Dosen pembimbing :
KELOMPOK 7:
i
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disusun makalah berjudul “Root Cause Analysis (RCA) dan Failure Mode and Effect
Analysis (FMEA) “ untuk memenuhi tugas mata kuliah K3.
Menyetujui,
Anggota Kelompok:
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB 4 PENUTUP................................................................................................
4.1. Kesimpulan...............................................................................................
4.2. Saran ........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyusun makalah Root Cause Analysis (RCA) dan Failure Mode
and Effect Analysis (FMEA)
Dalam penyusunan kami mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak/Ibu
:
1. Dr. Aziz Alimul Hidayat, S.Kep., Ns, M.Kes., selaku rektor Universitas Muhammadiyah
Lamongan.
2. Arifal Aris, S.Kep., Ns., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
3. Suratmi, S.Kep., Ns.,M.Kep, selaku Kaprodi S1 Keperawatan
4. Ns. Rizky Asta Pramestirini, M.Kep, selaku pembimbing akademik kelas 3A keperawatan.
5. Eko Ari Bowo, S.KM., M.KKK selaku Dosen Pembimbing mata kuliah
6. Semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil demi terselesaikannya
makalah ini.
Semoga Allah SWT memberi balasan pahala atas semua amal kebaikan yang diberikan.
Kami menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan, akhirnya kami berharap semoga laporan ini
bermanfaat bagi kami pada khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya.
Kelompok 7
4
BAB 1
PENDAHULUAN
Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, dicetuskan suatu ide sistem analisis
yang proaktif sebagai strategi pencegahan error. Root cause merupakan alasan yang paling
mendasar terjadinya kejadian yang tidak diharapkan. Apabila permasalahan utama tidak dapat
diidentifikasi, maka kendala-kendala kecil akan makin bermunculan dan masalah tidak akan
berakhir. Oleh karena itu, mengidentifikasi dan mengeliminasi akar suatu permasalahan
merupakan hal yang sangat penting. Root cause analysis merupakan suatu proses
mengidentifikasi penyebab-penyebab utama suatu permasalahan dengan menggunakan
pendekatan yang terstruktur dengan teknik yang telah didesain untuk berfokus pada
identifikasi dan penyelesaian masalah.
5
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian RCA.
2. Mengetahui langkah-langkah RCA.
3. Mengetahui tahapan RCA.
4. Mengetahui pengertian FMEA.
5. Mengetahui dasar FMEA.
6. Mengetahui langkah-langkah FMEA.
7. Mengetahui contoh study kasus RCA.
8. Mengetahui contoh study kasus FMEA.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Pengertian
Root Cause (akar masalah), akar atau isu fundamental, adalah titik awal dimana bila
pada titik tersebut diambil suatu tindakan (pencegahan) maka peluang terjadinya insiden akan
berkurang.
RCA diterapkan pada kejadian resiko tinggi, berdampak luas yaitu semua KTD dan
Sentinel. Apabila terjadi insiden lain seperti KTC, KNC, dan KPC cukup dilakukan
investigasi sederhana. Setian proses pengelolaan insiden harus dapa menetapkan tingkat
investigasi dan tindakan yang diperlukan.
RS memastikan bahwa seluruh staf yang terkait mampu melakukan analisis akar
masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa maslah terjadi untuk kemudian menyusun
rencana tindak lnjutnya. RCA dilakukan oleh Tim RCA, sementara komite Peningkatan Mutu
dan Keselamatan Pasien bertanggung jawab untuk :
Mengingatkan untuk dilaksanakannya RCA.
Mengatur Penyelenggaraan suatu investigasi.
Mengelola tim RCA.
Pelaporan secara organisatoris dan memonitor tindak lanjut upaya pengurangan
resiko.
Koordinasi program RCA.
Evaluasi program RCA.
