Anda di halaman 1dari 42

KESELAMATAN PASIEN DAN KERJA

“Root Cause Analysis (RCA) dan Failure Mode and Effect


Analysis (FMEA) “

Dosen pembimbing :

Eko Ari Bowo, S.KM., M.KKK

KELOMPOK 7:

1. NAILUL MAGHFIROH (2002012984)


2. NUR DIANA ARMITA (2002012986)
3. NUR FADHILAH R. (2002012992)
4. NURIN FARISSA DWI S T (2002012961)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disusun makalah berjudul “Root Cause Analysis (RCA) dan Failure Mode and Effect
Analysis (FMEA) “ untuk memenuhi tugas mata kuliah K3.

Lamongan, 29 Desember 2021

Menyetujui,

Anggota Kelompok:

1. Nailul Maghfiroh (2002012984) (………….….)

2. Nur Diana Armita (2002012986) (………….….)

3. Nur Fadhilah R. (2002012992) (………….….)

4. Nurin Farissa Dwi S T (2002012961) (………….….)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah..............................................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................2

2.1 ROOT CAUSE ANALYSIS (RCA).............................................................


2.1.1 Pengertian RCA .................................................................................
2.1.2 Langkah-langkah RCA.......................................................................
2.1.3 Tahapan RCA.....................................................................................
2.2. FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS (FMEA).......................
2.2.1 Pengertian FMEA ...................................................................
2.2.2 Dasar FMEA............................................................................
2.2.3 Langkah-langkah FMEA........................................................

BAB 3 STUDY KASUS.......................................................................................10

BAB 4 PENUTUP................................................................................................

4.1. Kesimpulan...............................................................................................
4.2. Saran ........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyusun makalah Root Cause Analysis (RCA) dan Failure Mode
and Effect Analysis (FMEA)
Dalam penyusunan kami mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak/Ibu
:
1. Dr. Aziz Alimul Hidayat, S.Kep., Ns, M.Kes., selaku rektor Universitas Muhammadiyah
Lamongan.
2. Arifal Aris, S.Kep., Ns., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
3. Suratmi, S.Kep., Ns.,M.Kep, selaku Kaprodi S1 Keperawatan
4. Ns. Rizky Asta Pramestirini, M.Kep, selaku pembimbing akademik kelas 3A keperawatan.
5. Eko Ari Bowo, S.KM., M.KKK selaku Dosen Pembimbing mata kuliah
6. Semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil demi terselesaikannya
makalah ini.
Semoga Allah SWT memberi balasan pahala atas semua amal kebaikan yang diberikan.
Kami menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan, akhirnya kami berharap semoga laporan ini
bermanfaat bagi kami pada khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya.

Lamongan, 29 Desember 2021

Kelompok 7

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan pasien atau Patient safety merupakan hal yang marak dibicarakan dan
harus diterapakan dalam dunia kesehatan. Pertemuan tahunan Joint Comission Internasional
tahun 2005 telah menekankan pentingnya pelayanan kesehatan yang aman. Kesalahan yang
terjadi pada upaya pelayanan kesehatan adalah kesalahan dalam mendiagnosis, kesalahan
dalam menggunakan alat bantu penegakan diagnosis, kesalahan dalam melakukan follow up,
pengobatan yang salah atau kejadian yang tidak diharapkan setelah pemberian pengobatan.

Permasalahan-permasalahan diatas dapat terjadi karena penggunaan teknologi yang


tidak diimbangi kompetensi penggunanya, bertambahnya pemberi pelayanan kesehatan tanpa
mengindahkan komunikasi antar individu serta tingginya angka kesakitan serta kecelakaan,
perlunya pengambilan keputusan yang cepat dan tepat yang menyebabkan stressor tersendiri
serta kelelahan yang dialami oleh para staff medis karena keterbatasan jumlah staff yang
tersedia. Salah satu budaya patient safety adalah mengkomunikasikan kesalahan, melaporkan
kesalahan dengan tetap berpegang pada keselamatan pasien dan belajar dari kesalahan dan
mendesain ulang sistem keselamatan pasien yang lebih baik.

Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, dicetuskan suatu ide sistem analisis
yang proaktif sebagai strategi pencegahan error. Root cause merupakan alasan yang paling
mendasar terjadinya kejadian yang tidak diharapkan. Apabila permasalahan utama tidak dapat
diidentifikasi, maka kendala-kendala kecil akan makin bermunculan dan masalah tidak akan
berakhir. Oleh karena itu, mengidentifikasi dan mengeliminasi akar suatu permasalahan
merupakan hal yang sangat penting. Root cause analysis merupakan suatu proses
mengidentifikasi penyebab-penyebab utama suatu permasalahan dengan menggunakan
pendekatan yang terstruktur dengan teknik yang telah didesain untuk berfokus pada
identifikasi dan penyelesaian masalah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang pengertian RCA?


2. Bagaimana langkah-langkah RCA?
3. Bagaimana tahapan RCA?
4. Apa pengertian FMEA?
5. Bagaimana dasar FMEA?
6. Bagaimana Langkah-langkah FMEA
7. Bagaimana contoh study kasus RCA?
8. Bagaimana contoh study kasus FMEA?

5
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian RCA.
2. Mengetahui langkah-langkah RCA.
3. Mengetahui tahapan RCA.
4. Mengetahui pengertian FMEA.
5. Mengetahui dasar FMEA.
6. Mengetahui langkah-langkah FMEA.
7. Mengetahui contoh study kasus RCA.
8. Mengetahui contoh study kasus FMEA.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ROOT CAUSE ANALYSIS (RCA)

2.1.1. Pengertian
Root Cause (akar masalah), akar atau isu fundamental, adalah titik awal dimana bila
pada titik tersebut diambil suatu tindakan (pencegahan) maka peluang terjadinya insiden akan
berkurang.
RCA diterapkan pada kejadian resiko tinggi, berdampak luas yaitu semua KTD dan
Sentinel. Apabila terjadi insiden lain seperti KTC, KNC, dan KPC cukup dilakukan
investigasi sederhana. Setian proses pengelolaan insiden harus dapa menetapkan tingkat
investigasi dan tindakan yang diperlukan.
RS memastikan bahwa seluruh staf yang terkait mampu melakukan analisis akar
masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa maslah terjadi untuk kemudian menyusun
rencana tindak lnjutnya. RCA dilakukan oleh Tim RCA, sementara komite Peningkatan Mutu
dan Keselamatan Pasien bertanggung jawab untuk :
 Mengingatkan untuk dilaksanakannya RCA.
 Mengatur Penyelenggaraan suatu investigasi.
 Mengelola tim RCA.
 Pelaporan secara organisatoris dan memonitor tindak lanjut upaya pengurangan
resiko.
 Koordinasi program RCA.
 Evaluasi program RCA.

2.1.2. Langkah-langkah Root Cause Analysis (RCA)


1. Identifikasi Insiden Yang Akan Di Investigasi
2. Tentukan Tim Investigator
3. Kumpulan Data dan Informasi
 Observasi
 Dokumentasi
 Interview
4. Petakan Kronologi Kejadian

7
 Narrative Chronology
 Timeline
 Tabular Timeline
 Time Person Grid
5. Identifikasi CMP (Care Management Problem)
 Brainstroming, bainwriting
6. Analisis Informasi
 5 Why's
 Analisis Perubahan
 Analisis Penghalang
 Fishbone / Analisis Tueang Ikan
7. Rkomendasi dan Rencana Kerja Untuk Improvement
1.1.1. Tahapan Melakukan Root Cause Analysis (RCA)
 LANGKAH 1 dan 2 : Identifikasi insiden dan tentukan tim, dengan
menggunkan form seperti dibawah ini :

INSIDEN :

Ketua :

Anggota : 1. 4.
2. 5.
3. 6.
Apakah semua area yang terkait sudah terwakili ? YA
TIDAK
Apakah macam-macam dan tingkat pengetahuan yang berbeda, sesudah diwakili
dalam tim tersebut ? YA TIDAK

Siapa yang menjadi Notulen ?


Tanggal dimulai Tanggal dilengkapi

8
 LANGKAH 3 : Kumpulkan data & informasi
Dengan menggunakan form seperti dibawah ini :
 Observasi langsung :
 Dokumentasi : 1. .................................................
2. .................................................
3. .................................................
4. .................................................
5. .................................................

 Interview (Dokter/Staf yang terlibat) :


1. .................................................
2. .................................................
3. .................................................
4. .................................................
5. .................................................
 LANGKAH 4 : Petakan kronologi kejadian dengan menggunakan bantuan
beberapa form dibawah ini :
FORM TABULAR TIMELINE
WAKTU/KEJADIAN
KEJADIAN
INFORMASI

TAMBAHAN

Good Practice
MASALAH

PELAYANAN

 LANGKAH 5 : Identifikasi care management programs

FORM MASALAH/CARE MANAGEMENT PROBLEM (CMP)

MASALAH INSTRUMENT/TOOLS

9
1.
2.
3.
4.
5.

 LANGKAH 6 : Analisis perubahan, dengan beberapa cara :


FORM TEKNIK 5 MENGAPA (5 why's)

MASALAH INSTRUMENT/TOOLS
1. Mengapa
2. Mengapa
3. Mengapa
4. Mengapa
5. Mengapa

FORM ANALISIS PERUBAHAN

PROSEDUR PROSEDUR APAKAH


YANG NORMAL YANG TERDAPAT
(SOP) DILAKUKAN BUKTI
SAAT INSIDEN PERUBAHAN
DALAM
PROSES

FISH BONE / ANALISIS TULANG IKAN

10
Adalah alat untuk menggmbarkan penyebab-penyebab suatu masalah secara rinci.
Diagram tersebut memfasilitasi proses identifikasi masalah sebagai langkah awal untuk
menentukan fokus perbaikan, menggambarkan ide pengumpulan data, menggali penyebab
terjadinya masalah dan menganalisa masalah tersebut. Untuk pengisisan diagram fish bone
ini dilakukan dengan melihat faktor-faktor kontributor.

Fish Bone / Analisis tulang ikan

faktor pasien faktor staf faktor tugas faktor RS faktor tim

faktor faktor faktor organisasi


komunikasi lingkungan kerja dan manejemen

Ket :

FAKTOR KONTRIBUTOR, KOMPONEN & SUBKOMPONEN DALAM


INVESTIGASI INSIDEN KLINIS

1. FAKTOR KONTRIBUTOR EXTERNAL DILUAR RS KOMPONEN :


 Regulator dan ekonomi
 peraturan dan kebijakan DEPKES
 Peraturan nasional
 Hubungan dengan organisasi lain

2. FAKTOR KONTRIBUTOR ORGANISASI SAN MANAJEMEN

11
Komponen Sub Komponen
Organisasi dan Manajemen a. Struktur Organisasi
b. Pengawasan
c. Jenjang Pengambilan Keputusan
Kebijakkan, Standar & Tujuan a. Tujuan dan misi
b. Penyusunan Fungsi Manajemen
c. Kontrak Servis
d. Sumber Keuangan
e. Pelayanan Informasi
f. Kebijakan Diklat
g. Prosedur dan Kebijakan
h. Fasilitas dan Perlengkapan
i. Manajemen Resiko
j. Manajemen K3
k. Quality Improvement
Administrasi Sistem Administrasi
Budaya Keselamatan a. Attitude Kerja
b. Dukungan Manajemen Oleh Seluruh Staf
SDM a. Ketersediaan
b. Tingkat Pendidikan & Keterampilan Staf yang
Berbeda
c. Beban Kerja yang Optimal
Diklat Manajemen Training/Pelatihan/Refresing

3. FAKTOR LINGKUNGAN KERJA

KOMPONEN SUB KOMPONEN


Rancang dan Bangunan a. Manajemen Pemeliharaan
b. Penilaian Ergonomik
c. Fungsionalitas
Lingkungan a. Housekeeping
b. Pengawasan Lingkungan Fisik
c. Perpindahan Pasien Antar Ruangan
Perlengkapan a. Malfungsi Alat

12
b. Ketidak Tersediaan
c. Manajemen Pemeliharaan
d. Fungsionalitas
e. Rancang, Penggunaan & Maintenance Peralatan

4. FAKTOR KONTRIBUTOR : TIM

KOMPONEN SUB KOMPONEN


Supervisi & Konsultasi a. Adanya kemauan staff junior berkomunikasi
b. Cepat tanggap
Konsistensi a. Kesamaan tugas antar profesi
b. Kesamaan tugas antar staff yang singkat
Kepemimpinan Tanggung Jawab a. Kepemimpinan Efektif
b. Job Description jelas
Respon terhadap Insiden Dukungan per grup setelah insiden

5. FAKTOR KONTRIBUTOR : STAFF

KOMPONEN SUB KOMPONEN


Kompetensi a. Verivikais Kualifikasi
b. Verifikasi Pengetahuan & Keterampilan
Stressor Fisik dan Mental a. Motivasi
b. Stresor Mental : efek beban kerja beban mental
c. Stresor Fisik : Efek Beban kerja = Gangguan
Fisik

6. FAKTOR KONTRIBUTOR : TUGAS

13
KOMPONEN SUB KOMPONEN
Ketersediaan SOP a. Prosedur Peninjauan & Revisi SOP
b. Ketersediaan SOP
c. Kualitas Informasi
d. Prosedur Infestigasi
Ketersediaan & Akurasi Hasil Test a. Test tidak dilakukan
b. Ketidak sesuaianantara interprstasi hasil test
Faktor Penunjang Dalam Validasi a. Ketersediaan, penggunaan, reliabilitas
Alat Medis b. Kalibrasi
Rancang Tugas Penyelesaian tugas tepat waktu dan sesuai SOP

7. FAKTOR KONTRIBUTOR : PASIEN

KOMPONEN SUB KOMPONEN


Kondisi Penyakit yang kompleks, berat, multikomplikasi
Personal a. Kepribadian
b. Bahasa
c. Kondisi Sosial
d. Keluarga
Pengobatan Mengetahui Resiko Yang berhubungan dengan
pengobatan
Riwayat a. Riwayat Medis
b. Riwayat Kepribadian
c. Riwayat Emosi
Hubungan Staf dan Pasien Hubungan yang baik

8. FAKTOR KONTRIBUTOR : KOMUNIKASI

KOMPONEN SUB KOMPONEN


Komunikasi Verbal a. Komunikasi antara staf junior dan senior
b. Komunikasi antar profesi
c. Komunikasi antar staf dan pasien
d. Komunikasi antar Unit Departemen

14
Komuniaksi Tertulis Ketidak lengkapan Informasi

 Langkah 7 : Menyusun Rencana Perbaikan Dengan


Menggunakan Form Rekomendasi Dan Rencana Tindakan

SUMBER
AKAR TINGKAT DAYA BUKTI
TINDA P WAK PARA
MASAL REKOMEN YANG PENYELES
KAN J TU F
AH DASI DIBUTUH AIAN
KAN

Menulis Laporan RCA :


Laporan dituliskan untuk mengkomunikasikan temuan-temuan, kesimpulan dan
rekomendasi hasil investigasi RCA. Laporan disusun oleh komite peningkatan mutu dan
keselamatan Pasien setelah semua solusi telah dipertimbangkan dan direkomendasikan untuk
tindakan koreaktif yang ditetapkan.

1.
2.
2.1.
2.2. FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS (FMEA)

15
Proses mengurangi resiko di RSUD Baturaja dilakukan paling sedikit sat kali dala
setahun dan dibuat dokumentasinya, dengan menggunakan Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA).Proses yang dipilih adalah proses dengan resiko tinggi.

1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1. Pengertian Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Beberapa definisi FMEA :
 Adalah suatu alat mutu untuk mengkaji suatu prosedur secara rinci dan mengenali
model-model adanya kegagalan/kesalahan dan mencari solusi dengan melakukan
perubahan desain/prosedur.
 Adalah metode perbaikan kinerja dengan mengidentifikasi dan mencegah potensi
kegagalan sebelum terjadi. Hal tersebut dirancang untuk menyelamatnkan
keselamatan pasien.
 Adalah proses proaktif, dimana kesalahan dapat dicegah dan diprediksi.
Mengantisipasi kesalahan akan meminimalkan dampak buruk.
 Kelebihan utama dari FMEA yaitu membuat pengguna dapat fokus pada proses
merancang ulang proses-proses yang memiliki potensial masalah untuk mencegah
terjadinya kegagalan di kemudian hari.
Delapan tahap FMEA (JCAHO, 2005) :
1. Memilih proses yang bersiko tinggi dan membentuk tim.
2. Membuat diagram proses ata alur proses dengan flow chart yang rinci
3. Untuk setiap kemungkinan kegagalan (failure mode ) identifikasi efek yang
memungkinkan terjadi ke pasien (the effect).
4. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dari efek tersebut ke pasien (RPN(Risk
Priority Numbers))
5. Melakukan root cause analysis dari failure mode
6. Rancangan ualang proses
7. Analisa dan uji cobakan proses yang baru
8. Implementasi dan monitoring proses baru

16
1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1.
2.2.2. Dasar Failure Modes and Effect Analysis (FMEA)
FMEA merupakan salah satu alat dari Six Sigma Untuk mengidentifikasi sumber
sumber atau penyebab dari suatu masalah kualitas. Menurut Chrysler (1995),FMEA dapat dil
akukan dengan cara :

1. Mengenali dan mengevaluasi kegagalan potensi suatu produk dan efeknya.
2. Mengidentifikasi tindakan yang bisa menghilangkan atau mengurangi
kesempatan dari kegagalan potensi terjadi.
3. Pencatatan proses (Document the process). 

Sedangkan manfaat FMEA adalah sebagai berikut :

1. Hemat biaya. Karena sistematis maka penyelesaiannya tertuju pada potensial
Causes (penyebab yang potensial) sebuah kegagalan /kesalahan.
2. Hemat waktu, karena lebih tepat pada sasaran.Kegunaan FMEA adalah sebaga
i berikut :
a) Ketika diperlukan tindakan Preventive/ pencegahan sebelum masalahterjadi.
b) Ketika ingin mengetahui / mendata alat deteksi yang ada jika terjadikegagalan
c) Pemakaian proses baru
d) Perubahan / pergantian komponen peralatan
e) Pemindahan komponen atau proses ke arah baru

2.2.3. Tahapan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)


 LANGKAH 1 : Pilih proses yang beresiko tinggi dan bentuk TIM
Pilih proses yang akan dianalisa. Proses yang dipilih dapat berupa proses klinis dan
berhubungan langsung dengan perawatan kepada pasien atau yang tidak berorientasi klinis
dan tidak berhubungan dengan perawatan pasien. Pilih proses yang akan dianalisa. Tentukan
salah satu proses / sub proses bila prosesnya kompleks.
Judul Proses :

17
Bentuk TIM
Ketua :
Anggota 1. 4.
2. 5. 3.
6.

Apakah semua area yang terkait sudah terwakili ? YA

TIDAK

Apakah macam-macam dan tingkat pengetahuan yang berbeda, sudah diwakili didalam tim
tersebut?

YA TIDAK

Siapa yang menjadi Notulen ?

Tanggal dimulai Tanggal dilengkapi

 LANGKAH 2A : GAMBARKAN ALUR PROSES

Tahapan Proses :

Jelaskan proses setiap kegiatan sesuai kebijakan dan prosedur yang berlaku.

Jika proses terlalu kompleks, pilih satu proses atau sub proses untuk di tindak lanjuti.

1 2 3 4 5 6

Cantumkan beberapa sub proses untuk setiap tahapan proses

Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses

18
A. A. A. A. A. A.

B. B. B. B. B. B.

C. C. C. C. C. C.

D. D. D. D. D. D.

E. E. E. E. E. E.

 LANGKAH 2B : GAMBARKAN ALUR SUB PROSES

1 2 3 4 5 6

Jelaskan sub proses kegiatan yang dipilih dan kemungkinan kegagalan pada setiap sub
proses

Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses

A. A. A. A. A. A.

B. B. B. B. B. B.

C. C. C. C. C. C.

D. D. D. D. D. D.

E. E. E. E. E. E.

 LANGKAH 3 : IDENTIFIKASI EFEK YANG MUNGKIN


TERJADI KE PASIEN (THE EFFECT)

Failures mode adalah suatu perilaku yang dapat gagal, dan secara umum menjelaskan
bagaimana suatu kegagalan terjadi dan dampaknya terhadap suatu proses. E (efek) adalah

19
hasil dari kegagalan tertentu atau kestabilan seluruh ayau sebagaian proses. Efek kegagalan
adalah konsekuensi dari failure mode pada operasional, fungsi atau status dari tahapan proses.

 LANGKAH 4 : MENETAPKAN KEMUNGKINAN TINGKAT


BAHAYA DAN KEPARAHAN DARI EFEK TERSEBUT KE
PASIEN

Dalam menentukan tingkat bahaya harus mempertimbangkan hal-hal berikut, yaitu :

Kriteria Failure mode

 Probabilitas terjadinya failure mode( Sering disebut frekuensi atau likelihood dari
suatu kejadian )
 Kemudahan untuk di deteksi
Kriteria Efek
 Probabilitas terjadinya efek
 Tingkat keparahan

Kriteria lain
 Biaya, waktu dan ketersediaan sumber daya lain.
RPN (Risk Priority Number) merupakan cara untuk menghitung tingkat bahaya dan
disebut juga sebagai Critially Index, yang berdasarkan tingkat keparahan, tingkatkejadian dan
nilai kemudahan dideteksi.

RPN = Severity x occurance x detectability

Tujuan menyusun prioritas adalah mengidentifikasi failure mode yang paling butuh
dianalisis untuk meningkatkan proses dan mengurangi risiko mencelakai pasien.

TINGKAT KEPARAHAN (SEVERITY)


LEVEL DESKRIPSI CONTOH
1 MINOR Tidak akan dirasakan / diketahui oleh pasien dan
tidaka akan berefek pada proses
Dapat berdampak pada pasien dan dapat

20
menimbulkan beberapa efek pada proses
2 MODERAT Kegagalan dapat mempengaruhi proses pelayanan
kesehatan tetapi menimbulkan kerugian minor
Dapat berdampak pada pasien dan dapat
menimbulkan efek yang sangat besar
3 MAYOR Kegagalan menyebabkan kerugian yang lebih
besar terhadap pasien
4 MAYOR INJURY Dapat membuat pasien mengalami luka parah dan
menimbulkan efek yang besar pula pada proses
5 TERMINAL INJURY Sangat berbahaya: kegagalan akan berakibat pada
kematian dan menimbulkan efek yang sangat besar
terhadap proses

TINGKAT PROBABILITAS O = Occurrance (keserigan)


LEVEL DESKRIPSI CONTOH
5 Sangat sering dan Sangat sering muncul, mungkin beberapa kali
pasti dalam 1 bulan
4 Sering (Frequent) Hampir sering muncul dalam waktu yang relatif
singkat (mungkin terjadi beberapa kali dalam 1
tahun)
3 Kadang-kadang Kemungkinan akan muncul (dapat terjadi beberapa
(Occasional) kali dalam 1 sampai 2 tahun)
2 Jarang (Uncommon) Kemungkinan akan muncul (dapat terjadi dalam >
2 sampai 5 tahun)
1 Hampir Tidak Pernah Jarang terjadi (dapat terjadi dalam > 5 sampai 30
(Remote) tahun)

TINGKAT D = DETECTABLE (TERDETEKSI)


LEVEL DESKRIPSI
5 Tidak mungkin terdeteksi
4 Kemungkinan kecil terdeteksi
3 Mungkin terdeteksi

21
2 Sangat mungkin terdeteksi
1 Selalu terdeteksi

 LANGKAH 6 RANCANG ULANG PROSES

Merancang ulang sebuah proses dan system pendukungnya adalah langkah yang paling
penting. Tujuannya adalah untuk menghindari cidera yang mungkin terjadi.
Merancang ulang sebuah proses dapat dilakukan dengan :
 Mengurangi keragaman
 Standarisasi proses
 Menyederhanakan proses
 Mengoptimalkan back up untuk mengurangi kemungkinan kegagalan
 menggunakan teknologi otomatis
 Membangun mekanisme perlindungan kegagalan
 Melakukan dokumentasi / pencatatan

 LANGKAH 7 ANALISA DAN UJI COBAKAN PROSES YANG


BARU
Sangat penting tim untuk menganalisa dan menguji coba telebih dahulu sebelum
menerapkan secara penuh serta mengevaluasi efek dari subproses-subproses yang baru dalam
proses yang lebih besar sebelum menerapkan perubahan. Ujicoba proses baru dengan
menggunakan prinsip PDCA (Plan - Do - Check - Act).

 LANGKAH 8 IMPLEMENTASI DAN MONITORING PROSES


BARU
Monitoring dilakukan dengan :
1. Dokumentasi, tim FMEA memastikan terdapat regulasi yang diperlukan untuk
implementasi proses baru (kebijakan, penduan, SPO,dll).
2. Pelatihan, pelatihan ulang dan uji kompetensi. Memastikan seluruh staf mendapatkan
pelatihan yang dibutuhkan terkait proses baru.
3. Monitoring berkelanjutan.

22
BAB 3

STUDY KASUS

2.
2.1. Study Kasus RCA
RIWAYAT KRONOLOGI DAN
INFORMASI TAMBAHAN HASIL INVESTIGASI

31 Januari 2002 pk 14.00


Pasien ke klinik pre-admission untuk re-revisi total lutut kanan (right total knee replacement)
oleh Residen 1. Persetujuan tindakan medis tertulis sudah diisi. Risiko telah secara jelas
diinformasikan dan didokumentasi dalam catatan.
4 Februari 2002 pk 08.00
Pasien tiba di RS, tetapi pulang lagi karena tidak tersedianya tempat tidur. Pasien merasa tak
enak karena ini sudah kali ketiga operasinya dibatalkan.
8 Maret 2002 pk 14.00
Pasien datang lagi ke Residen 1 di klinik pre-admission. Persetujuan tindakan medis tertulis
telah diisi. Risiko telah secara jelas diinformasikan dan didokumentasi dalam catatan.
18 Maret 2002 pk 15.00
Pasien tiba di RS untuk rawat inap. Staf ruangan saat itu sangat sibuk karena ada beberapa
kasus darurat, yaitu pasien dengan cardiac arrest dan perdarahan pasca operasi. Staf yang
bertugas hanya 2 orang yaitu seorang perawat yunior dan seorang perawat senior yang
keduanya bertanggungjawab atas 18 tempat tidur Ortopedik.
18 Maret pk 17.00
Pasien dirawat sebagai pasien elektif untuk tindakan operasi revisi total lutut kanan. Pasien
masuk terlalu sore untuk diperiksa oleh dokter konsultan bedah dalam rondenya, (biasanya
ronde selesai pada pk 16.30).

SOP ruang OK menyatakan bahwa “dokter bedah harus melihat dan memeriksa semua pasien
dan dokumen terkait sebelum melakukan operasi, termasuk memberi tanda (mark site) pada
lokasi yang akan dibedah. Dia dapat mendelegasikannya kepada asistennya”. Pedoman
tersebut tidak merinci kapan pemeriksaan tsb harus dilakukan. Dokter Bedah mengatakan
bahwa kebiasaannya menemui pasien prabedah adalah di ruangan saat ia ronde sehari

23
sebelum operasi. Ia juga biasanya mengecek sendiri lokasi yang akan dibedah, tetapi pada
kasus ini pasien masuk RS terlalu sore. Dokter bedah mengatakan bahwa ketidaktersediaan
tempat tidur sering mengakibatkan pasien masuk RS terlalu sore, sehingga mengakibatkan
pasien kadang-kadang tidak ditemuinya pra-bedah. Dokter bedah memang melakukan ronde
tidak pada waktu yang sama setiap harinya.

18 Maret 2002 pk 19.15

Pasien divisit oleh Dokter anestesi di ruang rawat. Pasien menolak tawaran anestesi regional.
Catatan di anestesi bertanggal 19 Maret 2002.

Klarifikasi ke dr SpAn: “Sudah kebiasaan anestesi dan kebiasaan di RS untuk mencatat pre-
assessment dalam log-book dan kemudian menyalinnya ke catatan anestesi pada hari operasi.
Cara kerja seperti ini banyak dilakukan oleh para anestesi, karena catatan seringkali hilang.
Pada saat menyalin informasi / pre assessment tersebut, tindakan yang direncanakan tidak
terdokumentasi / tidak diisi pada kolom yang tersedia.

18 Maret 2002 pk 20.00

Pasien diperiksa oleh Perawat OK di ruang rawat.. (Ia baru pertama kali bekerja di ruang
Ortopedi). Ia memberi tanda lokasi operasi di tungkai bawah kanan (right shin) dengan pensil
kulit Tanda tsb kemudian ditutupi dengan stocking anti-emboli hingga bawah lutut. Tanda
lokasi operasi telah ditandai di tempat yang tidak biasa karena biasanya ditandai di lokasi
operasinya yaitu lutut itu sendiri sehingga dapat terlihat karena terletak di atas kaus kaki.
Diskusi dengan Perawat OK diperoleh pernyataan bahwa tidak ada petunjuk atau instruksi
tentang cara penandaan tanda lokasi operasi.

19 Maret 2002 pk 07.30

Residen 2 menemui pasien di ruangan dan mengecek informed consent pasien, catatan medis
dan foto rontgen.

19 Maret 2002 pk 07.35

Residen 2 diberitahu oleh Perawat OK bahwa lokasi operasi telah ditandai. Residen 2 tidak
mengeceknya atau bertanya dimana ditandainya.

19 Maret 2002 pk 07.45

24
Pasien disiapkan untuk operasi oleh staf perawat senior di ruangan. Tanda lokasi operasi
terlihat dan dicatat.

19 Maret 2002 pk 11.25

Pasien tiba di OK didampingi oleh siswa perawat dari ruangan.

19 Maret 2002 pk 11.38

Dokter anestesi meminta perawat OK untuk membantu mengecek pasien karena


Penanggungjawab OK tidak ditempat. Pedoman mengatakan bahwa “dua staf bedah agar
ditunjuk untuk mengecek semua pasien yang terdaftar di kamar anestesi. Namun demikian,
para staf tidak konsisten dalam menunjuk siapa “kedua” staf tersebut. Sebagian beranggapan
bahwa Dokter anestesi adalah salah satu staf tersebut. Staf di OK setuju bahwa biasanya
memang ahli anestesi, Penanggungjawab OK dan perawat OK yang melakukan pengecekan
pasien.

Saat itu Penanggungjawab OK tidak ditempat karena sedang mencari cuff tensimeter yg
tidak ada . Sebelumnya Ia membawa pasien ke ruang pemulihan (Ruang RR), dimana
biasanya pasien masih terpasang cuff dari OK. Penanggungjawab OK akan mengembalikan
cuff ke OK, tapi pada saat itu di ruang pemulihan tidak terdapat cuff sehingga ia harus
mencarinya dulu ke tempat lain. Penanggungjawab OK belum terbiasa dengan layout OK.

19 Maret 2002 pk 11.45

Pasien selesai dicek oleh dokter anestesi dan perawat OK. Tanda lokasi operasi terlihat sesuai
catatan, yaitu di tungkai bawah kanan (right shin). Kelihatannya pasien menunjukkan lokasi
operasi kepada dokter anestesi dan perawat bedah dan kemudian memasang kembali kaus
kaki kompresi (anti emboli), sehingga mungkin menutupi tanda lokasi operasi.

19 Maret 2002 pk 11.55

Perawat OK menyerahkan formulir informed consent ke Perawat OK senior (scrub nurse) di


laying up area untuk pengecekan. Pedoman menyatakan bahwa “ adalah tanggungjawab
Perawat OK senior (scrub nurse) untuk memastikan bahwa pasien yang dibawa ke OK sudah
benar dan memastikan bahwa mereka sudah mengetahui secara rinci tentang consent pasien
sebelum masuk ke tahap operasi”. Namun demikian, pedoman tidak memberikan indikasi
bahwa harus ada dialog antara ahli bedah, anestesi dan anggota tim bedah lainnya untuk

25
memastikan bahwa pengecekan yang dilakukan oleh masing-masing tersebut konsisten satu
dengan lainnya.

Instrumen set untuk operasi revisi lutut kanan maupun kiri sama, tidak dibedakan. Baki
instrumen (instrument tray) juga sama baik untuk kanan ataupun kiri, kecuali baki untuk
komponen lutut yang tidak diperlukan pada operasi kali ini.

Perawat bedah keluar OK untuk mengambil prostesis yang sesuai. Satu set sudah disiapkan
untuk kasus ini, yang khusus untuk operasi lutut kanan tidak di siapkan.

19 Maret 2002 pk 12.00

Penanggungjawab OK tiba kembali ke ruang anestesi dan membantu Dokter anestesi.

19 Maret 2002 pk 12.10

Pasien dibawa ke OK.

19 Maret 2002 pk 12.15

Dokter bedah dan asistennya menyiapkan posisi pasien. Pemeriksaan dalam keadaan
teranestesi dilakukan di OK oleh dokter bedah. Lutut kiri tidak stabil didalam

catatannya. Di bawah lutut terpasang stocking anti emboli. Tanda lokasi operasi tidak terlihat.

Pada saat itu beban pekerjaan di OK cukup tinggi.Dokter bedah dan staf mengatakan bahwa
“hari-hari itu tidak seperti biasa” beban kerjanya, dan operasi sering selesai satu jam setelah
waktu kerja yaitu 16.30. Dua dari pasien dalam daftar telah ditunda beberapa kali akibat
terbatasnya tempat tidur.

Tim OK berkomentar bahwa kebanyakan mereka sering bekerja bersama. Telah ada perasaan
saling percaya dan moral yg baik di dalam tim.

Protokol pengecekan dilakukan tetapi tidak dikomunikasikan antar anggota tim.

Dalam pedoman tidak terdapat instruksi yang menyatakan bahwa tanda letak operasi tidak
boleh tertutupi.

Di dalam rencana tindakan OK terdapat kolom untuk mencatat dimana macam-macam


peralatan medis diletakkan, tetapi tidak ada dalam prosedur operasi. Ini dapat menjadi trigger
bagi staf OK untuk melengkapi catatannya.

26
19 Maret 2002 pk 12.25

Tourniquet dipasang di tungkai bawah kiri oleh konsultan bedah dan asistennya. Selama
tindakan, tidak ada orang di dalam OK yang mendeteksi bahwa operasi dilakukan di
ekstremitas yang salah. Satu-satunya catatan yang ada adalah catatan anestesi, dan disana
tertulis “revisi lutut kiri”.

Dokter bedah berkomentar bahwa dahulu Penanggungjawab OK biasanya memasang


tourniquet, tetapi beberapa tahun terakhir mereka lebih mencurahkan perhatiannya kepada
prosedur anestesi, sehingga pemasangan tourniquet lebih banyak dilakukan Dokter bedah.
Lagi pula dalam rangka mengurangi beban kerja dalam tim OK,dokter bedah sering
memberi tugas lain, seperti memindahkan pasien dan untuk memastikan bahwa daftar
operasi sedapat mungkin tidak terlambat. Hal ini dibenarkan oleh tim staf OK.

Di dalam dokumen rencana perawatan OK terdapat kolom untuk mencatat lokasi dan waktu
pemasangan tourniquet. Sayangnya pada kasus ini tidak tercatat. Hal ini dapat mengakibatkan
tidak adanya trigger bagi tim untuk menyadari kesalahan lokasi. Letak tourniquet dan waktu
pemasangan hanya tercatat di dokumen anestesi, yaitu tungkai bawah kiri. Dalam diskusi
dengan dokter anestesi ia mengatakan bahwa ia mencatat apa yang dilihatnya – yang
dilakukan dokter bedah. Selain itu prosedur yang direncanakan tidak dilengkapi di dalam
catatan anestesi. Ia mengatakan bahwa apabila anestesi regional yang dilakukan, dan itu yang
biasanya ia lakukan, akan dapat mentrigger respons nya.

19 Maret 2002 pk 13.20

Operasi selesai. dokter bedah memiliki riwayat yang panjang dalam hubungannya dengan
pasien. Fakta bahwa pasien telah berulangkali operasi pada kedua lutut dan bahwa lutut kiri
tidak stabil pada pemeriksaan dibawah anestesi turut berperan dalam terjadinya kesalahan.
Dalam wawancara, dokter bedah mengatakan “saya memeriksa lutut kiri dibawah anestesi ...
dan saya menemukan lutut kiri hiper-ekstended dibanding dengan lutut kanan, dan pada
ekstensi menunjukkan varus-valgu yang menunjukkan adanya medial ligament laxity. Lutut
kanan stabil pada ekstensi”.

19 Maret 2002 pk 13.30

Pasien masuk ke ruang pemulihan.

19 Maret 2002 pk 13.45

27
Pasien memberitahu staf pemulihan bahwa terdapat kesalahan operasi. Staf pemulihan
memberitahu dokter bedah bahwa pasien mengatakan kalau lutut yang salah yang dioperasi.

19 Maret 2002 pk 14.15

Pasien dikunjungi oleh dokter bedah dan dokter anestesi. Perawat OK memberitahu
koordinator OK. Formulir Incident report diisi dan prosedur penyelidikan yang serius
dilakukan.

19 Maret 2002 pk 18.40

Dokter bedah berbicara kepada pasien didampingi Residen 2 tentang insiden tersebut. Dokter
bedah juga memberitahu kepada “the clinical risk, medical and personal injury litigation
departments” dan Direksi tentang insiden ini.

20 Maret 2002 pk 11.00

Dokter bedah berbicara ke pasien lagi tentang kesalahan dan menawarkan dokter bedah lain
untuk melanjutkan perawatan tapi Pasien menolaknya. Akhirnya direncanakan untuk
melakukan tindakan pada lutut kanan tgl 2 April 2002. Dokter bedah juga berbicara kepada
keluarga pasien.

2 April 2002

Operasi pada lutut kanan dilakukan.

Pemetaan Informasi

Selain informasi naratif di atas, disediakan pula beberapa instrumen yaitu :

 TABULAR TIMELINE untuk memberi peluang memetakan informasi tambahan ke


dalam kejadian, Praktek yang sudah sesuai SOP dan memetakan masalah pelayanan.

 TIME-PERSON GRID memberi peluang bagi Tim untuk menelusuri dimana


individu-individu yang terlibat berada pada tiap tahap insiden tersebut.

Buatlah pemetaan informasi dengan menggunakan Tabular Timeline dan Time Person Grid

28
Identifikasi Masalah Pelayanan

1. Dokter konsultan tidak melihat pasien sebelum tindakan operasi, akibat keterlambatan
masuk perawatan dan perawat sangat sibuk (5 W)
2. Kegagalan untuk mendokumentasikan perencanaan tindakan dalam catatan anestesia
(Analisa Perubahan)
3. Tidak adanya cuff tensimeter di OK saat diperlukan (fishbone)
4. Pasien tiba di ruang operasi diterima oleh staf yang tidak semestinya (fishbone)
5. Tourniket yang digunakan pada tungkai kiri oleh konsultan bedah dan asistennya
(Analisa Hambatan)
6. Salah tungkai yang ditandai karena tersembunyi oleh kaus kaki (Analisa Perubahan).
7. Penanggungjawab OK tidak ada saat pasien masuk (Analisa Perubahan)

Analisis Pengelolaan

Buatlah Analisis masalah pelayanan (CMP) yang sudah teridentifikasi dengan memilih
beberapa instrumen seperti dibawah ini :

 Analisis Perubahan / Change Analysis


 Teknik “5 Mengapa” / 5 Whys
 Analisis Hambatan / Barrier Analysis
 Diagram Tulang Ikan / Fish Bone Diagram

29
30
31
32
33
Prioritas Akar masalah

Pilihlah salah satu faktor kontribusi yang paling berperan dalam Analisis Diagram Tulang
Ikan.dan buatlah prioritas Akar masalahnya.

