Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Tax planning dan pengendalian atas penghasilan usaha dan


penghasilan lainnya”

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si.,CIQnR., CSRS.

DISUSUN OLEH :
Dila Adelia (C0D020028)

PERPAJAKAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JAMBI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang diberikan-Nya sehingga
tugas mata kuliah Manajemen Pajak yang berjudul “Tax planning dan pengendalian atas
penghasilan usaha dan penghasilan lainnya” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini dibuat sebagai kewajiban untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Pajak.

Makalah ini saya susun dengan maksimal dan bertujuan untuk manambah wawasan
mengenai materi Pemilihan sumber pembiayaan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini
sehingga memperlancar proses pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan
dalam proses penyusunan. Oleh karena itu saya menerima segala kritik dan saran, agar saya
dapat memperbaiki laporan penyusunan Tugas Manajemen Pajak yang berjudul “Tax planning
dan pengendalian atas penghasilan usaha dan penghasilan lainnya”.

Akhir kata saya berharap semoga isi dari makalah ini dapat memberikan manfaat dan
inspirasi bagi siapa saja yang membacanya.

Jambi, 28 Maret 2022

Dila Adelia

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................................... ii
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................................. 1
B. Rumusan masalah ............................................................................................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................................................................................... 2
BAB II .......................................................................................................................................................... 3
Tax planning dan pengendalian atas penghasilan usaha dan penghasilan lainnya. ......................... 3
1. Tax Planning Pengelompokkan Jenis Penghasilan Untuk Menghitung Angsuran Masa PPh
Pasal 25. ................................................................................................................................................ 3
2. Foreign Exchange Revenue (Laba Selisih Kurs) .......................................................................... 5
Dasar Hukum Laba Rugi Selisih Kurs ...................................................................................................... 5
1. Rekonsiliasi Peredaran Usaha dan Penghasilan Lainnya dengan DPP PPN Keluaran dan DPP
PPh yang Diotong/Dipungut. ................................................................................................................ 6
2. Berbagai Pengujian Untuk Menguji Kebenaran Perhitungan Peredaran Usaha ........................... 7
Karakteristik Total Benchmarking ....................................................................................................... 7
Tujuan Total Benchmarking.................................................................................................................. 8
Proses dan Metode penetapan Benchmarking ..................................................................................... 8
Rasio Total Benchmarking..................................................................................................................... 9
BAB III....................................................................................................................................................... 11
PENUTUP.................................................................................................................................................. 11
A. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 11
B. Saran ............................................................................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perencanaan pajak (tax planing) merupakan langkah awal dalam manajemen pajak.
Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan
pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan
dan penelitian terhadap peraturan perpajakan. Tujuannya adalah dapat dipilih jenis tindakan
penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax
planning) dilakukan dengan cara membiayakan biaya yang diatur dalam undang-undang
perpajakan. Penelitian ini lebih menekankan pada perencanaan pajak sebagai upaya
penghematan pajak, atau dengan kata lain perencanaan pajak dalam rangka mengefisienkan
pajak penghasilan badan yang bersifat penghindaran pajak (tax avoidance) sehingga
menyebabkan laba kena pajak perusahaan menurut dan dapat mengurangi hutang pajak.

Dalam hal ini wajib pajak tetap melaksanakan seluruh hak dan kewajiban pajaknya
tanpa melanggar ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Disamping itu agar dapat
melakukan perencanaan pajak, wajib pajak badan perlu memahami dengan benar perbedaan-
perbedaan antara perlakuan akuntansi keuangan dan fiskal (perpajakan). Perbedaan itu
terdapat pada book tax diference, dimana jika pajak tangguhan akuntansi lebih besar daripada
pajak tangguhan fiskal maka perusahaan akan mTacendapat manfaat pajak tangguhan (deferred
tax benefit) dan apabila pajak tangguhan akuntansi lebih kecil dari pajak tangguhan fiskal, maka
perusahaan harus membayar beban pajak tangguhan (deferred tax expence). Dengan begitu
perusahaan harus meminimalisasikan pajak tangguhan fiskal, agar perusahaan memperoleh
cadangan kas yang digunakan untuk meningkatkan laba perusahaan.