7
Narrative Chronology
Timeline
Tabular Timeline
Time Person Grid
5. Identifikasi CMP (Care Management Problem)
Brainstroming, bainwriting
6. Analisis Informasi
5 Why's
Analisis Perubahan
Analisis Penghalang
Fishbone / Analisis Tueang Ikan
7. Rkomendasi dan Rencana Kerja Untuk Improvement
1.1.1. Tahapan Melakukan Root Cause Analysis (RCA)
LANGKAH 1 dan 2 : Identifikasi insiden dan tentukan tim, dengan
menggunkan form seperti dibawah ini :
INSIDEN :
Ketua :
Anggota : 1. 4.
2. 5.
3. 6.
Apakah semua area yang terkait sudah terwakili ? YA
TIDAK
Apakah macam-macam dan tingkat pengetahuan yang berbeda, sesudah diwakili
dalam tim tersebut ? YA TIDAK
8
LANGKAH 3 : Kumpulkan data & informasi
Dengan menggunakan form seperti dibawah ini :
Observasi langsung :
Dokumentasi : 1. .................................................
2. .................................................
3. .................................................
4. .................................................
5. .................................................
TAMBAHAN
Good Practice
MASALAH
PELAYANAN
MASALAH INSTRUMENT/TOOLS
9
1.
2.
3.
4.
5.
MASALAH INSTRUMENT/TOOLS
1. Mengapa
2. Mengapa
3. Mengapa
4. Mengapa
5. Mengapa
10
Adalah alat untuk menggmbarkan penyebab-penyebab suatu masalah secara rinci.
Diagram tersebut memfasilitasi proses identifikasi masalah sebagai langkah awal untuk
menentukan fokus perbaikan, menggambarkan ide pengumpulan data, menggali penyebab
terjadinya masalah dan menganalisa masalah tersebut. Untuk pengisisan diagram fish bone
ini dilakukan dengan melihat faktor-faktor kontributor.
Ket :
11
Komponen Sub Komponen
Organisasi dan Manajemen a. Struktur Organisasi
b. Pengawasan
c. Jenjang Pengambilan Keputusan
Kebijakkan, Standar & Tujuan a. Tujuan dan misi
b. Penyusunan Fungsi Manajemen
c. Kontrak Servis
d. Sumber Keuangan
e. Pelayanan Informasi
f. Kebijakan Diklat
g. Prosedur dan Kebijakan
h. Fasilitas dan Perlengkapan
i. Manajemen Resiko
j. Manajemen K3
k. Quality Improvement
Administrasi Sistem Administrasi
Budaya Keselamatan a. Attitude Kerja
b. Dukungan Manajemen Oleh Seluruh Staf
SDM a. Ketersediaan
b. Tingkat Pendidikan & Keterampilan Staf yang
Berbeda
c. Beban Kerja yang Optimal
Diklat Manajemen Training/Pelatihan/Refresing
12
b. Ketidak Tersediaan
c. Manajemen Pemeliharaan
d. Fungsionalitas
e. Rancang, Penggunaan & Maintenance Peralatan
13
KOMPONEN SUB KOMPONEN
Ketersediaan SOP a. Prosedur Peninjauan & Revisi SOP
b. Ketersediaan SOP
c. Kualitas Informasi
d. Prosedur Infestigasi
Ketersediaan & Akurasi Hasil Test a. Test tidak dilakukan
b. Ketidak sesuaianantara interprstasi hasil test
Faktor Penunjang Dalam Validasi a. Ketersediaan, penggunaan, reliabilitas
Alat Medis b. Kalibrasi
Rancang Tugas Penyelesaian tugas tepat waktu dan sesuai SOP
14
Komuniaksi Tertulis Ketidak lengkapan Informasi
SUMBER
AKAR TINGKAT DAYA BUKTI
TINDA P WAK PARA
MASAL REKOMEN YANG PENYELES
KAN J TU F
AH DASI DIBUTUH AIAN
KAN
1.
2.
2.1.
2.2. FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS (FMEA)
15
Proses mengurangi resiko di RSUD Baturaja dilakukan paling sedikit sat kali dala
setahun dan dibuat dokumentasinya, dengan menggunakan Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA).Proses yang dipilih adalah proses dengan resiko tinggi.
1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1. Pengertian Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Beberapa definisi FMEA :
Adalah suatu alat mutu untuk mengkaji suatu prosedur secara rinci dan mengenali
model-model adanya kegagalan/kesalahan dan mencari solusi dengan melakukan
perubahan desain/prosedur.
