Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG BID’AHNYA TAHLILAN

DISUSUN OLEH:
Miftah Farid Alfarisi
XII IPA 1

GURU PEMBIMBING:
Suci Handayani, S.Sy

MADRASAH ALIYAH NEGERI BATAM


Jl. Brigjen Katamso No.10, Tj. Uncang, Kec. Sagulung, Kota
Batam, Kepulauan Riau
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya
makalah ini. Tidak sedikit kendala yang menghalang penyusun dalam
menyelesaikan tugasnya, namun berkat rahmat dan hidayah-Nya telah
membimbing penyusun untuk terus berusaha menyelesaikan makalah ini.
Karya tulis ilmiah mengenai Pendapat Imam Syafi’I Tentang Bid’ahnya
Tahlilan ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penyusun mengakui makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, semua
karena pengetahuan dan kemampuan penyusun sebagai manusia biasa. Untuk itu
penyusun memohon maaf atas semua kekurangan dan kesalahan yang terjadi di
dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun tetap berharap, sekecil apapun semoga tugas ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penyusun secara pribadi, dan semuanya pada
umumnya.

Batam, 28 November 2022

Miftah Farid Alfarisi

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I BIOGRAFI
1.1 Biografi Imam Syafi’i...........................................................................1
1.2 Metode Istinbath Imam Syafi’i.............................................................3
BAB II POKOK MATERI
2.1 Ijmak Ulama Bahwa Nabi, Para Sahabat, dan Para Imam Madzhab
Tidak Pernah Tahlilan...........................................................................6
2.2 Yang Sunnah Adalah Meringankan Beban Keluarga Mayat Bukan
Malah Memberatkan.............................................................................7
BAB III PENDAPAT IMAM DAN DALIL YANG DIGUNAKAN
3.1 Argumen Madzhab Syafi’I Yang Menunjukkan Makruhnya /
Bid’ahnya Acara Tahlilan.....................................................................8
BAB IV KESIMPULAN..................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan Teknologi berikan pengaruh yang lumayan besar terhadap dunia,
masyarakat dari bermacam belahan bumi menggunakan kecanggihan teknologi
dalam perihal pencarian informasi. Dengan di dukung lahirnya Internet kurang
lebih tahun 1960. Dengan hadirnya internet yang merupakan pengembangan
teknologi komunikasi serta informasi, hingga terus menjadi gampang mengakses
berbagai data secara internasional. Internet ialah Interconnection Networking
secara global sebab ialah jaringan komputer dalam skala internasional. Dalam
perkembangannya, anime di indonesia hadapi kemajuan yang sangat pesat dalam
perihal mengumpulkan peminat. Jumlah peminat anime sendiri dapat dilihat dari
banyaknya fansub yang bermunculan, Situs- situs web ataupun fansub yang
sediakan anime free dengan subtitle bahasa Indonesia yang selalu pembaharuan
tiap harinya, antara lain WardhAnime- AWSub, AnimeIndo, Samehadaku,
Moesubs, Oploverz, serta masih banyak lagi. Judul anime sendiri sangat
bermacam- macam, anime buatan Jepang sendiri yang lumayan populer di
golongan pencinta anime di Indonesia antara lain semacam Naruto, One Piece
Attack on Titan, Owari No Serraph, Final Fantasy, Sword Art Online, Saint Seiya,
serta masih banyak lagi. Anime sendiri pula dipecah dalam tipe jenis genre
berbeda- beda semacam action, adventure, comedy, fantasy, Shoujo, Shounen,
Slice of Life, sci- fi serta sebagainya.
.

1.2 Metode Istinbath Hukum Mazhab Syafi’i


Keempat Imam mazhab sepakat mengatakan bahwa sumber hukum Islam
adalah AlQur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Dua sumber tersebut disebut
juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk
(dalil) utama kepada hukum Allah SWT.
Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur‟an dan sunnah seperti Qiyas,
Istihsan, Istishlah, dan lainnya, tetapi dalil ini hanya sebagai dalil pendukung

1
yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang
dikandung oleh Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Karena hanya
sebagai alat bantu untuk memahami AlQur‟an dan sunnah, sebagian ulama
menyebutnya sebagai metode istinbath. Oleh karena yang disebut sebagai
“dalil-dalil pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode
istinbath, para ulama Imam mazhab tidak sependapat dalam
mempergunakannya sebagai sumber hukum Islam.

Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi‟i


dalam Istinbāţ hukum, antara lain :
1. Al-Quran
2. Sunnah
3. Ijmak
4. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.

Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi‟i, seperti


yang dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-
Islam, yaitu sebagai berikut :
… rujukan pokok adalah Al-Quran dan sunnah. Apabila suatu persoalan
tidak diatur dalam Alquran dan sunnah, hukumnya ditentukan dengan qiyas.
Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak diutamakan ataskhabar
mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila suatu
lafaz ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih
diutamakan.hadis munqati' ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab.As-Asl
tidak boleh diqiyaskan kepada al-asl. Kata "mengapa" dan "bagaimana"
tidak boleh dipertanyakan kepada Alquran dan sunnah, keduanya
dipertanyakan hanya kepada al-Furu'.

2
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi‟i
menggunakan lima sumber, yaitu:
a. Nash-nash, baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama
bagi fikih Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para
sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah
bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
b. Ijmak, merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam
Syafi‟I menempati urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau
mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu
terhadap satu masalah hukum syar‟i dengan bersandar kepada dalil.
Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh imam Syafi‟I adalah
ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak diakhirkan
dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak
ada hujjah padanya.
c. Pendapat para sahabat. Imam Syafi‟i membagi pendapat sahabat
kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti
ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan
perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah
dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua,
pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu
masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi‟i tetap
mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat,
maka dalam hal ini imam Syafi‟i akan memilih salah satunya yang
paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak, atau mrnguatkannya
dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat
baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
d. Qiyas. Imam Syafi‟i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber
hukum bagi syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran
dan sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang
dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid

3
lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang
sedang digali oleh seorang mujtahid.
e. Istidlal. Imam Syafi‟i memakai jalan istidlal dalam menetapkan
hukum, apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah
sebelumnya di atas. Dua sumber istidlal yang diakui oleh imam
Syafi‟i adalah adat istiadat („urf) dan undangundang agama yang
diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu, kedua sumber
ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi‟i sebagai
dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi‟i.

BAB II
POKOK MATERI

2.1 Ijmak Ulama bahwa Nabi, Para Sahabat, dan Para Imam Madzhab
Tidak Pernah Tahlilan

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara


maulid Nabi dan bid’ah-bid’ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para
tabi’in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu
Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).

Akan tetapi anehnya sekarang acara tahlilan pada kenyataannya seperti


merupakan suatu kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan
merupakan celaan yang besar jika seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan.
Sampai-sampai ada yang berkata, “Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu
yang meninggal?”.

Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah


kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang

4
meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu
Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu ‘anhum) meninggal semasa hidup
beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu ‘anhaa juga
meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau
tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari
saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau
cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin
Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja’far bin Abi Thoolib, dan juga sekian
banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak
seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa’ ar-


Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang
melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka
yang meninggal dunia.

Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para
sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari’at tatkala itu, lantas sekarang
berubah statusnya menjadi syari’at yang sunnah untuk dilakukan, bahkan
wajib, Sehingga jika ditinggalkan maka timbulah celaan

2.2 Yang Sunnah adalah Meringankan Beban Keluarga Mayat Bukan


Malah Memberatkan
Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi
sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya
keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani
dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…
hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000.

5
BAB III
PENDAPAT IMAM DAN DALIL YANG DIGUNAKAN

3.1 Argumen Madzhab Syafi’I Yang Menunjukkan Makruh/Bid’ahnya


Tahlilan
Banyak hukum-hukum madzhab Syafi’i yang menunjukkan akan
makruhnya/bid’ahnya acara tahlilan. Daintaranya :

PERTAMA : Pendapat madzhab Syafi’i yang mu’tamad (yang


menjadi patokan) adalah dimakruhkan berta’ziah ke keluarga mayit setelah
tiga hari kematian mayit. Tentunya hal ini jelas bertentangan dengan acara
tahlilan yang dilakukan berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan
bahkan ke-1000.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

6
“Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi’i) mengatakan :
“Dan makruh ta’ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta’ziah
adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang
dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi
kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma’ruf….” (Al-Majmuu’
Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)
Setalah itu al-Imam An-Nawawi menyebutkan pendapat lain dalam
madzhab syafi’i yaitu pendapat Imam Al-Haromain yang membolehkan
ta’ziah setelah lewat tiga hari dengan tujuan mendoakan mayat. Akan tetapi
pendapat ini diingkari oleh para fuqohaa madzhab syafi’i.
Al-Imam An-Nawawi berkata :

“Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam


madzhab syafi’i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta’ziah, bahkan
boleh berta’ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu, karena
tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan larangan
untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama.
Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh Abul ‘Abbaas bin Al-Qoosh dalam
kitab “At-Talkhiis”.
Al-Qoffaal (dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab
syafi’i yang lainnya mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi’i adalah
adanya ta’ziah akan tetapi tidak ada ta’ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah
pendapat yang dipastikan oleh mayoritas ulama.
Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata, “Kecuali jika salah seorang
tidak hadir, dan hadir setelah tiga hari maka ia boleh berta’ziah”
(Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/277-278)

7
KEDUA : Madzhab syafi’i memakruhkan sengajanya keluarga mayat
berkumpul lama-lama dalam rangka menerima tamu-tamu yang berta’ziyah,
akan tetapi hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

“Adapun duduk-duduk untuk ta’ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi’i


menashkan (menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab serta
seluruh ahli fikih madzhab syafi’i akan makruhnya hal tersebut.
Mereka (para ulama madzhab syafi’i) berkata : Yang dimaksud
dengan “duduk-duduk untuk ta’ziyah” adalah para keluarga mayat
berkumpul di rumah lalu orang-orang yang hendak ta’ziyah pun
mendatangi mereka.

8
Mereka (para ulama madzhab syafi’i) berkata : Akan tetapi hendaknya
mereka (keluarga mayat) pergi untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka
barang siapa yang bertemu mereka memberi ta’ziyah kepada mereka. Dan
hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan wanita dalam hal dimakruhkannya
duduk-duduk untuk ta’ziyah…”

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab “Al-Umm” :


“Dan aku benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di
rumah keluarga mayat –pen) meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini
hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan….”. ini
adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi’i dalam kitab al-Umm.
Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi’i.
Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil
untuk pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini
adalah muhdats (bid’ah)” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)

Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini


bahwasanya para ulama madzhab syafi’i memandang makruhnya berkumpul-
kumpul di rumah keluarga mayat karena ada 3 alasan :
1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan
berkumpul-kumpul meskipun mereka tidak menangis
2) Hal ini hanya menambah biaya
3) Hal ini adalah bid’ah (muhdats)

KETIGA : Madzhab syafi’i memandang bahwa perbuatan keluarga


mayat yang membuat makanan agar orang-orang berkumpul di rumah
keluarga mayat adalah perkara bid’ah
Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah :

9
“Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya
untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka
pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah
sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik
sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang
kematian Ja’far maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’afar, karena telah datang kepada
mereka perkara yang menyibukkan mereka” (Kitab Al-Umm 1/278)

Akan tetapi jika ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah
(meratapi) sang mayat maka para ulama madzhab syafi’i memandang tidak
boleh membuat makanan untuk mereka (keluarga mayat).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi’i) rahimahullah


berkata, “Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang
mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan
bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam
bermaksiat.
Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya berkata : “Adapun keluarga
mayat membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan

10
makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini
merupakan bid’ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)”.
Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk
pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu ia berkata,
“Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat
makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah”. Diriwayatkan
oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih” (Al-
Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/290).

BAB IV
KESIMPULAN

Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah


meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah
berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi
sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil
untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat
disyari’atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat
disyari’atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid’ah yang
diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata
cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi’iyah, selain merupakan
perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas :
1. Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu : “Kami memandang
berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah
dikuburkannya mayat termasuk niyaahah”. Diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih”
2. Berlawanan dengan sunnah yang jelas untuk membuatkan makanan bagi
keluarga mayat dalam rangka meringankan beban mereka

Bid’ah sering terjadi dari sisi kayfiyah (tata cara). Karenanya kita sepakat
bahwa adzan merupakan hal yang baik, akan tetapi jika dikumandangkan

11
tatkala sholat istisqoo, sholat gerhana, sholat ‘ied maka ini merupakan hal
yang bid’ah. Kenapa?, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya tidak pernah melakukannya.
Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursi bisa mengusir syaitan,
akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu
membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar
masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid’ah. Kenapa?,
karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi
dan para sahabatnya.

Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan
bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan
untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama
seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun
ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang
melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.
Demikian pula berkumpul-kumpul di rumah keluarga kematian dan
bersusah-susah membuat makanan untuk para tamu bertentangan dan
bertabrakan dengan dua perkara di atas:
1. Sunnahnya membuatkan makanan untuk keluarga mayat
2. Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang berkumpul-kumpul di keluarga
mayat termasuk niyaahah yang dilarang.

Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-
cara yang disyari’atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah
mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan dan juga
bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan
mengumrohkan sang mayat, dll.
Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur’an maka hal ini
diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an
tidak akan sampai bagi sang mayat.

12
Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa
mengirim bacaan al-qur’an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha
agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah
orang-orang yang amanah.

DAFTAR PUSTAKA

Aditia, F. R. (2017). Biografi Imam Syafi’I.


Sugeng, Gusti dan Furgon (2017). Bid’ahnya Tahlilan Menurut Imam Syafi’i.
Kadir, Abdul (2013), Tahlilan Boleh Kok Menurut NU.
FI Pasaribu, S Yogen 2019, Kumpulan Dalil Dalil Imam Syafi’I Edisi Ke X

13

Anda mungkin juga menyukai