Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ASUMSI RASIONALITAS DALAM KONSUMSI ISLAM

(Diajukan Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam)

Dosen Pengampu :Dimas Pratomo,M.E

Kelas A

Disusun Oleh :

1. Aeylen Amanda Vega (2251010002)


2. Cici Indahsari (2251010205)
3. Erika Wulandari (2251010049)
4.Valia Sastriani (2251010162)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Kami ucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Asumsi
rasionalitas dalam konsumsi Islam” guna memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi mikro
islam.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Dimas Pratomo,M. Eselaku
Pembimbing dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini. Demikian penyusun mengharapkan semoga dari makalah
ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap
pembaca.

Bandar Lampung, 04 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Asumsi Rasionalitas 3
2.2 Aksioma Pilihan Rasional 5
2.3 Asumsi Lainnya Tentang Preferensi 5
2.4 Teori Nilai Guna dan Hubungannya Dengan Teori Maslahah 8
2.5 Norma dan Etika Dalam Konsumsi 12

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 14
3.2 Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Ekonomi dalam ilmu kajian keilmuan dapat dikelompokan dalam ekonomi mikro
dan ekonomi makro. Ekonomi mikro mempelajari bagaimana perilaku tiap-tiap individu
dalam setiap unit ekonomi, yang dapat berperan sebagai konsumen, pekerja, investor,
pemilik tanah atau resources yang lain, ataupun perilaku dari sebuah industri. Ekonomi
mikro menjelaskan how dan why sebuah pengambilan keputusan dalam setiap unit
ekonomi. Contohnya, ekonomi mikro menjelaskan bagaimana seorang konsumen
membuat keputusan dan pemilihan terhadap suatu produk ketika ada perubahan pada
harga atau pendapatan. Ekonomi mikro juga dapat menjelaskan perilaku industri dalam
menentukan jumlah tenaga kerja, kualitas dan harga terbaik.
Dalam pembahasan ekonomi mikro Islam, faktor moral atau norma yang
terangkum dalam tatanan syariah akan ikut menjadi variabel yang penting dan perlu
dijadikan sebagai alat analisis. Ekonomi mikro Islami menjelaskan bagaimana sebuah
keputusan diambil oleh setiap unit ekonomi dengan memasukkan batasan-batasan syariah
sebagai variabel yang utama. Dalam ekonomi mikro Islam, menganggap bahwa basic
ekonomi (variabel-variabel ekonomi) hanya memenuhi segi necessary condition,
sedangkan moral dan tatanan syariah akan memenuhi unsur sufficient cindition dalam
ruang lingkup pembahasan ekonomi mikro.1
Kodrat manusia untuk peduli pada diri sendiri pada dasarnya sama dengan teori
self-interest (keinginan pribadi) dalam ilmu ekonomi, di mana setiap individu maupun
komunitas harus berusaha dan diberi kebebasan untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhannya sendiri untuk mempertahankan hidup (QS. Al-Baqarah (2): 195). Perilaku
tersebut dikatakan sebagai bentuk perilaku rasional, yang aplikasinya dalam ilmu
ekonomi merambah di semua aspek seperti produksi, distribusi, konsumsi, dan aspek
yang lain. Misalnya saja dalam hal konsumsi, daya beli menjadi ukuran individu maupun
komunitas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Pertimbangan matang dalam
mengalokasikan dana (budget) yang akan dibelanjakan dan prioritas komoditas yang
hendak dibeli menjadi top rank, agar terhindar dari akibat, yang dalam Islam disebut
tabdzir (boros), meskipun dari sudut ekonomi, perilaku konsumsi dalam memenuhi
1
Adiwarman karim, Ekonomi Mikro Islami, kelima (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Hlm. 1–2.
1
kebutuhan tadi merupakan hak prerogratif konsumen dalam membelanjakan komoditas
sesuai dengan alokasi dana yang dimiliki.2
Konsumsi merupakan kajian penting dalam perekonomian nasional karena merupakan
komponen pokok pengeluaran agregat dan apa yang tidak dikonsumsi atau apa yang
ditabung digunakan untuk investasi. Perilaku konsumsi dan investasi adalah kunci untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi dan siklus usaha. Tingginnya tingkat konsumsi akan
menyebabkan kelangkaan pemenuhan kebutuhan, yaitu kelangkaan barang dan jasa yang
beredar di masyarakat sedanngkan tingkat produktifitas tidak bertambah.3
Dari sinilah kita sebagai konsumen harus berpikir secara rasionalitas barang mana
yang sebaiknya kita konsumsi agar dapat mengkonsumsi barang yang tepat dan sesuatu
dengan kebutuhan kita, sehingga tidak menimbulkan kelangkaan barang pemenuhan
kebutuhan yang tidak tepat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian asumsi rasionalitas ekonomi islam?
2. Apa saja aksioma-aksioma pilihan rasional?
3. Apa saja asumsi lainnya tentang preferensi?
4. Bagaimana teori nilai guna dan hubungannya dengan teori maslahah?
5. Bagaimana norma dan etika dalam konsumsi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Asumsi Rasionalitas
2. Untuk mengetahui aksioma-aksioma pilihan Rasionalitas
3. Untuk mengetahui asumsi lainnya tentang preferensi
4. Untuk mengetahui teori nilai guna dan hubungannya dengan teori maslahah
5. Untuk mengetahui norma dan etika dalam konsumsi.

BAB II
2
Ali Amin Isfandiar, “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi berbasis Islamic Ethics,” Muqtasid: Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syariah 6, no. 2 (December 1, 2015): Hlm. 24–25,
https://doi.org/10.18326/muqtasid.v6i2.23-41.
3
Fahmi Medias, Ekonomi Mikro Islam (Magelang: UNIMMA PRESS, 2018), Hlm. 17.
2
PEMBAHASAN

2.1 Asumsi Rasionalitas Ekonomi Islam


“Rasionalitas” mempunyai akar dan bentukan kata yang boleh jadi secara kebahasaan
menunjukkan makna dan konotasi yang berbeda-beda, seperti ratio (latin) atau rasion (ration),
rasional (rational), rasionalitas (rationality), dan rasionalisme (rationalism). Ratio (latin)
berarti akal budi atau pikiran sehat. Rasion (ration) mengandung makna di antaranya to
supply with the rations (menawarkan dengan ketentuan), to limit or to restrict the use of
(membatasi penggunaan barang tertentu). Ration dalam bidang ekonomi mengerucut pada
makna adanya batasan yang ditentukan oleh sebuah ketentuan. Rasional (rational) adalah
lawan dari irrational, secara bahasa diartikan seperti ungkapan rational human beings
(manusia yang dapat berpikir), rational behaviour (perilaku yang masuk akal). Ia juga yang
mengandung makna measureble in matrical units (dapat diukur dengan satuan angka),
agreeable to reason (dapat disetujui dengan pertimbangan akal budi/alasan), pertaining to or
acting in conformity to reason (bersinggungan atau bertindak sesuai dengan akal budi).
Makna tersebut dapat diambil intinya bahwa rasional mengandung pengertian tentang
keputusan dan tindakan yang didasari atas pertimbangan akal budi. Rasionalitas (rationality)
adalah istilah yang berkaitan dengan gagasan akal yang berkonotasi pada proses berpikir
dalam memberikan laporan atau keterangan. Ia menyangkut dua aspek, yaitu:
1. Aspek yang berkaitan dengan pemahaman, kecerdasan dan pengambilan keputusan,
2. kemasukakalan dari penjelasan, pemahaman atau pembenaran.
Ia juga mengandung makna quality of being rational (kualitas menjadi rasional),
possession of reason (mengandung alasan), reasonableness (layak), rational act or belief
(tindakan atau keyakinan yang rasional). Makna terakhir menunjukkan bahwa rasionalitas
mengarah pada dua dimensi, yaitu keyakinan dan tindakan yang menurut pelakunya sebagai
rasional (dan rasional sendiri digerakkan oleh akal budi). Proses rasionalitas disebut dengan
rationalization (rasionalisasi) yang mengandung makna to find motives for conduct which
are plausible (pencarian motif tindakan yang masuk akal). Rasionalisme (rationalism)
mengandung makna development of opinions deduced from reason as distinct from
inspiration or revelation (pengembangan pemikiran yang disimpulkan dari akal budi sebagai
pembeda dari inspirasi-ilham-atau wahyu). Rasionalisme berseberangan dengan Empirisme
(Sensasionalisme). Rasionalisme condong berpendapat bahwa kebenaran dapat dicapai
dengan jalan berpikir dan menarik kesimpulan dengan akal dari hal yang sudah tentu yang

