Anda di halaman 1dari 33

1

MODUL PENGEMBANGAN BAHAN AJAR

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok 11


Mata Kuliah : Pengembangan Bahan Ajar
Dosen Pengajar : Drs. Parlaungan Hutagaol M. Pd

Disusun Oleh :

Syaptudin
NIM : 5202111004
Jogi Kapindo Simbolon
NIM : 5202111023
PTB-A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Kepada para pembaca yang terhormat,

Kami dengan rendah hati mempersembahkan tugas yang kami susun dengan penuh
kesungguhan dan ketulusan hati. Tugas ini disusun untuk memenuhi tuntutan akademik
yang diberikan oleh dosen dalam mata kuliah yang kami ikuti. Kami berharap bahwa
dengan menyajikan tugas ini, kami dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang topik yang telah diberikan, serta memperluas wawasan kami dalam bidang ini.

Tugas ini kami susun dengan tujuan untuk menunjukkan pemahaman kami tentang topik
yang dibahas dan untuk memenuhi standar akademik yang telah ditetapkan. Kami telah
berusaha dengan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan informasi yang akurat dan relevan,
dan menyusun argumen yang terstruktur dengan baik dalam tugas ini.

Kami sangat berharap bahwa tugas ini dapat memenuhi harapan dosen, dan juga menjadi
sumbangan yang bermanfaat untuk perkembangan akademik kami. Kami menyadari
bahwa tugas ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari banyak pihak, oleh
karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.

Dalam kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada
dosen kami yang telah memberikan tuntunan dan bimbingan dalam proses pembuatan
tugas ini. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan kami yang telah
memberikan dukungan, ide, dan masukan yang sangat berharga dalam proses ini.

Sekali lagi, terima kasih atas perhatian dan waktu yang telah diberikan untuk membaca
tugas kami. Selamat membaca dan semoga bermanfaat."

Medan, 23 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
1.1. Empat Pilar Pendidikan ...................................................................................................... 1
1.1.1. Pilar Pertama: Learning to know (Belajar untuk Mengetahui)................................. 1
1.1.2. Pilar Kedua: Learning to do (Belajar untuk Melakukan Sesuatu) ............................ 2
1.1.3. Pilar Ketiga: Learning to Live Together (Belajar untuk Menjalani Kehidupan
Bersama) ........................................................................................................................................ 4
1.1.4. Pilar Keempat: Learning to Be (Belajar untuk Menjadi Sesuatu/Seseorang) ....... 5
1.2. Pendidikan Nasional ............................................................................................................ 7
1.3. Visi dan Misi Pendidikan Nasional .................................................................................. 8
1.3.1. Pertama: Penyelenggaraan Pendidikan ............................................................................. 8
1.3.2. Kedua: Proses Pendidikan ....................................................................................................... 9
1.3.3. Ketiga: Pandangan Keberadaan Peserta Didik ................................................................ 9
1.3.4. Keempat: Acuan Dasar .............................................................................................................. 9
1.4. Kurikulum Berbasis Kompentensi................................................................................ 11
1.4.1. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi ...................................................... 13
1.5. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi ..................................................... 16
1.6. Desain Instruksional .......................................................................................................... 19
1.6.1. Prinsip dan Proses Desain Instruksional ........................................................................ 21
1.6.2. Metode Instruksional ............................................................................................................. 23
1.6.3. Media Instruksional ................................................................................................................ 25
1.6.4. Macam-Macam Media Instruksional dan Pemilihannya ........................................... 26
1.6.5. Media Ajar Multimedia .......................................................................................................... 28

ii
BAB
1

Pendahuluan

P
endidikan adalah kebutuhan manusia di sepanjang hidupnya. Tanpa pendidikan,
manusia akan sulit berkembang dan menjadi terbelakang. Dengan pendidikan,
manusia dapat diarahkan menjadi lebih baik dan berkualitas. Pendidikan akan
terus dilakukan karena pendidikan tidak mengenal waktu dan merupakan proses yang
terus berjalan sepanjang hidup manusia.

Penyelenggaraan pendidikan dapat dikelola secara dinamis dan profesional apabila


pendidikan tersebut bertumpu pada konsep pertumbuhan, pengembangan dan
pembaruan. Pernbangunan pendidikan harus senantiasa digelorakan dari tingkatan paling
rendah (seperti playgroup dan pendidikan dasar) sampai pendidikan tinggi. Pelaksanaan
pendidikan dapat dilaksanakan melalui jalur formal maupun nonformal.

1.1. Empat Pilar Pendidikan

Pada tahun 1998 UNESCO telah mencanangkan empat pilar pendi dikan, yaitu learning to
know, learning to do, Learning to Live Together, dan Learning to Be. Empat pilar pendidikan
tersebut di pandang sebagai pendekatan belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan
generasi muda memasuki abad ke21. Pada hakekatnya, pendekatan pendidikan tersebut
merupakan pendekatan belajar yang telah dikenalkan oleh tokohtokoh pemikir pendidikan
sejak permulaan abad ke20.

1.1.1. Pilar Pertama: Learning to know (Belajar untuk Mengetahui)

Proses belajar mengajar pada pilar ini, pengajar (guru/dosen/tutor/ pelatih) seharusnya
menjadi seorang fasilitator. Pengajar bukan lagi menjadi satusatunya sumber belajar.
Peserta didik (siswa, mahasiswa, peserta pelatihan) harus disadarkan akan ketidaktahuan

1
mereka akan sesuatu (ilmu). Dengan kesadaran tersebut, diharapkan dapat memberikan
motivasi peserta didik (siswa, peserta pelatihan, dan lainlain) dalam mempelajari sesuatu
tersebut.

Learning to know telah membawa sebuah konsep bahwa peserta didik harus mampu
menumbuhkan kemauan di dalam dirinya untuk dapat belajar mengetahui atau
mempelajari lebih banyak dari apa yang telah dipelajari atau yang telah didapatkan
sebelumnya. Di sinilah diperlukan fasilitator yang diperankan oleh pengajar. Pengajar
harus mampu memerankan dirinya sebagai teman berdialog bagi siswanya atau anak didik
dalam rangka meningkatkan kemampuan dan menambah pengetahuan siswa
bersangkutan.

Implikasi dari pembelajaran ini adalah meningkatkan kompetensi kognitif dari siswa.
Peserta didik harus diletakkan dalam sebuah proses pembelajaran yang menuntut aktivitas
peserta didik yang lebih besar untuk mau dan mampu mempelajari sesuatu. Artinya, proses
belajar mengajar yang diselenggarakan harus mampu membuat peserta didik lebih aktif.
Proses pembelajaran yang lebih mengutamakan penguasaan telah memungkinkan peserta
didik untuk terus belajar dan mampu memperoleh pemahaman/pengetahuan baru
sehingga peserta didik mampu menguasai teknik atau cara untuk memperoleh
pengetahuan melalui proses meneliti dan mempelajari.

Mampu bertindak dalam kerangka Learning to know adalah kemampuan bertindak secara
ilmiah. Dengan kemampuan inilah, peserta didik akan mendapatkan atau memperoleh
pengetahuan baru. Hal ini menunjukkan bahwa pilar Learning to know berangkat dari
tatanan ilmu pengetahuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dari peserta
didik. Peserta didik yang menerima sistem pembelajaran yang menerapkan konsep
Learning to know akan mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

1.1.2. Pilar Kedua: Learning to do (Belajar untuk Melakukan Sesuatu)

Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) adalah sebuah aspek psikomotorik yang
harus diberikan kepada anak didik. Aspek psikomotorik ini dapat diterjemahkan dalam
segala kegiatan belajarmengajar. Proses pembelajaran dalam konsep learning to do adalah

2
peserta didik harus mau dan mampu (berani) mengaktualisasi keterampilan yang
dimilikinya, selain bakat dan minat yang telah dimiliki sejak awal. Berani mengaktualisasi
minat dan bakatnya, berarti peserta didik diarahkan untuk menyadari kelebihan dan ke
kurangan yang dimilikinya. Kelebihan yang dimiliki harus senantiasa diasah untuk
meningkatkan kemanfaatannya (menambah keterampilannya) dan juga pengetahuan akan
kekurangan yang dimiliki memberikan sebuah tantangan untuk memperbaiki sehingga
peserta didik nantinya akan menjadi manusia yang lebih unggul di masa yang akan datang.

Tempat berlangsungnya pendidikan (misalnya sekolah) harus mampu memfasilitasi


peserta didik untuk mengaktualisasi dirinya. Kemajuan IPTEK telah memberikan dampak
kepada pengurangan kebutuhan industri dan lapangan pekerjaan, yang dalam banyak hal
telah tergantikan oleh adanya perkembangan bidang keteknikan dan komputer, serta
sistem teknologi informasi. Tantangan yang muncul apakah peserta didik hanya akan
mendapatkan sisi ilmu pengetahuan saja sebagaimana pilar learning to know, karena
sebagian pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh manusia sekarang digantikan oleh mesin
atau robot, sehingga learning to do tidak perlu lagi diimplementasikan kepada masyarakat.
Sebuah pertanyaan yang jawabannya sudah sangat jelas, yaitu tidak.

Perkembangan komputer dan keteknikan tentunya masih membutuhkan pekerja yang


mempunyai keterampilan tinggi untuk mengoperasikan dan mengembangkan perangkat
komputer tersebut sehingga nantinya komputer dan perangkat keteknikan akan
membantu kehidupan manusia. Keterampilan yang dimiliki peserta didik akan sangat
dibutuhkan sehingga pilar learning to do masih sangat relevan untuk diterapkan dalam
sistem pendidikan. Konsep learning to do sebenarnya tidak hanya berisi bagaimana peserta
didik mampu melakukan pekerjaan dengan keterampilan yang dimiliki, atau dengan kata
lain, dikatakan cukup mempunyai penguasaan motorik. Namun, dengan kemajuan IPTEK
tersebut, diperlukan kemampuan kemampuan, misalnya mampu untuk mendesain,
mengorganisasi, mengontrol sebuah sistem, dan memperbaiki.

Dalam proses belajarmengajar, belajar melakukan sesuatu membu tuhkan situasi yang
sesuai dengan kenyataan yang nantinya akan dihadapi oleh peserta didik, atau secara
konkrit peserta didik dilatih mendapatkan keterampilan yang tidak terbatas pada

3
kemampuan secara motorik, akan tetapi juga diberikan keterampilan bagaimana mengelola
sebuah organisasi dan bekerja sama dengan orang lain.

1.1.3. Pilar Ketiga: Learning to Live Together


(Belajar untuk Menjalani Kehidupan Bersama)

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendirian. Proses
pembelajaran di dalamnya harus diberikan sebuah kesempatan bagi peserta didik untuk
bekerja sama satu dengan lainnya. Adanya kerja sama tersebut memungkinkan peserta
didik untuk menghargai satu dengan lainnya, bersikap terbuka, dan mau untuk berbagi
(menerima dan memberi). Namun, kegiatan bersama sebagai mahluk sosial tersebut akan
menyebabkan adanya konflik di antara mereka.

Dalam era teknologi saat ini, memang hal ini menjadi sebuah tan tangan karena
keberadaan manusia lainnya kadangkadang dapat digantikan oleh adanya teknologi
(misalnya dengan adanya robot yang mampu membantu kebutuhan manusia). Sejarah
umat manu sia selalu diwarnai dengan adanya konflik antara manusia. Kemajuan IPTEK
dan ekonomi yang cukup pesat, mengubah dunia menjadi tak ada batas (global), tidak serta
merta mampu menghapus konflik yang terjadi.

Konsep Learning to Live Together menuntut bahwa pendidikan harus nya tidak hanya
membekali peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
memecahkan masalah yang dihadapi (tidak hanya mempunyai kemampuan dalam
kerangka kognitif dan psikomotorik), tetapi juga dibekali dengan kemampuan untuk hidup
berdampingan dengan orang lain yang berbeda secara fisik, suku, agama, negara dengan
penuh tanpa prasangka, penuh pengertian dan penuh toleransi. Pendidikan harus mampu
membe rikan pemahaman atau kesadaran diri bahwa manusia diciptakan dengan banyak
keragaman. Hal ini tidak lain agar manusia tersebut saling kenal mengenal di antaranya.

Proses belajarmengajar yang menuntut kebersamaan harus senantiasa dipertahankan,


misalnya memberikan peserta didik tugas ber kelompok, melakukan diskusi ilmiah,
bermain bersama, dan banyak lagi yang dapat dilakukan. Kegiatan bersama harus
dilakukan dalam rangka mencapai tujuan bersama, tidak ada yang merasa kalah dan

4
dikalahkan, serta tidak ada yang merasa menang atau dimenangkan. Apabila Learning to
Live Together mampu diaplikasikan di seluruh dunia dalam setiap proses pembelajaran,
maka akan terwujud se buah dunia yang aman dan sejahtera.

1.1.4. Pilar Keempat: Learning to Be


(Belajar untuk Menjadi Sesuatu/Seseorang)

Proses pembelajaran harus memungkinkan bagi peserta didik untuk mampu menjadi
seseorang yang lebih unggul dibandingkan jika tidak mengikuti proses pembelajaran
tersebut. Proses pembelajaran harus memberikan kesempatan seluasluasnya bagi peserta
didik untuk mengembangkan diri dengan memberikan kesempatan untuk ber kreasi
sehingga menjadi lebih kreatif.

Pada hakekatnya, tujuan setiap pendidikan adalah menjadikan sese orang lebih bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan masyarakat tempat dia berada di masa yang akan datang. Hakekat
ini menempatkan konsep Learning to Be menjadi muara dari segala aspek yang dimi
likinya.

Kemampuan pengetahuan yang dimiliki (aspek kognitif) yang meru pakan tujuan learning
to know dan keterampilan yang dimiliki aspek psikomotorik) dari proses learning to do,
serta kemampuan ntuk bekerja sama secara utuh dengan orang lain (aspek afektif) ari
proses learning to live together, diharapkan akan menjadikan eserta didik tersebut menjadi
orang yang mempunyai kepribadian nggi yang mempunyai kemantapan emosional dan
intelektual, engenal dirinya sendiri dan mampu mengendalikannya, konsisten alam setiap
langkah, dan memiliki tenggang rasa. Inilah konsep dari learning to be.

Penerapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran au sistem pendidikan
memungkinkan peserta didik dapat enguasai cara memperoleh pengetahuan,
berkesempatan enerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk
erinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat enemukan dirinya.

Sistem pendidikan yang dibangun, baik melalui jalur formal maupun formal harus saling
berkaitan antara satu dengan lainnya dan men- kung antara satu dengan yang lain untuk

5
keseluruhan komponen, oses pendidikan, maupun tujuan pendidikannya. Apabila sebuah
proses pembelajaran dapat merangsang, menantang, dan menye- ngkan, diharapkan proses
pembelajaran itu akan bermakna seba- i proses pembudayaan dan proses penguasaan seni
menggunakan pengetahuan.

2. Tujuan Pendidikan

Tujuan diselenggarakan pendidikan adalah untuk menghasilkan ma- sia terdidik yang
dewasa secara intelektual, moral, kepribadian, kemampuan. Kompetensi yang diharapkan
itulah yang harus enjadi pegangan bagi penyelenggara pendidikan, atau dengan kata n,
kegiatan pendidikan harus dijalankan untuk menghasilkan lu- an yang mempunyai
kompetensi tinggi.

tuk itulah sekarang dikenal adanya sebuah kurikulum yang me- ungkinkan peserta didik
mempunyai kompetensi yang diharapkan. rikulum tersebut dikenal dengan kurikulum
berbasis kompetensi.

rikulum yang dibangun harus seiring dengan perkembangan ilmu ngetahuan dan teknologi,
serta globalisasi sehingga memung-

kinkan peserta didik nantinya mampu bertahan hidup dan berkom- petisi di kancah
internasional. Berdasarkan keputusan Mendiknas RI. No. 045/U/2002, kompetensi
didefinisikan sebagai seperangkat tin- dakan cerdas, penuh tanggung jawab, yang dimiliki
seseorang seba- gai syarat kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas di bidang
pekerjaan tertentu. Implementasi keputusan tersebut kemudian ter- wujud dalam
tindakan-tindakan perubahan terapan kurikulum na- sional (Kurnas) 1994 ke arah terapan
KBK.

Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)


adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide,
akan dipengaruhi oleh berbagai kemungkinan pendekatan dan kompetensi untuk dapat
menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengem- bangkan atau
mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompe- tensi, maka pengembang kurikulum
harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan, dan kelemahan pendekatan kompetensi
6
dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan.
Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus ber- kembang sesuai dengan tuntutan
dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.

1.2.1. Pendidikan Nasional

Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan mempunyai fungsi sebagai pemersatu


bangsa, memberikan kesempatan yang sama serta pengembangan potensi diri.
Berdasarkan pada hal ter- sebut, pendidikan diharapkan mampu memperkuat persatuan
dan keutuhan negara. Pendidikan harus diberikan kepada semua warga negara Indonesia
tanpa terkecuali sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
sehingga semua warga negara Indonesia dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan
memung- kinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya
secara optimal.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional merupakan dasar hukum penyeleng- garaan dan reformasi sistem pendidikan
nasional. Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional, serta strategi pembangunan pendidikan nasional untuk mewujudkan >endidikan
yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing dalam kehidupan
global.

lisi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang
kuat dan berwibawa untuk member- layakan semua warga negara Indonesia agar
berkembang menjadi nanusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab
antangan zaman yang selalu berubah. Misi pendidikan nasional adalah:

 Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan mem- peroleh pendidikan


yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional,
regional, dan internasional.
 Meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyara- kat dan tantangan
global.

7
 Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak
usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
 Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendi- dikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
 Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendi- dikan sebagai
pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keteram- pilan, pengalaman, sikap, dan nilai
berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global.
 Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.2.2. Visi dan Misi Pendidikan Nasional

sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Atas Peraturan Peme- tah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar asional Pendidikan, Reformasi pendidikan terkait
dengan visi dan isi pendidikan nasional tersebut di atas, harus meliputi beberapa

1.2.3. Pertama: Penyelenggaraan Pendidikan

Penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pem- budayaan dan


pemberdayaan peserta didik yang berlangsung se- panjang hayat. Dalam proses tersebut
harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan,
serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Pesan prinsip tersebut adalah
proses pendidikan harus diubah dari cara yang bi- asanya dilakukan, yaitu pergeseran
paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.
Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam men-
transformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma
pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki ke-
cerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta ke- terampilan yang
dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

8
1.2.4. Kedua: Proses Pendidikan

Adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari para- digma manusia sebagai
sumberdaya pembangunan, menjadi para- digma manusia sebagai subjek pembangunan
secara utuh. Pen- didikan harus mampu membentuk manusia seutuhnya yang di-
gambarkan sebagai manusia yang memiliki karakteristik personal yang memahami
dinamika psikososial dan lingkungan kulturalnya.

Proses pendidikan harus mencakup:

1. penumbuhkembangan keimanan, ketakwaan;


2. pengembangan wawasan kebangsaan, kenegaraan, demokrasi, dan kepribadian;
3. penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi;
4. pengembangan, penghayatan, apresiasi, dan ekspresi seni;
5. serta pembentukan manusia yang sehat jasmani dan rohani.

Proses pembentukan manusia di atas pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan


dan pemberdayaan peserta didik yang ber- langsung sepanjang hayat.

1.2.5. Ketiga: Pandangan Keberadaan Peserta Didik

Adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terin- tegrasi dengan
lingkungan sosial-kulturalnya, pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai
pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses
pentahapan aktualisasi intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik di dalam
memahami sesuatu. Mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai
tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman
dirinya dan lingkungan kultu- ralnya.

1.2.6. Keempat: Acuan Dasar

Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional, diperlukan
suatu acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, antara
lain meliputi kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyeleng-

9
garaan pendidikan. Dalam kaitan ini, kriteria dan kriteria penyeleng- garaan pendidikan
dijadikan pedoman untuk mewujudkan:

1. pendidikan yang berisi muatan yang seimbang dan holistik;


2. proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong
kreativitas, dan dialogis;
3. hasil pendidikan yang bermutu dan terukur;
4. berkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kependi- dikan;
5. tersedianya sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya
potensi peserta didik secara optimal;
6. berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan;
dan
7. terlaksananya evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi yang berorien- tasi pada
peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

Acuan dasar tersebut di atas merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan
untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan
kinerjanya dalam mem- berikan layanan pendidikan yang bermutu. Selain itu, standar
nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendorong terwujudnya
transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.

Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang kom- ponen pendidikan
yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pen- didikan untuk mengembangkan
pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Standar
nasional pendidikan tinggi diatur seminimal mungkin untuk memberikan keleluasaan
kepada masing-masing satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dalam
mengembangkan mutu layanan pendi- dikannya sesuai dengan program studi dan keahlian
dalam kerangka otonomi perguruan tinggi. Demikian juga standar nasional pendi- dikan
untuk jalur pendidikan nonformal, hanya mengatur hal-hal pokok dengan maksud
memberikan keleluasaan kepada masing- masing satuan pendidikan pada jalur pendidikan
nonformal yang memiliki karakteristik tidak terstruktur untuk mengembangkan
programnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

10
Penyelenggaraan pendidikan jalur informal yang sepenuhnya men- jadi kewenangan
keluarga dan masyarakat, didorong dan diberikan keleluasaan dalam mengembangkan
program pendidikannya sesuai dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Oleh karena
itu, stan- dar nasional pendidikan pada jalur pendidikan informal hanya mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan pengakuan kompetensi peserta didik saja.

1.3.1. Kurikulum Berbasis Kompentensi

Kurikulum merupakan perangkat pendidikan yang dapat berubah secara dinamis


mengikuti perkembangan sebagai diungkapkan oleh WHO (2005):

"... A curriculum is the totality of all that occurs in the education process as a result of
objectives, intentions, assessment, values, activities, interaction, evaluation and change. It is
anything and everything that teaches or communicates knowledge, planned or otherwise. It
reflects the individual, social and cultural dynamic(s) of the organization, society and the
aspirations of a profession.

A curriculum should evolve and be open to debate, modification, negotiation and change.
Factors that combine together to influence curricula include: traditions and cultural norms,
social forces and lobby groups, politics, business and industry, competency associated with
discipline knowledge and skills, textbooks, assessment, new knowledge, teachers. A curriculum
is not simply a collection of separate subjects but rather a programme of study of which the
whole is greater than the sum of the parts. The emphasis therefore lies on meeting the goals of
both individual subjects or units and the whole curriculum. ...

Terdapat 5 model kurikulum, yaitu:

1. Product or subject-centred curriculum. Dalam model ini proses pembelajaran


menitikberatkan pada transformasi informasi, pengetahuan, skill (keterampilan)
yang spesifik atau khusus, sehingga proses berpikir kritis dalam model kurikulum
ini tidak dapat diakomodasikan dengan baik.
2. Student-centred curriculum. Proses pembelajaran melibatkan secara aktif siswa
untuk menambah pengetahuannya dalam proses belajar.

