Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir vanili terbesar kedua

setelah madagaskar. Vanili telah menyebar luas hampir di seluruh wilayah

Indonesia dengan daerah sentra produksi yakni Jawa Tengah, Jawa Timur,

Bali, NTT, NTB, Sulawesi Utara, Lampung, Sumatra Utara, dan Aceh (Tombe

2010). Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), jumlah

produksi vanili di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 2329 ton dengan luas

areal tanam 20286 Ha (Food and Agriculture Organization, 2019). Tanaman

vanili di Indonesia dikelola oleh 288.535 kepala keluarga petani dengan tingkat

produktivitas mencapai 441 kg/ha. Provinsi Aceh merupakan daerah yang

memiliki luas areal dan produksi terbesar di Indonesia dengan tingkat

produktivitas mencapai 319,65 kg/ha (Kartikawati, 2018).

Harga jual vanili yang relatif lebih tinggi dibanding komoditas lain

khususnya di sub sektor perkebunan serta banyaknya daerah sentra produksi di

Indonesia menempatkan vanili sebagai komoditi yang bernilai tinggi dan

berpotensi dalam peningkatan penerimaan devisa negara (Udarno, 2009).

Menurut Kepala BKP Kelas II Yogyakarta, ekspor Vanili ini terus mengalami

peningkatan. Periode 2015-2019 ekspor produk vanili Indonesia tercatat

tumbuh positif sebesar 32,55 persen. Tahun 2019 Indonesia menempati

peringkat ke-3 sebagai eksportir terbesar dunia setelah Madagaskar dan

1
2

Prancis. Sementara, Madagaskar menguasai 53,06 persen pangsa ekspor vanili

dunia dengan ekspor sebesar U$D 573,17 juta (Ilham, 2020).

Produk vanili di Indonesia hampir seluruhnya ditujukan untuk ekspor,

terdapat banyak permasalahan pada produktivitas dan mutu yang masih rendah.

Produktivitas dipengaruhi oleh varietas, teknik budidaya, kesesuaian

lingkungan tumbuh serta serangan hama dan penyakit. Mutu vanili umumnya

dipengaruhi oleh panjang polong, umur panen, dan pengolahan setelah panen

(kadar vanilin). Teknologi yang digunakan untuk pengembangan tanaman

vanili di Indonesia pun masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan

(Ditjenbun, 2008).

Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya vanili yakni ketersediaan

bahan tanam unggul dan bermutu. Selama ini perbanyakan tanaman vanili

dilakukan secara generatif dengan biji dan vegetatif stek batang, akan tetapi

jenis perbanyakan tersebut belum mampu mengimbangi tingkat permintaan

yang semakin meningkat setiap tahunnya. Disisi lain serangan penyakit layu

Fusarium (Fusarium oxysporum) dan keterbatasan bahan tanam karena harus

diambil dari sulur tanaman induk yang belum pernah berbuah juga menjadi

kendala dalam pengembangan tanaman vanili di Indonesia. Oleh sebab itu,

perlu disusun program penelitian tanaman vanili di bidang Agronomi seperti

teknik perbanyakan secara in vitro untuk mengurangi kendala-kendala dalam

pembudidayaan tanaman vanili tersebut (Pinaria et al., 2010).

Pembentukan akar merupakan tahapan penting dalam perbanyakan bibit

secara in vitro. Inisiasi perakaran tanaman dapat dipacu dengan menambahkan


3

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) pada media tanam. ZPT yang umum digunakan

untuk inisiasi perakaran adalah golongan auksin, yaitu Naphtalene Acetic Acid

(NAA), Indole-3-Acetic Acid (IAA) dan Indole-3-Butyric Acid (IBA). Pengaruh

auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa auksin dapat

meningkatkan sintesa protein sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan.

Pemilihan jenis auksin untuk memacu pertumbuhan akar didasarkan pada sifat

translokasi, persistensi (tidak mudah terurai) serta laju aktivitas. NAA memiliki

kemampuan dalam menginisiasi akar dan sering digunakan dalam penelitian

induksi perakaran karena memiliki karakter cenderung lambat dalam

translokasi dan memiliki persistensi tinggi (Sulichantini, 2016).

Penambahan vitamin dalam medium merupakan salah satu faktor yang

sangat menentukan keberhasilan dalam kultur in vitro. Penambahan vitamin

dalam media kultur dapat meningkatkan pembelahan sel, mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan tunas dan akar. Vitamin yang paling sering

digunakan dalam kultur in vitro antara lain thiamin (B1), asam nikotinat (B3),

dan piridoksin (B6). Thiamin (vitamin B1) merupakan vitamin yang esensial

dalam kultur in vitro yang digunakan untuk mempercepat pembelahan sel.

Thiamin memiliki fungsi sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat.

Thiamin dapat meningkatkan aktivitas hormon yang terdapat dalam jaringan

tanaman, selanjutnya hormon tersebut akan mendorong pembelahan sel-sel

baru (Riska, 2013). Purnamasari (2020) menunjukkan bahwa penambahan

thiamin 0,5 ml/L merupakan konsentrasi optimum untuk pertumbuhan anggrek

D. nobile pada media kultur in vitro berbasis pupuk daun.


4

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat interaksi antara perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh

NAA dengan konsentrasi thiamin terhadap induksi akar vanili secara in

vitro?

2. Berapa konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA yang terbaik untuk induksi

akar vanili secara in vitro ?

3. Berapa konsentrasi thiamin yang terbaik untuk induksi akar vanili secara in

vitro?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji interaksi antara perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA

dengan konsentrasi thiamin bagi induksi akar vanili secara in vitro.

2. Menentukan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA yang terbaik untuk

induksi akar vanili secara in vitro.

3. Menentukan konsentrasi thiamin yang terbaik untuk induksi akar vanili

secara in vitro.

D. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai konsentrasi zat

pengatur tumbuh NAA dan thiamin yang terbaik dalam induksi akar vanili

secara in vitro.

2. Acuan dalam penelitian lebih lanjut mengenai induksi akar vanili secara in

vitro dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan thiamin.


5

3. Bagi peneliti menambah pengetahuan, wawasan dan kemampuan berpikir

dalam menerapkan teori yang didapat di perkuliahan pada penelitian yang

dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai