Anda di halaman 1dari 60

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ibu Hamil


2.1.1 Definisi Ibu Hamil
Menurut Ratnawati 2020 menyatakan bahwa ibu hamil merupakan
Wanita yang mengandung dimulai dari pembuahan sampai terlahirnya
janin, yang dimana masa antara kehidupan sebelum memiliki anak yang
berada dalam kandungan dan kehidupan nanti setelah anak itu lahir yang
disebut waktu transisi kehamilan. Implantasi yaitu ovum yang telah dibuahi
membelah diri menuju oleh rambut getar tuba kedalam ruang Rahim
kemudian menempel pada mukosa Rahim untuk bersarang diruang Rahim,
memerlukan waktu sekitar 6-7 hari dari pembuahan sampai nidasi
berlangsung (Restyana, 2012 dalam Sumarmi, 2015). Terjadinya konsepsi
dimulai dari proses kehamilan dimana bersatunya sel telur (ovum) dan
sperma, proses kehamilan (gestasi) membutuhkan waktu selama 40 minggu
atau 280 hari terhitung dari hari pertama menstruasi terakhir, usia
kehamilan yaitu 38 minggu terhitung mulai dari tanggal konsepsi (tanggal
bersatunya sperma dengan telur) yang terjadi dua minggu setelahnya.
(Kamariyah dkk, 2014). 
2.1.2 Status Gizi Ibu Hamil
Status gizi merupakan pengukuran keberhasilan pemenuhan nutrisi.
Status   gizi   juga dapat diartikan sebagai ukuran yang menggambarkan
kondisi tubuh yang dapat dilihat dari asupan makan dan penggunaan zat-
zat  di dalam  tubuh. Status  gizi  dibagi  menjadi  beberapa  kategori
diantaranya status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih. 
Status gizi selama kehamilan memiliki pengaruh yang besar terhadap
proses kelahiran bayi. Ibu yang kekurangan gizi dapat meningkatkan risiko
keguguran, kematian prenatal yaitu kematian janin pada usia kehamilan 22
minggu  sampai 1 minggu setelah lahir, dan kematian neonatal yaitu bayi
usia 0-28 hari (Puspitaningrum, 2017).
Dalam mengukur status gizi ibu hamil dapat menggunakan pengukuran
antropometri LiLA, tinggi badan, dan berat badan. Pengukuran Lingkar
Lengan Atas (LiLA) merupakan pengukuran antropometri dengan
mengukur lingkar lengan atas pada bagian tengah antar ujung bahu dan
ujung siku. Pengukuran LiLA ini dengan alat bantu pita LiLA. Pengukuran
LiLA dapat mendeteksi adanya KEK (Kekurangan Energi Kronik) pada ibu
hamil. Pemantauan berat badan ibu selama kehamilan sangat penting untuk
memantau perkebangan janin didalam kandungan.
2.1.2.1 Cara Pengukuran Status Gizi IBu Hamil
A. Prosedur Cara Pengukuran Pita LILA
1. Memastikan pita LiLA yang digunakan tidak kusut 
2. Menanyakan kepada responden tangan mana yang sering
digunakan untuk beraktifitas anatara tanggan kanan atau tangan
kiri, apabila yang sering digunakan untuk beraktivitas tangan
kanan makan yang diukur tangan kiri begitupun sebaliknya jika
tangan kiri sering digunakan untuk melakukan aktifitas makan
yang diukur tangan kanan.
3. Meminta responden untuk menekuk tangannya kemudian
diukur pangan lengan atas sampai siku untuk mencari titik
tengah dari tulang bahu siku.
4. Lingkarkan pita LiLA dititik tengah-tengah tulang bahu dan
siku dengan tidak  terlalu ketat dan tidak terlalu longar
5. Baca hasil pengukuran  

B. Prosedur Cara pengukuran Tinggi Badan


Mengunakan Microtoice
1. Pilih bidang yang datar seperti tembok sebagai tempat untuk
meletakkan microtoise
2. Pasang microtoise pada bidang tersebut dengan kuat dengan
cara menarik ujung meteran hingga lurus menuju angka nol,
lalu tempel dengan lakban.
3. Meminta responden untuk melepaskan sepatu/alas kaki dan
hiasan rambut 
4. Posisikan berdiri tegak lurus di bawah alat microtoise,
pandangan lurus ke depan dengan posisi tegak, bagian belakang
kepala, tulang belkat, bokong, tumit menempel ke dinding dan 
kedua lutut dan tumit rapat
5. Tarik kepala microtoise sampai puncak kepala.
6. Baca angka pada jendela baca dan mata pembaca harus sejajar
dengan garis merah
7. Angka yang dibaca adalah yang berada pada garis merah dari
angka kecil ke arah angka besar
8. Catat hasil pengukuran tinggi badan.

