DISUSUN OLEH:
Miftah Farid Alfarisi
XII IPA 1
GURU PEMBIMBING:
Suci Handayani, S.Sy
Puji dan syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya
makalah ini. Tidak sedikit kendala yang menghalang penyusun dalam
menyelesaikan tugasnya, namun berkat rahmat dan hidayah-Nya telah
membimbing penyusun untuk terus berusaha menyelesaikan makalah ini.
Karya tulis ilmiah mengenai Pendapat Imam Syafi’I Tentang Bid’ahnya
Tahlilan ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penyusun mengakui makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, semua
karena pengetahuan dan kemampuan penyusun sebagai manusia biasa. Untuk itu
penyusun memohon maaf atas semua kekurangan dan kesalahan yang terjadi di
dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun tetap berharap, sekecil apapun semoga tugas ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penyusun secara pribadi, dan semuanya pada
umumnya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I BIOGRAFI
1.1 Biografi Imam Syafi’i...........................................................................1
1.2 Metode Istinbath Imam Syafi’i.............................................................3
BAB II POKOK MATERI
2.1 Ijmak Ulama Bahwa Nabi, Para Sahabat, dan Para Imam Madzhab
Tidak Pernah Tahlilan...........................................................................6
2.2 Yang Sunnah Adalah Meringankan Beban Keluarga Mayat Bukan
Malah Memberatkan.............................................................................7
BAB III PENDAPAT IMAM DAN DALIL YANG DIGUNAKAN
3.1 Argumen Madzhab Syafi’I Yang Menunjukkan Makruhnya /
Bid’ahnya Acara Tahlilan.....................................................................8
BAB IV KESIMPULAN..................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang hanya merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang
dikandung oleh Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Karena hanya
sebagai alat bantu untuk memahami AlQur‟an dan sunnah, sebagian ulama
menyebutnya sebagai metode istinbath. Oleh karena yang disebut sebagai
“dalil-dalil pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode
istinbath, para ulama Imam mazhab tidak sependapat dalam
mempergunakannya sebagai sumber hukum Islam.
2
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi‟i
menggunakan lima sumber, yaitu:
a. Nash-nash, baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama
bagi fikih Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para
sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah
bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
b. Ijmak, merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam
Syafi‟I menempati urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau
mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu
terhadap satu masalah hukum syar‟i dengan bersandar kepada dalil.
Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh imam Syafi‟I adalah
ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak diakhirkan
dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak
ada hujjah padanya.
c. Pendapat para sahabat. Imam Syafi‟i membagi pendapat sahabat
kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti
ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan
perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah
dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua,
pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu
masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi‟i tetap
mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat,
maka dalam hal ini imam Syafi‟i akan memilih salah satunya yang
paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak, atau mrnguatkannya
dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat
baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
d. Qiyas. Imam Syafi‟i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber
hukum bagi syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran
dan sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang
dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid
3
lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang
sedang digali oleh seorang mujtahid.
e. Istidlal. Imam Syafi‟i memakai jalan istidlal dalam menetapkan
hukum, apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah
sebelumnya di atas. Dua sumber istidlal yang diakui oleh imam
Syafi‟i adalah adat istiadat („urf) dan undangundang agama yang
diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu, kedua sumber
ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi‟i sebagai
dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi‟i.
BAB II
POKOK MATERI
2.1 Ijmak Ulama bahwa Nabi, Para Sahabat, dan Para Imam Madzhab
Tidak Pernah Tahlilan
4
meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu
Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu ‘anhum) meninggal semasa hidup
beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu ‘anhaa juga
meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau
tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari
saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau
cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin
Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja’far bin Abi Thoolib, dan juga sekian
banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak
seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para
sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari’at tatkala itu, lantas sekarang
berubah statusnya menjadi syari’at yang sunnah untuk dilakukan, bahkan
wajib, Sehingga jika ditinggalkan maka timbulah celaan
5
BAB III
PENDAPAT IMAM DAN DALIL YANG DIGUNAKAN
6
“Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi’i) mengatakan :
“Dan makruh ta’ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta’ziah
adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang
dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi
kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma’ruf….” (Al-Majmuu’
Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)
Setalah itu al-Imam An-Nawawi menyebutkan pendapat lain dalam
madzhab syafi’i yaitu pendapat Imam Al-Haromain yang membolehkan
ta’ziah setelah lewat tiga hari dengan tujuan mendoakan mayat. Akan tetapi
pendapat ini diingkari oleh para fuqohaa madzhab syafi’i.
Al-Imam An-Nawawi berkata :
7
KEDUA : Madzhab syafi’i memakruhkan sengajanya keluarga mayat
berkumpul lama-lama dalam rangka menerima tamu-tamu yang berta’ziyah,
akan tetapi hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
8
Mereka (para ulama madzhab syafi’i) berkata : Akan tetapi hendaknya
mereka (keluarga mayat) pergi untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka
barang siapa yang bertemu mereka memberi ta’ziyah kepada mereka. Dan
hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan wanita dalam hal dimakruhkannya
duduk-duduk untuk ta’ziyah…”
9
“Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya
untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka
pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah
sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik
sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang
kematian Ja’far maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’afar, karena telah datang kepada
mereka perkara yang menyibukkan mereka” (Kitab Al-Umm 1/278)
Akan tetapi jika ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah
(meratapi) sang mayat maka para ulama madzhab syafi’i memandang tidak
boleh membuat makanan untuk mereka (keluarga mayat).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
10
makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini
merupakan bid’ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)”.
Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk
pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu ia berkata,
“Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat
makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah”. Diriwayatkan
oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih” (Al-
Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 5/290).
BAB IV
KESIMPULAN
Bid’ah sering terjadi dari sisi kayfiyah (tata cara). Karenanya kita sepakat
bahwa adzan merupakan hal yang baik, akan tetapi jika dikumandangkan
11
tatkala sholat istisqoo, sholat gerhana, sholat ‘ied maka ini merupakan hal
yang bid’ah. Kenapa?, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya tidak pernah melakukannya.
Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursi bisa mengusir syaitan,
akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu
membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar
masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid’ah. Kenapa?,
karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi
dan para sahabatnya.
Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan
bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan
untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama
seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun
ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang
melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.
Demikian pula berkumpul-kumpul di rumah keluarga kematian dan
bersusah-susah membuat makanan untuk para tamu bertentangan dan
bertabrakan dengan dua perkara di atas:
1. Sunnahnya membuatkan makanan untuk keluarga mayat
2. Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang berkumpul-kumpul di keluarga
mayat termasuk niyaahah yang dilarang.
Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-
cara yang disyari’atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah
mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan dan juga
bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan
mengumrohkan sang mayat, dll.
Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur’an maka hal ini
diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an
tidak akan sampai bagi sang mayat.
12
Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa
mengirim bacaan al-qur’an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha
agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah
orang-orang yang amanah.
DAFTAR PUSTAKA
13