Anda di halaman 1dari 34

PENGENDALIAN BANJIR PADA SISTEM DRAINASE

TUKAD MATI

Ir. I G. N. Kerta Arsana, MT. 0013106401

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulisan Karya Tulis dengan judul “Pengendalian Banjir
Pada Sistem Drainase Makro Tukad Mati” dapat diselesaikan.
Karya Ilmiah ini merupakan salah satu bagian dari penelitian yang rutin harus
dilaksanakan di lingkungan Program S-1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas
Udayana. Penulis menyadari kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan Karya Ilmiah
ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penilis harapkan untuk
menyempurnakan penulisan ini.

Bukit Jimbaran, 24 Juli 2019.


Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Maksud Dan Tujuan .................................................................. 2
1.3 Lokasi......................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Dasar Pemikiran........................................................................ 3
2.2 Konsep Drainase Berwawasan Lingkungan.............................. 5
2.3 Ketentuan-Ketentuan................................................................. 8
2.4 Tahapan Kegiatan...................................................................... 10
2.5 Kriteria Perencanaan................................................................. 12
2.6 Tahap Penyusunan.................................................................... 12

BAB III SISTEM DRAINASE MAKRO TUKAD MATI


3.1 Sistem Drainase Makro ……..................................................... 17
3.2 Permasalahan Drainase Tukad Mati………………………….. 20

BAB IV RENCANA SISTEM PENGENDALIAN BANJIR TUKAD MATI


4.1 Umum…………………………….………………………….. 25
4.2 Rencana Penanganan Sistem Drainase Makro ……………… 25

BAB V REKMENDASI
5.1 Simpulan……………………………………………………… 29
5.2 Saran………………………………………………………….. 30

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sungai sebagai pembuang utama dari system drainase makro dan pembuang akhir
menuju laut. Peranan sungai sangat penting dan di Bali sungai disebut Tukad. Sungai
/Tukad Mati berfungsi sebagai pembuang utama (drainase induk) dan air juga digunakan
untuk keperluan irigasi. Air irigasi disadap dari bendung-bendung yang ada di sepanjang
Tukad Mati.

Berdasarkan peta topografi 1 : 25.000, daerah tangkapan aliran sungai meliputi ;


sebagian Sempidi, Kerobokan, Padangsambian dan sebagian wilayah Kuta yang meliputi
3 (tiga) Kelurahan Seminyak, Legian, dan Kuta. Debit aliran sungai / Tukad Mati tidak
saja berdasarkan luasan daerah tangkapan dalam konteks system sungai secara alamiah,
ditambah aliran air irigasi dari bendung Kapal dan irigasi Mambal secara drastic
meningkatkan coverage dari daerah tangkapan. Sistem Tukad Mati merupakan gabungan
antara sungai-sungai alamiah seperti ; Tukad Mati, Tukad Teba, Tukad Muding,
Pangkung, dan beberapa saluran irigasi. Saluran irigasi yang berasal dari bendung Kapal
pada Tukad Yeh Penet yang merupakan bagian dari system Tukad Sungi yang bermuara
di Tanah Lot. Pada beberapa tempat, jaringan irigasi tersebut keluar dari Sistem Tukad
Mati melalui sungai-sungai kecil yang bermuara di Pantai Petitenget.

Kapasitas aliran Tukad Mati tidak saja berasal dari limpasan permukaan dan menerima
limpahan buangan air irgasi. Permasalahan lain yang terdapat pada Tukad Mati adalah di
beberapa tempat pada DAS Tukad Mati merupakan dataran rendah pada setiap musim
hujan terdapat daerah genangan dan bagian hilir Tukad Mati terutama disebelahTimur Jl.
Majapahit pada wilayah Kuta terdapat penyempitan alur sungai yang berpengaruh
terhadap system pembuangan salura drainase pada daerah tersebut. Tukad Mati sebagai
pembuang utama tidak dapat berfungsi secara maksimal, hal ini dapat dilihat dari
hambatan-hambatan aliran yang terjadi pada saluran sekunder yang Dimulai dari daerah
monang-maning keseletan sampai daerah Legian yang merupakan satu sistem
pembuangan drainase.

Kompleksnya permasalahan banjir/genangan di wilayah Kuta tentunya memerlukan


penanganan yang terintegrasi antara konteks drainase makro dengan drainase mikro.

1
Permasalahan banjir di Kuta tidak saja disebabkan oleh beban limpasan berdasarkan
daerah tangkapan di wilayah studi tetapi harus memperhitungkan kapasitas tampung
Tukad Mati dalam konteks drainase makro.

Daerah tangkapan drainase makro Tukad Mati sebagian besar berada di wilayah
Kota Denpasar dengan kondisi lahan yang setiap tahun terjadi alih fungsi lahan dan
keberadaan saluran pembuang irigasi tidak jelas akibat terdesak oleh pembangunan.
Pembangunan yang tidak terkendali dan tidak dibarengi dengan penataan sistem
pengamanan banjir akan memperparah banjir/genangan yang terjadi di bagian hilir yakni
wilayah Kuta.

1.2. Maksud Dan Tujuan


Maksud dan tujuan Penyusunan Rencana Pengendalian Banjir Pada Sistem Drainase
Makro Tukad Mati adalah sebagai berikut :
- Mengetahui permasalahan system drainase makro Tukad Mati
- Rencana penanganan banjir pada system drainase makro Tukad mati

1.3. Lokasi
Lokasi penelitian di sekitar daerah tangkapan (DAS) Tukad Mati.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Pemikiran


Drainase perkotaan merupakan prasarana kota yang intinya berfungsi selain untuk
mengendalikan dan mengalirkan limpasan air hujan yang berlebihan dengan aman, juga
untuk menyalurkan kelebihan air lainnya yang bersifat mengganggu dan mencemari
lingkungan perkotaan kota, yaitu air limbah dan air buangan lainnya. Air yang berlebih dan
air limbah, keduanya merupakan air buangan yang harus dibuang ke tempat yang aman.
Air buangan, dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu limpasan air hujan
(relatif belum tercemar) dan air limbah (relatif sudah tercemar). Limpasan air hujan,
diupayakan mulai dari limpasan awalnya sebagian besarnya diresapkan ke dalam tanah agar
apat memberikan imbuhan ke dalam air tanah. Sedangkan sisanya dilimpaskan di
permukaan tanah, agar tidak mengakibatkan banjir. Limpasan air hujan disalurkan ke dalam
saluran terbuka atau tertutup ke sungai atau badan air penerima.
Air limbah dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu air limbah domestik (buangan air
rumah tangga) dan air limbah indusri (buangan air proses dan operasi industri). Air limbah
domestik, penangannya ada dua kemungkinan, yaitu sistem penanganan setempat (on site
system), dan penanganan terpusat (off site system). Penanganan setempat dimungkinkan
bila lahan disetiap persil (properti) masih cukup luas untuk dibangun bangunan cubluk atau
bangunan tangki septic lengkap dengan bidang rembesannya. Penanganan terpusat,
dimungkinkan bila lahan pekarangan sangat sempit, sehingga air limbah disalurkan ke
dalam pipa roil.
Saat ini penanganan air limbah rumah tangga di daerah perkotaan menggunakan
system on-site dimana tinja ditampung dalam suatu wadah yang disebut tangki septik, dan
disitu terjadi penguraian oleh bakteri anaerobic, yang selanjutnya dimasukkan ke dalam
sumur resapan dan langsung meresap kedalam air tanah. Sarana limbah on-site masih
memerlukan IPLT dan armada truk tinja dengan pengelolaan yang cukup rumit.
Penanganan air limbah eksisting mempunyai kelemahan yakni belum bisa menjamin
kualitas air permukaan dan tanah tidak terjadi pencemaran. Untuk mengatasi permasalahan
diatas diperlukan teknologi sarana sanitasi IPAL sistem komunal dengan pemipaan