3
diajukan lebih dulu. Sementara Empirisme menyatakan bahwa satu-satunya sumber
pengetahuan adalah kesadaran panca indera dan satu-satunya percobaan pengetahuan adalah
pengalaman. Rasionalitas dan akal budi (pemikiran) adalah metode kunci yang digunakan
untuk menganalisis data yang dalam suatu observasi yang sistematis.
Dalam kehidupan manusia baik dari segi akidah, ibadah, ekonomi dan yang lainnya
sudah diatur dalam Al-Qur’an. Dalam segi ekonomi, sebagaimana ekonomi yang ada di
Indonesia semuanya berasal dari ekonomi konvensional atau umum. Munculnya ekonomi
syariah, perbankan syariah dan yang lain sebagainya itu berasal dari ekonomi konvensional
yang dirombak menjadi ekonomi syariah.4 Secara sederhana asumsi merupakan dugaan,
prasangka, atau anggapan sementara yang mungkin belum kita ketahui itu benar atau salah.
Rasional adalah teori yang masuk akal.
Jenis-jenis Rasionalitas
1. Self interest rationality (Rasionalitas Kepentingan Pribadi)
Prinsip pertama dalam ilmu ekonomi menurut Edgeworth, adalah bahwa setiap pihak
digerakkan hanya oleh self interest. Hal ini mungkin saja benar pada masa–masa
Edgeworth, tetapi salah satu pencapaian dari teori utilitas modern adalah pembebasan
ilmu ekonomi dari prinsip pertama yang meragukan tersebut.
Self interest tidak harus selalu berarti memperbanyak kekayaan seseorang dalam satuan
rupiah tertentu. Kita berasumsi bahwa individu mengejar berbagai tujuan, bukan hanya
memperbanyak kekayaan secara moneter. Dengan demikian, self interest sekurang-
kurangnya mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan prestise, persahabatan,
cintaan, kekuasaan, menolong sesama, penciptaan karya seni, dan banyak lagi. Kita dapat
juga mempertimbangkan self interest yang tercerahkan, di mana individu-individu dalam
rangka untuk mencapai sesuatu yang menjadikan mereka lebih baik, pada saat yang sama
membuat orang-orang di sekelilingnya menjadi lebih baik pula.
2. Present-aim rationality
Teori utilitas modern yang aksiomatis tidak berasumsi bahwa manusia bersikap
mementingkan kepentingan pribadinya (self interested). Teori ini hanya berasumsi bahwa
manusia menyesuaikan preferensinya dengan jumlah aksioma: secara kasarnya
preferensi-preferensi tersebut harus konsisten. Individu-individu menyesuaikan dirinya
dengan aksioma-aksioma ini tanpa harus menjadi self interested.
2.2 Aksioma-aksioma Pilihan Rasional
Terdapat tiga sifat dasar.
4
Isfandiar, “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi berbasis Islamic Ethics,” Hlm. 26–28.
4
1. Kelengkapan (Completeness)
Jika individu dihadapkan pada dua situasi, A dan B, maka ia dapat selalu menentukan
secara pasti salah satu dari tiga kemungkinan berikut ini:
 A lebih disukai daripada B
 B lebih disukai daripada A
 A dan B keduanya sama-sama disukai.
2. Transitivitas (Transitivity)
Jika bagi seseorang “A lebih disukai daripada B” dan “B lebih disukai daripada C,”
maka baginya “A harus lebih disukai daripada C.” Asumsi ini menyatakan bahwa
pilihan individu bersifat konsisten secara internal.
3. Kontinuitas (Continuity)
Jika bagi seseorang “A lebih disukai daripada B,” maka situasi-situasi yang secara
cocok “mendekati A,” harus juga lebih disukai daripada B.

2.3 Asumsi Lainnya Tentang Preferensi


a) Perluasan Konsep Rasionalitas (untuk Transitivitas)
Pertama, kita berpendapat bahwa self interest rationality yang diperkenalkan
oleh Edgeworth adalah konsep yang lebih baik dalam artian kita berasumsi bahwa
individu mengejar banyak tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara
moneter.
Kedua, kita berpendapat bahwa teori modern tentang keputusan rasional tidak
disepekati secara universal. Versi yang berbeda memiliki aksioma yang berbeda.
Tetapi semuanya sekurang-kurangnya menyepakati aksioma transitivitas. Transitivitas
adalah syarat minimal konsistensi; jika konsistensi tidak mensyaratkan transitivitas,
maka sesungguhnya ia tidak mensyaratkan apa pun. Sebenarnya tidak semua
aksiomateori keputusan rasional merupakan syarat dari konsistensi.
Dalam nilai Islam terdapat dua cara untuk mendistribusikan pendapatan. Iuran
wajib (zakat), dan iuran sukarela (infaq). Dalam kebanyakan kasus, sektor sukarela
tidak dapat secara mutlak dijelaskan bahwa tindakan sukarela ini memenuhi
persyaratan transitivitas.5 Jika pekerjaan dengan gaji Rp. 5 juta leih disukai dari pada
pekerjaan dengan gaji Rp. 4 juta, jika dilihat dari segi konsisten ini dapat dikatakan
rasional. Kemudian apakah masuk akal jika gaji Rp. 4 juta lebih disukai daripada gaji

5
karim, Ekonomi Mikro Islami,Hlm. 51–54.
5
Rp. 5 juta (atau bahkan kurang dari itu, atau tidak bergaji sama sekali), menurut
aksioma transitivitas, hal ini dianggap tidak masuk akal atau rasional karena tidak
konsisten. Tetapi pilihan pekerjaan ini dapat dikatakan rasional bagi pelakunya jika ia
merasa atau beranggapan pekerjaan yang ia pilih masuk akal dan dapat
dipertanggungjawabkan dan keputusan itu dapat menjadikan mereka lebih baik serta
dapat membarikan banyak manfaat untuk dirinya baik kepada Tuhan, sesama, dan
sekitarnya.

1. Persyaratan Transitivitas
Andaikan seseorang dihadapkan pada pilihan antara A dan B, ia memilih A.
Bila dihadapkan pada pilihan B dan C, ia memilih B. Dihadapkan pada pilihan antara
C dan A, ia memilih C. Piliha ini kelihatannya intransitif karena kita melihat bahwa ia
hanya memiliki tiga alternatif, yakni A, B, dan C. Mari kita rumuskan alternatifnya
sebagai berikut:

Simbal Alternatif

Ab Memilih A jika B merupakan satu-satunya alternatif yang ada.

Ba Memilih B jika A merupakan satu-satunya alternatif yang ada.

Bc Memilih B jika C merupakan satu-satunya alternatif yang ada.

Cb Memilih C jika B merupakan satu-satunya alternatif yang ada.

Ca Memilih C jika A merupakan satu-satunya alternatif yang ada.

Ac Memilih A jika C merupakan satu-satunya alternatif yang ada.