Adalah metode perbaikan kinerja dengan mengidentifikasi dan mencegah potensi
kegagalan sebelum terjadi. Hal tersebut dirancang untuk menyelamatnkan
keselamatan pasien.
Adalah proses proaktif, dimana kesalahan dapat dicegah dan diprediksi.
Mengantisipasi kesalahan akan meminimalkan dampak buruk.
Kelebihan utama dari FMEA yaitu membuat pengguna dapat fokus pada proses
merancang ulang proses-proses yang memiliki potensial masalah untuk mencegah
terjadinya kegagalan di kemudian hari.
Delapan tahap FMEA (JCAHO, 2005) :
1. Memilih proses yang bersiko tinggi dan membentuk tim.
2. Membuat diagram proses ata alur proses dengan flow chart yang rinci
3. Untuk setiap kemungkinan kegagalan (failure mode ) identifikasi efek yang
memungkinkan terjadi ke pasien (the effect).
4. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dari efek tersebut ke pasien (RPN(Risk
Priority Numbers))
5. Melakukan root cause analysis dari failure mode
6. Rancangan ualang proses
7. Analisa dan uji cobakan proses yang baru
8. Implementasi dan monitoring proses baru
16
1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1.
2.2.2. Dasar Failure Modes and Effect Analysis (FMEA)
FMEA merupakan salah satu alat dari Six Sigma Untuk mengidentifikasi sumber
sumber atau penyebab dari suatu masalah kualitas. Menurut Chrysler (1995),FMEA dapat dil
akukan dengan cara :
1. Mengenali dan mengevaluasi kegagalan potensi suatu produk dan efeknya.
2. Mengidentifikasi tindakan yang bisa menghilangkan atau mengurangi
kesempatan dari kegagalan potensi terjadi.
3. Pencatatan proses (Document the process).
Sedangkan manfaat FMEA adalah sebagai berikut :
1. Hemat biaya. Karena sistematis maka penyelesaiannya tertuju pada potensial
Causes (penyebab yang potensial) sebuah kegagalan /kesalahan.
2. Hemat waktu, karena lebih tepat pada sasaran.Kegunaan FMEA adalah sebaga
i berikut :
a) Ketika diperlukan tindakan Preventive/ pencegahan sebelum masalahterjadi.
b) Ketika ingin mengetahui / mendata alat deteksi yang ada jika terjadikegagalan
c) Pemakaian proses baru
d) Perubahan / pergantian komponen peralatan
e) Pemindahan komponen atau proses ke arah baru
17
Bentuk TIM
Ketua :
Anggota 1. 4.
2. 5. 3.
6.
TIDAK
Apakah macam-macam dan tingkat pengetahuan yang berbeda, sudah diwakili didalam tim
tersebut?
YA TIDAK
Tahapan Proses :
Jelaskan proses setiap kegiatan sesuai kebijakan dan prosedur yang berlaku.
Jika proses terlalu kompleks, pilih satu proses atau sub proses untuk di tindak lanjuti.
1 2 3 4 5 6
Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses
18
A. A. A. A. A. A.
B. B. B. B. B. B.
C. C. C. C. C. C.
D. D. D. D. D. D.
E. E. E. E. E. E.
1 2 3 4 5 6
Jelaskan sub proses kegiatan yang dipilih dan kemungkinan kegagalan pada setiap sub
proses
Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses Sub Proses
A. A. A. A. A. A.
B. B. B. B. B. B.
C. C. C. C. C. C.
D. D. D. D. D. D.
E. E. E. E. E. E.
Failures mode adalah suatu perilaku yang dapat gagal, dan secara umum menjelaskan
bagaimana suatu kegagalan terjadi dan dampaknya terhadap suatu proses. E (efek) adalah
19
hasil dari kegagalan tertentu atau kestabilan seluruh ayau sebagaian proses. Efek kegagalan
adalah konsekuensi dari failure mode pada operasional, fungsi atau status dari tahapan proses.
