Anda di halaman 1dari 11

Bimbingan dan Konseling: Melihat Peran Guru BK dalam Mengatasi

Fenomena Salah Jurusan


Angga Adi Saputra1, Farah Libraty Syahnaz2, Muhammad Janu Saputro3, Siti Yulita Nurhalizah4
1,2,3,4
Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila, Jl. Lenteng Agung Raya No.56, RT.1/RW.3, Srengseng Sawah,
Kec. Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12460
Email: 6020210092@univpancasila.ac.id1, 6020210133@univpancasila.ac.id2,
6020210127@univpancasila.ac.id3, 6020210102@univpancasila.ac.id4

Sekitar awal tahun 2021, saya membaca sebuah artikel yang dimuat di Qureta dengan
judul "Salah Jurusan di SMA, Akar Kinerja Kurang Maksimal". Seperti judulnya, artikel ini
membahas mengenai kisah seorang siswi bernama Dela yang merasa bahwa dirinya salah
pilih jurusan di Sekolah Menengah Akhir. Dela adalah seorang siswi yang mengambil
jurusan IPA di SMA tempat ia bersekolah. Dasar alasan Dela mengambil jurusan IPA karena
ia hanya tahu kalau jurusan IPA ini berkaitan dengan berhitung, sementara IPS hanya
berkaitan dengan hafalan. Dela merasa dirinya tidak cukup baik dalam menghafal sehingga ia
lebih memilih masuk ke dalam jurusan IPA. Asal mula dari semuanya perkara ini adalah
ketidaktahuan.
Tidak lama setelah menjalani proses belajar mengajar di SMA, Dela “ditampar” oleh
fakta yang sesungguhnya. Jurusan IPA yang ia ambil ternyata tidak semudah yang ia
bayangkan, ia harus mempelajari teori-teori fisika yang sangat sulit. Gambarannya tentang
bagaimana cara belajar siswa IPS pun ternyata salah. Siswa IPS tidak melulu belajar yang
berkaitan dengan hafalan. Setelah menerima “tamparan” fakta, Dela mulai mempertanyakan
keputusannya untuk memilih jurusan tersebut. Dela juga mulai merasa bahwa dirinya salah
pilih jurusan. Ia merasa bahwa passion yang dimilikinya ada di bidang ekonomi dan
akuntansi yang mana jurusan pelajaran tersebut bisa didapatkan ketika dirinya masuk ke
jurusan IPS.
Kasus di atas adalah contoh kasus salah jurusan yang masih berada di tingkat sekolah
lanjutan. Tingkat sekolah lanjutan sendiri menurut KBBI adalah tingkatan sekolah sesudah
sekolah dasar dan sebelum perguruan tinggi. Artinya, sekolah lanjutan ini berada di tahap
SMP atau SMK/SMK. Kasus serupa pun sering dialami oleh teman-teman mahasiswa. salah
satu contoh kasusnya adalah kasus Ali. Ali adalah seorang mahasiswa yang berkuliah di
Jurusan Kesejahteraan Sosial. Alasan utama Ali mengambil jurusan ini karena ia merasa
bahwa jurusan ini merupakan jurusan yang mudah sehingga dirinya tidak perlu mengeluarkan
banyak usaha ketika berkuliah di jurusan ini.
Setelah satu semester menjalani perkuliahan, Ali menemukan fakta-fakta yang tidak
sesuai dengan apa yang ia duga. Jurusan Kesejahteraan Sosial yang ia ambil ternyata sangat
sulit bagi dirinya, ia harus mempelajari teori-teori kesejahteraan sosial yang sangat sulit,
seperti teori kebijakan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan lainnya. Setelah tahu hal
tersebut, Ali mulai mempertanyakan keputusannya untuk memilih jurusan tersebut. Ali juga
mulai merasa bahwa dirinya salah pilih jurusan.
Di saat Ali sedang merasakan disonansi kognitif terhadap jurusan yang dipilih,
keadaan semakin parah ketika teman-teman dekat Ali di kampus memilih untuk keluar dari
Jurusan Kesejahteraan Sosial dan memilih pindah jurusan. Keadaan tersebut membuat Ali
semakin bimbang, ia pun mulai bertanya-tanya apakah ia perlu bertahan di jurusan tersebut
atau pindah jurusan. Akan tetapi, Ali memutuskan untuk tetap bertahan di jurusan yang
membuat dirinya merasa salah pilih jurusan.
Ali mulai membuka dirinya untuk berteman dengan orang lain. Ia pun menemukan
teman yang memang “sefrekuensi” dengan dirinya. Mereka tidak jarang melakukan diskusi
mengenai pelajaran yang didapatkan di kelas. Menemukan teman baru membuat semangat
Ali untuk menjalani perkuliahan semakin meningkat. Ali juga mulai mencoba untuk
mempelajari materi-materi yang diberikan di perkuliahan secara lebih mendalam. Tidak
hanya itu, ia juga sampai mengikuti seminar-seminar dan pelatihan mengenai kesejahteraan
sosial.
Dengan segala kesulitan yang dialami di masa kuliah, Ali dapat lulus dari Jurusan
Kesejahteraan Sosial. Menariknya, Ali lulus dengan nilai yang cukup bagus. Ali pun
melanjutkan kehidupannya dengan memilih bekerja sebagai pekerja sosial di salah satu
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sekarang Ali dapat berkontribusi terhadap bidang
kesejahteraan sosial.
Pada dasarnya, artikel di atas ingin memberikan pesan bahwa salah pilih jurusan
bukan berarti kita tidak dapat sukses di jurusan yang kita tekuni. Dengan sedikit bekerja
keras, kita dapat merasakan kenyamanan dan kesuksesan di jurusan tersebut. Kira-kira seperti
itulah pesan manis yang ingin disampaikan oleh sang penulis artikel dari artikel di atas. Akan
tetapi, pada paper ini kami (saya dan teman kelompok) tidak akan fokus terhadap pesan
manis tersebut. Kami akan fokus terhadap fenomena salah pilih jurusan yang dialami oleh
siswa-siswi yang berada di sekolah lanjutan dan juga mahasiswa.
Fenomena salah pilih jurusan memang sering terjadi di banyak siswa-siswi dan juga
mahasiswa. Bahkan, di lingkup pertemanan kami, kami masih sering menemukan teman-
teman yang merasa salah pilih jurusan SMA dan kuliah. Hal ini pun sejalan dengan hasil
survei yang dilakukan oleh Youthmanual Pada tahun 2018. Youthmanual sendiri merupakan
perusahaan binaan Skystar Ventures Tech Incubator Universitas Multimedia Nasional
melakukan penelitian yang berlangsung selama 2 tahun dengan melibatkan total 400.000
responden yang terdiri dari siswa dan mahasiswa di seluruh indonesia. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukan bahwa 92% siswa SMA/SMK dan 45% mahasiswa merasa salah dalam
mengambil jurusan.
Hasil yang hampir sama ditemukan oleh beberapa penelitian-penelitian selanjutnya.
Indonesia Career Network Center (ICNC) melakukan survei pada tahun 2017 menemukan
bahwa 87% mahasiswa di Indonesia merasa salah pilih jurusan kuliah. Jika mengacu pada
data di atas, dapat kita ketahui bahwa di luar sana masih banyak “Dela dan Ali-Ali lainnya”.
Akan tetapi, tidak semua orang yang merasa dirinya salah pilih jurusan akan sesukses Ali
dalam menjalani perkuliahan. Fenomena ini seharusnya menjadi fokus perhatian kita
bersama. Fenomena salah pilih jurusan ini memberikan beberapa dampak negatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Afirin et al. (2020), ditemukan
bahwa terdapat 62.3% mahasiswa merasa putus asa dalam menjalani perkuliahan karena
merasa salah pilih jurusan. Indira & Ayu (2021) mengungkap bahwa mahasiswa yang salah
pilih jurusan akan memilih impostor syndrome. Impostor syndrome sendiri adalah perasaan
meragukan diri sendiri (Indira & Ayu, 2021). Individu dengan sindrom tersebut akan merasa
prestasi yang dimiliki dan didapatkannya hanyalah sebuah keberuntungan, bukan didasarkan
pada keterampilan dan kemampuan yang dibuat (Mann, 2019; Indira & Ayu, 2021).
Artikel yang ditulis di laman Institut Teknologi Sumatera pernah menyebutkan bahwa
mahasiswa yang salah dalam memilih jurusan kuliahnya memiliki kemungkinan terkena
masalah psikologis, seperti menurunnya motivasi, merasa tertekan, dan menurunnya
konsentrasi belajar (Maharani et al., 2021). Hermawan (dalam Maharani et al., 2021)
mengatakan bahwa salah pilih jurusan akan menyebabkan mahasiswa merasa tertekan,
menurun performa akademiknya, kehilangan gairah untuk menjalani perkuliahan, mengalami
kebingungan menentukan bidang pekerjaan, dan yang paling parahnya adalah menyebabkan
mahasiswa drop out dari kampusnya. Secara statistik, 40% mahasiswa yang salah pilih
jurusan memilih untuk drop out di tahun pertama perkuliahannya (Maharani et al., 2021). Hal
yang serupa pun kemungkinan besar dialami oleh siswa-siswi yang berada di tingkat Sekolah
Menengah Akhir (SMA).
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah apa penyebab siswa-siswi bimbang dalam
menentukan jurusan kuliah dan berakhir pada mahasiswa yang merasa salah pilih jurusan.
Menurut Jeffry Maulana (2014) pemilihan jurusan siswa di SMA sering menjadi masalah
dikarenakan kurang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa dan pada akhirnya
menyebabkan kurang optimalnya hasil belajar yang didapatkan siswa tersebut. Maharani et
al. (2021) juga mengungkapkan bahwa 50.55% siswa-siswi dan mahasiswa yang salah pilih
jurusan disebabkan karena faktor-faktor internal seperti ketidaktahuan diri sendiri terhadap
minat, bakat, dan potensi yang dimiliki. Namun, adapun faktor eksternal yang juga
menyebabkan siswa-siswi dan mahasiswa salah pilih jurusan, seperti mengikuti teman,
dipaksa oleh orang tua, merasa jurusan yang diambil mudah, dan semacamnya.
Siswa-siswi yang memiliki masalah dalam menentukan jurusan kuliah mereka juga
dapat dikaji menggunakan teori psikososial yang membahas tahapan perkembangan jiwa dan
sosial anak dari Erikson. Menurut teori perkembangan, siswa-siswi SMA memang sedang
berada pada tahap remaja yang merupakan usia dimana penuh kebimbangan karena harus
menentukan sendiri pilihan yang akan mempengaruhi hidup mereka kedepannya.
Berdasarkan teori Psikososial Erikson, anak usia 12-18 tahun berada pada tahap
Identity vs Confusion, yaitu tahap membangun identitas sendiri untuk masa depan. Pada tahap
ini anak memiliki konflik identitas atau kebingungan atas peran remaja. Pada tahap ini juga
anak akan mencari peran yang cocok untuk mencapai masa depan yang ia inginkan. Jika anak
gagal dalam mencapai tahap ini maka ia akan mengalami krisis identitas. Maka sebenarnya
tidak heran apabila banyak siswa-siswi yang mengalami kebimbangan pada saat mencari dan
memutuskan jurusan yang cocok untuk dirinya agar sesuai dengan keinginan-nya di masa
depan.
Pertanyaan besarnya adalah apa yang harus dilakukan untuk mengurangi fenomena
salah pilih jurusan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi fenomena ini
adalah dengan memanfaatkan peran guru bimbingan dan konseling yang ada di tiap sekolah-
sekolah menengah pertama maupun akhir. Sebelum kita masuk kepada penjelasan mengapa
peran guru bimbingan dan konseling dibutuhkan untuk mengurangi fenomena salah pilih
jurusan, alangkah lebih baik kita mulai dengan mengenai terlebih dahulu apa itu bimbingan
dan konseling.
Ada banyak sekali definisi yang disampaikan oleh para ahli mengenai apa itu
bimbingan dan konseling, tetapi untuk memudahkan pemahaman kita, kita dapat berangkat
dari pengertian terminologi dari bimbingan dan konseling itu sendiri. Secara bahasa,
bimbingan konseling terdiri dari kata bimbingan dan konseling. Bimbingan menurut KBBI
adalah petunjuk. Konseling adalah bimbingan yang diberikan oleh ahli menggunakan metode
psikologis. Konseling dapat juga diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh konselor
guna membantu memecahkan masalah. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa
bimbingan dan konseling adalah petunjuk yang diberikan oleh konselor guna membantu
individu dalam memecahkan masalah (Azzet, 2011).
Dalam konteks sekolah, bimbingan dan konseling dapat diartikan sebagai bantuan
yang diberikan kepada siswa dengan tujuan agar mereka dapat berkembangan dengan optimal
sesuai dengan minta, bakat, dan potensinya (Azzet, 2011). Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 28/1990 pada pasal 25 ayat 1, dikatakan bahwa bimbingan adalah bantuan yang
diberikan kepada siswa dalam rangka menemukan pribadi, mengenali lingkungan, dan
merencanakan masa depan (Azzet, 2011).
Selain itu, bimbingan konseling juga dapat diartikan sebagai kegiatan yang bertujuan
untuk membantu siswa berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan minat yang
dimiliki (Handoko & Riyanto, 2010). Bimbingan konseling sifatnya menunjang dari kegiatan
belajar mengajar. Maka dari itu bimbingan konseling harus selaras dengan program yang ada
di kegiatan belajar mengajar (Handoko & Riyanto, 2010).
Dirunut dari sejarahnya, Bimbingan dan konseling muncul pertama kali pada tahun
1908 dimana saat itu Frank Parson mendirikan Vodational Berou. Disaat yang bersamaan,
Jasse B. Davis yang merupakan seorang konseling terkenal memasukan pelayanan konseling
di SMA yang berada di daerah Betroid. Perkembangan bimbingan dan konseling ini pun
semakin meluas dengan penyebaran-penyebaran oleh beberapa tokoh penting hingga
akhirnya masuk ke dalam Indonesia. Awalnya, bimbingan konseling hanya dilakukan khusus
untuk para pekerja yang kebingungan menentukan pekerjaannya. Akan tetapi, peran besar
dilakukan oleh Jasse B. Davis yang mulai menerapkan bimbingan konseling ini di ranah
pendidikan (Satriah, 2019).
Di Indonesia sendiri, bimbingan konseling pada dasarnya sudah ada sejak sebelum era
kemerdekaan RI. Awalnya, bimbingan ini dilakukan dengan tujuan membentuk cita-cita yang
sama bagi setiap siswa, yaitu cita-cita kemerdekaan. Bimbingan konseling pernah mengalami
perubahan nama beberapa kali, seperti pada tahun 1984 nama yang dipakai adalah bimbingan
dan penyuluhan (BP), pada tahun 1994 berubah menjadi bimbingan dan konseling (BK).
Bimbingan dan konseling di sekolah secara resmi baru ada pada tahun 1975. Pada tahun
1984, pemerintah merevisi sedikit kurikulum yang dipakai dengan menambahkan bimbingan
karir di dalamnya (Satriah, 2019).
Bimbingan konseling pada sekolah lanjutan juga memiliki beberapa karakteristik,
yang pertama adalah bimbingan konseling pada sekolah lanjutan berfokus pada pembinaan
diri dan karir siswa, agar siswa dapat mengembangkan diri mereka sendiri dan
mempersiapkan masa depan mereka. Kemudian yang kedua adalah bimbingan menekankan
pada aspek sosial dan emosional. Selain aspek akademik, bimbingan konseling pada sekolah
lanjutan juga memberikan penekanan pada aspek sosial dan emosional siswa, seperti
membantu siswa mengatasi masalah pribadi, hubungan interpersonal, dan perubahan dalam
kehidupan.
Selain itu, adapun pengembangan keterampilan keterampilan hidup, yaitu bimbingan
untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan hidup yang diperlukan untuk berhasil
di masa depan, seperti keterampilan komunikasi, pengambilan keputusan, dan manajemen
waktu. Selanjutnya adalah bimbingan konseling bersifat preventif dan intervensi. Bimbingan
konseling preventif, seperti memberikan informasi dan keterampilan untuk menghindari
masalah yang mungkin terjadi di masa depan, atau sebagai intervensi untuk membantu siswa
yang mengalami masalah saat ini. Dan yang terakhir bimbingan konseling pada sekolah
lanjutan harus terintegrasi dalam sistem pendidikan secara menyeluruh dan terkoordinasi
dengan baik dengan kegiatan pendidikan lainnya, seperti program akademik, olahraga, dan
kegiatan ekstrakurikuler.
Setelah melanglang buana menjelajahi pengertian, sejarah serta karakteristik dari
bimbingan dan konseling, kita harus kembali kepada pertanyaan awal, mengapa peran guru
bimbingan dan konseling dibutuhkan untuk mengurangi fenomena salah pilih jurusan?
Hal ini karena tujuan adanya bimbingan dan konseling di dalamnya terdapat
membantu merencanakan pendidikan lanjutan yang akan diambil oleh siswa. Tujuan dari
bimbingan konseling itu sendiri adalah untuk menolong siswa untuk dapat memenuhi potensi
yang dimiliki dan dapat hidup dengan bahagia serta layak di kehidupan bermasyarakat
(Handoko & Riyanto, 2010).
Menurut Handoko & Riyanto (2010), tujuan keseluruhan dari bimbingan konseling
adalah untuk mengetahui perbedaan tiap individu sehingga dapat mengetahui kekurangan dan
kelebihan tiap individu yang selanjutnya dapat dijadikan acuan untuk mengetahui potensi
yang dimiliki, membantu menangani permasalahan yang dihadapi oleh siswa sehingga
masalah tersebut tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap performa akademik dari
siswa, dan menjadi pendamping bagi siswa dalam menjalani pendidikan.
Azzet pada tahun 2011 coba memberikan gagasannya mengenai tujuan dari
