Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisis Contoh Tanah


Hasil analisa sudah diketahui pada Tabel 4.1 dapat dikatakan bahwa tanah
sawah yang digunakan untuk penelitian ini memiliki tingkat kesuburan tanah yang
rendah, diketahui dari sifat tanah dilihat dari tekstur, pH, daya hantar listrik
(DHL), bahan organik pada C-organiknya dan N total metode Kjeldahl, P tersedia
dengan metode Olsen, dan nilai kapasitas tukar kation.
Pada penggenangan terus-menerus tanpa pupuk rekomendasi memiliki
tekstur tanah lempung berliat, sedangkan perlakuan yang lainnya dengan semakin
berkurangnya pemberian air memiliki tekstur tanah lempung. Menurut
Hardjowigeno (2007) tanah bertekstur liat cenderung halus maka setiap satuan
berat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan
menahan air tinggi. Menurut Djaenudin, dkk (2003) tanah dengan tekstur halus
sedang (termasuk lempung berliat dan lempung) sesuai dijadikan lahan sawah.
Namun pada pernyataan Arsyad (1989) tanah betekstur liat memperkecil laju
infiltrasi karena pori-pori tanah tersumbat sehingga memperbesar laju air
permukaan.
Pada derajat kemasaman tanah (pH) pada metoda H2O cenderung
bervariasi pada setiap perlakuannya dan tergolong tanah agak alkalis sampai
alkalis. Menurut Ponnamperuma (1972) tanah yang terlalu alkalis mengandung
garam yang bersifat racun bagi tanaman. Pada metoda KCl pH tanah yang terjadi
cenderung sama pada setiap perlakuannya. Dari semua hasil yang ada,
menunjukkan tanah bersifat basa, namun jika dilihat pemberian air yang semakin
sedikit tidak menunjukkan semakin mengubah pH tanah semakin stabil karena
pada pemberian air dengan interval 1 minggu basah dan 1 minggu kering mampu
menaikkan pH tanah pada titik tertinggi dari semua perlakuan yang ada.
Daya hantar listrik (DHL) tanah dari semua perlakuan yang ada tergolong
sangat tinggi pada perlakuan pengelolaan air tanpa pupuk rekomendasi dan
pengelolaan air secara intermitten 1-1 dengan pupuk rekomendasi. Menurut
Hardjowigeno dan Rayes (2005) pada tanah tergenang nilai DHL normal pada

20
antara 2 dS m-1 hingga 4 dS m-1, jika nilai di atas 4 dS m-1 maka dapat dikatakan
tanah tersebut marginal dan tidak cocok untuk tanaman padi.
Kadar bahan organik pada tanah ini tergolong rendah. Hal ini terjadi
karena menurut Hartatik dkk (2010), pada suasana reduktif bahan organik sangat
mudah tereduksi sehingga karena habisnya O2 sehingga dokomposisi bahan
organik terhambat. Menurut penelitian Musthofa (2007) menyatakan bahwa
kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan
tidak kurang dari 2%.
Nilai N-total tergolong sangat rendah dengan nilai tertinggi hanya 0,11%.
Menurut Foth (1994) rendahnya unsur N ada hubungannya dengan jumlah bahan
organik, karena N dalam tanah selain berasal dari udara, sebagian besar pula
berasal dari mineralisasi bahan organik melalui dekomposisi bahan organik yang
diikuti oleh mineralisasi nitrogen menjadi amonium (NH4+).
Unsur fosfor (P) tersedia tergolong rendah dengan nilai tertinggi hanya
mencapai 10 ppm pada perlakuan pengelolaan air secara terputus. Keadaan ini
diduga terjadi karena suasana tanah setelah digenangi mengalami oksidasi dan
kelarutan Ca-P meningkat. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Hartatik dkk (2010)
bahwa pengeringan tanah dapat meningkatkan ketersediaan P tanah karena terjadi
proses oksidasi yang mengubah Fe3(PO4)2 menjadi FePO4 yang lebih larut.
Menurut Ponnamperuma (1972) ketersediaan hara bagi tanaman padi akan
optimal jika pH tanah mendekati netral yang diakibatkan adanya penggenangan
hingga pada waktu tertentu. Hardjowigeno dan Rayes (2005) unsur hara P dapat
diserap dengan mudah oleh tanaman padi pada pH 6-7.
Nilai kapasitas tukar kation erat hubungannya dengan jumlah bahan
organik yang ada. Pada hasil analisa, nilai kapasitas tukar kation juga rendah
sehubungan dengan jumlah bahan organik yang rendah pula. Menurut Rosmarkam
dan Yuwono (2002) bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation
(KTK) sehinggga unsur hara tidak tercuci.