Meminimalisasi beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang
masih berada dalam bingkai peraturan perpajakan sampai dengan yang melanggar peraturan
perpajakan. Upaya meminimalisasi pajak secara efesien sering disebut dengan perencanaan
pajak (tax planning). Umumnya perencanaan pajak merujuk pada proses merekayasa usaha dan
transaksi Wajib Pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam
bingkai peraturan perpajakan. Namun perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai
perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu
sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya.

Perencanaan pajak (Tax planning) menekankan pada pengendalian setiap transaksi yang
memiliki konsekuensi pajak (Zain 2006). Kondisi tersebut bertujuan untuk mengendalikan
jumlah pajak sehingga mencapai angka minimum, yang dapat berupa penghematan pajak (tax
saving), penghindaran pajak (tax avoidance) ataupun penyelundupan pajak (tax evasion). Tax
avoidance menunjuk pada rekayasa tax affairs yang masih tetap dalam bingkai ketentuan

1
perpajakan (lawful), sedangkan tax evasion berada diluar bingkai ketentuan perpajakan
(unlawful).

Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus disertai dengan langkahlangkah


manajemen perpajakan secara baik. Manajemen perpajakan merupakan upayaupaya sistematis
yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian di bidang
perpajakan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang minimum. Dengan
demikian perencanaan perpajakan atau tax planning merupakan tahap awal untuk melakukan
analisis secara sistematis berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk
mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang minimum.

Perlunya manajemen perpajakan, sebenarnya berangkat dari hal yang mendasar dari
sifat manusia (manusiawi). “Kalau bisa tidak membayar, mengapa harus membayar. Kalau bisa
membayar lebih kecil, mengapa harus membayar lebih besar”. Namun semuanya harus
dilakukan dengan itikad baik dan dengan cara-cara yang tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Tujuan utama dari manajemen perpajakan adalah untuk
melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan meminimisasi beban pembayaran pajak
untuk memaksimalkan keuntungan.

B. Rumusan masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apasaja tax planning dan pengendalian atas penghasilan usaha dan penghasilan
lainnya?
2. Apasaja selisih laba kurs?
3. Apasaja pengendalian atas bea keluar atas penjualan ekpor terutang bea keluar?

C. Tujuan
Tujuan kami menulis makalah dan mengangkat Tema mengenai “Tax planning dan
pengendalian atas penghasilan usaha dan penghasilan lainnya” ini adalah guna memenuhi
tugas mata kuliah Perpajakan. Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memperluas
wawasan penulis dan pembaca tentang masalah Perpajakan. Selain itu supaya ada
kesadaran pada diri penulis dan pembaca untuk tertib membayar pajak.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Tax planning dan pengendalian atas penghasilan usaha dan penghasilan lainnya.
1. Tax Planning Pengelompokkan Jenis Penghasilan Untuk Menghitung Angsuran Masa
PPh Pasal 25.
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) selama satu tahun pajak. Pada prinsipnya
penghitungan penghasilan untuk tahun pajak dan besarnya pajak penghasilan yang
terutang hanya dilakukan pada saat tahun pajak yang bersangkutan berakhir dan wajib
pajak menutup pembukuan. Sehingga, penghitungan besarnya penghasilan dan besarnya
pajak penghasilan yang terutang hanya dapat diketahui jika wajib pajak mengajukan SPT
Tahunan PPh. Namun, dalam konteks perpajakan Indonesia. Wajib Pajak tidak dapat
membayar semua pajak penghasilan yang terutangnya sekaligus mengumumkan atau
mengumumkan pajak penghasilan tahunannya ke kantor pajak.

Dalam hal ini, wajib pajak harus membayar pajak penghasilan secara mencicil
dalam tahun pajak berjalan sebelum mengajukan dan melaporkan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan. Angsuran atau angsuran ini dikenal dengan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Secara umum, metode penghitungan pajak penghasilan dalam Pasal 25 didasarkan pada
data BPT tahunan tahun sebelumnya. Berarti. Kami berasumsi bahwa pendapatan tahun
ini sama dengan pendapatan tahun lalu. Tentu saja, ketika tahun pajak saat ini berakhir,
akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya. Selisihnya adalah jumlah yang kita
bayarkan sebagai tax gap di akhir tahun. Kurang bayar pada akhir tahun ini biasa disebut
dengan Pasal 29 PPh. Apabila selisih tersebut menunjukkan kelebihan pembayaran, hal
ini disebut pengembalian atau Wajib Pajak meminta jumlah yang dibayarkan.

Umumnya, kurung pajak ini sama dengan jumlah pajak penghasilan yang terutang atas
SPT tahun sebelumnya dibagi dengan pengurangan pajak dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24
dengan 12, atau jumlah bulan dalam tahun pajak. Kategori penghasilan dikelompokkan
sebelum jumlah angsuran atau angsuran PPh Pasal 25 dihitung. Sebelum menghitung
besarnya angsuran atau cicilan PPh Pasal 25, dilakukan pengelompokkan jenis
penghasilan terlebih dahulu.

Dalam kaitannya dengan PPh Pasal 25, pengelompokan jenis penghasilan yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Non Obyck (pasal 4 ayat 3)
b. Penghasilan Obyck Pajak (pasal 4 ayat 1)

3
 Bersifat Tidak Final / Final (Pasal 4 ayat 2)
Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan
penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan
pada SPT Tahunan. Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain
ataupun dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan. Biaya-
biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat
dikurangkan.
Objek pajak dari PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut meliputi:
1) Bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa giro
2) Penghasilan dari transaksi lainnya di bursa efek
3) Bunga/diskoto Obligasi
4) Hadiah Undian
5) Jasa Konstruksi
6) Persewaan Tanah/bangunan
7) Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan
8) Penghasila tertentu lainnya

 Bersifat Tidak Teratur/Teratur


Penghasilan yang bersifat teratur merupakan penghasilan yang lazimnya
diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam
setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha. pekerjaan bebas,
pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Adapun contoh penghasilan
berdasarkan sumbemya adalah sebagai berikut:
1) Penghasilan dari Pekerjaan, contoh: gaji, honor, dan lain-lain.
2) Penghasilan dari Pekerjaan Bebas, contoh: dokter, akuntan,
konsultan, dan lain-lain.
3) Penghasilan dari Usaha, contoh; laba usaha.
4) Penghasilan dari Harta/Modal, contoh: sewa, bunga, dividen, dan
lain-lain.
5) Penghasilan Lain-lain. contoh: pembebasan utang, hadiah, dan
lain-lain.
Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs
dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan
harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan
usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang hersifat insidentil.Dalam
perhitungan PPh pasal 25, variabel penghasilan-penghasilan yang tidak
teratur harus dihitung ulang dari Penghasilan Kena Pajak. Dimana variabel
tersebut bisa ditambahkan atau dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak.

4
2. Foreign Exchange Revenue (Laba Selisih Kurs)
Pada dasarnya wajib pajak yang pembukuannya menggunakan mata uang rupiah
tetapi terdapat transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi tersebut akan timbul
keuntungan atau kerugian selisih kurs karena terdapat perbedaan kurs antara tanggal
pengakuan penghasilan atau biaya dengan tanggal diterima atau dibayarnya penghasilan
atau biaya tersebut.
Keuntungan atau kerugian kurs juga dapat terjadi dari transaksi utang-piutang,
dimana selisih kurs terjadi sebagai akibat dari selisih kurs antara tanggal pencatatan
hutang atau piutang dengan kurs tanggal neraca atau tanggal akhir periode akuntansi atau
perbedaan juga timbul akibat selisih kurs mata uang asing pada tanggal neraca dengan
tanggal pelunasan.
Jenis transaksi yang memungkinkan terjadinya transaksi dalam mata uang asing
antara lain penerimaan atau pembelian barang dan jasa dalam mata uang asing, adanya
pembelian aset tetap, dan adanya utang atau pinjaman dalam mata uang asing.

Dasar Hukum Laba Rugi Selisih Kurs


Laba rugi selisih kurs merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi laba
perusahaan. Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang
perubahan ke empat atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
keuntungan selisih kurs merupakan salah satu bentuk penghasilan yang menjadi objek
pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf 1. Dimana di dalamnya disebutkan
bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun
termasuk keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. Dalam penjelasannya
ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing
diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia dan dikenakan tarif
sesuai Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.
Dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 menegaskan
kembali prinsip umum sebagaimana sudah dinyatakan dalam Undang undang PPh, yaitu
bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan
atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK Nomor
10). Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang
terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang
bukan objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya. Sebaliknya, pada pasal 9
ayat (3) disebutkan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang tidak terkait
langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan
objek pajak, diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang penghasilan tersebut
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

5
1. Rekonsiliasi Peredaran Usaha dan Penghasilan Lainnya dengan DPP PPN Keluaran dan
DPP PPh yang Diotong/Dipungut.
Rekonsiliasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN dengan SPT
Tahunan Perusahaan Rekonsiliasi yang menyangkut PPN ini penting dengan tujuan untuk
memastikan semua peredaran usaha telah di laporkan di dalam SPT PPN dan untuk
memberikan penjelasan kepada fiskus jika terdapat perbedaan antara jumlah peredaran
usaha yang dilaporkan di SPT PPh dan SPT PPN. Pada umumnya perbedaan yang timbul
antara pengakuan pendapatan perusahaan menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai
penyerahan menurut SPM PPN bisa timbul karena dua kondisi, yaitu:
1) Karena karakteristik transaksi.
2) Karena Peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya perbedaan.

Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan dan SPT
Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain dikarenakan oleh:
1) Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan
Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya:
penjualan aktiva tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma
cuma, dan lain-lain.
2) Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan
keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak. Kurs valuta asing yang digunakan
untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan dengan taat asas Berdasarkan
PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi dalam mata uang asing dibukukan
dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi Namun dalam praktek di
lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu menggunakan kurs transaksi Kadangkala
Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata dalam seminggu atau sebulan,
menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain. Sedangkan dalam membuat Faktur
Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang menggunakan mata uang asing, harus
menggunakan kurs Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur
Pajak.
3) Pemberian Cash Discount
Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila
pembeli dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo'syarat pembayaran
yang telah disepakati sebelumnya Diskon tambahan ini disebut dengan Cash
Discount Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang
tercantum dalam Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli
memanfaatkan Cash Discount tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa
PPN akan lebih besar daripada omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh
Badan.
4) Adanya kesalahan tulis atau hitung

6
Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis
atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau
pengisian SPT Masa PPN.Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi PPN ini dilakukan
secara rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih
mudah ditelusuri. Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka
dapat langsung diambil tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Untuk melakukan rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan dengan
cara mengambil angka Penjualan kemudian. likan 10%. Apabila sudah didapat nilai
penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian dan PPN masukannya, maka
tinggal cross check dengan yang sudah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
(SPM) PPN setiap bulannya. Apabila masih ada yang tertinggal belum dilaporkan, kalau
itu ada pada sisi PPN keluaran maka harus segera dilakukan pembetulan SPM dan
dibayar kekurangan pajaknya. Meskipun hal ini tetap menjadi exposure (potensi kena
denda). Namun apabila ditemukan faktur pajak masukan yang belum dilaporkan sebagai
PPN masukan, maka pilihannya adalah melakukan pembetulan SPM atau
membiarkannya dengan tidak mengkreditkan dalam SPM dan pembukuan accounting
akan mencatat sebagai beban tambahan.

2. Berbagai Pengujian Untuk Menguji Kebenaran Perhitungan Peredaran Usaha

Benchmarking (perbandingan) adalah suatu proses sistematik dalam


membandingkan produk, jasa atau praktik suatu organisasi terhadap kompetitor atau
pemimpin industri untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam mencapai tingkat
kinerja yang tinggi. Model benchmarking umumnya digunakan dalam dunia bisnis
Namun oleh Direktorat Jenderal Pajak, model ini ini diadopsi dalam rangka
melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak.
Dengan asumsi bahwa Wajib Pajak yang memiliki karakteristik yang sama akan
cenderung memilki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan dan perpajakan masing-
masing Wajib Pajak dapat dibandingkan dengan suatu benchmark yang mewakili
karakteristik Wajib Pajak yang bersangkutan. Benchmarking yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam suatu konsep yang disebut Total Benchmarking.

Karakteristik Total Benchmarking


Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang
penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan
petunjuk pemanfaatannya disebutkan bahwa Rasio Total Benchmarking memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Rasio total benchmarking disusun berdasarkan kelompok usaha.
b. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan ingkat laba dan
input-input perusahaan.
c. Ada keterkaitan antar rasio benchmark.

7
d. Fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
perpajakan.

Tujuan Total Benchmarking


Tujuan Total benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE
11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti
ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total
Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu:
a. Menjadi pedoman dan sebagai pembanding dengan kondisi SPT Tahunan yang
dilaporkan Wajib Pajak.
b. Membantu pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, terutama menyangkut kepatuhan
materialnya.
Manfaat total benchmarking menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE 11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang
menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 96/PJ/2009
tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu:
a. Supporting tools bagi program intensifikasi/ penggalian potensi pajak,
b. Alat bantu dalam penghitungan tax gap.

Proses dan Metode penetapan Benchmarking


Proses dan Metode penetapan Benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang
menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang
Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu :

a. Nilai masing-masing benchmarking ditetapkan untuk masing-masing


kelompokusaha berdasarkan 5 digit kode Klasifikasilapangan Usaha (KLU) Wajib
Pajak Klasifikasi Lapangan Usaha dimaksudadalah KLU sesuai Keputusan
DirjenPajak nomor KEP-34/PJ/2003 tanggal 14 Februar 2003;
b. Penetapan rasio-rasio benchmarking untuk keseluruhan kelompok usaha
dilakukan secara bertahap oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
c. Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan benchmarking
adalah data internal dalam sistem informasi perpajakan DJP, yang terdiri dari:
1) Elemen-clemen Surat pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan
2) Elemen-elemen Surat Pemberitahuan Masa PPN
3) Elemen-elemen transkrip Laporan Keuangan

Perhitungan semua rasio selain rasio PPN menggunakan elemen data hasil
perekaman Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan. Data penjualan, HPP. Laba
bersih dari operasi. Laba sebelum pajak diambil dari formulir 1771 Lampiran 1,
sedangkan data PPh terutang diambil dari hasil perekaman induk formulir 1771. Data
data gaji, sewa, bunga, penyusutan, dan biaya-biaya lain diambil dari perekaman formulir

8
1771 Lampiran II. Apabila data perekaman formulir 1771 Lampiran II tidak lengkap,
maka data tersebut dilengkapi menggunakan data perekaman transkrip Laporan
Keuangan Data Pajak Masukan diperoleh dari perekaman SPT PPN baik formulir 1195
maupun 1107.

Rasio Total Benchmarking


Menurut pedoman Surat Edaran DirjenPajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang
penetapan Rasio Total Benchmarking tahap yang menindaklanjuti ketentuan Surat
EdaranDirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentangRasio Total Benchmarking dan
petunjuk pemanfaatannya rasio-rasio yang digunakandalam total benchmarking meliputi
14 rasioyang terdiri dari rasio-rasio yang mengukurkinerja operasional, rasio input, rasio
PPN danrasio aktivitas luar usaha. Pemilihan 14 rasiotersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwarasio yang digunakan sedapat mungkin mampumemberikan
gambaran secara menyeluruhatas kegiatan operasional perusahaan dalamsatu periode dan
berkaitan dengan semua jenispajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak. Rasio-rasio
tersebut meliputi:
a. Gross Profit Margin (GPM)
b. Operating Profit Margin (OPM)
c. Pretax Profit Margin (PPM)
d. Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR)
e. Net Profit Margin (NPM)
f. Dividend Payout Ratio (DPR)
g. Rasio PPN (pn)
h. Rasio Gaji/Penjualan (g)
i. Rasio Bunga/ Penjualan (b)
j. Rasio Sewa/ Penjualan (s)
k. Rasio Penyusutan/ Penjualan (py)
l. Rasio Penghasilan Luar Usaha / Penjualan (pl)
m. Rasio Biaya Luar Usaha/ Penjualan (bl)
n. Rasio Input Lainnya/ Penjualan (x)

Dengan mengukur rasio GPM, OPM, PPM, CTTOR, NPM, pl, dan bl maka
didapatkan gambaran yang utuh mengenai kegiatan/ operasi perusahaan dalam suatu
tahun pajak.

1. Pengendalian Atas Bea Keluar (Pajak Ekspor) atas Penjualan Ekspor yang Terutang Bea
Keluar
Bea keluar adalah pungutan Negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan yang
dikenakan terhadap barang ekspor Harga ekspor adalah harga yang digunakan untuk
perhitungan Bea Keluar. Barang ekspor yang dikenakan bea keluar berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 75/PMK 011/2012, adalah:
1. Kulit dan kayu

9
2. Biji kakao
3. Kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya, dan
4. Bijih (raw material atau ore) mineral

Terdapat 2 cara menghitung bea keluar, yaitu dengan cara Advalorum dan
Spesifik Tarif advalorum adalah pajak yang dikenakan berdasarkan presentase tertentu
misalnya 5%, 10%, dan lain-lain. Sedangkan tariff spesifik merupakan besaran pajak
berdasarkan satuan barang misalnya Rp. 1000,- per batang, Rp. 2000. per keeping, dan
lain-lain. Perhitungan bea keluar adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari Harga Ekspor,
Bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor per Satuan
Barang x Nilai Tukar Mata Uang

2. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dihitung
berdasarkan rumus sebagai berikut:

Tarif Bea Keluar per Satuan Barang Dalam Satuan Mata Uang Tertentu x
Jumlah Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang

Dalam perhitungan bea keluar khusus untuk barang campuran CPO dan turunan
nya diatur harga dan tariff yang digunakan adalah harga dan tariff ekspor yang tertinggi
dari barang yang dicampur tersebut dengan jumlah barang adalah volume dan atau berat
total. Sedangkan untuk campuran bijih (raw material atau ore) mineral harga yang
digunakan adalah harga ekspor tertinggi dengan jumlah barang adalah berat total.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tax Planning akan efektif jika lebih cermat dalam membebankan biaya, karena tidak
semua biaya dapat diakui secara fiscal. Dalam perhitungan PPh pasal 25, variabel
penghasilan-penghasilan yang tidak teratur harus dihitung ulang dari Penghasilan Kena
Pajak. Dimana variabel tersebut bisa ditambahkan atau dikurangkan dari Penghasilan
Kena Pajak. Metode penghitungan pajak penghasilan dalam Pasal 25 didasarkan pada
data BPT tahunan tahun sebelumnya. Berarti. Kami berasumsi bahwa pendapatan tahun
ini sama dengan pendapatan tahun lalu.

B. Saran
Untuk PPh pasal 25 wajib pajak masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal
menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan 23 serta Pasal 24 yang
dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.

11

Anda mungkin juga menyukai