3
sederhana (simple sewerage system). Sanitasi IPAL ini dapat menampung limbah air
KM/WC, cuci dan limbah dapur.
Pembuangan air hujan dapat dilakukan secara tersendiri dan tidak tercampur dengan
pembuangan air limbah. Untuk sistem pembuangan air hujan secara terpisah, dapat
dilakukan melalui saluran tepi jalan dan sumur resapan. Saluran tepi jalan berupa saluran
terbuka, atau saluran tertutup di bawah tempat pejalan kaki (trotoar) di perkotaan, dan pada
perlintasan memotong jalan (di perempatan atau di persimpangan jalan). Sumur resapan
adalah sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan, baik dari permukaan tanah
maupun dari air hujan yang disalurkan melalui atap bangunan, dapat berbentuk sumur,
kolam dengan resapan, saluran porousa, saluran resapan dan sejenisnya. Air yang masuk
ke dalam saluran resapan adalah air hujan dan air yang tidak mengandung bahan pencemar.
Secara umum permasalahan drainase perkotaan diidentifikasi sebagai berikut:
1. Genangan air pada umumnya disebabkan karena kurangnya saluran drainase atau
dikarenakan saluran drainase yang ada tidak dapat berfungsi secara optimal.
Identifikasi permasalahan mencakup lokasi, penyebab, dan kualitas genangan (luas,
tinggi, dan lamanya tergenang)
2. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh rendahnya tingkat kepedulian sosial
yang kemudian menyebabkan rusaknya saluran drainase, kurangnya menjaga
lingkungan yang mengundang timbulnya genangan pada saat hujan. Identifikasi
permasalahan mencakup kejadian kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.
3. Saluran drainase tidak dapat berfungsi secara optimal karena banyaknya timbunan
sampah akibat rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membuang sampah.
4. Kepadatan penduduk dan perumahan tinggi sehingga mengakibatkan tingginya
penggunaan air dan saluran air tidak lancar, terutama pada slump area (kawasan
kumuh)
5. Perubahan guna lahan kawasan non terbangun menjadi kawasan terbangun di daerah
atas (hulu) sehingga mengakibatkan berkurangnya air yang terserap ke dalam tanah
dan meningkatnya aliran permukaan.
Pembuangan air atau drainase merupakan usaha preventif (pencegahan) untuk
mencegah terjadinya banjir atau genangan air, serta timbulnya penyakit. Prinsip dasar
pembuangan air (drainase) adalah, bahwa air harus secepat mungkin dibuang dan
secara terus menerus serta dilakukan seekonomis mungkin. Drainase perkotaan
merupakan usaha untuk mengatasi masalah genangan air di kota.

4
2.2 Konsep Drainase Berwawasan Lingkungan
A. Drainase Pengatusan
Konsep drainase yang dulu dipakai di Indonesia (paradigma lama) adalah drainase
pengatusan yaitu mengatuskan air kelebihan (utamanya air hujan) ke badan air terdekat.
Air kelebihan secepatnya dialirkan ke saluran drainase, kemudian ke sungai dan akhirnya
ke laut, sehinggga tidak menimbulkan genangan atau banjir. Konsep pengatusan ini masih
dipraktekkan masyarakat sampai sekarang. Pada setiap proyek drainase, dilakukan upaya
untuk membuat alur-alur saluran pembuang dari titik genangan ke arah sungai dengan
kemiringan yang cukup untuk membuang sesegera mungkin air genangan tersebut.
Drainase pengatusan semacam ini adalah drainase yang lahir sebelum pola pikir
komprehensif berkembang, dimana masalah genangan, banjir, kekeringan dan kerusakan
lingkungan masih dipandang sebagai masalah lokal dan sektoral yang bisa diselesaikan
secara lokal dan sektoral pula tanpa melihat kondisi sumber daya air dan lingkungan di
hulu, tengah dan hilir secara komprehensif.
.
B. Drainase Ramah Lingkungan (Ekodrainase)
Dengan perkembangan berfikir komprehensif serta didorong oleh semangat antisipasi
perubahan iklim yang dewasa ini terjadi, maka diperlukan perubahan konsep drainase
menuju ke drainase ramah lingkungan atau ekodrainase (paradigma baru). Drainase ramah
lingkungan didefinisikan sebagai upaya untuk mengelola air kelebihan (air hujan) dengan
berbagai metode diantaranya dengan menampung melalui bak tandon air untuk langsung
bisa digunakan, menampung dalam tampungan buatan atau badan air alamiah,
meresapkan dan mengalirkan ke sungai terdekat tanpa menambah beban pada sungai yang
bersangkutan serta senantiasa memelihara sistem tersebut sehingga berdaya guna secara
berkelanjutan.
Dengan konsep drainase ramah lingkungan tersebut, maka kelebihan air hujan tidak
secepatnya dibuang ke sungai terdekat. Namun air hujan tersebut dapat disimpan di
berbagai lokasi di wilayah yang bersangkutan dengan berbagai macam cara, sehingga
dapat langsung dimanfaatkan atau dimanfaatkan pada musim berikutnya, dapat digunakan
untuk mengisi/konservasi air tanah, dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
ekosistem dan lingkungan, dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengurangi
genangan dan banjir yang ada. Dengan drainase ramah lingkungan, maka kemungkinan

5
banjir/genangan di lokasi yang bersangkutan, banjir di hilir serta kekeringan di hulu dapat
dikurangi. Hal ini karena sebagian besar kelebihan air hujan ditahan atau diresapkan baik
bagian hulu, tengah maupun hilir. Demikian juga Longsor di bagian hulu akan berkurang
karena fluktuasi lengas tanah tidak ekstrim dan perubahan iklim yang ada di daerah tengah
dan hulu dan beberapa daerah hilir tidak terjadi dengan tersedianya air yang cukup, lengas
tanah yang cukup maka flora dan fauna di daerah tersebut akan tumbuh lebih baik. Hal ini
dapat mengurangi terjadinya perubahan iklim mikro maupun makro di wilayah yang
bersangkutan.

C. Drainase Ramah Lingkungan dan Perubahan Iklim


Konsep drainase ramah lingkungan ini merupakan suatu konsep yang ke depan sangat
diperlukan dan erat kaitannya dengan perubahan iklim. Perubahan iklim ditandai dengan
kenaikan muka air laut, kenaikan temperatur udara, perubahan durasi dan intensitas hujan,
perubahan arah angin dan perubahan kelembaban udara. Dampak perubahan iklim bisa
diantisipasi dengan pembangunan drainase yang berwawasan lingkungan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa reformasi drainase yang diperlukan adalah membalikkan pola pikir
masyarakat dan pengambil keputusan serta akademisi, bahwa apa yang dilakukan
masyarakat, pemerintah termasuk para akademisi yang mengembangkan drainase
pengatusan, justru sebenarnya bersifat destruktif, yaitu: meningkatkan banjir di hilir,
kekeringan di hulu dan tengah dan penurunan muka air tanah serta dampak ikutan lainnya.
Hal ini pada akhirnya justru akan meningkatkan perubahan iklim global.
Oleh karena itu perlu dikampanyekan drainase ramah lingkungan, yaitu drainase yang
mengelola air kelebihan (air hujan) dengan cara ditampung untuk dipakai sebagai sumber
air bersih, menjaga lengas tanah dan meningkatkan kualitas ekologi, diresapkan ke dalam
tanah untuk meningkatkan cadangan air tanah, dialirkan atau diatuskan untuk menghindari
genangan serta dipelihara agar berdaya guna secara berkelanjutan.
Konsep drainase konvensional (paradigma lama) adalah upaya membuang atau
mengalirkan air kelebihan secepatnya ke sungai terdekat. Dalam konsep drainase
konvensional, seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah, harus secepatnya dibuang ke
sungai dan seterusnya ke laut. Dampak dari konsep ini adalah kekeringan yang terjadi di
mana-mana, banjir, dan juga longsor. Dampak selanjutnya adalah kerusakan ekosistem,
perubahan iklim mikro dan makro serta tanah longsor di berbagai tempat yang disebabkan

6
oleh fluktuasi kandungan air tanah pada musim kering dan musim basah yang sangat
tinggi.
Konsep drainase baru (paradigma baru) yang biasa disebut drainase ramah lingkungan
atau ekodrainase atau drainase berwawasan lingkungan yang sekarang ini sedang menjadi
konsep utama di dunia internasional dan merupakan implementasi pemahaman baru
konsep eko-hidrolik dalam bidang drainase.
Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola air kelebihan
dengan cara meresapkan sebanyak-banyaknya air ke dalam tanah secara alamiah atau
mengalirkan air ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya.
Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan harus
dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun
diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk
cadangan pada musim kemarau. Konsep ini sifatnya mutlak di daerah beriklim tropis
dengan perbedaan musim hujan dan kemarau yang ekstrim seperti di Indonesia.
Ada beberapa metode drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai di Indonesia,
diantaranya adalah metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode river side
polder dan metode pengembangan areal perlindungan air tanah (ground water protection
area).
Metode kolam konservasi dilakukan dengan membuat kolam-kolam air baik di
perkotaan, permukiman, pertanian atau perkebunan. Kolam konservasi ini dibuat untuk
menampung air hujan terlebih dahulu, diresapkan dan sisanya dapat dialirkan ke sungai
secara perlahan-lahan. Kolam konservasi dapat dibuat dengan memanfaatkan daerah
dengan topografi rendah, daerah bekas galian pasir atau galian material lainnya, atau
secara ekstra dibuat dengan menggali suatu areal atau bagian tertentu.
Metode sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara membuat sumur-sumur
untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap perumahan atau kawasan tertentu.
Sumur resapan ini juga dapat dikembangkan pada areal olahraga dan wisata. Konstruksi
dan kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Perlu
dicatat bahwa sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan, sehingga masyarakat
harus mendapatkan pemahaman mendetail untuk tidak memasukkan air limbah rumah
tangga ke sumur resapan tersebut.
Metode river side polder adalah metode menahan aliran air dengan
mengelola/menahan air kelebihan (hujan) di sepanjang bantaran sungai. Pembuatan polder

7
pinggir sungai ini dilakukan dengan memperlebar bantaran sungai di berbagai tempat
secara selektif di sepanjang sungai.
Lokasi polder perlu dicari, sejauh mungkin polder yang dikembangkan mendekati
kondisi alamiah, dalam arti bukan polder dengan pintupintu hidraulik teknis dan tanggul-
tanggul lingkar hidraulis yang mahal. Pada saat muka air naik (banjir), sebagian air akan
mengalir ke polder dan akan keluar jika banjir reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat
dikurangi dan konservasi air terjaga.
Metode areal perlindungan air tanah dilakukan dengan cara menetapkan kawasan
lindung untuk air tanah, dimana di kawasan tersebut tidak boleh dibangun bangunan
apapun. Areal tersebut dikhususkan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Di
berbagai kawasan perlu sesegara mungkin dicari tempat yang cocok secara geologi dan
ekologi sebagai areal untuk recharge dan perlindungan air tanah sekaligus sebagai bagian
penting dari komponen drainase kawasan.

2.3 Ketentuan – Ketentuan


A. Umum
Ketentuan-ketentuan umum yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
Rencana induk sistem drainase disusun dengan memperhatikan halhal sebagai
berikut:
o Kondisi topografi, rencana pengembangan kota dan rencana prasarana dan
sarana kota lainnya.
o Keterpaduan pelaksanaan fisiknya dengan prasarana dan sarana kota lainnya,
sehingga dapat meminimalkan biaya pelaksanaan, biaya operasional dan
pemeliharaannya.
o Ketersediaan air tanah, air permukaan, kekeringan dan banjir yang mungkin
terjadi.
o Kelestarian lingkungan hidup perkotaan terkait dengan ketersediaan air tanah
maupun air permukaan.
o Partisipasi masyarakat yang berbasis pada kearifan lokal.
o Ketergantungan dengan rencana induk lainnya dalam rangka pengembangan
rencana induk tata kota untuk arahan pembangunan sistem drainase di daerah
perkotaan yang mencakup perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan

8
jangka pendek sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota, dan dapat
dilakukan peninjauan kembali disesuaikan dengan keperluan.
Pemerintah Daerah menyediakan alokasi ruang (space) untuk penempatan saluran
drainase dan sarana drainase serta bangunan pelengkapnya.
Daerah perkotaan/permukiman yang elevasi muka tanahnya selalu lebih rendah
daripada elevasi muka air sungai atau laut dapat dibangun sistem polder.
Pembangunan sistem drainase harus berwawasan lingkungan.
Bangunan pelengkap yang dibangun pada saluran dan sarana drainase kapasitasnya
minimal 10% lebih tinggi dari kapasitas rencana saluran dan sarana drainase.
Rencana induk sistem drainase perkotaan yang berwawasan lingkungan disahkan oleh
instansi atau lembaga yang berwenang.

B. Teknis
 Data dan Informasi
Data dan persyaratan yang diperlukan adalah sebagai berikut:
Data spasial adalah data dasar yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan drainase
perkotaan, yang diperoleh baik dari lapangan maupun dari pustaka, mencakup antara
lain:
Data peta yang terdiri dari peta dasar (peta daerah kerja), peta sistem drainase dan
sistem jaringan jalan yang ada, peta tata guna lahan, peta topografi masing-masing
berskala antara 1 : 5.000 sampai dengan 1 : 25.000 atau disesuaikan dengan tipologi
kota.
Data kependudukan yang terdiri dari jumlah, kepadatan, laju pertumbuhan,
penyebaran dan data kepadatan bangunan.
Data rencana pengembangan kota, data geoteknik, data foto udara terbaru (untuk kota
metropolitan).
Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW)
Data hidrologi
Data hujan minimal sepuluh tahun terakhir.
Data tinggi muka air, debit sungai, pengaruh air balik, peil banjir, dan data pasang
surut.

3 Data sistem drainase yang ada, yaitu:

9
Data kuantitatif banjir/genangan yang meliputi: luas genangan, lama genangan,
kedalaman rata-rata genangan, dan frekuensi genangan berikut permasalahannya serta
hasil rencana induk pengendalian banjir wilayah sungai di daerah tersebut.
Data saluran dan bangunan pelengkap.
Data sarana drainase lainnya seperti kolam tandon, kolam resapan, sumur-sumur
resapan.

Data Hidrolika
Data keadaan, fungsi, jenis, geometri dan dimensi saluran, dan bangunan pelengkap
seperti gorong-gorong, pompa, dan pintu air, serta kolam tandon dan kolam resapan.
Data arah aliran dan kemampuan resapan.

Data teknik lainnya


Data prasarana dan fasilitas kota yang telah ada dan yang direncanakan antara lain:
jaringan jalan kota, jaringan drainase, jaringan air limbah, TPS (Tempat Pengolahan
Sampah Sementara), TPA (Tempat Pemrosesan Akhir), jaringan telepon, jaringan
listrik, jaringan pipa air minum, jaringan gas (jika ada) dan jaringan utilitas lainnya.

Data non teknik


Data pembiayaan termasuk biaya OP, peraturan-peraturan terkait, data
institusi/kelembagaan, data sosial ekonomi dan budaya (kearifan lokal), data peran
serta masyarakat serta data keadaan kesehatan lingkungan permukiman.

2.4 Tahapan Kegiatan


Lingkup kegiatan ini secara garis besar terdiri dari beberapa kegiatan, meliputi :
A. Persiapan, meliputi:
1. Koordinasi dengan direksi pekerjaan
2. Pengumpulan data awal, data primer dan sekunder, buku-buku referensi yang
berhubungan dengan pekerjaan ini sebagai bahan referensi medan/lapangan dan untuk
penyempurnaan program kerja sehingga akan dicapai suatu hasil pekerjaan yang
maksimal.
3. Desk studi dan diskusi awal
4. Pembuatan dan penyusunan program kerja, pembagian tugas dan pengarahan

10
B. Pengumpulan Data dan Observasi Lapangan
Pengumpulan semua data hasil pekerjaan yang pernah dilakukan terkait dengan studi
yang dilaksanakan, meliputi. data hidrologi, data disain, data social ekonomi dan
lingkungan, serta pengumpulan peta dasar.
Observasi lapangan merupakan pengumpulan semua informasi yang berkenaan
dengan kondisi lapangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan semua
permasalahan yang ada di daerah studi yang ada relevansi dengan pembuangan air hujan.
Kegiatan ini juga untuk mengatur kegiatan lapangan, pengerahan personil dalam
pelaksanaan pekerjaan lapangan dan juga untuk menentukan base camp agar memudahkan
personil dalam pelaksanaan kegiatan lapangan.