Maka orang ini memilih Ab daripada Ba, Bc daripada Cb, dan Ca daripada
Ac. Dalam hal ini tidak terdapat intransitivitas. Perhatikan bahwa Ca bukan Cb.
Sekilas awal kelihatannya pilihan tersebut intransitif, karena kita hanya melihat tiga
pilihan:
1. A
2. B
3. C
Tetapi untuk orang ini, ia melihat empat pilihan:
1. Ab
6
2. Bc
3. Cb
4. Ca

2. Utilitas dan Infak (sedekah)


Utilitas Farhan yang merasa lebih baik jika ia membelanjakan uangnya untuk
infak (sedekah). Kita definisikan fungsi utilitasnya sebagai Uf = U (Mf,Mz), dimana:
Uf : Utilitas Farhan
Mf : Uang yang dimiliki oleh Farhan
Mz : Uang yang dimiliki oleh Zahid

b) Perluasan Spektrum Utilitas (untuk Strong Monotonicity & Local Nonsatiation)


Dalam perspektif Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik. Asumsi
“lebih banyak lebih baik” hanya benar jika harus memilih antara X halal dan Y halal.
Tidak benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y haram, atau X haram dan Y
halal, atau X dan Y haram. Nilai Islam tentang halal dan haram membuat kita harus
memperluas spekktrum utilitas.

Melonggarkan Persyaratan Kontinuitas (untuk Kontinuitas)


Kita asumsikan bahwa permintaan Y haram dalam keadaan darurat. Anda dapat
membayangkan permintaan terhadap daging babi jika tidak ada makanan lain yang
tersedia. Permintaan terhadap babi ini bukan merupakan permintaan yang kontinu,
melainkan diskrit. Karena itu, permintaannya adalah permintaan titik (point demain).
Berapapun harga daging babi pada saat itu, permintaan Qp, yakni sejumlah tertentu
daging babi untuk memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup.

Perluasan Horison Waktu


Perspektif Islam tentang waktu tidak dibatasi hanya pada masa kini. Islam
memandang waktu sebagai horison. Karena itu, analisis statis sebagaimana dikenal oleh
ekonom-ekonom klasik tidak memadai untuk menerangkan perilaku ekonomi dalam
perspektif Islam. Dalam perspektif Islam waktu sangat penting dan sangat bernilai. Nilai
waktu tergantung bagaimana seseorang memanfaatkan waktunya. Ide ini justru
merupakan kebalikan dari konsep nilai waktu uang (time value of money). Dalam Islam
waktulah yang bernilai, sementara uang tidak memiliki nilai waktu.

Komoditas yang seharusnya Tidak Didiskon


7
Keberatan pertama bukan ditujukan kepada teori metode harga pasar, tetapi
ditujukan pada cara-cara penerapan metode tersebut dalam praktek. Setiap komoditi
seharusnya didiskon pada tingkat diskonto masing-masing komoditasnya. Tetapi dalam
praktiknya semua komoditas secara umum dikumpulkan kemudian didiskon pada tingkat
yang sama. Biasanya, semua komoditas didiskon pada tingkat yang disebut sebagai
tingkat bunga “riil,” yang merupakan rerata tertimbang dari masing-masing tingkat bunga
dari berbagai komodita (weighted average of the own interest rates of various
commodities). Pikirkanlah tentang sumber daya langka yang tidak dapat direproduksi,
yang sama sekali tidak dapat diproduksi.

Keberatan kedua adalah bahwa pada banyak proyek, sebagian besar dari pihak
yang berkepentingan tidak terwakili dalam pasar. Banyak proyek yang akan berdampak
pada generasi mendatang pada abad-abad atau milenium kedepan. Ahli-ahli ekonomi
menganjurkan beberapa komoditas yang seharusnya tidak didiskon. Uang bukanlah
komoditas.6
Dalam ekonomi konvensional manusia dikatakan berperilaku rasionalitas jika
dapat selalu memaksimumkan utility untuk konsumen dan keuntungan untuk produsen,
berbeda dengan ekonomi Islam baik itu konsumen ataupun produsen selalu
memaksimumkan maslahah. Perilaku rasionalitas Islam selalu bertumpu pada perilaku
umum Muslimin yang mempertimbangkan kepentingan sosial, pribadi, negara dan
pengabdian kepada Allah yang utamanya.

