Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KAJIAN EMPIRIK TENTANG HUBUNGAN ANTARA MINAT DAN


GAYA BELAJAR SISWA DENGAN MULTIPLE INTELLIGENCES
DOMINAN YANG DIMILIKI SISWA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kajian Pedagogik
Dosen Pengampu:
1. Irma Rahma Suwarma, S.Si., M.Pd., Ph.D.
2. Dr. Parsaoran Siahaan, M.Pd.

Disusun oleh
Siti Zaenab (2211388)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2023
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………..
……………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah
…………………………………………………….. 3
C. Tujuan
………………………………………………………………… 3
D. Manfaat ……………………………………………………………… 4
BAB II LANDASAN TEORI
A. Minat Belajar ………………………………………………………… 5
B. Gaya Belajar ………………………………………………………….. 6
1. Pengertian Gaya Belajar ………………………………………….. 6
2. Jenis-jenis Gaya Belajar
…………………………………………... 7
C. Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) ………………………. 8
1. Teori Kecerdasan ………………………………………………… 8
2. Pengertian Kecerdasan Majemuk ………………………………… 9
3. Jenis-jenis Kecerdasan Majemuk ………………………………… 10
BAB III TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Minat Belajar Siswa terhadap Mata Pelajaran Fisika
……….. 17
B. Hubungan antara Gaya Belajar dan Multiple Intelligences
…………… 18
C. Penerapan Multiple Intelligences dalam Pembelajaran Fisika untuk
Meningkatkan Minat Belajar Siswa
…………………………………... 19
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ……………………………………………………………... 23
B. Saran ………………………………………………………………….. 23
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 25
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abad ke-21 menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Usman
dkk. (2021) menyatakan bahwa guru merupakan tumpuan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan di abad ke-21. Pendidikan tentunya tidak
terlepas dari proses pembelajaran, dimana terjadi interaksi antara peserta didik
dan guru sebagai pendidik. Menurut Hall (2016), interaksi merupakan
hubungan timbal balik (feedback) antara satu individu dengan individu lain
yang saling bertukar percakapan dan terjadi di dalam masyarakat. Dalam
proses pembelajaran, interaksi terjadi antara guru dan siswa. Interaksi antara
guru dan siswa akan meningkatkan dan mempengaruhi hasil belajar siswa.
Pane dan Dasopang (2017) menyatakan bahwa keberhasilan proses
pembelajaran pada umumnya dilihat dari hasil belajar yang dicapai siswa.
Permasalahan yang sering dihadapi dalam proses pembelajaran adalah
rendahnya hasil belajar yang diperoleh siswa.
Tinggi rendahnya hasil belajar dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: 1) faktor internal (faktor yang berasal dari dalam diri individu),
dan 2) faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri individu). Faktor
internal yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah kecerdasan, minat,
bakat, kesehatan fisik, motivasi, dan gaya belajar. Lingkungan keluarga,
masyarakat, dan sekolah merupakan faktor eksternal yang berpengaruh
(Taiyeb et al., 2015). Dalam kajian makalah ini lebih difokuskan pada
pembahasan faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yakni
meliputi kecerdasan, minat dan gaya belajar.
Berdasarkan hasil studi literatur dari beberapa penelitian di lapangan,
didapatkan data bahwa mata pelajaran fisika masih sering dianggap sulit dan
sangat membingungkan bagi siswa. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi
hasil belajar siswa. Menurut Husna, dkk. (2022) dalam temuannya di lapangan
menyebutkan bahwa fisika masih sering diajarkan kepada siswa dengan
metode membayangkan sebuah kejadian tanpa metode learning by doing

1
(belajar dengan melakukan sesuatu). Seharusnya fisika dikenalkan dengan
cara yang menarik, agar mampu menarik minat siswa untuk mempelajarinya.
Salah satu yang mendorong siswa dalam keberhasilan belajar adalah minat
belajar, hal ini dikarenakan terdapat hubungan yang positif antara hasil belajar
dan minat belajar (Sirait, 2016). Hasil penelitian Husna, dkk. (2022) di salah
satu sekolah SMA di kota Merangin menunjukkan bahwa siswa di sekolah
tersebut memiliki kategori minat yang rendah pada mata pelajaran Fisika,
yaitu sebanyak 55,7%. Rendahnya minat belajar siswa terhadap fisika
menjadikan rendahnya hasil belajar fisika di sekolah tersebut.
Dalam pembelajaran di kelas, setiap mata pelajaran memiliki tingkat
kesulitan yang berbeda-beda bagi siswa, termasuk Fisika. Oleh karena itu,
siswa harus dapat memperoleh, mengolah, dan memanfaatkan pengetahuan
tersebut secara proporsional. Kemampuan memperoleh, mengolah, dan
memanfaatkan tersebut dapat siswa kembangkan dengan cara menggali
kecerdasan yang dominan dalam dirinya sehingga ditemukan gaya belajar
yang sesuai. Gaya belajar menentukan peran penting dalam menentukan
tingkat pencapaian siswa (Garret, 1986). Gaya belajar yang tidak sesuai akan
menyebabkan kurangnya minat dan motivasi siswa dalam belajar (Kreuze &
Payne, 1989).
Data hasil observasi yang dilakukan Mulyani, dkk. (2021) menyebutkan
bahwa gaya belajar siswa yang sesuai dengan kecerdasan dominan yang
dimiliki dapat mempengaruhi minat belajar. Hal ini dikarenakan metode
pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar siswa dalam kelas yang
heterogen membuat siswa tidak tertarik untuk mengikuti pembelajaran yang
sedang berlangsung. Hanya sebagian kecil siswa yang memiliki minat belajar
yang tinggi dan sesuai dengan gaya belajarnya yang terlihat aktif dalam proses
pembelajaran.
Terkait penjelasan di atas mengenai gaya belajar yang sesuai dengan
kecerdasan dominan yang dimiliki, Gardner dalam Rofiah (2016) menyatakan
bahwa kecerdasan tidak hanya dapat dinilai dari tes akademik atau tes IQ saja,
tetapi kecerdasan adalah tentang kemampuan seseorang dalam mencari solusi
atau memecahkan suatu masalah. Setiap individu memiliki jenis kecerdasan