bimbingan dan konseling. Menurutnya, secara umum, tujuan bimbingan dan konseling adalah
untuk memahami dirinya sendiri, baik sebagai individu yang berada dalam kehidupan sosial
maupun sebagai individu yang merupakan makhluk Tuhan. Melengkapi gagasan tersebut,
Suherman (dalam Azzet, 2011) mengatakan dengan adanya bimbingan dan konseling di
Sekolah, diharapkan siswa-siswi bisa mendapatkan empat hal, yaitu dapat mengembangkan
seluruh bakat dan potensi yang dimiliki, dapat beradaptasi baik di lingkungan sekolah,
keluarga, maupun lingkungan masyarakat, dapat membuat rencana mengenai perkembangan
studi atau karir yang akan dijalani kedepannya, dan dapat mengatasi permasalahan-
permasalahan yang dihadapi, baik permasalahan belajar, permasalahan pribadi, maupun
permasalahan dalam lingkungan masyarakat
Kembali kepada faktor penyebab dari siswa-siswi dan mahasiswa yang salah jurusan,
faktor penyebabnya adalah faktor eksternal dan faktor internal. Untuk mengurangi faktor
eksternal, seperti mengambil jurusan karena merasa jurusan tersebut mudah, siswa-siswi
dapat melakukan proses bimbingan dan konseling. Dengan melakukan proses tersebut, siswa-
siswi nantinya akan mendapatkan gambaran yang sesungguhnya mengenai apa saja yang
akan dipelajari di jurusan tersebut. Sehingga siswa-siswi dapat meninjau kembali apakah
persepsi awal mereka terhadap jurusan yang ingin dipilih memang benar seperti itu atau
malah salah. Peninjauan kembali persepsi ini membuat siswa-siswi lebih matang dalam
mengambil keputusan jurusan kuliah yang akan diambil.
Peran guru bimbingan dan konseling juga dapat mengurangi faktor internal penyebab
siswa-siswi dan mahasiswa salah mengambil jurusan. Salah satu contoh dari faktor internal
adalah ketidakmampuan siswa-siswi mengenali dirinya sendiri sehingga pemilihan jurusan
kuliah tidak sesuai dengan minat, bakat, dan potensi yang dimilikinya. Dengan adanya guru
bimbingan dan konseling, siswa-siswi dapat dibantu untuk mengenali mana kelebihan dan
kekurangan dirinya serta dimana minat, bakat, dan potensi yang ia miliki. Pengetahuan
tersebut akan membantu siswa-siswi untuk memilih jurusan yang memang sesuai dengan
dirinya sehingga tidak tersesat ke dalam jurusan yang tidak benar-benar ia minati.
Dari penjelasan di atas, mungkin sebagian dari pembaca menyadari bahwa kami
terlalu mengagung-agungkan bimbingan dan konseling sekolah itu menjadi hal yang sangat
penting, tetapi faktanya memang demikian. Bimbingan dan konseling memanglah sesuatu
yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Azzet. Menurut Azzet
(2011), pemberian bimbingan dan konseling kepada siswa-siswi menjadi hal yang penting
karena dengan bimbingan dan konseling ini siswa-siswi akan dibantu untuk mengambil
keputusan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Bimbingan dan konseling
dipandang mampu untuk mengarahkan siswa-siswi untuk bertindak sesuai dengan keadaan
jiwa mereka.
Guru bimbingan dan konseling sendiri memiliki beberapa tugas atau kegiatan-
kegiatan yang harus mereka lakukan. Menurut Handoko & Riyanto (2010), terdapat lima
tugas yang harus dilakukan oleh guru pembimbing, yaitu mengumpulkan data siswa,
memberikan informasi dan orientasi kepada siswa, melakukan wawancara penyuluhan,
membantu mencari sekolah lanjutan atau pekerjaan, dan memberikan bimbingan lanjutan.
Tugas pertama dari seorang guru bimbingan dan konseling adalah mengumpulkan
data siswa. Pengumpulan data harus dilakukan akan pembimbing mengetahui mengenai
informasi-informasi dari siswa yang masih berkaitan dengan program pendidikan. Proses ini
perlu dilakukan agar pembimbing dapat memetakan bakat, minat, dan potensi yang dimiliki
dari setiap siswa. Proses pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner,
meminta siswa untuk menulis biodata, wawancara, kunjungan ke rumah siswa, dan lainnya.
Data yang dikumpulkan dapat berupa identitas siswa, keadaan orang tua dan lingkungan
