DOSEN PEMBIMBING :
Irwan Sulistio, S.KM., M.Si.
Ngadino, S.Si., M.Psi.
DISUSUN OLEH :
Kelompok 2 / D4-5A
Erdina Febriyanti (P27833320015) Rizki Andika Arif (P27833320028)
Fahmi Iqbal Firmansyah (P27833320016) Safina Aulia Firdausi (P27833320030)
Firsa Julia (P27833320018) Shafa Tania Herliza (P27833320032)
Indah Aulifiyah (P27833320019) Siti Aminatus Sholehah (P27833320033)
Itsna Nurul Auliya (P27833320022) Vegi Salsabila (P27833320034)
Maia Dyah Rahmawati (P27833320023) Vianita Fitria Funny (P27833320035)
Marcella Ezra Adila R. (P27833320024) Zakiyah Shabrina C. (P27833320036)
Rifa Nurul Jannah (P27833320027) Zhafira Nur Habibah (P27833320037)
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
4.2.2 Timbulan Sampah Organik Dan Anorganik Pada Hari Kerja Dan Hari Libur ....... 19
4.2.3 Survei Kepadatan Lalat Sebelum Pengendalian ..................................................... 23
4.2.4 Pengendalian Lalat .................................................................................................. 27
4.2.5 Survei Kepadatan Lalat Sesudah Pengendalian ...................................................... 27
BAB V .......................................................................................................................................... 30
PENUTUP..................................................................................................................................... 30
5.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 30
5.2 Saran ............................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 31
LAMPIRAN PRAKTIKUM ......................................................................................................... 32
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Dapat mengetahui tentang konsep dasar pengendalian lalat, fungsi pengendalian lalat, dan
mampu melakukan pengendalian serta pembasmian lalat dengan menggunakan alat.
2. Dapat menerapkan tentang konsep dasar pengendalian lalat, fungsi pengendalian lalat,
dan mampu melakukan pengendalian dan pembasmian lalat dengan menggunakan alat.
3. Dapat menganalisis cara penggendalian lalat dengan dilakukannya perhitungan kepadatan
lalat.
1
1.3 Manfaat
Dengan adanya praktikum yang dilakukan, mahasiswa dapat memperoleh pengalaman,
wawasan, dan pengetahuan tentang pengendalian serta pemberantasan lalat. Dan manfaat bagi
pihak TPS di Kecamatan Karangpilang, yakni dapat lebih mempertahankan ataupun
meningkatkan kebersihan TPS, untuk menjaga pengendalian pertumbuhan lalat tersebut, dan
mencegah adanya penularan penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat, dengan cara menurunkan
tingkat kepadatannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lalat
a. Taksonomi Lalat
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diphtera
Sub Ordo : Cyclorrapha
Famili : Mucidae
b. Siklus Hidup
Lalat mengalami metamorphosis sempurna yaitu dari stadium telur, larva, pupa,
dan dewasa dengan rata-rata waktu perkembangbiakan 7-22 hari tergantung dari faktor
lingkungan.
1. Telur
Seekor lalat betina mampu bertelur 5- 6 kali dengan 100 - 150 butir untuk setiap
kalinya, atau 500 – 900 butir sepanjang hidupnya. Pada lingkungan yang banyak
bahan organik yang membusuk seperti sampah, tinja, dan bangkai kemampuan
reproduksi pada lalat akan meningkat.
2. Larva
Larva memiliki panjang ± 6 mm dan berbentuk bulat panjang dengan warna putih
kekuning-kuningan. Stadium larva ada tiga tingkatan yaitu setelah keluar dari telur
belum banyak bergerak,setelah dewasa banyak bergerak dan terakhir tidak banyak
bergerak. Sedangkan pada tingkatan terakhir, larva berpindah tempat yang kering
dan sejuk untuk berubah menjadi kepompong. Lama stadium ini 2-8 hari atau 2-5
hari, tergantung temperatur setempat. Secara umum, berat badan yang dimiliki
larva dan prapupa menggambarkan jumlah nitrogen yang berhasil diserap oleh
tubuh larva dan banyaknya energi yang disimpan untuk digunakan pada proses
pembentukan organ dan jaringan imago dalam metamorfosis (Murali et al., 2015).
3
3. Pupa
Stadium ini dimulai dari perubahan bentuk larva menjadi kepompong yang
berwarna coklat tua dengan panjang 12–13 mm dan tidak bergerak. Fase ini
berlangsung pada musim panas dalam waktu 3–7 hari pada temperatur 30–35 0C
(Depkes RI, 2001). Stadium ini kurang banyak bergerak atau bahkan tidak bergerak
sama sekali. Kepompong atau pupa mempunyai kerangka luar yang keras disebut
chitine (Depkes, 1985). Pada bagian depan terdapat spiracle yang disebut posterior
spiracle yang berguna untuk menentukan jenisnya. Kepompong atau pupa berwarna
coklat tua, panjangnya sama dengan larva.
4. Dewasa
Stadium ini dimulai dengan keluarnya lalat muda yang sudah terbang antara 450–
500 m. Lalat dewasa panjangnya ± ¼ inchi dan mempunyai 4 garis yang agak gelap
hitam dipunggungnya (Depkes RI, 2001). Umur lalat sekitar 2–3 minggu, tetapi
pada kondisi yang stabil dapat sampai 3 bulan. Lalat terbang tidak menantang arah
angin tetapi sebaliknya lalat akan terbang jauh mencapai 1 km.
c. Pola Hidup
1. Tempat perindukan atau berkembang biak
Tempat yang disenangi adalah tempat basah, benda-benda organik, tinja, sampah
basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan basah. Kotoran yang menumpuk secara
kumulatif (di kandang ternak) sangat disenangi oleh larva lalat, sedangkan yang
tercecer jarang dipakai sebagai tempat berbiak lalat.
2. Jarak terbang
Lalat tidak suka terbang terus-menerus tetapi sering hinggap. Jarak terbang lalat
sangat bervariasi tergantung dari kecepatan angin, temperatur, kelembaban, dan
lain-lain (Sujoto dkk., 1997). Jarak terbang lalat sangat tergantung pada adanya
makanan yang tersedia, jarak terbang efektif adalah 450-1000 meter.
3. Kebiasaan makan
Dalam mencari makanan lalat lebih menyukai makanan yang suhunya lebih tinggi
dari udara sekitarnya. Lalat dewasa sangat aktif sepanjang hari. Serangga ini sangat
tertarik pada makanan manusia sehari-hari seperti gula, susu, makanan olahan serta
4
kotoran hewan serta bangkai binatang. Sehubungan dengan bentuk mulutnya, lalat
sangat menyukai makanan dalam bentuk cairan, maka makanan yang kering
dibasahi oleh lidahnya terlebih dahulu kemudian dihisap. Air merupakan sesuatu
yang sangat penting bagi kehidupam lalat. Tanpa air, lalat hanya bisa bertahan
hidup tidak lebih dari 48 jam.
4. Tempat istirahat
Pada waktu hinggap, lalat mengeluarkan ludah dan tinja yang membentuk titik
hitam. Tanda ini mudah untuk mengenal tempat lalat beristirahat. Lalat beristirahat
pada tempat tertentu dan sangat menyukai tempat yang mempunyai tepi tajam dan
letak permukaannya vertikal serta yang bergantungan seperti ranting, tepi daun,
jemuran pakaian, rumput-rumputan, dan kawat listrik. Kebiasaan tempat istirahat
ini selalu berdekatan dengn tempat makanan atau tempat berkembang biaknya yang
terlindung dari datangnya angin, atau tidak 4,5 m di atas permukaan tanah.
5. Temperature, Kelembaban, dan Kecepatan Angin
Lalat mulai aktif pada suhu 15°C, aktifitas optimum pada temperatur 21°C-25°C,
pada temperatur 10 0C lalat tidak aktif dan di atas 450C terjadi kematian pada lalat.
Kelembaban erat hubungannya dengan temperatur setempat. Bila temperatur tinggi,
maka kelembaban rendah dan bila temperatur rendan maka kelembaban akan
semakin tinggi. Kelembaban yang optimum 45%- 90%. Lalat aktif mencari makan
pada angin yang tenang yaitu berkisar 0,3-,5 m/s. Jumlah lalat pada musim hujan
lebih banyak dibandingkan musim panas dan sensitif terhadap angin yang kencang,
kurang aktif untuk keluar mencari makanan pada kecepatan angin tinggi.
6. Lama hidup lalat
Keadaan musim sangat berpengaruh terhadap kehidupan lalat.pada musim panas,
lalat dapat hidup 2-4 minggu. Pada musim dingin, hidup lalat mencapai 70 hari.
Selain musim yang mendukung, lama hidup lalat juga tergantung dengan
ketersediaan makanan dan air. Tersedianya makanan dan air sangat mendukung
proses perkembangbiaknya.
5
manusia dan dibuang. Volume timbulan sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia
dapat meningkat terus sehingga terjadi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan
Sementara (TPS). Timbunan sampah dapat memburuk bila pengelolaan pada suatu daerah
masih kurang efektif, efisien, dan berwawasan lingkungan. Keberadaan sampah dapat juga
mengganggu kesehatan masyarakat karena sampah merupakan salah satu sumber penularan
penyakit. Sampah juga menjadi tempat yang ideal untuk sarang dan tempat
berkembangbiaknya vektor penyakit khususnya lalat. Pada pola hidup lalat, tempat yang
disenangi lalat adalah tempat yang basah, benda-benda organik, tinja, kotoran binatang.
Selain itu, timbunan sampah yang menjadi tempat untuk bersarang dan berkembangbiak.
TPS yang memiliki tingkat kepadatan lalat yang tinggi penyebabnya adalah masih
banyaknya timbulan sampah yang berada di luar bak kontainer sampah, hal ini terjadi
karena masih banyaknya masyarakat yang hanya melempar sampahnya begitu saja di area
TPS dan akan terjadi timbulan sampah dimana akan menjadi sasaran lalat untuk mencari
makanan. TPS yang memiliki tingkat kepadatan lalat yang tidak tinggi karena dalam
pengumpulan sampah petugas TPS menyiapkan bak sampah tambahan untuk
mengantisipasi apabila frekuensi sampah melebihi dari bak kontainer agar tidak terjadi
timbulan sampah.
6
diperhatikan per block grill. Selain itu, fly grill ini dapat diwarnai dengan berbagai macam
warna agar dalam pengukuran kepadatan lalat dapat menggunakan fly grill dengan warna
yang lebih baik dan lebih akurat dalam mengukur kepadatan lalat.
Sebagai interpretasi hasil pengukuran indeks populasi lalat pada setiap lokasi sebagai
berikut :
a. 0-2 : rendah atau tidak menjadi masalah
b. 3-5 : sedang dan perlu dilakukan pengamanan terhadap tempat-tempat
perkembangbiakan lalat.
c. 6-20 : tinggi atau padat dan perlu pengamanan terhadap tempat-tempat
perkembangbiakan lalat dan bila mungkin direncanakan upaya pengendalian.
d. >20 : sangat tinggi atau sangat padat dan perlu dilakukan pengamanan terhadap
tempat-tempat perkembangbiakan lalat dan tindakan pendendalian lalat.
7
trachoma. Penggunaan pestisida ini dapat dilakukan melalui cara umpan (baits),
penyemprotan dengan efek residu (residual spraying) dan pengasapan (space spaying).
3. Pengendalian secara biologi
Metode pengendalian biologis adalah metode pengendalian dengan menggunakan
makhluk hidup baik berupa predator, parasitoid maupun kompetitor. Misalnya adalah
menggunakan pemangsa yang menguntungkan sejenis semut kecil berwana hitam
(Phiedoloqelon affinis) untuk mengurangi populasi lalat rumah di tempat -tempat
sampah.
8
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
b. Pengendalian lalat
TPS WARUGUNUNG
Hari/tanggal : Jumat, 02 September 2022
Pukul : 07.00-07.30
TPS KARANG PILANG
Hari/tanggal : Jumat, 02 September 2022
Pukul : 08.00-08.30
TPS KEBRAON
Hari/tanggal : Jumat, 02 September 2022
Pukul : 09.00-09.30
9
Sepatu boot
Masker
Anemometer/psycrometer (Suhu, Kelembaban, Kecepatan angin)
Gelas ukur
Counter
Fly grill
b. Bahan
Insektisida Solfac 10 WP
Lem lalat roll
Air
Bensin/Solar
2. Anemometer/Psycrometer
Siapkan Anemometer untuk mengukur suhu, kelembaban dan kecepatan angin.
Nyalakan Anemometer dan atur pengaturan untuk mengukur kecepatan angin.
Arahkan anemometer pada arah datangnya angin, amati angka pada layar sampai
stabil. Lalu catat hasil.
Ubah pengaturan pada anemometer menjadi pengukuran suhu, amati angka pada
layar hingga angka stabil. Lalu catat hasilnya.
10
Ubah pengaturan menjadi pengukuran kelembaban, amati angka pada layar hingga
angka stabil. Catat hasil.
3. Mistblower
11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Jl. Tol Surabaya
– Mojokerto,
TPS 3R 12 m ×
Warugunung,
4. Karang 8m -7.341765 112.679253
Karang Pilang,
Pilang = 96 m2
Surabaya, Jawa
Timur 60221
Jl. Mastrip No.7
RW.03,
13 m ×
TPS Rusun Warugunung,
5. 20 m = -7.342399 112.66554
Warugunung Karang Pilang,
260 m2
Surabaya, Jawa
Timur, 60221
- Anorganik
Volume Hitungan Anorganik
No TPS Total Rata – rata
1 2 3
(p × l × t)
TPS 64.000 cm3 40 × 40 × 24 40 × 40 × 28 40 × 40 × 25 41.066 cm3
1.
Bogangin (100%) = 38.400 cm3 = 44.800 cm3 = 40.000 cm3 (64,17%)
13
TPS 64.000 cm3 40 × 40 × 25 40 × 40 × 23 37.333 cm3
40 × 40 × 22
2.
Kemlaten (100%) = 40.000 cm3 = 35.200 cm3
= 36.800 cm3 (58,65%)
64.000 cm3 40 × 40 × 21 40 × 40 × 24 33.066 cm3
40 × 40 × 17
3. TPS Kebraon
(100%) = 33.600 cm3 = 27.200 cm3
= 38.400 cm3 (51,67%)
TPS 3R 26.133 cm3
64.000 cm3 40 × 40 × 12 40 × 40 × 19 40 × 40 × 18
4. Karang (40,83%)
(100%) = 19.200 cm3 = 30.400 cm3 = 28.800 cm3
Pilang
TPS Rusun 64.000 cm3 40 × 40 × 17 40 × 40 × 12 40 × 40 × 18 25.067 cm3
5.
Warugunung (100%) = 27.200 cm3 = 19.200 cm3 = 28.800 cm3 (39,17%)
- Anorganik
Volume Hitungan Anorganik
No TPS Total Rata-rata
1 2 3
(p × l × t)
TPS 64.000 cm3 40 × 40 × 21 40 × 40 × 22 40 × 40 × 22 34.666
1.
Bogangin (100%) = 33.600 cm3 = 35.200 cm3 = 35.200 cm3 (54,17%)
TPS 64.000 cm3 40 × 40 × 23 40 × 40 × 27 40 × 40 × 21 37.866
2.
Kemlaten (100%) = 36.800 cm3 = 43.200 cm3 = 33.600 cm3 (59,17%)
64.000 cm3 40 × 40 × 15 40 × 40 × 15 40 × 40 × 17 25.066
3. TPS Kebraon
(100%) = 24.000 cm3 = 24.000 cm3 = 27.200 cm3 (39,17%)
4. TPS 3R 64.000 cm3 40 × 40 × 9 = 40 × 40 × 12 40 × 40 × 11 17.066
14
Karang (100%) 14.400 cm3 = 19.200 cm3 = 17.600 cm3 (26,67%)
Pilang
TPS Rusun 64.000 cm3 40 × 40 × 10 40 × 40 × 10 40 × 40 × 12 17.066
5.
Warugunung (100%) = 16.000 cm3 = 16.000 cm3 = 19.200 cm3 (26,67%)
7 2 3
8 4
1. TPS Bogangin
9 5
10 1 6
1 2 3 4 5
6 7
2. TPS Kemlaten
8 9 10
1 2 3 4
5 6 7
3. TPS Kebraon
8
9 10
10 9
8 7
6
4. TPS 3R Karang Pilang
5 4
3
2 1
15
1 2 3
4 5
5. TPS Rusun Warugunung
6 7
8 9 10
16
4.1.4 Pengukuran Parameter Fisik sebelum Pengendalian
Parameter Fisik
No. TPS
Suhu Kelembaban Kecepatan Angin
1. TPS Kebraon 37,8°C 30,1% 1,35 m/s
2. TPS 3R Karang Pilang 37,2°C 38,3% 0,55 m/s
3. TPS Rusun Warugunung 31°C 52,1% 1,4 m/s
17
pemukiman warga, sehingga dapat meminimalisir adanya penyebaran atau penularan
penyakit tular vektor terhadap masyarakat melalui perantara lalat sebagai vektor
mekanik. TPS Bogangin terletak di pinggir jalan raya yang dan memiliki intensitas
pencahayaan yang cukup, serta memiliki satu kontainer besar pada bagian tengah TPS
yang senantiasa dilakukan pembersihan setiap harinya, sehingga keadaan TPS ini
tidak lembab dan dan tidak terdapat adanya sampah yang berserakan. Hal ini tentu
dapat membantu mengurangi adanya kemungkinan melonjaknya jumlah lalat pada
TPS ini.
2. TPS Kemlaten dengan luas 714 m2 yang beralamat di Jl. Raya Mastrip Kemlaten
No.26, Kebraon, Karang Pilang, Surabaya, Jawa Timur. Lokasi dari TPS ini tidak
jauh dari TPS Bogangin yakni berjarak 400 meter. TPS Kemlaten tidak jauh berbeda
dengan TPS Bogangin, TPS berada dipinggir jalan raya dan jarak TPS ini juga cukup
jauh dengan pemukiman warga sehingga dapat meminimalisir adanya penyebaran
atau penularan penyakit tular vektor terhadap masyarakat melalui perantara lalat
sebagai vektor mekanik.
3. TPS Kebraon dengan luas 450 m2 yang beralamat di Kebraon Manis Barat, Kebraon,
Karang Pilang, Surabaya, Jawa Timur. Jarak TPS ini cukup dekat dengan pemukiman
warga, sehingga dapat terjadi adanya penyebaran atau penularan penyakit tular vektor
terhadap masyarakat melalui perantara lalat sebagai vektor mekanik. TPS Kebraon
terletak di tengah-tengah pemukiman warga dan memiliki intensitas pencahayaan
yang cukup, serta memiliki dua kontainer besar pada bagian tengah TPS yang
pembersihannya tidak dilakukan setiap hari, sehingga keadaan TPS ini lembab dan
dan banyak sampah yang berserakan.
4. TPS 3R Karang Pilang dengan luas 96 m2 yang beralamat di Jl. Tol Surabaya –
Mojokerto, Warugunung, Karang Pilang, Surabaya. Lokasi TPS ini sangatlah jauh
dengan pemukiman warga, sehingga dapat meminimalisir adanya penyebaran atau
penularan penyakit tular vektor terhadap masyarakat melalui perantara lalat sebagai
vektor mekanik.
5. TPS Rusun Warugunung dengan luas 260 m2 yang beralamat di Jl. Mastrip No.7
RW.03, Warugunung, Karang Pilang, Surabaya. Lokasi TPS ini sangatlah jauh
dengan pemukiman warga, sehingga dapat meminimalisir adanya penyebaran atau
18
penularan penyakit tular vektor terhadap masyarakat melalui perantara lalat sebagai
vektor mekanik.
4.2.2 Timbulan Sampah Organik Dan Anorganik Pada Hari Kerja Dan Hari Libur
Berdasarkan hasil pemeriksaan timbulan sampah organik dan sampah anorganik
didapatkan hasil bahwa pada TPS Karang Pilang memiliki perbandingan jumlah timbulan
sampah organik dan anorganik yang berbeda. Pada saat praktikum pengambilan sampel
sampah yang dilakukan pada hari kerja (Weekday) didapatkan hasil bahwa 3 TPS
memiliki timbulan sampah organik yang lebih sedikit daripada timbulan sampah
anorganik yaitu TPS Bogangin, TPS Kemlaten, dan TPS Kebraon. Sementara pada 2 TPS
lainnya memiliki timbulan sampah organik yang lebih banyak daripada timbulan sampah
anorganik.
a) Rata-rata timbulan sampah TPS Bogangin
Organik
hitungan 1 + hitungan 2 + hitungan 3
= 3
25.600+19.200+24.000
= 3
19
40.000+35.200+36.800
= 3
= 37.867 (59,17%)
Anorganik
hitungan 1 + hitungan 2 + hitungan 3
= 3
19.200+ 30.400+ 28.800
= 3
= 26,133 (40,83%)
20
= 38.933 (60,83%)
Anorganik
hitungan 1 + hitungan 2 + hitungan 3
= 3
27.200 + 19.200 + 28.800
= 3
= 25.067 (39,17%)
Pada pengambilan sampel sampah di hari libur (Weekend) didapatkan hasil bahwa
2 TPS memiliki timbulan sampah organik yang lebih sedikit daripada timbulan sampah
anorganik yaitu TPS Bogangin dan TPS Kemlaten. Sementara pada 3 TPS lainnya
memiliki timbulan sampah organik yang lebih banyak daripada timbulan sampah
anorganik.
a) Rata-rata timbulan sampah TPS Bogangin
Organik
hitungan 1 + hitungan 2 + hitungan 3
= 3
30.400+28.800+28.800
= 3
21
= 37.866 cm3 (59,17%)
= 46.933 (73,33%)
Anorganik
hitungan 1 + hitungan 2 + hitungan 3
= 3
14.400+ 19.200+ 17.600
= 3
= 17.066 (26,67%)
= 49.633 (73,33%)
22
Anorganik
hitungan 1 + hitungan 2 + hitungan 3
= 3
16.000 + 16.000 + 19.200
= 3
= 17.066 (26,67%)
Sesuai dengan hasil praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui
bahwasannya timbulan sampah organik lebih banyak dihasilkan pada saat hari libur
(Weekend). Timbulan sampah organik yang dihasilkan pada hari libur dari 5 TPS di
Kecamatan Karang Pilang sebanyak 58,8 %, lebih banyak 8,9% dari timbulan sampah
organik pada hari kerja. Hal yang diasumsikan dapat memengaruhi keadaan tersebut
yakni, kebiasaan warga yang pada saat hari libur lebih sering untuk berada di rumah,
sehingga diasumsikan ketika para anggota keluarga libur dan menghabiskan waktu
dirumah, maka para Ibu Rumah Tangga (IRT) membuat masakan yang lebih banyak
karena peluang para anggota keluarga untuk makan di rumah lebih besar daripada hari
kerja. Dari pola makan yang meningkat pada saat hari libur inilah, sampah organik yang
dihasilkan dari dapur (limbah dari proses memasak) lebih tinggi dari pada sampah
organik pada saat hari kerja.
23
berkembangbiaknya lalat dan bila mungkin direncanakan upaya
pengendaliannya)
> 21 = Sangat Tinggi (Perlu dilakukannya pengamanan terhadap
tempat-tempat berkembangbiaknya lalat dan tindakan
pengendalian lalat)
a) TPS Bogangin
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 5 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝐿𝑎𝑙𝑎𝑡 =
5
6+4+3+6+1
= 5
20
= = 4 (sedang)
5
b) TPS Kemlaten
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 5 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝐿𝑎𝑙𝑎𝑡 =
5
7+4+1+6+4
= 5
22
= = 4,4 = 4 (sedang)
5
c) TPS Kebraon
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 5 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝐿𝑎𝑙𝑎𝑡 =
5
24 + 15 + 67 + 40 + 19
= 5
167
= = 33 (sangat tinggi)
5
24
e) TPS 3R Rusun Warugunung
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 5 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝐿𝑎𝑙𝑎𝑡 =
5
31 + 34 + 35 + 34 + 38
= 5
172
= = 34,4 = 34 (sangat tinggi)
5
25
Pembuangan Akhir (TPA) sampah Jatibarang tahun 2017 yang menyatakan bahwa lalat
Chrysomya Megacephala lebih banyak ditemukan di TPA.
Musca Domestica merupakan salah satu jenis lalat yang memiliki tubuh beruas-
ruas dengan tiap bagian tubuh terpisah dengan jelas. Anggota tubuhnya berpasangan
dengan bagian kanan dan kiri simetris, dengan ciri khas tubuh terdiri dari 3 bagian yang
terpisah menjadi kepala, thoraks dan abdomen, serta mempunyai sepasang antena
(sungut) dengan 3 pasang kaki dan 1 pasang sayap (Menkes RI No.50, 2017).
Kebiasaan lalat rumah bisa membiak di setiap medium yang terdiri dari zat organik
yang lembab dan hangat dapat memberi makan pada larva-larvanya. Sampah-sampah
yang ditumpuk di tempat terbuka yang mengandung zat-zat organik merupakan
medium pembiakan lalat rumah yang penting.
Sementara lalat hijau menurut Putri (2015) termasuk kedalam family
Calliphoridae dengan ciri-ciri warna hijau, abu-abu, perak mengkilat atau abdomen
gelap, berkembangbiak di bahan yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan,
jantan berukuran panjang 8 mm, dan mempunyai mata merah besar.
Kebiasaan lalat sebelum meletakkan telurnya adalah melakukan orientasi
terlebih dahulu dengan mencari media yang cocok untuk bertelur demi kelangsungan
hidupnya. Habitat lalat dapat ditemukan di air, pasir, tumbuhan, dibawah kulit kayu,
batu, dan bintang. Tempat pembuangan sampah menjadi salah satu tempat dimana lalat
banyak ditemukan, hal ini berkaitan dengan insting dan bionomik lalat untuk
meletakkan telurtelurnya yang kemudian berubah menjadi larva. Larva membutuhkan
makanan yang dapat ditemukan pada sampah (Adnyana IME, 1985) dalam (Masyhuda,
2017).
Lalat mulai terbang pada temperatur 15°C dan aktifitas optimumnya pada
temperatur 21°C. Pada temperatur dibawah 7,5°C tidak aktif dan pada suhu 45°C
terjadi kematian pada lalat. Hal ini mendukung perkembangbiakan lalat di TPS karena
selama dilakukan pengukuran kepadatan lalat temperatur di TPS tidak pernah berAda
pada titik 7,5°C dan juga tidak pernah mencapai suhu 45°C. Hal ini mengakibatkan
lalat mampu bertahan hidup di TPS.
26
4.2.4 Pengendalian Lalat
Pengendalian lalat yang kami gunakan yakni menggunakan metode kimia dengan
surface spraying / residual spraying dan metode pengendalian secara fisik. Metode kimia
residual spraying kami menggunakan alat mist blower. Metode residual spraying ini
menyisakan residu pada tembok, kontainer, serta lantai TPS sehingga pada saat lalat
sedang istirahat dengan hinggap pada permukaan, insektisida dapat kontak langsung
dengan lalat sehingga mengakibatkan lalat mati. Insektisida yang kami gunakan yaitu
solfac dengan bahan aktif siflutrin 10%. Takaran insektisida solfac yakni 10 – 20 gr
Solfac untuk 5 liter air. Cara kerja siflutrin ini adalah dengan cara merusak sistem saraf
dari serangga sehingga membuat kejang – kejang lalu membuat serangga tersebut mati.
Metode pengendalian kedua yang kami gunakan yakni metode pengendalian lalat
secara fisik-mekanik menggunakan flytrap, yaitu perangkap lalat dewasa yang
menggunakan umpan (atraktan) sebagai penarik. Atraktan adalah bahan yang digunakan
sebagai umpan agar lalat tertarik untuk hinggap. Umpan yang kami gunakan adalah
insang ikan. Limbah insang ikan memiliki karakteristik yang tinggi kandungan air,
terdapat kandungan darah, tinggi protein, serta berbau amis menyengat. Tingginya
kandungan air umpan insang diduga sebagai salah satu penarik lalat untuk hinggap
karena lalat lebih menyukai bahan makanan berbentuk cair atau kandungan air yang
tinggi. Terdapatnya darah pada insang ikan juga diduga sebagai penarik bagi lalat untuk
hinggap. Darah merupakan bahan cair dengan kandungan protein yang tinggi. Protein
merupakan makan yang sangat disukai lalat dan digunakan sebagai tempat meletakkan
telurnya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Savitriani dan Maftukhah, 2021 yang
menyatakan bahwa Penggunaan fly trap dengan umpan insang ikan lebih efektif
dibandingkan umpan udang, sehingga dapat diaplikasikan dalam pengendalian lalat
karena karakteristik insang ikan yang tinggi kandungan air, protein, dan terdapat darah,
diduga menjadi penyebab ketertarikan lalat.
27
a) TPS Kebraon
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 5 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝐿𝑎𝑙𝑎𝑡 =
5
20 + 38 + 17 + 15 + 7
= 5
97
= = 19,4 = 19 (sangat tinggi)
5
28
Adapun beberapa faktor yang memungkinkan turunnya angka kepadatan lalat
yang tidak sesuai dengan standar baku mutu yang berlaku, yaitu:
a. Dosis insektisida yang tidak sesuai dengan dosis pada kemasan. Pada kemasan
tertulis bahwa dosis insektisida solfac yaitu 20 gram/ 5 liter air untuk 100m 2.
Sedangkan, kami menggunakan insektisida solfac sekitar 5gram/10 liter air untuk
260 m2.
b. Insektisida yang telah kadaluarsa. Hal ini memungkinkan kurangnya efektifitas dari
insektisida.
c. Kondisi sanitasi yang kurang baik seperti petugas TPS tidak membersihkan TPS
secara rutin. Hal ini tidak sejalan dengan jurnal dari RR Sari, 2014 yang menyatakan
bahwa pembersihan TPS dilakukan setelah pengangkutan sampah dalam kurun
waktu 2 sampai 3 kali per minggu per TPS.
29
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum pengendalian lalat yang didapat pada 3 TPS yaitu TPS
Kebraon,TPS Karang Pilang, dan TPS 3R (Reduse, Reuse, Recycle) Warugunung dengan
survey data yang sudah diperoleh, dapat diambil kesimpulan bahwa indeks populasi lalat pada
3 TPS tersebut tergolong masih termasuk kategori kepadatan lalat yang sangat tinggi. Salah
satu factor pendukug kepadatan lalat sangat tinggi pada 3 TPS ini adalah jumlah sampah
organik yang dihasilkan lebih banyak daripada sampah anorganiknya baik pada weekday
maupun weekend. Namun terdapat penurunan kepadatan setelah dilakukan pengendalian.
Akan tetapi pengendalian tersebut masih belum efektif dikarenakan belum mampu untuk
menurunkan kepadatan lalat hingga sesuai dengan nilai baku mutu yang tertera pada Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2017 Tentang Standart Baku Muku Kesehatan
Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit serta
Pengendalian dengan standart baku mutu.
5.2 Saran
Bagi instansi dan mahasiswa agar dapat memberikan penyuluhan kepada pekerja TPS
dan masyarakat mengenai kepadatan vector lalat yang kepadatannya sangat tinggi, yang akan
berpotensi menjadi agen penyebab penyakit dan diharapkan menjaga kebersihan lingkungan
agar tetap terhindar dari segala macam penyakit yang ditimbulkan vektor lalat.
30
DAFTAR PUSTAKA
Fitriana, Eva., Mulasari, S.A. 2021. Efektifitas Variasi Umpan Pada Fly Trap Dalam
Pengendalian Kepadatan Lalat di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Jalan Andong
Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 20 (1):59 – 64
Husin, Hasan. 2017. Identifikasi Kepadatan Lalat Di Perumahan Yang Berada di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Air Sebakul Kecamatan Selebar Kota Bengkulu. Journal
of Nursing and Public Health. 5(1): 80-87
Kartini, Anastasia. 2019. Kepadatan dan Metode Pengendalian Lalat Di Perumahan Grand
Nusa Kelurahan Liliba Tahun 2019. Tugas Akhir. Poltekkes Kemenkes Kupang
Kristanti, Iin. 2021. Hubungan Pengelolaan Sampah Dengan Tingkat Kepadatan Lalat Di
Tempat Penampungan Sementara (TPS). Jurnal Kesehatan. 12(1):9-16
Listya, Nanda, Praba, Retno. 2019. Keanekaragaman Spesies Lalat dan Jenis Bakteri
Kontaminan yang Dibawa lalat di Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Semarang Tahun
2018. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1): 252 – 259
Masyhuda.,dkk. 2017. Survei Kepadatan Lalat Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
Jatibarang Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 5(4):560-569
Mu'arifah, Arifatul. 2021. Tingkat Kepadatan Lalat Sekitar Kandang Peternakan Ayam di
Dusun Blubuk RT 45, Sendangsari, Pengasih Kabupaten Kulon Progo. Diploma thesis,
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
RR, Sari. 2014. Optimasi Sistem Pengangkutan Sampah di Kota Yogyakarta dengan Vehicle
Routing Problems menggunakan Algoritma Sequential Insertion. Jurnal Penelitian Saintek.
19(1): 31-40
Tyastanti, Cici Levina. 2012. Pengaruh Penambahan Pheromon, Bomyl, Tiametoksam sebagai
Sex Attractan pada Lem Perekat Lalat terhadap Jumlah Lalat yang Tertangkap di
Peternakan Ayam. Diploma thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Savitriani, Shela., Maftukhah, N.A. 2021. Efektivitas Variasi Umpan Pada Fly Trap Dalam
Pengendalian Kepadatan Lalat. Jurnal Ruwa Jurai. 15(1): 16-22
31
LAMPIRAN PRAKTIKUM
TPS BOGANGIN
TPS KEMLATEN
32
TPS KEBRAON
33
TPS KARANGPILANG
34
TPS Warugunung
35
36