Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA DAN ASUHAN

KEPERAWATAN “PASIEN DENGAN WAHAM”


Dibuat untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Keperawatan Jiwa yang dibimbing
oleh :
Ns. Achmad Dafir Firdaus, M. Kep

Disusun Oleh :
Vega Luyuni Dwiyanti
2214314901030

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG TAHUN
AJARAN 2022 / 2023
LEMBAR PERSETUJUAN

PROFESI NERS
DEPARTEMEN KEPERAWATAN JIWA

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN “PASIEN


DENGAN WAHAM”

Laporan ini telah disetujui oleh


Pembimbing Institusi

Hari/Tanggal: Kamis, 3 Maret 2023

Pembimbing Institusi Pembimbing CI

(Ns. Achmad Dafir Firdaus, M. Kep) ( )


NIDN.
FORMAT RENCANA KEGIATAN

Form Rencana Kegiatan Mingguan (RKM)

Departemen : Jiwa Persepti : Tn. A


Periode : 27 Februari – 18 Maret 2023 Preceptor : Vega Luyuni Dwiyanti
Ruang : Panti Rehabilitasi Dr. Onny Minggu ke: Ke-2

A. Target yang ingin dicapai


TUK:
Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan waham sesuai kasus kelolaan selama
3 Minggu 27 Februari – 18 Maret 2023
TIK:
1. Mampu melakukan pengkajian
2. Mampu mengenali tanda pada pada pasien dengan waham secara spesifik
3. Mampu menetapkan diagnosa keperawatan terhadap pada pasien dengan waham
Mampu menetapkan intervensi sesuai diagnosa keperawatan pada pasien dengan
waham
4. Mampu menetapkan implementasi sesaui dengan intervensi pada pasien dengan
waham
5. Mampu menetapkan evaluasi dan mendokumentasikan semua proses keperarawatn
pada pada pasien dengan waham
B. Rencana kegiatan

TIK Jenis Kegiatan Waktu Kriteria Hasil


1 - Melakukan pengkajian pada pasien Hari 1 - Mampu melakukan pengkajian
dengan waham - Data dapat terkumpul dan valid
Melakukan Analisa data hasil - Mampu mengidentifikasi tanda
pengkajian data hasil pengkajian
spesifik dari pasien
terkait pada pasien dengan waham

2 - Menemukan masalah pada pasien Hari 1 - Mampu menemukan masalah


dengan waham
- Mengenali tanda dan gejala pada - Mampu mengidentifikasi
pasien dengan waham dengan benar mengenai pada
pasien dengan waham
- Hasil analisa data dapat selesai
dan dikonsulkan ke pembimbing
3 - Menentukan prioritas masalah Hari 1 - Mampu mengevaluasi tindakan
- Menganalisis serta merumuskan keperawatan
permasalahan yang terjadi - Mampu melakukan tindakan
- Memberikan asuhan keperawatan keperawatan dengan baik
4 - Memberikan asuhan keperawatan Hari 1 - Mampu memberikan asuhan
dan evaluasi Tindakan keperawatan yang tepat
5 - Memberikan asuhan keperawatan Hari 1 - Mampu memberikan asuhan
dan evaluasi tindakan serta keperawatan yang tepat serta
memberikan pendidikan kesehatan memberikan pendidikan
mengenai masalah pada pasien kesehatan mengenai masalah
dengan waham tersebut secara mandiri dan tepat

C. Evaluasi pelaksanaan kegiatan


Mahasiswa mampu melakukan kegiatan sesuai dengan rencana kegiatan

D. Evaluasi Praktikan
1. Melanjutkan semua rencana keperawatan
2. Meningkatkan kemampuan dalam melakukan tindakan keperawatan
3. Belum mampu berkaloborasi dengan tenaga medis lain karena berbasis studi
4. Mampu memahami kasus pada pasien dengan waham
5. Mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif

E. Rencana Tindak Lanjut


1. Mahasiswa perlu meningkatkan kemampuan klinis serta kolaborasi dengan tenaga
medis lain terkait penanganan pada pasien dengan waham
2. Mahasiswa mampu meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai
penatalaksanaan pada pasien dengan waham
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas LAPORAN PENDAHULUAN
DAN ASUHAN KEPERAWATAN “PASIEN DENGAN WAHAM” tanpa halangan
apapun. Adapun tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Keperawatan Jiwa.
Dalam penyusunan tugas ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
sehingga saya mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Tidak
lupa saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ns. Andi Surya Kurniawan, M.Kep. selaku Kaprodi Ilmu Keperawatan.
2. Ns. Andi Surya Kurniawan, M.Kep. selaku dosen penanggung jawab Profesi Ners
Departemen Keperawatan Jiwa
3. Ns. Achmad Dafir Firdaus, M.Kep. selaku dosen pembimbing kelompok 1 Profesi
Ners Departemen Keperawatan Jiwa yang telah berkenan meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan dalam menyusun makalah.
4. Pembimbing lahan (CI) di Panti Rehabilitasi Dr. Onny yang memberikan banyak
arahan dan bimbingan selama praktik di lahan.
5. Orang tua saya yang selalu mendoakan dan mendukung.
6. Dan teman-teman di STIKes Maharani Malang yang telah senantiasa mendukung
dalam penyusunan makalah.
Dalam penyusunan tugas ini saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas inisangat jauh
dari sempurna, untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan laporan ini, dan dalam pembuatan laporan lainnya. Akhir
kata,semoga tugas ini dapat berguna bagi kita semua.

Malang, 03 Maret 2023


Penyusun
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1. Perilaku Kekerasan


1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka
perilaku kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri,
orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu
sedang berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku
kekerasan). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari,
2015:137).
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukkan
bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau lingkungan, baik
secara fisik, emosional, seksual dan verbal (Nanda 2016)
2. Proses Terjadinya Masalah
a. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku
kekerasan adalah:
 Teori Biologis
 Faktor Neurologis
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,
neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan
yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon
agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
 Faktor Genetik
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif. Dalam gen manusia terdapat dorman
(potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi
oleh faktor eksternal pada umumnya dimiliki oleh penghuni
pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut
hukum akibat perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal
100).
 Ritme Sirkadian
Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut
penelitian pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan
menjelang berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan
menstimulasi orang untuk lebih mudah bersikap agresif
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
 Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak
contohnya epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin
sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem
persyarafan dalam tubuh (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal
100).
 Gangguan Daerah Otak
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom
otak, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi
ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
 Teori Psikologis
 Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa
adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana
anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan
air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif
dan bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya (Mukripah Damaiyanti,
2012: hal 100 – 101)
 Imitasi, pemodelan dan teori pemprosesan informasi
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam
lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model
dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 101).
 Teori Belajar
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah
saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon
ibu saat marah ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009) :
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
c. Rentang Respon
1. Respon Adaptif
Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam
batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan
masalah tersebut, respon adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96):
a) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
d) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
e) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
2. Respon Maladaptif
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial
b. Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

d. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk
melindungi diri antara lain:
 Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas
adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
 Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
 Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
 Reaksi Formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan
sebagai rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman
suaminya,akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).
 Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena
menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).
1.2. Halusinasi
1. Definisi
Halusinasi dalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang
nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang
yang lagi berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori atau suatu objek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca indra.
Halusinasi merupakan suatu gelaja gangguan jiwa yang seseorang mengalami
perubahan sensori persepsi, serta merupakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, perabaan dan penciuman. Seseorang merasakan stimulus yang
sebetulnya tidak ada. (Yusuf, Rizki & Hanik, 2015).
Halusinasi adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perubahan sensori
persepsi yang disebabkan stimulus yang sebenarnya itu tidak ada (Sutejo, 2017)
2. Proses Terjadinya Masalah
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari
1. Faktor Biologis : Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
2. Faktor Psikologis Memiliki riwayat kegagalan yang berulang. Menjadi korban,
pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih sayang
dari orang-orang disekitar atau overprotektif.
3. Sosiobudaya dan lingkungan Sebahagian besar pasien halusinasi berasal dari
keluarga dengan sosial ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat
penolakan dari lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi
seringkali memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta pernahmmengalami
kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak
bekerja.
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan
adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak,
adanya riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan
dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan dikeluarga atau
masyarakat yang sering tidak sesuai dengan pasien serta konflik antar
masyarakat.
c. Jenis – Jenis
Anda telah mengetahui dan mempelajari mengenai pengertian, proses
terjadinya halusinasi, rentang respon neurobioogis dan tahap-tahap
halusinasi.penulis berharap Anda telah memahaminya. Materi yang akan kita
pelajari selanjutnya adalah jenis halusinasi. Penjelasan dibawah ini adalah
mengenai jenis halusinasi.
Jenis Halusinasi Data Obyektif Data Subyektif
 Bicara atau tertawa sendiri  Mendengar suara-suara atau
 Marah-marah tanpa sebab kegaduhan
 Menyedengkan telinga ke  Mendengar suara yang
Halusinasi
arah tertentu mengajak bercakap-cakap
Pendengaran
 Menutup telinga  Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang
berbahaya
 Menunjuk-nunjuk ke arah  Melihat bayangan, sinar,
Halusinasi tertentu bentuk geometris bentuk
Pengelihatan  Ketakutan pada sesuatu kartoon, melihat hantu atau
yang tidak jelas monster
 Mengisap-isap seperti  Membaui bau-bauan seperti
sedang membaui bau- bau darah, urin, feses, kadang-
Halusinasi Penghidup
bauan tertentu kadang bau itu menyenangkan
 Menutup hidung
Halusinasi  Sering meludah  Merasakan rasa seperti darah,
Pengecapan  Muntah urin atau feses
 Menggaruk-garuk  Mengatakan ada serangga di
Halusinasi Perabaan permukaan kulit permukaan kulit
 Merasa seperti tersengat listrik
d. Fase – fase
Tahap Karakteristik Perilaku yang teramati
Karakteristik tahap ini ditandai  Menyeringai / tertawa
I
dengan adanya perasaan bersalah yang tidak sesuai
(Conforting)
dalam diri pasien dan timbul  Menggerakkan
Halusinasi bersifat
perasaan takut. Pada tahap ini pasien bibirnya tanpa
menenangkan,
mencoba menenangkan 24 pikiran menimbulkan suara
tingkat ansietas
untuk mengurangi ansietas. Individu  Respon verbal yang
pasien sedang. Pada
mengetahui bahwa pikiran dan lambat
tahap ini halusinasi
sensori yang dialaminya dapat  Diam dan dipenuhi
secara umum
dikendalikan dan bisa diatasi (non oleh sesuatu yang
menyenangkan
psikotik). mengasyikan.

 Peningkatan kerja
susunan sarapotonom
yang menunjukkan
Pengalaman sensori yang dialmi
II timbulnya ansietas
pasien bersifat menjijikkan dan
(Condeming) seperti peningkatan
menakutkan, pasien yang
Halusinasi bersifat nadi, TD dan
mengalami halusinasi mulai merasa
menyalahkan, pasien pernafasan.
kehilangan kendali, pasien berusaha
mengalami ansietas  Kemampuan kosentrasi
untuk menjauhkan dirinya dari
tingkat berat dan menyempit.
sumber yang dipersepsikan, pasien
halusinasi bersifat  Dipenuhi dengan
merasa malu karena pengalaman
menjijikkan untuk pengalaman sensori,
sensorinya dan menarik diri dari
pasien. mungkin kehilangan
orang lain (non psikotik).
kemampuan untuk
membedakan antara
halusinasi dan realita.
III Pasien yang berhalusinasi pada  Lebih cenderung
(Controlling) tahap ini menyerah untuk melawan mengikuti petunjuk
Pada tahap ini pengalaman halusinasi dan yang diberikan oleh
halusinasi mulai membiarkan halusinasi menguasai halusinasinya dari pada
mengendalikan dirinya. Isi halusinasi dapat berupa menolak.
perilaku pasien, permohonan, individu mungkin
pasien berada pada mengalami kesepian jika pengalaman  Kesulitan berhubungan
tingkat ansietas tersebut berakhir (Psikotik) dengan orang lain.
berat. Pengalaman  Rentang perhatian
sensori menjadi hanya beberapa menit
menguasai pasien atau detik, gejala fisik
dari ansietas berat
seperti : berkeringat,
tremor,
ketidakmampuan
mengikuti petunjuk
 Perilaku menyerang -
IV teror seperti panik.
(Conquering)  Sangat potensial
Halusinasi pada saat Pengalaman sensori menakutkan melakukan bunuh diri
ini, sudah sangat jika individu tidak mengikuti atau membunuh orang
menaklukkan dan perintah halusinasinya. Halusinasi lain.
tingkat ansietas bisa berlangsung dalam beberapa  Amuk, agitasi dan
berada pada tingkat jam atau hari apabila tidak menarik diri.
panik. Secara umum diintervensi (psikotik).  Tidak mampu berespon
halusinasi menjadi terhadap petunjuk yang
lebih rumit dan komplek.
saling terkait dengan  Tidak mampu berespon
delusi. terhadap lebih dari satu
orang.

e. Rentang respon
Stuart and Laraia menjelaskan rentang respon neurobiologis pada pasien
dengan gangguan senssori persepsi halusinasi sebagai berikut:
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pikiran logis Proses pikrr kadang Gangguan proses pikir


Persepsi kuat terganggu Waham
Emosi konsisten Ilusi Halusinasi
Perilaku sesuai Emosi berkebihan/kurang Kerusakan proses emosi
Hub social harmonis Perilaku tidak Perilaku tidak sesuai
terorganisisr
Isolasi sosial

f. Mekanisme Kopng
Mekanisme koping merupakan perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri, mekanisme koping halusinasi menurut Yosep (2016),
diantaranya:
1. Regresi Proses untuk menghindari stress, kecemasan dan menampilkan
perilaku kembali pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
2. Proyeksi Keinginan yang tidak dapat di toleransi, mencurahkan emosi
pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai
upaya untuk menjelaskan kerancuan identitas).
3. Menarik diri Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis. Reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber
stressor, sedangkan reaksi psikologis yaitu menunjukkan perilaku apatis,
mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan
1.3. Defisit Perawatan Diri
1. Definisi
Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya dan
kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya. Klien dinyatakan terganggu
perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya (Mukhripah &
Iskandar, 2012:147).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidakpedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan
pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat (Yusuf, Rizky &
Hanik,2015:154)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan defisit perawatan diri adalah suatu
keadaan seseorang mengalami kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari – hari secara mandiri. Tidak ada
keinginan untuk mandi secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau
badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi.
2. Proses Terjadinya Masalah
a. Faktor Predisposisi
 Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
 Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
 Kemampuan Realitas Turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri
 Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.
b. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
Faktor–faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
 Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
dengan kebersihan dirinya.
 Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
 Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
 Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.
c. Jenis – Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nanda (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :
1. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
3. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
makan secara mandiri
4. Defisit perawatan diri : eliminasi / toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.
d. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Kadang perawatan tidak melakukan


Pola
perawatan diri diri tidak perawatan diri
seimbang seimbang

Gambar 1. Rentang Respon Defisit Perawatan


Diri Keterangan :
1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stresor
kadang kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan
tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.

e. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan nya di bagi 2 (Stuart &
Sundeen, 2000), yaitu :
 Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah : Klien bisa
memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
 Mekanisme Koping Mal Adaptif
Mekanisme koping yang menghambat, fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategori nya adalah : Tidak mau merawat diri.
1.4. Isolasi Sosial
1. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2009).
Isolasi sosial adalah keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau
merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan
orang lain tetapi tidak mampu membuat kontak (Carpenito, 2010).
Isolasi sosial merupakan upaya menghindari komunikasi kesempatan untuk
berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam hubungan
secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri,
tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman.
2. Proses Terjadinya Masalah
Terjadinya isolasi sosial dipengaruhi oleh faktor predisposisi, diantaranya
perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak
percaya pada diri sendiri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis,
putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa
tertekan.
Keadaan ini merupakan tanda-tanda seseorang mengalami Harga Diri Rendah.
Keadaan pada seseorang yang mengalami harga diri rendah, dapat menimbulkan
perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam
diri, menghindar dari orang lain dan kegiatan sehari-hari terabaikan (Kusumawati
& Hartono, 2011), sehingga individu mengalami isolasi sosial. Bila tidak dilakukan
intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan gangguan sensori persepsi:
halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain bahkan lingkungan. Perilaku yang
tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktifitas yang
ahirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan
secara mandiri (Direja, 2011).
a) Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
 Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari
ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri dan dapat mengembangkan
tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak
merasa diperlakukan sebagai objek.
 Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
 Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas mempengaruhi
adalah otak. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang
anggota keluarganya ada yang menderita skizofrenia.
Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat
kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat
volume otak serta perubahan struktur limbik.
b) Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal meliputi:
 Stresor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kesepian karena ditinggal
jauh, dirawat di rumah sakit atau dipenjara.
 Stresor psikologi
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. (Damaiyanti,
2012: 79).
c) Rentang Respon
Berdasarkan buku keperawatan jiwa dari Stuart (2006) menyatakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam
kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal yang positif.
Individu juga harus membina saling tergantung yang merupakan
keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam suatu hubungan
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri kesepian manipulasi


Otonomi menarik diri impulsif
Bekerja sama ketergantungan narcisme
Interdependen
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang
masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya
yang umum berlaku dan lazim dilakukan oleh semua orang.. respon ini
meliputi:
 Solitude (menyendiri)
Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara mengevaluasi diri
untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
 Otonomi
Adalah kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam berhubungan sosial.
 Mutualisme (bekerja sama)
Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu
mampu untuk saling memberi dan menerima.
 Interdependen (saling ketergantungan)
Adalah suatu hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain
dalam rangka membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya lingkungannya yang
umum berlaku dan tidak lazim dilakukan oleh semua orang. Respon ini
meliputi: (Trimelia, 2011: 9)
 Kesepian adalah kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari
lingkungannya, merasa takut dan cemas.
 Menarik diri adalah individu mengalami kesulitan dalam membina
hubungan dengan orang lain.
 Ketergantungan (dependen) akan terjadi apabila individu gagal
mengembangkan rasa percaya diri akan kemampuannya. Pada gangguan
hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan
terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.
 Manipulasi adalah individu memperlakuakan orang lain sebagai objek,
hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri.
 Impulsif adalah individu tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu
belajar dari pengalaman dan tidak dapat diandalkan.
 Narcisisme adalah individu mempunyai harga diri yang rapuh, selalu
berusaha untuk mendapatkan penghargaan dan pujian yang terus menerus,
sikapnya egosentris, pencemburu, dan marah jika orang lain tidak
mendukungnya.
d) Mekanisme Koping
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang
sering digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi.
(Damaiyanti, 2012: 84)
 Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
 Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat
diterima secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
 Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan
timbulnya kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan
motivasi atau bertentangan antara sikap dan perilaku.
Mekanisme koping yang muncul yaitu: (Prabowo, 2014:113)
a. Perilaku curiga : regresi, represi
b. Perilaku dependen: regresi
c. Perilaku manipulatif: regresi, represi
d. Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi
1.5. Resiko Bunuh Diri
1. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal
dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah
(Stuart, 2016).
Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan
dirinya sendiri dan yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan
akibatnya yang mungkin pada waktu yang singkat. Menciderai diri adalah tindakan
agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri
mungkin merupakan keputusanterakhir dari individu untuk memecahkan masalah
yang dihadapi (Captain, 2018).
2. Proses Terjadinya Masalah
a) Faktor Predisposisi
 Diagnosis Psikiatri Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri
hidupnya dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa.
Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan efektif, penyalagunaan
zat, dan skizofrenia.
 Sifat kepribadian Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan
besarnya resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi
 Lingkungan psikososial Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan
sosial, kejadiankejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan
dan bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapiutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab maslah, respon seorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
 Riwayat keluarga Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang
melakukan tindakan bunuh diri.
 Faktor Biokimia Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko
bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak
seperti serotonim, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut
dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG).
b) Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktur lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui medaia mengenai orang yang melakukan bunuh diri
ataupun percobaan bunu diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.
c) Jenis – Jenis
Sementara menurut Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat 3 jenis
bunuh diri, meliputi :
 Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan (Stressful) sehingga mendorong
seseorang untuk bunuh diri
 Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistic adalah tindaka bunuh diri yang berkaitan
dengan kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksakan
tugasnya
 Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistic adalah tindkaan bunuh diri yang diakibatkan factor
dalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan
d) Rentang Respon
Menurut Yosep (2009)
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Peningkatan diri beresiko destruktif Destruktif diri tidak langsung pencederaan diri bunuh diri

Respon Umum Fungsi Adaptif (RUFA) (Mahardika, 2013) yaitu :


Tabel 1. RUFA Resiko Bunuh Diri
e) Mekanisme Koping

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping.


Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang
terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri
seseorang.
 Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan
pertahanan diri.
 Berisiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau berisiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap
pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
 Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri.
 Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
 Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
1.6. Waham
1. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespon stimulus internal dan eksternal
melalui proses interaksi / informasi secara akurat (Yosep ,2009 ).
Waham adalah suatu keadaan di mana seseorang individu mengalami sesuatu
kekacauan dalam pengoperasian dan aktivitas – aktivitas kognitif (Townsend,
2010). Waham adalah keyakinan yang salah secara kokoh dipertahankan
walaupun walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal
(Stuart dan Sundeen, 2012).
2. Proses Terjadinya Masalah
a) Faktor Predisposisi
 Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan system saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptive
 Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
 Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin, dan glutamate
 Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli
 Penolakan dari lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi
seringkali memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta
pernahmmengalami kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup
sendiri), serta tidak bekerja.
b) Faktor Presipitasi
 Proses pengolahan informasi yang berlebihan
 Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
 Adanya gejala pemicu
c) Jenis – Jenis
 Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau,
“Saya punya tambang emas.”
 Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok
yang berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali,
tetapi
tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
 Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu
agama secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus
menggunakan pakaian putih setiap hari.”
 Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya
pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi
pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
 Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
 Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
 Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang
dia pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang
tersebut
 Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh
kekuatan di luar dirinya.
d) Fase – Fase
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
 Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat
terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat
terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat
tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang
sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn
diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat
pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi
juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span
history ).
 Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya
kesenjangan antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan
harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan
standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat
lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki
kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang
melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari
aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system
semuanya sangat rendah.
 Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-
apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak
sesuai dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien
adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui,
kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi
prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi
sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar,
tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi
dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar
pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan
pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
 Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam
lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan
klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu
kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya
kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma ( Super Ego ) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
 Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri
dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
 Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap
waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham
yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau
kebutuhan- kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ).
Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk
mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
e) Rentang Respon

f) Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman
yang menakutkan dengan respon neurobiologist yang maladaptive meliputi:
regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dengan upaya untuk
mengatasi ansietas, proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan
persepsi, menarik diri, pada keluarga: mengingkari.
1.7. Harga Diri Rendah
1. Definisi
2. Proses Terjadinya Masalah
(a) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi harga diri rendah terdiri dari
 Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
 Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotipe peran
gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya
 Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan
orangtua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur
sosial. (Stuart & Sundeen, 2006)
(b) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah
kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,kegagalan
atau produktivitas yang menurun. Secara umum, gangguan konsep diri
harga diri rendah ini dapat terjadi secara emosional atau kronik. Secara
situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi,kecelakaan,perkosaan atau dipenjara, termasuk dirawat dirumah
sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik
atau pemasangan alat bantu yang membuat klien sebelum sakit atau
sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan meningkat saat
dirawat. ( Yosep, 2009)
Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu
yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya
system pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan
balik yang negatif, disfungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap
perkembangan awal. (Townsend, 2008)
(c) Jenis – Jenis
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal
yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai
dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar
dalam
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan,
kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa sebagai seseorang yang penting
dan berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan
diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat.
Umumnya disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan
menolak diri sendiri. Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi
secara :
 Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada
pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena prifasi yang
kurang diperhatikan. Pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan
alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang
tidak tercapai karena dirawat/penyakit, perlakuan petugas yang tidak
menghargai. (Makhripah D & Iskandar, 2012)
 Kronik
Yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu
sebelum sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negativ terhadap
dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini
dapat ditemukan pada pasien gangguan fisik yang kronis atau pada pasien
gangguan jiwa. (Makhripah D & Iskandar, 2012).
(d) Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi diri Konsep diri Hargadiri rendah Keracunan identitasDepersona lisasi

 Respon Adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapinya.
 Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima
 Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun
yang negatif dari dirinya.(Eko P. 2014)
 Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia tidak
mampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
 Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya
yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
 Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga
tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
 Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu
mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan
dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak
dapat membina hubungan baik dengan orang lain.(Eko P,2014)
(e) Mekanisme Koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka panjang
pendek atau jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanann ego
untuk melindungi diri sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang
menyakitkan. Pertaahanan tersebut mencakup berikut ini :
 Jangka pendek:
- Aktivitas yang memberikan pelarian semestara dari krisis identitas
diri (misalnya, konser musik, bekerja keras, menonton tv secara
obsesif)
- Aktivitas yang memberikan identitas pengganti semestara (
misalnya, ikut serta dalam klub sosial, agama, politik, kelompok,
gerakan, atau geng)
- Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan
diri yang tidak menentu ( misalnya, olahraga yang kompetitif,
prestasi akademik, kontes untuk mendapatkan popularitas)
 Pertahanan jangka panjang mencakup berikut ini :
- Penutupan identitas : adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh
orang terdekat tanpa memerhatikan keinginan,aspirasi,atau potensi
diri individu
- Identitas negatif : asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai
dan harapan yang diterima masyarakat.
Mekanisme pertahanan ego termasuk penggunaan fantasi,
disosiasi,isolasi, proyeksi, pengalihan (displacement, berbalik marah
terhadap diri sendiri, dan amuk ) (Stuart.2006).
BAB II
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

2.1. Pengkajian Keperawatan


Menurut Roman dan Walid (2012) pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam
proses keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap
berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data. Samber data terbagi
menjadi dua yaitu sumber data primer yang berasal dari klien dan sumber data sekunder
yang diperoleh selain klien seperti keluarga, orang terdekat, teman, orang lain yang tahu
tentang status kesehatan klien dan tenaga kesehatan. Data pengkajian kesehatan jiwa dapat
dikelompokkan menjadi factor predisposisi, factor presipitas, penilaian terhadap stressor,
sumber kopin, dan kemampuan koping yang dimiliki klien (Deden dan Rusdi, 2013).
Menurut Keliat (2010), data yang perlu d
2.2. Pohon Masalah
 Pohon masalah
Isolasi Sosial
effect

Harga Diri Rendah Kronik

Core Problem

Koping Individu Tidak Efektif


Causa

Gambar : Mukhripah D& Iskandar (2012)

 Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


Data Masalah
Data Subyektif: Harga diri rendah kronis
 Pasien mengatakan “saya
gagal menjadi ibu dan tidak
bisa
memberikan yang terbaik”
Data Obyektif:k
 Kehilangan anaknya 1 th yang lalu,
sering menyendiri, kontak mata
kurang

2.3. Diagnosa Keperawatan


1. Harga Diri Rendah

2.4. Rencana Tindakan


Diagnosa
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Keperawatan
Harga Diri TUM : a. Setelah 2 x SP I p
Rendah Pasien mampu pertemuan pasien 1. Mengidentifikasi
mengatasi rendah mampu kemampuan dan
yang dialaminya menyebutkan aspek positif yang di
kemampuan dan miliki pasien
TUK 1 : aspek positif yang 2. Membantu pasien
Mengidentifikasi di miliki menilai
kemampuan dan b. Setelah 2 x kemampuan pasien
aspek positif yang pertemuan pasien yang masih dapat
dimiliki mampu digunakan
menyebutkan 3. Membantu pasien
TUK 2 : kemampuan yang memilih kegiatan yang
Menilai dimiliki dan dapat akan di latih sesuai
kemampuan yang digunakan dengan kemampuan
dapat di gunakan c. Setelah 1 x pasien
pertemuan pasien 4. Melatih pasien
TUK 3 : mampu sesuai kemampuan
Memilih kegiatan merencanakan yang dipilih
yang sesuai kegiatan yang 5. Memberikan pujian
dengan sesuai dengan yang wajar
kemampuan kemampuan yang terhadap
dimilikinya keberhasilan pasien
TUK 4 : d. Setelah 1 x 6. Menganjurkan
Melatih kegiatan pertemuan pasien SP II p
yang sudah di pilih mampu 1. Mengevaluasi jadwal
melakukan kegiatan harian pasien
TUK 5 : kegiatan sesuai 2. Melatih kemampuan
Merencanakan jadwal yang sudah kedua
kegiatan yang dibuat 3. Menganjurkan pasien
sudah di pilihnya memasukkan dalam
jadwal kegiatan
harian
SP III p
1. Mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien
2. Melatih kemampuan
ketiga
3. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian

TUM : Setelah 2 x pertemuan SP I k


Keluarga mampu keluarga mampu 1. Mendiskusikan masalah
mengatasi harga a. Mengidentifikasi yang dirasakan keluarga
diri rendah yang kemampuan dalam merawat pasien
dialami pasien yang dimiliki 2. Menjelaskan pengertian,
TUK I : pasien tanda dan gejala harga
Keluarga mampu b. Menyediakan diri rendah yang dialami
merawat pasien fasilitas untuk pasien beserta proses
dengan harga diri pasien terjadinya
rendah di rumah melakukan 3. Menjelaskan cara-cara
kegiatan merawat pasien harga
TUK II : c. Membantu diri rendah
Keluarga menjadi melatih pasien
sistem pendukung d. Memberikan SP II k
yang efektif bagi reinforcement saat 1. Melatih keluarga
pasien pasien melakukan mempraktekkan cara
kegiatan merawat pasien dengan
e. Membantu harga diri rendah
menyusun Melatih keluarga
jadwal kegiatan melakukan cara merawat
pasien langsung kepada pasien
harga diri rendah
SP III k
1. Membantu keluarga
membuat jadwal
aktivitas di rumah
termasuk minum obat
(discharge planning.
2. Menjelaskan follow up
pasien setelah pulang

Anda mungkin juga menyukai