C. Inventarisasi dan Identifikasi Lokasi Titik Rawan Banjir


Inventarisasi dan identifikasi titik rawan banjir ini merupakan suatu analisa yang
berkaitan dengn kapasitas penampang saluran eksisting, pemanfaatan / fungsi saluran saat
ini, dan fungsi bangunan pelengkap, daerah-daerah yang memerlukan penanganan banjir
dapat diketahui. Kegiatan Inventarisasi dan identifikasi meliputi pendataan saluran
drainase, pola aliran dan sistem jaringan eksisting baik saluran drainase maupun saluran
irigasi yang dalam perkembangannya mengalami perubahan fungsi.

D. Penyusunan Konsep Dasar Drainase/Trotoar


Perencanaan harus menghasilkan pola dasar sistem pembuangan air hujan ini harus
dilakukan secara menyeluruh pada saluran dan trotoar yang diusulkan akan di rehab yang
dituangkan dalam peta situasi lokasi/trase skala horizontal 1:1.000 atau 1:2.000 skala
vertikal 1:25, dalam pola dasar ini harus terlihat sistem-sistem pembuangan dan
subsistem-subsistemnya dan merupakan satu kesatuan yang terpadu.
Penyusunan pola dasar sistem pembuangan air hujan pada sistem ini harus terlihat
beberapa hal sebagai berikut :
 Saluran pembuangan utama / pembuangan induk yang berupa sungai yang telah ada.
 Saluran sekunder baik yang sudah ada maupun saluran sekunder yang direncanakan.
 Batas-batas daerah pelayanan pada setiap sistem pembuangan dan subsistem-
subsistem.

11
 Bangunan-bangunan yang penting pada saluran baik yang telah ada maupunyang
direncanakan.
Perkiraan dimensi saluran pembuangan utama dan saluran sekunder sesuai Debit
banjir rencana dan diplot pada gambar, sehingga sudah dapat diperkirakan bagian-
bagian yang memerlukan pelebaran saluran dan daerah-daerah yang harus
diamankan.
2.5 Kriteria Perencanaan
Kreteria perencanaan teknis yang akan digunakan dalam pelaksanaan studi ini
menyangkut hal-hal sebagai berikut :
1 Perencanaan Teknis
a. Setiap sistem drainase didasarkan atas daerah aliran (watershed) yang tercakup dalam
sistem drainase.
b. Frekuensi banjir untuk pembuangan utama adalah sekali dalam 25 tahun (Q) atau
dengan probabilitas kejadian 4 % setiap tahun.
c. Frekuensi banjir saluran untuk pembuang sekunder adalah sekali dalam 5 tahun (Q)
atau dengan probabilitas kejadian 20 % setiap tahun.
d. Bentuk penampung saluran untuk pembuang utama adalah trapesium sedangkan untuk
pembuang sekunder adalah trapesium atau empat persegi.
e. Intensitas hujan ditentukan atas dasar Grafik Intensity Duration Frequency dari dari
Prof. Sherman dengan bantuan “ Average Intensity “ dari Mononobe.

2.6 Tahapan Penyusunan


A. Orientasi Lapangan
Orientasi lapangan untuk mengetahui dengan jelas medan/lokasi pekerjaan serta
sekaligus untuk dapat mengetahui system pembuangan air (drainase) baik utama maupun
sekunder. Kegiatan ini juga untuk mengetahui titik-titik lokasi banjir dan pada lokasi mana
yang harus mendapat penangan yang mendesak terkait dengan rencana indikasi program.

B. Inventarisasi dan Identifikasi Lokasi Titik Rawan Banjir


Kegiatan Inventarisasi dan identifikasi meliputi pendataan saluran drainase, pola
aliran dan sistem jaringan eksisting baik saluran drainase maupun saluran irigasi yang
dalam perkembangannya mengalami perubahan fungsi.

12
C. Proses Perencanaan
Perencanaan drainase perkotaan perlu memperhatikan fungsi drainase perkotaan
sebagai prasarana kota yang dilandaskan pada konsep pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Konsep ini antara lain berkaitan dengan usaha konservasi sumber daya air
yang pada prinsipnya adalah mengendalikan air hujan supaya lebih banyak meresap
kedalam tanah dan tidak banyak terbuang sebagai aliran permukaan, antara lain dengan
membuat: bangunan resapan buatan, kolam tandon, penataan lansekap dan sengkedan.
Drainase perkotaan di kota-raya dan kota-besar perlu direncanakan secara menyeluruh
melalui tahapan induk. Drainase perkotaan di kota sedang dan kota kecil dapat
direncanakan melalui tahapan rencana kerangka sebagai pengganti rencana induk.
Drainase perkotaan di kota sedang yang mempunyai pertumbuhan fisik dan pertambahan
penduduk yang cepat serta drainase perkotaan yang mempunyai permasalahan rumit
karena keadaan alam setempat, perlu perencanaan yang menyeluruh melalui tahapan
rencana induk.
Drainase perkotaan harus direncanakan dengan berbagai alternatif dan pemilihan
alternatif terbaik yang dilaksanakan melalui proses pengkajian dengan memperhatikan
aspek teknik, sosial ekoniomi, finansial dan keuangan.

D. Penetapan debit rencana


Dalam merencanakan pembuangan air yang perlu diketahui adalah banyaknya air
hujan dan limbah yang mengalir ke saluran-saluran pembuangan atau debit pengaliran,
air hujan yang dialirkan ke pembuangan sebanding dengan luas daerah tangkapan hujan
dan jumlah curah hujan, disamping adanya penguapan dan hilangnya air hujan karena
meresap ke dalam tanah. Namun hanya sebagian dari hujan yang jatuh pada daerah
tangkapan akan menjadi aliran langsung air hujan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi debit pengaliran air hujan adalah:
1. Curah hujan, adalah faktor tunggal yang paling penting, yang mempengaruhi debit
dari suatu pengaliran air hujan. Meskipun jumlah curah hujan adalah penting, tetapi
distribusi air hujan menurut waktu dan ruang juga sama pentingnya. Hujan yang
terjadi selama musim tanam, mungkin kontribusinya sangat kecil dan hujan dengan
intensitas rendah dapat meresap ke dalam tanah dan menghasilkan aliran permukaan
yang sangat kecil.

13
2. Topografi dan geologi setempat juga mempengaruhi kecepatan dan jumlah aliran
permukaan. Kemiringan tanah yang curam dan lapisan kedap air meningkatkan
kecepatan dan debit pengaliran, sementara lapisan tanah yang tembus air (pervious)
dan rata (flat) memperbesar kemungkinan terjadinya peresapan. Pengaruh kedap air
maupun tembus air dari tanah terhadap pengaliran air permukaan dinyatakan dalam
“angka pengaliran“, yaitu prosentase jumlah air hujan yang masuk ke dalam selokan
terhadap jumlah air yang jatuh.
3. Angka pengaliran ini dipengaruhi oleh (1) jenis permukaan yang dilalui air hujan, (2)
kemiringan tanah/tempat yang dilalui oleh air hujan, semakin besar kemiringan
semakin cepat air yang meresap. Jenis tanah yang sama, tetapi dengan kemiringan
yang berbeda akan memberikan angka pengaliran yang berbeda pula, (3) Iklim, pada
waktu musim penghujan yang panjang, angka pengaliran lebih jecil daripada di akhir
musim penghujan, karena pada akhir musim penghujan tanah telah jenuh dengan air.
4. Penguapan (evaporation), adalah fungsi dari temperatur, kecepatan angin dan
kelembaban relatif. Penguapan dari permukaan tanah sangat jauh kurang
dibandingkan dengan penguapan air dari permukaan air terbuka
5. Pencegatan (interception), yaitu air hujan dicegat sebelum jatuh ke atas tanah,
termasuk disini air hujan hujan yang tertahan di atas daun-daun tanaman dan
permukaan yang lain dan tidak pernah jatuh ke tanah. Jumlahnya dapat cukup berarti
dalam setahun, pada daerah yang tertutup vegetasi cukup rapat, namun karena air yang
tertahan ini akhirnya menguap, dimasukkan ke dalam kategori evapotranspirasi.
Dalam jangka pendek, interception dapat mengurangi puncak pengaliran permukaan
(run-off peaks) cukup besar, karena kebanyakan penghambatan terjadi pada awal
hujan. Dalam pengurangan awal dari curah hujan, atau penampungan di daerah
cadangan atau peresapan.
6. Penampungan di cekungan (depression storage), yaitu air yang tertahan di tempat yang
rendah selama terjadi pengaliran di permukaan tanah. Air ini selanjutnya akan
menguap atau meresap kemacetan dalam tanah. Seperti halnya interception, maka
depression strorage mempunyai pengaruh mengurangi jumlah pengaliran permukaan
pada awal curah hujan. Pengaruhnya pada luas daerah pengaliran (catchment area)
dan aliran puncak (peak flow) relatif kecil.
7. Peresapan (infiltration), dipengaruhi oleh jenis tanah, intensitas curah hujan, kondisi
permukaan, dan tumbuh-tumbuhan/vegetasi (yang dapat mengubah porositas tanah).