C. Pengukuran Cara Pengukuran Berat Badan


mengunakan Timbangan
1. Pastikan alat timbangan ditempatkan di tempat yang datar dan
timbangan sudah dikalibrasi 
2. Responden mengunakan pakaian seminimal mungkin atau
ringan 
3. Meminta responden untuk melepaskan aksesoris karena dapat
memberatkan pada saat menimbang 
4. Meminta responden untuk menaiki timbangan dengan posisi
berdiri tegak dan pandangan menghadap ke depan.
5. Setelah itu baca dan dicatat hasil timbangan di jendela baca
6. Meminta responden untuk turun dari timbangan.

        
2.1.2.2 Kenaikan Beret Badan Pada Ibu Hamil
Kenaikan Berat Badan selama kehamilan hal yang Normal
Selama kehamilan, ibu perlu pertambahan berat badannya karena
membawa calon bayi yang tumbuh dan berkembang dalam
rahimnya, dan juga untuk persiapan proses menyusui. Jadi, ibu
hamil tidak perlu khawatir bila badannya menjadi besar, tetapi
sebaliknya mulai merencanakan dan melakukan apa yang terbaik
dan sehat bagi kehamilan (Suririnah, 2008).
Kenaikan berat badan setiap wanita hamil berbeda, tergantung
dari tinggi badan dan berat badanya sebelum kehamilan, ukuran
bayi dan plasenta, dan kualitas diet makan sebelum dan selama
kehamilan. Berdasarkan dari perhitungan BMI (body mass index),
peningkatan berat badan selama kehamilan tergantung dari berat
badan sebelum hamil. Perhitungan BMI menggunakan ukuran
berat badan dan tinggi badan untuk memperkirakan jumlah total
lemak dalam tubuh.

A. Kenaikan Berat Badan menurut Trimester Kehamilan 


1. Trimester I ( 0 - 12 Minggu) 
Pada saat hamil nafsu makan ibu berkurang, karena ibu sering
mengalami rasa mual dan muntah. pada saat ini, Ibu Harus tetap
berusaha untuk makan agar janin dapat tumbuh dengan baik.
Kenaikan Berat badan Ibu hamil Pada Trimester I Normalnya
Antara 0,7 - 1,4 kg.
2. Trimester II (sampai dengan Usia kehamilan 28 Minggu) 
Pada Saat Ibu Hamil Memasuki Trimester II Nafsu makan pada
ibu sudah Pulih Kembali, kebutuhan makan harus diperbayak.
Kenaikan Berat badan Ibu Hamil Pada Trimester II Normalnya
Antara 6,7 - 7,4 Kg. 
3. Trimester III (sampai dengan Usia Kehamilan 40 Minggu) 
Pada Saat Hamil Memasuki Trimester III Nafsu makan ibu
sangat baik, tetapi Tidak boleh berlebihan. Kenaikan Berat Badan
Ibu Hamil Pada Trimester III Normalnya Antara 12,7 - 13,4 kg. 

B. Kenaikan Berat Badan menurut IMT (Indeks Masa Tubuh) 


Pola Kenaikan Berat badan pada saat Hamil yang sehat
tergantung pada pada berat badan awal Ibu sebelum hamil. ibu yang
memiliki berat badan awal ibu sebelum hamil. ibu yang mememiliki
berat badan berlebih seharusnya memiliki kenaikan berat badan yang
lebih sedikit dari ibu yang normal, begitu pula sebaliknya. Berikut
kebaikan berat badan ibu selama hamil menurut IMT (indeks Masa
Tubuh).
Tabel Kenaikan Berat Badan ibu sebelum hamil menurut Indeks Masa
Tubuh (IMT)

IMT (kg/m) Total Kenaikan Selama Trimester II


Berat Badan yang dan III
disarankan

Berat  Kurang 12,5 - 18 Kg 0,53 kg/minggu


(IMT <18,5 kg/m2)

Normal 11,5 16 kg 0,45 kg/minggu


(IMT 18,5 - 24,9 kg/m2)

Berat Berlebih 7 - 11,5 kg 0,27 kg/minggu


(Overweight)
(IMT 25 - 29,9 kg/m2)

Obesitas 5 - 9,1 kg 0,23 kg/minggu


(IMT >30 kg/m2)
Sumber : Cunningham, Tahun 2013 dan IOM, Tahun 2010

2.1.3 Kebutuhan Gizi Ibu Hamil


2.1.3.1  Zat Gizi Makro
1. Energi
Energi pada ibu hamil merupakan sumber utama untuk
tubuh. Energi memiliki fungsi sebagai sirkulasi dan sintesis protein.
Energi juga dibutuhkan untuk melakukan aktivitas fisik dan
metabolisme tubuh. Ibu hamil dengan kekurangan energi
menyebabkan inti dari DNA dan RNA kurang, selain itu dapat
mengganggu profil asam lemak yang menyebabkan transfer zat gizi
ibu ke janin terganggu (Febrina dkk, 2014). 
         Energi pada ibu hamil membutuhkan tambahan sebesar
80.000 kalori selama 280 hari. Hal ini berarti perlu tambahan energi
ekstra sebanyak kurang lebih 300 kkal setiap hari selama kehamilan
(Lubis, 2003). Meningkatnya usia kehamilan dapar mempengaruhi
metabolisme tubuh dan peningkatan kalori. Jika terjadi pembatasan
energi atau kalori pada ibu hamil trimester kedua dan ketiga maka
akan dapat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Syari,
2015). 
Berdasarkan pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2019,
bahwa kebutuhan energi pada ibu hamil akan  meningkat pada
trimester satu yaitu sebesar 180 kkal/hari dari kebutuhan, kemudian
lebih meningkat lagi sepanjang trimester kedua yaitu 300 kkal/hari,
dan pada trimester ketiga hingga melahirkan ada penambahan
sebesar 300 kkal/hari (Kementrian Kesehatan RI, 2019). 
2.     Protein
Protein merupakan zat gizi makro penting yang membentuk
enzim, hormon, komponen struktural dan sel sistem kekebalan tubuh
melalui stimulasi sintesis protein (Mann dan Truswell, 2014).
Fungsi protein untuk tubuh manusia sangat penting, protein
merupakan sumber energi setelah glikogen, protein juga menjadi
katalitase bagi reaksi biokimia dalam tubuh. Selain itu protein
digunakan sebagai penyusun struktur sel dan jaringan. Jika asupan
protein cukup maka status gizi akan baik termasuk ukuran lingkar
lengan atas (LILA).
Secara teoritis asupan protein berhubungan dengan ukuran
lingkar lengan atas. Jika asupan protein cukup maka akan berfungsi
sebagai energi alternatif terakhir setelah karbohidrat dan lemak
terpakai. Artinya dominasi protein sebagai sumber energi akan
dilakukan sebagai kompensasi defisit energi untuk mengurangi
kejadian KEK (Guyton & hall, 2008).
Protein pada ibu hamil berfungsi sebagai pembangun
jaringan pada tubuh janin, sehingga asupan protein yang tidak sesuai
atau kurang mengakibatkan janin yang dikandung mengalami
pertumbuhan janin terlambat. Kebutuhan protein Berdasarkan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2019, Teradapat Penambahan
kebutuhan Protein pada Trimester I sebanyak 1 gram/hari, Trimester
II sebanyak 10 gram/hari, dan pada Trimester III bertambah
sebanyak 30 gram/hari (Kementrian Kesehatan RI, 2019). 
 
3.    Lemak
Salah satu fungsi lemak yaitu sebagai pelarut vitamin A, D,
E dan K. Lemak sangat dibutuhkan pada ibu hamil untuk
perkembangan dan pertumbuhan janin selama dalam kandungan
sebagai kalori utama, sebagai cadangan energi selama dan setelah
proses melahirkan dan lemak disimpan untuk persiapan ibu sewaktu
menyusui. Maka dari itu ibu hamil harus mengkonsumsi lemak
dalam jumlah yang seimbang Kelebihan dalam mengonsumsi lemak
dapat mengakibatkan kegemukan (Proverawati dkk, 2009).
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2019, Terdapat
penambahan Lemak Pada Trimester I, II, dan II sebanyak 2,3 Gram.
Jika kurang dalam mengkonsumsi lemak dikhawatirkan akan
kekeurangan energi selama kehamilan yang berperngaruh pada bayi
yang akan dilahirkan. Lemak juga berfungsi dalam perkembangan
otak syaraf, sehingga apabila kekurangan dapat mengakibatkan
ketidaksempurnaan pertumbuhan syaraf janin (Nurbaiti. 2015).

 4. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama yang
dibutuhkan untuk tubuh selama kehamilan untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin. Pada umumnya kandungan karbohidrat ini
berkisar 60-70% dari total konsumsi energi. Kebutuhan energi bagi
ibu hamil adalah 300 sampai 500 kalori lebih banyak dari masa
sebelum hamil. Energi tambahan ini untuk memenuhi metabolisme
basal yang meningkat, aktivitas fisik yang semakin boros energi dan
penimbunan lemak untuk cadangan energi.
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2019, terdapat
penambahan kebutuhan karbohidrat pada ibu hamil trimester I 
sebanyak 25 gram/hari, Sedangkan pada trimester II dan trimester
III, ibu hamil memiliki penambahan karbohidrat sebesar 40
gram/hari (Kementrian Kesehatan RI, 2019). Pembatasan kalori atau
energi pada ibu hamil dapat menyebabkan risiko bayi lahir dengan
berat badan lahir rendah (Syari et al., 2015).
Apabila kekurangan dalam konsumsi karbohidrat ibu akan
mengalami kekurangan energi baik selama kehamilan dan
persalinan dan bisa terjadi BBLR (Nurbaiti, 2015).

2.1.3.2  Zat Gizi Mikro


1.     Zat Besi
Saat kehamilan zat besi akan meningkat 200-300 miligram
dan yang dibutuhkan sekitar 1040 miligram. Zat besi dibutuhkan
untuk memproduksi hemoglobin, yaitu protein di sel darah merah
yang berperan membawa oksigen ke jaringan tubuh. Selain itu, zat
besi penting untuk pertumbuhan dan metabolisme energi dan
mengurangi kejadian anemia. Defisiensi zat besi akan berakibat ibu
hamil mudah lelah dan rentan infeksi, resiko persalinan prematur
dan berat badan bayi lahir rendah. Untuk mencukupi kebutuhan zat
besi, ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi 30 miligram tiap hari.
Efek samping dari zat besi adalah konstipasi dan nausea (mual
muntah). Zat besi baik dikonsumsi dengan vitamin C, dan tidak
dianjurkan mengkonsumsi bersama kopi, teh, dan susu. Sumber
alami zat besi dapat ditemukan pada daging merah, ikan, kerang,
unggas, sereal, dan kacang-kacangan.

2.    Asam folat 


Pada ibu hamil asam folat berperan penting dalam
pembentukan satu per tiga sel darah merah. Willis (1931),
mengatakan bahwa folat dibutuhkan sebagai pencegahan anemia
pada saat kehamilan. Wanita membutuhkan 50-100 mcg asam folat
per hari, sedangkan selama kehamilan kebutuhan ibu akan asam
folat sebesar 300–400 mcg/hari.

2.1.4 Asupan Gizi Ibu Hamil


2.1.4.1  Zat Gizi Makro
Zat gizi makro merupakan penyumbang energi terbesar bagi
tubuh dan ibu hamil memerlukan energi tersebut untuk pertumbuhan
dan perkembangan janinnya.
1. Energi 
Pada wanita tidak hamil usia 19-29 tahun membutuhkan energi
sebesar 2250 kkal per hari dan usia 30-49 tahun membutuhkan
energi sebesar 2150 kkal per hari. pada saat hamil ibu sangat
membutuhkan Tambahan energi yang dibutuhkan ibu hamil
sebesar 180 kkal pada trimester I dan 300 kkal pada trimester II
dan III dari energi pada wanita tidak hamil (Republik
Indonesia, 2019).
2. Protein
Asupan protein pada ibu hamil mengalami peningkatan
dibandingkan pada saat tidak hamil yaitu dibutuhkan tambahan
asupan protein sebesar 1 g pada trimester I, 10 g pada trimester
II dan 30 g pada trimester III (Republik Indonesia, 2019).
Sumber protein dari hewani meliputi daging, susu, telur, Ikan,
telur, dan hasil olahannya. sedangkan dari nabati kacang-
kacangan dan hasil olahannya yaitu tempe, tahu dan susu
kedelai (Savitri, 2015).
3. Lemak 
Asupan Lemak pada Ibu hamil penambahan Lemak Pada
Trimester I, II, dan II sebanyak 2,3 Gram. Sumber lemak
seperti Alpukat, selai kacang, minyak nabati, daging ayam,
ikan. 
4. karbohidrat 
Asupan Pada wanita tidak hamil usia 19-29 tahun yaitu sebesar
360g/hari dan untuk usia 30 - 49 tahun membutuhkan sekeitar
340 g/hari. sedangkan Ibu yang hamil dibutuhkan penambahan
asupan Karbohidrat sebesar 25 g pada Trimester 1 sebanyak 25
g, pada Trimester II dan III sebanyak 40 g. Sumber karbohidrat
dapat dipenuhi dengan mengonsumsi makanan seperti nasi,
roti, sereal, jagung, singkong, ubi jalar dan lainnya

2.1.4.2 Zat Gizi Mikro


1. Zat besi
Menurut Kadir (2019) zat besi juga merupakan salah
satu mineral yang berfungsi untuk membantu pembentukan
sel darah merah pada janin dan plasenta. Akan tetapi
kelebihan zat besi (Fe) yang terus meningkat secara
signifikan selama kehamilan akan berdampak buruk bagi
ibu hamil, sebab wanita hamil akan sangat rentan terhadap
masalah gizi terutama anemia defisiensi besi. Pada masa
kehamilan tubuh memang lebih banyak membutuhkan zat
besi dibandingkan dalam kondisi tidak hamil, apa lagi
memasuki masa kehamilan triwulan kedua hingga
triwulan ketiga. Pada masa kehamilan triwulan pertama
kebutuhan zat besi akan lebih rendah, sebab jumlah zat besi
yang akan ditransfer ke janin juga masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Mardliyataini.,et.al,
terdapat responden mengalami defisiensi zat besi tidak
normal sebanyak 46 orang dan normal sebanyak 54 orang.
Kejadian anemia dengan kategori ringan ini akan
menunjukkan defisiensi zat besi, akan tetapi kekurangan
zat besi yang diperlukan tidak berat. Terjadinya anemia
ringan ini dapat dikarenakan tidak seimbangnya zat gizi pada
tubuh baik itu zat besi, makanan maupun minuman (Aini,
2018). Mariana et al.,(2018) menambahkan bahwa pada
usia kehamilan trimester III akan terjadi pertumbuhan dan
perkembangan janin yang sangat pesat sehingga lebih
banyak dibutuhkan sumber gizi sebagai pembangun dan
pengatur dibandingkan pada usia kehamilan trimester II.
Selain itu, jumlah zat besi yang dikonsumsi perlu
diperhatikan seperti zat besi pada daging, ayam, ikan dan
sebagian besar sayuran. Pada trimester III ibu hamil
membutuhkan sekitar 350 kkal sebagai kebutuhan energinya.

2. Thiamin, Riboflavin, Asam Folat


Berdasarkan AKG kebutuhan thiamin atau Vitamin B1 dan
riboflavin atau vitamin B2 mengalami peningkatan sebesar 0.3
mg pada tiap trimester ibu hamil. Thiamin dan riboflavin
berfungsi dalam metabolisme energi. Direkomendasikan pada
ibu hamil untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung
riboflavin yang terdapat pada susu dan produk susu, cereal dan
produk cereal, daging dan produk daging, dan sayuran hijau.
Sebelum kehamilan mengkonsumsi suplementasi asam folat
direkomendasikan untuk mencegah anemia megaloblastic.
Makanan sumber asam folat dapat diperoleh dari bahan
makanan seperti sayuran hijau, hati, produk cereal, kacang-
kacangan dan jeruk.

2.1.5 Karakteristik Ibu Hamil


2.1.5.1 Usia Ibu Hamil
Umur adalah lama waktu hidup atau sejak dilahirkan. Umur
sangat menentukan suatu kesehatan ibu, ibu dikatakan beresiko
tinggi apabila ibu hamil berusia dibawah 20 tahun dan diatas 35
tahun (Sembiring,2019). Usia ibu hamil kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun berkaitan erat dengan berbagai komplikasi yang
terjadi selama kehamilan, persalinan, nifas dan juga kesehatan bayi
ketika masih dalam kandungan maupun setelah lahir. (kurniasari,
2015)
Umur berguna untuk mengantisipasi diagnosa masalah kesehatan
dan tindakan yang dilakukan. Wanita berusia dibawah 15 tahun
memiliki faktor resiko melahirkan bayi prematur dan bayi dengan
berat badan lahir yang rendah (BBLR). Juga nulipara yang berusia
35-40 tahun atau lebih memiliki risiko plasenta previa, mola
hidatidosa dan penyakit vaskuler, neoplasma serta penyakit
degeneratif dimana beberapa risiko ini juga akan mempengaruhi
terjadi hambatan pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam
kandungan. (Sembiring, 2019)
Kehamilan idealnya terjadi pada wanita berusia 20-30 tahun,
sebagaimana yang direkomendasikan oleh World Health
Organization (WHO). Sebab, pada usia ini seorang wanita telah siap
serta matang secara fisik dan mental. Faktor usia tentu berpengaruh
terhadap kondisi fisik saat kehamilan. Kehamilan pada usia kurang
dari 20 tahun bisa menimbulkan berbagai masalah. Hal itu karena
kondisi fisik wanita belum 100% siap. Risiko yang dapat terjadi
pada kehamilan diusia kurang dari 20 tahun adalah cenderung
naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin yang terhambat.
Kenyataan ini tentu berbeda dengan wanita berusia 20-30 tahun
yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan.
Kondisi rahim sudah mampu memberi perlindungan maksimal
untuk kehamilan. Sedangkan, pada wanita 30-35 tahun kondisinya
masuk dalam masa transisi. (Sembiring, 2019) Semakin muda usia
ibu hamil (<20 tahun) maka membutuhkan jumlah asupan gizi yang
banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya sendiri dan
juga janinnya. Sedangkan semakin tua usia ibu hamil (>35 tahun)
juga mempengaruhi jumlah kebutuhan gizi, dimana ibu hamil
dengan usia tua membutuhkan tambahan energi yang besar untuk
mendukung kehamilannya. Melahirkan anak pada usia ibu yang
muda atau terlalu tua dapat mengakibatkan kualitas janin atau anak
yang rendah dan juga akan merugikan kesehatan ibu (Andini, 2020).

2.1.5.2 Usia Kehamilan


Masa kehamilan merupakan masa dimana ibu membutuhkan
berbagai unsur gizi (Karbohidrat, protein, vitamin, mineral, lemak)
yang lebih banyak daripada yang diperlukan dari keadaan tidak
hamil. Gizi tersebut selain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
sendiri diperlukan juga untuk pertumbuhan dan perkembangan janin
yang ada didalam kandungan (Moehji, 2013). Selama kehamilan
setidaknya wanita membutuhkan kalori sekitar 400 kkal.
Peningkatan kebutuhan tersebut setidaknya 15% dari yang
dikonsumsi biasanya atau dalam keseharian. Kebutuhan tersebut
40% bagi janin dan 60% bagi ibu. Ibu hamil perlu memperhatikan
asupan nutrisi yang dikonsumsi. Bukan hanya memenuhi makanan
dan minuman namun haruslah mengandung angka kecukupan gizi
yang cukup dan seimbang. Jika gizi selama kehamilan tidak
terpenuhi maka akan mengakibatkan kekurangan gizi yang dikenal
sebagai KEK (kurang energi kronis) hingga dampak buruknya
pertumbuhan janin yang tidak sempurna serta kecacatan janin. (de
Seymour, Beck, & Conlon, 2019)
Usia kehamilan terbagi menjadi 3 trimester. Trimester pertama
adalah 1-13 minggu, trimester kedua dimulai pada minggu ke-14
dan berakhir di usia kandungan 27 minggu. Sedangkan, trimester
ketiga dimulai pada 28 minggu sampai kehamilan minggu ke-41
atau waktu melahirkan. (Andini, 2020). Berdasarkan angka
kecukupan gizi (AKG) pada tahun 2019 kebutuhan energi ibu hamil
pada trimester pertama yaitu sebesar 180 Kkal per hari dan
kebutuhan protein pada ibu hamil akan meningkat hingga 68%,
asam folat 100%, kalsium 50% dan zat besi 200- 300%. Selama
kehamilan secara normal ibu hamil mengalami kenaikan berat
sebanyak 10-12kg. 3 Maka dari itu perlu adanya tindakan deteksi
dini dalam kehamilan untuk dapat mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan janin serta kesehatan ibu selama masa kehamilan.
(Dewi kusuma, 2021).