11
3. Problem-based or problem-centred curriculum. Kurikulum ini terfokus pada
pengembangan kemampuan penyelesaian masa- lah (problem-solving), sehingga
siswa atau peserta didik mampu menunjukkan permasalahan yang mereka sukai
untuk dipecah- kan di lingkungan dirinya atau profesinya.
4. Integrated curriculum. Kurikulum ini menghubungkan sebuah studi dengan studi
lainnya secara terintegrasi dalam konteks yang luas.
5. Competency-based or core curriculum. Kurikulum ini terfokus pada proses
pembelajaran diarahkan supaya peserta didik mempunyai keterampilan praktis dan
kemampuan bekerja se- cara efektif dan efisien.

Gambar 1.1 Hierarki dari post-secondary outcomes

Kompetensi mempunyai makna sekumpulan kemampuan menye- luruh dari peserta didik
setelah mengikuti proses belajar mengajar, bukan hanya kemampuan secara kognitif
maupun psikomotorik, tetapi juga kernampuan untuk bersikap (attitude) dan hidup
bersama dengan masyarakat lain.

Ernest (1997) menyatakan :

"... the 'competency' is defined here as 'a statement which describes the integrated
demonstration of a cluster of related skills and attitudes that are observable and measurable
necessary to perform a job independently at a prescribed proficiency level..."

12
Kurikulum berbasis kompetensi yang merupakan perangkat dari sebuah pendidikan atau
biasa dikatakan sebagai competency based education (CBE) merupakan transformasi
proses pendidikan yang dahulu hanya menekankan kepada aspek kognitif (need to know)
yaitu kegiatan belajar lebih terfokus pada pengajar, berubah menjadi sebuah proses
pendidikan (belajar mengajar) yang tidak hanya meningkatkan aspek kognitif kepada
peserta didik, tetapi juga kemampuan untuk melakukan sesuatu (able to do) dalam situasi
yang kompleks atau riil di lingkungan setelah mereka mengikuti proses pendidikan.

Kurikulum berbasis kompetensi berorientasi kepada outcome atau kompetensi yang


berkaitan dengan kebutuhan dunia kerja yang akan dihadapi oleh peserta didik. Kurikulum
berbasis kompetensi harus menghasilkan peserta didik yang tidak hanya mempunyai kom-
petensi dalam kawasan kognitif, tetapi juga keterampilan dan sikap. Konsep kurikulum
berbasis kompetensi adalah sebuah kegiatan be- lajar-mengajar yang menekankan pada
proses bukan hasil.

1.3.2. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Pendidikan yang bermutu berdasarkan konsep UNESCO adalah pendidikan yang dapat
memberikan bekal bagi peserta didik untuk mampu berkreasi dengan skill dan
pengetahuan yang dimiliki, dan mampu bekerja sama dengan sesama dalam menjalani
kegiatan kehidupan, serta mampu beradaptasi dengan lingkungannya secara baik. Mutu
pendidikan secara utuh mencakup semua dimensi manu- sia, yaitu moral, akhlaq, pikiran,
pengetahuan, keterampilan, dan sikap-perbuatan.

Sejalan dengan kehidupan masa depan yang akan dihadapi oleh peserta didik, maka harus
selalu dilakukan perbaikan dan pengem- bangan sistem pendidikan, salah satunya melalui
pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dengan
penekanan pada proses belajar tidak akan dapat lepas dari empat pilar UNESCO.

Perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk pesatnya


kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, seni dan budaya, menuntut
adanya perbaikan sistem pendidikan, termasuk di dalamnya tentang kurikulum
pendidikan, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang mampu menyesuaikan diri

13
dengan perkembangan yang terjadi. Kurikulum tersebut harus peka dan mampu merespon
beragam perubahan dan tuntutan ma- syarakat dan dunia kerja yang selalu menginginkan
peningkatan kualitas pendidikan.

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi harus didasarkan pada sebuah kerangka


dasar, yaitu tingkat pengetahuan, keteram- pilan, tata nilai dan sikap, tidak dapat menjadi
kompetensi yang terpisah satu sama lain, semuanya harus menyatu dan melebur di dalam
semua kompetensi yang diinginkan.

Tiga pertanyaan mendasar yang harus dijadikan acuan dalam mengembangkan kurikulum
berbasis kompetensi adalah:

 Pertama, kemampuan apa yang dimiliki oleh peserta didik setelah menyelesaikan
proses kegiatan belajar atau setelah lulus? Pertanyaan ini akan menjadi landasan
utama dalam mengembangkan KBK karena jawabannya adalah tentang kom-
petensi, seperti yang akan menjadi tujuan dan sasaran pembe- lajaran.
 Kedua, apa desain instruksional atau proses pembelajaran yang dapat membantu
peserta didik mempunyai kompetensi yang diinginkan? Pertanyaan ini
berhubungan dengan kurikulum yang dipakai dalam proses belajar-mengajar.
 Ketiga, bagaimana mengetahui jika peserta didik akan menca- pai kompetensi yang
diinginkan? Pertanyaan ini akan meng- arahkan bagaimana cara mengevaluasi
kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan. Bukti yang dapat diberikan
salah satunya adalah adanya sertifikat kompetensi.

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi harus melibatkan seluruh stakeholders


yang terkait dengan proses pendidikan yang sedang dijalankan, misalnya institusi atau
lembaga pengembang kurikulum (dinas pendidikan, pusat kurikulum, dan lain-lain), guru/
dosen/pelatih, masyarakat, dewan pendidikan, praktisi (kalangan industri, instansi
pemerintah, dan lainnya).

Konsep pengembangan kurikulum berbasis kompetensi adalah ke- bersamaan


stakeholders untuk mewujudkan kompetensi yang di- inginkan dalam proses

14
pembelajaran. Kepentingan masing-masing stakeholders harus diakomodasi oleh tim
pengembang kurikulum sebagai bahan masukan.

Memelihara kualitas Merancang Kegiatan


Instruksional Instruksional

Implementasi dan strategi Menentukan persyaratan


evaluasi profesional, tujuan dan
sasaran

Konsep Pengembangan
Kurikulm Berbasis Mendifinisikan persyaratan
Kompetensi profesional (Kompetensi)

Gambar 1.2 Konsep pengembangan kurikulum berbasis kompetensi

salah satu contoh konsep pengembangan kurikulum berbasis kom- etensi adalah konsep
yang dikembangkan oleh Departemen Pendi- kan Nasional (2003).

Para praktisi yang telah berpengalaman dalam kehidupan di ma- syarakat (dari industri
atau dari sektor pekerjaan formal maupun informal) akan memberikan masukan yang
berharga, karena tujuan dari kurikulum berbasis kompetensi adalah peserta didik
mempunyai kemampuan dalam segala aspek tujuan instruksional (kognitif, skill, attitude).

Langkah yang dapat ditempuh untuk mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi


adalah:

1. Mendefinisikan persyaratan profesional yang dibutuhkan dalam kawasan


pengetahuan, keterampilan, dan sikap (kompetensi yang dibutuhkan). Informasi

15
tentang persyaratan profesional yang dibutuhkan atau tingkat kompetensi di
masyarakat dida- patkan dari masukan para stakeholders.
2. Menentukan persyaratan profesional, tujuan pembelajaran, dan sasaran yang ingin
dicapai. Peserta didik harus mengetahui kompetensi yang akan dicapai setelah
mengikuti proses belajar mengajar karena tidak semua kompetensi yang diinginkan
di masyarakat akan terpenuhi setelah mengikuti kegiatan belajar- mengajar.
3. Menerjemahkan tujuan pembelajaran dan sasaran yang ingin dicapai ke dalam
sebuah rencana pembelajaran yang tergam- barkan dalam topik-topik belajar,
metode pengajaran yang digunakan, dan sasaran penilaian.
4. Mengembangkan sebuah rencana untuk perbaikan kualitas pembelajaran.
Pengembangan ini memaksa penyelenggara pen- didikan untuk selalu mengontrol
kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan dan juga selalu mengikuti perkembangan
dan pe- ningkatan kompetensi yang diinginkan oleh masyarakat dan dunia kerja.
5. Menerapkan dalam kegiatan belajar-mengajar dan mengem- bangkan strategi
evaluasi. Fokus kegiatan belajar-mengajar yang dilangsungkan adalah pada
performa kompetensi yang akan dicapai bukan pada materi atau content.

1.3.3. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

kuririkulum berbasis kompetensi memberikan cakupan yang cukup is (holistic) tentang


kemampuan yang harus dicapai peserta didik. plementasi KBK telah memberikan sesuatu
yang bermakna bukan nya bagi peserta didik, tetapi juga untuk pengajar/pelatih. Peserta
lik dituntut untuk meningkatkan kemauan mereka dalam belajar andiri (belajar sendiri
maupun berkelompok), sedangkan bagi ngajar dituntut meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan da- n materi pembelajaran (content) dan selalu mengikuti perkem- ngan
informasi yang ada di sekitarnya, untuk dapat menfungsikan sisinya sebagai fasilitator
dengan baik. Pengajar (dosen/guru/ latih) dalam proses pembelajaran harus tetap
menggunakan ko- or bahwa pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi
enekankan pada proses bukan pada hasil. Selain itu, juga harus emfasilitasi integrasi antara

16
materi pembelajaran yang mungkin an dapat diterapkan oleh peserta didik di masyarakat
dan dunia aha.

plementasi kurikulum berbasis kompetensi memberikan pengaruh pada kegiatan yang


harus dilakukan oleh pengajar/pelatih dan serta didik, antara lain:

1. Pengajar/Pelatih, dalam kurikulum berbasis kompetensi peran guru masih cukup


besar meskipun orientasi pendidikan tidak pada teacher oriented, tetapi pada
student oriented. Pengajar/ pelatih dapat memposisikan dirinya sebagai desainer
untuk proses belajar-mengajar yang berbasis kompetensi, sebagai- mana hasil
penelitian yang dilakukan oleh Proefschrift dan Mulder (2003), yaitu:

“…The new curriculum focuses on competency-based educational principles instead of


traditional knowledge-oriented educational principles. Consequently, teachers are
required to adopt the new roles of 'coach' of the learning process and, particularly, of
'instructional designer' of study units for competency-based education (CBE). The new
role of instructional designer implies that teachers need to be able to translate
abstract principles of newly revised curriculum frameworks for CBE into concrete
learning experiences in the form of authentic tasks....

The holistic character of CBE adds a lot of complexity to the teacher's instructional
design task of integrating theory and practice through problem solving in real world
contexts and whole tasks. Also, it forces them to widen their scope from the lesson level
to the curriculum level. This means that they have to see the domain as a unified whole
and to understand the coordination and integration of its constituent skills. ..."

Peran pengejar/pelatih lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator dan motivator


bagi peserta didik, yang akan mempermudah peserta didik untuk mendapatkan
sumber informasi belajar sehingga kegiatan belajar peserta didik dapat optimal.
Pengajar/ pelatih harus senantiasa memberikan latihan dan praktik (guna
membekali kawasan kognitif dan psikomotorik/skill) kepada peserta didik. Hal ini
dilakukan karena peserta didik membutuh- kan hal tersebut..

17
Kurikulum berbasis kompetensi memberikan acuan bagi pengajar/pelatih untuk
selalu mengikuti proses belajar-mengajar hingga pengukuran hasil belajar-mengajar
(penilaian). Penilaian dalam KBK bersifat khas untuk masing-masing kompetensi.
Penilaian yang dilakukan pengajar/pelatih dilakukan, antara lain untuk grading
(membedakan kedudukan hasil kerja siswa di- bandingkan dengan siswa lain dalam
satu kelas), alat seleksi (memisahkan antara siswa yang masuk dalam kategori
tertentu dan yang tidak, atau untuk menentukan seorang siswa dapat masuk atau
tidak di sekolah tertentu), menguasai kompetensi (menentukan apakah seorang
siswa telah menguasai kompe- tensi tertentu atau belum), bimbingan (mengevaluasi
hasil belajar siswa dalam rangka membantu siswa memahami dirinya, membuat
keputusan yang harus dilakukan siswa, atau untuk menetapkan penjurusan), alat
prediksi (mendapatkan informasi yang digunakan untuk memprediksi kinerja siswa
pada pendidikan berikutnya) dan alat diagnosis (melihat kesu- litan belajar atau
dalam hal apa siswa memiliki prestasi untuk menentukan perlu remediasi atau
pengayaan). (Depdiknas, 2003.)
Pengajar/pelatih dalam proses belajar-mengajar harus senan- tiasa melakukan jenis
penilaian diagnosis, bimbingan, dan pencapaian penguasaan kompetensi, misalnya
unjuk kerja/ kinerja (performance), penugasan (proyek), hasil karya (pro- duk),
kumpulan hasil kerja siswa (portofolio), dan penilaian tertulis (paper and pencil
test). Penilaian ini bermanfaat untuk perencanaan kegiatan belajar-mengajar ke
depan dan sebagai bukti pencapaian kompetensi peserta didik.
Salah satu kegiatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan proses belajar-
mengajar adalah pengajar/pelatih dapat me- ngembangkan media ajar, misalnya
dengan membuat buku ajar atau modul ajar.
2. Peserta Didik, dalam kurikulum berbasis kompetensi pelaksa- naan kegiatan
belajar-mengajar dalam rangka memberdayakan semua potensi yang dimiliki
peserta didik, sehingga mereka akan mampu meningkatkan pemahamannya
terhadap fakta/ konsep/prinsip dalam kajian ilmu yang dipelajarinya yang akan
terlihat dalam kemampuannya untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif. Konsep ini
yang dikatakan sebagai pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik atau
18
berpusat pada aktivitas peserta didik. Setiap peserta didik mempunyai kewajiban,
hak, dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan kompe- tensi sehingga
nantinya peserta didik akan dapat menggunakan kompetensi yang dimiliki untuk
menjadi kebiasaan berpikir dan bertindak yang dilakukan secara konsisten. Hasil
penilaian yang dilakukan oleh pengajar/pelatih diberitahukan kepada peserta didik
sehingga peserta didik menggunakan hasil penilaian tersebut untuk
memperbaikinya. Peserta didik harus mengem- bangkan proses belajar dengan
belajar mandiri secara kelompok maupun individu.

1.4. Desain Instruksional

Desain instruksional atau seringkali dikatakan instructional design, mempunyai makna


kegiatan untuk merancang, membuat/ mengonstruksi sebuah kegiatan instruksional
(proses belajar- mengajar/proses pembelajaran) untuk mencapai tujuan dan sasaran yang
diinginkan oleh pendidik atau pengajar dan peserta didik. Timothy, dkk (2004)
memberikan definisi tentang desain instruk- sional:

"... Instructional design can be defined as: The development of instruction for specified goals
and objectives in which (1) the organized sequential selection of components is made on the
basis of information, data, and theoretical principles at every stage and (2) the product is
tested in real-world situations both during development and at the end of the development
process. ..."

Wiley (2000) yang mengambil beberapa definisi tentang instructional design menyatakan
bahwa:

“…Instructional design theories are design oriented, they describe methods of instruction and
the situations in which those methods should be used, the methods can be broken into simpler
component methods, and the methods are probabilistic....”

Desain instruksional harus dikembangkan berdasarkan landasan utama, yaitu tujuan dan
sasaran yang ingin dicapai melalui proses instruksional. Tujuan dan sasaran ini menjadi
penting karena tanpa adanya tujuan instruksional yang jelas, proses pembelajaran akan
19
bergerak tanpa arah dan pasti menjadi tidak efektif. Tujuan yang ditetapkan harus jelas,
terukur, dan dapat diamati sehingga akan menentukan apakah suatu proses pembelajaran
(instruksional) men- capai tujuan atau tidak.

Gambar 1.4 Taksonomi Blom,dkk

Tujuan instruksional yang dipakai sebagai panduan dan acuan ke- giatan dalam sistem
pendidikan menjelaskan tentang hal-hal yang hendak dicapai oleh sistem pendidikan
tersebut. Tujuan pendidikan dikelompokkan dalam tiga bagian kawasan tujuan
instruksional. Pertama adalah kognitif, yang berorientasi pada penambahan ke- mampuan
pengetahuan peserta didik (dalam bahasa sehari-hari kawasan kognitif ini dalam rangka
menjadikan peserta didik untuk pandai atau pintar). Kedua afektif, tujuan instruksional
dalam kawasan afektif berhubungan dengan sikap (attitude), minat, sistem nilai, dan emosi.
Ketiga adalah psikomotorik, yang berorientasi pada keterampilan yang berhubungan
dengan kemampuan memanfaat- kan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan
koordinasi anggota tubuh (dalam keseharian kawasan psikomotorik bertujuan untuk
membuat peserta didik terampil dalam sebuah kegiatan ter- tentu). Dalam teori
pembelajaran dikenal beberapa taksonomi tujuan instruksional, antara lain taksonomi
Bloom, taksonomi Merill, takso- nomi Gagne, taksonomi Gerlach dan Sullivan (untuk tujuan

20
instruk- sional dalam kawasan tujuan kognitif). Tujuan instruksional dalam kawasan
tujuan afektif dikenal taksonomi Krathwol dan taksonomi Martin dan Briggs.

Taksonomi tujuan yang paling banyak diadopsi dalam sistem pendidikan di Indonesia
adalah taksonomi tujuan Bloom, yang membagi kawasan pengetahuan intelektual mulai
dari yang se- derhana (pengetahuan) sampai pada kawasan pengetahuan intelek- tual yang
kompleks (evaluasi). Gambar 1.4 menunjukkan kategori- kategori kawasan pengetahuan
intelektual beserta beberapa kata kerja yang dapat ditulis dalam tujuan instruksional.

Tujuan instruksional menurut Gagne, terdapat lima kelompok kategori kompetensi, yaitu
informasi verbal (menya- takan tujuan yang berhubungan dengan kemampuan untuk
menyim- pan informasi yang telah didapatkan), keterampilan intelektual (me- nyatakan
tujuan untuk kemampuan menggunakan simbol untuk berinteraksi, yang dimulai dari
menghubungkan respon sampai dengan kemampuan memecahkan masalah), strategi
kognitif (menyatakan tujuan untuk kemampuan berpikir, mengingat, dan belajar), motor
skills (menyatakan tujuan untuk kemampuan mela- kukan gerakan anggota tubuh), dan
terakhir attitude (menyatakan tujuan bagi peserta didik untuk memiliki sikap dan mental
yang diinginkan).

1.4.1. Prinsip dan Proses Desain Instruksional

Kegiatan instruksional sebelum diimplementasikan harus dilakukan desain instruksional


terlebih dahulu. Dengan tujuan, pertama untuk mengidentifikasi outcomes dari sebuah
proses pembelajaran yang ingin dilakukan (mengidentifikasi kompetensi). Kedua, untuk
mem- berikan arah bagi pengembangan materi atau content pembelajaran (memberikan
batasan dan urutan materi yang sesuai dengan out- comes yang ingin dicapai). Dan ketiga,
untuk menentukan bagai- mana kegiatan instruksional dapat berlangsung dengan efektif.

Desain instruksional dimulai dari analisis dilanjutkan dengan desain, kemudian


pengembangan, implementasi, dan terakhir adalah eva- luasi. Semua rangkaian adalah
tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya.

21
Analisis dilakukan secara menyeluruh baik tentang analisis instruk- sional yang digunakan,
juga analisis tentang kompetensi apakah yang akan didapat oleh peserta didik setelah
mereka menyelesaikan atau mengikuti proses kegiatan belajar-mengajar.

berbasis kompetensi, tahap analisis adalah tahap yang menentukan karena pada tahap ini
ditentukan kompetensi yang akan dimiliki oleh peserta didik. Kompetensi yang dihasilkan
dalam proses pendidikan tersebut dapat dibagi menjadi kompetensi utama dan kompetensi
pendukung.

Berangkat dari hasil analisis yang telah dilakukan, langkah selanjut- nya adalah
menentukan tujuan instruksional. Tujuan instruksional memuat tentang kompetensi yang
akan dimiliki oleh peserta didik. Kemudian untuk mewujudkan tujuan yang telah
ditetapkan tersebut dirancang sebuah strategi instruksional dan media instruksional yang
nanti akan diimplementasikan. Desain strategi instruksional mengacu pada tingkat
kompetensi yang menjadi tujuan, dan harus diupayakan untuk menggunakan sarana dan
prasarana yang ada secara mak- simal. Strategi instruksional harus menitikberatkan proses
belajar- mengajar yang berorientasi kepada peserta didik (student oriented).

Desain yang telah dibuat kemudian dikembangkan menjadi sebuah rancangan kegiatan
belajar-mengajar yang lebih detail. Desain yang dibuat dapat dikatakan sebagai blue print
dari kegiatan insruksional secara keseluruhan. Implementasi yang dilakukan harus
bersandar pada pengembangan desain instruksional. Proses belajar-mengajar dilakukan
secara aktif dan interaktif.

Evaluasi adalah proses untuk mendapatkan umpan balik atas segala kegiatan belajar-
mengajar yang telah dilakukan. Dengan evaluasi akan diperoleh jawaban apakah kegiatan
belajar-mengajar telah me- nyelesaikan masalah yang diidentifikasi ketika proses analisis.
Atau dapat diartikan juga, apakah proses belajar-mengajar tersebut mam- pu menghasilkan
peserta didik dengan tingkat kompetensi yang di- inginkan.

Evaluasi adalah mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpre- tasikan informasi


mengenai setiap aspek dari program pendidikan yang sedang dijalankan sebagai bagian
dari sebuah proses penge- nalan untuk memutuskan apakah kegiatan belajar-mengajar

22
yang dilakukan berjalan dengan efektif, efisien, atau outcomes sesuai dengan yang
diinginkan.

Analisis dilakukan secara menyeluruh baik tentang analisis instruk- sional yang digunakan,
juga analisis tentang kompetensi apakah yang akan didapat oleh peserta didik setelah
mereka menyelesaikan atau mengikuti proses kegiatan belajar-mengajar. Dalam kurikulum

Hasil evaluasi akan digunakan sebagai bahan masukan untuk meng- analisis kegiatan
belajar-mengajar sehingga pada akhirnya proses belajar-mengajar akan menjadi lebih
efisien, baik dari sisi biaya maupun waktu, dan dapat dihasilkan peserta didik dengan
tingkat kompetensi yang diinginkan, terutama bagaimana peserta didik mampu untuk
beradaptasi dengan lingkungan menggunakan modal kompetensi yang dimilikinya setelah
mengikuti proses pendidikan.

1.4.2. Metode Instruksional

Metode instruksional adalah metode yang digunakan oleh pendidik atau pengajar
(guru/dosen/pelatih) dalam membuat suasana belajar, di mana di dalamnya terdapat
aktivitas yang melibatkan pengajar dan peserta didik dalam proses belajar-mengajar untuk
mencapai sasaran yang diinginkan. Atwi (1993) menyatakan bahwa metode instruksional
adalah cara menyajikan isi perkuliahan kepada maha- siswa untuk mencapai tujuan
instruksional tertentu.

Sebuah strategi instruksional dalam pelaksanaannya dapat meng- gunakan lebih dari satu
metode instruksional. Seperti pada Gambar 1.8 di mana terdapat banyak sekali metode
instruksional yang dapat dipakai di strategi instruksional. Ada berbagai metode
instruksional yang dapat dipakai dalam kegiatan belajar-mengajar, antara lain metode
ceramah, diskusi, demonstrasi, simulasi, role playing, dan sebagainya.

Dalam kerangka instruksional terdapat saling keterkaitan antara instructional skill,


instructional methods, instructional strategies dan instructional models.

Instructional models menunjukkan tingkat keluasan dari penggunaan pembelajaran dan


adanya orientasi filosofis dari belajar (instruction).

23
Menurut Joyce dan Weil (1986), pada Gambar 1.7 mengidentifikasi terdapat empat model
instruksional, yaitu information processing, behaviourial, social interaction, dan personal.
Dalam setiap model instruksional tersebut dapat digunakan beberapa strategi instruk-
sional, yaitu direct, indirect, experimental, interactive, dan inde- pendent study. Strategi
yang digunakan dalam proses belajar- mengajar harus dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan instruk- sional. Setiap strategi instruksional yang digunakan dapat terdiri atas
berbagai metode instruksional atau instructional methods yang membutuhkan instruction
skill. (Joyce dan Weil, 1986.)

Sebuah strategi instruksional dalam pelaksanaannya dapat meng- gunakan lebih dari satu
metode instruksional. Seperti pada Gambar 1.8 di mana terdapat banyak sekali metode
instruksional yang dapat dipakai di strategi instruksional. Ada berbagai metode
instruksional yang dapat dipakai dalam kegiatan belajar-mengajar, antara lain metode
ceramah, diskusi, demonstrasi, simulasi, role playing, dan sebagainya.

Perkembangan teknologi dalam segala bidang terutama dalam bidang informasi dan
komunikasi, memaksa para pendidik untuk memberikan porsi besar bagi peserta didik
untuk belajar secara mandiri. Strategi yang lebih cocok adalah strategi independent study.
Strategi tersebut dapat menggunakan berbagai metode instruksional, antara lain computer
assisted instruction, learning activity package, correspondence lesson, dan lainnya.

Dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), peng- ajar diharapkan lebih
banyak berperan sebagai fasilitator dalam me- nambah pengetahuan peserta didik. Metode
ceramah yang selama ini dikembangkan dan dilakukan, meskipun mempunyai beberapa
kelebihan antara lain informasi lebih cepat dan lebih banyak yang akan tersampaikan
kepada peserta didik, namun mempunyai keku- rangan, yaitu masih lebih banyak
memberikan porsi bagi pendidik/ pelatih dalam memberikan materi atau sebagai sumber
informasi utama. Hal ini akhirnya akan membuat proses belajar-mengajar yang sangat
tergantung pada kemampuan pendidik/pelatih (guru, dosen, dan lain-lain) dalam
meningkatkan pengetahuan dan kete- rampilannya. Sebuah beban yang begitu berat bagi
seorang pendidik seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ber-
kembang hampir di semua bidang keilmuan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka strategi

24
yang diambil adalah strategi independent study, yaitu proses belajar-mengajar yang
menekankan kepada peserta didik untuk mau dan mampu belajar mandiri. Salah satu
metode yang dapat digunakan adalah computer assisted instruction, yaitu pembelajaran
yang didukung adanya komputer.

Secara umum, definsi dari computer assisted instruction (CAI), yaitu informasi berupa
tulisan atau visual yang ditransformasikan kepada peserta didik dalam urutan logika
melalui komputer. Metode ini dapat dilakukan dan digabungkan dengan perangkat
multimedia, seperti adanya CD-ROMS dan teknologi baru lainnya.

1.4.3. Media Instruksional

Media berasal dari bahasa latin, yaitu "medium" yang artinya peran- ara (between), yang
bermakna apa saja yang dapat menyalurkan nformasi dari sumber informasi ke penerima
informasi. Media menjadi salah satu komponen dari empat komponen yang harus ada
dalam suatu proses komunikasi, yaitu pemberi informasi atau sum- ber informasi,
informasi itu sendiri, penerima informasi dan media. Dalam proses komunikasi, konsep
sumber informasi dan penerima informasi adalah bersifat relatif, artinya bahwa seseorang
dapat berperan sebagai sumber informasi, tetapi di saat yang lain (dapat juga pada saat
yang sama) berperan sebagai penerima informasi. Proses komunikasi juga seringkali
ditemui hanya dalam satu arah saja, yaitu seseorang (bisa sebuah benda) hanya menjadi
sumber informasi saja atau berperan sebagai penerima informasi saja.

Konsep komunikasi dalam dunia pendidikan, sebagai sumber infor- masi adalah guru,
dosen, pelatih, buku bacaan, modul dan lainnya. Penerima informasi misalnya siswa,
mahasiswa, (dapat juga guru, dosen, pelatih), atau orang lain. Satu komponen lain yang ikut
me- lengkapi proses komunikasi dalam pembelajaran adalah metode instruksional atau
metode pembelajaran. Metode Pembelajaran me- rupakan sebuah prosedur yang dirancang
untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.

Media informasi dalam dunia pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh Trini dan Prasetya
(2001) yang mengutip pernyataan Schramm bahwa media merupakan teknologi pembawa
pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran atau dinya-

25
takan oleh Briggs bahwa media adalah sarana fisik untuk menyam- paikan isi/materi
pembelajaran.

Terdapat berbagai macam media pembelajaran, antara lain televisi, radio, film, video, foto,
poster, OHP/OHT, papan tulis, buku bacaan, modul ajar, ineternet, dan lainnya. Adanya
media pembelajaran akan memungkinkan proses interaksi antara pendidik/pelatih dengan
pe- serta didik dapat berjalan dengan lancar.

Manfaat media dalam proses pembelajaran adalah:

 Proses pembelajaran dapat terjadi dalam dua arah dan menjadi lebih interaktif.
 Proses belajar-mengajar menjadi lebih efisien.
 Proses pembelajaran menjadi lebih menarik. Diharapkan deng- an adanya media
pembelajaran, kualitas belajar peserta didik lebih meningkat.
 Tempat berlangsungnya proses pembelajaran dapat terjadi di mana saja dan kapan
saja.
 Peran pendidik (guru/pelatih/tutor) dapat lebih berfungsi seba- gai fasilitator.

1.4.4. Macam-Macam Media Instruksional dan Pemilihannya

Ada berbagai macam media instruksional yang dapat dikategorikan dalam berbagai bagian,
antara lain berdasarkan bentuknya, yaitu suara, media bentuk visual, dan media gerak.
Kategori lainnya berdasarkan dari audiens-nya (peserta didik), yaitu media untuk audiens
besar (digunakan televisi, radio), dan media untuk audiens kecil (misalnya papan tulis,
poster, dan lainnya). Media ajar yang berbeda akan memberikan pengalaman yang berbeda
bagi peserta didik sebagaimana dinyatakan oleh Wager (2002):

"... Different types of educational experiences exist - from hands-on apprenticeships to


roleplaying, from demonstrations to reading printed text. Some educators believe that
different experiences are more or less effective for achieving different types of instructional
outcomes. For example, text with pictures is not as effective as live demonstrations for

26
teaching motor skills. Instructors who are considering the use of media should ask themselves,
"How do I expect the media or type of learning activity to make learning more effective?..."

Pengalaman yang diperoleh peserta didik akan berbeda ketika di- gunakan media
instruksional yang berbeda, sebagaimana diung- kapkan oleh Wagner dari pernyataan
Edgar Dale's "Cone of Expe- rience" (1969).

Kerucut Dale's menunjukkan tingkat pengalaman yang diterima oleh peserta didik, di mana
media berbentuk teks mempunyai Degree of Abstraction yang tinggi karena peserta didik
harus memahami dan mengerti tentang materi yang diberikan dalam bentuk teks tersebut.
Degree of Abstraction semakin menurun dengan peningkatan penga- laman yang diterima
peserta didik, misalnya kalau media instruk- sional hanya berbentuk teks tidak mampu
memberikan pengalaman yang berlebih dari panca indera selain mata, tetapi dengan media
yang lebih kompleks misalnya simulasi - role play akan memberikan pengalaman yang
lebih banyak karena banyak anggota tubuh (termasuk panca indra) yang terlibat, mulai
dari mata (melihat), telinga (mendengar), dan seterusnya. Semakin banyak anggota tubuh
yang terlibat dalam proses pembelajaran, maka tingkat kom- petensi yang didapatkan oleh
peserta didik juga semakin banyak, antara lain kognitif, keterampilan, dan sikap.

Media cukup penting dalam proses belajar-mengajar karena media akan dapat digunakan
untuk mendukung aktivitas instruksional, antara lain media dapat meningkatkan perhatian
peserta didik pada content yang sedang diberikan sehingga pengalaman/kesan/ memory
akan lebih banyak. Media membantu peserta didik meng- ingat kembali apa yang telah
dipelajari sebelumnya. Media dapat menghadirkan new content (video, movie, dan lain-
lain). Media dapat mendukung pembelajaran melalui elaborasi visual.

Pemilihan media adalah salah satu tahap dalam desain instruksional. Kelebihan dan
kekurangan media instruksional harus menjadi per- hatian dalam memilih media yang
sesuai dengan kegiatan instruk- sional bertumpu pada karakteristik peserta didik, apa yang
diingin- kan oleh peserta didik, dan bagaimana mengajarkannya. Beberapa hal yang
menjadi panduan untuk memilih media dalam kurikulum berbasis kompetensi adalah:

27
 Apakah media instruksional tersebut mendukung untuk penca- paian sasaran
kegiatan belajar-mengajar (dengan kalimat lain,
 Hapakah media instruksional yang dipilih akan mendukung pe- serta didik untuk
memperoleh kompetensi yang diinginkan)? Apakah media instruksional tersebut
berkualitas dalam hal kebaruan?
 Apakah media instruksional tersebut akan memberikan nilai akademik atau nilai
sosial?
 Apakah media instruksional tersebut dapat memotivasi peserta didik dan pengajar
untuk meningkatkan kemampuan dan nilai dalam sikap, perilaku, tanggung jawab,
hak dan kewajiban di lingkungan masyarakat yang majemuk?
 Apakah media instruksional tersebut cukup mahal jika diimple- mentasikan?

Dalam setiap kegiatan belajar-mengajar tidak harus menggunakan satu media, tetapi akan
lebih memberikan dukungan yang lebih banyak dalam kegiatan instruksional jika
digunakan lebih banyak media, disesuaikan dengan sasaran dan materi yang disampaikan.
Kemajuan teknologi elektronik memberikan peluang dan pilihan untuk menggunakan
media yang lebih kompleks (multimedia).

1.4.5. Media Ajar Multimedia

Salah satu yang mendukung pengembangan kurikulum berbasis kompetensi adalah adanya
media ajar multimedia. Teknologi multi- media telah berkembang pesat saat ini hingga
nanti di masa depan, seiring dengan perkembangan teknologi komputer. Menurut Najjar
(1996), multimedia adalah penyampaian informasi menggunakan gabungan dari teks,
grafik, suara, video, animasi. Secara lengkap dinyatakan:

"... Multimedia is the use of text, graphics, animation, pictures, video, and sound to present
information. Since these media can now be integrated using a computer, there has been a
virtual explosion of computer based multimedia instructional applications..... These very
diverse applications seem to share a common assumption-multimedia information helps
people learn. ..."

28
Reddi dan Mishra (2003) mendefinisikan multimedia sebagai berikut:

... Multimedia. is a term frequently heard and discussed among ducational technologists
today. Unless clearly defined, the term can Iternately mean a judicious mix of various mass
media such as forint, audio and video. or it may mean the development of computer- ased
hardware and software packages produced on a mass scale nd yet allow individualized use
and learning. In essence, ultimedia merges multiple levels of learning into an e ucational tool
hat allows for diversity in curricula presentation...."

ada bagian lain dinyatakan:

Today's multimedia is a carefully woven combination of text, raphic art, sound, animation,
and video elements. When you allow n end user, i.e. the viewer of a multimedia project, to
control 'what' nd 'when' and 'how' of the elements that are delivered and resented, it becomes
interactive multimedia.

s such multimedia can be defined as an integration of multiple edia elements (audio, video,
graphics, text, animation etc.) into one Inergetic and symbiotic whole that results in more
benefits for the nd user than any one of the media element can provide individually.

penelitian yang dilakukan Najjar (1996) menyatakan bahwa pem- lajaran menggunakan
multimedia dapat membantu proses belajar serta didik. Secara garis besar, Najjar
menghasilkan sebuah ke- npulan:

.. multimedia information helps people learn sometimes. Computer- ised multimedia


instruction may help people to learn more formation in less time than traditional classroom
lectures. This is Decially the case when the computer-based multimedia instruction interactive
and learner paced. The learning advantage for dundant multimedia over "monomedia" is not
consistent. But this consistency is resolved when one takes into consideration the ecific
circumstances in which the media are presented. In rticular, there is empirical support for
concluding that multimedia ormation is most effective when:

 It encourages the dual coding of information.

29
 The media clearly support one another.

Media ajar yang selama ini sering digunakan adalah berupa buku ajar, modul ajar, OHP,
papan tulis, dan lainnya. Media ajar yang berupa buku atau modul ajar akan lebih
memberikan nilai tambah apabila digabungkan dengan media ajar multimedia, misalnya
me- lengkapi buku atau modul ajar dengan CD (maka buku tersebut dapat dikatakan buku
atau modul ajar multimedia). Gabungan media buku dan multimedia akan meningkatkan
motivasi peserta didik untuk belajar mandiri karena kelemahan-kelemahan media ajar
berupa buku ajar dapat dieleminir dengan adanya multimedia. Kelemahan-kelemahan yang
dapat dieleminir, antara lain dalam buku ajar tidak mampu untuk menampilkan gambar
bergerak (video, film, dan lainnya), tidak dapat berinteraksi langsung dengan sumber
informasi lain (misalkan internet).

Selain bagi peserta didik, buku ajar berbasiskan multimedia juga dapat meningkatkan
peran pendidik/pengajar sebagai fasilitator di mana dalam media berbasiskan multimedia
tersebut, materi pem- belajaran semakin banyak yang dapat diberikan kepada peserta
didik (hal ini dapat menjadikan proses belajar-mengajar menjadi lebih efektif). Multimedia
juga mampu memberikan gambaran dan visua- lisasi materi-materi yang membutuhkan
pemahaman visual yang lebih banyak, atau dapat menggantikan pemahaman yang berhu-
bungan dengan materi pembelajaran dengan bahan-bahan berba- haya, misalnya dengan
memberikan simulasi-simulasi, menampilkan kegiatan laboratorium atau eksperimen
dalam sebuah film atau videodisk.

30

Anda mungkin juga menyukai