21
Tabel 4.1 Hasil Analisa Tanah
Contoh Tekstur Ekstrak 1:5 Terhadap contoh kering 1050 C
Olsen KTK (NH4-
DHL
pH Bahan Organik (%) P2O5 Acetat 1N, pH
(dS/m)
(ppm) 7 (cmolc/kg))
No Perlakuan
C N
H20 KCl Walkley
& Black Kjeldahl
1 Penggenangan
terus menerus Lempung
8,2 7,8 2,93 1,86 0,05 7 14,3
tanpa pupuk berliat
rekomendasi
2 Penggenangan
terus menerus +
Lempung 8,6 7,8 4,37 1,95 0,08 8 11,6
Pupuk
rekomendasi
3 Intermitten 2-1 +
Pupuk Lempung 8,6 7,8 3,96 0,44 0,09 10 12,5
rekomendasi
4 Intermitten 1-1 +
Pupuk Lempung 9,1 7,9 4,29 0,44 0,08 10 11,6
rekomendasi
5 Macak-macak +
Pupuk Lempung 8,6 7,8 3,29 0,58 0,11 8 10,9
rekomendasi

4.2 Dinamika pH pada Tanah Sawah Bukaan Baru


Keadaan derajat kemasaman (pH) tanah seperti yang tertera pada Gambar
4.1, dapat dikatakan penelolaan air yang diaplikasikan memberi dampak pada
perubahan pH tanah semua perlakuan relatif seimbang, meskipun pada
pengamatan 0 HST hingga 84 HST mengalami fluktuasi dan dalam kategori agak
basa. Terlihat pada perlakuan penggenangan tanpa penambahan pupuk memiliki
pH yang tertinggi pada titik 7,04. Dari Gambar 4.1 sekaligus menunjukkan adanya
kecenderungan penurunan pH dari titik awal yang tinggi, sebaliknya pada pH
tanah yang awalnya rendah ada kecenderungan meningkat. Menurut
Ponnamperuma (1978), penggenangan umumnya menyebabkan kenaikan pH pada
tanah asam dan menaikkan pH pada tanah basa sehingga keduanya mengarah pada
keadaan netral. Menurut Prasetyo (2010), penurunan pH pada tanah basa
disebabkan oleh dekomposisi bahan organik yang menghasilkan CO2, kemudian
bereaksi dengan H2O dan menghasilkan asam karbonil yang dapat terurai menjadi
H+ dan HCO-.

22
7,12
Penggenangan tanpa
7,1
pupuk
7,08 Penggenangan + NPK
Rekomndasi
Nilai pH

7,06
Intermitten 2-1 + NPK
7,04 Rekom

7,02 Intermitten 1-1 + NPK


Rekom
7
Macak-macak + NPK
6,98 Rekomendasi
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91
Hari Setelah Tanam

Gambar 4.1 Dinamika pH pada beberapa macam pengelolaan air di sawah bukaan baru di desa
Kleseleon, kecamatan Weliman, kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.

