereka berbicara dalam keadaan tatap muka.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa berbicara nonformal tidak begitu saja lepas dari aturan-aturan. Jika aturan-
aturan gramatikal, mungkin ya. Akan tetapi, aturan-aturan yang bersifat situasi dan kontekstual sangat diperhatikan.
Dapatkah Anda bayangkan jika respon yang diberikan sekretaris pada wacana pertama seperti ketika dia
memberikan respon kepada penelepon pada wacana kedua? Apa jadinya dengan perusahaan tempat dia bekerja?
Sebaliknya, jika respon yang diberikan sekretaris pada wacana kedua seperi respon yang diberikannya peda wacana
pertama. Bagaimana kira-kira kesan yang diterima penelepon (yang di sapa “Rin”) tentang sekretaris itu? Mungkin
kejadian itu akan mengubah kebiasaan yang akrab menjadi serba kaku. Tentu Anda pun dapat membayangkan efek-
efek lain dari kejadian itu.
Kegiatan berbicara sangat didukung oleh konteks pembicaraan dan kurang terikat oleh aturan-aturan
kebahasaan yang bersifat gramatikal. Untuk menjelaskan hal itu, dapat Anda perhatikan cuplikan komunikasi
berikut ini!
b. Konteks pembicaraan
Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana mengemukakan bahwa konteks mempunyai dua pengertian. Pertama,
konteks adalah aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengait dengan ujaran tertentu. Kedua, konteks
adalah pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang
dimaksud pembicara. (2001: 120)
Seorang pembicara ketika akan menyampaikan sesuatu secara verbal kepada orang lain terlebih dahulu harus
mempertimbangkan kesepahaman konteks, agar pendengar dapat mengerti secara jelas apa yang disampaikannya.
Konteks dapat berupa aspek-aspek lingkungan fisik dan sosial yang harus diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat
dalam kegiatan berbicara, sehingga mereka dapat saling memahami tentang sesuatu yang menjadi pokok
pembicaraan.
Lebih luas dari yang dikemukakan oleh Kridalaksana, Mulyana (2001: 69-70) mengemukakan bahwa konteks
wacana menyangkut segala aspek di luar pelaku komunikasi. Aspek-aspek tersebut adalah:
a. aspek yang bersifat fisik, seperti iklim, cuaca, suhu udara, bentuk ruangan, warna dinding, penataan tempat
duduk, dan jumlah peserta komunikasi;
b. aspek psikologis, seperti sikap, kecenderungan, prasangka, dan emosi para pelaku komunikasi;
c. aspek sosial, seperti norma kelompok, nilai sosial, dan karakteristik budaya;
d. aspek waktu, seperti hari apa, jam berapa, pagi, siang, sore, dan malam.
Komunikasi-komunikasi humor sering memanfaatkan konteks sebagai media untuk mengundang tawa
pendengar. Untuk memahami komunikasi humor yang menggunakan konteks sebagai media, jelas memerlukan
pemahaman yang sama dari pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut tentang materi yang menjadi
objek humor. Misalnya, humor-humor sufi sering memanfaatkan konteks sebagai medianya, seperti contoh berikut
ini.
Nasrudin lewat di gang di kota Qauniyah. Dia melihat sebuah rumah yang tinggi dan besar. Karena kagum akan
kebesaran dan keindahan bangunannya, ia memandanginya lama sekali. Seorang jongos tiba-tiba berdiri di
hadapannya.
“Mengapa kamu begitu memperhatikan rumah ini?” tanya si jongos dengan curiga.
“Aku sedang mengagumi bangunan yang indah dan besar ini,” jawab Nasrudin dengan tak acuh.
“Ini tempat penggilingan tepung,” pembantu rumah itu berkelakar. “Tentu hewan yang tinggal dan bekerja di
sini juga besar-besar, ya?” kata Nasrudin.
Pendengar tertawa mendengar banyolan di atas mungkin karena penghuni rumah itu disamakan dengan hewan.
Akan tetapi, mengapa Nasrudin mengatakan bahwa hewan yang tinggal di rumah itu juga besarbesar, karena
dikaitkan dengan konteks, yaitu pada zaman dahulu penggilingan tepung selalu menggunakan tenaga hewan
(kerbau atau sapi) sebelum ditemukannya peralatan disel seperti zaman sekarang. Jika pendengar tidak mempunyai
pemahaman terhadap konteks itu, mungkin akan menganggap Nasrudin menyamakan penghuni rumah itu dengan
hewan, sesuatu yang bersifat pelecehan dan pendengar tidak akan tertawa. Akan tetapi, jika pendengar memahami
konteks itu, pendengar akan tertawa dan tidak menganggap penyamaan penghuni rumah dengan hewan, bukan
merupakan pelecehan, karena penyamaan tersebut merupakan kesimpulan dari sebuah silogisme.
Berbicara Formal
ecara umum pengertian berbicara
formal telah diuraikan pada Kegiatan
S Belajar 1, pada Kegiatan Belajar 2 ini akan dibahas secara rinci hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan
berbicara formal. Bahasan berbicara formal ini harus benar-benar Anda kuasai karena dari sinilah Anda akan
memiliki kemampuan berbicara sebagaimana layaknya seorang akademisi.
Berbicara formal dikelompokkan menjadi dua yaitu monolog dan dialog. Berbicara monolog adalah berbicara
satu arah, artinya dalam kegiatan berbicara tersebut tidak terjadi interaksi antara pembicara dengan pendengar.
Kegiatan berbicara yang bersifat monolog; pidato/sambutan dan memandu. Memandu dapat berupa memandu acara
atau mewara dan memandu wisatawan. Kegiatan berbicara yang bersifat dialog; wawancara dan diskusi. Diskusi
memiliki ragam antara lain seminar dan simposium.
Untuk memperoleh keterampilan berbicara formal diperlukan penguasaan terhadap faktor-faktor yang
menentukan keberhasilan berbicara. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kebahasaan dan nonkebahasaan.
A. FAKTOR KEBAHASAAN
Faktor kebahasaan adalah faktor yang berkaitan dengan unsur-unsur kebahasaan. Penguasaan terhadap unsur-
unsur kebahasaan dapat membuat pembicaraan menjadi jelas, enak didengar, dan menarik. Unsur-unsur kebahasaan
yang dapat menunjang keefektifan berbicara yaitu, pengucapan fonem, intonasi, pilihan kata, dan penerapan
struktur kalimat.
1. Pengucapan Fonem
Fonem dalam bahasa terdiri atas fonem vokal dan konsonan. Kesalahan dalam pengucapan fonem baik vokal
maupun konsonan akan mengganggu kelancaran komunikasi antara pembicara dan pendengar. Artinya, kesalahan
pengucapan fonem dapat membuat pendengar salah menafsirkan isi pembicaraan. Sebagai contoh perhatikan ujaran
berikut ini.
”Mereka memang bukan dari keluarga mampu, tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki semangat hidup
yang tinggi. Pernah beberapa kali pindah tempat tinggal, pada tahun tujuh puluhan mereka di Serang [sərang],
sekarang mereka menjadi orang-orang berhasil dan tinggal di pemukiman orang-orang berkelas.”
Perhatikan kalimat kedua; Pernah beberapa kali pindah tempat tinggal, pada tahun tujuh puluhan mereka di
Serang [sərang]. Kesalahan pelafalan/pengucapan fonem /e/ menjadi [ə] akan mengganggu komunikasi bahkan
kesalahan penafsiran. Bisa saja pendengar menjadi bingung, misalnya pendengar berpikir ”Kok diserang, siapa
yang menyerang, mereka kan orang baik-baik.”
Demikian Saudara jika pembicara membuat kesalahan dalam melafalkan fonem, baik vokal maupun konsonan.
Pendengar tidak saja akan menjadi bingung, mungkin juga akan terjadi hal lebih tidak menyenangkan.
2. Penerapan Intonasi
Intonasi adalah unsur bahasa yang tergolong ke dalam suprasegmental, yaitu unsur bahasa yang dapat
membedakan makna yang disebabkan oleh tinggi rendah, tekanan, dan jeda atau persendian. Perhatikan contoh
perapan persendian atau jeda pada ujaran berikut ini. Ujaran ini diucapkan pembicara yang sedang memberi
penjelasan kepada guru-guru senior tentang bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran.
”Seorang guru baru/dikatakan profesional jika mampu memperlihatkan pembelajaran yang berkualitas. Kualitas
pembelajaran baru/dapat diperoleh dengan cara guru selalu mau belajar untuk mengetahui/ perubahan-
perubahan yang ada dalam dunia pendidikan”.
Mendengar ujaran ini, para guru (senior) pasti akan bingung, kepada siapa sebenarnya ujaran ini ditujukan,
karena yang hadir pada saat itu tidak ada guru baru. Demikian pula halnya dengan kalimat 2, kualitas pembelajaran
baru itu seperti apa?
Jika ujaran tersebut diperbaiki, orang yang mendengarkan akan menjadi lebih mengerti. Berikut perbaikan
penerapan jeda pada kalimat tersebut.
”Seorang guru/baru dikatakan profesional jika mampu memperlihatkan pembelajaran yang berkualitas. Kualitas
pembelajaran/baru dapat diperoleh dengan cara guru selalu mau belajar/untuk mengetahui perubahan-
perubahan yang ada dalam dunia pendidikan”.
Iya, persendian atau jeda, atau perhentian sejenak sangat berpengaruh terhadap makna sebuah kalimat.
Penerapan persendian yang salah akan berakibat seperti contoh di atas. Penguasaan terhadap intonasi tidak hanya
terletak pada aspek persendian, kesalahan penerapan penekanan dan aspek intonasi lain juga akan berakibat sama,
yaitu gangguan atau kekeliruan komunikasi.
3. Pilihan Kata
Keterampilan memilih dan menentukan kata yang akan digunakan dalam kegiatan berbicara sangat penting
bagi pembicara. Sama halnya dengan penguasaan terhadap pelafalan fonem dan penerapan intonasi, pilihan kata
yang salah ketika melakukan kegiatan berbicara pun akan menimbulkan dampak yang sama yaitu, gangguan atau
kekeliruan komunikasi. Perhatikan contoh berikut ini.
”Bapak-bapak dan Ibu-ibu, masalah keluarga selalu ada di setiap rumah tangga. Suami dan istri harus selalu saling
menghormati dan tenggang rasa. Artinya, seorang istri harus memahami bagaimana kerjanya seorang suami
dalam mencari nafkah? Suami pun harus bisa mengerti bagaimana lelahnya ketika istri dalam kandungan. Oleh
sebab itu, suami dan istri harus selalu bekerja sama dan saling membantu”
Bagaimana Saudara, Anda dapat menangkap kekeliruan pilihan kata pada ujaran di atas? Pada bagian manakah
letak kesalahan pilihan kata tersebut? Bagus, kesalahan pilihan kata terletak pada kalimat ketiga dan keempat. Mari
kita lihat bersama-sama.
Artinya, seorang istri harus memahami bagaimana kerjanya seorang suami dalam mencari nafkah?
Kata apa yang salah penggunaannya pada kalimat tersebut? Iya, penggunaan kata ’kerja’ pada kalimat tersebut
tidak tepat, karena kata tanya bagaimana berarti menanyakan kerja, bukan menanyakan suami. Berikutnya kita lihat
kalimat keempat.
Suami pun harus bisa mengerti bagaimana lelahnya ketika istri dalam kandungan.
Kata ’dalam kandungan’ sangat tidak tepat, bagaimana mungkin ada istri di dalam kandungan. Kata apakah
yang tepat untuk mengganti kata-kata tersebut. Perhatikan perbaikan ujaran tersebut.
”Bapak-bapak dan Ibu-ibu, masalah keluarga selalu ada di setiap rumah tangga. Suami dan istri harus selalu saling
menghormati dan tenggang rasa. Artinya, seorang istri harus memahami bagaimana lelahnya seorang suami
dalam mencari nafkah? Suami pun harus bisa mengerti bagaimana lelahnya ketika istri sedang mengandung.
Oleh sebab itu, suami dan istri harus selalu bekerja sama dan saling membantu”
Pertanyaannya, siapa yang membahas masalah dalam rapat itu? Artinya kalimat tersebut tidak memiliki subjek.
Saudara, kalimat yang tidak jelas seperti contoh di atas memiliki dampak yang sama dengan kelemahan terhadap
faktor-faktor kebahasaan sebelum ini (pelafalan fonem, penerapan intonasi, pilihan kata) yaitu kebingungan dan
kekeliruan informasi. Lalu bagaimana struktur kalimat yang benar untuk ujaran di atas? Berikut ini perbaikannya.
a. ”Rapat yang dihadiri oleh semua anggota DPR itu membahas masalah
Nanggroe Aceh Darussalam.” atau
b. ”Dalam rapat yang dihadiri oleh semua anggota DPR itu dibahas masalah Nanggroe Aceh Darussalam.”
Saudara, demikian penjelasan tentang penguasaan faktor-faktor kebahasaan dalam kegiatan berbicara. Uraian
berikutnya adalah tentang penguasaan terhadap faktor nonkebahasaan yang harus dimiliki oleh seorang pembicara
dalam rangka menjadi pembicara yang baik.
B. FAKTOR NONKEBAHASAAN
Faktor nonkebahasaan adalah faktor-faktor di luar unsur kebahasaan yang turut mendukung keberlangsungan
kegiatan berbicara. Maidar Arsjad dan Mukti U.S. (mengemukakan sembilan faktor yang dapat dikategorikan
sebagai faktor-faktor nonkenahasaan, yaitu keberanian, kelancaran, kenyaringan suara, pandangan, gerak-gerik,
penalaran, dan sikap yang wajar.
1. Keberanian
Keberanian dalam kegiatan berbicara tidak hanya dibutuhkan untuk mengatasi demam panggung. Keberanian
di sini menyangkut keberanian dalam mengemukakan pendapat dan keberpihakan terhadap gagasan yang diyakini
kebenarannya. Pendapat yang harus dikemukakan kadang-kadang bersifat kontroversial. Tidak banyak pembicara
yang berani mengemukakan pendapat seperti ini. Mereka lebih cenderung mencari aman, lebih-lebih jika pendapat
tersebut menyangkut dengan kepentingan pihak yang sedang berkuasa.
2. Kelancaran
Kelancaran berbicara sangat ditunjang oleh penguasaan materi yang baik. Kurangnya menguasai materi akan
menyebabkan kebingungan menentukan kata dan kalimat apa yang harus diungkapkan, sehingga kalimatkalimat
yang keluar banyak diselingi bunyi-bunyi yang tidak bermakna.
Nurgiantoro (1988: 261) mengungkapkan beberapa hal yang
menunjukkan ketidaklancaran berbicara, yaitu
a. pembicaraan selalu terhenti dan terputus-putus;
b. pembicaraan sangat lambat;
c. pembicaraan sering tampak ragu, dan kalimat yang diucapkan tidak lengkap;
d. pengelompokan kata kadang-kadang tidak tepat;
e. masih terdengar bunyi-bunyi yang tidak bermakna.
3. Kenyaringan Suara
Penjelasan yang dikemukakan harus juga ditunjang oleh suara yang nyaring dan jelas. Kenyaringan di sini tidak
berarti keras, tetapi didasarkan kepada apakah orang yang paling jauh dari pembicara dapat mendengar dengan jelas
suara pembicara. Oleh karena itu, suara yang dikeluarkan tidak harus keras, tetapi secara efektif suara yang
dikeluarkan dapat didengar jelas.
4. Pandangan Mata
Pandangan mata sebaiknya diarahkan ke lawan bicara. Jika pembicaraan ini dilakukan dengan melibat
pendengar banyak (misalnya seminar, pidato, ceramah), pandangan mata hendaknya secara teratur dan proporsional
diarahkan ke segala arah.
Kadang-kadang seorang pembicara hanya mengarahkan pandangan hanya ke satu arah, bahkan ada juga yang
menunduk atau menengadah. Arah pandangan mata seperti ini tentunya tidak mendukung keefektifan berbicara,
sementara kontak mata dengan pendengar sangat mendukung hubungan psikologis antara pembicara dengan
pendengar.
6. Penalaran
Penalaran juga cukup menunjang efektivitas berbicara. Materi yang diungkapkan harus ditunjang data-data atau
argumen-argumen yang masuk akal. Begitu pun susunan kalimat yang diungkapkan harus logis. Jangan sekali-kali
mengungkapkan fakta yang tidak jelas sumbernya. Bila perlu setiap argumen yang dikemukakan disebutkan
sumbernya yang autentik.
Ketidaknalaran sebuah pembicaraan dapat terjadi pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai media
penyampaian gagasan tidak logis. Selain itu, ketidaknalaran dapat juga terjadi pada materi gagasan yang
disampaikan. Misalnya, pembicara banyak menggunakan fakta-fakta yang tidak dapat diterima akal sehat.
Kegiatan berbicara formal harus melalui beberapa tahapan yaitu, tahap persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Tahap persiapan dilakukan sebelum kegiatan berbicara berlangsung. Tahap pelaksanaan adalah tahap menerapkan
segala apa yang telah disiapkan sebelumnya (tahap persiapan). Tahap evaluasi adalah tahap yang dilakukan setelah
kegiatan berbicara berlangsung. Evaluasi dilakukan untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan atau
peningkatan kualitas kemampuan berbicara. Berikut ini uraian tahapantahapan kegiatan berbicara tersebut.
b. Penguasaan topik
Topik pembicaraan harus betul-betul dikuasai oleh seorang pembicara. Pembicara yang menguasai topik
dengan baik akan membantu penguasaan terhadap unsur-unsur lain, seperti kelancaran berbicara, mengatasi
kegugupan, dan menumbuhkan keberanian.
Sehubungan dengan penentuan topik, Maidar dan Mukti U.S. (1986: 3.9) mengungkapkan beberapa hal yang
dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai berikut.
1) Topik harus menarik; kemenarikan sebuah topik harus diukur dari sudut pembicara dan pendengar. Beberapa
hal yang harus dipertimbangkan agar topik yang dipilih itu menarik, adalah:
a) berisi masalah yang menyangkut persoalan bersama;
b) berisi pemecahan masalah yang sedang dihadapi masyarakat;
c) tidak terlalu sulit atau terlalu mudah bagi daya tangkap pendengar;
d) bersifat aktual, sedang menjadi pembicaraan dalam waktu yang relevan;
e) mengandung nilai manfaat;
2) Topik tidak terlalu luas dan juga tidak terlalu sempit.
3) Topik yang dipilih hendaklah belum banyak diketahui pendengar.
4) Topik yang dipilih juga hendaklah jangan yang tidak Anda ketahui dan kurang didukung bahan dari sumber-
sumber yang cukup.
c. Pengumpulan referensi
Banyak sumber informasi yang dapat dijadikan referensi atau pendukung kegiatan berbicara, misalnya media
cetak, media elektronik, buku, dan internet. Ini dapat diperoleh di banyak tempat dengan mudah. Satu hal yang
harus menjadi pegangan seorang pembicara dalam mencari referensi adalah keautentikan referensi yang dijadikan
pendukung dalam berbicara. Keautentikan referensi menjadi bahan pertimbangan agar uraian-uraian pembicaraan
dapat dipertanggungjawabkan. Jika ada tanggapan dari pendengar, walaupun tanggapan tersebut menyalahkan
uraian pembicara, pembicara dapat menunjukkan bahwa referensi yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Dalam berbicara, referensi dapat berfungsi untuk memperkuat gagasan atau dapat juga dijadikan untuk
mementahkan opini-opini yang berkembang di masyarakat. Hal tergantung dari tujuan berbicara yang
dilakukannya. Jika berbicara ditujukan untuk memperluas wawasan pendengar, tentunya referensi yang digunakan
adalah referensi yang bersifat informatif. Jika berbicara untuk tujuan meyakinkan, tentunya harus didukung oleh
banyak referensi yang bersifat argumentatif.
d. Penyusunan kerangka
Kerangka dalam kegiatan berbicara berfungsi untuk membimbing arah pembicaraan. Dengan kerangka ini,
pembicara dapat mengatur keluasan dan kedalaman gagasan yang diuraikannya, sehingga uraiannya terfokus pada
satu pokok pembicaraan.
Topik yang telah ditentukan dengan segala pertimbangannya dipecahpecah menjadi beberapa subtopik yang
menunjukkan hubungan bagian. Subtopik-subtopik tersebut harus menunjukkan bagian dari topiknya.
Misalnya, Anda menentukan topik “Peranan Orang Tua dalam Membina Hubungan Harmonis Antaranggota
Keluarga” dalam kegiatan ceramah, maka kerangka yang dapat disusun seperti contoh berikut ini.
1) Mukadimah.
2) Pendahuluan.
3) Bila perlu, uraian-uraian pemikat (dapat berupa puisi, lagu, atau cerita anekdot).
4) Uraian pokok:
a) fungsi orang tua dalam keluarga,
b) jenis-jenis hubungan yang perlu dibangun dalam sebuah keluarga,
c) pentingnya membina hubungan harmonis dalam keluarga,
d) kiat-kiat yang dapat dilakukan orang tua dalam membangun hubungan harmonis.
5) Pertanyaan dan tanggapan.
6) Penutup.
e. Berlatih
Berlatih merupakan tahapan terakhir dalam persiapan. Berlatihlah dalam kualitas dan kuantitas yang
mendukung dan terarah. Banyak cara dapat dilakukan dalam berlatih. Latihan dapat dilakukan dengan cara sendiri
atau meminta bantuan pihak lain.
Secara mandiri, cobalah berlatih di depan cermin agar segala gerak-gerik tubuh dari atas sama bawah dapat
diamati. Dengan cara seperti ini, Anda sebagai pembicara berfungsi ganda, yaitu sebagai pembicara dan pengamat.
Amatilah setiap gerakan dan ucapan yang Anda lakukan. Berilah penilaian yang jujur.
Jika dengan cara mandiri dirasakan kurang memungkinkan karena akan membuyarkan konsentrasi Anda,
latihan dapat dilakukan dengan meminta bantuan orang lain. Orang lain dapat berperan sebagai pengamat atau
pendengar (dilakukan dengan cara simulasi). Mintalah masukan dari mereka. Jika perlu siapkanlah lembar
pengamatan yang dapat diisi oleh “pendengar” Anda, agar pengamatan terfokus pada hal-hal yang memang perlu
mendapat perhatian lebih.
Jika proses ini sudah Anda lakukan, siapkanlah mental dan fisik Anda, agar pada saat melakukan kegiatan
berbicara yang sesungguhnya dapat berjalan seperti yang telah direncanakan.
a. pembuka
Pembuka berisi tentang pengantar sebelum masuk ke pembahasan pokok. Dalam bagian ini biasa beriris tentang:
1) doa pembuka (jika kegiatan berbicara berkaitan dengan masalah keagamaan);
2) latar belakang masalah yang berkaitan dengan pembahasan; 3) tujuan pembahasan.
b. Pembahasan Pokok
Bagian ini merupakan inti dari pembicaraan. Bagian ini menuntut banyak persiapan pembicara, karena di bagian
inilah kemampuan pembicara yang sesungguhnya dalam berbicara di uji. Bukan berarti bagian lain tidak
penting. Bagian lain pun sama menuntut keterampilan khusus, tetapi pada bagian inilah seorang pembicara
betul diuji kemampuannya sebagai pembicara profesional.
c. Penutup
Bagian ini merupakan akhir dari seluruh kegiatan berbicara. Oleh karena itu, hal-hal yang diungkapkan adalah
simpulan dari seluruh uraian.
Tahapan-tahapan di atas merupakan tahapan-tahapan yang biasa dilakukan dalam kegiatan berbicara formal.
Namun, saat ini berkembang teknik baru dalam berbicara yang sering dilakukan oleh pembicara, yaitu dengan
menyisipkan satu kegiatan di antara pembukaan dan pembahasan pokok atau di antara pembahasa dan penutup,
yaitu ungkapan-ungkapan yang berfungsi sebagai pemikat atas daya tarik untuk memusatkan perhatian pendengar
dengan pengungkapan puisi, lagu, atau cerita anekdot yang berkaitan dengan pokok bahasan. Rangkaian kegiatan
berbicara tersebut dapat digambarkan seperti berikut ini.
3. Evaluasi
Adakalanya evaluasi perlu dilakukan untuk mendapat masukan tentang kegiatan berbicara yang telah dilakukan
seorang pembicara. Dengan masukan tersebut seorang pembicara dapat menentukan kualitas pembicaraannya.
Sesuatu yang masih kurang dapat segera diperbaiki, sedangkan yang sudah bagus harus dipertahankan kualitasnya,
bahkan kalau mungkin lebih diperbagus lagi.
Sama halnya dengan ketika berlatih, penilaian dapat dilakukan baik secara mandiri maupun bantuan orang lain.
Secara mandiri, penilaian dapat dibantu dengan alat perekam, baik rekaman auditif maupun rekaman audiovisual.
Rekaman ini dapat saja dilakukan atas permintaan pembicara sendiri dan dengan perlengkapan yang disediakannya
sendiri. Hasil rekaman diputar ulang, lalu amatilah setiap segmen-segmen yang dilakukan. Dengan demikian, Anda
dapat memberukan penilaian terhadap kualitas Anda berbicara.
Selain itu, penilaian pun dapat dilakukan dengan minta bantuan orang lain, baik itu orang yang diminta secara
khusus oleh pembicara maupun pendengar. Mintalah masukan dari mereka. Masukkan tersebut dapat saja berupa
masukan yang kurang baik, yang baik, bahkan mungkin saja yang menyudutkan. Jadikanlah semua itu sebagai
bahan untuk memperbaiki diri, agar kemampuan berbicara Anda menjadi kompetensi yang banyak diperhitungkan
orang.
1. Wawancara
Wawancara merupakan bagian dari aktivitas seorang mahasiswa. Wawancara sebagai salah satu bentuk
kegiatan berbicara digunakan mahasiswa sedalam keperluan penelitian. Sebagai seorang mahasiswa, tentunya
penelitian bukan merupakan sesuatu yang aneh. Ada sepuluh tujuan wawancara menurut Tubbs dan Moss, yaitu
mendapatkan informasi, memberi informasi, membujuk, memecahkan masalah, konsultasi, mencari kerja,
menerima keluhan, meninjau kinerja, memperbaiki atau memperingatkan, mengukur stres (2000: 41-42). a.
mendapatkan informasi
Wawancara dengan tujuan mendapatkan informasi dapat dilakukan mahasiswa untuk keperluan penelitian,
misalnya penitian untuk tugas akhir atau penelitian-penelitian lainnya. Dalam hal ini, pewawancara
mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan fakta, pendapat, atau sikap dari responden.
b. memberi informasi
Dalam hal ini, pewawancara menyajikan fakta, pendapat, atau sikap untuk ditanggapi oleh responden. Jadi, fakta,
pendapat, sikap merupakan rangsangan bagi responden agar respon yang diberikan sesuai dengan yang
diharapkan pewawancara. Wawancara dengan tujuan seperti ini dapat dilakukan dalam penelitian yang
berkaitan dengan sikap manusia
atau sebuah komunitas terhadap sebuah fenomena. Misalnya, dalam penelitian tentang bagaimana sikap
sekelompok masyarakat terhadap pengaruh budaya asing, pewawancara dapat memberikan informasi tentang
fakta, pendapat, atau sikap manusia modern sebagai rangsangan bagi responden untuk memberikan respon
yang diharapkan.
Contoh:
Biasanya, wawancara ini digunakan oleh mahasiswa sebagai salah satu cara pengambilan data penelitian.
Setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya diwajibkan membuat karya tulis sebagai syarat kelulusan.
Karya tulis tersebut dapat berupa hasil penelitian. Teknik yang digunakan dalam pencarian data dapat dilakukan
dengan cara wawancara.
Komunikasi yang terjadi dalam wawancara adalah komunikasi lisan. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan
berbicara yang memadai jika mahasiswa ingin mendapat data yang lengkap dan jelas. Kekurangmahiran berbicara
akan mengakibatkan efek-efek yang kurang menguntungkan, misalnya data yang didapatkan tidak lengkap atau
terjadi salah pengertian antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai.
Saudara, demikian pembahasan kita tentang kegiatan berbicara formal.
Wawancara hanya satu dari sekian banyak kegiatan berbicara formal, jika Anda berminat untuk mengetahui jenis-
jenis berbicara formal lainnya seperti pidato, diskusi, memandu, dan seminar dapat Anda baca pada modul mata
kuliah Berbicara/PBIN4330.