Probabilitas terjadinya failure mode( Sering disebut frekuensi atau likelihood dari
suatu kejadian )
Kemudahan untuk di deteksi
Kriteria Efek
Probabilitas terjadinya efek
Tingkat keparahan
Kriteria lain
Biaya, waktu dan ketersediaan sumber daya lain.
RPN (Risk Priority Number) merupakan cara untuk menghitung tingkat bahaya dan
disebut juga sebagai Critially Index, yang berdasarkan tingkat keparahan, tingkatkejadian dan
nilai kemudahan dideteksi.
Tujuan menyusun prioritas adalah mengidentifikasi failure mode yang paling butuh
dianalisis untuk meningkatkan proses dan mengurangi risiko mencelakai pasien.
20
menimbulkan beberapa efek pada proses
2 MODERAT Kegagalan dapat mempengaruhi proses pelayanan
kesehatan tetapi menimbulkan kerugian minor
Dapat berdampak pada pasien dan dapat
menimbulkan efek yang sangat besar
3 MAYOR Kegagalan menyebabkan kerugian yang lebih
besar terhadap pasien
4 MAYOR INJURY Dapat membuat pasien mengalami luka parah dan
menimbulkan efek yang besar pula pada proses
5 TERMINAL INJURY Sangat berbahaya: kegagalan akan berakibat pada
kematian dan menimbulkan efek yang sangat besar
terhadap proses
21
2 Sangat mungkin terdeteksi
1 Selalu terdeteksi
Merancang ulang sebuah proses dan system pendukungnya adalah langkah yang paling
penting. Tujuannya adalah untuk menghindari cidera yang mungkin terjadi.
Merancang ulang sebuah proses dapat dilakukan dengan :
Mengurangi keragaman
Standarisasi proses
Menyederhanakan proses
Mengoptimalkan back up untuk mengurangi kemungkinan kegagalan
menggunakan teknologi otomatis
Membangun mekanisme perlindungan kegagalan
Melakukan dokumentasi / pencatatan
22
BAB 3
STUDY KASUS
2.
2.1. Study Kasus RCA
RIWAYAT KRONOLOGI DAN
INFORMASI TAMBAHAN HASIL INVESTIGASI
SOP ruang OK menyatakan bahwa “dokter bedah harus melihat dan memeriksa semua pasien
dan dokumen terkait sebelum melakukan operasi, termasuk memberi tanda (mark site) pada
lokasi yang akan dibedah. Dia dapat mendelegasikannya kepada asistennya”. Pedoman
tersebut tidak merinci kapan pemeriksaan tsb harus dilakukan. Dokter Bedah mengatakan
bahwa kebiasaannya menemui pasien prabedah adalah di ruangan saat ia ronde sehari
23
sebelum operasi. Ia juga biasanya mengecek sendiri lokasi yang akan dibedah, tetapi pada
kasus ini pasien masuk RS terlalu sore. Dokter bedah mengatakan bahwa ketidaktersediaan
tempat tidur sering mengakibatkan pasien masuk RS terlalu sore, sehingga mengakibatkan
pasien kadang-kadang tidak ditemuinya pra-bedah. Dokter bedah memang melakukan ronde
tidak pada waktu yang sama setiap harinya.
Pasien divisit oleh Dokter anestesi di ruang rawat. Pasien menolak tawaran anestesi regional.
Catatan di anestesi bertanggal 19 Maret 2002.
Klarifikasi ke dr SpAn: “Sudah kebiasaan anestesi dan kebiasaan di RS untuk mencatat pre-
assessment dalam log-book dan kemudian menyalinnya ke catatan anestesi pada hari operasi.
Cara kerja seperti ini banyak dilakukan oleh para anestesi, karena catatan seringkali hilang.
Pada saat menyalin informasi / pre assessment tersebut, tindakan yang direncanakan tidak
terdokumentasi / tidak diisi pada kolom yang tersedia.
Pasien diperiksa oleh Perawat OK di ruang rawat.. (Ia baru pertama kali bekerja di ruang
Ortopedi). Ia memberi tanda lokasi operasi di tungkai bawah kanan (right shin) dengan pensil
kulit Tanda tsb kemudian ditutupi dengan stocking anti-emboli hingga bawah lutut. Tanda
lokasi operasi telah ditandai di tempat yang tidak biasa karena biasanya ditandai di lokasi
operasinya yaitu lutut itu sendiri sehingga dapat terlihat karena terletak di atas kaus kaki.
Diskusi dengan Perawat OK diperoleh pernyataan bahwa tidak ada petunjuk atau instruksi
tentang cara penandaan tanda lokasi operasi.
Residen 2 menemui pasien di ruangan dan mengecek informed consent pasien, catatan medis
dan foto rontgen.
Residen 2 diberitahu oleh Perawat OK bahwa lokasi operasi telah ditandai. Residen 2 tidak
mengeceknya atau bertanya dimana ditandainya.
24
Pasien disiapkan untuk operasi oleh staf perawat senior di ruangan. Tanda lokasi operasi
terlihat dan dicatat.
Saat itu Penanggungjawab OK tidak ditempat karena sedang mencari cuff tensimeter yg
tidak ada . Sebelumnya Ia membawa pasien ke ruang pemulihan (Ruang RR), dimana
biasanya pasien masih terpasang cuff dari OK. Penanggungjawab OK akan mengembalikan
cuff ke OK, tapi pada saat itu di ruang pemulihan tidak terdapat cuff sehingga ia harus
mencarinya dulu ke tempat lain. Penanggungjawab OK belum terbiasa dengan layout OK.
Pasien selesai dicek oleh dokter anestesi dan perawat OK. Tanda lokasi operasi terlihat sesuai
catatan, yaitu di tungkai bawah kanan (right shin). Kelihatannya pasien menunjukkan lokasi
operasi kepada dokter anestesi dan perawat bedah dan kemudian memasang kembali kaus
kaki kompresi (anti emboli), sehingga mungkin menutupi tanda lokasi operasi.
25
memastikan bahwa pengecekan yang dilakukan oleh masing-masing tersebut konsisten satu
dengan lainnya.
Instrumen set untuk operasi revisi lutut kanan maupun kiri sama, tidak dibedakan. Baki
instrumen (instrument tray) juga sama baik untuk kanan ataupun kiri, kecuali baki untuk
komponen lutut yang tidak diperlukan pada operasi kali ini.
Perawat bedah keluar OK untuk mengambil prostesis yang sesuai. Satu set sudah disiapkan
untuk kasus ini, yang khusus untuk operasi lutut kanan tidak di siapkan.
Dokter bedah dan asistennya menyiapkan posisi pasien. Pemeriksaan dalam keadaan
teranestesi dilakukan di OK oleh dokter bedah. Lutut kiri tidak stabil didalam
catatannya. Di bawah lutut terpasang stocking anti emboli. Tanda lokasi operasi tidak terlihat.
Pada saat itu beban pekerjaan di OK cukup tinggi.Dokter bedah dan staf mengatakan bahwa
“hari-hari itu tidak seperti biasa” beban kerjanya, dan operasi sering selesai satu jam setelah
waktu kerja yaitu 16.30. Dua dari pasien dalam daftar telah ditunda beberapa kali akibat
terbatasnya tempat tidur.
Tim OK berkomentar bahwa kebanyakan mereka sering bekerja bersama. Telah ada perasaan
saling percaya dan moral yg baik di dalam tim.
Dalam pedoman tidak terdapat instruksi yang menyatakan bahwa tanda letak operasi tidak
boleh tertutupi.
26
19 Maret 2002 pk 12.25
Tourniquet dipasang di tungkai bawah kiri oleh konsultan bedah dan asistennya. Selama
tindakan, tidak ada orang di dalam OK yang mendeteksi bahwa operasi dilakukan di
ekstremitas yang salah. Satu-satunya catatan yang ada adalah catatan anestesi, dan disana
tertulis “revisi lutut kiri”.
