Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

DIFTERI
Disusun untuk Memenuhi Salah satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak

Disusun oleh:
1. Amanah Siti Afiyah
2. Delis Delina
3. Feni Fauziah

PRODI D-III KEPERAWATAN


STIKes MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA
2012
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat illahi robbi karena atas
limpahan rahmat dan hidayah_Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Difteri “ tepat pada waktunya.
Penulis dapat menyelesaikan makalah ini berkat bantuan dari berbagai
pihak diantaranya:
1. Ibu Ns. Hani Handayani, S.Kep., sebagai dosen mata kuliah keperawatan
anak
2. Rekan-rekan seangkatan yang telah memberi motivasi kepada kami dalam
menyelesaikan penyusunan makalah ini
Makalah ini jauh dari kesempurnaan baik dalam hal isi maupun
sistematika dan teknik penulisan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi
pembaca. Amin

Tasikmalaya, Oktober 2012

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR--------------------------------------------------------- i

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------- ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang------------------------------------------ 1
B. Rumusan Masalah-------------------------------------- 1
C. Tujuan Penulisan Makalah --------------------------- 1
D. Sistematika Penulisan---------------------------------- 2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian------------------------------------------------ 3
B. Penyebab Difteri---------------------------------------- 3
C. Klasifikasi Difteri--------------------------------------- 3
D. Patogenesis---------------------------------------------- 4
E. Prognosis------------------------------------------------- 5
F. Komplikasi----------------------------------------------- 6
G. Pencegahan---------------------------------------------- 6
H. Gambaran klinik---------------------------------------- 6
I. Pemeriksaan Diagnostik------------------------------- 7
J. Penatalaksanaan----------------------------------------- 7
K. Keperawatan--------------------------------------------- 8
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan --------------------------------------------- 18
B. Saran ----------------------------------------------------- 18
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------- 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Cory nebacterium
diphtheriae. Difteri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukan atas
dasar prinsip-prinsip mikro biologi dan kesehatan masyarakat. Penurunan
utama penyebab kematian anak di barat pada awal abad ke 20 sampai menjadi
kasus medik yang jarang, tanda mata moderen kerapuhan keberhasilan
tersebut menekannkan perlunya pemakaian secara sungguh-sunggguh prinsip-
prinsip pemberantasan yang sama pada zaman ketergantungan vaksin dan satu
masyarakat global.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari difteri?
2. Apa yang menyebabkan seseorang mengalami difteri?
3. Bagaimana tanda dan gejala difteri secara umum?
4. Bagaimana pengklasifikasian difteri?
5. Apa sajakah penatalaksanaan medis ataupun non-medis yang dapat
dilakukan pada penderita difteri ?
6. Bagaimana isi asuhan keperawatan pada gangguan penginderaan difteri?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian dari difteri
2. Untuk mengetahui penyebab seseorang mengalami difteri
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala difteri secara umum
4. Untuk mengetahui pengklasifikasian difteri
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis ataupun non-medis yang dapat
dilakukan pada penderita difteri
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada gangguan penginderaan
difteri

1
D. Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makalah
D. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
B. Penyebab Difteri
C. Klasifikasi Difteri
D. Patogenesis
E. Prognosis
F. Komplikasi
G. Pencegahan
H. Gambaran klinik
I. Pemeriksaan Diagnostik
J. Penatalaksanaan
K. Keperawatan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB II
PEMBAHASAN

DIFTERI
A. Pengertian
Penyakit difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular, dan
yang sering diserang terutama pernafasan bagian atas, dengan khas timbulnya
“pseudomembran”. Kuman juga melepaskan eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal.

B. Penyebab Difteri
Penyebab penyakit difteria adalah kuman Corynebacterium
dhiptheriae,bersifat gram positif dan polimorf, tidak bergerak dan tidak
membentuk spora. Bakteri dapat ditemukan dalam sediaan langsung yang
diambil dari hapusan tenggorokan atau hidung. Basil Difteria akan mati pada
suhu 600 C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu
dalam es, air, susu, dan lendir yang telah mengering.

C. Klasifikasi Difteri
1. Difteria hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%). Mula-
mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian secret yang keluar tercampur
sedikit yang berasal dari pseudomembren. Penyebaran pseudomembran
dapat pula mencapai foring dan laring.
2. Difteria faring dan tonsil (difteria fausial)
Paling sering dijumpai (I 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya
berupa radang pada selaput pada selaput lendir dan tidak membentuk
pseudomembran, dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada
penderita.
Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut
tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu tinggi dapat ditemukan

3
pseudomembran yang mula-mula hanya berapa bercak putih keabu-abuan
yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau dan timbul
pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi
(bull neck)
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi
walaupun belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabkan oleh paresisi
palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar
haemoglobin dan leukositosis, polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit dan kadar albumin, sedangkan pada urin mungkin dapat
ditemukan albuminuria ringan.
3. Diftheria Laring dan trachea
Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil (3 kali
lebih banyak dari pada primer mengenai laring. Gejala gangguan jalan
nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat
dapat timbul sesak nafas hebat. Slanosis dan tampak retraksi suprastemal
serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull
neck. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan sembab, banyak secret
dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan
payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan trake ostomi
sebagai pertolongan pertama.
4. Diftheria Faeraneus
Merupakan keadaan yang sangat jarang sekali terdapat. Tan Eng
Tie (1965) mendapatlan 30% infeksi kulit yang diperiksanya megandung
kuman diphtheria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva, vagina dan
umbilicus.

D. Patogenesis
Kuman hidup dan berkembang biak pada saluran pernapasan bagian
atas, tetapi dapat juga pada vulva, kulit, mata walaupun jarang terjadi. Pada
tempat-tempat tersebut kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan
eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar dari faring,

4
tonsil, laring dan saluran napas atas. Kelenjar getah bening akan membengkak
dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer
sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernapasan. Toksin juga dapat
menimbulkan nekrosik vokal pada hati dan ginjal yang dapat menyebabkan
timbulnya nefritis interstitialis. Kematian pasien difteri pada umumnya
disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan napas akan pseudomembran pada
laring dan trakea, gagal jantung karena terjadi miokarditis, atau gagal napas
akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteri adalah melalui udara, tetapi dapat juga
pelantaraan alat yang terkontaminasi oleh kuman difteri. Penyakit dapat
mengenai bayi tetapi kebanyakan pada anak usia balita, penyakit difteria dapat
berat atu ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan
tubuh anak. Bika ringan , hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan
sembuh sandiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan
tubuhnya baik. Tetapi kebnyakan pasien yang datang berobat sering dalam
keadaan berat seperti telah adanya bullneck atua sudah stridor dan
dipsnea.pasien difteria selalu dirawat di rumah sakit karena mempunyai resiko
terjadi komplikasi seperti miokarditis atau sumbatan jalan mafas.

E. Prognosis
Prognosis penyakit ini bergantung kepada:
1. Umur pasien. Makin muda usia nya makin jelek prognosisnya
2. Perjalanan penyakit. Makin terlambat diketemukan makin buruk
keadaannnya
3. Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan
4. Keadaan umum pasien. Bila keadaan gizi nya buruk, juga buruk
5. Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis
6. Pengobatan. Terlambat pemberian ADS prognosis makin buruk.

5
F. Komplikasi
1. Pada saluran pernafasan: terjadi obstruksi jalan nafas dengan segala
akibatnya, bronkopneumonia, atelektasis.
2. Kardiovaskular: miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang
dibentuk kuman difteria.
3. Kelainan pada ginjal: nefritis
4. Kelainan saraf kira-kira 10% difteria mengalami komplikasi yang
mengenai susunan saraf terutama sistem motorik, dapat berupa:
a. Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia ( suara
sengau ), tersendak / sukar menelan. Dapat terjadi pada minggu 1-2
b. Paralisis/ paresiss otot-otot mata: dapat mengakibatkan strabismus,
gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada
minggu ke 3
c. Paralisis umum: yang dapat terjadi setelah minggu ke 4. Kelainan
dapat mnegenai otot luka leher, anggota gerak yang paling berbahaya
bila mengenai otot pernafasan.

G. Pencegahan
1. Imunisasi
2. Isolasi: pasien difteria harus dirawat dengan isolasi dan baru dapat pulang
setelah pemeriksaan sediaan langsung tidak ditemukan corynebacterium
diphtheriae dua kali berturut-turut
3. Pencarian seorang karier difteria dengan dilakukan uji shick.bila diambil
hapusan tenggorok dan ditemukan C.Dhiptheriae pasien diobati. Bila perlu
dilakukan tomsilektomi ( ini ideal, sekarang belum dapat dilaksanakan ).

H. Gambaran klinik
Masa tunas: 2-7 hari. Gejala umum: terdapat demam tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, nyeri kepala, dan anorexia, sehingga pasien tampak lemah. Gejala
lokal: nyeri menelan, bengkak pada leher, karena pembengkaka pada kelenjar
regional: sesak nafas, serak sampai stridor jika penyakit telah pada stadium

6
lanjut. Gejala akibat eksotoksin tergantung bagian yang terkena misalnya
mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila menganai saraf terjadi
kelumpuhan.
Bila difteria mengenai hidung ( hanya 2% dari jumlah pasien difteria )
gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang
berasal dar psedo membran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas
ke bagian tenggorokan pada tonsil, faring dan laring.

I. Pemeriksaan Diagnostik
Labolatorium pada pemeriksaan darah terdapat penurun kadar hb dan
leukositosis poli morfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
Pada urin terdapat albuminuria ringan.

J. Penatalaksanaan
Medik
a. Pengobatan umum, dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan
EKG yang dilakukan pada permulaan dirawat, 1 minggu kemudian dan
minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2x berturut-turut normal.
b. Pengobatan spesifik
 Antidiphtheriae serum (ADS), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-
turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata. Bila
ternyata pasien peka terhadap serum tersebut harus dilakukan
desensitisasi dengan cara Besredka.
 Antibiotik. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta
diberikan penisilin prokain 50.000 U/kg BB/hari sampai 3 hari bebas
demam.Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan
kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
 Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis
yang sangat membahayakan, dengan memberikan prednison 2
mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan napas
yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada

7
pasien difteria terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat
diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10
hari.

K. Keperawatan
Pasien difteria harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas
harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap
pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai
malam). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai gaun tersebut untuk
mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci
tangan: desinfektan, sabun, lap atau handuk yang selalu kering (bila ada tisue),
air bersih jika tidak ada kran. Juga tempat untuk merendam alat makan yang
diisi dengan desinfektan.
Masalah yang perlu diperhatikan adalah risiko terjadi komplikasi
obstruksi jalan napas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan
saraf pusat, gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman sdan nyaman,
risiko terjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orangtua
mengenai penyakit, dan jika pasien perlu dilakukan trakeostomi/perawatan
trakeostomi.
1. Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, atau
pneumonia
Pasien difteria walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di
rumah sakit karena pontensial terjadi komplikasi yang membahayakan
jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotoksin yang
dikeluarkan oleh basil difteria tersebut. Oleh karena itu, pasien
memerlukan pengawasan yang cermat dan pengobatan yang tepat serta
bila perlu tindakan yang cepat seperti jika terjadi sumbatan jalan napas
harus dilakukan trakeostomi.
Pada umumnya komplikasi terjadi jika pasien terlambat datang
berobat; dan yang sering dijumpai dan berbahaya ialah sumbatan jalan
napas dan miokarditis, yang dapat terjadi sewaktu-waktu.

8
Sumbatan jalan napas.kelaina ini terjadi karena adanya edema
pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran. Gejala sumbatan
adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak
napas hebat, sianosis, tampak retraksi otot pernapasan suprasternal dan
epigastrium. Jika kedengaran stridor, segera berikan O2, baringkan
setengah duduk, dan hubungi dokter. Pasang infus (bila belum dipasang);
hubungi orang tuanya beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat
terjadi.
Miokarditis, Eksotoksin yang dikeluarkan oleh baksil difteri jika
diserap olej otot jantung akan menyebabkan miokarditis yang biasanya
kelainan ini timbul pada minggu ke dua dan ke tiga. Dapat juga timbul
pada minggu pertama apabila basil difteri sangat ganas. Karenanya pasien
difteri perlu observasi yang cermat agar bila timbul kelainan yang
mengarah ke miokarditis dapat segera di tangani.
Bila tidak ada alat EKG pemantauan nadi sangat penting dan harus
dilakukkan setiap jam dan dicacat secara teratur bila terdapat perubahan
nadi makin menurun (bradikardi) harus segera menghubungi dokter.
Pemeriksaan EKG sebaiknya dilakukan seminggu sekali selama pasien
dalam perawatan, namun perlu dilakukan setiap hari bila terdapat kelainan
yang berat. Selain pengawasan TTV dan KU pasien pasien tidak boleh
banyak bergerak tetapi sikap berbaringnya harus sering di ubah misalnya
setiap 3 jam untuk mencegah terjadinya bronkopneumonia, jaga kulit pada
bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi dekubitus
Komplikasi yang mengenai saraf. Komplikasi yang mengenai saraf
dapat terjadi pada minggu pertama dan kedua, jika mengenai saraf palatum
mole (saraf nelan) dengan gejala bila pasien minum atau menetak akan
keluar melalui hidungnya. Jika demikian memberikan minum harus hati-
hati pasien harus didudukkan. Nila pasien makan cair harus agak kental
dan sedikit demi sedikit. Komplikasi lainnya dapat mengenai mata dan
muka yang dapat terjadi pada minggu ke tiga pada otot pernafasan dan
serta otot lainnya pada minggu ke empat. Oleh karena itu selama

9
perawatan pasien perlu diperhatikan perubahan yang terjadi. Kelainan
pada saraf pernafasan dapat menyebabkan gangguan pernapasan berupa
apnea mendadak bila hal ini terjadi lakukan nafas buatan.
Komplikasi pada ginjal. Selama pasien difteria dalam perawatan keadaan
urin selain harus dipehatikan warnanya juga banyaknya apakah norma atau
tidak.
2. Gangguan Masukan Nutrisi
Gangguan masukan pada pasien difteria disebabkan sakit menelan
dan adanya anorexsia. Jika anak masih bisa menelan bujuklah ia agar mau
makan sedikit-sedikit dan berikan makanan cair atau bubur encer jika anak
tidak mau makan sama sekali atau dalam keadaan sesak nafas perlu
dipasang infus. Selama 2-3 hari sesak nafas telah berkurang sebelum infus
dihentikan coba makan peroral dan apabila anak telah mau makan infus
dihentikan. Berikan minum yang sering untuk memeliha kebersihan mulut
dan membantu eliminasi.
3. Gangguan Rasa aman dan nyaman
Gangguan rasa aman dan nyaman timbul karena adanya nyeri
telan, tak enak badan, demam, sakit kepala karena dirawat di rumah sakit,
yang suasananya asing bagi pasien. Anak yang sudah mengerti akan
merasaan gangguan rasa aman dan nyaman dengan melihat perlengkapan
ruangan isolasi dan terpisahnya ia dengan pasien-pasien lain. Apabila ia
melihat para petugas memakai masker dan baju khusus tentu anak merasa
takut.
Gangguan rasa nyaman akan bertambah bila pasien mendapat
pengobatan ADS karena harus dilakukan uji kepekaan dahulu apalagi bila
dilakukan bedreka. Pengambilan hapusan tenggorokan, pembuatan EKG
dan pemeriksaan darah menyebabkan gangguan rasa aman nyaman juga.
Biasanya orang tua diijinkan menunggui anaknya agar merasa
aman dan dapat duiminta bantu mengawasi anaknya dengan petunjuk dari
perwat. Perawat tetap harus mengadakan pendekatan dan sering
mengobservasi pasien sesuai program perawattan. Komunikasi verbal dan

10
sering mengunjungi pasien disertai sikap ramah akan mengurangi
gangguan rasa aman nyaman.
4. Resiko efek samping pengobatan
Penisislin, ADS ( anti difteri serum ) penting untuk pengobatan
pasien difteria, tetapi dapat menimbulkan bahaya bila pasien tidak tahan
dan akan timbul reaksi anafilaktik.
Pemberian ADS sangat penting karena ditunjukan untuk
menangkap toksin difteria yang masih beredar di dalam darah, maka obat
ini paling utama diberikan. Reaksi analfilatik dapat ringan hanya seperti
urtikaria saja, tetapi jika berat akan terjadi syok bahkan kematian. Gejala
syok mula-mula pasien sering menguap, ada rasa haus, keringat dingin,
pucat, nadi kecil dan kesadaran menurun. Keadaan ini jika tidak ditolong
akan fatal. Oleh karena itu, pemberian ADS harus selalu dilakukan uji
kulit dan mata terlebih dahulu. Caranya ialah ambil 0,1 ml ADS ditambah
0,9 NaCl disuntikan IC ( seperti mantoux ) tunggu 15 menit. Dinyatakan
positif apabila mata merah dan bengkak meneteskan serum dan
penyuntikan waktunya hampir bersamaan, maka penilaian pun waktunya
sama.
Bila uji kuit dan mata hasilnya positif, ADS harus diberikan secraa
besredka. Caranya : ambil 0,1ml ADS tambah !ml NaCl 0,9% suntikan
secara subkutan dan tunggu setengah jam. Yang terakhir sisa serum
disuntikan secara IM. Pemberian serum secara besredka ini dapat bertahan
sampai 2-3minggu maka untuk pemberian ADS berikutnya tidak usah uji
resistensi dahulu. Pasien yang mendapat suntikan ADS perlu observasi
selama 2jam sesudah pemberian dan harus selalu disediakan adrenalin
ampul dan antihistamin lainnya untuk persediaan bila sewaktu-waktu
diperlukan. Karena walau sudah dilakukan uji resistensi dahulu tetapi ada
kalanya reaksi anafilaktik masih mungkin dapat terjadi.

11
5. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
Tersebarnya posyandu di seluruh indonesia membawa kemajuan
program imunisasi sampai di pelosok-pelosok. Tetapi kenyataan masih ada
saja pasien difteria yang ditemukan walau yang berat sudah jarang.
Penyebabnya dapat karena memang anak belumpernah mendapat DPT:
tetapi ada juga yang sudah mendapat tetapi tidak lengkap, misalnya aanak
hanya mendapat suntikan 1-2 kali itupun jaraknya lebih dari satu bulan
dan tidak pernah datang lagi untuk mengambil ulangan. Jika ditanya
apakah anaknya sudah mendapatkan imunisasi jawabnya sudah. Tetapi
mereka sering tidak mengertti bahwa imunisasi ini harus diambil sebagai
dasar 3 kali berturut-turut dan selanjutnya ulangan-ulangan sampai anak
umur 10 tahun, imunisasi yang hanya satu kali atau sudah lengkap
dasarnya tetapi tidak pernah mengambil ulangannya anak masi dapat
terkena difteria juga. Sebagai contoh ( pernah dirawat) seorang anak
dirawat dengan difteria ditambah miokaarditis pada usia3th.menurut
pengakuan ibunya anak sudah pernah dapat DPT tetapi hanya 1 kali ketika
masih bayi, dan tidak diteruskan karena katanya kasihananaknya menjadi
sakit kasus lain, seorang anak berumur 8 th juga dirawat dengan difteria +
miokarditis. Mnurut orang tuanya ketika bayii sudah dapat imunisasi
lengkap sampai 3 kali, tetapi tidak pernah diulang karena katanya tidak
mengetahui kalau harus diulang. Dari pengalamman tersebut dapat diambil
pelajaran bahwa apabilaDPT tidak lengkap atau tidak diulang anak masih
ada kemungkinan menderuta difteria dengan miokarditis walaupun ringan.
Orang tua perlu diberi tahukan bahhwa jika di RS masih ada anak
lain yang belum pernah mendapat DPT atau sudah lama tidak diulang agar
anak tersebut dibawa ke pekayanan kesehatan untuk mendapatkan DPT
( karena adanya kontak difteria. ) sedang pada pasien sendiri sebelum
pulang diberikna imunisasi DPT1, bulan berikutnya harus datang untuk
mengambil DPT yang ke2, satu bulan lagi DPT yang ke 3 karen a
pemberian ADS selama sakit tidak menimbulkan kekebalan, jadi pasien
masih mungkin mendapatkan difteria kembali.

12
Selain penyuluhan tentang imunisasi, selama anak dirawat orang
tua perlu diberikan penjelsan mengapa anaknya harus istirahat mutlak
sampai 3 minggu. Oleh karena itu, bila melihat anaknya menangis tidak
boleh digendong, tetapi bujuklah dengan kata-kata yang lembut sambil
diusap-usap.
6. Bila pasien perlu dilakukan trakeostomi
Trakeostomi dilakukan jika pasien mengalami sumbatan jalan
nafas yang berat dengan gejala stridor inspirator., gelisah, dipsnea,
sianosis, dan terdapat reaksi otot pernafasan. Sumbatan jalan nafas sering
terjadi pada pasien difteria laring dan trakhea yang biasanya sudah disertai
dengan bullneck harus selalu waspada, bila terdengar stridor pasien
dibaringkan setengah duduk, berikan O2 sampai 2 liter. Dan segera lapor
dokter. Sementara itu dibicarakan dengan orangtuanya kemungkinan
tindakan dokter. Jika keputusan dokter harus trakheostomi mintalah izin
operasi dan jelaskan bahwa tindakan ini adalah pertolongan yang paling
mungkin untukmenolong anaknya. Jika pasien belum dipasang infus
sebelum kekamar bedah harus dipasang dahulu. Jika pasien telah kembali
dari kamar operasi, peranan perawatan akan menentukan keberhasilan
tindakan trakheostomy tersebut, karena apabila tindakan keperawatannnya
tidak baik misalnya pengisapan lendir tidak efektif atau kurang
memperhatikan sterilitas akibatnya pernafasan pasien akan tetap tidak
lancar dan komplikasi dapat terjadi. Pengisapan lendir pada hari pertama
pada pasca operasi sangat penting disamping pengawasan umum pasien
(TTV).
a. Perawatan psikologik
Anak yang trakheostomi tidak dapat mengeluarkan suara/ berbicara
karena udara tidak melewati pita suara. Pada pasien dijelaskan bahwa
pasien akan dapat bersuara lagi apabila pipa yang dilehernya telah
dicabut. Jika trakheostomy dilkaukan pada anak usia sekolah, dan
keadaan anak sudah membaik sediakan pulpen, jelaskan pada anak jika

13
menginginkan sesuatu segera tulis, sediakan bel di dekat tempat tidur
pasien agar jika ia menginginkan sesuatu ia bisa membunyikannya.
b. Perawatn trakheostomi
Pengisapan lendir harus dilakukan terutama hari pertama operasi
karena biasanya masih banyak darah dan lendir. Jika hal ini tidak
dilaksanakna dengan benar pasien akan mengalami kesukaran
bernafas. Pada hari pertama operasi ini mungkin anak akan terbatuk-
batuk dan gelisah karena adanya trakhea kanul tersebut, maka bila
perlu pasien diikat tangannya dengan tempat tidur agar tidak berusaha
mencabut kanulnya.
Lobang kanul harus ditutup dengan kasa steril yang dibasahu dengan
aquadest atau air garam fisiologis untuk memberikan kelembaban. Bila
pasien dipasangO2 juga harus melalui pelembab dan kateter harus sering
dibersihkan karena sering tertutup oleh sekret atau darah
Teknik pengisapan lendir dan yang perlu diperhatikan adalah:
1. Harus bekerja secara aseptik. Untuk satu pasien disediakan paling
tidak 2 kateter steril. Katetetr yang digunakan untuk mengisap hidung
tidak boleh untuk mengisap kanul trakea.
2. Kateter yang sudah digunakan menghisap selanjutnya dibilas, dicabut
dan direndam kecairan desinfektan ( jangan menggunakan lisol karena
baunya merangsang, dapat menyebabkan batuk-batuk. Kalau tidak ada
desinfektan lain setelah direndam lisol harus dicuci bersih untuk
menghilangkan baunya ).
3. Diameter kateter harus lebih kecil daripada lobang kanul ( kira-kira 2/3
nya) karena jika lebih atau kekecilan tidak efektif untuk mengisap
lendir
4. Waktu memasukan kateter harus dalam keadaan hampa udara .
caranya: bila kateter mempunyai pangkal yang berbentuk huruf V atau
sebuah pipa yang yang mempunyai dua lobang, lobang yang tidak
dihubungkan dengan katetetr ditutup dengan ibu jari ketika kateter
dimasukan ke dalam trakhea kanul. Jika hanya menggunakan kateter

14
biasa harus dilipat (tekuk), dipegang dengan tangan kiri dan tangan
kanan memasukannya kedalam kanul ( karena bila tidak hampa udara
kateter akan susah masuknya sampai didalam kateter akan menempel
pada dinding kanula). Panjang kateter yang masuk sampai pada ujung
kanula kira2 5-7cm.
5. Lama mengisap lendir hanya sekitar 10-15 detik kemudian dicabut
dahulu untuk memberikan pasien bernafas. Diulang lagi sampai lendir
habis. Jika sekret kental, teteskan dahulu 1-2 tetes air garam fisiologis,
biarkan sebentar baru kemudian dihisap.
6. Waktu memasukan kateter harus hati-hati dan cara menghisap tidak
boleh maju mundur, tetapi memutar. Catat sekret yang keluar apakah
kentel ataukah berdarah atau biasa banyaknya, juga jam-jam dilakukan
pengisapan dengan memberikan tanda (ceklis) pada catatan perawatan
khusus yang tersedia.
7. Pengisapan lendir dilakukan sewaktu-waktu apabila pasien terlihat
gelisah dan terbatuk-batuk, lendir terlihat banyak pada lubang kanula
atau jika pasien diberi minum atau makan per sonde akan mengubah
sikap berbaringnya.
8. Jangan lupa sambil berbicara dengan pasien sewaktu mengisap lendir.
9. Sediakan air matang dan desinfektan pada setiap pasien yang
dilakukan pengisapan lendir. Gunanya sebelum kateter dimasukan ke
dalam kanul atau hidung diisapkan dahulu ke dalam air tersebut untuk
mengecek apakah pengisap baik dan juga untuk membasahi kateter
(sebagai pengganti jeli untuk pelicin kateter).
10. Sesudah pengisapan kateter dibilas atau diisapkan pada cairan
desinfektan untuk membilas selang pengisap baru kemudian kateter
dicabut dan direndam ke dalam desinfektan.
11. Air matang harus sering diganti (botol dicuci bersih) botol penampung
diberi tanda sampai seberapa isinya harus dibuang dicuci bersih
dengan desinfektan. Lebih baik ganti botol lain yang telah di
desinfeksi.