14
E. Penetapan Tingkat Layanan
Penetapan tingkat layanan yang sesuai untuk suatu sistem drainase, juga berperan
dalam mencegah gagalnya fungsi sistem drainase. Tingkat layanan yang optimal akan
mengurangi biaya investasi yang ditanamkan, selain menjamin tetap berfungsinya
sistem drainase selama umur pelayanan yang direncanakan. Untuk sistem drainase
mikro disarankan periode ulang rancangan diambil antara 1 sampai 5 tahunan. Periode
ulang 1-2 tahunan dapat dipakai untuk perencanaan sistem drainase adalah untuk
permukiman, sedangkan periode ulang di atas dua tahunan digunakan untuk daerah
komersial dan industri, serta fasilitas-fasilitas transportasi. Kegagalan sistem drainase
disini dapat menimbulkan keruskan yang besar. Untuk sistem drainase mikro, dengan
resiko kerugian harta benda dan jiwa yang amat besar akibat genangan yang
disebabkan gagalnya sistem drainase, periode ulang desain diambil 1-25 tahun.

F. Penentuan Alternatif Sistem


Penyusunan alternatif sistem drainase dilakukan dengan tetap berpedoman pada:
1. Rencana pengembangan kota dan rencana pengembangan prasarana lainnya
2. Keterpaduan pelaksanaan dengan pengembangan prasarana perkotan lainnya, dalam
rangka meminimumkan pembiayaan
3. Disusun berdasarkan arahan pembangunan jangka panjang (selama 25 tahun)
Beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah genangan air,
antara lain:
1. Membuat saluran drainase, baik jenis saluran terbuka maupun jenis saluran tertutup
2. Menyediakan pompa-pompa air untuk drainase
3. Menerapkan sistem drainase yang berwawasan lingkungan
Saluran drainase adalah teknologi yang umum dan secara luas dipakai di Indonesia.
Pemilihan saluran jenis terbuka atau tertutup lebih dipengaruhi oleh kondisi setempat.
Saluran terbuka lebih mudah diperiksa dan dibersihkan dari sampah dan kotoran, tanpa
harus menggunakan peralatan khusus atau tenaga terlatih. Meskipun demikian saluran
terbuka memerlukan lahan yang lebih besar.
Persyaratan teknik yang harus dipenuhi adalah menggunakan alternatif drainase
sistem gravitasi seoptimal mungkin, dengan memperhatikan kondisi topografi
wilayah. Penggunaan pompa-pompa drainase biasanya merupakan alternatif terakhir,

15
karena pompa-pompa ini membutuhkan tenaga-tenaga khusus yang menyangkut
pekerjaan mekanis dalam kegiatan operasi dan pemeliharaannya, selain juga perlu
penyediaan tenaga listrik.
Pada prinsipnya genangan terjadi akibat tidak mampunyai saluran menampung aliran
air yang ada, karena banyaknya aliran air yang masuk kemacetan saluran drainase
melampaui kemampuan penyerapan air oleh tanah. Dalam hal ini perlu diperkenalkan
suatu sistem drainase yang lebih memperhatikan aspek lingkungan, antara lain dengan
menahan/menampung air hujan yang jatuh dari atap-atap rumah ke dalam sumur-
sumur resapan atau tangki-tangki dan dialirkan sedikit demi sedikit ke saluran
drainase. Konsep ini dikenal sebagai drainase yang berwawasan lingkungan, yang
telah dikembangkan di Eropa dan Amerika. Prinsip dasarnya, adalah mengatur
pengaliran air hujan, agar sesedikit mungkin air hujan yang dialirkan ke saluran-
saluran drainase dan memberikab kesempatan kepada tanah untuk menyerap air,
dengan membuat kantong-kantong air berskala kecil di atap-atap rumah, sumur
resapan di halaman-halaman, tanah-tanah kosong, taman-taman, tempat parkir, dll.

G. Penentuan Prioritas
Prioritas penanganan drainase perkotaan umunya ditujukan untuk mengatasi masalah
genangan air, dengan mengutamakan hal-hal sebagai berikut:
1. Genangan yang menyebabkan kerugian dan kerusakan harta benda dan jiwa (terutama
untuk daerah yang padat penduduk)
a. Tinggi genangan > 0,5 manajemen
b. Luas genangan >5% luas wilayah perkotaan
c. Kepadatan penduduk di wilayah perkotaan > 100 jiwa/ha
d. Frekuensi genangan paling sedikit terjadi 2 kali dalam setahun
e. Lama genangan > 2 jam
2. Daerah yang tergenang memiliki nilai sosial, ekonomi dan politik yang tinggi dan
strategis
3. Daerah dengan kepadatan lalulintas tinggi.
4. Penanganan harus seimbang terhadap besar investasi yang akan dilindungi.

16
BAB III
SISTEM DRAINASE MAKRO TUKAD MATI

3.1 Sistem Drainase Makro


Sistem drainase dan pengendalian banjir yang direncanakan tidak hanya sebatas
kawasan studi, karena sungai dan saluran umumnya berfungsi dengan cakupan daerah yang
luas. Oleh karena itu sistem jaringan drainase makro harus dikaji lebih mendalam untuk
mendapatkan perencanaan yang menyeluruh pada sistem drainase.
a. Sistem Pembuangan Utama
Sistem pembuangan utama Tukad Mati merupakan gabungan antara sungai – sungai
alamiah seperti ; Tukad Mati, Tukad Teba, Tukad Muding, Pangkung, dan bekas saluran
irigasi . Beberapa saluran irigasi berasal dari bendung Kapal pada Tukad Yeh Penet
yang merupakan bagian dari sistem Tukad Sungi yang bermuara di Tanah Lot. Pada
beberapa tempat, jaringan irigasi tersebut keluar dari sistem Tukad Mati melalui sungai
– sungai kecil yang bermuara di Pantai Petitenget sampai dengan Seminyak.
Berdasarkan hubungan – hubungan tersebut, maka analisa hidrologi Tukad Mati harus
mempertimbangkan hidrologi Tukad Yeh Penet dan sungai – sungai kecil yang bermuara
di Pantai Petitenget sampai dengan Seminyak. Tinjauan mengenai sistem Sungai / Tukad
Mati memerlukan uraian yang terdiri dari Tukad Mati dalam konteks sungai alamiahnya,
ditambah dengan saluran irigasi dari Bendung Kapal yang secara drastic meningkatkan
coverage dari daerah tangkapa Airnya.
Dalam konteks sistem Sungai / Tukad Mati sebagai bagian dari sitem irigasi ben dung
Kapal, terdapat beberapa bendung tetap dan pintu pengambilan yang dimulai dari
bendung Kapal tersebut di atas, selanjutnya diikuti dengan pintu air dekat Pura
Dalem Penarungan, bangunan bagi Lukluk, bendung Sempidi, bangunan bagi
Kerobokan, dan terakhi bendung Dedes, setelah pertemuan dengan Tukad Mati
alamiahnya.
Pada sistem Tukad Mati secara alamiah, terdapat bendung Lange (monang maning),
Bendung Tegeh, bendung Dadas, Bendung Uma duwi, dan bendung Ulun Tanjung.
Diantara bendung – bendung tersebut, bendung Kapal merupakan bendung yang paling
berpengaruh pada sistem Tukad Mati yang secara drastic meningkatkan luas daerah
tangkapan air sampai dengan hulu sungai Tukad Yeh Penet.