1. Tugas dan desain dimengerti


2. Klarifikasi pedoman/instruksi
3. Pengaturan beban tugas

Rekomendasi untuk Improvement

1. Tugas dan desain dimengerti


 Dokumentasi
1. Rencana pelayanan ruang operasi termasuk pencatatan dan tindakan yang
diambil
2. Termasuk pendokumentasian rencana tindakan
3. Audit ruang operasi secara rutin
 Proses tugas
1. Konsultan dan asistennya seharusnya mengadakan ronde ruangan ortopedi
sebelum waktu tindakan, sehingga perawat dapat memberikan pelayanan
yang terbaik dan membantu dokter saat ronde
2. Konsultan dan asistennya dapat melakukan ronde ruangan pada akhir
kegiatan seperti menjelang malam.
3. Pastikan seluruh staf dapat secara familiar dengan cara kerja dan
perlengkapan sebelum dilakukan pekerjaan
 Klarifikasi pedoman/instruksi
1. Klarifikasi kapan konsultan bedah dapat melihat pasien dan bagaimana
letak operasi yang akan dilakukan tindakan
2. Klarifikasi ulang oleh petugas di ruang operasi dengan checklist
3. Klarifikasi consent tindakan di luar ruang operasi
4. Klarifikasi bagaiman staf harus mencek kembali identifikasi pasien di
ruang operasi
5. Kembangkan prosedur check sebelum pisau mengenai kulit

34
6. Setiap spesialis atau bagian setuju dengan tempat operasi dan disebarkan
kepada SHO
 Beban tugas
1. Tinjau kembali beban tugas dan alokasi staf
- Bila beban tugas berlebih carikan pemecahannya

- Redesain tugas sehinggan tugas perawat efisien

- Tambahkan jumlah petugas pada jam sibuk

2. Audit beban tugas dan beban kerjadi ruang operasi

3. Pertimbangkan masuknya pasien pada jam sibuk ke ruangan

3.1 Study Kasus FMEA

buka rongga tubuh penghitungan kasa oleh perawat instrumentasi dan pengecekan diagnosis oleh
operator, sedangkan pada operasi de- bridement hal ini tidak dilakukan. Peneliti mencoba
membandingkan dengan standar prosedur operasio- nal (SPO) di RS ini, serta standar keselamatan
pa- sien WHO.

Dari 29 aktivitas pada tujuh subproses pelayan - an operasi, teridentifikasi 25 aktivitas yang tidak
dilakukan ataupun dilakukan dengan tidak lengkap pada proses pelayanan pasien operasi di RS dan
hal ini dapat menimbulkan 26 risiko potensial kegagalan. Ketika diklarifikasi dengan perawat kamar
operasi dan operator dalam wawancara tidak terstruktur tentang proses operasi sign in, time out,
dan sign out, keduanya mengkonfirmasi hal tersebut.

"Kata siapa?...jane mulai dulu ya ada... Cuma kitanya aja karena menganggap itu dah pe kerjaan
rutin jadi jarang dikerjakan' "Lha yaitu tadi, saya juga... kalau operasi cek kecek (sederhana
diperkirakan tanpa penyu- lit) jarang melakukan itu (time out), kalau ope- rasi rodok rumit baru
kita kerjakan "Harus! (kata beliau dengan nada penuh penekanan)... tapi ya itu tadi manusia kalau
gak pernah kena masalah gak mau hati-hati dan seringkali menganggap pekerjaan seba- gai
rutinitas saja... padahal lho... sing diadepi nyowo...." "Kadose nggeh sami mawon dok, tergantung
tim Addose operasinya dan kasusnya... ada operator yang melakukan itu, meskipun gak sedetil
standar tapi kebanyakan gak.... apalagi kasus-kasus mudah... Sambil mengangkat alis mata dan
bahu.

Tim operasi menganggap sebagai suatu rutinitas yang sering dilakukan, sehingga menjadikan pe
ngecekan jarang dilakukan.

"Mereka sih melakukan serah terima lihat ceklis... tapi gak ngecek bener gaknya yaaa... akhirnya
kayak masalah persediaan darah yang tadi." "Jadi dari saya sendiri juga kalau serah teri- ma juga
ya ndak sesempurna itu karena me- mang mungkin tadi betul belum pernah keta-talan..." "Tapi
ngeceknya, ngecek. Tapi nggak nyam- pek tanya ke pasiennya namanya betul apa nggak seperti itu

35
memang ndak. Hayo pingin ruh aku sopo sing serah terima sampek detil kayak gitu." "Ini saya juga
nggak tau kenapa saya ndak melakukannya."

Dari hasil DKT analisis hazard alur proses pela yanan pasien operasi dari tujuh subproses didapat kan
26 aktivitas yang berpotensi terjadi kegagalan. Setelah melakukan skoring didapatkan hazard score
antara tiga sampai dengan delapan seperti terlihat pada bands risiko, yaitu derajat risiko yang
digambarkan dalam empat warna (biru, hijau, kuning, merah). Warna biru dan hijau memerlukan
investigasi seder- hana, sedangkan kuning dan merah memerlukan investigasi komprehensif dengan
root cause analysis (RCA).

Pada risiko dengan skor 8 (ekstrim) harus dilaku- kan RCA paling lama 45 hari, membutuhkan
tindakan segera, perhatian sampai ke tingkat manajer puncak (direktur). Hasil HFMEA proses pasien
operasi di RS ini mengidentifikasi empat potensi risiko insiden ekstrim, yaitu:

1. Terjadinya perdarahan selama proses operasi pada subproses serah terima pasien di kamar
operasi oleh perawat ruang rawat inap kepada petugas kamar operasi karena. tidak dilakukan
pengecekan persediaan darah.

2. Terjadinya perdarahan selama proses operasi pada subproses persiapan sebelum dilakukan
anestesi pada pasien (sign in), karena tidak persediaan darah. dila kukan pengecekan

3. Terjadinya perdarahan dari jaringan yang dipo tong pada subproses sebelum pasien mening

-galkan kamar operasi (sign out) karena tidak dilakukan pengecekan ulang perdarahan dan tidak ada
komunikasi verbal oleh seluruh anggota tim.

4. Tidak terambilnya atau hilangnya bahan peme riksaan pada subproses sebelum pasien me
ninggalkan kamar operasi (sign out) karena tidak dilakukan komunikasi verbal dan pengecekan ulang
dokumen.