15
12. Ubah sikap berbaring pasien setiap 3 jam jangan lupa isap lendir nya
dahulu, usaplah dengan lap bagian tubuh bekas yang tertekan dan
bedaki.
c. Masukan makanan
Selama pasien dipasang kanul trakea, makanan diberikan makanan
cair. Bila pasien mengalami kesukaran makan atau tidak mau makan
lebih baik diberikan melalui sonde. Biasanya setelah 2-3 hari pasien
dapat makan sedikit-sedikit. Memberikannya harus hati-hati karena
pasien sering terbatuk-batuk dan makanan keluar dari lubang kanul.
d. Pencabutan kanul
Bila sesak napas sudah tidak terlihat lagi dianggap pasien telah dapat
bernapas biasa. Tetapi sebelum kanul dicabut dicoba dahulu dengan
menutup kanul dengan kapas, doobservasi beberapa jam. Jika pasien
tidak menjadi sianosis/gelisah kanul dicabut. Selama 24 jam pasien
diobservasi apaka pasien tidak mengalami kesukaran pernapasannya.
Walaupun pasien sudah bernapas biasa tetapi belum boleh dipulangkan
tunggu selama 2-3 hari lagi setelah pencabutan kanul (masih ada
kemungkinan sesak napas kembali)
e. Menghindarkan Komplikasi atau infeksi dan kecelakaan
Untuk menghindari komplikasi yang biasa terjadi sebagai akibat pasien
hanya selalu terlentang ialah bronkopneamonia, maka setelah 24 jam
pertama operasi pasien di ubah berbaringnya miring ke kanan atau kiri
atau terlentang setiap 2 jam. U ntuk menghindarkan infeksi harus
bekerja secara aseptik; Alat-alat yang digunakan harus steril.
Untuk menghindarkan kecelakaan misalnya kanul terlepas, perhatikan
agar tali pengikatnya tetap baik. Dalam 24 jam pertama setelah operasi
walaupun tali pengikat kanul kotor tidak boleh di gnti sendiri (kecuali
ada dokter di dekatnya) kerena jika pasien terbatuk-batuk kanul akan
terloncat keluar sedangkan luka yang dibuat tersebut akan menutup
kembali, pasien akan menjadi sesak nafas lagi. Juga alas kanul jika
kotor tutup saja dengan kasa steril dahulu sampai nanti diganti oleh

16
dokter atau yang telah berpengalaman dan harus dibantu menekan
kanulnya agar tidak terangkat.
Jika kanul menyembul keluar karena sering batuk-batuk dan menonjol
ke luar sepanjang kira-kira2 cm atau lebih, tidak boleh ditekan-tekan
karena bahayanya dapat timbul pendarahan yang dapat menyumbat
jalan nafas atau terjadi aspirasi yang tidak diketahui. Hubungi saja
dokter untuk pembetulan ini. Oleh karena itu, pasien yang di;akukan
trakeostomi terutama 24 jam pertama memerlukan pengawasan yang
cermat.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Cory nebacterium
diphtheriae. Difteri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukan atas
dasar prinsip-prinsip mikro biologi dan kesehatan masyarakat. Penurunan
utama penyebab kematian anak di barat pada awal abad ke 20 sampai menjadi
kasus medik yang jarang, tanda mata moderen kerapuhan keberhasilan
tersebut menekannkan perlunya pemakaian secara sungguh-sunggguh prinsip-
prinsip pemberantasan yang sama pada zaman ketergantungan vaksin dan satu
masyarakat global.

B. Saran
Setelah membaca makalah ini kami harapkan adanya saran dan kritik
yang membangun bagi penyusunan makalah kami, sehingga kami dapat
memperbaiki dan menambahkan kekurangan yang ada dalam makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit.Jakarta:EGC


Arvin, Beherman Kliegman.2007.Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15.Jakarta:EGC

19

Anda mungkin juga menyukai