terdekat, prestasi yang dimiliki, riwayat pendidikan, minat dan bakat siswa, dan cita-cita.
Tugas lain yang harus dilakukan oleh pembimbing adalah memberikan informasi dan
orientasi kepada siswa-siswa. Informasi yang diberikan tentunya masih berhubungan dengan
proses pembelajaran yang dilakukan. Informasi dan orientasi tersebut mencangkup informasi
mengenai cara belajar, cara bersosialisasi, cara menjaga well-being, karir, pendidikan
lanjutan, tata tertib, kurikulum, budaya sekolah, dan lainnya. Tugas ketiga yang tidak kalah
pentingnya adalah melakukan wawancara penyuluhan. Wawancara ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang sedang dialami oleh siswa. Wawancara ini
juga bertujuan untuk membantu siswa menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Tugas selanjutnya adalah membantu mencari sekolah lanjutan atau pekerjaan. Tugas
ini adalah salah satu tugas yang umum dilakukan oleh guru bimbingan konseling di sekolah-
sekolah. Mereka biasanya membantu para siswa untuk mencari dan menentukan sekolah
lanjutan yang sesuai dengan minat, bakat, dan potensi yang dimilikinya. Selain itu,
pembimbing juga dapat melakukan bimbingan karir. Bimbingan karir adalah bimbingan yang
dilakukan guna membantu siswa menentukan pekerjaan yang sesuai dengan dirinya.
Biasanya, pembimbing juga membantu mereka untuk mencarikan pekerjaan. Kegiatan ini
umum terjadi di sekolah menengah kejuruan (SMK).
Tugas terakhir yang harus dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling adalah
memberikan bimbingan lanjutan. Tugas ini tujuannya adalah untuk mengetahui
perkembangan lebih lanjut dari siswa-siswi yang sudah menyelesaikan masalah. Kegiatan ini
perlu dilakukan sebagai upaya monitoring dan mengetahui apakah permasalahan yang
dihadapi sudah benar-benar selesai atau belum. Selain itu, tugas ini juga ingin mengetahui
dampak yang dirasakan oleh siswa-siswi pasca permasalahan yang dihadapi.
Menurut Azzet (2011) dari banyaknya definisi, tujuan, urgensi, kegiatan yang
dilakukan, ada tiga pilar utama dari bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling
harus mampu membuat siswa-siswa mampu untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal
lingkungan, dan merencanakan masa depannya. Tiga pilar itu menjadi tiga pilar penting yang
dapat menjadi indikator apakah bimbingan dan konseling yang dilakukan sudah berhasil atau
belum.
Pilar pertama, mengenal diri sendiri. Bimbingan dan konseling yang dilakukan harus
mampu mendorong siswa-siswinya mengetahui kelebihan dan kekurangan dari dirinya
sendiri. Pengetahuan terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri menjadi hal yang sangat
penting karena dengan mengetahui hal ini siswa-siswi dapat mengetahui dimana letak potensi
mereka dan apa yang harus mereka kembangkan lagi kedepannya. Mengetahui kelebihan dan
kelemahan diri sendiri juga dapat membuat siswa-siswi menjadi lebih tahu kedepannya harus
mengambil studi lanjutan jurusan apa atau bekerja di bidang apa yang memang sesuai dengan
kemampuan mereka.
Pilar kedua, mengenal lingkungan. Pengenalan lingkungan ini perlu dilakukan agar
siswa-siswi tahu peraturan, tata tertib, dan norma yang ada tempat-tempat yang ia singgahi.
Ketika siswa-siswi mampu mempelajari ini dengan baik, kemampuannya untuk beradaptasi
pada lingkungan baru akan lebih mudah dan nantinya mereka akan lebih mudah juga untuk
mengikuti pembelajaran yang ada. Tidak jarang kita menemukan permasalahan akademik
yang didasarkan karena gagalnya siswa-siswi beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Pilar ketiga, merencanakan masa depan. Banyak sekali siswa-siswi yang masih
bingung mengenai apa yang akan mereka lakukan di masa yang akan datang. Kebingungan
ini membuat mereka memilih untuk tidak memikirkan hal tersebut dan menjalankan hidup
mengikuti arus saja tanpa ada tujuan yang jelas. Untuk itu, bimbingan dan konseling harus
hadir di fase ini untuk membantu siswa-siswi menentukan apa yang harus dilakukan di masa
depan.
Daftar Pustaka

Arifin, I., Primayasa, W., & Baharsyah, M. Y. (2020). Pengaruh Salah Pilih Jurusan
Terhadap Rasa Putus Asa Mahasiswa Teknik Informatika. Nathiqiyyah, 3(1),
22-26. https://doi.org/10.46781/nathiqiyyah.v3i1.76

Azzet, A. M. (2011). Bimbingan & Konseling di Sekolah. Ar-ruzz Media

Handoko, M., & Riyanto, T. (2010). Bimbingan & Konseling di Sekolah: Panduan
Praktis. PT. Kanisius

Indira, L., & Ayu, M. (2021). Hubungan Authoritarian Parenting dengan Impostor
Syndrome pada Mahasiswa Salah Jurusan. INTENSI : Jurnal Psikologi, 1 (1),
1-9. https://doi.org/10.31479/intensi.v1i1.1

Maharani, F. P., Karmiyati, D., & Widyasari, D. C. (2021). Kecemasan Masa Depan
dan Sikap Mahasiswa Terhadap Jurusan Akademik. Cognicia, 9 (1), 11-18.
https://doi.org/10.22219/cognicia.v9i1.15292

Maulana, J. (2014). Pendekatan Regresi Logistik Multinomial pada Klasifikasi


Pemilihan Jurusan Siswa SMA Negeri 5 Malang. Jurnal Mahasiswa Statistik,
2 (5), 349-352.

Minosra, A. (2022, December 10). Kisah Ali yang Merasa Salah Jurusan. Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/adlinminosra/63936c7b4addee6f325b9c33/kisa
h-ali-yang-merasa-salah-jurusan
Satriah, L. (2019). Panduan Bimbingan dan konseling Pendidikan. Fokusmedia

Qoyimah, D. (2021, January 5). Salah Jurusan di SMA, Akar Kinerja Kurang
Maksimal. Qureta. https://www.qureta.com/post/salah-jurusan-di-sma-akar-
kinerja-kurang-maksimal

Anda mungkin juga menyukai