Di dalam dokumen rencana perawatan OK terdapat kolom untuk mencatat lokasi dan waktu
pemasangan tourniquet. Sayangnya pada kasus ini tidak tercatat. Hal ini dapat mengakibatkan
tidak adanya trigger bagi tim untuk menyadari kesalahan lokasi. Letak tourniquet dan waktu
pemasangan hanya tercatat di dokumen anestesi, yaitu tungkai bawah kiri. Dalam diskusi
dengan dokter anestesi ia mengatakan bahwa ia mencatat apa yang dilihatnya – yang
dilakukan dokter bedah. Selain itu prosedur yang direncanakan tidak dilengkapi di dalam
catatan anestesi. Ia mengatakan bahwa apabila anestesi regional yang dilakukan, dan itu yang
biasanya ia lakukan, akan dapat mentrigger respons nya.
Operasi selesai. dokter bedah memiliki riwayat yang panjang dalam hubungannya dengan
pasien. Fakta bahwa pasien telah berulangkali operasi pada kedua lutut dan bahwa lutut kiri
tidak stabil pada pemeriksaan dibawah anestesi turut berperan dalam terjadinya kesalahan.
Dalam wawancara, dokter bedah mengatakan “saya memeriksa lutut kiri dibawah anestesi ...
dan saya menemukan lutut kiri hiper-ekstended dibanding dengan lutut kanan, dan pada
ekstensi menunjukkan varus-valgu yang menunjukkan adanya medial ligament laxity. Lutut
kanan stabil pada ekstensi”.
27
Pasien memberitahu staf pemulihan bahwa terdapat kesalahan operasi. Staf pemulihan
memberitahu dokter bedah bahwa pasien mengatakan kalau lutut yang salah yang dioperasi.
Pasien dikunjungi oleh dokter bedah dan dokter anestesi. Perawat OK memberitahu
koordinator OK. Formulir Incident report diisi dan prosedur penyelidikan yang serius
dilakukan.
Dokter bedah berbicara kepada pasien didampingi Residen 2 tentang insiden tersebut. Dokter
bedah juga memberitahu kepada “the clinical risk, medical and personal injury litigation
departments” dan Direksi tentang insiden ini.
Dokter bedah berbicara ke pasien lagi tentang kesalahan dan menawarkan dokter bedah lain
untuk melanjutkan perawatan tapi Pasien menolaknya. Akhirnya direncanakan untuk
melakukan tindakan pada lutut kanan tgl 2 April 2002. Dokter bedah juga berbicara kepada
keluarga pasien.
2 April 2002
Pemetaan Informasi
Buatlah pemetaan informasi dengan menggunakan Tabular Timeline dan Time Person Grid
28
Identifikasi Masalah Pelayanan
1. Dokter konsultan tidak melihat pasien sebelum tindakan operasi, akibat keterlambatan
masuk perawatan dan perawat sangat sibuk (5 W)
2. Kegagalan untuk mendokumentasikan perencanaan tindakan dalam catatan anestesia
(Analisa Perubahan)
3. Tidak adanya cuff tensimeter di OK saat diperlukan (fishbone)
4. Pasien tiba di ruang operasi diterima oleh staf yang tidak semestinya (fishbone)
5. Tourniket yang digunakan pada tungkai kiri oleh konsultan bedah dan asistennya
(Analisa Hambatan)
6. Salah tungkai yang ditandai karena tersembunyi oleh kaus kaki (Analisa Perubahan).
7. Penanggungjawab OK tidak ada saat pasien masuk (Analisa Perubahan)
Analisis Pengelolaan
Buatlah Analisis masalah pelayanan (CMP) yang sudah teridentifikasi dengan memilih
beberapa instrumen seperti dibawah ini :
29
30
31
32
33
Prioritas Akar masalah
Pilihlah salah satu faktor kontribusi yang paling berperan dalam Analisis Diagram Tulang
Ikan.dan buatlah prioritas Akar masalahnya.
34
6. Setiap spesialis atau bagian setuju dengan tempat operasi dan disebarkan
kepada SHO
Beban tugas
1. Tinjau kembali beban tugas dan alokasi staf
- Bila beban tugas berlebih carikan pemecahannya
buka rongga tubuh penghitungan kasa oleh perawat instrumentasi dan pengecekan diagnosis oleh
operator, sedangkan pada operasi de- bridement hal ini tidak dilakukan. Peneliti mencoba
membandingkan dengan standar prosedur operasio- nal (SPO) di RS ini, serta standar keselamatan
pa- sien WHO.
Dari 29 aktivitas pada tujuh subproses pelayan - an operasi, teridentifikasi 25 aktivitas yang tidak
dilakukan ataupun dilakukan dengan tidak lengkap pada proses pelayanan pasien operasi di RS dan
hal ini dapat menimbulkan 26 risiko potensial kegagalan. Ketika diklarifikasi dengan perawat kamar
operasi dan operator dalam wawancara tidak terstruktur tentang proses operasi sign in, time out,
dan sign out, keduanya mengkonfirmasi hal tersebut.
"Kata siapa?...jane mulai dulu ya ada... Cuma kitanya aja karena menganggap itu dah pe kerjaan
rutin jadi jarang dikerjakan' "Lha yaitu tadi, saya juga... kalau operasi cek kecek (sederhana
diperkirakan tanpa penyu- lit) jarang melakukan itu (time out), kalau ope- rasi rodok rumit baru
kita kerjakan "Harus! (kata beliau dengan nada penuh penekanan)... tapi ya itu tadi manusia kalau
gak pernah kena masalah gak mau hati-hati dan seringkali menganggap pekerjaan seba- gai
rutinitas saja... padahal lho... sing diadepi nyowo...." "Kadose nggeh sami mawon dok, tergantung
tim Addose operasinya dan kasusnya... ada operator yang melakukan itu, meskipun gak sedetil
standar tapi kebanyakan gak.... apalagi kasus-kasus mudah... Sambil mengangkat alis mata dan
bahu.
Tim operasi menganggap sebagai suatu rutinitas yang sering dilakukan, sehingga menjadikan pe
ngecekan jarang dilakukan.
"Mereka sih melakukan serah terima lihat ceklis... tapi gak ngecek bener gaknya yaaa... akhirnya
kayak masalah persediaan darah yang tadi." "Jadi dari saya sendiri juga kalau serah teri- ma juga
ya ndak sesempurna itu karena me- mang mungkin tadi betul belum pernah keta-talan..." "Tapi
ngeceknya, ngecek. Tapi nggak nyam- pek tanya ke pasiennya namanya betul apa nggak seperti itu
35
memang ndak. Hayo pingin ruh aku sopo sing serah terima sampek detil kayak gitu." "Ini saya juga
nggak tau kenapa saya ndak melakukannya."
Dari hasil DKT analisis hazard alur proses pela yanan pasien operasi dari tujuh subproses didapat kan
26 aktivitas yang berpotensi terjadi kegagalan. Setelah melakukan skoring didapatkan hazard score
antara tiga sampai dengan delapan seperti terlihat pada bands risiko, yaitu derajat risiko yang
digambarkan dalam empat warna (biru, hijau, kuning, merah). Warna biru dan hijau memerlukan
investigasi seder- hana, sedangkan kuning dan merah memerlukan investigasi komprehensif dengan
root cause analysis (RCA).
Pada risiko dengan skor 8 (ekstrim) harus dilaku- kan RCA paling lama 45 hari, membutuhkan
tindakan segera, perhatian sampai ke tingkat manajer puncak (direktur). Hasil HFMEA proses pasien
operasi di RS ini mengidentifikasi empat potensi risiko insiden ekstrim, yaitu:
1. Terjadinya perdarahan selama proses operasi pada subproses serah terima pasien di kamar
operasi oleh perawat ruang rawat inap kepada petugas kamar operasi karena. tidak dilakukan
pengecekan persediaan darah.
2. Terjadinya perdarahan selama proses operasi pada subproses persiapan sebelum dilakukan
anestesi pada pasien (sign in), karena tidak persediaan darah. dila kukan pengecekan
3. Terjadinya perdarahan dari jaringan yang dipo tong pada subproses sebelum pasien mening
-galkan kamar operasi (sign out) karena tidak dilakukan pengecekan ulang perdarahan dan tidak ada
komunikasi verbal oleh seluruh anggota tim.
4. Tidak terambilnya atau hilangnya bahan peme riksaan pada subproses sebelum pasien me
ninggalkan kamar operasi (sign out) karena tidak dilakukan komunikasi verbal dan pengecekan ulang
dokumen.
36
BAB 4
PENUTUP
1.
2.
3.
4.
4.1. Kesimpulan
Root Cause Analysis (RCA) merupakan pendekatan terstruktur untuk
mengidentifikasi faktor-faktor berpengaruh pada satu atau lebih kejadian-kejadian
yang lalu agar dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja. Root cause analysis
merupakan suatu proses mengidentifikasi penyebab-penyebab utama suatu
permasalahan dengan menggunakan pendekatan yang terstruktur dengan teknik yang
telah didesain untuk berfokus pada identifikasi dan penyelesaian masalah. Menemukan
akar masalah merupakan kata kunci. Sebab, tanpa mengetahui akar masalahnya, suatu
insiden tidak dapat ditanggulangi dengan tepat, yang berakibat pada berulangnya
kejadian insiden tersebut dikemudian hari. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
adalah metode perbaikan kinerja dengan mengidentifikasi dan mencegah potensi
kegagalan sebelum terjadi. Hal tersebut dirancang untuk menyelamatkan keselamatan
pasien.
Salah satu budaya patient safety adalah mengkomunikasikan kesalahan,
melaporkan kesalahan dengan tetap berpegang pada keselamatan pasien dan belajar
dari kesalahan dan mendesain ulang sistem keselamatan pasien yang lebih baik. Untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi, dicetuskan suatu ide sistem analisis yang
proaktif sebagai strategi pencegahan error. Oleh karena itu, mengidentifikasi dan
mengeliminasi akar suatu permasalahan merupakan hal yang sangat penting.
1.
2.
3.
4.
4.1.
4.2. Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan tenaga medis khususnya perawat dan
37
calon perawat dapat memanfaatkan dan mengaplikasikan Root Cause Analysis (RCA)
dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) dalam tindakan medis khususnya
keperawatan. Untuk meningkatkan kinerja dan keselamatan pasien.
LAMPIRAN JURNAL
1. JURNAL KASUS RCA
Abstrak
38
Abstract
39
2. JURNAL KASUS FMEA
ABSTRACT
Background: Most of medical errors are preventable. High number of adverse event
and near miss cases in hospitals indicate opportunity for improvement. Therefore,
efforts to identify potential risks, recognize event as early as possible, and set a
barrier mechanism through implementation of Health Care Failure Mode and Effect
Analysis (HFMEA) are required. This research was aimed to identify the risk of
patient safety incident (failure mode), in surgery care processes, the cause of failure
mode in every stage and the prevention strategy using HFMEA in hospital setting.
Methods: This study employed an observation study to apply HFMEA in surgical
care processes. Data were collected through direct observation of surgical preparation
and procedures in the ward and operating theatre, 18 interviews as well as document
analysis and focus group discussions.
Result: We found 25 activities that were not performed or partially performed
leading to 26 potential failure modes and four critical patient safety incidents. The
main cause of the potential risk is non-effective communication. This is caused by
neglected or violation due to frequent care transitions between departments and shifts,
lack of supervision, lack of nurse competence, and absence of full-time surgeonts.
These findings show lack of patient safety culture as the underlying cause.
Conclusion: Poor communication and care transition is the main causes of potential
safety incident in surgery care process. This can be prevented by process redesign and
health care teamwork improvement.
40
Keywords: communication, health failure mode and effect analysis, surgery care
potensial kegagalan. Faktor penyebab terjadinya potensi risiko adalah kompetensi
perawat yang kurang, tidak adanya dokter operator tetap, kurangnya supervisi,
monitor dan evaluasi, serta banyaknya transisi yang mendorong terjadinya
pengabaian prosedur komunikasi pada setiap transisi antar bagian atau antar shift.
Semua faktor menggambarkan belum berkembang- nya budaya keselamatan pasien.
Kata kunci: komunikasi, health failure more and effect analysis, proses operasi
41
42