36
BAB 4
PENUTUP

1.
2.
3.
4.
4.1. Kesimpulan
Root Cause Analysis (RCA) merupakan pendekatan terstruktur untuk
mengidentifikasi faktor-faktor berpengaruh pada satu atau lebih kejadian-kejadian
yang lalu agar dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja. Root cause analysis
merupakan suatu proses mengidentifikasi penyebab-penyebab utama suatu
permasalahan dengan menggunakan pendekatan yang terstruktur dengan teknik yang
telah didesain untuk berfokus pada identifikasi dan penyelesaian masalah. Menemukan
akar masalah merupakan kata kunci. Sebab, tanpa mengetahui akar masalahnya, suatu
insiden tidak dapat ditanggulangi dengan tepat, yang berakibat pada berulangnya
kejadian insiden tersebut dikemudian hari. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
adalah metode perbaikan kinerja dengan mengidentifikasi dan mencegah potensi
kegagalan sebelum terjadi. Hal tersebut dirancang untuk menyelamatkan keselamatan
pasien.
Salah satu budaya patient safety adalah mengkomunikasikan kesalahan,
melaporkan kesalahan dengan tetap berpegang pada keselamatan pasien dan belajar
dari kesalahan dan mendesain ulang sistem keselamatan pasien yang lebih baik. Untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi, dicetuskan suatu ide sistem analisis yang
proaktif sebagai strategi pencegahan error. Oleh karena itu, mengidentifikasi dan
mengeliminasi akar suatu permasalahan merupakan hal yang sangat penting.

1.
2.
3.
4.
4.1.
4.2. Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan tenaga medis khususnya perawat dan

37
calon perawat dapat memanfaatkan dan mengaplikasikan Root Cause Analysis (RCA)
dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) dalam tindakan medis khususnya
keperawatan. Untuk meningkatkan kinerja dan keselamatan pasien.

LAMPIRAN JURNAL
1. JURNAL KASUS RCA
Abstrak

Keselamatan (safety) menjadi isuglobal termasuk dirumahsakit.Rumah sakit wajib


mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien yang diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 11 tahun 2017.Tujuan penelitian ini untuk menganalisis
pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di rawat inap RSUD Padang Pariaman.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam, Focus
Group Discussion,observasi dan telaah dokumen. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara lima belas orang informan yaitudirektur, kepala bidang pelayanan
medik, ketua komite medis, ketua komite keperawatan, kepala instalasi rawatinap,
kepala ruangan rawat inap, dokter umum, perawat pelaksana, apoteker, ahli gizi,
analis dant radiographer Komponen yang diteliti mengenal input (kebijakan, pedoman
dan Standar Prosedur Operasional

(SPO), tenaga,metode,dana, sarana),prosesyaitupelaksanaansasarankeselamatanpasien


dan outputdaricapaianpenerapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan dan
SPO sudah lengkap. Tenaga penanggung jawabkeselamatan pasien dalam hal ini tim
keselamatan pasien belum bekerja optimal. Metode sudah sesuai denganpedoman
yang ada dan dana sudah mencukupi namun pengadaan sarana belum lengkap.
Kepatuhan petugasdalam pelaksanaan sasaran keselamatan pasien belum optimai,
nilai rata-rata capaian 73,4% (standar 100%). Kesimpulannya, pelaksanaan sasaran
keselamatan pasien di rawat inap RSUD Padang Pariaman tahun.
2018belummaksimaldanhasilbelum mancapaitarget.

38
Abstract

Safetyhasbecome a global issue aswell asinhospitals. Thehospital isobliged to effort


for thefulfillment of patient safety goals set out in Health Minister Regulation number
eleven in 2017. The purpose of this study is to analyze the implementation of patient
safety goals in inpatient Padang Pariaman Hospital. This studyusesqualitative
methodsthroughin-depthinterviews,FocusGroupDiscussion
observationanddocumentreview Data collection were conducted by interviewing
fifteen informants, namely directors, heads of medicalservices, heads of medical
committees, heads of nursing committees, heads of inpatient installations, heads
ofinpatient rooms, general practitioners, nursing nurses, pharmacists, nutritionists,
analysts and radiographers.Components studied on inputs (policies, guidelines and
SPO, personnel, methods, funds, means), the process ofimplementing the patient's
safety objectives, and the outputs of the implementation outcomes. The results
showed that the policies and SPO were complete. The personnel responsible for
patient safety in this case the patientsafety team had not worked optimally. The
method was in accordance with the existing guidelines and the fundswere sufficient
but the procurement of facilities was incomplete. Compliance of officers in the
implementation ofpatient safety goals has not been optimal, the average value of
achievement of 73.4% (standard 100%) Inconclusion, the implementation of the
patient's safety objectives at the Padang Pariaman Hospital in 2018 has notbeen
maximizedand theresultshave notreachedthetarget yet.

39
2. JURNAL KASUS FMEA
ABSTRACT
Background: Most of medical errors are preventable. High number of adverse event
and near miss cases in hospitals indicate opportunity for improvement. Therefore,
efforts to identify potential risks, recognize event as early as possible, and set a
barrier mechanism through implementation of Health Care Failure Mode and Effect
Analysis (HFMEA) are required. This research was aimed to identify the risk of
patient safety incident (failure mode), in surgery care processes, the cause of failure
mode in every stage and the prevention strategy using HFMEA in hospital setting.
Methods: This study employed an observation study to apply HFMEA in surgical
care processes. Data were collected through direct observation of surgical preparation
and procedures in the ward and operating theatre, 18 interviews as well as document
analysis and focus group discussions.
Result: We found 25 activities that were not performed or partially performed
leading to 26 potential failure modes and four critical patient safety incidents. The
main cause of the potential risk is non-effective communication. This is caused by
neglected or violation due to frequent care transitions between departments and shifts,
lack of supervision, lack of nurse competence, and absence of full-time surgeonts.
These findings show lack of patient safety culture as the underlying cause.
Conclusion: Poor communication and care transition is the main causes of potential
safety incident in surgery care process. This can be prevented by process redesign and
health care teamwork improvement.

40
Keywords: communication, health failure mode and effect analysis, surgery care
potensial kegagalan. Faktor penyebab terjadinya potensi risiko adalah kompetensi
perawat yang kurang, tidak adanya dokter operator tetap, kurangnya supervisi,
monitor dan evaluasi, serta banyaknya transisi yang mendorong terjadinya
pengabaian prosedur komunikasi pada setiap transisi antar bagian atau antar shift.
Semua faktor menggambarkan belum berkembang- nya budaya keselamatan pasien.

Kesimpulan: Komunikasi dan transisi dalam pelayanan pasien merupakan penyebab


utama potensi insiden keselamatan pasien dalam proses operasi. Hal ini dapat
dicegah dengan melakukan redesign proses pelayanan pasien operasi dan
peningkatan kerja tim penyedia pelayanan.

Kata kunci: komunikasi, health failure more and effect analysis, proses operasi

41
42

Anda mungkin juga menyukai