2.4 Teori Nilai Guna dan Hubungannya dengan Teori Maslahah


Dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengonsumsi suatu barang
dinamakan utilityatau suatu nilai guna. kalau kepuasan terhadap suatu benda semakin
tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya.sebaliknya, bila kepuasan terhadap suatu
benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya. kepuasan dalam
terminologi konvensional dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik.
Dalam ekonomi Islam,kepuasan di kenal dengan maslahah dengan pengertian
terpenuhi kebutuhan baik bersifat fisik maupun spiritual. Islam sangat mementingkan
keseimbangan kebutuhan fisik dan nonfisik yang di dasarkan atas nilai-nilai syariah.
seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus mempertimbangkan beberapa
hal, yaitu barang yang dikosmsi adalah halal, baik secara zatnya maupun cara

6
karim, Hlm. 54–60.
8
memperolehnya, tidak bersifat israf (royal) dan tabsir  (sia-sia). oleh karena itu, kepuasan
seorang Muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi di
dasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang dikonsumsinya. 
untuk mengetahui kepuasan seorang konsumen dalam teori ekonomi, dapat di
ilustrasikan dalam bentuk total utility (nilai guna total) dan marginal utility(nilai guna
tambahan). total utility adalah jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dalam
mengonsumsi sejumlah barang tertentu. Sementara itu, marginal utility adalah
penambahan atau pengurangan kepuasan sebagai akibat dari penambahan dan
pengurangan penggunaan satu unit barang.
Teori niali guna (utility) apabila di analisis dari teori maslahah, kepuasan
tidak didasarkan atas banyaknya barang yang dikonsumsi tetapi di dasarkan atas
banyaknya barang yang dikonsumsi tetapi di dasarkan atas baik atau buruknya sesuatu itu
terhadap diri dan lingkunganya. jika mengonsumsi sesuatu mendatangkan kemafsadatan
pada diri atau lingkungan maka tindakan itu harus di tinggalkan sesuai dengan kaidah.
"menolak segala bentuk kemudorotan lebih diutamakan daripada menarik manfaat"
Bila dalam mengonsumsi sesuatu kemungkinan mengandung mudarat atau
maslahat maka menghindari kemudaratan harus lebih diutamakan, karena akibat dari
kemudaratan yang ditimbulkan mempunyai ekses yang lebih besar daripada mengambil
sedikit manfaat, jadi perilaku konsumen seorang muslim harus senantiasa mengacu pada
tujuan syariat, yaitu memelihara maslahat dan menghindari mudarat.
Dalam ekonomi konvensional, konsumsi di asumsikan selalu bertujuan untuk
memperoleh kepuasan (utility). Konsumen dalam islam tidak hanya bertujuan untuk
mencapai kepuasan fisik, tetapi lebiih mempertimbangkan aspek maslahah  yang menjadi
tujuan dari syariat Islam (maqashid syariah). Teori maslahah cakupanya lebih luas dari
teori utility.
Maslahah   dalam ekonomi Islam, di terapkan sesuai dengan prinsip rasionalitas
muslim, bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan  maslahah yang di
perolehnya. seorang konsumen muslim mempunyai keyakinan, bahwasanya kehidupan
tidak hanya didunia tetapi akan ada kehidupan di akhirat kelak. Imam Asy-Syathibi
mengatakan, bahwa kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila 5 unsur pokok dapat
diwujudkan dan dipelihara yaitu:
Imam Asy-Syatihibi mengatakan, bahwa kemaslahatan manusia dapat terealisasi
apabila 5 unsur pokok dapat diwujutkan dan dipelihara yaitu: agama ( ad-din), jiwa (an-
nafs), akal (al-'aql), keturunan (an-nasl) dan harta (al-mal). semua pemenuhan kebutuhan
9
barang dan jasa adalah untuk mendukung terpeliharanyakelima unsur pokok tersebut.
Tujuanya bukan hanya kepuasan di dunia, tetapi juga kesejahteraan di akhirat. Dalam
pemenuhan kebutuhan kelima unsur pokok tersebut tentu harus sesuai dengan tuntutan
syariat islam.
mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal adalah
prinsip konsumsi yang di ajarkan oleh Rasulullah, seperti makan sebelum lapar dan
berhenti sebelum kenyang. Karena tambahan nilai guna yang akan di peroleh akan
semakin menurun apabila seseorang terus mengonsumsinya. Pada akhirnya, tambahan
nilai guna akan menjadi negatif apabila konsumsi terhadap barang tersebut terus
ditambah. Hukum niali guna marginal yang semakin menurun (law of diminishing
marginal utility) menjelaskan bahwa penambahan terus-menerus dalam mengonsumsi
suatu barang, tidak akan menambah kepuasan dalam konsumsi karena tingkat kepuasan
terhadap barang tersebut akan semakin menurun. Misalnya seorang yang kehausan di beri
segelas air minum akan mendapat kepuasan yang  maksimal. Kemudian diberi satu atau
dua gelas lagi maka kepuasannya akan bertambah. Akan tetapi jika di beri lagi satu gelas
air lagi, ia akan menolak karena dahanya sudah lepas atau sudah merasa puas. Ini berarti,
nilai guna total dari minimum empat gelas adalah lebih rendah dari nilai guna yang
diperoleh dari meminum tiga gelas. Karena itulah, islam menekankan sikap sederhana
dalam konsumsi. Sebaliknya sikap israf (berlebi-lebihan) dan tabzir(sia-sia) dalam
konsumsi dilarang.
Dalam teori ekonomi, setiap orang akan berusaha memaksimumkan kepuasan dari
barang-barang yang dikonsumsinya. Menurut teori nilai guna, untuk mewujudkan prinsip
pemaksimuman kepuasan konsumen yang mempunyai pendapatan terbatas, dilakukan
dengan pendekatan melalui kurva kepuasan sama (indifference curve/IC) dan garis
anggaran pengeluaran (budget line).  
Dalam teori ekonomi, setiap orang akan beriusaha memaksimalkankepuasan dari
barang-barang yang dikonsumsinya. Menurut teori nilai guna, untuk mewujudkan prinsip
pemaksimumkan kepuasan konsumen yang mempunyai pendapatan terbatas, dilakukan
dengan pendekatan melalui kurva kepuasan sama, dan garis anggaran pengeluaran.7
1. Kurva Indiferen (indifference Curve) 
indifference Curve (IC) adalah suatu kurva yang menggambarkan gabungan
dari dua barang yang akan memberikan kepuasan yang sama besar. Untuk
menjelaskan kurva ini dapat di ilustrasikan sebagai berikut: 
7
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007. Hal 101-103
10
seseorang mengonsumsi makanan dan pakaian. Digambarkan dengan enam
kombinasi makanan dan pakaian yang akan memberikan kepuasan yang sama
besarnya kepada seorang muslim. Apabila ia memilih kombinasi A, ia mendapatkan
20 makanan dan 1 pakaian. Kepuasan yang diperoleh tidak berbeda dengan jika ia
mengonsumsi kombinasi B, yakni 16 makanan dan 2 pakaian.
2. Budget Line
Dalam kenyataanya, konsumen tidak dapat memperoleh semua barang yang di
inginkanya, sebab ia dibatasi oleh anggarn yang dimiliki. persoalan yang di hadapi
konsumen adalah bagaimana ia harus membelanjakan pendapatan yang ada sehingga
dengan pendapatanya itu ia dapat menciptakan kepuasan yang maksimum. Untuk itu,
perlu adanya analisis budget line yang menunjukan berbagai gabungan barang-barang
yang dapat dibelibedasarkan anggaran yang ditetapkan. Misalnya, seorang
mengeluarkan uang 90 ribu untuk membeli pakaian dan makanan, misalnya harga
makanan 6 ribu dan pakaian 9 ribu setiap unit, kalau konsumen membeli 15 unit
makanan ia harus membayar 90 ribu sehingga ia tidak bisa membeli satupun pakaian.
Untuk menentukan kombinasi mana yang paling baik, ia harus menghitung berapa
banyak yang diproleh dari kombinasi untuk memaksimumkan manfaat pengeluaran
total.
Teori budget line ini bila dihubungkan dengan teori konsumsi Islam menunjukan,
bahwa seorang dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak hanya memperhitungkan
besarnya jumlah barang yang diperoleh dari anggaran yang dimiliki, tetapi juga
memperhitungkan skala prioritas dan sisi kemaslahatan dari berbagai barang yang
akan dibelinya. Skala prioritas yang ditekankan dalam konsumsi ini harus mngacu
kepada tingkat kemaslahartan hidup manusia meliputi: 
1. Kemaslahatan dharuri (kebutuhan pokok) yakni agama, jiwa akal, keturunan, 
harta.
2. Kemaslahatan hajji’i ( kebutuhan sekunder). 
3. Kemaslahatan tahsini (kebutuhan tersier).
Dalam pemenuhan ketiga kebutuhan hidup ini , aspek kebutuhan pokok haru lebih
didahulukan dari aspek hajji’i dan tahsini. Di samping itu, dalam perilaku konsumsi
seorang muslim dituntut untuk bersikap sederhana tidak berlebi-lebihan dan tidak
boros, menyesuaikan kebutuhan dan keinginan dengan anggaran yang ada, dalam QS
AL-A’raaf [7]: 31 Al- A’raaf Allah menegaskan:

11
“Makan dan minumlah kamu dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
"jadi budget line bisa di sebut sebagai batas anggaran, yaitu kemampuan
konsumen untuk membeli suatu barang dengan kemampuan pendapatan yang
dimiliki".

2.5 Norma dan Etika dalam Konsumsi


Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan
dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain sebagai berikut:
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau
sekedar dihitung-hitung. Akan tetapi digunakan untuk kemaslahatan manusia sendiri serta
sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh
Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan
yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak
boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang
haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
1. Menjauhi berhutang Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan
dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk
keadaan yang sangat terpaksa atau dharurat.
2. Menjaga asset yang mapan dan pokok. Tidak sepatutnya seorang muslim
memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok,
misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka
hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
3. Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan. Hal
ini sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi
manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan
menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut
sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari
Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan
minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.
12
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji
bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat
krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga
kemaslahatan masyarakat luas.
5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar
bersifat pribadi.
6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan
pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang
oleh agama islam.8

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asumsi Rasionalitas merupakan keputusan atau tindakan yang diambil
berdasarkan pertimbangan akal budi dan dapat dipertanggunjawabkan. Dalam konsumsi
asumsi rasionalitas dapat diartikan sebagai pengambilan keputusan atau tindakan

8
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal 74
13
konsumsi yang berdasarkan pertimbangan akal budi yang pasti dapat
dipertanggungjawabkan dan ditujukan untuk mendapatkan maslahah.
Teori niali guna (utility) apabila di analisis dari teori maslahah, kepuasan
tidak didasarkan atas banyaknya barang yang dikonsumsi tetapi di dasarkan atas
banyaknya barang yang dikonsumsi tetapi di dasarkan atas baik atau buruknya sesuatu itu
terhadap diri dan lingkunganya. jika mengonsumsi sesuatu mendatangkan kemafsadatan
pada diri atau lingkungan maka tindakan itu harus di tinggalkan sesuai dengan kaidah.
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan
dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain sebagai berikut:
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir, Harta diberikan Allah
SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung.
Akan tetapi digunakan untuk kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah
kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan
memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran, Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya
untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf).
Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan
membelanjakannya untuk hal yang haram.
3.2 Saran
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini. Demikian penyusun mengharapkan semoga dari makalah
ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap
pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Isfandiar, Ali Amin. “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi berbasis Islamic Ethics.”
Muqtasid: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah 6, no. 2 (December 1, 2015): 23.
https://doi.org/10.18326/muqtasid.v6i2. 23-41.
karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami. Kelima. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

14
Medias, Fahmi. Ekonomi Mikro Islam. Magelang: UNIMMA PRESS, 2018.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997

15

Anda mungkin juga menyukai