2.1.5.3 Jarak Kehamilan


Jarak kehamilan adalah suatu pertimbangan untuk menentukan
kehamilan anak pertama dengan kehamilan anak berikutnya. Jarak
kehamilan idealnya lebih dari 2 tahun antar kehamilan satu dengan
berikutnya. Yang dimaksud terlalu dekat adalah jarak kehamilan
satu dengan berikutnya  kurang dari 2 tahun (24 bulan) hal ini dapat
mengakibatkan janin atau anak akan mendapatkan kualitas yang
rendah dan dapat merugikan kesehatan ibu. Jarak ideal antara
kehamilan bermaksud untuk memberi kesempatan pada tubuh ibu
memperbaiki persendiannya dan organ-organ reproduksi untuk siap
mengandung lagi (Susanti et al., 2018)
Jarak kehamilan penting bagi ibu hamil karena jika belum
berjarak dua tahun dari kelahiran sebelumnya, maka dapat dikatakan
belum siap untuk mengalami kehamilan berikutnya. Selama dua
tahun dari kehamilan pertama, seorang perempuan harus benar-
benar memulihkan kondisi tubuh serta meningkatkan status gizi
yang diasup dalam tubuhnya. (Paramashanti,2019) Jarak kehamilan
yang terbaik adalah lebih dari 36 bulan kehamilan sebelumnya,
sedangkan jarak kehamilan yang dekat adalah kurang dari 2 tahun
(Putri & Ismiyatun,2020).
Jarak kehamilan mempengaruhi kondisi ibu hamil dengan
kehamilan yang berulang dalam waktu dekat sehingga memiliki
risiko yang tinggi terhadap kejadian Kekurangan Energi Kronik
(KEK). Hal ini dikarenakan ibu hamil membutuhkan kebutuhan
energi yang banyak guna memenuhi kebutuhan energi ibu dan juga
janin yang dikandung serta pemenuhan gizi terhadap bayi yang
menyusu (Nugraha et al., 2019). Hal tersebut dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Rahmat Nurwan Nugraha dkk pada
tahun 2019 yang menunjukkan bahwa jarak kehamilan berpengaruh
terhadap kejadian KEK pada ibu hamil yang ditandai dengan dari 34
ibu hamil terdapat 18 ibu hamil multipara dan 16 ibu hamil
primipara. Adapun penelitian lain yang dilakukan oleh Lilis Suryani
dkk tahun 2021 juga terdapat hubungan yang signifikan antara jarak
kehamilan dengan kejadian KEK di Puskesmas Pegayut Kecamatan
Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Yang ditandai
dengan sebanyak 5 responden (62,5%) mengalami KEK dan 3
responden (37,5%) jarak kehamilannya dekat. Sehingga dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lilis Suryani dkk dapat disimpulkan
bahwa ibu yang jarak kehamilannya dekat mempunyai peluang
35,938 kali lebih besar untuk mengalami KEK dibandingkan dengan
ibu yang jarak kehamilannya jauh (Suryani et al., 2021)

2.1.5.4 Status Ekonomi Keluarga


Status ekonomi berkaitan dengan pendapatan keluarga yang
dapat mempengaruhi perubahan status nutrisi pada ibu hamil. Hal
ini disebabkan karena penyediaan makanan bergizi membutuhkan
dana yang tidak sedikit, sehingga perubahan status nutrisi
dipengaruhi oleh status ekonomi. Status ekonomi ibu hamil akan
mempengaruhi pemilihan makanan yang akan dikonsumsi sehari-
harinya. Ibu hamil yang memiliki status ekonomi tinggi akan
melakukan pemeriksaan kehamilan sehingga gizi ibu hamil tersebut
akan terpantau, sedangkan ibu hamil yang memiliki status ekonomi
yang rendah tidak dapat memperhatikan kebutuhan gizi dan hygiene
sanitasi makanan yang dikonsumsi sehingga ibu hamil sangat
beresiko terkena penyakit infeksi (Irianto,2014)
Pekerjaan merupakan salah satu cara untuk mengukur tingkat
kesehatan, pekerjaan dapat mempengaruhi pendapatan yang mana
pendapatan akan mempengaruhi nutrisi yang akan dibeli maupun
diperoleh ibu hamil. Seseorang dengan ekonomi tinggi kemudian
hamil maka akan berkemungkinan besar sekali gizi yang dibutuhkan
tercukupi dan adanya pemeriksaan yang membuat gizi ibu semakin
terpantau (Kristiyanasari,2010). Ekonomi dari seseorang sangat
mempengaruhi dalam pemilihan makanan yang akan dikonsumsi
sehari-harinya.
Kondisi sosial ekonomi berkaitan dengan rendahnya pendidikan
serta jarak kelahiran yang dekat dapat menyebabkan buruknya
asupan zat gizi pada ibu hamil. Dukungan keluarga sangat
berpengaruh terhadap kejadian KEK pada ibu hamil (Novitasari et
al., 2019). Hal ini diperkuat dengan penelitian oleh Arini dkk yaitu
terdapat hubungan yang sangat signifikan antara dukungan keluarga
terhadap penyesuaian ibu hamil terhadap kehamilan yang akan
mempengaruhi pada status gizi ibu hamil selama kehamilan.
Selain itu, ibu yang bekerja dapat meningkatkan status sosial
ekonomi keluarga. Ibu yang bekerja mempunyai penghasilan sendiri
sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizinya tidak bergantung pada
suaminya. Kondisi ini dapat disebut bahwa pekerjaan berpengaruh
terhadap status ekonomi (Arisman,2007). Jika suatu keluarga
memiliki kemampuan secara ekonomi maka akan terpenuhi
kebutuhan kesehatannya seperti sarana kesehatan dan kebutuhan
gizi. Keterampilan yang dimiliki ibu rumah tangga dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi keluarga sehingga
kebutuhan untuk kesehatan dan gizi keluarga terpenuhi.
 
2.1.5.5 Pengetahuan Ibu Hamil
A. Pengetahuan Ibu Hamil Terkait Gizi 

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang hubungan


konsumsi makanan dengan kesehatan tubuh. Ibu hamil dengan
pengetahuan gizi baik diharapkan dapat memilih asupan makanan
yang bernilai gizi baik dan seimbang bagi dirinya sendiri beserta
janin dan keluarga, dengan pengetahuan gizi yang cukup dapat
membantu seseorang belajar bagaimana menyimpan, mengolah
serta menggunakan bahan makanan yang berkualitas untuk
dikonsumsi menurut kebutuhannya (Hastuti, 1996). 
Moehji (1998), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
sangat erat antara makanan dan status gizi seorang wanita selama
hamil dengan keadaan gizi bayi setelah lahir. Kurangnya
pengetahuan gizi ibu hamil mempengaruhi perilaku ibu hamil
dalam memilih makanan dalam hal gizi tambahan sehingga terjadi
kekurangan gizi makanan selama kehamilan yang berujung pada
KEK pada masa kehamilan.
Masalah dan keadaan yang sering terjadi pada ibu hamil yaitu
tidak menyadari adanya peningkatan kebutuhan gizi selama masa
kehamilan, perilaku gizi yang salah sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan (Depkes,
2000). Ibu hamil tidak boleh hanya mengikuti nafsu makannya,
karena nafsu makannya belum tentu sesuai dengan kebutuhan.
Malnutrisi bisa terjadi karena ketidaktahuan pada ibu hamil. 