17
b. Karakteristik Fluvial Sistem Tukad Mati
Kemiringan rata – rata daerah pengaliran sebesar 1 %. Besaran ini diturunkan dari
elevasi daerah hulu yyang berada pada ketinggian kurang lebih 120 m diatas permukaan
laut dan panjang pengaliran terbesar yang mencapai kurang lebih 10 km dari muara
sungai. Lebar sungai berkisar 5 m di bagian hulu dan 15 m di daerah hilir.
c. Daerah Tangkapan air ( Cathment Area )
Berdasarkan uraian diatas, luas daerah tangkapan air ( catchment Area ) dari system
Sungai / Tukad Mati memerlukan uraian yang terdiri dari Tukad Mati dalam kon teks
sungai secara alamiahnya, ditambah dengan salurn irigasi dari bendung Kapal dan saluran
irigasi Mambal yang secara drastic meningkatkan coverage dari daerah tangkapan air.
Secara alamiah, sistem sungai / tukad Mati mempunyai daerah tangkapan air sekitar
47 km2 yang membentang dari daerah Lukluk sampai dengan muara sungai di Teluk
Benoa yang berdekatan dengan Tukad Badung.
Dalam hubungannya dengan saluran irigasi bendung Kapal, daerah tangkapan air
Tukad Mati harus ditambah dengan sepertiga daerah tangkapan air Tukad Yeh Penet
yang besarnya sekitar 51 km2 yang memanjang dari daerah sedikit di bawah Danau
Beratan sampai dengan Bendung Kapal. Penerapan dalam perhitungan, sepertiga aliran
Tukad Yeh Penet sampai di Bendung Kapal masuk ke dalam perhitungan analisa debit
banjir Tukad Mati.
Dengan adanya bendung Kapal tersebut, terminology sistem Tukad Mati dapat di bagi
menjadi 2 bagian (DPU, 2008) ;
 Tukad Mati Atas ( Upper Tukad Mati ) merupakan sistem Tukad Yeh Penet sampai
dengan jaringan irigasi bendung Kapal, dan untuk mempermudah pembahasan,
setiap terminology Tukad Yeh Penet mewakili terminology Tukad Mati Atas yang
dihitung dari daerah Danau Beratan sampai dengan Bendung Kapal.

 Tukad Mati Bawah ( Lower Tukad Mati ) merupakan sistem Tukad Mati dalam
konteks alamiahnya ditambah jaringan irigasi bendung Kapal dan saluran
irigasi Mambal.

18
d. Lembah Sungai
Lembah sungai / Tukad Mati mempunyai profil penampang yang secara garis besar
cukup lebar dan dalam pada bagian hulu sampai dengan pertengahan panjang sungai dan
menyempit atau relatif datar pada pertengahan panjang berikutnya sampai dengan muara
sungai. Daerah lembah banjir ( flood plain ) mengikuti pola penampang lembah sungai
yaitu cukup dalam dan luas di bagian hulu dan menyempit pada bagian hilir.
Berdasarkan kondisi lembah sungai dan daerah floodplain tersebut, dapat dikatakan
bahwa Tukad Mati mempunyai kapasitas yang besar di bagian hulu dan mengecil pada
bagian hilir.
e. Penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Tukad Mati
Penggunaan lahan di daerah tangkapan air Tukad Mati meliputi persawahan dan
permukiman pedesaan di derah hulu, dan penggunaan lahan lingkungan perkotaan di
daerah hilir. Penggunaan lahan di daerah tangkapan air dari hulu sampai Jl. Gatot Subroto

19
masih mempunyai koefisien bangunan yang ideal untuk memberikan efek peredam
koefisien run-off yang baik. Dimulai dari daerah sekitar Jalan Gunung Agung, kondisi
ideal ini semakin menurun, dan bahkan pada beberapa tempat, bantaran sungai sudah
dipadati pemukiman dan berbagai penggunaan lahan lainnya.
f. Hidrometri
Pencatatan tinggi muka air pada sungai – sungai yang berpengaruh di daerah studi
terdokumentasi dengan baik pada bendung Kapal, tetapi pada bagian aliran sesudahnya
atau pad bagian aliran Tukad Mati bawah tidak sebaik dokumentasi pada Bendung Kapal
tersebut, bahkan pada bangunan bagi di Sempidi, pencatatan tinggi muka air ( meter duga
tinggi air ) yang ada sudah hilang.

3.2 Permasalahan Pada Sistem Drainase Tukad Mati


Berdasarkan pengamatan di lapangan dan peta dasar, terdapat beberapa permasalahan
pada system drainase Tukad Mati.
a. Kurangnya Sistem Pengendali Banjir
 Intake Bendung Kapal – Tukad Yeh Penet
Pengambilan air Tukad Yeh Penet pada intake bendung Kapal dilakukan secara bebas
yang mempunyai potensi banjir besar kalau tidak dilengkapi dengan sistem pengendali
banjir. Bangunan pengendali banjir masih dimungkinkan dibuat dekat sungai Tukad Yeh
Penet yang berlokasi dibawah Pura Dalem Penarungan.
 Pengoperasian Pintu pada Intake Mambal
Suplesi aliran menuju Tukad Mati berasal dari debit aliran Tukad Ayung melalui Intake
Bendung mambal. Berdasarkan informasi pengamat debit aliran intake Mambal berkisar
8 m3/dt. Besar aliran yang cukup signifikan dari intake Mambal sangat diperlukan
pengoperasian dan perawatan pintu.
Disamping itu Tukad Mati menerima beban limpasan air dari pembuangan irigasi
Penarungan – Kapal dan beberapa saluran pembuangan irigasi yang ada di Kota
Denpasar.

20
Gambar 3.1 Skema Aliran Sistem Drainase Makro

21
 Saluran Irigasi Kerobokan
Bangunan bagi yang terdapat di pinggir Jl. Raya kerobokan menuju saluran irigasi yang
berada di sebelah timur jalan Raya Kerobokan meluap ke jalan pada saat musim hujan.
Saluran irigasi ini sebagai saluran pembawa air sehingga perlu dibuatkan bangunan
pengelak dengan maksud saluran menuju ke Basangkasa dalam keadaan kosong
sehingga beban aliran menjadi berkurang.

b. Kapasitas Profil Penampang Sungai Sangat Terbatas


 Profil Penampang DAS Alamiah Hulu – Jl. Gatot Subroto
Dimensi penampang sungai DAS alamiah bagian hulu sampai Jl. Gatot Subroto cukup
lebar dan dalam. Kondisi dimensi penampang yang ada belum dimanfaatkan maksimal
sebagai penampung sementara dan saat ini aliran Tukad Mati langsung meluncur ke
bagian hilir. Kondisi pengaliran ini memberikan waktu konsentrasi yang relatif singkat
untuk mencapai puncak banjir dan banjir yang terjadi sangat riskan mengingat
penampang bagian hilir relatip sempit.
 Profil Penampang DAS Alamiah Jl. Gunung Agung ke hilir
Dimensi penampang sungai Tukad mati di bagian hilir dimulai dari Jl. Gunung Agung
relatip sempit dan datar. Menyempitnya sungai Tukad Mati di bagian hilir sangat
berpotensi terjadinya banjir. Perlindungan kawasan Kuta bagian hilir perlu mendapatkan
penanganan secara menyeluruh dan sinergi dengan penanganan drainase mikro.
Keberhasilan penanganan drainase mikro sangat tergantung dari penanganan dan
pengendalian banjir Tukad Mati.
 Penyempitan Alur
Penyempitan alur sungai Tukad Mati di kawasan Kuta terdapat di beberapa titik yakni
alur sungai di Jembatan Nakula dan Jembatan Patih Jelantik. Terjadinya aliran botle
neck pada bagian penyempitan alur Tukad Mati. Penyempurnaan dengan melakukan
pelebaran penampang sangat diperlukan untuk meminimalkan perubahan tipe aliran
sepanjang Tukad Mati.

