Anda di halaman 1dari 21

DARI PEDAGOGIK

KE PEDAGOGI UNTUK BANGSA


Implikasi Imperatif Amanat Konstitusi

Sunaryo Kartadinata
DARI PEDAGOGIK KE PEDAGOGI UNTUK BANGSA
Implikasi Imperatif Amanat Konstitusi
Februari, 2021

Sunaryo Kartadinata
Profesor Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia
‫َو َال َ َِت ُن ْوا َو َال َ َْت َ نز ُْوا َو َان ُُاْت ْ َال ْعلَ ْو َان ِا ْان ُك ْن ُْات ُّم ْؤ ِم ِن ْ َيا‬
Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati,
sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.(QS Al
Imran. 139)

“JADILAH GURU YANG BAIK ATAU TIDAK SAMA SEKALI”


M. I. Soelaiman (Filosof UPI) i

Apakah pemikiran dalam tulisan ini masih berlaku dan


diperlukan bagi kehidupan Bangsa pada saat ini? Topik
tulisan ini bisa dibantah, diperdebatkan, bahkan bisa
dipatahkan karena dianggap sebuah pemikiran usang, tidak
relevan, tak berargumen dan akuntabel. Uraian berikut
adalah refleksi dan internalisasi pemahaman saya tentang
Pedagogik, sebagai warga negara yang diamanati Negara
sebagai Guru Besar Ilmu Pendidikan. “Apa yang dipelajari
dalam pedagogik?”. “Untuk apa mempelajari pedagogik?”.
“Apa keterkaitan pedagogik dengan penyelenggaraan Sistem
Pendidikan Nasional sebagai amanat konstitusi.?”

Pada saat Universitas Pendidikan Indonesia memutuskan


mata kuliah Landasan Pedagogik, menurut Kurikulum 2013
dan berubah menjadi Kajian Pedagogik (2016), sebagai mata
kuliah wajib bagi seluruh mahasiswa, dasar pemikirannya
adalah bahwa Pedagogik merupakan “nilai inti” UPI. Kata
“Pendidikan” yang melekat pada nama universitas yang
dimaknai sebagai kata kerja, bukan sebagai kata benda,
mengandung implikasi bahwa pendidikan sebagai ilmu,
memiliki landasan filosofis dan keilmuan, dipelajari sebagai
ilmu, dan menjadi nilai dasar utama bagi pendidikan guru
dan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Terkandung makna bahwa UPI memikul tanggung jawab
imperatif, setidak-tidaknya dalam tiga hal, yaitu: (1)
mengembangkan ilmu pendidikan (Pedagogik) dan ragam
cabangnya di bawah Departemen yang relevan, (2)
menyelenggarakan Pendidikan Guru (berjati diri) Profesional,
dan (3) turut bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
Sistem Pendidikan Nasional sebagai pelaksanaan amanat
konstitusi.

Berbicara tentang pedagogik, dalam Bahasa Belanda


“pedagogiek”, merujuk pada tradisi Eropa yang dipelopori oleh
filsuf Belanda Martinus J. LANGEVELD (1934), seorang ahli teori
pendidikan yang sangat berpengaruh di Belanda. Pedagogik
adalah ilmu pendidikan yang dikembangkan dari sudut pandang
tentang hakikat manusia dan tujuan hidup manusia dengan
mempertanyakan apakah manusia perlu dididik? Untuk tujuan apa
mendidik manusia, dan kemana manusia hendak dibawa melalui
upaya pendidikan? Inti dari “pendidikan adalah proses membawa
manusia dari apa adanya kepada bagaimana seharusnya.” ii Dalam
tradisi Eropa, berbicara tentang pendidikan akan selalu berbicara
tentang filsafat, pedagogik, dan psikologi pendidikan.

Berbeda dengan Anglo Saxon, “pedagogik” yang


diterjemahkan menjadi “pedagogy” lebih menggambarkan proses
pengajaran; menjadi sempit, dipahami sebatas penyampaian
pengetahuan dan pelatihan keterampilan oleh guru kepada siswa.
“…’pedagogy’ would then unduly narrow down one’s
understanding of “pedagogiek” to the domain of schooling….
‘pedagogy’ is conceptually associated more with practice than with
theory. iii

Perkembangan teknologi yang semakin dahsyat dan


memberikan kemudahan kepada manusia, proses
pembelajaranpun semakin banyak dilakukan dengan
mengandalkan teknologi, dilakukan secara instan, menjadi proses
conditioning, dinilai inovatif karena menggunakan teknologi dan
lepas dari filsafat pendidikan, yang membuat nafas hidup
pedagogik semakin masuk ke dalam makna terbatas, kepada
transfer pengetahuan dan pelatihan keterampilan, dan hakikat
manusia yang dididik terlupakan.

Berbicara tentang ilmu pengetahuan, termasuk pedagogik


sebagai ilmu pendidikan, ada tiga tataran eksplorasi dan diskusi,
yaitu filosofis, teoretis, dan praksis. Ketiga tataran eksplorasi
dimaksud adalah:
1. Tataran filosofis, membahas pandangan tentang hakikat
manusia. Pemikiran tentang hakikat manusia menjadi dasar
rumusan filsafat pendidikan, dan filsafat pendidikan
menjadi dasar perumusan tujuan umum pendidikan. Dapat
dipahami bahwa pendidikan harus sejalan dan tidak
mungkin bertentangan dengan keyakinan tentang hakikat
manusia.
2. Tataran teoretis, berbicara tentang teori pendidikan atau
teori ilmu pendidikan, membangun pemikiran ilmiah
tentang pendidikan berdasarkan filsafat pendidikan, dan
menggunakan ilmu-ilmu dasar tentang manusia sebagai
ilmu bantu. Ilmu-ilmu dimaksud khususnya adalah
antropologi, sosiologi, psikologi. Teori dan temuan
penelitian dalam ilmu bantu digunakan oleh pendidikan
setelah diuji relevansi dan signifikansinya terhadap filsafat
pendidikan. Tataran berpikir teoretis ini akan membedakan
seorang ahli ilmu pendidikan dengan ahli ilmu bidang studi
di dalam menggunakan teori dan hasil riset bidang studi di
dalam pendidikan.
3. Tataran praksis, berbicara tentang penyelenggaraan
pendidikan dan tindakan pendidikan, yang umumnya
diwujudkan dalam pembelajaran. Dalam tataran ini
penyempitan makna pedagogik bisa terjadi, sebatas
pembelajaran sebagai proses transfer pengetahuan dan
keterampilan, bukan “pembelajaran yang mendidik.”

Pada tataran teoretis dan keilmuan lahir ilmu-ilmu


turunan dari pedagogik yang meliputi psikologi pendidikan,
sosiologi pendidikan, antropologi pendidikan, bimbingan dan
konseling, pendidikan kebutuhan khusus, pengembangan
kurikulum, pendidikan masyarakat bertaut dengan pendidikan
sepanjang hayat. Pendidikan bidang studi seperti pendidikan
matematika, pendidikan IPS, pendidikan Bahasa, merupakan
perpaduan atau pelumatan (blending) antara pedagogik dengan
keilmuan bidang studi.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kepentingan pendidikan dengan ilmu tersebut, tumbuh pula antara
lain ekonomi pendidikan, politik pendidikan, manajemen
pendidikan. Pendidikan adalah ilmu terbuka, tetapi sebagai ilmu
otonomiv pendidikan memiliki filosofi, objek studi, dan metode
tersendiri seperti ilmu lainnya.

Tidak ada pemisah antara pedagogi dengan pedagogik,


karena semestinya pedagogi mengalir dari pemikiran pedagogik.
Artinya, tindakan guru dalam pembelajaran harus secara sadar
mengalir dari filosofi dan teori pendidikan, dan pembelajaran yang
diselengarakan adalah pembelajaran yang mendidik atau
pembelajaran yang bergerak ke perbuatan mendidik. Dalam diri
pendidik harus ada kesadaran mendidik, yaitu pemahaman bahwa
pembelajaran adalah tindakan mendidik untuk membawa manusia
pada tingakatan perkembangan sejalan dengan dan mengikuti
filosofi hakikat manusia. Tidak ada jawaban filosofis tunggal
tentang hakikat manusia. Oleh karena itu, guru atau pendidik
harus menguasai filsafat manusia, filsafat pendidikan, dan teori
pendidikan, yang diyakini sebagai landasan perbuatan mendidik.

Mempelajari pedagogik berarti mempelajari filsafat


manusia, filsafat pendidikan, teori ilmu pendidikan atau ilmu
mendidik, dan keterampilan mendidik sebagai satu keutuhan
dalam kaitannya dengan pembelajaran atau layanan pendidikan
lainnya. Dapat digambarkan, terdapat sebuah kontinuum yang
membentang dari filsafat manusia sampai kepada keterampilan
dan perbuatan mendidik, yang harus dikuasai oleh guru sebagai
pendidik.

Untuk mempelajari semua hal yang disebutkan tak cukup


rongga dalam kurikulum. Hal penting yang perlu dibangun adalah
kerangka dan alur berpikir pedagogik, cara berpikir pedagogik
yang berentang dari filsafat sampai ke tindakan mendidik. Isu
filosofis pendidikan dan alur berpikir pedagogik tidak berubah,
yang berubah adalah konteks dan pemaknaan konteks dari alur
berpikir itu. Pedagogik dipelajari dalam konteks, tidak dalam
kevakuman, yang dipelajari bukan sebuah pedagogik hampa
(empty pedagogic).

Dapat dipahami bahwa pembelajaran bukanlah proses


transfer ilmu dan keterampilan semata, tetapi merupakan tindakan
pendidikan yang memfasilitasi manusia untuk “menjadi dirinya
sendiri” v. Apabila pedagogi dipahami dan dikembangkan sesuai
dengan dan mengalir dari tataran filosofis dan teoretis,
sebagaimana pedagogik menjelaskan, maka akan membangun
pembelajaran yang mendidik atau pembelajaran yang bergerak ke
perbuatan mendidik, karena dalam diri pendidik tumbuh
kesadaran mendidik yang dapat mencegah penyempitan makna
yang menekankan pada transfer pengetahuan dan keterampilan.
Dalam perspektif ini, pedagogik dan pedagogi adalah “dwi-
tunggal”.

Terdapat pertanyaan filosofis lain yang perlu didiskusikan,


yaitu, “Apa tanggung jawab dan tujuan umum pendidikan?”.
Pendidikan memikul tanggung jawab unik dibandingkan dengan
profesi lain yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
Keunikan tanggung jawab pendidikan terletak dalam upaya
memfasilitasi perkembangan manusia sebagai individu, warga
negara, dan bangsa, pada jalur nilai moral dan spiritual,
bertanggung jawab untuk kemaslahatan masyarakat, dunia, dan
lingkungan alamnya, untuk mewujudkan warisan alam, keadilan,
demokrasi, kerukunan, kesehatan lingkungan, dan nilai-nilai
budaya yang menyertai penguasaan IPTEK untuk kesuksesan dan
kemaslahatan ummat manusia.

Pandangan filosofis bahwa manusia memiliki potensi dan


kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, mengandung arti bahwa
pendidikan bertugas membantu manusia untuk merealisasikan
dirinya. Merealisasikan diri adalah tanggung jawab individu,
sehingga pendidikan bertujuan "to create a maximum personal
condition for self-realization." vi. Kondisi pribadi maksimum adalah
kondisi kemandirian yang memungkinkan individu mampu
membuat pilihan dan keputusan sendiri, atas tanggung jawab
sendiri dimana dia siap menerima konsekuensi dari pilihan dan
keputusan yang dibuatnya. Tanggung jawab menjadi tujuan
pendidikan, mengembangkan kepribadian yang mampu
menggunakan kebebasan tanpa menimbulkan konflik, dan
keberanian menghadapi resiko keputusan yang diambil sebagai
wujud tanggung jawab.

Kondisi pribadi maksimum mengandung perangkat


perkembangan kecakapan berbagai aspek perkembangan
manusia, dalam hal keimanan dan ketakwaan, perkembangan
intelektual dan non intelektual, pemahaman diri, pemahaman
lingkungan, kolaborasi, kesadaran diri, pemikiran damai,
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan
memilih dan mengambil keputusan, dan keberanian untuk
menerima resiko pilihan dan keputusan sebagai tanggung jawab
pribadi. Kondisi yang digambarkan merupakan kekuatan individu
untuk mampu membuat pilihan dan keputusan atas tanggung
jawab sendiri sebagaimana dijelaskan.

Dua persoalan pokok yang akan selalu muncul dalam


mendidik yaitu “fokus” dan “tujuan”, baik bagi guru maupun
peserta didik. “Mengapa saya mengajarkan Matematika?”. “Untuk
apa saya mengajar Bahasa?”. “Mengapa saya belajar
Matematika?”. “Untuk apa saya belajar Bahasa?”. Dalam konteks
kontinuum pedagogik-pedagogi, penguasaan keterampilan
mengajar oleh guru menjadi tidak memadai selama keterampilan
itu tidak disertai dengan kesadaran mendidik, bahwa dia sadar
sedang membawa peserta didik berkembang ke arah bagaimana
seharusnya melalui pembelajaran matematika atau bahasa.