B. Pengetahuan Ibu terkait Pemeriksaan Antenatal Care (ANC)


 Definisi Pemeriksaan Antenatal care (ANC)
Komplikasi kehamilan dan persalinan yang merupakan
penyebab utama kematian ibu, kejadian ini dapat dicegah
melalui antenatal care (ANC) yang rutin dan teratur (Azizah,
2021). Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) merupakan
pemeriksaan yang dilakukan pada ibu hamil guna
mengoptimalkan kesehatan jasmani dan rohani saat
melahirkan dan pasca melahirkan (Sinambela & Solina, 2021).
ANC juga dilakukan untuk mengantisipasi risiko tinggi selama
kehamilan.
Frekuensi minimum pelayanan kesehatan atau layanan
persalinan harus diperhatikan untuk wanita hamil yaitu enam
pemeriksaan kehamilan dan dua pemeriksaan oleh dokter.
Anjuran pemeriksaan kesehatan ibu hamil dilakukan minimal
satu kali pada trimester pertama (0-12 minggu) dua kali pada
trimester kedua (12-24 minggu) tiga kali pada trimester ketiga
(24 minggu sampai melahirkan) dan melakukan pemeriksaan
oleh dokter minimal dua kali pada kunjungan pertama pada
trimester pertama dan pada kunjungan kelima pada trimester
ketiga (Kemenkes RI Ditjen P2P, 2021). 
Pemerintah menetapkan, bahwa pelayanan antenatal
yang baik memenuhi asuhan standar minimal “14T” yakni
timbang dan ukur tinggi badan, tekanan darah, tinggi fundus
uteri, tetanus toxoid, tablet Fe, tes PMS, pemeriksaan HB,
Temu wicara, perawatan payudara, pemeliharaan tingkat
kebugaran/senam hamil, pemeriksaan protein urine atas
indikasi, pemeriksaan reduksi urine atas indikasi, pemberian
terapi kapsul yodium dan pemberian terapi anti malaria
(Rufaridah, 2019).
 Tujuan Antenal Care (ANC)
Tujuan Antenatal Care adalah untuk mempersiapkan 
persalinan dan kelahiran dengan mencegah, mendeteksi, dan
mengatasi masalah kesehatan selama kehamilan. Menurut
Kemenkes (2018) tujuan ANC adalah sebagai berikut : 
A. Memantau proses kehamilan untuk memastikan
kesehatan ibu serta tumbuh kembang janin.
B. Mengetahui adanya komplikasi kehamilan sejak
dini, serta riwayat penyakit dan tindak pembedahan.
C. Meningkatkan kesehatan ibu dan janin.
D. Mempersiapkan proses persalinan sehingga dapat
melahirkan dengan selamat dan meminimalkan
trauma yang mungkin terjadi.
E. Menurunkan jumlah kematian dan angka kesakitan
ibu.
F. Mempersiapkan peran ibu serta keluarga untuk
dapat menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh
kembang secara normal.
G. Mempersiapkan ibu agar nifas berjalan normal dan
pemberian ASI eksklusif.
 Manfaat Antenatal care (ANC)
Antenatal Care memberikan manfaat dengan
menemukan berbagai kelainan, penyakit, atau gangguan
yang diderita ibu hamil sehingga dapat dilakukan
penanganan lebih awal. Pemeriksaan ANC juga memberikan
manfaat bagi ibu dan janin (Purwaningsih dan Fatmawati,
2010). Antara lain:
Bagi Ibu
A. Meminimalisir komplikasi kehamilan dan
mengurangi penyulit masa antepartum.
B. Meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani ibu
dalam menghadapi proses kehamilan.
C. Meningkatkan kesehatan ibu pasca persalinan dan
untuk pemberian ASI.
D. Melakukan proses persalinan secara aman.
Bagi Janin
Manfaat untuk janin adalah menjaga kesehatan ibu agar
mengurangi terjadinya kejadian prematuritas, kelahiran mati
dan berat bayi lahir rendah. 

 Dampak Antenatal Care (ANC)


Setiap kehamilan memiliki risiko dan kematian ibu
sehingga penting dilakukan pemantauan dari masa
kehamilan sampai masa nifas. Sesuai dengan tujuannya yaitu
meningkatkan mengoptimalkan kesehatan ibu hamil, baik
rohani dan jasmani, persiapan dalam menghadapi persalinan
dan masa nifas, persiapan dalam pemberian ASI, dan juga
memulihkan kesehatan reproduks, maka jika pemeriksaan
tidak dilakukan selama masa kehamilan akan ada dampak
tidak baik bagi kehamilan tersebut (Kemenkes, 2018).
Dampak dari pelayanan antenatal care yang tidak
dilaksanakan rutin adalah kesehatan ibu dan janin tidak
dapat diketahui keadaannya, tidak dapat memantau
kemajuan kehamilan sehingga tidak dapat diketahui keadan
janin sehingga tidak terdeteksi secara dini adanya
ketidaknormalan yang mungkin terjadi pada ibu hamil. jadi
asuhan antenatal care sangat penting selama masa
kehamilan guna memastikan proses alami uterus berfungsi
dengan normal (Husniyah, Zahria Arisanti, dkk; 2022).

2.1.5.7 Ketahanan Pangan Keluarga


Ketahanan Pangan di Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-
Undang no 18 tahun 2012 Tentang Pangan. Undang- Undang
tersebut menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya,aman,beragam,bergizi,merata dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat,
untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Ketahanan pangan tidak hanya berfokus pada ketahanan pangan di
tingkat wilayah namun juga berfokus pada ketahanan pangan tingkat
rumah tangga dan individu.
Level ketahanan pangan rumah tangga dapat dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor baik berasal dari rumah tangga itu sendiri
maupun faktor yang berasal dari luar rumah tangga (Sihite &
Tanziha,2021).Tingkat pendapatan,tingkat pengetahuan terkait gizi,
akses dan harga bahan makanan di pasar mempengaruhi ketahanan
pangan rumah tangga. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang
tinggi dan pengetahuan yang baik cenderung memiliki ketahanan
pangan yang baik.Sebaliknya keluarga dengan pendapatan rendah
dan pengetahuan yang rendah memiliki tingkat ketahanan pangan
yang rendah (Putra & Dewi, 2020). Sedangkan akses dan harga
bahan makanan juga berpengaruh pada ketahanan pangan rumah
tangga. Selain itu, harga bahan pangan juga berpengaruh pada
ketahanan pangan rumah tangga. Harga pangan di pasar yang mahal
menyebabkan daya beli masyarakat terhadap bahan pangan
menurun. Hal ini menyebabkan menurunnya konsumsi asupan zat
gizi di tingkat rumah tangga (Wulansari, 2020).
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan setiap anggota keluarga. Ketahanan pangan
rumah tangga sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil.