Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................................................i
DAFTAR TABEL.................................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang........................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian....................................................................................................................5
1.4. Manfaat penelitian..................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................................7
2.1. Penelitian Terdahulu..................................................................................................................7
2.2. Penjelasan Konsep.....................................................................................................................9
2.2.1 Definisi Down Syndrome......................................................................................................9
2.2.2. Penyebab Down Syndrome...................................................................................................9
2.2.3. Karakteristik Down Syndrome............................................................................................11
2.3. Definisi Keluarga.....................................................................................................................15
2.3.1. Orang Tua..........................................................................................................................16
2.3.2. Peran dan Fungsi Orang Tua..............................................................................................17
2.4. Kemandirian............................................................................................................................19
2.4.1. Definisi Kemandirian............................................................................................................19
2.4.2. Aspek Kemandirian..............................................................................................................20
2.4.3. Faktor Penghambat dan Pendukung Kemandirian................................................................20
2.5. Pola Asuh................................................................................................................................23
2.6. Landasan Teori........................................................................................................................26
2.6.1. Teori Determinasi Diri (Self Determination Theory)..........................................................26
2.7. Kerangka Berpikir...................................................................................................................27
METODE PENELITIAN....................................................................................................................29
3.1. Jenis Penelitian........................................................................................................................29
3.2. Lokasi Penelitian.....................................................................................................................29
3.3. Penentuan Informan Dan Subjek Penelitian.............................................................................29
3.4. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................................................30
3.5. Sumber Data............................................................................................................................31
3.6. Teknik Analisis Data...............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................33

i
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah anak down syndrome di SLB Negeri Pembina Kupang.............................4
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu...............................................................................................7

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir................................................................................................28

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelahiran anak dengan Down Syndrome, kini banyak terjadi di berbagai negara

belahan di dunia. Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology

(ICBB) Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down

syndrome. Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia

diperkirakan mencapai 8 juta jiwa. Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai

1 dalam setiap 1000 angka kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000

sampai 5000 anak dengan kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari

300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008). Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita

terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya down syndrome pada bayi yang

dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan down

syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun,

kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan munculnya

down syndrome makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003).

Down syndrome pada anak dapat dideteksi sejak dini dikarenakan penderita down

syndrome mempunyai ciri khas pada fisiknya, antara lain: paras muka yang hampir

sama dengan muka orang Mongol, pangkal hidung yang terlihat rendah, jarak diantara

2 mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam, ukuran mulut yang kecil dan ukuran

lidah yang besar menyebabkan lidah selalu terjulur (Kaplan & Sadock, 2010).

Perkembangan anak down syndrome juga berbeda, ekspresi pada kromosom

berlebih menyebabkan penurunan jumlah sel saraf pada sistem saraf pusat,

1
keterlambatan mielinisasi, gangguan pengaturan siklus sel, dan produksi protein

berlebih serta neurotransmisi yang tidak normal. Beberapa kondisi tersebut

menyebabkan gangguan kognitif, komunikasi, konsentrasi, memori, kemampuan

melaksanakan tugas, perkembangan motorik dan kontrol tubuh (Irwanto,dkk, 2019).

Oleh karena itu untuk mengoptimalisasi perkembangan anak diperlukan penanganan

yang tepat oleh orangtua, akan tetapi menurut beberapa penelitian ditemukan bahwa

tingkat stres dan depresi orangtua dengan anak down syndrome cukup tinggi.

Salah satu masalah kesulitan dalam kehidupan seharihari adalah kurangannya

kemampuan kemandirian dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kemandirian

merupakan kemampuan individu dalam mengatur dan mengendalikan pikiran,

perasaan serta sikapnya yang di miliki selama perkembangan secara kumulatif,

dengan kata lain individu akan terus menerus belajar untuk mandiri dalam

menghadapi berbagai situasi di lingkungannya hingga akhirnya ia akan mampu

berfikir dan bertindak sendiri dengan menggunakan kemandiriannya.

Pola asuh merupakan suatu cara yang dilakukan dalam merawat, menjaga dan

mendidik anak secara terus menerus dari waktu ke waktu sebagai perwujudan rasa

tanggung jawab orang tuaterhadap anak. Selain itu, orang tua juga harus mengetahui

seutuhnya karakteristik yang dimiliki oleh anak. Peranan orang tua begitu besar dalam

membantu anak agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari dalam membantu dirinya.

Disinilah kepedulian orang tua sebagai guru yang pertama dan utama bagi anak-anak.

Sebagai orang tua harus betul-betul melakukan sesuatu untuk anak tercinta. Namun,

jika pola asuh dari orang tua telah salah, maka akan berdampak tidak baik pada

anaknya. Seperti orang tua yang mengasuh anaknya dengan cara terlalu memanjakan

anak. Akibatnya anak menjadi ketergantungan pada orang tua dan tidak dapat

melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

2
Secara praktis anak down syndrome tentu memerlukan tindakan khusus seperti

memasukkan anak tersebut ke sekolah luar biasa. Tindakan ini perlu dilakukan karena

intelegensi dan kemampuannya di bawah rata-rata, sehingga memerlukan bantuan

khusus tenaga pendidik yang ahli dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Oleh

karena itu sekolah luar biasa merupakan tempat yang tepat untuk anak down

syndrome dalam mengembangkan kemampuan mereka seperti belajar, bina diri, juga

membantu dan mengarahkan agar memiliki perilaku yang baik, meskipun tidak

sepenuhnya menjadikan mereka anak normal.

Pada pembinaan kemandirian anak down syndrome, tentu membutuhkan strategi

khusus yang dilakukan oleh orangtua bersama pihak sekolah untuk menanggulangi

permasalahan kemandirian anak down syndrome tersebut. Dalam hal ini, lembaga

SLB (Sekolah Luar Biasa) merupakan pendidikan khusus yang menampung

penyandang disabilitas dari seluruh kategori seperti autis, tuna grahita, tuna daksa,

tuna rungu, tunanetra, dan lain sebagainya. Pendidikan ini berperan untuk

membimbing penyandang disabilitas agar dapat mandiri dan tidak bergantung pada

orang lain. Adanya lembaga SLB diharapkan dapat merubah pola pikir masyarakat

yang menganggap bahwa penyandang disabilitas tidak bisa melakukan aktivitas

sebagaimana anak normal pada umumnya.

Berdasarkan data observasi awal pada bulan Februari 2023 di SLB Negeri

Pembina Kupang, diketahui jumlah keseluruhan anak down syndrome dari SD - SMA

adalah sebagai berikut :

3
Tabel 1.1

Jumlah anak down syndrome di SLB Negeri Pembina Kupang

Jumlah Siswa SD SMP SMA

P L P L P L P L

6 4 4 2 0 0 2 2

Jumlah = 10 Jumlah = 6 Jumlah = 0 Jumlah = 4

Sumber : Data Jumlah Siswa down syndrome SLB Pembina Kupang 2023

Dari data tabel diatas, diketahui jumlah keseluruhan siswa/siswi down syndrome di

tahun 2023 adalah 10 anak. Data di tahun 2023 SLB Pembina Kupang mengalami

penurunan. Dimana, pada tahun 2022 jumlah keseluruhan anak down syndrome adalah

14 anak, namun pada tahun 2023 ini mengalami penurunan jumlah siswa/siswi down

syndrome menjadi 10 anak.

Berdasarkan pembahasan pada konteks permasalahan diatas, untuk mengetahui

secara mendalam bagaimana pola asuh orang tua dalam mendidik anak mencapai

kemandirian secara optimal. Maka peneliti tertarik untuk membahas terkait bagaimana

pola asuh orang tua dalam melatih kemandirian anak down syndrome dan menuangkan

dalam judul penelitian “Pola Asuh Orang Tua Dalam Melatih Kemandirian Anak

Down Syndrome”.

4
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola asuh orang tua dalam melatih kemandirian anak down syndrome?

2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat penerapan pola asuh orang tua dalam

melatih kemandirian pada anak down syndrome?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pola asuh orang tua dalam melatih kemandirian

anak down syndrome.

2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat penerapan pola asuh

orang tua dalam melatih kemandirian anak down syndrome.

1.4. Manfaat penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

keilmuan di bidang sosiologi.

b. Penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi penelitian serupa diwaktu

mendatang.

2. Manfaat praktis

a. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran atau

memperkaya konsep-konsep, teori-teori terhadap ilmu pengetahuan dari

penelitian yang sesuai dengan bidang ilmu dalam suatu penelitian.

5
b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi orang tua yang

memiliki anak penyandang down syndrome dalam menerapkan pola asuh

untuk membentuk kemandirian anak.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan hal yang tidak kala menariknya untuk

dikemukakan terkait dengan bagaimana pola asuh orang tua dalam melatih

kemandirian anak down syndrome. Dibawah ini disajikan ringkasan penelitian

terdahulu dalam tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No Judul Penelitian Pendekatan Hasil Penelitian


Penelitian
1 Strategi orang tua dalam membina Kualitatif 1. strategi orang tua dalam
kemandirian anak down syndrome membina kemandirian anak
(Arifin, 2022) down syndrome baik fisik
maupun psikolgis tidak bisa
dilakukan dengan memberi
inturksi secara langsung akan
tetapi melalui perantara
dengan perbuatan yang
dicontohkan oleh orang tua.
metode mendidik semacam ini
perlu dilakukan secara
berulang ulang agar anak
mampu memahami maksud
dari orang tua. karena jika
tidak dilakukan secara
berulang-ulang maka anak
tersbut akan lupa mengingat
anak down syndrome
memiliki intelektual yang
rendah.
2. faktor pendukung meliputi
konsep diri, metode
pembinaan orang tua, guru,
peran aktif dari saudara

7
kandung. Sedangkan untuk
faktor penghambat meliputi
orang tua, lingkungan, guru,
kesibukan orang tua.
2 Pola asuh orang tua dalam upaya Kualitatif Pola asuh orangtua sangat
pembentukan kemandirian anak down mempengaruhi kemandirian.
syndrome di SLB Negeri 2 Padang Pola asuh yang permisif atau
(Wiryadi, 2014) memanjakan akan
menghasilkan anak yang tidak
mandiri.
3 Pola Asuh Orangtua pada Anak Kualitatif Hasil Penelitian menunjukan
Penyandang Down Syndrome (Studi bahwa terdapat dua jenis pola
Kasus pada Peserta Didik SLB Negeri asuh yang diterapkan orang
Jember, Kabupaten Jember) tua pada anak penyandang
(Novanita, 2018) down syndrome. Pertama,
pola demokratis, yang
ditandai dengan orang tua
memberikan kebebasan dalam
mengungkapkan dan
bertindak, namun orang tua
tetap mengontrol setiap
aktivitas yang dilakukan anak
tidak terkecuali juga dalam
pemenuhan kebutuhan dasar
anak, orang tua memberikan
pembimbing dan pelatihan
demi meningkatkan
perkembangan dan
keberfungsian sosial, orang
tua bersikap hangat namun
tegas saat memberikan
kesempatan anak untuk
berkembang otonomi,
mengarahkan diri dan
memberikan penjelasan
tentang baik buruknya dalam
berperilaku agar mampu
diterima oleh masyarakat
sosial. Kedua, mengarah pada
pola asuh over protective atau
terlalu melindungi. Ditandai
dengan sikap orang tua yang
belum percaya pada
kemampuan anak, sehingga

8
terlalu khawatir dan takut
anak menghadapi kesulitan
dalam beraktivitas.
Akibatnya, anak menjadi
mudah bergantung dan mudah
menyerah.

2.2. Penjelasan Konsep

2.2.1 Definisi Down Syndrome

Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan

mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.

Menurut Bandi (1992:24) anak cacat mental pada umumnya mempunyai kelainan

yang lebih dibandingkan cacat lainnya, terutama intelegensinya. Hampir semua

kemampuan kognitif anak cacat mental mengalami kelainan seperti lambat belajar,

kemampuan mengatasi masalah, kurang dapat mengadakan hubungan sebab akibat,

sehingga penampilan sangat berbeda dengan anak lainnya.

Anak cacat mental ditandai dengan lemahnya kontrol motorik, kurang

kemampuannya untuk mengadakan koordinasi, tetapi dipihak lain dia masih bisa

dilatih untuk mencapai kemampuan sampai ke titik normal. Tanda- tanda lainnya

seperti membaca buku ke dekat mata, mulut selalau terbuka untuk memahami

sesuatu pengertian memerlukan waktu yang lama, mempunyai kesulitan sensoris,

mengalami hambatan berbicara dan perkembangan verbalnya.