c. Kecendrungan pertumbuhan perkotaan kearah hulu


 Hulu Das Tukad Mati

22
Penggunaan lahan di bagian hulu Daerah tangkapan air Tukad Mati meliputi persawahan
dan permukiman pedesaan. Perkembangan saat ini di wilayah sudah muncul
pembangunan perumahan / real-estate di beberapa tempat yang ada di wilayah Kapal,
Penarungan dan Sempidi. Apalagi pusat pemerintahan Badung berada di wilayah
Sempidi dan memerlukan lahan yang tidak sedikit untuk prasarana pendukung yang
lainnya. Pertumbuhan perkotaan kearah hulu harus dikendalikan melalui pengaturan tata
guna lahan lintas Kabupaten.
 DAS Tukad Mati Wilayah Kota Denpasar
Pertumbuhan pembangunan perumahan sangat cepat di wilayah Kecamatan Denpasar
Utara, Kecamatan Depasar Barat yang merupakan wilayah pelayanan Sistem Drainase
III Kota Denpasar. Pembuangan utama sistem III adalah Tukad Mati. Perubahan tata
guna lahan yang terjadi di wilayah ini menyebabkan meningkatnya koefisien limpasan
dan menyempitnya daerah resapan.
 Hilir (wilayah Kuta)
Kawasan Kuta merupakan bagian hilir dari daerah tangkapan air Tukad Mati. Pengaliran
saluran drainase pada sub sistem sangat tergantung dari tinggi muka air pada saluran
pembuangan Tukad Mati. Sedangkan dimensi penampang Tukad Mati sangat terbatas
dalam artian tidak mampu mengalirkan debit banjir rencana sesuai standar yang
ditetapkan.

d. Sempadan Sungai
Batas – batas sempadan sungai sepanjang alur Sungai Tukad Mati belum jelas terlihat
di lapangan. Penerapan sempadan sungai sangat penting untuk kegiatan pemeliharaan
sungai seperti ; pengerukan dasar sungai, perbaikan dan pengaturan sungai (tanggul dan
perkuatan tebing).

e. Kurangnya Pencatatan Tinggi Muka Air


Pencatatan tinggi muka air yang terdapat di Bendung-bendung belum mendapatkan
perhatian yang baik dan kondisinya kurang terawat. Peil pencatatan tinggi muka air bisa
ditempatkan pada pilar-pilar jembatan yang strategis. Pencatatan tinggi muka air Sungai
Tukad Mati sangat berguna sebagai informasi besar debit banjir yang pernah terjadi dan
sangat penting untuk perencanaan selanjutnya.

23
f. Muara Sungai
Aliran sungai Tukad Mati pada muara sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Pada saat pasang air laut pengaliran di bagian hilir terjadi pembendungan yang
mempengaruhi laju aliran sungai.

24
BAB IV
RENCANA SISTEM PENGENDALIAN BANJIR TUKAD MATI

4.1 Umum
Penanganan banjir di kawasan Kuta meliputi penanganan banjir sistem drainase makro
dan sistem drainase mikro. Penananganan banjir makro merupakan lingkup daerah
tangkapan air (cathment area) Sungai Tukad Mati dan area pembuangan irigasi Penarungan
– Kapal yang terletak di bagian upstream Tukad Mati. Pembuangan irigasi Penarungan –
Kapal memberikan luasan daerah tangkapan yang cukup besar dan mempengaruhi beban
aliran permukaan menuju Tukad Mati.

4.2 Rencana Penanganan Sistem Drainase Makro


a. Rencana Saluran Diversi (Divertion Channel) I
Rencana penempatan saluran diversi I ini dekat Sungai Tukad Yeh Penet di bawah
Pura Dalem Penarungan. Alternatif penggunaan sistem ini adalah untuk mengantisipasi
kekurangan dari pengambilan bebas (tidak ada pintu) yang ada pada Bendung kapal dan
mengurangi beban limpasan /pembuangan air irgasi Penarungan – Kapal menuju Tukad
Mati. Daerah tangkapan Tukad mati diluar DAS alamiah berupa pembuangan irigasi
sebesar 19,50 km2 dan luasannya setara dengan setengah dari DAS alamiah. Sistem
pengendalian banjir ini dilengkapi dengan pintu dan bangunan pelimpah samping (side
spillway).
b. Pengoperasian Intake Mambal
Pengoperasian pintu pada Bendung Mambal disesuaikan dengan kebutuhan irigasi
pada daerah pelayanan. Pengopersian intake ini sangat penting dilakukan apalagi pada
saat terjadi debit banjir dan harus dilakukan penutupan pintu agar debit aliran Sungai
Tukad Ayung tidak membebani Tukad Mati. Pada Kondisi ini Tukad Mati murni berfungsi
sebagai pembuangan utama drainase.
c. Long Storage Sebelah Hulu Jl. Gunung Agung
Alur Sungai Tukad Mati yang memungkinkan bisa dimanfaatkan sebagai long storage
adalah alur Tukad mati dari Sempidi sampai Jl. Gatot Subroto. Kapasitas penampang
Tukad Mati sepanjang alur ini belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai penampung
air sementara dan saat ini aliran air langsung meluncur ke hilir.

25
Berdasarkan hasil analisis hidrograf banjir Tukad Mati diperoleh debit banjir dengan
periode ulang 5 tahunan (Q5) sebesar 165 m3/dt dengan waktu kosentrasi 1,5 – 2 jaman.
Dari hasil ini didapat gambaran bahwa Sungai Tukad Mati mempunyai kapasitas yang
sangat terbatas mulaui dari titik kontrol sebelah hilir Bendung Lange sampai ke hilir.
Pertimbangan penggunaan alternatip Long Storage ini adalah sebagai berikut :
 Mengoptimalkan Kapasitas Profil Penampang
Profil penampang Tukad Mati mulai dari Sempidi sampai Jl. Gatot Subroto
mempunyai lebar (6 – 12) m dan tinggi tebing (3 – 7) m. Kapasitas penampang cukup
mampu menampung beban aliran permukaan yang sifatnya sementara dan untuk
mengoptimalkan fungsi profil penampang Tukad mati sebagai penampung sementara
maka dibuatkan alternatif pengendalian banjir dengan Long Storage. Rencana Long
Storage pada alur ini harus melalui tahapan – tahapan kegiatan seperti ; kajian pola
aliran, aspek sosial dan lingkungan sebelum pelaksanaan DED.

26
 Memperpanjang Waktu Konsentrasi
Penerapan Long Storage pada alur Tukad Mati Hulu sangat membantu sistem
pengaliran drainase Kawasan Studi. Dengan Long Storage ini air limpasan permukaan
di DAS Tukad Mati bagian hulu ditampung sementara dan pada proses penampungan
akan memerlukan waktu konsentasi untuk mencapai debit rencana. Pada Long Storage
ini dilengkapi sistem pintu otomatis di beberapa titik sebagai alat kontrol dalam
pengendalian banjir pada sub DAS ini. Dengan penerapan Long Storage pada alur
Sungai bagian hulu didapatkan waktu konsentrasi banjir bagian hilir menjadi lama dan
berdasarkan karakteristik tinggi hujan di wilayah studi, lama hujan lebih besar 2 jaman
intensitas hujan akan semakin menurun dan debit aliran sungai semakin menurun.
 Kapasitas Penampang Tukad Mati Hilir Terbatas
Pofil penampang alur Tukad Mati dari titik kontrol sebelah hilir Bendung Lange
sampai kehilir mempunyai dimensi lebar (10 – 18) m dengan tinggi tanggul (3 – 4 )m.
Kapasitas penampang pada alur Sungai ini sangat terbatas dan tidak memungkinkan
lagi mengadakan pelebaran sesuai debit banjir rencana dalam standar pengendalian
banjir.
d. Rencana Saluran Diversi (Divertion Channel) II
Saluran diversi III ditempatkan mulai dari bangunan bagi pertama yang ada di wilayah
Kerobokan Kelod. Saluran diversi III ini dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan
banjir dan genangan yang terdapat di Jl. Raya Kerobokan dan Basangkasa. Pengalihan
aliran setiap musim hujan pada saluran primer ini dibuang menuju pembuangan utama
terdekat yakni Sungai Tukad Umalas.
e. Normalisasi Alur Sungai Tukad Umalas
Normalisasi alur Sungai Tukad Umalas direncanakan dari titik point Jl. Gunung
Shangiang sampai ke hilir. Normalisasi alur Tukad Umalas ini dilakukan untuk
menampung air limpahan dari saluran diversi II dan III. Pelaksanaan normalisasi sangat
diperlukan untuk mengamankan alur sungai dan mampu menampung debit banjir rencana.
f. Pelebaran Penampang Tukad Mati
Pelebaran penampang alur Tukad Mati pada kawasan Kuta dilakukan pada bagian alur
mengalami penyempitan (botle neck). Pelebaran penampang alur Tukad Mati dilakukan
di Jembatan Nakula.
g. Penerapan Batas – batas Sempadan Sungai