4.3 Dinamika Eh pada Tanah Sawah Bukaan Baru

Keadaan potensial redoks yang terjadi (Gambar 4.2) mengalami suasana


reduktif. Terlihat dari awal sebelum penggenangan, suasana tanah sudah
mengalami reduksi. Hal ini diduga terjadi karena riwayat tanah sebelum digenangi
sudah mengalami penggenangan sehingga tidak murni dari tanah kering. Pada
tanah dengan perlakuan intermitten 2-1 dengan penambahan pupuk rekomendasi
mengalami laju reduksi tertinggi, sedangkan pada penggenangan secara terus-
menerus cenderung mengalami lebih rendah laju reduksinya. Penurunan Eh ini
akan berpengaruh pada ketersediaan bahan organik yang semakin menurun karena
berkurangnya O2, ketersediaan P yang semakin sedikit dan penurunan pH pada
tanah (Ponnamperuma, 1978). Suasana reduksi yang terjadi ini diperkuat oleh
pernyataan Hartatik dkk (2010), bahwa penggenangan akan mengakibatkan
oksigen dalam tanah terdorong keluar sehingga oksigen berkurang secara drastis
setelah pori-pori tanah terisi penuh dan ketika oksigen habis tingkat reduksi akan
meningkat dengan kisaran nilai Eh +400 mV hingga -300 mV.

23
Hari Setelah Tanam
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 Penggenangan
tanpa pupuk
-50
Penggenangan +
NPK
-100 Rekomndasi
Nilai Eh

Intermitten 2-1
+ NPK Rekom
-150
Intermitten 1-1
+ NPK Rekom
-200 Macak-macak +
NPK
Rekomendasi
-250

Gambar 4.2 Dinamika pH pada beberapa macam pengelolaan air di sawah bukaan baru di desa
Kleseleon, kecamatan Weliman, kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.

4.4 Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Tinggi Tanaman Padi Varietas


Ciherang pada Sawah Bukaan Baru

Pada fase pertumbuhan tanaman padi varietas Ciherang (Gambar 4.3), pada
perlakuan penggenangan terus-menerus tanpa pupuk rekomendasi memiliki
pertumbuhan yang lebih lamban dibandingkan dengan perlakuan rekomendasi
pemupukan dan pengelolaan air pada umur pengamatan 30 dan 60 hari setelah
tanam, namun pada saat menjelang panen relatif seimbang pada semua perlakuan
yang ada seperti pada gambar 4.3.
90
80
Penggenangan tanpa pupuk
70
60
Tinggi Tanaman (cm)

Penggenangan + pupuk rekom


50
40
Intermitten 2-1 + pupuk
30 rekom
20 Intermitten 1-1 + pupuk
10 rekom
0 Macak-macak + pupuk rekom
0 30 60 90
Hari Setelah Tanam

Gambar 4.3 Pertumbuhan tanaman padi varietas Ciherang pada umur 30 HST, 60 HST dan
menjelang panen pada beberapa macam pengelolaan air di sawah bukaan baru di
desa Kleseleon, kecamatan Weliman, kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.

24
Berdasarkan uji ANOVA (Tabel Lampiran 1,2 dan 3) pengelolaan air
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur
pengamatan 30 HST dan berpengaruh nyata pada umur 60 HST, namun tidak
berpengaruh secara nyata terhadap tinggi tanaman menjelang panen.
Dilanjutkan dengan analisis DMRT pada Tabel 4.2 dengan taraf 5%,
pengelolaan air secara terus-menerus, intermitten dua minggu basah satu minggu
kering, intermitten satu minggu basah satu minggu kering dan macak-macak yang
semuanya menggunakan pupuk dengan dosis yang direkomendasikan
menunjukkan adanya perbedaan secara nyata terhadap tinggi tanaman padi
dibandingkan dengan penggenangan tanpa pupuk pada umur 30 dan 60 HST,
namun pada umur menjelang panen antar perlakuan yang diuji cobakan saling
tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman padi pada sawah bukaan baru.
Namun pada hasil Tabel 4.2 menunjukkan pada setiap umur pengamatan
30 HST hingga pada umur 60 HST dengan jumlah air yang semakin sedikit
menghasilkan tinggi tanaman padi yang semakin meningkat dan hingga pada
umur menjelang panen perlakuan macak-macak dengan rekomendasi pemupukan
yang menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi. Hal ini sekaligus menunjukkan
pengurangan air hingga mencapai macak-macak tidak menghambat pertumbuhan
tanaman padi pada sawah bukaan baru selama hara pada tanah cukup meskipun
secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Sukristiyonubowo dkk. (2014), bahwa jumlah hara yang
dibutuhkan oleh tanaman padi yang berasal dari pemupukan dan penggenangan
cukup untuk mendukung tinggi tanaman padi. Pada kondisi tergenang dengan air
akan menyeimbangkan pH tanahnya sehingga unsur hara banyak yang tersedia,
meningkatkan aktivitas mikroba, meningkat ketersedian P dan Ca (Hardjowigeno
dan Rayes, 2005; Widowati dan Sukristiyonubowo, 2012). Menurut Abdullah
(2009) padi varietas Ciherang memiliki rata-rata tinggi tanaman mencapai 97 cm,
hal ini menunjukkan padi varietas Ciherang yang ditanam pada sawah bukaan
baru belum mampu mencapai potensi tinggi tanaman yang maksimum seperti
pada deskripsi varietas padi varietas Ciherang.

25
Tabel 4.2 Tinggi tanaman padi umur 30 hari setelah tanam, 60 hari setelah tanam
dan menjelangpanen Varietas Ciherang pada beberapa macam
pengelolaan air pada sawah bukaan baru di desa Kleseleon, kecamatan
Weliman, abupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.
Tinggi Tanaman (cm)
No Perlakuan 30 HST 60 HST Menjelang
Panen
1 Penggenangan terus menerus 26,46 a 54,58 a 80,08 a
tanpa pupuk rekomendasi
2 Penggenangan terus menerus 33,97 b 61,79 b 82,41 a
+ Pupuk rekomendasi
3 Intermitten 2-1 + Pupuk 35,23 b 61,80 b 82,62 a
rekomendasi
4 Intermitten 1-1 + Pupuk 34,50 b 62,76 b 82,69 a
rekomendasi
5 Macak-macak + Pupuk 34,89 b 62,00 b 83,48 a
rekomendasi
Keterangan : - Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang
tidak berbeda nyata antar perlakuan, sedangkan angka-angka yang diikuti dengan
huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
- HST = Hari Setelah Tanam.

4.5 Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Jumlah Anakan Padi Varietas


Ciherang pada Sawah Bukaan Baru.

Pada proses pembentukan anakan padi varietas Ciherang pada sawah bukaan
baru (Gambar 4.4), penggenangan tanpa pupuk menghasilkan anakan dengan
jumlah yang paling sedikit dibandingkan dengan perlakuan pengelolaan air
dengan rekomendasi pemupukan pada umur pengamatan 30 hari setelah tanam
menuju 60 hari setelah tanam. Sedangkan pada umur pengamatan 60 hari setelah
tanam menuju menjelang panen proses perbanyakan anakan mulai melambat
dibandingkan pada umur sebelumnya yang terjadi pada semua perlakuan.

26
30

25
Penggenangan tanpa pupuk
20
Penggenangan + pupuk rekom
Jumlah Anakan

15
Intermitten 2-1 + pupuk
10 rekom
Intermitten 1-1 + pupuk
5 rekom
Macak-macak + pupuk rekom
0
0 30 60 90
Hari Setelah Tanam

Gambar 4.4 Pembentukan anakan tanaman padi varietas Ciherang pada umur 30 hari setelah, 60
hari setelah tanam dan menjelang panen padabeberapa macam pengelolaan air di
sawah bukaan baru di desa Kleseleon, Kecamatan Weliman, Kabupaten Malaka,
Nusa Tenggara Timur.

Berdasarkan uji ANOVA (Tabel Lampiran 4, 5 dan 6) pengelolaan air


tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada umur pengamatan 30 HST,
kemudian pada umur 60 HST pengelolaan air memberikan pengaruh yang sangat
nyata terhadap jumlah anakan dan pada menjelang panen pengelolaan air
berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan padi pada sawah bukaan baru.
Dilanjutkan dengan uji DMRT pada Tabel 4.3 dengan taraf kesalahan 5%,
pada umur pengamatan 30 HST perlakuan penggengan secara terus menerus
dengan menggunakan pupuk rekomendasi tidak menunjukkan perbedaan secara
nyata jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan penggenangan
terus-menerus tanpa penggunaan pupuk dengan dosis yang direkomendasikan.
Hal ini terjadi karena pada umur ini air dan pupuk yang diberikan sudah cukup
menyediakan unsur hara bagi tanaman padi. Pada perlakuan penggenangan
intermitten 2-1 menggunakan pupuk rekomendasi, penggenangan intermitten 1-1
menggunakan pupuk rekomendasi dan macak-macak menggunakan pupuk
rekomendasi jumlah anakan yang dihasilkan nyata lebih banyak dibandingkan
dengan penggenangan terus-menerus tanpa penggunaan pupuk dengan dosis yang
direkomendasikan.

27
Pada umur perlakuan 60 hari setelah tanam dan menjelang panen semua
perlakuan pengelolaan air dengan rekomendasi pemupukan menunjukkan
perbedaan secara nyata jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan
penggenangan terus-menerus tanpa penggunaan pupuk dengan dosis yang
direkomendasikan. Menurut De Datta (1981) unsur kalium sangat penting bagi
pembentukan anakan tanaman padi.
Terdapat kecenderungan bahwa perlakuan penggenangan intermitten 1-1
menggunakan pupuk rekomendasi (pengelolaan air secara intermitten satu minggu
basah satu minggu kering dengan ketinggian air 3 cm dan NPK rekomendasi)
menghasilkan jumlah anakan yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
penggenangan terus-menerus menggunakan pupuk rekomendasi, intermitten 2-1
menggunakan pupuk rekomendasi dan macak-macak menggunakan pupuk
rekomendasi meskipun tidak menunjukkan perbedaan secara nyata sekaligus
menunjukkan batas penerimaan air tanaman padi pada sawah bukaan baru sampai
pada perlakuan penggenangan intermitten 1-1 menggunakan pupuk rekomendasi.
Menurut Suriadikarta dan Hartatik (2004) perlakuan pengairan terputus
berpengaruh positif karena pengeringan akan menurunkan kelarutan Fe2+,
sehingga serapan Fe berkurang, di sisi lain serapan hara P, K, Ca dan Mg tanaman
meningkat. Menurut penelitian Zaini et al. (1987) pengairan satu minggu dan
pengeringan satu minggu mendukung fase vegetatif tanaman padi untuk sawah
bukaan baru pada hal ini yaitu jumlah anakan.

28
Tabel 4.3 Jumlah anakan padi umur 30 hari setelah tanam, 60 hari setelah tanam
dan saat panen Varietas Ciherang pada beberapa macam pengelolaan air
pada sawah bukaan baru di desa Kleseleon, Kecamatan Weliman,
Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.
Jumlah Anakan
No Perlakuan 30 HST 60 HST Menjelang
Panen
1 Penggenangan terus menerus 8,56 a 16,50 a 18,50 a
tanpa pupuk rekomendasi
2 Penggenangan terus menerus 10,13 ab 23,97 b 24,97 b
+ Pupuk rekomendasi
3 Intermitten 2-1 + Pupuk 10,50 b 23,93 b 26,96 b
rekomendasi
4 Intermitten 1-1 + Pupuk 10,36 b 25,73 b 27,40 b
rekomendasi
5 Macak-macak + Pupuk 10,47 b 23,70 b 24,60 b
rekomendasi
Keterangan : - Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang
tidak berbeda nyata antar perlakuan, sedangkan angka-angka yang diikuti dengan
huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
- HST = Hari Setelah Tanam.

4.6 Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Komponen Hasil Padi Ciherang


pada Sawah Bukaan Baru

Komponen hasil tanaman padi pada penelitian ini meliputi berat jerami
kering, jumlah malai rumpun-1, berat gabah kering panen, berat gabah kering
giling dan berat 1000 butir yang tersaji pada Tabel 4.5. Berdasarkan uji ANOVA
(Tabel Lampiran 7) semua perlakuan yang diuji cobakan tidak berpengaruh secara
nyata terhadap berat kering jerami padi varietas Ciherang pada sawah bukaan
baru. Demikian juga dengan uji lanjut DMRT (Tabel 4.4) dengan taraf kesalahan
5% semua perlakuan yang diuji cobakan tidak berbeda nyata terhadap berat jerami
kering. Tetapi dari data pada Tabel 4.4 berat jerami kering tidak sejalan dengan
hasil pada tinggi tanaman dan jumlah anakan yang dihasilkan. Perlakuan
intermitten 2-1 menggunakan pupuk rekomendasi menghasilkan berat jerami
kering tertinggi, namun tinggi tanaman padi dan jumlah anakan yang dihasilkan

29
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan macak-macak menggunakan pupuk
rekomendasi dengan jumlah air yang diberikan paling sedikit menghasilkan tinggi
tanaman padi dan jumlah anakan yang lebih tinggi, meskipun tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dari kedua perlakuan tersebut. Hal ini dimungkinkan bahwa
pada lapangan pengaplikasian pupuk kurang efektif akibat laju kehilangan air
yang tinggi sehingga unsur hara yang diberikan mengalami pencucian. Karena
Syahbuddin dkk. (2007), menjelaskan permasalahan utama dalam pengelolaan air
sawah bukaan baru adalah laju kehilangan air melalui perkolasi masih sangat
besar sehingga efisiensi pemupukan rendah akibat pencucian (leaching). Hal ini
juga didukung oleh hasil penelitian Kasno et al. (1999) bahwa hasil jerami antara
pengairan kontinu dengan pengairan terputus setiap minggu tidak berbeda nyata
pada lahan sawah bukaan baru di Dwijaya, Tugumulyo, Musi Rawas, Sumatra
Selatan.
Jika dilihat dari hasil jumlah anakan yang dihasilkan menunjukkan
kesinambungan pada jumlah malai rumpun-1 dengan jumlah anakan yang terjadi
pada setiap perlakuan bahwa semakin banyak jumlah anakan yang dihasilkan,
maka semakin banyak pula jumlah malai yang dihasilkan. Secara uji ANOVA
(Tabel Lampiran 8) pengelolaan air berpengaruh nyata terhadap jumlah malai
rumpun-1. Selanjutnya, berdasarkan uji lanjut DMRT (Tabel 4.4) dengan taraf 5%
perlakuan penggenangan terus-menerus menggunakan pupuk rekomendasi,
intermitten 2-1 menggunakan pupuk rekomendasi, intermitten 1-1 menggunakan
pupuk rekomendasi dan macak-macak menggunakan pupuk rekomendasi
menunjukkan perbedaan yang nyata jumlah malai rumpun-1 padi varietas
Ciherang lebih banyak jika dibandingkan dengan pengelolaan air terus-menerus
tanpa pupuk rekomendasi, namun perlakuan antar pengelolaan air dengan
pemberian pupuk dengan dosis yang direkomendasikan tidak menunjukkan
perbedaan secara nyata terhadap jumlah malai rumpun-1. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin sedikit pemberian air pada lahan belum tentu menghasilkan
jumlah malai semakin banyak karena hasil terbanyak pada perlakuan intermitten
1-1 dengan pupuk rekomendasi dan hasil mulai menurun pada perlakuan macak-
macak dengan pupuk rekomendasi. Menurut Munarso (2011) jumlah malai
rumpun-1 dipengaruhi oleh sifat genotipe dari varietas padi yang digunakan.

30
Menurut Balai Besar Penelitian Padi (2015) potensi jumlah anakan produktif
dalam penelitian ini sebagai jumlah malai rumpun-1 yaitu 14 sampai 17 malai
rumpun-1, sedangkan dari hasil penelitian ini sudah melampaui dari potensi
jumlah malai rumpun-1 sesuai pada deskripsi varietas padi Ciherang.
Berdasarkan uji ANOVA (Tabel Lampiran 9) pengelolaan air berpengaruh
nyata terhadap gabah kering panen tanaman padi varietas Ciherang pada sawah
bukaan baru. Dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Tabel 4.4) perlakuan
penggenangan terus-menerus menggunakan pupuk rekomendasi nyata lebih
banyak menghasilkan gabah kering panen dibandingkan dengan penggenangan
tanpa pupuk rekomendasi dan perlakuan macak-macak menggunakan pupuk
rekomendasi. Namun tidak menunjukkan perbedaaan secara nyata dibandingkan
dengan perlakuan pengelolaan intermitten pada perlakuan intermitten 2-1
menggunakan pupuk rekomendasi dan intermitten 1-1 menggunakan pupuk
rekomendasi. Jika dilihat dari jumlah malai rumpun-1 yang dihasilkan dari setiap
perlakuan, berat gabah kering panen yang dihasilkan belum tentu semakin besar
pula ketika jumlah malai rumpun-1 yang dihasilkan semakin banyak. Terlihat dari
perlakuan penggenangan terus-menerus menggunakan pupuk rekomendasi yang
menghasilkan jumlah malai rumpun-1 yang lebih sedikit dibandingkan dengan
perlakuan intermitten 1-1 menggunakan pupuk rekomendasi, namun berat gabah
kering panen yang dihasilkan oleh perlakuan penggenangan terus-menerus
menggunakan pupuk rekomendasi lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan
intermitten 1-1 menggunakan pupuk rekomendasi. Hal ini menunjukkan
pengairan secara terus-menerus mampu direspon dengan baik oleh tanaman padi
varietas Ciherang pada sawah bukaan baru untuk menghasilkan berat gabah
kering panen dengan penambahan pupuk sesuai rekomendasi dan menghasilkan
gabah yang berisi. Hal ini juga sama terjadi pada gabah kering giling dengan
kriteria kadar air gabah 17%. Berdasarkan uji ANOVA (Tabel Lampiran 10)
pengelolaan air berpengaruh nyata terhadap berat gabah kering giling padi
varietas Ciherang pada sawah bukaan baru. Dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT
(Tabel 4.4) dengan taraf kesalahan 5% pada perlakuan penggenangan terus-
menerus menggunakan pupuk rekomendasi memiliki hasil gabah kering giling
tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya meskipun secara statistika

31
tidak berbeda nyata dengan perlakuan intermitten 1-1 menggunakan pupuk
rekomendasi dan macak-macak menggunakan pupuk rekomendasi. Hasil ini
menunjukkan keselarasan hasil berat gabah kering giling yang dihasilkan semakin
besar maka berat gabah kering giling yang dihasilkan juga semakin besar.
Bouman et al. (2007), menjelaskan bahwa jika penggenangan lahan pada sawah
tidak dilakuakan secara terus-menerus hingga satu atau dua minggu sebelum
panen padi, maka efek yang menguntungkan bagi tanaman padi akan menghilang
secara bertahap dengan berkurangnya ketersediaan fosfor. Hal ini juga
menunjukkan pemberian air secara intermitten 1-1 dengan penambahan pupuk
rekomendasi menghasilkan gabah kering panen dan gabah kering giling yang
tidak berbeda nyata dengan pengelolaan air standar petani yaitu secara terus-
menerus dengan penambahan pupuk rekomendasi.
Pengelolaan air tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat
1000 butir berdasarkan uji ANOVA (Tabel Lampiran 11). Dilanjutkan dengan uji
lanjut DMRT (Tabel 4.4) dengan taraf kesalahan 5%, semua perlakuan yang diuji
cobakan saling tidak menunjukkan perbedaan secara nyata terhadap berat 1000
butir padi varietas Ciherang pada sawah bukaan baru. Perlakuan penggenangan
terus-menerus menggunakan pupuk rekomendasi tidak berbeda secara nyata
dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, meskipun dari dilihat dari nilainya
memiliki berat 1000 butir tertinggi. Namun hal ini sesuai dengan hasil gabah
kering giling yang tertinggi pada perlakuan penggenangan terus-menerus
menggunakan pupuk rekomendasi sehingga dapat diartikan bahwa gabah yang
dihasilkan lebih padat dan berisi. Menurut Abdullah (2009) padi varietas Ciherang
memiliki bobot 1000 butir gabah sebesar 24 gram. Hasil pada penelitian ini pada
berat 1000 butir pada semua perlakuan sudah melampaui pada potensi berat 1000
gram pada deskripsi varietas Ciherang.

32
Tabel 4.4 Komponen hasil padi varietas Ciherang pada beberapa macam pengelolaan air pada
sawah bukaan baru di Desa Kleseleon, Kecamatan Weliman, Kabupaten Malaka,
Nusa Tenggara Timur.
Hasil Produksi
Berat Jumlah Berat Gabah Berat Gabah Berat
No Perlakuan Jerami Malai Kering Panen Kering Giling 1000
Kering (t Rumpun-1 (t ha-1) (t ha-1) Butir
ha-1) (gram)
1 Penggenangan terus 8,49 a 17,20 a 4,28 a 3,58 a 24,2 a
menerus tanpa
pupuk rekomendasi
2 Penggenangan terus 8,65 a 23,40 b 5,88 c 5,00 c 25,73 a
menerus + Pupuk
rekomendasi
3 Intermitten 2-1 + 9,90 a 25,06 b 5,08 abc 4,24 bc 24,90 a
Pupuk rekomendasi
4 Intermitten 1-1 + 8,15 a 25,56 b 5,39 bc 4,49 bc 25,67 a
Pupuk rekomendasi
5 Macak-macak + 6,49 a 23,03 b 4,89 ab 4,09 ab 25,53 a
Pupuk rekomendasi
Keterangan : - Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda
nyata antar perlakuan, sedangkan angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda
menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan menurut uji DMRT pada taraf 5%.
- HST = Hari Setelah Tanam.

4.7 Produktivitas Air pada Sawah Bukaan Baru


Pemberian air pada setiap perlakuan yang diuji cobakan berbeda-beda
tergantung dari debit air yang masuk dan debit air yang keluar dari petakan
sawah. Jumlah air yang diberikan berkisar antara 2 x 106 liter musim-1 sampai 11
x 106 liter musim-1 (Tabel 4.5). Terlihat bahwa waktu pengairan yang terputus
yang semakin dikurangi dan perbedaan tinggi air antara 3 cm dan 0,5 cm, maka
semakin sedikir pula jumlah air yang diberikan pada petak sawah. Pada perlakuan

33
macak-macak dengan ketinggian air 0,5 cm air yang diberikan hanya 2 x 106 liter
musim-1 sekaligus merupakan kebutuhan air yang paling sedikit jika dibandingkan
dengan jumlah airyang diberikan pada perlakuan lainnya. Namun dari jumlah air
yang dibutuhkan ini diketahui nilai produktivitas air dengan kisaran antara 0,39
gram liter-1 sampai 2,45 gram liter-1, nilai produktivitas air yang terbaik adalah
pada perlakuan macak-macak menggunakan pupuk rekomendasi dengan nilai
produktivitas air terbesar jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini
sekaligus menunjukkan penghematan air sampai dengan 9 x 106 liter musim-1
untuk memproduksi gabah pada padi di sawah bukaan baru yang terbesar
dibandingkan dengan perlakuan lain karena dengan satu liter air dapat
menghasilkan 2,45 gram liter-1 dan semakin banyak air yang diberikan cenderung
semakin sedikit berat gabah yang dihasilkan. Hasil ini juga sejalan dengan hasil
penelitian Sukristiyonubowo dkk. (2014), bahwa perlakuan macak-macak dengan
ketinggian air 0,5 cm menghasilkan produktivitas air yang terbaik yang berarti
pula perlakuan tersebut dapat menghemat air. Penelitian Bouman dan Tuong
(2001) mejelaskan bahwa masukan air yang diberikan pada petak sawah yang
semakin besar, maka produktivitas air yang dihasilkan akan semakin menurun dan
terjadi pemborosan dalam penggunaan air untuk petak sawah.

Tabel 4.5 Produktivitas air pada beberapa macam perlakuan pengelolaan air pada
sawah bukaan baru di Desa Kleseleon, Kecamatan Weliman, Kabupaten
Malaka, Nusa Tenggara Timur.
No Air Air Air yang Produktivitas
Perlakuan
Tinggi Masuk Keluar Diberikan Air
-1 -1 -1
Air l detik l detik l musim gram liter-1
1 Penggenangan terus menerus
3 cm 5,44 3,04 11 x 106 0,39
tanpa pupuk rekomendasi
2 Penggenangan terus menerus
3 cm 5,44 3,04 11 x 106 0,53
+ Pupuk rekomendasi
3 Intermitten 2-1 + Pupuk
3 cm 3,88 2,17 8 x 106 0,64
rekomendasi
4 Intermitten 1-1 + Pupuk
3 cm 2,72 1,52 6 x 106 0,90
rekomendasi
5 Macak-macak + Pupuk
0,5 cm 0,91 0,51 2 x 106 2,45
rekomendasi

34

Anda mungkin juga menyukai