Kesadaran mendidik tumbuh sebagai wujud pemahaman


guru tentang filsafat manusia, filsafat pendidikan, tujuan umum
pendidikan, dan ilmu mendidik yang dikuasainya, yang lumat
dengan penguasaan bidang studi, sebagai kompetensi untuk
menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. Pasal 8 UU
Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen bahwa guru
bertugas “…mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.”
“Whether or not they educate the learners depends on
their purpose and focus, and is inseparable from the nature
of the man they influence. What an educator gives and
does to learners is a moral choice, not merely a technical
one.” vii

“KOMPETENSI” TIDAK CUKUP

Kesadaran mendidik adalah jati diri profesional guru


sebagai pendidik. Kompetensi pedagogik dalam pendidikan guru
seyogyanya membangun kesadaran mendidik dan jati diri
profesional para calon guru, tidak sebatas melatih keterampilan
mengajar. PPG merupakan wahana yang tepat untuk membangun
kesadaran mendidik dan jati diri profesional para calon guru.

Mengapa kesadaran dan jati diri? Kesadaranviii


(awareness) dan jati diri ix (identity) adalah dua karakteristik yang
hanya dimiliki oleh manusia, tidak dimiliki oleh mahluk lain. Hanya
manusia yang memilki kesadaran, dan hanya manusia yang bisa
menyadari dirinya dalam posisi subjek dan objek, sebagai “I” dan
“Me”. Dengan kesadaran dan jati diri, manusia mampu belajar
dari masa lalu, masa kini, dan melakukan tilikan ke depan,
menciptakan masa depan secara kreatif untuk menjadi dirinya
sendiri (to be himself), . Kesadaran mendidik dan jati diri
profesional adalah karakteristik pribadi guru yang sejalan dengan
esensi tujuan umum pendidikan, yang mempribadi menjadi
Pribadi Guru.
Dalam kontinuum trajektori profesi guru, kompetensi
pedagogik melandasi dan lumat di dalam kompetensi lain
sehingga kompetensi pedagogik terinternalisasi dan
terpersonifikasi di dalam cara berpikir dan tindakan mendidik yang
dilakukan guru, dan berkembang menuju jati diri profesional.
Kesadaran mendidik dan jati diri profesional merupakan proses
dan hasil. Sebagai proses, berkembang melalui tahapan tertentu,
dan sebagai hasil tampak dalam perbuatan mendidik.

Kompetensi pedagogik yang lumat dengan penguasaan


bidang studi membentuk kemampuan profesional guru.
Kompetensi profesional guru bukan terletak pada penguasaan
materi bidang studi, sebagaimana UU menjelaskan, tetapi terletak
pada kelumatan penguasaan bidang studi dengan pedagogik.
Terdapat kekeliruan ontologis tentang kompetensi guru yang
dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005.

Pemikiran yang dijelaskan berimplikasi akan perlunya


pengembangan “pedagogi pendidikan guru”, mendidik guru
mestinya tidak seperti menyelenggarakan perkuliahan pada
umumnya melainkan berwujud sebuah proses pembelajaran yang
didisain untuk mengembangkan kesadaran mendidik dan
membentuk jati diri profesional guru yang mengalir dari pemikiran
pedagogik ke pedagogi (pendidikan guru).
“A pedagogy of teacher education must go well beyond
the simple delivery of information about teaching. …
explores the complex nature of teaching and of learning
about teaching, … how important teacher educators'
professional knowledge is and how that knowledge must
influence teacher training practices.”x

“…the crucial distinction between teaching student-


teachers and teaching them about teaching, allowing
practice to push beyond the technical-rational, or tips-and-
tricks approach, to teaching about teaching in a way that
brings in the appropriate attitudes, knowledge and skills of
teaching itself….the dual nature of student teachers’
learning, arguing that they need to concentrate not only on
learning what is being taught but also on the way in which
that teaching is conducted. xi. The “…professional identity
as an ongoing process of integration of the ‘personal’ and
the ‘professional’ sides of becoming and being a teacher.’ xii

IMPERATIF KONSTITUSI
Pendidikan merupakan bentuk alih genarasi, sebagai proses
pewarisan ideologi dan budaya bangsa, yang terkandung dalam
UUD NRI Tahun 1945, kepada generasi penerus. Pendidikan
sebagai strategi politik bangsa untuk mewariskan ideologi dan nilai
budaya bangsa kepada generasi penerus sehingga tidak terjadi
pembelokan ideologi negara, dan tetap ajeg sebagaimana amanat
konstitusiil. Pendidikan menjadi wahana fundamental dan strategik
untuk mencegah terjadinya “a symmetric war” yang bisa
membelokan ideologi generasi penerus. Terkandung makna,
bahwa pendidikan tidak boleh terserabut dan lepas konteks dari
landasan idiil-konsitusionil Negara Republik Indonesia.

Semangat kemerdekaan yang menjadi landasan para


pendiri NKRI adalah semangat mempersatukan bangsa Indonesia
yang dihuni oleh ragam suku bangsa, agama, dan budaya.
Kemauan politik bangsa yang kuat dan bermakna terhadap
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional bukan semata-mata
urusan ketersediaan anggaran dan sumber dana, melainkan
pemahaman secara benar dan utuh terhadap amanat pendiri
Republik untuk membangun Negara bangsa Indonesia yang
modern, demokratis, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945, melalui upaya pendidikan.
Pemahaman dan pemaknaan amanat konstitusi dalam
konteks pendidikan adalah pemahaman landasan filosofis
pendidikan yang harus dilakukan secara tepat dan benar, menjadi
dasar perumusan tujuan dan praksis pendidikan nasional,
sebagaimana terkandung dalam UUD NRI Tahun 1945.
Paragraph 1 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
menegaskan, bahwa negara ini didirikan, ”Atas berkat rakhmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Dalam
paragraf 1 terkandung makna pengakuan rakyat Indonesia
sebagai mahluk yang berhamba kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Tujuan berbangsa dan bernegara tak bisa mengingkari kehendak
Allah Yang Maha Kuasa, yang diwujudkan dalam kepemelukan
agama manapun yang diyakini setiap penduduk Indonesia
sebagaimana dijamin Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan
sila pertama Pancasila. Imperatif dari paragraf satu, Pendidikan
Nasional memikul tanggung jawab untuk menjadikan rakyat
Indonesia sebagai manusia yang beriman, bertakwa, dan
berhamba kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kandungan paragraf empat Pembukaan UUD NRI Tahun
1945 bermakna sebagai tujuan dan sekaligus misi negara yang
harus menjadi cara berpikir, orientasi hidup, motivasi, komitmen,
dan perilaku manusia Indonesia, bersifat lintas generasi yang
harus terwariskan dari generasi ke generasi. Pendidikan Nasional
memikul tanggung jawab dalam pengembangan karakteristik
Manusia Indonesia yang terkandung dalam paragraf empat yang
harus tertuang dalam rancangan pokok (grand design), dan peta
jalan (road map), kebijakan, dan program pendidikan nasional.
Empat misi itu harus menjadi misi pendidikan nasional, misi
pemimpin pendidikan, dan misi pendidik (guru). Membawa
manusia Indonesia kepada kondisi bagaimana seharusnya adalah
membawa rakyat Indonesia bersama-sama mewujudkan empat
misi yang disebutkan. Pendidikan Nasional memikul tangung
jawab untuk menghadirkan guru dengan empat misi negara ke
dalam proses pendidikan dan secara sadar mengarahkan peserta
didik untuk membangun cara berpikir, sikap, dan keterampilan
dalam keempat misi sebagai wujud tanggung jawab kolektif di
dalam mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Guru
perlu memiliki kecakapan melakukan “politik arahan” untuk
mengarahkan dan membawa peserta didik mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Sungguh amat visioner. Dua misi pertama dari paragraf
empat adalah orientasi ke dalam (inward looking) sebagai bangsa
berdaulat dan bertanggungjawab untuk memajukan
kesejahteraan umum. Dua misi terakhir menegaskan orientasi ke
luar (outward looking), untuk hidup bersama dengan bangsa-
bangsa lain dalam kehidupan yang cerdas, mandiri, damai, dan
berkeadilan sosial. Pendidikan Nasional bertanggung jawab untuk
mengawal rakyat Indonesia menyadari dan menumbuhkan
kekuatan orientasi ke dalam maupun ke luar, dalam cara berpikir,
berkehendak, dan bertindak sebagai warga negara dan warga
global.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah membangun
bangsa beradab, berakar pada nilai budaya bangsa. Cerdas bukan
sebatas menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan
dalam cara berpikir yang baik, benar, dan etis; pengendalian diri,
memilih tindakan dan tanggungjawab. Pendidikan Nasional
bertanggungjawab untuk membangun kehidupan bangsa yang
cerdas sebagai bangsa yang beradab, meraih kesuksesan hidup
dengan cara yang baik dan benar, sesuai dengan hakikat manusia
Indonesia yang mengakui dirinya sebagai mahluk Allah Yang
Maha Kuasa.
Kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,
merupakan kemandirian hidup yang tumbuh atas kesadaran saling
bergantung satu sama lain, respek terhadap peran, posisi, dan
tanggungjawab masing-masing dalam kehidupan. Sikap yang
disebutkan akan menumbuhkan kedamaian, toleransi, menghargai
keragaman, dan keadilan sosial yang tumbuh mulai dari tataran
antarpribadi sampai dengan tataran antarbangsa. Pendidikan
Nasional bertanggungjawab untuk membawa dan mengawal
rakyat Indonesia menumbuhkan cara berpikir, kesadaran, sikap,
dan keterampilan untuk hidup mandiri, damai, toleran, dan
berkeadilan.
Kini, Pendidikan Nasional membawa sekelompok generasi
bangsa, memikul tanggung jawab alih generasi yang harus
sejalan dengan komitmen para pendiri bangsa dan negara yang
tidak pernah berubah dan bergeser. Pendidikan Nasional
bertanggungjawab untuk mewariskan nilai keimanan dan
ketaqwaan kepada generasi milenial sebagai wujud pewarisan
pengakuan rakyat Indonesia kepada Allah Yang Maha Kuasa,
Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan Generasi Milenial adalah upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia yang beriman dan bertakwa,
memajukan kebudayaan nasional, menjadikan warga negara dan
warga global yang bertanggung jawab, dan menghargai sejarah
bangsa. Pendidikan Nasional bertanggung jawab untuk
membangun cara berpikir, kesadaran, sikap, dan keterampilan
dalam kehidupan beragama, memajukan kebudayaan nasional,
warga negara yang bertanggung jawab, memahami perjalanan
bangsa dengan benar, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila berfungsi imperatif
dalam penegasan dan penempatan Pendidikan Agama, Pendidikan
Kewaganegaraan, dan Pendidikan Sejarah Bangsa sebagai
pelajaran tersendiri dalam kurikulum nasional.
Tampak jelas bahwa nilai-nilai filosofis Pendidikan Nasional,
hakikat dan tujuan hidup manusia Indonesia, terkandung dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan harus menjadi sumber
perumusan Filsafat Pendidikan dan Tujuan Utuh Pendidikan
Nasional. Filsafat Pendidikan dan Tujuan Utuh Pendidikan
Nasional tidak akan bergeser, yang bergeser adalah pemaknaan
konteks atas dasar filsafat dan tujuan utuh pendidikan nasional.
Arahan Konstitusi tentang penyelenggaraan Sistem
Pendidikan Nasional sebagaimana ditegaskan pada Pasal (31) dan
Pasal (32) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 31 (1) “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”, mengandung imperatif bahwa pendidikan harus
diselenggarakan secara inklusif, mengabaikan tingkat kecerdasan,
latar belakang etnis, suku, agama, dan budaya. Pendidikan
nasional menjadi perekat nasionalisme dalam keragaman dalam
membangun “kecerdasan kehidupan bangsa”, sebagai kekuatan
kolektif bangsa, dan bukan semata-mata kecerdasan individual.
Terdapat tanggung jawab Negara untuk membuka akses
pendidikan dalam berbagai jalur dan tataran/jenjang dengan
segala variannya yang menjamin hak warga negara untuk
memperoleh akses pendidikan bermutu secara inklusif dan
berkelanjutan.
Pasal 31 (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”,
mengandung imperatif bahwa tidak ada seorang warga negarapun
yang tidak memperoleh pendidikan dasar, dan penyelenggaraan
pendidikan dasar menjadi tanggung jawab penuh Negara. Perlu
definisi yang tegas tentang Pendidikan Dasar karena terdapat
konsekuensi hukum bagi warga negara yang tidak mengikuti
pendidikan dasar. Pendidikan dasar merupakan bagian dari proses
alih generasi dalam menyiapkan warga negara menjadi anggota
masyarakat yang bertanggung jawab. Perlu rumusan tentang
posisi dan peran pendidikan dasar dalam sistem pendidikan
nasional, dan hubungan timbal balik antara pendidikan dasar
dengan peran dan kehidupan lulusan sebagai warga masyarakat.
Hubungan timbal balik serupa perlu dirumuskan pula untuk
pendidikan menengah.
Pasal 31 (3) “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.” Perlu komitmen bahwa “…sistem pendidikan
nasional…” dimaksud adalah pendidikan bermutu untuk
meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan ahlak mulia. Negara
harus menjamin dan memastikan bahwa pendidikan nasional
diarahkan dan dimaksudkan untuk membangun Manusia Indonesia
Masa Depan yang beriman, bertakwa, dan berahlak mulia.
Terkandung imperatif membangun kecerdasan kehidupan bangsa
harus berlandaskan kepada dan lumat dengan nilai-nilai keimanan,
ketakwaan, dan ahlak mulia, dan imperatif dimaksud harus secara
eksplisit dinyatakan dalam undang-undang sistem pendidikan
nasional secara komprehensif, menegaskan filsafat pendidikan
nasional dan tujuan utuh pendidikan nasional, mengatur
hubungan pendidikan dengan berbagai bidang kehidupan dan
dunia kerja, memastikan pendidikan sebagai wilayah publik yang
mengedepankan prinsip nirlaba. Terkandung implikasi linier bagi
pendidikan guru dan manajemen ketenagaan guru.
Pasal 31 (4) “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.” Imperatif anggaran pendidikan 20 persen
adalah sebuah kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Perlu keajegan dalam sistem penganggaran yang berlandaskan
prinsip dan sistem negara kesejahteraan, menyangkut ragam
urusan dan komponen anggaran, dan semestinya undang-undang
sistem pendidikan nasional mengatur dan menjamin kepastian
anggaran dan sistem alokasi anggaran yang berbasis negara
kesejahteraan sesuai dengan amanat konstitusi.
Pasal 31 (5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia.” Terkandung imperatif bahwa Perguruan Tinggi,
sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi, dan
sebagai poros pembangunan negara dan bangsa. Penguatan nilai-
nilai keagamaan dan persatuan bangsa harus lumat dengan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menjadi faktor
penguat dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk memajukan peradaban, kesejahteraan, dan kemaslahatan
bagi umat manusia.
Pasal 32 (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya.” Terdapat tanggung jawab Negara untuk
memelihara dan memajukan kebudayaan nasional melalui
penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional, dan tidak cukup
dengan hanya mendirikan “lembaga-lembaga kebudayaan”.
Pendidikan Nasional bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
pendidikan kebudayaan, sebagai proses dan produk, tidak hanya
dipelajari sebagai pengetahuan dan kecakapan tetapi sebagai nilai
yang menjadi landasan mendidik. Pendidikan berbasis etnografis
(etnopedagogik) seyogyanya menjadi bahagian dari sistem
pendidikan nasional dalam upaya memajukan kebudayaan
nasional berbasis kebudayaan daerah, yang akan menjadi
“kekuatan kolektif kebudayaan nasional” untuk diwarisi oleh
generasi penerus.
Pasal 32 (2) “Negara menghormati dan memelihara bahasa
daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Terkandung tanggung
jawab Negara, melalui Sistem Pendidikan Nasional, untuk
menjamin keberlanjutan (sustainability) Bahasa Daerah sebagai
nilai budaya yang hidup berkelanjutan (sustainable living cultural
values) di masyarakat, yang memperkuat kebudayaan nasional
dan mendukung pencapaian tujuan utuh pendidikan nasional.
IMPERATIF TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Profil Manusia Indonesia Ideal yang dikehendaki
sebagaimana kandungan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, telah
dirumuskan ke dalam Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana
tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Secara tegas dalam Pasal 1 (1) UU Nomor 20 Tahun 2003
dinyatakan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk


mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.

Arahan Pasal 1 (1) mengandung perubahan paradigma jika


dibandingkan dengan rumusan pendidikan yang terkandung dalam
UU No. 2/1989. Kandungan makna Pasal 1 (1) UU Nomor 20/2003
sejalan dengan pemikiran pedagogik bahwa: (1) proses
pendidikan dilakukan secara sadar dan ada kesadaran mendidik di
dalamnya, (2) berlangsung dalam suasana dan proses
pembelajaran yang mendidik, (3) menciptakan kondisi pribadi
maksimum dengan melibatkan peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya, (4) membawa peserta didik
kepada kondisi bagaimana seharusnya.

Menciptakan kondisi pribadi maksimum dengan melibatkan


peserta didik secara aktif, mengandung makna bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis sesuai dengan potensi peserta
didik. Berarti pula bahwa pembelajaran bertolak dari prinsip
keragaman dan berlangsung di dalam keragaman. Kesadaran
mendidik dan kemahiran penyelenggaraan pembelajaran yang
mendidik akan tampak dalam pemahaman guru secara mendalam
terhadap peserta didik, penguasaan dan pemahaman materi
pembelajaran, tujuan-tujuan kurikulum, dalam konteks
pencapaian Tujuan Utuh Pendidikan Nasional. “Kaidah-kaidah
pendidikan nasional yang disebutkan semestinya membentuk blue
print pendidikan nasional yang mengandung landasan filosofis dan
landasan-landasan kultural yang menjamin pendidikan tidak
tercerabut dari akar budaya bangsa Indonesia. Ini berarti bahwa
manusia Indonesia yang bermartabat adalah manusia Indonesia
yang tidak tercerabut dari akar budayanya sebagai bangsa
Indonesia.” xiii

Ditegaskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi untuk membangun


kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan berfungsi untuk membangun karakter,


membangun watak, dan membangun kepribadian dan martabat
bangsa. Perlu disadari, bahwa yang ditegaskan dalam hal ini
adalah, kecerdasan kehidupan bangsa bukan kecerdasan orang
per orang, demikian pula halnya dengan karakter bangsa, bukan
karakter orang per orang, martabat bangsa bukan martabat orang
per orang. Kendatipun benar bahwa kecerdasan, karakter, dan
martabat yang disebutkan akan melekat pada diri orang per orang
namun kecerdasan bangsa, karakter bangsa, martabat bangsa
bukanlah sebuah agregat dari kecerdasan, karakter, dan martabat
perorangan; di dalamnya mesti ada perekat, yaitu nilai-nilai
kultural, kesadaran kultural dan oleh karena itu pendidikan harus
membangun kecerdasan kultural; sebagai perwujudan dari arahan
Pasal 32 (1 dan 2) UUD NRI Tahun 1945.
Semua rumusan yang amat indah namun abstrak itu perlu
dipadankan dengan praksis penyelenggaraan pendidikan.
Pertanyaannya adalah, sudahkah penyelenggaraan pendidikan
saat ini menunjang terpenuhinya fungsi dan tercapainyanya tujuan
yang dirumuskan dalam kaidah normatif yang disebutkan itu?

Fungsi dan tujuan pendidikan yang digariskan merefleksikan


tiga tataran tujuan pendidikan, sebagai Tujuan Utuh
Pendidikan Nasional, yakni tujuan individual, tujuan kolektif,
dan tujuan eksistensial. Tujuan individual yaitu tujuan yang
dicapai oleh setiap peserta didik dalam mengembangkan potensi
dirinya. Tujuan kolektif adalah tujuan yang dicapai dalam wujud
kecerdasan kehidupan bangsa. Tujuan eksistensial adalah tujuan
yang terwujud dalam karakter bangsa yang bermartabat, cinta
tanah air dan bela negara, dan memiliki daya saing dan ketahanan
hidup berkelanjutan. Dalam perspektif pendidikan yang
digambarkan, membangun manusia Indonesia yang bermartabat
melalui upaya pendidikan adalah mewujudkan tujuan utuh
pendidikan nasional, sehingga dengan demikian setiap kebijakan,
regulasi, praktek penyelenggaran, manajemen, dan evaluasi
pendidikan harus secara konsisten beranjak dari mind set utuh
pendidikan yang terarah kepada pencapaian tujuan utuh
pendidikan nasional.

Selamat Mengabdi Sebagai Guru Profesional…!!!

“JADILAH GURU YANG BAIK ATAU TIDAK SAMA SEKALI”.


(M.I. Soelaiman, Filosof UPI)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Guru dan
Dosen

i
Soelaiman, M.I. Dr. (Alm), Dosen Pedagogik UPI (IKIP Bandung), saya
mengapresiasi beliau sebagai Filosof UPI
ii
Kartadinata, Sunaryo. (2010). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling
Sebagai Upaya Pedagogis. UPI Press
iii
Peters, M.A. (ed.), “Langeveld, Martinus J. (1905–1989)”. Encyclopedia of
Educational Philosophy and Theory, DOI 10.1007/978-981-287-532-
7_203-1, Springer Nature Singapore Pte Ltd. 2016
iv
Langeveld menegaskan Pedagogik sebagai ilmu otonom.
v
Fromm, Erich. (1947). merumuskannya dalam frase “Man for Himself”
vi
Pribadi, Sikun. (1971). In Search of The General Aim of Education. LPPD IKIP
Bandung
vii
Kartadinata, Sunaryo. 2016). Reveal the Veil of Guidance and Counseling in
Pedagogic Efforts. UPI Pres
viii
Schumacher, EE.F. (1978). A Guide for the Perplexed. London: Sphere Books
Ltd.
ix
Fromm, Erich. (1947). Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of
Ethics. New York: Fawcett Premier.
x
Loughran, John. (2005). Developing A Pedagogy of Teacher Education,
Understanding Teaching & Learning about Teaching. Routledge
xi
Loughran, John, Ibid.
xii
Beijaard, Meijer, & Verloop (2004). In Ilze Ivanova Rita Skara- MincƗne.
(2016). “Development of Professional Identity during Teacher’s
Practice”.
xiii
Kartadinata, Sunaryo. (2012). Penyehatan Kultur Pendidikan. UPI

Anda mungkin juga menyukai