2.2.2. Penyebab Down Syndrome

Menurut Gunarhadi (2005:13) menyatakan down syndrome merupakan suatu

kumpulan gejala akibat dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21, yang

tidak dapat memisahkan diri selama meiosis sehingga terjadi individu dengan 47

9
kromosom. Kelainan ini pertama kali ditemukan oleh Seguin dalam tahun 1844.

Down adalah dokter dari Inggris yang namanya lengkapnya Langdon Haydon

Down. Pada tahun 1866 dokter Down menindaklanjuti pemahaman kelainan yang

pernah dikemukakan oleh Seguin tersebut melalui penelitian. Seguin (dalam

Gunarhadi 2005:13) mengurai tanda-tanda klinis kelainan aneuploidi pada

manusia. Seorang individu aneuploidi memiliki kekurangan atau kelebihan di

dalam sel tubuhnya. Pada tahun 1970-an para ahli dari Amerika dan Eropa

merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk

penemu pertama kali syndrome ini dengan istilah down syndrome dan hingga kini

penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.

Bagi ibu yang berumur 35 tahun keatas, semasa mengandung mempunyai

risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan anak down syndrome. Kondisi manusia

yang diakibatkan oleh penyimpangan kromosom jenis trisomi 21 diberi istilah idiot

mongoloid atau mongoloisme. Diberi nama demikian, karena kondisi individual

dengan trisomi 21 dianggap memiliki ciri- ciri wajah yang menyerupai orang

oriental. Namun sekarang kondisi yang demikian itu dinyatakan sebagai down

syndrome. Asosiasi keterbelakangan mental tidak melekat pada suatu golongan

atau bangsa tertentu. Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan

perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas

perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang

kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Kromosom

merupakan serat-serat khusus yang terdapat didalam setiap sel didalam badan

manusia dimana terdapat beberapa genetik yang menentukan sifat-sifat seseorang.

Selain itu down syndrome disebabkan oleh hasil daripada penyimpangan

kromosom semasa konsepsi.

10
Ciri utama daripada bentuk ini adalah dari segi struktur muka dan satu atau

ketidak mampuan fisik dan juga waktu hidup yang singkat. Sebagai perbandingan,

bayi normal dilahirkan dengan jumlah 46 kromosom (23 pasang) sedangkan bayi

down syndrome dilahirkan hanya sepasang kromosom 21 (2 kromosom 21

dikarena bayi dengan penyakit down syndrome terjadi disebabkan oleh kelebihan

kromosom dimana 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kesemua kromosom ialah

47 kromosom. Keadaan ini dapat terjadi terhadap laki-laki maupun perempuan.

Anak down syndrome biasanya kurang bisa mengkoordinasikan antara motorik

kasar dan halus. Misalnya kesulitan menyisir rambut atau mengancing baju sendiri.

Selain itu anak down syndrome juga kesulitan untuk mengkoordinasikan antara

kemampuan kognitif dan bahasa, seperti memahami manfaat suatu benda.

2.2.3. Karakteristik Down Syndrome

Penyandang down syndrome mempunyai karakteristik yang beragam. Berikut

merupakam beberapa ciri-ciri penyandang down syndrome yang meliputi aspek

fisik, kognitif dan kepribadian menurut beberapa ahli, antara lain:

a. Karakter Fisik

Anak down syndrome memliliki ciri ciri fisik yang khas dan

menonjol sehingga mudah bagi mereka untuk dikenali. Hal

tersebut yang kemudian membedakan mereka dengan anak anak

yang normal. Selikowitz (2001:44) menyebutkan ciri ciri yang

penting dalam mengenali kelainan down syndrome, yaitu :

1. Muka datar (Tipikal)

2. Mata kecil seperti orang Mongol

11
3. Tangan dan kaki umumnya kecil dengan jari yang

besar

4. Kepala besar

5. Mempunyai mulut kecil dan lidah yang besar

b. Karakteristik Kognitif

Ciri lain dari penyandang down syndrome yang merupakan

keluhan utama pada orangtua adalah retardasi mental atau

keterbelakangan mental. Mangunsong (2009:164) menyebutkan

bahwa kaum prefesional mengklasifikasikan anak down syndrome

berdasarkan tingkat kecerdasan atau skor IQ, yaitu :

1. Mild mental retardation (ringan) (IQ 55-70)

Pada tingkatan ini dalam segi pendidikan termasuk

yang bisa dididik, mereka masih bisa dididik di sekolah

umum, meskipun hasilnya lebih rendah daripada anak

anak normal pada umumnya karena rentang perhatian

mereka pendek sehingga sulit berkonsultasi dalam jangka

waktu yang lama. Mereka juga tidak memperlihatkan

kelainan fisik yang mencolok sekalipun perkembangan

fisiknya lebih lambat dibandingkan dengan anak anak

normal pada umumny.

Tinggi dan berat badanya tidak berbeda dengan anak

normal namun berdasarkan hasil observasi mereka kurang

dalam hal kekuatan, kecepatan dan kordinasi, serta sering

memiliki masalah kesehatan. Terkadang sering merasa

frustasi saat diminta berfungsi secara sosial atau akademis

12
yang sesuai dengan usia mereka sehingga tingkah laku

mereka menjadi tidak baik, misalnya ketika diminta untuk

acting out atau menolak untuk melakukan tugas didalam

kelas. Sikap yang ditunjukkan adalah malu dan diam.

Namun hal-hal tersebut dapat berubah bila mereka banyak

dilibatkan untuk berinteraksi dengan anak anak lainya.

Diluar pendudukan, mereka dapar melakukan beberapa

ketrampilan sendiri seperti makan, mandi, berpakaian dan

sebagainya. Pada mereka yang IQ nya lebih tinggi mampu

menikah dan berkeluarga.

2. Moderate mental retardation (IQ 40-55)

Pada tingkatan ini dapat dilatih untuk beberapa

ketrampilan tertentu. Meski sering berespon lama terhadap

pendidikan dan pelatihan, jika diberikan kesempatan

pendidikan yang sesuai maka mereka dapat dididik untuk

melakukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan

kemampuan tertentu. Mereka dapat dilatih untuk

mengurus dirinya sendiri dan dilatih untuk membaca dan

menulis sederhana. Mereka memiliki kekurangan dalam

kemampuan mengingar bahasa, konseptual, perseptual,

dan kreativitas, sehingga peerlu diberikan tugas yang lebih

simpel, singkat, relevan dan berurutan.

Mereka menampakkan kelainan fisik yang merupakan

gejala bawaan, namun gejala fisik itu tidak seberat yang

dialami anak anak pada katagori severe dan profound.

13
Mereka memiliki kordinasi fisik yang buruk dan

mengalami masalah di banyak situasi sosial. Selain itu

mereka juga menampakkan adanya gangguan pada fungsi

bicara mereka.

3. Severe mental retardation (IQ 25-40)

Pada tingkatan ini mereka memperlihatkan banyak

masalah dan kesulitan meskipun mereka sudah

disekolahkan pada sekolah khusus. Oleh karena itu mereka

membutuhkan perlindungan hidup dan pengawasan yang

lebih teliti, pelayanan dan pemeliharaan yang terus

menerus karena mereka tidak dapat mengurus diri mereka

sendiri tanpa bantuan dari orang lain meskipun

menghadapu tugas tugas yang sederhana. Mereka jarang

sekali diperkerjakan dan sedikit sekali dalam berinteraksi

sosial.

Mereka juga mengalai ganggguan bicara, mereka

hanya bisa berkomunikasi secara vocal setelah pelatihan

intensif. Tanda tanda kelainan fisik lainya ialah lidah yang

seringkali terjulur keluar bersamaan dengan keluarnya air

liur, ukuran kepala lebih besar dari biasanya. Kondisi fisik

mereka lemah sehingga mereka hanya bisa dilatih

ketrampilan khusus selama kondisi fisik mereka

memungkinkan.

c. Karakteristik kepribadian

14
Dari aspek kepribadian, stereotipe dari anak down syndrome

adalah bersahabat, suka bergaul dan terbuka. Hal itu

memaksudkan bahwa mereka bisa bersosialisasi dengan

lingkungan secara baik merskipun keterbelakangan mental

membatasi kertampilan sosialnya. Seperti halnya perilaku dan

emosinya yang juga bervariasi sangat luas, seorang anak

penyandang down syndrome dapat lemah dan tidak aktif,

sedangkan yang lainya agresif dan hiperaktif. Sehingga gambaran

streoptipe dimasa lalu tentang anak down syndrome yang pendek,

gemuk, tak menarik dengan mulut yang selalu terbuka dan lidah

yang terjulur keluar, serta retardasi mental berat adalah deskripsi

yang tidak sepenuhnya benar ( Soetjiningsih, 1995).

Dari beberapa karakteristik yang disebutkan di atas baik dari

segi fisik, kognitif dan kepribadian memang perlu adanya

penanganan khusus untuk membantu proses perkembangan

hingga keberfungsian sosial anak down syndrome. Keterkaitan

denga penelitian ini adalah, dengan adanya hambatan fisik yang

membuat anak down syndrome harus menggatungkan dirinya

pada orang lain berdampak pada pertumbuhan perkembanganya,

sehingga perlu adanya pendampingan yang sangat kuat bagi

keluarga khususnya orangtua down syndrome. Pola pengasuhan

yang baik dan sesuai, akan berdampak pada kognitif serta akan

membentuk kepribadian yang baik pula. Sehingga dengan adanya

kriteria anak seperti halnya down syndrome menjadi tantangan

bagi orangtua untuk berlomba-lomba mengasuh dan

15
mengembangkan kemandirian agar mampu mengembalikan

keberfungsian sosial anak down syndrome.

2.3. Definisi Keluarga

Lingkungan yang langsung dialami anak adalah keluarga. Keluarga terdiri dari

orang-orang yang disatukan oleh hubungan darah. Keluarga merupakan unit terkecil

dalam masyarakat dimana terjadi interaksi antara anak dan orang tuanya. Menurut

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1992 mendefinisikan keluarga

adalah unit terkecil dari masyarakat, yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau suami

istri, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya sedangkan Departemen Kesehatan

RI (1998) mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat yang terdiri dari

kepala keluarga dan beberapa orang yang tinggal dalam satu rumah dalam keadaan

saling ketergantungan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, keluarga merupakan unit terkecil dalam

masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak, yang saling berinteraksi dan

memiliki hubungan yang erat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Interaksi yang

baik antara anak dan orang tua merupakan hal penting dalam masa perkembangan

anak. Interaksi yang baik ditentukan oleh kualitas pemahaman dari anak dan orang tua

untuk mencapai kebutuhan keluarga (Soetjiningsih, 2012:89). Didalam lingkungan

keluarga, yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau rumah tangga, dan

sudah layaknya apabila orangtua mencurahkan perhatian dan bimbingan untuk

mendidik anak agar supaya anak tersebut memperoleh dasar- dasar dan pola pergaulan

hidup pendidikan yang baik dan benar, melalui penanaman disiplin dan kebebasan

secara serasi.

2.3.1. Orang Tua

16
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008) orangtua adalah ayah

ibu kandung, (orang-tua) orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli); orang-

orang yang dihormati (disegani), dikampung. Dalam konteks keluarga, tentu saja

orangtua yang dimaksud adalah ayah dan ibu kandung dengan tugas dan tanggung

jawan mendidik anak dalam keluarga. Orangtua merupakan individu individu yang

mengasuh, melindungi dan membimbing dari bayi hingga tahap dewasa (Morris

dalam Brooks, J. 20011:10). Sedangkan menurut Mahwa (dalam Brooks, J.

2011:10) menyatakan bahwa orangtua melakukan investasi dan komitmen abadi

pada seluruh periode perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak untuk

memberikan tanggung jawab dan perhatian yang mencakup kasih sayang hubungan

dengan anak yang terus berlangsung, kebutuhan material seperti halnya makanan

pakaian dan tempat tinggal, akses kebutuhan medis, disiplin yang bertanggung

jawab, menghindarkan dari kecelakaan dan kritikan pedas serta hukuman fisik

yang berbahaya, pendidikan intelektual dan moral, persiapan untuk bertanggung

jawab sebagai orang dewasa dan mempertanggung jawabkan tindakan anak kepada

masyarakat luas.

Keterkaitan dua teori di atas adalah apa dan bagaimana hak kewajiban sebagai

orangtua. Penyataan Morris bahwa orangtua mengasuh, melindungi dan

membimbing anak telah diperjelas oleh Mahwa menyatakan bahwa orangtua

mengasuh dengan pertimbangan investasi dan komitmen abadi pada seluruh

periode tumbuh kembang anak dengan memberikan tanggungjawab dan kasih

sayang. Melindungi dengan mencukupi berbagai kebutuhan materiil maupun non

materiil sehingga mampu meninimalisir berbagai ancaman serta dengan

membimbing anak dengan mengikutsertakan pendidikan intelektual, moral yang

berguna untuk persiapan sebagai individu yang bertanggung jawab.

17
2.3.2. Peran dan Fungsi Orang Tua

Setiap anggota keluarga menjalankan perannya masing-asing dalam keluarga

untuk mempertahankan kondisi dalam keluarga. Peranan keluarga menggambarkan

seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan, yang berhubungan dengan

individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga

didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah Peranan ayah sebagai

suami dari istri, berperanan sebagai pencari nafkah,pendidik, pelindung, dan

pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok

sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya; Peranan ibu

sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus

rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anakanaknya,pelindung dan sebagai

salah satu kelompok dari peranan sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari

lingkungannya, disamping itu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah

tambahan dalam keluarganya; dan Peranan anak melaksanakan peranan psiko-

sosial sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik fisik, mental, sosial dan

spiritual.

Setiap anggota keluarga menjalankan perannya dengan baik apabila keluarga

berfungsi sebagaimana mestinya. Fungsi keluarga berkaitan dengan peran dari

keluarga yang bersifat ganda. Friedman (dalam Padila 2012) menguraikan terdapat

5 fungsi keluarga, yaitu : (1) Fungsi afektif merupakan fungsi internal berhubungan

secara langsung dan menjadi dasar dari keluarga tersebut. Fungsi iniberguna untuk

pemenuhan fungsi psikososial. (2) Fungsi sosialisasi, dimana keluarga merupakan

tempat pertama individu memulai sosialisasi. Individu belajar untuk disiplin dan

mematuhi norma yang ada sehingga mampu untuk melakukan interaksi sosial

18
dimasyarakat. (3) Fungsi reproduksi, dimana keluarga memiliki fungsi untuk

meneruskan keturunan dan meningkatkan sumber daya manusia, hal ini dikatakan

sebagai fungsi reproduksi. (4) Fungsi ekonomi, dimana untuk memenuhi

kebutuhan setiap anggota keluarganya seperti makanan, pakaian dan tempat

tinggal. (5) Fungsi perawatan kesehatan, dalam fungsi perawatan kesehatan,

keluarga memiliki peran untuk melakukan proteksi dikeluarganya terhadap

penyakit.

Berbagai permasalahan dihadapi oleh setiap keluarga dalam

memenuhikebutuhan anak dengan retardasi mental. Anak dengan retardasi mental

akan memerlukan bantuan dari anggota keluarga lainnya dalam waktu yang cukup

lama. Apabila kelima fungsi keluarga tersebut berjalan dengan baik, maka keluarga

akan menjadi harmonis. Namun, bila fungsi tersebut mengalami gangguan dalam

keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental, maka halini akan menjadi

beban tersendiri pada anak tersebut yang akan berpengaruh jugapada fungsi dan

peran setiap anggota keluarga lainnya, sehingga diperlukan usaha dari anggota

keluarga untuk tetap menjaga fungsi dan peran masing masing agartetap berjalan

dengan baik.

2.4. Kemandirian

2.4.1. Definisi Kemandirian

Kemandirian adalah suatu kesempurnaan dan keutuhan dalam kesatuan

pribadi. Dengan kata lain manusia mandiri adalah pribadi dewasa yang

sempurna.16 Menurut Paul Aron kemandirian terbagi dalam tiga konsep, pertama,

kemandirian merupakan realitas sosial sebagai hasil dari suatu profesi di dalam

masyarakat. Kedua, kemandirian adalah suatu kebebasan yang secara umum

19
dilakukan oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Ketiga,

kemandirian adalah suatu argumentasi yang diperkenalkan oleh sejumlah aktor di

dalam perjuangan mereka kepada sejumlah aktor lain.

Dari beberapa pengertian kemandirian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

kemandirian adalah serangkaian pembelajaran yang didorong oleh motivasi diri

untuk menguasai suatu kompetensi tertentu dalam menyelesaikan suatu

permasalahan. Upaya tersebut dibangun dengan bekal pengetahuan dan skill yang

telah dimiliki. Dengan demikian adanya nilai kemandirian pada anak bukan berarti

anak dapat melakukan segala tindakan dalam kesehariannya sendiri seperti yang

dilakukan oleh orang dewasa, namun kemandirian dapat mengurangi

ketergantungan dengan keluarga atau dengan orang lain yang ada disekitarnya.

Kemandirian merupakan aspek penting dalam kehidupan, kemandirian ini

perlu ditanamkan sejak usia dini agar anak tidak selalu bergantung pada orang lain.

Anak down syndrome yang notabene adalah anak berkebutuhan khusus yang

memiliki kelainan fisik dan psikologis cenderung akan mengalami hambatan dalam

mengembangkan kemandirian. Maka dalam kasus ini perlu penanganan yang

sesuai dengan kondisi anak. Anak down syndrome membutuhkan pendidikan

khusus untuk dapat mengembangkan kemandirian baik dalam akademis maupun

non akademis agar berkembang secara optimal. Pelatihan kemandirian ini dapat

berupa belajar merawat diri, kegiatan akademis, dan melakukan aktivitas sehari-

hari lainnya.

2.4.2. Aspek Kemandirian

Kemandirian terdiri dari beberapa aspek penting, yaitu:

1. Kemampuan untuk menggali dan mengembangkan potensi diri dan

lingkungan.

20
2. Kemampuan untuk berdiri sendiri dan mengatasi kesulitan.

3. Kemampuan menerima konsekuensi atas segala keputusan yang diambil.

2.4.3. Faktor Penghambat dan Pendukung Kemandirian

a. Faktor Penghambat :

1. Pola asuh Orang tua

Secara alamiah setiap anak memiliki suatu dorongan untuk mencapai

kemandirian. Terkadang ada beberapa anak lebih senang jika melakukan

sebuah hal dengan sendiri tanpa harus pelayanan dari orang lain. Sayangnya

ketidakpercayaan orang tua seringkali menjadi penghambat bagi anak untuk

mandiri.

2. Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor penting dalam kehidupan individu.

Lingkungan mempunyai peran dalam membentuk keprinadian, tingkah

laku, sosial, serta membentuk individu untuk mandiri dalam mengatasi

masalah yang terjadi di lingkungannya. Jika individu tidak mampus

memahami situasi lingkungan sekitar maka akan terjadi kesulitan dalam hal

adaptasi sosialnya.

3. Tenaga Pendidik yang Tidak Linier

Tenaga pendidik yang notabene adalah pengajar di lembaga sekolah

tentunya mempunyai tujuan dalam menciptakan murid yang mandiri dan

berilmu. Terkadang tidak semua guru yang ada di setiap lembaga

pendidikan linier (satu arah dengan sertifikasi pendidik), ada beberapa guru

yang justru berlawanan arah dalam bidang tertentu. Hal tersebut cukup

21
berpengaruh ketika kegiatan mengajar berlangsung. Seperti guru sekolah

umum yang menangani murid sekolah khusus.

b. Faktor Pendukung :

1. Diri Sendiri

Berawal dari konsep diri dimana individu dapat memahami metode

kemandirian yang diberikan oleh guru atau orang tua, lalu tercipta motivasi

yang menumbuhkan semangat dan rasa ingin tahu yang tinngi, Kemudian

sikap yang mencerminkan perilaku positif mampu mendorong individu

dalam mencapai suatu kemandirian. Hal ini juga tidak terlepas dari bentuk

dukungan dari keluarga.

2. Orang tua

Metode atau strategi yang diterapkan oleh orang tua dalam membina

kemandirian merupakan faktor penunjang perkembangan moral anak,

karena dengan adanya perhatian, komunikasi dan control orang tua

mengajak anak berpikir sehingga keadaan ini dapat menstimulasi

kecerdasan moral untuk berkembang lebih baik.

3. Guru

Selain orang tua, guru juga merupakan faktor penunjang anak belajar

memahami suatu ilmu pengetahuan. Bimbingan guru membantu anak agar

dapat menyesuaikan diri melalui tahap peralihan dari kehidupan dirumah ke

kehidupan sekolah. Pemberian ilmu pengetahuan meningkatkan

kemampuan olah pikir, sikap, dan sosial anak agar dapat bersaing dengan

yang lainnya.

22
4. Fasilitas Belajar Sekolah

Fasilitas yang disediakan oleh sekolah dapat meningkatkan kreatifitas serta

memacu bakat terpendam yang dimiliki oleh setiap anak. Fasilitas

pendukung ini beraneka ragam mulai dari puzzle, perpustakaan, kegiatan

bina diri, tata boga, dll. Tentunya kegiatan tersebut juga dipandu oleh guru

yang professional di bidangnya untuk mengatasi kesulitan yang dialami

oleh peserta didik.

2.5. Pola Asuh

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008) pola asuh terdiri dari dua

kata yaitu pola dan asuh. Pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur)

yang tetap. Ketika pola diberi arti bentuk atau struktur yang tepat, maka hal itu

semakna dengan “kebiasaan” sedangkan definisi pola menurut wikipedia menyatakan

bahwa pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang

bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu,

khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk

pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan

memamerkan pola. Berdasar dua definisi menurut dua sumber, peneliti menyimpulkan

bahwa pola merupakan suatu bentuk, cara kerja yang bisa dilakukan secara

berkelanjutan maupun tidak, dan bertujuan untuk membuat atau menghasilkan sesuatu

baik dalam bentuk verbal ataupun non verbal.

Asuh berarti mengasuh, satu bentuk kata kerja yang bermakna (1) menjaga

(merawat dan mendidik anak kecil); (2) membimbing (membantu, melatih) supaya

23
dapat berdiri sendiri (mandiri); (3) memimpin (mengepalai, menyelenggarakan) suatu

badan kelembagaan. Ketika mendapat awalan dan akhiran, kata asuh memilik makna

yang berbeda. Pengasuhan berarti orang orang yang mengasuh; wali (orangtua dan

sebagainya). Pengasuhan berarti proses, perbuatan, cara pengasuhan. Kata asuh

mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan dan

bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat. Dalam

pernyataan KBBI mengenai definisi asuh, peneliti menyimpulkan bahwa asuh adalah

suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara menjaga, memelihara, dan membimbing

anak (dalam konteks penelitian) yang bertujuan untuk dapat mandiri dan menjalani

hidup sehat.

Beberapa ahli menyatakan pendapatnya mengenai definisi pola asuh seperti halnya

menurut Hersey dan Blanchard ( dalam Garliah 2005:41) pola asuh adalah bentuk dari

kepemimpinan. Kepemimpinan dalam pengertian ini adalah bagaimana mempengaruhi

seseorang, orangtua sebagai pengaruh yang kuat pada anaknya. Pola asuh orangtua

dalam keluarga berarti kebiasaan orangtua, ayah dan atau ibu, dalam memimpin,

mengasuh, dan membimbing anak dalam keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga

dengan cara merawat dan mendidiknya. Membimbing dengan cara membantu, melatih

dan sebagainya. Menurut Tafsir ( dalam Djamarah 2014:51), pola asuh berarti

pendidikan. Dengan demikian, pola asuh orangtua adalah upaya orangtua yang

konsisten dan persisten dalam menjaga dan membimbing anak dari sejak dilahirkan

hingga remaja. Pola perilaku yang diberikan pada anak bersifat relatif konsisten dari

waktu ke waktu.

Penjelasan pola asuh sebelumnya kemudian diperkuat oleh pendapat Gunarsa

(2002) yang mengungkapkan bahwa pola asuh adalah suatu gaya mendidik yang

dilakukan orangtua untuk membimbing dan mendidik anak-anaknya dalam proses

24
interaksi. Pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi bukan hanya

pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga norma-norma yang

berlaku di masyarakat seperti yang diungkapkan Rohinah (2012: 134) pola asuh dapat

didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi

pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan

psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain) serta sosialisasi norma-norma

yang berlaku dimasyarakat agar dapat hidup selaras dengan ingkungannya. Sehingga

definisi pola asuh yang dijelaskan dalam Garliah,Tafsir dan Gunarsa dipertegas oleh

Rohinah sangat berkaitan dengan dengan judul penelitian yang akan dikaji oleh peneliti

bahwa pola asuh tidak jauh dari aspek kepemimpinan dan pendidikan dalam mengasuh

anak. Keterkaitan dengan pola asuh dengan penelitian ini adalah bagaimana gaya

pengasuhan atau yang lebih dikenal dengan pola asuh orangtua mampu memimpin,

mendidik, mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kemandirian

dan keberfungsian sosial hingga pada upaya pembentukan norma-norma yang

diharapkan oleh masyarakat secara umum.

2.5.1. Jenis-Jenis Pola Asuh

Terdapat berbagai pola asuh yang ditampilkan oleh orang tua pada waktu

mengasuh anaknya. Pola asuh yang berbeda pada setiap orang tua akan

mempengaruhi perkembangan sosial dan kepribadian anak kelak. Seperti yang

diungkapkan oleh Baumrind (dalam Diana, P dan Feldman 2013:69) tentang

berbagai gaya pengasuhan atau yang lebih dikenal dengan pola asuh orang tua,

diantaranya:

a. Pola asuh otoriter

Cara ini menekankan paa kontrol dan kepatuhan yang tidak boleh

dipertanyakan oleh anak, orangtua berusaha membuat anakna melakukan

25
rangkaian standar yang sudah dibuat dan menghukum mereka semena

mena dan dipaksa jika anak melanggar. Orangtua cenderung terpisah

dengan anak dan kurang hangat daripada orangtua lainya. Anak mereka

cenderung menarik diri, tidak percaya dan tiak berkomunikasi dengan

orangtua.

b. Pola asuh Permisif

Menekankan pada pengekspresian dan regulasi diri. Orangtua membuat

sedikit permintaan dan membiarkan anak untuk memonitor aktivitas

mereka sendiri sebanyak mungkin. Ketika orangtua harus membuat aturan,

mereka akan menduskisan dengan anaknya dan menjelaskan alasanya.

Cirinya, mereka akan cenderung hangat, tidak terlalu mengontrol, dan

tidak terlalu menuntut. Untuk anak prasekolah mereka cencerung menjadi

kurang dewasa- kurang dapat mengontrol diri dan kurang bereksplorasi.

c. Pola asuh Otoritatif

Menekankan pada individualitas anak, tetap juga tidak meninggalkan

aturan sosial. Orangtua memiliki kepercayaan diri pada kemampuan

mereka untuk mengarahkan anak, tetapi mereka jua menghargai keputusan,

keinginan, opini dan pribadi mereka. Mereka mencintai dan menerima

anak, tapi juga meminta anak berperilaku baik dan tegas. Mereka

menetapkan batasan, memberikan hukuman yang bijaksana ketika perlu,

dengan cara yang hangat dan dengan hubungan yang mendukung. Anak

merasa aman dan mengetahui bahwa mereka dicinta dan juga tahu apa

yang diharapkan dari mereka. Untuk anak prasekolah, dengan orangtua

otoritatif cenderung menjadi mandiri danmengandalkan diri sendiri,

memiliki kontrol diri dan eksploratif.

26
2.6. Landasan Teori

2.6.1. Teori Determinasi Diri (Self Determination Theory)

Determinasi diri (Self Determination Theory) adalah motivasi intrinsik

keadaan yang berasal dari dalam diri individu sendiri yang dapat mendorong

melakukan tindakan tujuan yang individu inginkan sendiri. Dalam determinasi

diri menunjukan seseorang untuk mencari pengetahuan yang baru, tantang

dalam diri sendiri, menemukan hal-hal yang baru yang pada akhirnya akan

diterapkan dalan kegiatan dan tindakan seseorang yang akan dilakukan sesuai

dengan kebutuhan.

Teori Determinasi Diri (Self Determination Theory/STD) Deci & Ryan

(2002, dalam Muller et al, 2006) adalah teori motivasi yang komprehensif

melalui membedakan motivasi intrinsik dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi

intrinsik ditetapkan sendiri oleh individu yang tidak dicampuri oleh pengaruh

dari luar dirinya. Sebaliknya, motivasi ekstrinsik bersifat instrumental karena

tindakan individu dilakukan dalam kendali pihak di luar diri individu.

Dengan demikian Self Determination (SDT) dapat disimpulkan sebagai

kemampuan kontrol perilaku yang berasal dari dalam diri individu yang bukan

berasal dari luar diri individu dimana keputusan tidak dipengaruhi oleh faktor

eksternal dan kecenderungan individu untuk mencari pengetahuan baru tentang

diri sendiri yang nantinya akan diterapkan dalam kegiatan yang berhubungan

dengan orang lain.

2.7. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir merupakan sintesa dari serangkaian yang tertuang dalam

tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari kinerja teori

27
dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian masalah yang

ditetapkan. (Hamid, 2007 : 26).

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada pembahasan diatas, dapat

digambarkan kerangka penelitian seperti gambar berikut :

Gambar 2.1
Kerangka Berpikir

Pola Asuh

Teori Determinasi Diri


(Self Determination
Theory

Kemandirian Anak
Down Syndrome

Peran dan Fungsi


SLB Pembina Kupang
Orang tua

28
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan yaitu pendekatan kualitatif. Penelitian ini akan

menghasilkan data yang di jelaskan dengan kata-kata tertulis atau lisan dari orang tua

murid yang di amati. Seperti yang dikemukan oleh Faenkel dan Wallen (dalam Uhar

Suharsaputra, 2017), bahwa mengkaji kualitas hubungan, kegiatan, situasi, atau material

disebut penelitian kualitatif, dengan penekanan kuat pada deskripsi suatu kegiatan atau

situasi tertentu.

3.2. Lokasi Penelitian

29
Lokasi penelitian merupakan sebuah tempat untuk proses penelitian di lakukan oleh

penelitin di SLB Pembina Kupang. Karena di SLB Pembina Kupang merupakan salah

satu sekolah yang melayani pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK) termasuk anak

Down Syndrome. Sehingga peneliti memilih lokasi penelitian tersebut.

3.3. Penentuan Informan Dan Subjek Penelitian

1. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah orang tua siswa anak Down Syndrome yang

mengetahui dan memahami serta memiliki informasi pokok terkait dengan data-data

dan informasi penelitian.

2. Teknik Penentuan Informan

Teknik yang digunakan adalah metode purposive sampling atau sampling bertujuan.

Teknik sampling ini digunakan oleh peneliti karena atas pertimbangan terhadap

karakteristik dari informan yang kerkaitan dengan penelitian ini dan tujuan penelitian

untuk penarikan informan serta diharapkan dapat menjawab harapan dari peneliti.

Penarikan informan pokok dengan menggunakan teknik purposive, peneliti

mempunyai kriteria penelitian untuk informan pokok, yakni Orangtua yang terlibat

secara secara penuh, aktif dan mengetahui kegiatan yang menjadi fokus peneiliti

yaiyu pola asuh anak penyandang down syndrome.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi
Menurut Suharsimi Arikunto (1996), observasi atau pengamatan adalah suatu

kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat

indera.Metode ini membantu peneliti untuk memperoleh dan mengumpulkan data

secara langsung di lapangan.

30
2. Wawancara

Moleong (2010: 186), Metode kedua yang di lakukan yaitu melakukan wawancara,

dimana peneliti secara langsung melakukan tanya jawab dengan informan yang telah

di tentukan sebelumnya. Wawancara adalah percakapan dua orang atau lebih untuk

maksud tertentu sehingga memperoleh informasi yang hendak di cari. Tujuan

wawancara tersebut yaitu memperoleh dan menguji kebenaran data pada kegiatan

observasi. Target informan yang di wawancarai peneliti adalah orang tua siswa anak

Down Syndrome.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu metode yang sangat membantu peneliti dalam hal

bukti penelitian. Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah sah (dalam

Sugiyono,2013:82). Tulisan dan gambar merupakan bentuk dari komunikasi. Terkait

dengan ini,peneliti menggunakan dokumentasi yang berupa gambar sebagai bukti

bahwa peneliti melakukan wawancara dengan informan di SLB Pembina Kupang.

3.5. Sumber Data

1. Data Primer
Data primer yaitu yang diperoleh secara langsung dari pengamatan mengenai

objek penelitian. Menurut Sugiyono, sumber data primer yaitu sumber data yang

diambil peneliti baik berupa kata-kata dan tindakan melalui wawancara dan observasi.

2. Data Sekunder
Data skunder yaitu data yang dapat melengkapi data utama. Data sekunder berupa

data yang telah lebih dahulu di kumpulkan dan di laporkan oleh orang atau instansi di

luar diri peneliti sendiri, walaupun data yang dikumpulkan sesunggunya adalah data

asli. Data sekunder dapat diperoleh dari instansi-instansi dan perpustakaan atau

melalui media internet yang mempunyai keterhubungan dengan data primer.

31
3.6. Teknik Analisis Data

1. Pengumpulan Data
Menurut Sugiyono (2009: 92), Pengumpulan data adalah data pertama atau data

mentah dikumpulkan dalam suatu penelitian.Pengumpulan data baik data primer

maupun sekunder.

2. Penyajian Data
Menurut Sugiyono (2009: 95) Penyajian data adalah sebagai kumpulan informasi

tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan atau

pengambilan tindakan pengambilan data ini membantu penulis memahami peristiwa

yang terjadi dan mengarah pada analisis atau tindakan lebih lanjut berdasarkan

pemahaman.

3. Penarikan Kesimpulan

Menurut Sugiyono (2009: 99), Penarikan kesimpulan merupakan langkah terakhir

meliputi makna yang telah disederhanakan, disajikan dalam pengujian data.

32
DAFTAR PUSTAKA

Arifin. 2022. Strategi Orang Tua Dalam Membina Kemandirian Anak Down Syndrome.
Skripsi. Universitas Islam Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Bandi, M. 1992. Psikologi Anak Luar Biasa/Berkelainan. Surakarta: UNS.

Djamarah, S B. 2014. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya
Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: Rineka Cipta.

Ester, A. N. 2013. Pola Asuh Orangtua terhadap Anak dalam Keluarga pada Bidang
Pendidikan. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Efendi, M. 2008. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara

Gunahardi. 2005. Penanganan Anak Down Syndrome dalam Lingkungan Sekolah dan
Keluarga. Jakarta: Depdiknas.

33
Gunarsa, Y S. 1990. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.

Hidayati, N. I. 2014. Pola Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan Emosi, Dan Kemandirian
Anak SD. Jurnal Psikologi, 3(1): 1-8.
Lili Garliah, dkk. 2005. Peran Pola Asuh Orangtua dalam Memotivasi Berprestasi.
Jurnal Psikologi, 1(1): 41.
Magnawiyah, M.S. 2014. Strategi Koping Orangtua pada Anak yang Menderita Syndrom
Down. Skripsi.Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid
Jakarta:Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan

Psikologi (LPSP3) Kampus Baru UI, Depok.

Rina, A P. 2016. Meningkatkan Life Skill pada Anak Down Syndrome dengan Teknik
Modelling. Jurnal Psikologi Indonesia. 5(2): 218-219

Rohinah. 2012. Mengembangkan Karakter Anak Secara Efektif di Sekolah dan di


Rumah. Yogyakarta : PT Pustaka Insan Mandiri.

Santrock, J. W. 2011. Masa Perkembangan Anak. Jakarta: Salemba Humanika

Selikowitz, M. 2001. Mengenal Down Syndrome. Jakarta : Arcan.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,Kualitatif dan


R&D).
Penerbit CV. Alfabeta: Bandung.

Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I Ilmu
Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta :Sagungseto

Suparmi. 2018. Pengasuhan sebagai Mediator Nilai Anak dalam memengaruhi Kemandirian
Anak dengan Down Syndrome. Jurnal Psikologi Volume 45, Nomor 2,

2018: 141 – 150.

Ulya, L. L. 2013. Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis Dengan Kemandirian Dalam
Pengambilan Keputusan. Jurnal Psikologi.

Ulfatusholihat, R. 2012. Peran Orangtua dalam Penyesuaian Diri Anak Tunagrahita.

34
Skripsi.Yogyakarta: Gunadarma

Utami Dan Garnika. 2020. Pola Asuh Orang Tua Dalam Upaya Pembentukan Kemandirian

Anak Down Syndrome. Jurnal Realita.

Wiryadi. 2014. Pola Asuh Orang Tua Dalam Pembentukan Kemandirian Anak Down
SyndromeX Kelas CI/DI Di SLB Negeri 2 Padang. Jurnal Ilmiah
Pendidikan

Khusus.

35

Anda mungkin juga menyukai