2
yang berbeda-beda selain yang dapat dinilai dari akademik saja (Huda, 2017).
Dengan demikian, Gardner hadir dengan teori kecerdasan majemuknya yang
mampu melakukan redefinisi kecerdasan yang sebelumnya lebih cenderung
diartikan secara sempit.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dibuat sebuah kerangka berpikir bahwa
rendahnya hasil belajar fisika dapat diakibatkan salah satunya karena
rendahnya minat belajar siswa terhadap fisika. Selanjutnya untuk
meningkatkan minat belajar siswa, harus dapat memberikan pembelajaran
dengan gaya belajar yang sesuai dengan kecerdasan dominan siswa. Dalam
penulisan makalah ini, kecerdasan dominan siswa mengacu pada teori
kecerdasan majemuk Howard Gardner. Dengan dasar pemikiran tersebut,
maka penulis tertarik mengkaji lebih mendalam mengenai hubungan antara
minat dan gaya belajar dengan teori kecerdasan majemuk Howard Gardner
pada penulisan makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana hasil temuan di lapangan terkait analisis minat belajar siswa
terhadap mata pelajaran fisika?
2. Bagaimana hubungan antara gaya belajar dan Multiple Intelligences?
3. Bagaimana penerapan Multiple Intelligences dalam pembelajaran fisika
untuk meningkatkan minat belajar siswa?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menguraikan kajian empirik mengenai hasil temuan di lapangan terkait
analisis minat belajar siswa terhadap mata pelajaran fisika.
2. Menguraikan kajian empirik mengenai hubungan antara gaya belajar dan
Multiple Intelligences.

3
3. Menguraikan kajian empirik mengenai penerapan Multiple Intelligences
dalam pembelajaran fisika untuk meningkatkan minat belajar siswa.

D. Manfaat
Setiap tulisan tentunya diharapkan memiliki manfaat baik bagi penulis
maupun bagi pembaca secara umum. Begitu pula dengan makalah sederhana
ini. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan tambahan wawasan
pengetahuan yang bisa dijadikan dasar atau landasan ilmu pedagogik bagi
seorang calon pendidik atau pendidik, wawasan yang dimaksud terkait dengan
pemahaman terhadap teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) dan
penerapannya agar dapat meningkatkan minat belajar siswa dengan
memberikan pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar berdasarkan
kecerdasan dominan yang dimiliki.

4
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Minat Belajar
Menurut Djaali (2008) “minat pada dasarnya adalah penerimaan akan
suatu hubungan diri sendiri dengan sesuatu diluar diri. Semakin kuat atau
dekat hubungan tersebut maka akan semakin besar minatnya”. Adanya
hubungan seseorang dengan sesuatu diluar dirinya, dapat menimbulkan rasa
ketertarikan, sehingga tercipta adanya penerimaan. Dekat maupun tidak
hubungan tersebut akan mempengaruhi besar kecilnya minat yang ada.
Menurut Hurlock (1989) “minat diartikan sebagai sumber motivasi yang akan
mengarahkan seseorang terhadap apa yang akan mereka lakukan apabila
diberi kebebasan untuk memilihnya bila mereka melihat sesuatu yang
memiliki arti bagi dirinya”. Menurut Hamdi (2015) “Proses pembelajaran
dengan mudah diarahkan berpusat pada siswa untuk meningkatkan motivasi,
minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar”.
Menurut Djamarah dalam Sari (2018) minat adalah kecenderungan yang
menetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas. Seseorang
yang berminat terhadap suatu aktivitas akan memperhatikan aktivitas itu
secara konsisten dengan rasa senang. Hal ini dipertegas oleh pendapat Slameto
(2003) bahwa minat adalah rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu
hal, tanpa ada yang perintah atau paksaan dari luar. Seseorang yang menaruh
minat pada suatu bidang tertentu akan lebih mudah mempelajari bidang
tersebut. Sejalan dengan pendapat Syah (2010) bahwa minat adalah
kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap
sesuatu. Adanya minat dan kemauan sangat mempengaruhi corak perbuatan
yang akan diperlihatkan oleh seseorang. Jika seseorang tidak memiliki minat,
kemauan, atau kehendak maka ia tidak akan bisa mengikuti proses belajar
dengan baik. Peserta didik yang menaruh minat pada mata pelajaran tertentu

5
akan lebih mudah mempelajarinya, karena adanya perasaan senang dan penuh
perhatian.
Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa minat
adalah suatu perhatian yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu dan disertai
dengan keinginan untuk mengetahui dan mempelajari maupun membuktikan
lebih lanjut dengan apa yang menjadi perhatiannya. Titik awal untuk
keberhasilan dalam mengajar adalah dengan membangkitkan minat belajar
siswa karena rangsangan. Rangsangan tersebut membawa pada perasaan
senang siswa terhadap pelajaran dan membangkitkan semangat untuk belajar.
Jika minat siswa dibangkitkan maka seluruh perhatian dipusatkan pada mata
pelajaran yang akan dipelajarinya.
Untuk mengetahui apakah siswa berminat dalam belajar, dapat dilihat dari
beberapa indikator mengenai minat belajar. Indikator ini disusun berdasarkan
aspek minat siswa. Aspek minat siswa yang dimaksud adalah kesukaan,
ketertarikan, perhatian, dan keterlibatan. Berdasarkan aspek tersebut, Rasyid
dalam Hamdi (2019) merumuskan indikator tentang minat belajar siswa
sebagai berikut: (1) Tertarik pada pelajaran, (2) Tertarik pada guru, (3)
Keberhasilan dalam belajar, (4) Menemukan manfaat dalam proses belajar, (5)
Mempunyai inisatif untuk belajar, (6) Konsentrasi dalam belajar, (7) Kemauan
dalam belajar, (8) Ada tujuan yang ingin dicapai.

B. Gaya Belajar
1. Pengertian Gaya Belajar
Gaya belajar terdiri dari kata gaya dan belajar. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, gaya adalah tingkah laku, gerak-gerik dan sikap.
Sedangkan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya
(Slameto, 2010).
Tiap individu memiliki kekhasan sejak lahir dan diperkaya melalui
pengalaman hidup, yang pasti semua orang belajar melalui alat inderawi, baik
penglihatan, pendengaran, dan kinestetik (sentuhan/gerakan). Setiap orang