27
Batas – batas sempadan Sungai Tukad Mati dari hulu sampai Jl. Sunset Road belum
jelas. Batas – batas sempadan sungai sangat penting untuk mendapatkan akses menuju
Tukad Mati apabila nantinya ada perbaikan maupun pemeliharaan sungai. Jalan yang ada
di kiri kanan sungai Tukad Mati yang ada di sebelah Timur Legian sangat bagus untuk
akses menuju pemukiman penduduk dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perbaikan
dan pemeliharaan sungai.
h. Pengembangan SDA secara terintegrasi dan berkelanjutan
 Pengendalian Pertumbuhan Perkotaan kearah hulu
Pengendalian pertumbuhan perkotaan kearah hulu sangat diperlukan untuk
mengurangi beban limpasan permukaan menuju Sungai Tukad Mati. Daerah
tangkapan air (DAS) Tukad Mati meliputi daerah yang sebagian merupakan wilayah
Kota Denpasar dan sebagian merupakan wilayah Kabupaten Badung. Penataan
peruntukkan lahan DAS lintas Kabupaten harus terintegrasi dari hulu sampai hilir dan
dilakukan pada tingkat Provinsi. Usaha untuk mengendalikan pertumbuhan perkotaan
kearah hulu merupakan tantangan yang sangat berat dan diperlukan kebijakan yang
strategis untuk mengamankan Kawasan Kuta yang posisinya di bangian hilir.
 Pengembangan dan pemanfaatan SDA
Pemanfaatan sumber daya air (SDA) Sungai Tukad Mati saat ini dimanfaatkan untuk
irigasi dan luas lahan pertanian berkurang secara drastis setiap tahunnya. Pemanfaatan
air sungai Tukad Mati dari Bendung Teges (dekat Jl. Sunset Road) ke hilir hampir
sedikit penggunaannya karena sudah terjadi perubahan peruntukkan lahan dan air
Tukad Mati pada bagian ini terbuang percuma ke hilir.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan pariwisata di Kawasan
Kuta dan Nusa Dua sangat diperlukan penambahan kapasitas sumber air baku. Sistem
penyediaan air baku di waduk estuary dam (tahap I) saat ini baru mencapai 300
Liter/detik dan berdasarkan pengembangan estuary dam tahap II diperlukan
penambahan kapasitas sumber sebesar 600 Liter/detik. Dengan adanya penambahan
kapasitas air baku waduk estuary dam perlu dipikirkan rencana suplesi air dari aliran
Sungai Tukad Mati menuju waduk estuary dam.

28
BAB V
REKOMENDASI

5.1 Simpulan
Dari hasil pembahasan mengenai penanganan sistem drainase makro Tukad Mati
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sungai / Tukad Mati sebagai pembuang utama sistem drainase makro belum
mempunyai sistem pengendali banjir yang terintegrasi dari hulu sampai hilir,
mengingat permasalahan sistem drainase makro yang ada cukup komplek. Kurangnya
sistem pengendali banjir dan terbatasnya kapasitas penampang Sungai / Tukad Mati
harus mendapat prioritas penenganan.
2. Permasalahan sistem drainase makro Tukad Mati saat ini meliputi ; kurangnya
sistem banjir pada sistem Tukad Mati, penggunaan sempadan sungai dan lembah
sungai untuk pemukiman, kecendrungan pertumbuhan daerah perkotaan ke arah hulu
sungai. Mengingat permasalahan saat ini begitu komplek harus mendapatkan
penanganan untuk mempertahankan koefisien run – off yang kecil.
3. Penanganan sistem drainase makro Tukad Mati harus dilakukan secara terpadu dan
menyeluruh. Penanganan sistem drainase makro Tukad Mati meliputi ;
 Penanganan Tukad Mati Atas ( Upper Tukad Mati ) yang merupakan sistem sungai
Tukad Yeh Penet sampai dengan jaringan irigasi Bendung Kapal. Tambahan air dari
sistem ini cukup besar mengingat pengambilan air dari Tukad Yeh Penet sebesar
kurang lebih sepertiga debit aliran sungai. Untuk mengatas debit aliran yang besar
pada saat musim hujan, harus dibangun sodetan dekat Pura Dalem Penarungan.
Disamping itu perlu dilakukan usaha penghijauan Di daerah hulu DAS Tukad Yeh
Penet.
 Penanganan Tukad Mati Bawah ( Lower Tukad Mati ) yang merupakan sistem Tukad
Mati dalam konteks alamiah di tambah jaringan irigasi Bendung Kapal dan irigasi
Mambal. Untuk mengurangi beban aliran yang masuk ke Tukad Mati perlu dibuat
sodetan di sebelah barat perempatan Jl Gunung Agung – Jl Raya Kerobokan. Saluran
yang menerima air buangan irigasi ini harus dilakukan normalisasi.
 Penanganan Tukad Mati Hilir. Normalisasi Tukad Mati dilaksanakan pada
penampang sungai yang mengalami penyempitan atau penampang yang tidak mampu

29
menampung debit banjir rencana. Normalisasi dilakukan pada penampang yang
mengalami penyempitan seperti ; jembatan Jl. Nakula di Kelurahan Legian, dan di
beberapa tempat mulai dari dari jembatan Patih Jelantik sampai hilir.
4. Penggunaan sempadan sungai dan lembah banjir untuk permukiman berakar pada
kurangnya kesadaran hukum masyarakat yang belum mengetahui adanya larangan
untuk bertempat tinggal di daerah sempadan sungai. Disamping itu peraturan –
peraturan yang ada belum dilengkapi dengan peraturan – peraturan yang lebih rinci
untuk memudahkan pemahaman oleh masyarakat. Untuk itu sangat diperlukan
pengawasan oleh instansi terkait mengenai perlindungan sempadan sungai.
5. Pengawasan penggunaan lahan di daerah tangkapan Tukad Mati harus dilakukan secara
konsekuen berdasarkan peraturan yang ada. Pengaturan koefisien bangunan melalui
pemanfaatan lahan yang benar sehingga tercapai kondisi ideal. Penggunaan lahan
tersebut akan memberikan efek peredam koefisien run – off yang baik.

5.2 Saran
Untuk mengatasi permasalahan sistem drainase pada suatu wilayah perencanaan
harus dilakukan penanganan secara menyeluruh yang meliputi ; penanganan sistem
drainase makro dan penanganan sistem drainase mikro.

30
DAFTAR PUSTAKA

BAPPEDA Badung, 2001, “ Laporan Teknis “, Strategic Structural Plan For Kuta, CMPS
Asia Pasific Pty Ltd, PT Hasfarm DK, PT Pedicinal, PT Lenggogeni.

CD Soemarto, 1985, “ Hidrologi Teknik “ , Usaha Nasional, Surabaya


Chow, V.T., 1988, “ Applied Hydrology “ , McGraw – Hill Book Company.
Chow, V.T., 1985,” Open Channel Hydraulics “ , Erlangga, Jakarta.
Imam Subarkah, 1980, “ Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air “ , Idea
Dharma,Bandung.
Linsley, R.K., Kohler, M.A , Paulhus, J.L.H. , Yandi Hermawan, 1986 , “ Hidrologi Untuk
Insinyur “ , Erlangga, Jakarta.

Sri Harto Br. , 1993, “ Analisis Hidrologi “ , PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai