Anda di halaman 1dari 16

Modul 6

Berbicara
Kegiatan Belajar 1

Hakikat Berbicara
A. PENGERTIAN BERBICARA

Dalam mengungkapkan pengertian berbicara, para ahli menggunakan sudut pandang yang berbeda. Oleh
karena itu, jangan heran jika Anda menemukan beberapa pengertian berbicara yang berbeda satu sama lainnya.
Muljana mengatakan bahwa suatu pengertian harus dilihat kemanfaatannya dalam menjelaskan fenomena yang
dibatasi (2001: 42). Sesuai dengan kebutuhannya, dapat saja berbicara didefinisikan secara sempit, misalnya
berbicara adalah bentuk komunikasi dengan menggunakan media bahasa lisan.
Secara umum, berbicara merupakan proses penuangan gagasan dalam bentuk ujaran. Dalam hal ini Suhendar
mengatakan, “Berbicara adalah proses perubahan wujud pikiran/perasaan menjadi wujud ujaran.” (1992: 20).
Ujaran yang dimaksud adalah bunyi-bunyi bahasa yang bermakna. Coba Anda bayangkan, jika seseorang meminta
sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan gerak dan isyarat tangan, tanpa menggunakan ujaran. Komunikasi
hanya dengan isyarat dapat saja berjalan, tetapi komunikasi seperti itu memiliki keterbatasan. Komunikasi tanpa
ujaran akan berlangsung tidak selancar komunikasi dengan ujaran, karena akan ada gagasan yang tidak saling
dipahami oleh kedua belah pihak.
Jadi, apa hakikat berbicara sebenarnya, silakan ikuti uraian atau pendapat beberapa pakar komunikasi tentang
pengertian berbicara.

1. Berbicara Merupakan Ekspresi Diri


Kepribadian seseorang dapat dilihat dari pembicaraannya. Kemarahan, kesedihan, kebahagiaan, bahkan
ketidakjujuran seseorang tidak dapat disembunyikan selama dia masih berbicara. Kartapati mengatakan bahwa
berbicara merupakan ekspresi diri. Dengan berbicara seseorang dapat menyatakan kepribadian dan pikirannya,
berbicara dengan dunia luar, atau hanya sekedar pelampiasan uneg-uneg (1981: 9).

2. Berbicara Merupakan Kemampuan Mental Motorik


Berbicara tidak hanya melibatkan kerja sama alat-alat ucap secara harmonis untuk menghasilkan bunyi
bahasa. akan tetapi, berbicara juga melibatkan aspek mental. Bagaimana bunyi bahasa dikaitkan dengan gagasan
yang dimaksud pembicara merupakan suatu keterampilan tersendiri. Kemampuan mengaitkan gagasan dengan
bunyi-bunyi bahasa (kata dan kalimat) secara tepat merupakan kemampuan yang mendukung keberhasilan
berbicara.

3. Berbicara Terjadi dalam Konteks Ruang dan Waktu


Berbicara harus memperhatikan ruang dan waktu. Tempat dan waktu terjadinya pembicaraan mempunyai
efek makna pembicaraan. Muljana memberikan contoh betapa tempat pembicaraan dapat menentukan efek
makna. Topik-topik yang lazim dipercakapkan di rumah, tempat kerja, atau tempat hiburan akan terasa kurang
sopan bila dikemukakan di masjid (2001:103). Orang yang mendengar percakapan tersebut akan
memersepsikan kurang baik terhadap orang yang terlibat dalam percakapan tersebut.
Waktu juga sangat mempengaruhi makna ucapan seseorang. Seseorang yang mengucapkan selamat pagi pada
karyawan yang baru tiba di kantor pukul 10.00 WIB akan dimaknai sebagai sindiran oleh orang yang mendengar
ujaran itu.
Di samping itu, suasana atau situasi juga sangat berpengaruh dalam kegiatan berbicara. Misal, suatu saat kita
sedang membutuhkan bantuan seorang teman, ketika kita akan berbicara kepadanya kita melihat raut wajahnya
sedang murung atau susah, tentu kita akan mengurungkan niat membicarakan kesulitan kita. Contoh lain, seorang
pemberi sambutan di acara pernikahan yang dilaksanakan dalam suasana banjir tentu kata-kata yang dipilih dan
kalimat-kalimat yang disusun tidak sama dengan ketika memberi sambutan pada acara yang sama dengan situasi
atau keadaan tidak sedang kebanjiran. Dengan demikian, pembicara yang baik selalu berbicara sesuai dengan
ruang, waktu, dan suasana.

4. Berbicara Merupakan Keterampilan Berbahasa yang Bersifat Produktif


Produktif di sini bukan berarti menghasilkan suatu produk berupa barang. Produk yang dihasilkan oleh
seorang pembicara berupa ide, gagasan, atau buah pikiran. Ide, gagasan, atau pikiran seorang pembicara
memiliki hikmah atau dapat dimanfaatkan oleh penyimak. Misal, seorang guru, instruktur, atau dai berbicara
dalam rangka mentransfer ilmu pengetahuan kepada para siswa atau penyimak. ilmu tersebut dapat dipraktikkan
dan dimanfaatkan oleh siswa, pendengar/penyimak dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, orang yang terampil berbicara bukanlah orang yang banyak berbicara tanpa dapat ditangkap isi
pembicaraannya atau pembicaraan tidak memiliki makna dan manfaat bagi orang yang mendengarkannya. Orang
yang terampil berbicara adalah orang yang pandai menyampaikan buah pikirannya dengan bahasa yang baik dan
benar, serta isi pembicaraannya bermakna dan bermanfaat bagi pendengarnya.

B. TUJUAN DAN JENIS BERBICARA

1. Tujuan Berbicara
Tujuan utama berbicara adalah menyampaikan informasi berupa gagasan-gagasan kepada pendengar. Secara
khusus, berbicara memiliki banyak tujuan. Tujuan tersebut antara lain untuk memberi informasi, menyatakan diri,
mencapai tujuan, berekspresi, menghibur, dan lain-lain.
Berbicara dengan tujuan memberi informasi. Dalam kegiatan berbicara ini pembicara memiliki informasi-
informasi yang akan disampaikan kepada pendengar. Contoh berbicara dengan tujuan memberi informasi misalnya,
kegiatan berbicara seorang guru kepada para siswanya di dalam kelas, seorang penyaji dalam kegiatan seminar,
seorang dai dalam kegiatan pengkajian Al-Quran, atau pembicara dalam kegiatan-kegiatan pelatihan.
Berbicara dengan tujuan menyatakan diri. Contoh kegiatan berbicara dengan tujuan menyatakan diri berupa
kegiatan berbicara yang dilakukan seseorang ketika memperkenalkan diri atau ketika menyampaikan argumentasi
dalam suatu masalah.
Berbicara dengan tujuan mencapai tujuan adalah kegiatan berbicara yang dilakukan untuk memperoleh sesuatu.
Contoh kegiatan berbicara dengan tujuan antara lain berbicara dalam mempresentasikan program dalam rangka
memperoleh jabatan, berbicara dalam kampanye, berbicara dalam rangka memperoleh pinjaman, menawarkan
barang dagangan, dan lain-lain.
Berbicara dengan tujuan berekspresi. Kegiatan berbicara dengan tujuan berekspresi biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang berkecimpung dalam bidang karya sastra. Contohnya, ketika mendongeng, menyatakan perasaan
kepada orang lain, dan berbicara berdasarkan empati.
Berbicara untuk menghibur. Berbicara dengan tujuan menghibur adalah kegiatan berbicara dengan
menggunakan kata-kata yang mengandung humor. Contoh kegiatan berbicara dengan tujuan menghibur biasa
dilakukan oleh para pelawak atau acara-acara yang bersifat komedi.

2. Jenis Berbicara
Jenis berbicara dalam pembahasan ini mengacu pada situasi. Situasi yang dimaksud adalah situasi yang
berkaitan dengan tujuan berbicara, di mana, kapan, dan dengan siapa orang berbicara. Berdasarkan situasi tersebut,
berbicara dikelompokkan ke dalam dua situasi yaitu berbicara dalam situasi nonformal dan berbicara dalam situasi
formal.
Berbicara dalam situasi nonformal tidak terikat oleh aturan-aturan seperti yang ada dalam berbicara dalam
situasi formal. Berbicara dalam situasi formal sama artinya dengan berbicara formal. Berbicara yang berlangsung
dalam situasi formal, terikat oleh aturan-aturan tertentu dan berlangsung melalui tahapan-tahapan tertentu.

a. Berbicara dalam situasi nonformal


Untuk menjelaskan batasan mengenai berbicara nonformal, ada baiknya dilakukan dengan membahas beberapa
ilustrasi yang berkaitan dengan kegiatan berbicara nonformal berikut. Ilustrasi pertama, merupakan contoh tindak
komunikasi melalui media telepon. Perhatikanlah cuplikan berikut!

Penelepon : Hallo, Selamat pagi!


Penerima : Selamat pagi. Di sini 47076534, ada yang bisa di bantu?
Penelepon : Ya, terima kasih, saya Sudirman, bisakah saya berbicara
dengan Pak Ali?
Penerima : Oh, Pak Dirman. Kebetulan Bapak sedang ada rapat, dan
beliau tidak bisa diganggu. Beliau pesan jika ada yang
menelepon mohon tinggalkan pesan. Apakah ada pesan?
Penelepon : Oh, sayang sekali. Tidak usah. Terima kasih. Saya ingin
berbicara langsung dengan beliau. Kira-kira jam berapa
saya dapat menghubungi beliau?
Penerima : Maaf Pak, saya tidak dapat memastikan, berhubung
rapatnya juga baru dimulai. Tapi, biasanya Bapak rapat
tidak lebih dari tiga jam. Jadi, Bapak dapat menelepon
kembali kira-kira tiga jam lagi.

Penelepon : Baiklah, kalau begitu. Terima kasih atas informasinya. Oh, ya, jika sempat, tolong sampaikan bahwa
saya menelepon. Penerima : Baik, Pak. Terima kasih kembali.

Anda perhatikan bagaimana penerima telepon berbicara dengan bahasa yang cukup santun. Mengapa dia
berbicara dengan bahasa seperti itu? Apakah karena profesi dia sebagai sekretaris (berdasarkan konteks wacana di
atas)? Apakah dia tahu siapa yang bernama Sudirman yang berbicara di ujung telepon sana? Apakah penelepon itu
adalah orang penting? Sebelum menjawab pertanyaan itu semua, perhatikan pula cuplikan berikut!

Penelepon : Hallo, Selamat pagi!


Penerima : Selamat pagi. Di sini 47076534, ada yang bisa di bantu?
Penelepon : Hallo, apa kabar sekretaris manis?
Penerima : Ah, kamu Rin. Kirain siapa. Ada apa kamu telepon-telepon
segala. Lagi sibuk nih. Ganggu aja.
Penelepon : Aduh, dasar orang sibuk. Udah nggak mau aja diganggu
dikit sama temen lama yang udah turut serta menjadikan
kamu begini adanya.
Penerima : Enak aja, kamu! Aku jadi begini, karena keringatku sendiri.
Ngapain kamu ngaku-ngaku punya andil segala? Pasti ada
maunya, ya?
Penelepon : Tahu aja, si enon ini. Begini Des, kamu tahu kan Pak Amir?
Penerima : Iya, gue tahu. Emangnya ada apa dengan Pak Amir. Dia kan
salah satu rekanan bisnis perusahaan tempat gue kerja.
Penelepon : Tepat! Begini Des, saat ini perusahaan tempatku kerja
sedang mengadakan pembicaraan yang cukup serius
mengenai ekspor salah satu produk perusahaanku. Dia
bersedia menjadi eksportirnya dengan segala biaya
operasional dia yang nanggung. Kebetulan bosku
menyerahkan masalah ini ke aku untuk mem-follow up-nya.
Penerima : Lalu, ngapain ngomong ke aku segala. Itu kan urusanmu
sendiri.
Penelepon : Eh, entar dulu, jangan dulu motong pembicaraanku! Kamu,
kan, tadi bilang bahwa Pak Amir itu salah satu rekanan
perusahaan tempat kamu kerja. Pasti kan kamu sudah
banyak tahu tentang dia.
Penerima : Iya, memang dia itu orangnya enak diajak kerja sama, jujur,
dan mengerti apa yang harus dilakukan. Perusahaanku tak
pernah kecewa jika kerja sama dengannya. Lalu, apa yang
harus aku lakukan?
Penelepon : Begini, Des. Tolong kamu ceritakan segala macam hal
tentang dia. Misalnya, keinginan dan kebiasaan dia kalau
mengadakan kerja sama dengan perusahaanmu, dan kalau
bisa, kamu temenin aku kalau nanti kuundang dia untuk
makan siang.
Penerima : Enak aja, itu sama aja dengan membuka rahasia perusahaan.

Penelepon : Tolonglah Des, please Des! Kapan lagi kamu mau bantu
temenmu ini.
Penerima : Ah, dasar rayuan gombal, kamu ini enggak bisa berubah
dari dulu, bisanya cuma minta tolong melulu. Kapan kamu
nolongin aku?
Penelepon : Enak aja, gue nggak pernah nolong lo. Ingat gak, waktu lo,
minta disalamin sama si Fredy, siapa tuh yang jadi mak
comblangnya, kan gue sahabat setiamu ini.
Penerima : Sssst! Udah ah, itu masa lalu.
Penelepon : Masa lalu, sih masa lalu, tapi jangan dilupain gitu aja dong.
Itu kan cinta pertamamu.
Penerima : Udah, ah, jangan diomongin lagi. Jadi, udah nih, minta
bantuannya? Gue banyak kerjaan nih.
Penelepon : Sabar dong, non! Ya, apa lagi ya? Oke, untuk sementara
segitu dulu keperluan gue. Secepatnya gue kontak lo lagi.
Sudah ya, selamat bekerja Desi Fredyanti (seharusnya Desi
Febriyanti)
Penerima : Apa lo bilang, sompret. Dasar perempuan bawel ….
(“Truup”, telepon dari ujung sana sudah ditutup)

Anda perhatikan kedua wacana di atas. Kedua wacana tersebut dimulai dengan ucapan yang sama, yaitu
seorang sekretaris sebuah perusahaan menerima telepon dari dua penelepon yang berbeda. Penelepon pada wacana
pertama adalah seorang rekanan bisnis perusahaan tempat sekretaris itu bekerja, sedangkan penelepon pada wacana
kedua adalah seorang sahabat lama dari sekretaris tersebut. Pada awalnya, sekretaris itu memberi respon yang sama
dalam kedua wacana. Akan tetapi, respon yang diberikan sekretaris mengalami perubahan setelah dia tahu siapa
yang menelepon. Keseluruhan respon yang diberikan sekretaris pada wacana pertama menunjukkan respon yang
penuh dengan santun bahasa. Kalimat-kalimat yang digunakannya, walaupun mungkin dari segi struktur kurang
gramatikal, merupakan kalimat-kalimat yang cukup dipertimbangkan kesantunannya. Hal ini berbeda dengan
respon yang diberikan pada wacana kedua. Walaupun penelepon tidak mengatakan langsung identitasnya, sekretaris
itu sudah tahu siapa yang menelepon dari suaranya atau dari aspek-aspek kebahasaan lainnya, sehingga respon yang
dikembangkannya pun merupakan responrespon yang berbeda sama sekali dengan pada wacana pertama. Suasana
pembicaraan dibawa ke arah suasana akrab. Muncullah kata-kata percakapan dan slang yang mungkin biasa
diungkap ketika mereka berbicara dalam keadaan tatap muka.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa berbicara nonformal tidak begitu saja lepas dari aturan-aturan. Jika aturan-
aturan gramatikal, mungkin ya. Akan tetapi, aturan-aturan yang bersifat situasi dan kontekstual sangat diperhatikan.
Dapatkah Anda bayangkan jika respon yang diberikan sekretaris pada wacana pertama seperti ketika dia
memberikan respon kepada penelepon pada wacana kedua? Apa jadinya dengan perusahaan tempat dia bekerja?
Sebaliknya, jika respon yang diberikan sekretaris pada wacana kedua seperi respon yang diberikannya peda wacana
pertama. Bagaimana kira-kira kesan yang diterima penelepon (yang di sapa “Rin”) tentang sekretaris itu? Mungkin
kejadian itu akan mengubah kebiasaan yang akrab menjadi serba kaku. Tentu Anda pun dapat membayangkan efek-
efek lain dari kejadian itu.
Kegiatan berbicara sangat didukung oleh konteks pembicaraan dan kurang terikat oleh aturan-aturan
kebahasaan yang bersifat gramatikal. Untuk menjelaskan hal itu, dapat Anda perhatikan cuplikan komunikasi
berikut ini!

Pembeli : Bang, ini berapa?


Penjual : Itu dua puluh ribu, Neng.
Pembeli : Sekilo?
Penjual : Iya, sekilo.
Pembeli : Kok, mahal Bang. Lebih mahal dari ayam negeri.
Penjual : Ya, ini kan beda dengan ayam negeri. Asli dari kampung,
Neng.
Pembeli : Nggak bisa kurang?
Penjual : Boleh, dikit.
Pembeli : Tujuh belas, yah!
Penjual : Dikit lagi, Neng!
Pembeli : Delapan belas dua lima!
Penjual : Sudahlah Neng lempengin aja, delapan belas setengah.
Pembeli : Yah, udah. Sekilo aja.
Penjual : Dipotong-potong?
Pembeli : Potong dua belas, Bang!
Pembicaraan tersebut berlangsung dengan latar belakang pasar, dengan melibatkan pembeli dan pedagang
daging ayam kampung sebagai pelaku komunikasinya. Kalimat-kalimat yang digunakannya merupakan
kalimatkalimat yang mengandung pelesapan atau terpotong-potong. Misalnya, secara gramatikal ungkapan iya,
sekilo/dipotong-potong?/Potong dua belas, Bang! Merupakan kalimat yang tidak berterima, karena tidak didukung
oleh kehadiran fungsi-fungsi yang menjadi syarat sebuah kalimat. Akan tetapi, mengapa “kalimat-kalimat” tersebut
dapat dipahami dengan ajeg oleh masing-masing pelaku komunikasi? Itulah kalimat-kalimat yang biasa digunakan
dalam kegiatan berbicara nonformal.
Kegramatikalan kalimat dalam kegiatan berbicara nonformal bukan merupakan hal yang penting. Yang
terpenting adalah bagaimana kalimatkalimat yang digunakan itu komunikatif, walaupun kalimat itu tidak berterima
secara gramatikal. Untuk memaknai ungkapan yang dianggap kalimat seperti di atas, memerlukan bantuan konteks
untuk memahami ungkapan-ungkapan tersebut, sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi sama-sama
akan memaknai ungkapan-ungkapan tersebut dalam kesepahaman. Cobalah Anda kembalikan wacana ketiga di atas
ke dalam struktur yang gramatikal!
Konteks sangat mendukung proses pemaknaan kalimat-kalimat yang digunakan dalam kegiatan berbicara
nonformal. Karena konteks cukup menentukan keberlangsungan berbicara nonformal, akan menjadi hal yang cukup
menjadi masalah dalam kegiatan berbicara nonformal yang melibatkan pihak-pihak yang sedang belajar sebuah
bahasa setelah bahasa pertama atau kedua yang dipahaminya. Misalnya, orang asing sedang belajar bahasa
Indonesia. Berbicara dengan mereka tidak bisa menggunakan bahasa dengan kalimat-kalimat yang fungsi-fungsinya
banyak dilesapkan, seperti pembicara antara pembeli dan penjual daging ayam di atas. Hal ini terjadi karena
konteks pembicaraan belum sepenuhnya mendukung keberlangsungan kegiatan berbicara.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kegiatan berbicara nonformal adalah
kegiatan berbicara yang tidak mementingkan unsur gramatikal kalimat dan sangat tergantung kepada kesepahaman
konteks ketika kalimat itu diucapkan.

b. Konteks pembicaraan
Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana mengemukakan bahwa konteks mempunyai dua pengertian. Pertama,
konteks adalah aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengait dengan ujaran tertentu. Kedua, konteks
adalah pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang
dimaksud pembicara. (2001: 120)
Seorang pembicara ketika akan menyampaikan sesuatu secara verbal kepada orang lain terlebih dahulu harus
mempertimbangkan kesepahaman konteks, agar pendengar dapat mengerti secara jelas apa yang disampaikannya.
Konteks dapat berupa aspek-aspek lingkungan fisik dan sosial yang harus diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat
dalam kegiatan berbicara, sehingga mereka dapat saling memahami tentang sesuatu yang menjadi pokok
pembicaraan.
Lebih luas dari yang dikemukakan oleh Kridalaksana, Mulyana (2001: 69-70) mengemukakan bahwa konteks
wacana menyangkut segala aspek di luar pelaku komunikasi. Aspek-aspek tersebut adalah:
a. aspek yang bersifat fisik, seperti iklim, cuaca, suhu udara, bentuk ruangan, warna dinding, penataan tempat
duduk, dan jumlah peserta komunikasi;
b. aspek psikologis, seperti sikap, kecenderungan, prasangka, dan emosi para pelaku komunikasi;
c. aspek sosial, seperti norma kelompok, nilai sosial, dan karakteristik budaya;
d. aspek waktu, seperti hari apa, jam berapa, pagi, siang, sore, dan malam.

Komunikasi-komunikasi humor sering memanfaatkan konteks sebagai media untuk mengundang tawa
pendengar. Untuk memahami komunikasi humor yang menggunakan konteks sebagai media, jelas memerlukan
pemahaman yang sama dari pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut tentang materi yang menjadi
objek humor. Misalnya, humor-humor sufi sering memanfaatkan konteks sebagai medianya, seperti contoh berikut
ini.
Nasrudin lewat di gang di kota Qauniyah. Dia melihat sebuah rumah yang tinggi dan besar. Karena kagum akan
kebesaran dan keindahan bangunannya, ia memandanginya lama sekali. Seorang jongos tiba-tiba berdiri di
hadapannya.
“Mengapa kamu begitu memperhatikan rumah ini?” tanya si jongos dengan curiga.
“Aku sedang mengagumi bangunan yang indah dan besar ini,” jawab Nasrudin dengan tak acuh.
“Ini tempat penggilingan tepung,” pembantu rumah itu berkelakar. “Tentu hewan yang tinggal dan bekerja di
sini juga besar-besar, ya?” kata Nasrudin.

Pendengar tertawa mendengar banyolan di atas mungkin karena penghuni rumah itu disamakan dengan hewan.
Akan tetapi, mengapa Nasrudin mengatakan bahwa hewan yang tinggal di rumah itu juga besarbesar, karena
dikaitkan dengan konteks, yaitu pada zaman dahulu penggilingan tepung selalu menggunakan tenaga hewan
(kerbau atau sapi) sebelum ditemukannya peralatan disel seperti zaman sekarang. Jika pendengar tidak mempunyai
pemahaman terhadap konteks itu, mungkin akan menganggap Nasrudin menyamakan penghuni rumah itu dengan
hewan, sesuatu yang bersifat pelecehan dan pendengar tidak akan tertawa. Akan tetapi, jika pendengar memahami
konteks itu, pendengar akan tertawa dan tidak menganggap penyamaan penghuni rumah dengan hewan, bukan
merupakan pelecehan, karena penyamaan tersebut merupakan kesimpulan dari sebuah silogisme.

c. Situasi berbicara nonformal


Situasi berbicara nonformal tidak seketat berbicara formal. Jika berbicara formal dibatasi ruang dan waktu,
situasi dalam berbicara nonformal tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Di mana pun kegiatan berbicara dapat
dilangsungkan tanpa harus ada persiapan sebelumnya. Misalnya, seseorang bertemu dengan temannya di sebuah
pasar swalayan. Pertemuan tersebut boleh jadi tidak direncanakan sebelumnya. Walaupun tidak direncanakan
sebelumnya, pertemuan tersebut telah memunculkan kegiatan berbicara. Begitu pun waktunya, juga tidak
direncanakan sebelumnya. Selain itu, jangka waktu yang digunakan untuk mengadakan pembicaraan tersebut juga
tidak ditentukan. Mungkin bisa sebentar, lama, bahkan dapat saja melebihi waktu yang digunakan untuk
melakukan kegiatan berbicara formal.
Kegiatan Belajar 2

Berbicara Formal
ecara umum pengertian berbicara
formal telah diuraikan pada Kegiatan

S Belajar 1, pada Kegiatan Belajar 2 ini akan dibahas secara rinci hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan
berbicara formal. Bahasan berbicara formal ini harus benar-benar Anda kuasai karena dari sinilah Anda akan
memiliki kemampuan berbicara sebagaimana layaknya seorang akademisi.
Berbicara formal dikelompokkan menjadi dua yaitu monolog dan dialog. Berbicara monolog adalah berbicara
satu arah, artinya dalam kegiatan berbicara tersebut tidak terjadi interaksi antara pembicara dengan pendengar.
Kegiatan berbicara yang bersifat monolog; pidato/sambutan dan memandu. Memandu dapat berupa memandu acara
atau mewara dan memandu wisatawan. Kegiatan berbicara yang bersifat dialog; wawancara dan diskusi. Diskusi
memiliki ragam antara lain seminar dan simposium.
Untuk memperoleh keterampilan berbicara formal diperlukan penguasaan terhadap faktor-faktor yang
menentukan keberhasilan berbicara. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kebahasaan dan nonkebahasaan.

A. FAKTOR KEBAHASAAN

Faktor kebahasaan adalah faktor yang berkaitan dengan unsur-unsur kebahasaan. Penguasaan terhadap unsur-
unsur kebahasaan dapat membuat pembicaraan menjadi jelas, enak didengar, dan menarik. Unsur-unsur kebahasaan
yang dapat menunjang keefektifan berbicara yaitu, pengucapan fonem, intonasi, pilihan kata, dan penerapan
struktur kalimat.

1. Pengucapan Fonem
Fonem dalam bahasa terdiri atas fonem vokal dan konsonan. Kesalahan dalam pengucapan fonem baik vokal
maupun konsonan akan mengganggu kelancaran komunikasi antara pembicara dan pendengar. Artinya, kesalahan
pengucapan fonem dapat membuat pendengar salah menafsirkan isi pembicaraan. Sebagai contoh perhatikan ujaran
berikut ini.
”Mereka memang bukan dari keluarga mampu, tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki semangat hidup
yang tinggi. Pernah beberapa kali pindah tempat tinggal, pada tahun tujuh puluhan mereka di Serang [sərang],
sekarang mereka menjadi orang-orang berhasil dan tinggal di pemukiman orang-orang berkelas.”

Perhatikan kalimat kedua; Pernah beberapa kali pindah tempat tinggal, pada tahun tujuh puluhan mereka di
Serang [sərang]. Kesalahan pelafalan/pengucapan fonem /e/ menjadi [ə] akan mengganggu komunikasi bahkan
kesalahan penafsiran. Bisa saja pendengar menjadi bingung, misalnya pendengar berpikir ”Kok diserang, siapa
yang menyerang, mereka kan orang baik-baik.”
Demikian Saudara jika pembicara membuat kesalahan dalam melafalkan fonem, baik vokal maupun konsonan.
Pendengar tidak saja akan menjadi bingung, mungkin juga akan terjadi hal lebih tidak menyenangkan.

2. Penerapan Intonasi
Intonasi adalah unsur bahasa yang tergolong ke dalam suprasegmental, yaitu unsur bahasa yang dapat
membedakan makna yang disebabkan oleh tinggi rendah, tekanan, dan jeda atau persendian. Perhatikan contoh
perapan persendian atau jeda pada ujaran berikut ini. Ujaran ini diucapkan pembicara yang sedang memberi
penjelasan kepada guru-guru senior tentang bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran.
”Seorang guru baru/dikatakan profesional jika mampu memperlihatkan pembelajaran yang berkualitas. Kualitas
pembelajaran baru/dapat diperoleh dengan cara guru selalu mau belajar untuk mengetahui/ perubahan-
perubahan yang ada dalam dunia pendidikan”.

Mendengar ujaran ini, para guru (senior) pasti akan bingung, kepada siapa sebenarnya ujaran ini ditujukan,
karena yang hadir pada saat itu tidak ada guru baru. Demikian pula halnya dengan kalimat 2, kualitas pembelajaran
baru itu seperti apa?
Jika ujaran tersebut diperbaiki, orang yang mendengarkan akan menjadi lebih mengerti. Berikut perbaikan
penerapan jeda pada kalimat tersebut.
”Seorang guru/baru dikatakan profesional jika mampu memperlihatkan pembelajaran yang berkualitas. Kualitas
pembelajaran/baru dapat diperoleh dengan cara guru selalu mau belajar/untuk mengetahui perubahan-
perubahan yang ada dalam dunia pendidikan”.

Iya, persendian atau jeda, atau perhentian sejenak sangat berpengaruh terhadap makna sebuah kalimat.
Penerapan persendian yang salah akan berakibat seperti contoh di atas. Penguasaan terhadap intonasi tidak hanya
terletak pada aspek persendian, kesalahan penerapan penekanan dan aspek intonasi lain juga akan berakibat sama,
yaitu gangguan atau kekeliruan komunikasi.

3. Pilihan Kata
Keterampilan memilih dan menentukan kata yang akan digunakan dalam kegiatan berbicara sangat penting
bagi pembicara. Sama halnya dengan penguasaan terhadap pelafalan fonem dan penerapan intonasi, pilihan kata
yang salah ketika melakukan kegiatan berbicara pun akan menimbulkan dampak yang sama yaitu, gangguan atau
kekeliruan komunikasi. Perhatikan contoh berikut ini.
”Bapak-bapak dan Ibu-ibu, masalah keluarga selalu ada di setiap rumah tangga. Suami dan istri harus selalu saling
menghormati dan tenggang rasa. Artinya, seorang istri harus memahami bagaimana kerjanya seorang suami
dalam mencari nafkah? Suami pun harus bisa mengerti bagaimana lelahnya ketika istri dalam kandungan. Oleh
sebab itu, suami dan istri harus selalu bekerja sama dan saling membantu”

Bagaimana Saudara, Anda dapat menangkap kekeliruan pilihan kata pada ujaran di atas? Pada bagian manakah
letak kesalahan pilihan kata tersebut? Bagus, kesalahan pilihan kata terletak pada kalimat ketiga dan keempat. Mari
kita lihat bersama-sama.
Artinya, seorang istri harus memahami bagaimana kerjanya seorang suami dalam mencari nafkah?

Kata apa yang salah penggunaannya pada kalimat tersebut? Iya, penggunaan kata ’kerja’ pada kalimat tersebut
tidak tepat, karena kata tanya bagaimana berarti menanyakan kerja, bukan menanyakan suami. Berikutnya kita lihat
kalimat keempat.
Suami pun harus bisa mengerti bagaimana lelahnya ketika istri dalam kandungan.

Kata ’dalam kandungan’ sangat tidak tepat, bagaimana mungkin ada istri di dalam kandungan. Kata apakah
yang tepat untuk mengganti kata-kata tersebut. Perhatikan perbaikan ujaran tersebut.
”Bapak-bapak dan Ibu-ibu, masalah keluarga selalu ada di setiap rumah tangga. Suami dan istri harus selalu saling
menghormati dan tenggang rasa. Artinya, seorang istri harus memahami bagaimana lelahnya seorang suami
dalam mencari nafkah? Suami pun harus bisa mengerti bagaimana lelahnya ketika istri sedang mengandung.
Oleh sebab itu, suami dan istri harus selalu bekerja sama dan saling membantu”

4. Penerapan Struktur Kalimat


Struktur kalimat berkaitan dengan susunan kata-kata yang sesuai dengan fungsi kata dalam kalimat. Kalimat
yang tidak jelas salah satu fungsinya akan mengganggu kelancaran komunikasi. Perhatikan ujaran berikut ini.
”Dalam rapat yang dihadiri oleh semua anggota DPR itu membahas masalah Nanggroe Aceh Darussalam.”
Apakah Anda dapat melihat kejanggalan ujaran di atas? Mari kita lihat konstituen-konstituen kalimat tersebut.
Dalam rapat yang dihadiri oleh semua anggota DPR = keterangan
membahas = predikat masalah Nanggroe Aceh Darussalam = objek

Pertanyaannya, siapa yang membahas masalah dalam rapat itu? Artinya kalimat tersebut tidak memiliki subjek.
Saudara, kalimat yang tidak jelas seperti contoh di atas memiliki dampak yang sama dengan kelemahan terhadap
faktor-faktor kebahasaan sebelum ini (pelafalan fonem, penerapan intonasi, pilihan kata) yaitu kebingungan dan
kekeliruan informasi. Lalu bagaimana struktur kalimat yang benar untuk ujaran di atas? Berikut ini perbaikannya.
a. ”Rapat yang dihadiri oleh semua anggota DPR itu membahas masalah
Nanggroe Aceh Darussalam.” atau
b. ”Dalam rapat yang dihadiri oleh semua anggota DPR itu dibahas masalah Nanggroe Aceh Darussalam.”

Saudara, demikian penjelasan tentang penguasaan faktor-faktor kebahasaan dalam kegiatan berbicara. Uraian
berikutnya adalah tentang penguasaan terhadap faktor nonkebahasaan yang harus dimiliki oleh seorang pembicara
dalam rangka menjadi pembicara yang baik.

B. FAKTOR NONKEBAHASAAN

Faktor nonkebahasaan adalah faktor-faktor di luar unsur kebahasaan yang turut mendukung keberlangsungan
kegiatan berbicara. Maidar Arsjad dan Mukti U.S. (mengemukakan sembilan faktor yang dapat dikategorikan
sebagai faktor-faktor nonkenahasaan, yaitu keberanian, kelancaran, kenyaringan suara, pandangan, gerak-gerik,
penalaran, dan sikap yang wajar.

1. Keberanian
Keberanian dalam kegiatan berbicara tidak hanya dibutuhkan untuk mengatasi demam panggung. Keberanian
di sini menyangkut keberanian dalam mengemukakan pendapat dan keberpihakan terhadap gagasan yang diyakini
kebenarannya. Pendapat yang harus dikemukakan kadang-kadang bersifat kontroversial. Tidak banyak pembicara
yang berani mengemukakan pendapat seperti ini. Mereka lebih cenderung mencari aman, lebih-lebih jika pendapat
tersebut menyangkut dengan kepentingan pihak yang sedang berkuasa.

2. Kelancaran
Kelancaran berbicara sangat ditunjang oleh penguasaan materi yang baik. Kurangnya menguasai materi akan
menyebabkan kebingungan menentukan kata dan kalimat apa yang harus diungkapkan, sehingga kalimatkalimat
yang keluar banyak diselingi bunyi-bunyi yang tidak bermakna.
Nurgiantoro (1988: 261) mengungkapkan beberapa hal yang
menunjukkan ketidaklancaran berbicara, yaitu
a. pembicaraan selalu terhenti dan terputus-putus;
b. pembicaraan sangat lambat;
c. pembicaraan sering tampak ragu, dan kalimat yang diucapkan tidak lengkap;
d. pengelompokan kata kadang-kadang tidak tepat;
e. masih terdengar bunyi-bunyi yang tidak bermakna.

3. Kenyaringan Suara
Penjelasan yang dikemukakan harus juga ditunjang oleh suara yang nyaring dan jelas. Kenyaringan di sini tidak
berarti keras, tetapi didasarkan kepada apakah orang yang paling jauh dari pembicara dapat mendengar dengan jelas
suara pembicara. Oleh karena itu, suara yang dikeluarkan tidak harus keras, tetapi secara efektif suara yang
dikeluarkan dapat didengar jelas.
4. Pandangan Mata
Pandangan mata sebaiknya diarahkan ke lawan bicara. Jika pembicaraan ini dilakukan dengan melibat
pendengar banyak (misalnya seminar, pidato, ceramah), pandangan mata hendaknya secara teratur dan proporsional
diarahkan ke segala arah.
Kadang-kadang seorang pembicara hanya mengarahkan pandangan hanya ke satu arah, bahkan ada juga yang
menunduk atau menengadah. Arah pandangan mata seperti ini tentunya tidak mendukung keefektifan berbicara,
sementara kontak mata dengan pendengar sangat mendukung hubungan psikologis antara pembicara dengan
pendengar.

5. Gerak-gerik dan Mimik


Gerakan tubuh dan mimik wajah sangat diperlukan dalam menunjang keefektifan berbicara. Gerakan tubuh dan
mimik ini digunakan dengan tujuan mendukung dan memperjelas penjelasan verbalisme. Jangan juga gerak dan
mimik ini dilakukan secara berlebihan, karena hal ini akan mengundang perhatian pendengar terfokus pada gerak
dan mimik pembicara.
Tidak sedikit pembicara melakukan gerak-gerakan tubuh yang tidak terkontrol, misalnya secara tidak disadari
seorang pembicara mempunyai kebiasaan mengibas-ngibas rambut, memegang ujung baju atau kancing baju, atau
memain-mainkan tangan. Jika tidak cepat disadari dan segera diatasi, gerakan-gerakan seperti ini akan mengganggu
keefektifan berbicara.

6. Penalaran
Penalaran juga cukup menunjang efektivitas berbicara. Materi yang diungkapkan harus ditunjang data-data atau
argumen-argumen yang masuk akal. Begitu pun susunan kalimat yang diungkapkan harus logis. Jangan sekali-kali
mengungkapkan fakta yang tidak jelas sumbernya. Bila perlu setiap argumen yang dikemukakan disebutkan
sumbernya yang autentik.
Ketidaknalaran sebuah pembicaraan dapat terjadi pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai media
penyampaian gagasan tidak logis. Selain itu, ketidaknalaran dapat juga terjadi pada materi gagasan yang
disampaikan. Misalnya, pembicara banyak menggunakan fakta-fakta yang tidak dapat diterima akal sehat.

7. Sikap yang Wajar


Pembicara sebaiknya menampilkan sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku. Ketenangan sikap yang
ditampilkan pada awal pembicaraan menjadi modal berharga dalam membangun penampilan selanjutnya. Hal ini
tentunya dipengaruhi oleh situasi, khalayak, dan penguasaan materi pembicaraan. Dalam situasi tertentu,
adakalanya seorang pembicara diharuskan berpenampilan lain dari kebiasaannya. Hal ini dapat saja dilakukan
selama penampilan tersebut tidak mengganggu keefektifan berbicara.
Dalam menyikapi sebuah fenomena yang menjadi materi pembicaraan, seorang pembicara kadang-kadang
harus menentukan sikap yang tepat. Sikap ini hendaknya tidak dibuat-buat, tetapi harus menunjukkan sikap yang
merupakan respon yang wajar dari fenomena tersebut.

C. TAHAP-TAHAP KEGIATAN BERBICARA

Kegiatan berbicara formal harus melalui beberapa tahapan yaitu, tahap persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Tahap persiapan dilakukan sebelum kegiatan berbicara berlangsung. Tahap pelaksanaan adalah tahap menerapkan
segala apa yang telah disiapkan sebelumnya (tahap persiapan). Tahap evaluasi adalah tahap yang dilakukan setelah
kegiatan berbicara berlangsung. Evaluasi dilakukan untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan atau
peningkatan kualitas kemampuan berbicara. Berikut ini uraian tahapantahapan kegiatan berbicara tersebut.

1. Persiapan Kegiatan Berbicara


Kegiatan berbicara dalam situasi formal merupakan kegiatan yang memerlukan persiapan yang baik. Berhasil
tidaknya kegiatan berbicara tersebut sangat ditentukan oleh persiapan yang telah dilakukan. Beberapa kegiatan yang
harus dilakukan pada tahap persiapan ini adalah penentuan tujuan, penentuan topik, pengumpulan referensi,
penyusunan kerangka, dan berlatih.
a. Penentuan tujuan
Sebelum kegiatan berbicara dilakukan, harus diperjelas dulu tujuan Anda berbicara. Jangan sampai kegiatan
berbicara dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Banyak tujuan yang dapat dicapai melalui kegiatan berbicara, seperti
yang telah diuraikan dalam Kegiatan Belajar 1.
Penentuan tujuan berbicara berkaitan dengan komponen acara atau kegiatan dan masalah pembicaraan.
Komponen acara misalnya, seminar, ceramah agama, upacara proklamasi, dan lain-lain. Masalah pembicaraan
berkaitan dengan topik. Jika dalam seminar misalnya, tentu ada masalah yang akan dibahas. Seminar ekonomi
misalnya, aspek atau masalah ekonomi bidang apa yang akan dibahas, apakah pemasaran, produksi, teknologi
produksi, atau yang lain. Jadi dalam menentukan tujuan pembicaraan bukan keinginan pembicara yang
dimunculkan, melainkan dalam rangka apa pembicaraan dilakukan dan apa masalah yang akan dibicarakan.

b. Penguasaan topik
Topik pembicaraan harus betul-betul dikuasai oleh seorang pembicara. Pembicara yang menguasai topik
dengan baik akan membantu penguasaan terhadap unsur-unsur lain, seperti kelancaran berbicara, mengatasi
kegugupan, dan menumbuhkan keberanian.
Sehubungan dengan penentuan topik, Maidar dan Mukti U.S. (1986: 3.9) mengungkapkan beberapa hal yang
dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai berikut.
1) Topik harus menarik; kemenarikan sebuah topik harus diukur dari sudut pembicara dan pendengar. Beberapa
hal yang harus dipertimbangkan agar topik yang dipilih itu menarik, adalah:
a) berisi masalah yang menyangkut persoalan bersama;
b) berisi pemecahan masalah yang sedang dihadapi masyarakat;
c) tidak terlalu sulit atau terlalu mudah bagi daya tangkap pendengar;
d) bersifat aktual, sedang menjadi pembicaraan dalam waktu yang relevan;
e) mengandung nilai manfaat;
2) Topik tidak terlalu luas dan juga tidak terlalu sempit.
3) Topik yang dipilih hendaklah belum banyak diketahui pendengar.
4) Topik yang dipilih juga hendaklah jangan yang tidak Anda ketahui dan kurang didukung bahan dari sumber-
sumber yang cukup.

c. Pengumpulan referensi
Banyak sumber informasi yang dapat dijadikan referensi atau pendukung kegiatan berbicara, misalnya media
cetak, media elektronik, buku, dan internet. Ini dapat diperoleh di banyak tempat dengan mudah. Satu hal yang
harus menjadi pegangan seorang pembicara dalam mencari referensi adalah keautentikan referensi yang dijadikan
pendukung dalam berbicara. Keautentikan referensi menjadi bahan pertimbangan agar uraian-uraian pembicaraan
dapat dipertanggungjawabkan. Jika ada tanggapan dari pendengar, walaupun tanggapan tersebut menyalahkan
uraian pembicara, pembicara dapat menunjukkan bahwa referensi yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Dalam berbicara, referensi dapat berfungsi untuk memperkuat gagasan atau dapat juga dijadikan untuk
mementahkan opini-opini yang berkembang di masyarakat. Hal tergantung dari tujuan berbicara yang
dilakukannya. Jika berbicara ditujukan untuk memperluas wawasan pendengar, tentunya referensi yang digunakan
adalah referensi yang bersifat informatif. Jika berbicara untuk tujuan meyakinkan, tentunya harus didukung oleh
banyak referensi yang bersifat argumentatif.

d. Penyusunan kerangka
Kerangka dalam kegiatan berbicara berfungsi untuk membimbing arah pembicaraan. Dengan kerangka ini,
pembicara dapat mengatur keluasan dan kedalaman gagasan yang diuraikannya, sehingga uraiannya terfokus pada
satu pokok pembicaraan.
Topik yang telah ditentukan dengan segala pertimbangannya dipecahpecah menjadi beberapa subtopik yang
menunjukkan hubungan bagian. Subtopik-subtopik tersebut harus menunjukkan bagian dari topiknya.
Misalnya, Anda menentukan topik “Peranan Orang Tua dalam Membina Hubungan Harmonis Antaranggota
Keluarga” dalam kegiatan ceramah, maka kerangka yang dapat disusun seperti contoh berikut ini.
1) Mukadimah.
2) Pendahuluan.
3) Bila perlu, uraian-uraian pemikat (dapat berupa puisi, lagu, atau cerita anekdot).
4) Uraian pokok:
a) fungsi orang tua dalam keluarga,
b) jenis-jenis hubungan yang perlu dibangun dalam sebuah keluarga,
c) pentingnya membina hubungan harmonis dalam keluarga,
d) kiat-kiat yang dapat dilakukan orang tua dalam membangun hubungan harmonis.
5) Pertanyaan dan tanggapan.
6) Penutup.

e. Berlatih
Berlatih merupakan tahapan terakhir dalam persiapan. Berlatihlah dalam kualitas dan kuantitas yang
mendukung dan terarah. Banyak cara dapat dilakukan dalam berlatih. Latihan dapat dilakukan dengan cara sendiri
atau meminta bantuan pihak lain.
Secara mandiri, cobalah berlatih di depan cermin agar segala gerak-gerik tubuh dari atas sama bawah dapat
diamati. Dengan cara seperti ini, Anda sebagai pembicara berfungsi ganda, yaitu sebagai pembicara dan pengamat.
Amatilah setiap gerakan dan ucapan yang Anda lakukan. Berilah penilaian yang jujur.
Jika dengan cara mandiri dirasakan kurang memungkinkan karena akan membuyarkan konsentrasi Anda,
latihan dapat dilakukan dengan meminta bantuan orang lain. Orang lain dapat berperan sebagai pengamat atau
pendengar (dilakukan dengan cara simulasi). Mintalah masukan dari mereka. Jika perlu siapkanlah lembar
pengamatan yang dapat diisi oleh “pendengar” Anda, agar pengamatan terfokus pada hal-hal yang memang perlu
mendapat perhatian lebih.
Jika proses ini sudah Anda lakukan, siapkanlah mental dan fisik Anda, agar pada saat melakukan kegiatan
berbicara yang sesungguhnya dapat berjalan seperti yang telah direncanakan.

2. Pelaksanaan Kegiatan Berbicara


Tibalah saatnya kegiatan berbicara yang sesungguhnya. Anda harus percaya diri bahwa segala sesuatunya telah
dilakukan. Lakukanlah apa-apa yang telah diuraikan dalam bab 3 dan 4 sebelumnya, yaitu mengenai kemampuan
dasar berbicara dan kiat-kiat mengatasi hambatan berbicara jika memang hambatan tersebut muncul.
Secara umum, pelaksanaan kegiatan berbicara dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu

a. pembuka
Pembuka berisi tentang pengantar sebelum masuk ke pembahasan pokok. Dalam bagian ini biasa beriris tentang:
1) doa pembuka (jika kegiatan berbicara berkaitan dengan masalah keagamaan);
2) latar belakang masalah yang berkaitan dengan pembahasan; 3) tujuan pembahasan.
b. Pembahasan Pokok
Bagian ini merupakan inti dari pembicaraan. Bagian ini menuntut banyak persiapan pembicara, karena di bagian
inilah kemampuan pembicara yang sesungguhnya dalam berbicara di uji. Bukan berarti bagian lain tidak
penting. Bagian lain pun sama menuntut keterampilan khusus, tetapi pada bagian inilah seorang pembicara
betul diuji kemampuannya sebagai pembicara profesional.
c. Penutup
Bagian ini merupakan akhir dari seluruh kegiatan berbicara. Oleh karena itu, hal-hal yang diungkapkan adalah
simpulan dari seluruh uraian.
Tahapan-tahapan di atas merupakan tahapan-tahapan yang biasa dilakukan dalam kegiatan berbicara formal.
Namun, saat ini berkembang teknik baru dalam berbicara yang sering dilakukan oleh pembicara, yaitu dengan
menyisipkan satu kegiatan di antara pembukaan dan pembahasan pokok atau di antara pembahasa dan penutup,
yaitu ungkapan-ungkapan yang berfungsi sebagai pemikat atas daya tarik untuk memusatkan perhatian pendengar
dengan pengungkapan puisi, lagu, atau cerita anekdot yang berkaitan dengan pokok bahasan. Rangkaian kegiatan
berbicara tersebut dapat digambarkan seperti berikut ini.

3. Evaluasi
Adakalanya evaluasi perlu dilakukan untuk mendapat masukan tentang kegiatan berbicara yang telah dilakukan
seorang pembicara. Dengan masukan tersebut seorang pembicara dapat menentukan kualitas pembicaraannya.
Sesuatu yang masih kurang dapat segera diperbaiki, sedangkan yang sudah bagus harus dipertahankan kualitasnya,
bahkan kalau mungkin lebih diperbagus lagi.
Sama halnya dengan ketika berlatih, penilaian dapat dilakukan baik secara mandiri maupun bantuan orang lain.
Secara mandiri, penilaian dapat dibantu dengan alat perekam, baik rekaman auditif maupun rekaman audiovisual.
Rekaman ini dapat saja dilakukan atas permintaan pembicara sendiri dan dengan perlengkapan yang disediakannya
sendiri. Hasil rekaman diputar ulang, lalu amatilah setiap segmen-segmen yang dilakukan. Dengan demikian, Anda
dapat memberukan penilaian terhadap kualitas Anda berbicara.
Selain itu, penilaian pun dapat dilakukan dengan minta bantuan orang lain, baik itu orang yang diminta secara
khusus oleh pembicara maupun pendengar. Mintalah masukan dari mereka. Masukkan tersebut dapat saja berupa
masukan yang kurang baik, yang baik, bahkan mungkin saja yang menyudutkan. Jadikanlah semua itu sebagai
bahan untuk memperbaiki diri, agar kemampuan berbicara Anda menjadi kompetensi yang banyak diperhitungkan
orang.

D. CONTOH KEGIATAN BERBICARA FORMAL

1. Wawancara
Wawancara merupakan bagian dari aktivitas seorang mahasiswa. Wawancara sebagai salah satu bentuk
kegiatan berbicara digunakan mahasiswa sedalam keperluan penelitian. Sebagai seorang mahasiswa, tentunya
penelitian bukan merupakan sesuatu yang aneh. Ada sepuluh tujuan wawancara menurut Tubbs dan Moss, yaitu
mendapatkan informasi, memberi informasi, membujuk, memecahkan masalah, konsultasi, mencari kerja,
menerima keluhan, meninjau kinerja, memperbaiki atau memperingatkan, mengukur stres (2000: 41-42). a.
mendapatkan informasi
Wawancara dengan tujuan mendapatkan informasi dapat dilakukan mahasiswa untuk keperluan penelitian,
misalnya penitian untuk tugas akhir atau penelitian-penelitian lainnya. Dalam hal ini, pewawancara
mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan fakta, pendapat, atau sikap dari responden.
b. memberi informasi
Dalam hal ini, pewawancara menyajikan fakta, pendapat, atau sikap untuk ditanggapi oleh responden. Jadi, fakta,
pendapat, sikap merupakan rangsangan bagi responden agar respon yang diberikan sesuai dengan yang
diharapkan pewawancara. Wawancara dengan tujuan seperti ini dapat dilakukan dalam penelitian yang
berkaitan dengan sikap manusia
atau sebuah komunitas terhadap sebuah fenomena. Misalnya, dalam penelitian tentang bagaimana sikap
sekelompok masyarakat terhadap pengaruh budaya asing, pewawancara dapat memberikan informasi tentang
fakta, pendapat, atau sikap manusia modern sebagai rangsangan bagi responden untuk memberikan respon
yang diharapkan.

Contoh:

Pewawancara : Seperti yang Saudara ketahui, manusia modern


mempunyai kecenderungan untuk menyikapi
pengaruh budaya asing dengan anggapan bahwa
penyesuai sikap hidup dengan budaya asing
merupakan sebuah keharusan dalam kehidupan
modern saat ini. Bagaimana pendapat Saudara
tentang pendapat seperti?
Responden : Maaf, perlu kami katakan bahwa pendapat
semacam itu menunjukkan bahwa orang tersebut
tidak mempunyai daya saring yang baik terhadap
budaya asing. Mereka menganggap bahwa semua
budaya yang berasal dari barat itu baik. Itu
pendapat yang keliru, dan kami merasa
berkewajiban untuk meluruskan sikap seperti itu.
c. membujuk
Wawancara semacam ini dilakukan dengan tujuan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau mengubah
perilaku atau sikapnya. Misalnya, seorang mahasiswa mengadakan suatu pembicaraan dengan seorang dosen
untuk membujuk dosen agar diberi kesempatan untuk diberi ujian perbaikan. Walaupun tidak berlangsung
dalam wawancara formal, mahasiswa melakukannya dengan pola-pola wawancara.
d. memecahkan masalah
Wawancara yang bertujuan untuk memecahkan masalah dapat dilakukan oleh mahasiswa jika mereka ini mencari
jalan keluar dari sebuah masalah dihadapi. Misalnya, secara bersama mahasiswa dan dosen mencari pemecahan
masalah yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Masing-masing pihak memberikan masukan
berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Mahasiswa dapat saja memberi masukan tentang cara-cara
yang dilakukan dosen dalam mengajar kurang menggunakan metode yang bervariasi. Sebaliknya, dosen dapat
mengungkapkan bahwa mahasiswa harus mempunyai inisiatif sendiri untuk mencari sumber-sumber informasi
terbaru berkaitan dengan mata kuliah tertentu.
e. Konsultasi
Dalam hal ini, dapat terjadi, misalnya, responden meminta nasihat pewawancara tentang masalah yang
dihadapinya. Kemudian pewawancara mengadakan diagnosis terhadap responden tentang segala hal yang
berkaitan dengan masalah tersebut melalui serangkaian pertanyaan.
f. mencari kerja
Setelah lulus, setiap sarjana baru tentu dihadapkan pada tahapan baru, yaitu mencari pekerjaan. Sebelum diterima
bekerja di sebuah perusahaan atau instansi, selalu diadakan wawancara yang merupakan bagian dari seleksi
massal. Pewawancara menanyakan segala hal kepada pelamar berkaitan dengan latar belakang yang
dimilikinya. Selain itu, dapat juga ditanyakan hal-hal yang bersifat kemungkinan jika pelamar pekerja itu
diterima di perusahaan tempat ia melamar.
g. menerima keluhan
Kadang-kadang seorang pewawancara menerima keluhan dari seorang responden. Keluhan-keluhan itu di tampung
dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terencana.
h. meninjau kinerja
Meninjau kinerja seorang karyawan kerap dilakukan manajernya dalam rangka penilaian, baik yang bersifat rutin
maupun insidental. Hal ini juga dapat dilakukan dengan pola wawancara yang terencana.
i. memperbaiki atau memperingatkan
Wawancara ini biasanya terjadi di antara atasan dan bawahan dalam sebuah komunitas kerja, lembaga negeri
maupun swasta. Bahkan wawancara ini dapat merupakan lanjutan dari wawancara dengan tujuan meninjau
kinerja.
j. mengukur stres
Wawancara ini biasa dilakukan antara seorang psikiater dan pasiennya. Pewawancara dapat mendiagnosis seluruh
masalah yang sedang dihadapi pasien tersebut. Pertanyaan yang diajukan pewawancara harus maupun
mendeteksi kondisi pasien, sehingga dapat diketahui tingkat stres yang dialami pasien tersebut.

Biasanya, wawancara ini digunakan oleh mahasiswa sebagai salah satu cara pengambilan data penelitian.
Setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya diwajibkan membuat karya tulis sebagai syarat kelulusan.
Karya tulis tersebut dapat berupa hasil penelitian. Teknik yang digunakan dalam pencarian data dapat dilakukan
dengan cara wawancara.
Komunikasi yang terjadi dalam wawancara adalah komunikasi lisan. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan
berbicara yang memadai jika mahasiswa ingin mendapat data yang lengkap dan jelas. Kekurangmahiran berbicara
akan mengakibatkan efek-efek yang kurang menguntungkan, misalnya data yang didapatkan tidak lengkap atau
terjadi salah pengertian antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai.
Saudara, demikian pembahasan kita tentang kegiatan berbicara formal.
Wawancara hanya satu dari sekian banyak kegiatan berbicara formal, jika Anda berminat untuk mengetahui jenis-
jenis berbicara formal lainnya seperti pidato, diskusi, memandu, dan seminar dapat Anda baca pada modul mata
kuliah Berbicara/PBIN4330.

Anda mungkin juga menyukai