6
memiliki kekuatan belajar atau gaya belajar. Jika seseorang semakin mengenal
baik gaya belajar yang dimiliki maka akan semakin mudah dan lebih percaya
diri dalam menguasai keterampilan dan konsep-konsep dalam kehidupan.
Pengetahuan tentang gaya belajar siswa sangat penting untuk diketahui
guru, orang tua, dan siswa itu sendiri, karena pengetahuan tentang gaya belajar
ini dapat digunakan untuk membantu memaksimalkan proses pembelajaran
agar hasil pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan tujuan yang diharapkan
(Gunawan, 2003).
Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah
pasti beda tingkatannya. Ada yang cepat, ada yang sedang, dan ada pula yang
sangat lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara yang
berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama
(Hamzah, 2006).
Gaya belajar yang dimaksud dalam penulisan makalah ini adalah cara
yang digunakan oleh siswa dalam menyerap informasi atau materi pelajaran
berdasarkan pendekatan preferensi sensori. Yaitu gaya belajar yang dilakukan
dengan cara memasukkan informasi ke dalam otak melalui modalitas indera
yang dimiliki.
2. Jenis-jenis Gaya Belajar
Setiap siswa memiliki karakteristik gaya belajar masing-masing. Tipe
dalam gaya belajar (Hamzah, 2006) yaitu Visual, Auditori dan Kinestetik.
Dalam kenyataannya, setiap orang memiliki ketiga gaya belajar tersebut,
tetapi kebanyakan orang cenderung hanya menggunakan salah satu dari ketiga
gaya tersebut yang lebih mendominasi.
1) Gaya Belajar Visual
Anak dengan gaya belajar ini lebih mudah menangkap pembelajaran lewat
materi bergambar. Anak visual biasannya harus melihat dulu buktinya
baru dapat mempercayainya. Selain itu, kebanyakan guru dan orang tua
lebih menyayangi anak visual karena ia selalu mengikuti dan melihat guru
saat memberikan penjelasan. Cara tersebut membuat guru merasa bahwa
anak ini memerhatikan penjelasannya karena memang cara belajarnya
harus dilakukan dengan cara melihat gambar atau ada kontak

7
mata dengan hal yang dipelajari.
2) Gaya Belajar Auditori
Gaya belajar auditori adalah gaya belajar yang mengandalkan pada
pendengaran untuk bisa memahami dan mengingatnya. Karakteristik
model belajar seperti ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai
alat utama menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, kita harus
mendengar, baru kemudian bisa mengingat dan memahami informasi
tersebut. Karakter pertama orang yang memiliki gaya belajar ini adalah
semua informasi hanya bisa diserap melalui pendengaran. Kedua,
memiliki kesulitan untuk menyerpa informasi dalam bentuk tulisan
langsung. Ketiga, memiliki kesulitan menulis maupun membaca.
3) Gaya Belajar Kinestetik
Orang yang bergaya belajar kinestetik lebih dekat dengan ciri seperti saat
berpikir lebih baik ketika bergerak atau berjalan, lebih menggerakan
anggota tubuh ketika bicara dan merasa sulit untuk duduk diam.
Umumnya orang bergaya belajar kinestetik dalam menyerap informasi
menerapkan strategi fisikal dan ekspresi yang berciri fisik. Siswa yang
mempunyai gaya belajar kinestetik cara membaca dan mendengarkannya
salahsatu kegiatan yang membosankan. Memberi instruksi yang diberikan
secara tertulis maupun lisan seringkali mudah dilupakan, karena mereka
cenderung lebih memahami tugasnya jika mereka mencobanya secara
langsung.

C. Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)


1. Teori Kecerdasan
Apabila berbicara tentang kecerdasan (intelligence), tentu pertama kali
yang terlintas di benak kita tidak akan jauh dari anggapan tentang
kemampuan kognisi seseorang. Kecerdasan atau intelegensi memang
sering didefinisikan sebagai kemampuan memahami sesuatu dan
kemampuan berpendapat, yang artinya semakin cerdas seseorang maka
semakin cepat ia memahami suatu permasalahan dan semakin cepat pula
mengambil langkah penyelesaian terhadap permasalahan tersebut

8
(Mustaqim, 2004). Dalam hal ini, kecerdasan dipahami sebagai
kemampuan intelektual yang lebih menekankan logika dalam
memecahkan masalah. Piaget dalam Uno Hamzah (2008) mendefinisikan
kecerdasan sebagai suatu tindakan yang menyebabkan terjadinya
perhitungan atas kondisi-kondisi yang secara optimal bagi organisme
dapat hidup berhubungan dengan lingkungan secara efektif. C.P. Chaplin
dalam Imas Kurniasih (2010) memberikan pengertian kecerdasan sebagai
kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru
secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk dalam
Indrastuti, dkk. (2016) mengemukakan bahwa menurut teori lama,
kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu: (1) kemampuan untuk belajar,
(2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh, dan (3) kemampuan untuk
beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, dapat diambil point penting dari
kecerdasan, yaitu kemampuan untuk menguasai kemampuan tertentu.
Jika ditelusuri lebih lanjut mengenai definisi kecerdasan, maka akan
didapatkan definisi yang bermacam-macam. Hal ini dikarenakan tidak
semua pakar ahli termasuk psikolog memiliki kesepakatan yang sama
dalam mendefinisikan kecerdasan. Alasannya karena memang tidak
mudah mendefinisikan kecerdasan. Bukan hanya dikarenakan definisi
kecerdasan selalu berkembang seiring dengan perkembangan studi ilmiah
tentang kecerdasan maupun penemuan sains yang berkaitan dengan otak
manusia, seperti neurology atau neurobiology atau neurosains, namun juga
karena definisi kecerdasan tersebut sangat bergantung pada pandangan
dunia, filsafat manusia, dan filsafat ilmu yang mendasarinya. Selain itu
definisi kecerdasan juga bergantung pada teori kecerdasan itu sendiri.
2. Pengertian Kecerdasan Majemuk
Kecerdasan majemuk (multiple intelligences) merupakan suatu teori
kecerdasan yang dimunculkan oleh Howard Gardner, seorang pakar
psikologi perkembangan dan profesor di Universitas Harvard dari Project
Zero pada tahun 1983. Sebelum muncul teori kecerdasan majemuk, teori
kecerdasan lebih cenderung diartikan secara sempit. Kecerdasan seseorang

9
lebih banyak ditentukan oleh angka standar kecerdasan Intelligence
Quotient (IQ) yang dihasilkan dari serangkaian tes, yang mana tes tersebut
hanya menekankan pada kecerdasan bahasa dan logika matematika
(Thomas, 2007). Meskipun tes IQ yang terfokus pada kecerdasan
akademis tersebut dapat memperkirakan keberhasilan anak di sekolah,
namun tidak bisa memperkirakan keberhasilan seseorang di dunia nyata.
Hal ini dikarenakan keberhasilan di dunia nyata saat ini mencakup lebih
dari sekedar kemampuan bahasa dan matematika. Kehidupan abad 21
menuntut para generasi yang menjalaninya agar memiliki berbagai macam
kecerdasan. Dengan demikian, Gardner hadir dengan teori kecerdasan
majemuknya yang akhirnya mampu melakukan redefinisi kecerdasan yang
sebelumya diartikan secara sempit.
Kecerdasan majemuk Gardner menyatakan bahwa setiap manusia pada
dasarnya memiliki berbagai macam kecerdasan. Gardner menuliskan teori
tersebut dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: The theory of
multiple intelligences pada tahun 1983. Dalam buku tersebut Gardner
mengemukakan ada tujuh jenis kecerdasan dasar yang dimiliki setiap
manusia, yaitu: (1) kecerdasan verbal, (2) kecerdasan logika, (3)
kecerdasan spasial, (4) kecerdasan kinestetik, (5) kecerdasan musikal, (6)
kecerdasan interpersonal, dan (7) kecerdasan intrapersonal. Namun pada
tahun 1999, Gardner mengembangkan teorinya dengan menambahkan satu
kecerdasan baru yaitu kecerdasan naturalis, sehingga teori kecerdasan
majemuk Gardner menjadi delapan jenis kecerdasan.
3. Jenis-jenis Kecerdasan Majemuk
Teori kecerdasan majemuk Gardner memandang bahwa manusia itu
pada dasarnya memiliki banyak kecerdasan dan memiliki kemampuan
untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan tersebut sampai batas
maksimal apabila berada pada lingkungan yang mendukung.
Menurut teori kecerdasan majemuk Gardner, ada delapan kecerdasan
dasar yang dimiliki setiap individu. Masing-masing kecerdasan majemuk
tersebut akan diulas ringkas sebagai berikut.
1) Kecerdasan verbal (linguistic intelligence)

10
Kecerdasan verbal adalah kemampuan dalam mengolah dan
menggunakan kata secara efektif. Orang yang cerdas dalam bidang ini
dapat berargumentasi dengan baik, meyakinkan orang, menghibur,
mengajar dengan efektif lewat kata-kata yang diucapkannya
(Armstrong 2002). Contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan ini
antara lain para jurnalis, penulis, penyair sufistik, maupun orator (Agus
Effendi, 2005).
Terkait dengan anak-anak di sekolah, Thomas Armstrong (2002)
juga menyatakan bahwa anak-anak yang dominan dalam kecerdasan
verbal juga memiliki keterampilan pendengaran yang baik ketika
bermain-main dengan bunyi bahasa. Mereka sering berpikir dalam
kata-kata, asyik membaca atau sibuk menulis puisi atau cerita.
Dimanapun mereka berada, anak yang memiliki kecerdasan verbal
yang baik biasanya suka menulis kreatif, mengarang kisah khayal atau
menuturkan lelucon dan cerita, sangat hafal nama, tempat, tanggal,
atau hal-hal kecil, menikmati membaca buku, mengeja kata-kata
dengan tepat dan mudah, menyukai pantun lucu dan permainan kata,
suka mengisi teka-teki silang atau melakukan permainan seperti
scrabble atau anagram, sangat menikmati ketika mendengarkan kata-
kata lisan, mempunyai kosakata yang luas untuk anak seusianya, serta
unggul dalam pelajaran sekolah yang melibatkan membaca maupun
menulis.
Ada banyak cara untuk mengembangkan kecerdasan verbal,
diantaranya dengan menerapkan kebiasaan menulis, membaca dan
berbicara. Adapun dalam mengembangkan kecerdasan verbal, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kecerdasan ini, menurut
Gardner sebagaimana dikutip Thomas Armstrong (2002) adalah bahwa
ada banyak cara untuk mengungkapkan kecerdasan ini dalam
kehidupan anak. Bisa jadi anak sangat menikmati menulis puisi,
namun tidak pandai mengungkapkannya di depan kelas atau anak
sangat pandai bercerita namun kesulitan ketika membaca. Oleh karena
itu, dalam mengembangkan kecerdasan verbal pada anak haruslah

11
selalu memperhatikan arah kecenderungan anak saat memperlihatkan
kecerdasan linguistik mereka.
2) Kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence)
Kecerdasan logika merupakan kemampuan yang berkaitan dengan
penggunaan bilangan dan logika secara efektif. Ciri-ciri orang yang
cerdas secara logika mencakup kemampuan dalam penalaran,
mengurutkan, berpikir dalam pola sebab-akibat, menciptakan
hipotesis, mencari keteraturan konseptual atau pola numerik, dan
pandangan hidupnya umumnya bersifat rasional (Armstrong 2002).
Adapun menurut Paul Suparno (2004), orang yang dominan dalam
kecerdasan logika secara menonjol dapat memikirkan sistem-sistem
yang abstrak, seperti matematika dan filsafat. Orang yang mempunyai
kecerdasan ini akan mudah belajar berhitung dan bermain dengan
angka. Bahkan, ia dengan senang menggeluti simbol angka dalam
buku matematika daripada kalimat panjang-panjang. Pemikiran orang
seperti ini adalah ilmiah, berurutan. Silogismenya kuat sehingga
mudah dimengerti dan mudah mempelajari persoalan analitis.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dipahami bahwa komponen
inti kecerdasan logika adalah kepekaan pada pola-pola logis atau
numeris dan kapasitas mencernanya, serta kemampuan mengolah alur
pemikiran yang panjang.
Berdasarkan pendapat Armstrong (2002) keterampilan kerja yang
didukung oleh kecerdasan ini diantaranya: mengurus keuangan,
membuat anggaran, melakukan penelitian ekonomi, menyusun
hipotesis, melakukan estimasi, melakukan kegiatan akuntansi,
berhitung, mengadakan kalkulasi, menggunakan statistik, melakukan
audit, membuat penalaran, menganalisa, menyusun sistematika,
mengelompokkan, dan mengurutkan.
3) Kecerdasan spasial (spatial intelligence)
Kecerdasan spasial adalah kecerdasan yang mencakup kemampuan
berpikir dalam gambar, serta kemampuan untuk menyerap, mengubah,
dan menciptakan kembali berbagai macam aspek dunia visual-spasial.

12
Orang dengan tingkat kecerdasan spasial yang tinggi hampir selalu
mempunyai kepekaan tajam terhadap detail visual dan membuat sketsa
ide secara jelas, serta dengan mudah menyesuaikan orientasi dalam
ruang tiga dimensi (Armstrong, 2002).
Menurut Armstrong (2002) keterampilan kerja yang mendukung
kecerdasan ini seperti: melukis, menggambar, membayangkan,
menciptakan penyajian visual, merancang, berkhayal, membuat
penemuan, membuat ilustrasi, mewarnai, menggambar mesin,
membuat grafik, membuat peta, berkecimpung dalam fotografi,
membuat dekorasi, membuat film dan contoh profesi yang cocok
dengan kecerdasan ini diantaranya: insinyur, ahli survei, arsitek,
perencanaan kota, seniman grafis, desainer interior, fotografer, guru
kesenian, penemu, kartografer, pilot,seniman seni murni, pematung.
4) Kecerdasan kinestetik (kinesthetic intelligence)
Kecerdasan ini mencakup bakat dalam mengendalikan gerak tubuh
dan keterampilan dalam menangani benda. Orang dengan kecerdasan
fisik memiliki keterampilan dalam menjahit, bertukang, atau merakit
model. Mereka juga menikmati kegiatan fisik, seperti berjalan kaki,
menari, berlari, berkemah, berenang, atau berperahu. Mereka adalah
orang-orang yang sangat cekatan, indra perabanya sangat peka, tidak
bisa tinggal diam, dan berminat atas segala sesuatu (Armstrong, 2002).
Selanjutnya, peserta didik yang memiliki kecerdasan ini menurut
Paul Suparno (2004), biasanya akan cenderung suka menari, olahraga,
dan suka bergerak. Peserta didik ini biasanya tidak suka diam. Ia selalu
ingin menggerakkan tubuhnya, bila waktu luang dan tidak ada
pelajaran, peserta didik ini langsung keluyuran.
Menurut Armstrong (2002) keterampilan kerja yang didukung oleh
kecerdasan ini diantaranya: menyortir, menyeimbangkan, mengangkat,
membawa sesuatu, berjalan, berlari, membuat kerajinan tangan,
memperbarui, menjadi seorang model, menari, berolahraga,
mengorganisasi kegiatan luar rumah dan berpergian. Contoh profesi
yang cocok dengan kecerdasan ini diantaranya: ahli terapi fisik,

13
pekerja rekreasi, penari, aktor, model, petani, ahli mekanik, pengrajin,
guru pendidikan jasmani, pekerja pabrik, penata tari, atlet profesional,
polisi hutan, tukang jam.
5) Kecerdasan musikal (musical intelligence)
Kecerdasan musikal ini berhubungan dengan kemampuan untuk
menghargai dan menciptakan irama dan melodi. Kecerdasan musikal
juga dimiliki oleh orang yang peka nada, dapat menyanyikan lagu
dengan tepat, dapat mengikuti irama musik, dan yang mendengarkan
berbagai karya musik dengan tingkat ketajaman tertentu (Armstrong,
2002).
Menurut May Lwin, dkk. (2008), kecerdasan musikal merupakan
kecerdasan pertama yang harus dikembangkan dari sudut pandang
neurologis. Bahkan dikatakan bahwa dari semua bentuk kecerdasan,
musik dan irama pada otak memiliki pengaruh yang terbesar terhadap
kesadaran seseorang. Kekuatan musik, irama, suara, dan getaran
mampu menggeser pikiran, memberi ilham pengabdian religius,
meningkatkan kebanggan nasional, dan mengungkapkan kasih atau
rasa kehilangan dan duka yang dalam untuk orang lain. Hal ini
diperkuat oleh hasil penelitian Dr. Mark Tramko dalam Adi W.
Gunawan (2003), yang mana seorang dokter ahli saraf dari Harvard
Medical school, yang membuktikan adanya tumpang tindih pada sela
otak yang memproses musik, bahasa, logika- 257 matematik, dan
abstract-reasoning. Dengan demikian ditemukan fakta menarik bahwa
peserta didik yang memiliki kecerdasan musikal yang mumpuni akan
lebih mudah mempelajari berbagai mata pelajaran apabila mata
pelajaran tersebut disampaikan dengan didampingi suatu lagu atau
musik.
Berdasarkan pendapat Armstrong (2002) keterampilan kerja yang
didukung oleh kecerdasan ini diantaranya: bernyanyi, memainkan
sebuah instrumen musik, merekam, menjadi dirigen, melakukan
improvisasi, menggubah lagu, membuat transkrip, membuat

14
aransemen, mendengarkan, membedakan nada, menyetem,melakukan
orkestrasi, menganalisis dan mengkritik gaya musik.
6) Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)
Kecerdasan interpersonal berkaitan dengan kemampuan untuk
memahami dan bekerja sama dengan orang lain. Orang yang memiliki
kecerdasan ini mempunyai kemampuan untuk memahami orang lain
dan melihat dunia dari sudut pandang orang yang bersangkutan. Oleh
karena itu mereka dapat menjadi networker, perunding dan guru yang
ulung (Armstrong, 2002).
Menurut Gardner dalam Panji Aziz (2011), kecerdasan
interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan peka terhadap
perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain,
kepekaan akan ekspresi wajah, suara, serta isyarat orang lain. Selain
kemampuan memahami dan memperkirakan perasaan, tempramen,
suasana hati, dan keinginan orang lain, kecerdasan interpersonal ini
menurut May Lwin, dkk. (2008) juga menyangkut kemampuan untuk
memberikan tanggapan secara layak terhadap kondisi orang lain.
Melalui kecerdasan ini pula, menurut Adi W. Gunawan (2003),
seseorang mampu mengamati perubahan kecil yang terjadi pada mood,
perilaku, motivasi, dan perhatian orang lain. Dengan demikian, inilah
kecerdasan yang dimiliki oleh orang-orang ekstrovert, menurut Julia
Jasmine (2007). Jadi, secara umum kecerdasan interpersonal berkaitan
dengan kemampuan seseorang untuk menjalin relasi dan komunikasi
dengan berbagai orang. Kecerdasan ini menurut Paul Suparno (2004)
banyak dimiliki oleh para komunikator, fasilitator, dan mobilisator
(penggerak massa atau gerakan).
7) Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence)
Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan untuk
mengakses perasaan sendiri, membedakan berbagai macam keadaan
emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya
dan membimbing hidupnya. Orang dengan kecerdasan ini sangat
mawas diri dan suka bermeditasi, berkontemplasi, atau bentuk lain

15
penelusuran jiwa yang mendalam. Sebaliknya, mereka juga sangat
mandiri, sangat terfokus pada tujuan, dan sangat disiplin. Secara garis
besar, mereka merupakan orang yang gemar belajar sendiri dan lebih
suka bekerja sendiri daripada bekerja dengan orang lain (Armstrong,
2002).
Menurut Armstrong (2002), keterampilan kerja yang memerlukan
kecerdasan ini antara lain melaksanakan keputusan, bekerja sendiri,
mempromosikan diri sendiri, menentukan sasaran, mencari sasaran,
mengambil inisiatif, mengevaluasi, menilai, merencanakan,
mengorganisasi, membedakan peluang, bermeditasi, dan memahami
diri sendiri.
8) Kecerdasan naturalis (naturalist intelligence)
Kecerdasan naturalis berkaitan dengan mengenali dan
mengklasifikasi banyak spesies flora dan fauna dalam lingkungannya,
Orang yang memiliki kecerdasan ini cenderung memiliki kemahiran
dalam berkebun, memelihara tanaman di dalam rumah, menggarap
taman yang indah, atau memperlihatkan suatu perhatian alami terhadap
tanaman dengan cara-cara lain (Armstrong, 2002).
Gardner dalam Kurnia (2008) menjelaskan kecerdasan naturalis
sebagai kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fauna
dengan baik, kemampuan untuk memahami dan menikmati alam, yang
mana kemudian seseorang dengan kecerdasan naturalis akan
menggunakan kemampuan tersebut secara produktif dalam berburu,
bertani, dan mengembangkan pengetahuan akan alam. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa peserta didik yang unggul dalam
kecerdasan naturalis akan cenderung lebih menyukai pembelajaran
berbasis alam atau berbagai kegiatan outdoor yang dilakukan di alam
bebas.

16
BAB III
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Minat Belajar Siswa terhadap Mata Pelajaran Fisika


Hamdi & Cut Kurniyawati Rahim (2019) dalam tulisannya “Analisis
Minat Belajar Siswa terhadap Mata Pelajaran Fisika di SMA Negeri 1 Sakti”
mengangkat masalah bagaimana minat belajar siswa di SMA Negeri 1 Sakti
terhadap mata pelajaran fisika. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur sejauh
mana minat siswa SMA Negeri 1 Sakti terhadap mata pelajaran fisika.
Berdasarkan hasil observasi penulis didapati banyak siswa di sekolah tersebut
tidak dapat memfokuskan diri pada penyampaian yang dilakukan oleh
gurunya dan seringkali siswa sulit untuk dapat mengerti apa yang di
sampaikan oleh guru. Pelajaran fisika juga dianggap menjadi suatu pelajaran
yang tidak menarik, sukar, membosankan dan juga menakutkan bagi siswa di
sekolah tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) tingkat minat
belajar siswa terhadap mata pelajaran fisika di SMA Negeri 1 Sakti masih
perlu mendapatkan perhatian lagi baik dari guru (pendidik) dan lingkungan
sekitarnya; 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi minat belajar siswa terhadap
mata pelajaran fisika di SMA Negeri 1 Sakti, yaitu kurangnya motivasi,
kurangnya rasa senang terhadap mata pelajaran fisika.
Sri Muslimatul Husna, Dwi Agus Kurniawan & Maison (2022) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa hasil analisis minat belajar siswa MA di
salah satu kota Merangin memiliki kategori minat yang rendah pada mata

17
pelajaran Fisika, yaitu sebanyak 55,7%. Pembelajaran fisika di sekolah
tersebut sering diajarkan kepada siswa dengan metode membayangkan sebuah
kejadian tanpa metode learning by doing (belajar dengan melakukan sesuatu).
Ika Wahyuni, Maison & Haerul Pathon (2021) dalam penelitiannya
didapatkan hasil bahwa minat belajar siswa pada pelajaran Fisika dilihat dari
sikap, kesadaran diri dan kesiapan siswa saat belajar. Siswa di sekolah tempat
penelitiannya cenderung menyukai materi fisika yang banyak melibatkan
kemampuan berhitung. Metode pembelajaran yang digunakan guru
mempengaruhi tingkat ketertarikan siswa untuk belajar. Pemberian tugas yang
terlalu banyak bagi siswa ternyata menyebabkan penurunan minat belajar
siswa di sekolah tersebut.
Rendahnya minat belajar siswa terhadap fisika menjadi tugas seorang guru
sebagai pendidik yang harus berusaha untuk mencari penyebab yang paling
mendasar sehingga timbul anggapan fisika sulit, membosankan, dan
sebagainya. Sebenarnya apa yang mareka alami dan mareka rasakan sehingga
menyebabkan siswa menjadi beranggapan demikian terhadap mata pelajaran
fisika.

B. Hubungan antara Gaya Belajar dan Multiple Intelligences


Menurut Munif Chatib (2009), gaya belajar siswa berhubungan dengan
multiple intelligences siswa. Banyak murid yang mengalami kebingungan
dalam menerima pelajaran karena tidak mampu mencerna materi yang di
berikan oleh guru. Ternyata, banyaknya kegagalan siswa mencerna informasi
dari gurunya disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya mengajar guru dengan
gaya belajar siswa. Sebaliknya, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan
gaya belajar siswa, semua pelajaran akan terasa sangat mudah dan
menyenangkan. Guru juga senang karena punya siswa yang semuanya cerdas
dan berpotensi untuk sukses pada jenis kecerdasan yang dimilikinya.
Gaya mengajar dimiliki oleh guru atau pemberi informasi. Pada dasarnya,
gaya mengajar adalah strategi transfer informasi yang diberikan oleh guru
kepada siswanya. Sedangkan gaya belajar adalah bagaimana sebuah informasi
dapat diterima dengan baik oleh siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

18
oleh Dr. Howard Gardner, ternyata gaya belajar siswa tercermin dari
kecenderungan kecerdasan yang dimiliki oleh siswa tersebut.

Gaya Belajar

Kecenderungan Kecerdasan
Gambar 3.1 Konsep Hubungan Gaya Belajar dengan
Kecerdasan Majemuk

Multiple Intelligences Research (MIR) adalah instrumen riset yang dapat


memberikan deskripsi tentang kecenderungan kecerdasan seseorang. Dari
analisis terhadap kecenderungan kecerdasan tersebut, dapat disimpulkan gaya
belajar terbaik bagi seseorang. Gaya belajar di sini diartikan dengan cara dan
pola bagaimana sebuah informasi dapat dengan baik dan sukses diterima oleh
otak seseorang. Oleh karena itu, seharusnya setiap guru memiliki data tentang
gaya belajar siswanya masing-masing. Kemudian, setiap guru harus
menyesuaikan gayanya dalam mengajar dengan gaya belajar siswa yang telah
diketahui dari hasil MIR. Yang selanjutnya terjadi adalah quantum. Setiap
guru akan masuk ke dunia siswa sehingga siswa merasa nyaman dan tidak
berhadapan dengan resiko kegagalan dalam proses belajar. Inilah yang
dimaksud asas utama quantum learning oleh Bobbi DePotter (2000), yaitu
masuk ke dunia siswa.

Quantum Learning:
Gaya Mengajar Guru = Gaya Belajar Siswa

Gambar 3.2 Quantum Learning

Apabila guru berhasil masuk ke dalam dunia siswa lewat penyesuaian


gaya belajar siswa, siswa akan rela memberikan hak mengajarnya kepada
guru. Menurut dePotter (2000), wewenang mengajar dan hak mengajar itu
berbeda. Mungkin, setiap guru yang memiliki lisensi mengajar punya

19
wewenang untuk mengajar. Namun, hak mengajar adalah sesuatu yang harus
diraih oleh guru dengan kerja keras dan hak tersebut ada dalam keinginan para
siswa.
Konsep Howard Gardner bahwa kecerdasan seseorang itu berkembang,
tidak statis. Kecerdasan seseorang lebih banyak berkaitan dengan kebiasaan,
yaitu perilaku yang diulang-ulang, dalam hal ini adalah cara seseorang
menangkap informasi atau gaya belajar.

C. Penerapan Multiple Intelligences dalam Pembelajaran Fisika untuk


Meningkatkan Minat Belajar Siswa
Pembelajaran berbasis Multiple intelegence adalah pembelajaran yang
didasarkan pada teori Howard Gardner dengan memperhatikan delapan
potensi dasar yang dimiliki setiap manusia yang dikenal dengan delapan
kecerdasan. Esensi teori Multiple Intelligences menurut Gardner adalah
menghargai keunikan setiap individu, berbagai variasi belajar, mewujudkan
sejumlah model untuk menilai mereka dan cara yang hampir tidak terbatas
untuk mengaktualisasikan diri di dunia ini. Menurut Armstrong, teori
kecerdasan majemuk adalah model kognitif yang berupaya menjelaskan
bagaimana seseorang menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan
masalah dan menciptakan produk.
Menurut Turahmi (2018), pembelajaran berbasis Multiple Intelligences
menegaskan pada kenyataan bahwa setiap manusia memiliki kelebihan.Tidak
ada siswa yang bodoh sebab setiap siswa pasti memiliki minimal satu
kecerdasan yang menonjol dari kelebihan yang lainnya. Karenanya tidak ada
rangkaian strategi pengajaran yang dapat selalu bekerja secara efektif untuk
semua siswa. Oleh karena itu pembelajaran berbasis Multiple Intelligences
perlu diterapkan di sekolah.
Menurut Setyowati (2009) penerapan pembelajaran berbasis multiple
intelligence untuk meningkatkan hasil belajar fisika peserta didik di SMA ini
didasarkan pada pemikiran untuk memenuhi tiga visi, yaitu: (1) mencocokkan
pembelajaran dengan cara belajar peserta didik, (2) mendorong peserta didik
untuk mengembangkan kemampuan dan membangun seluruh potensi

20
kecerdasan yang dimiliki semaksimal mungkin, dan (3) menghargai
keragaman. Oleh karena itu dengan menerapkan pendekatan multiple
intelligences ini, diharapkan peserta didik akan dapat aktif dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran, melatih berbagai kemampuan yang dimilikinya,
menguasai materi fisika yang diajarkan guru, serta berefek pada hasil belajar
fisikanya menjadi meningkat.
Menerapkan Multiple Intelligences dalam pembelajaran akan memberikan
pengalaman belajar yang bervariasi kepada siswa dan akan mengaktifkan
potensi kecerdasan yang dalam diri siswa dan membantu siswa untuk terkesan
dan senang terhadap kegiatan belajar, karena para siswa terlibat aktif
didalamnya.
Tanti Kurniah Sari (2018) dalam penelitiannya telah menerapkan
pembelajaran berbasis Multiple Intelligeces untuk peserta didik SMK untuk
meningkatkan minat belajar fisika. Minimnya minat belajar fisika peserta
didik yang menjadi sampel penelitian, disebabkan oleh anggapan bahwa fisika
adalah mata pelajaran yang memuat banyak rumus dan sulit diaplikasikan
pada soal. Keadaan tersebut berimbas pada hasil belajar peserta didik.
Terbukti pada hasil belajar fisika peserta didik kelas X Multimedia tergolong
rendah dengan capaian rata-rata 6,7. Rata-rata tersebut berada di bawah
Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 7,5. Dari
24 peserta didik, terdapat 7 peserta didik yang telah mencapai KKM
sedangkan 17 lainnya masih berada di bawah KKM sehingga persetase
kelulusan yang diperoleh hanya sebesar 29%. Proses pembelajaran yang
cenderung selalu berhitung secara tidak langsung mendorong bentuk evaluasi
hasil yang dibuat lebih dominan melalui perhitungan matematis. Keadaan
tersebut sangat merugikan peserta didik yang lemah dalam kecerdasan/
kemampuan berhitung. Ada peserta didik yang unggul dalam kemampuan
berhitung namun lemah dalam bahasa, ada peserta didik yang unggul dalam
kemampuan bahasa namun lemah dalam kemampuan praktek. Tidak semua
peserta didik unggul dalam seluruh kecerdasan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada tahap pratindakan 62% peserta didik kurang
berminat, karena pembelajaran fisika hanya mengedepankan kecerdasan

21
matematika-logika. Pada siklus I minat peserta didik meningkat 20% ketika
pembelajaran fisika menggunakan 8 jenis kecerdasan, sehingga bisa diikuti
lebih banyak peserta didik. Pada siklus II minat belajar peserta didik
meningkat 38% ketika pembelajaran lebih megendepankan kecerdasan
naturalis sehingga 96% peserta didik berminat belajar fisika.
Menurut Ula (2013: 146-151) ada beberapa strategi yang dapat digunakan
dalam implementasi Multiple Intelligence dalam pembelajaran diantaranya: 1)
Pada kecerdasan linguistik, peserta didik diberikan ruang yang lebih untuk
belajar kolaboratif, debat dan diskusi; 2) Kecerdasan matematis-logis, peserta
didik diberikan kesempatan untuk mengasah kemampuan menghitung; 3)
Kecerdasan visual-spasial, peserta didik diberikan pembelajaran yang
berkaitan denga media, gambar dan alat bantu visual spasial; 4) Kecerdasan
kinestetik, peserta didik diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan fisik
seperti percobaan; 5) Kecerdasan musikal, peserta didik dilibatkan dalam
pembelajaran yang berkaitan dengan musik; 6) Kecerdasan interpersonal,
peserta didik lebih didorong untuk bekerjasama dengan yang lainnya; 7)
Kecerdasan intrapersonal, peserta didik diberikan ruang untuk melakukan
refleksi dan berpikir mandiri; dan 8) Kecerdasan naturalistik, peserta didik
lebih diberikan pembelajaran yang secara langsung berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari. Dengan menerapakan Multiple Intelligence dalam
pembelajaran, peserta didik dihadapkan pada kenyataan bahwa teori yang
diterima secara nyata ditemui di dalam kehidupan sehari-hari dan dapat
dialami sendiri. Selain itu proses pendidikan dapat mengakomodir setiap
kebutuhan peserta didik dan sesuai dengan keunikannya masingmasing (Amir,
2013).

22
BAB IV
PENUTUP

1. Simpulan
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dalam makalah ini, diperoleh
hasil sebagai berikut.
1) Berdasarkan hasil temuan melalui kajian literatur, didapatkan bahwasanya
masih banyak ditemukan di lapangan mengenai anggapan siswa bahwa
fisika itu sulit dan membosankan. Anggapan tersebut tentu akan
menurunkan minat belajar siswa dalam belajar fisika sehingga
menyebabkan rendahnya hasil belajar. Banyak faktor yang menyebabkan
hal ini terjadi, diantaranya adalah kurangnya pemberian pembelajaran
langsung kepada siswa dan gaya belajar yang tidak sesuai dengan
kecerdasan dominan yang dimiliki siswa.
2) Gaya belajar siswa berhubungan dengan multiple intelligences siswa.
Kecerdasan dominan setiap siswa dapat diidentifikasi dengan tes analisis
kecerdasan majemuk. Dari analisis terhadap kecenderungan kecerdasan
tersebut, akan dapat disimpulkan gaya belajar terbaik bagi seseorang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya kecenderungan kecerdasan
majemuk siswa menentuka gaya belajar siswa.

23
3) Penerapan pembelajaran berbasis multiple intelligence untuk
meningkatkan hasil belajar fisika peserta didik di SMA ini didasarkan
pada pemikiran untuk memenuhi tiga visi, yaitu: (1) mencocokkan
pembelajaran dengan cara belajar peserta didik, (2) mendorong peserta
didik untuk mengembangkan kemampuan dan membangun seluruh potensi
kecerdasan yang dimiliki semaksimal mungkin, dan (3) menghargai
keragaman.
4) Minat belajar fisika peserta didik dapat ditingkatkan melalui penerapan
pembelajaran berbasis Multiple Intelligence.

2. Saran
Berdasarkan simpulan yang ditemukan, terlihat adanya perubahan
paradigma yang awalnya kecerdasan diartikan secara sempit menjadi lebih
luas, yakni lahir kecerdasan majemuk yang menghargai dan mengakui setiap
kompetensi siswa yang beragam. Dengan demikian berdasarkan hasil kajian
diperoleh esensi dari pentingnya penerapan kecerdasan majemuk dalam
pembelajaran sehingga dapat memfasilitasi seluruh jenis kecerdasan siswa
yang beragam. Penerapan kecerdasan majemuk berarti memanusiakan
manusia karena tiadak ada manusia yang tanpa kompetensi, semua terlahir
dengan kompetensinya masing-masing.
Oleh karena itu, saran dari penulis untuk seluruh pendidik maupun calon
pendidik sebaiknya dapat menerapkan teori kecerdasan majemuk ke seluruh
komponen pembelajaran seperti RPP maupun bahan ajar sehingga menjadi
satu kesatuan dalam memfasilitasi kecerdasan siswa yang beragam.

24
DAFTAR PUSTAKA

Chatib, Munif. (2009). Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa.


Gardner, H. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New
York: Basic Books.
Gardner, H. (1999). Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21st
century. New York, NY: Basic Books.
Gardner, H., & Hatch, T. (1989). Educational implications of the theory of
multiple intelligences. Educational Researcher, 18(8), 4–10. doi:
10.3102/0013189X018008004
Hall, JA. (2018). Kapan media sosial menggunakan interaksi sosial?
Mendefinisikan interaksi social yang dimediasi. Media Baru dan
Masyarakat, 20(1), 162-179. doi:
https://doi.org/10.1177/1461444816660782
Hamdi & Rahim. (2019). Analisis Minat Belajar Siswa Terhadap Mata Pelajaran
Fisika di SMA Negeri 1 Sakti. Jurnal Sains Riset (JSR), 9(3).
Husna, Sri Muslimatul., Kurniawan, Dwi Agus., & Maison. (2022). Analisis
Minat Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Fisika di MAN 1 Merangin.
Seminar Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah, Vol 1., pp 1-7.

25
Mulyani, dkk. (2021). Analysis of the Relationship of Multiple Intelligences and
Learning Interests with Biology Learning Outcomes. JPPIPA, 7(4), doi:
10.29303/jppipa.v7i4.774
Pane, Aprida. & Dasopang, M. Darwis. (2017). Belajar dan Pembelajaran. Fitrah:
Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman 3.2.
Rofiah, N. H. (2016). Menerapkan multiple intelligences dalam pembelajaran di
sekolah dasar. Jurnal Dinamika Pendidikan Dasar, 8(1), 69-79. Diambil
Kembali dari http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/Din
amika/article/view/937/875 [Bahasa Indonesia]
Sari, Tanti Krniah. (2018). Peningkatan Minat Belajar Fisika Melalui
Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligence Bagi Peserta Didik SMK.
Jurnal Penelitian dan Kajian Pendidikan, 8(1)
Sirait, E. D. (2016). Pengaruh Minat Belajar Terhadap Prestasi Belajar
Matematika. Formatif: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA, 6(1), 35-43. doi:
https://doi.org/10.30998/formatif.v6i1.750
Taiyeb, A. M., & Mukhlisa, N. (2015). Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI IPA
SMA Negeri 1 Tanete Rilau. Jurnal Bionature, 16(1), 8-16.
http://ojs.unm.ac.id/bionature/article/viewFile/1563/627 [Bahasa
Indonesia]
Usman, M.H., Al Idrus, A., Doyan, A., Soeprianto, H., & Hakim, A. (2021).
Keterampilan Dasar Guru dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Menengah
Pertama Menghadapi Abad 21. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, 7(3),
331-334. doi: https://doi.org/10.29303/jppipa.v7i3.652

26

Anda mungkin juga menyukai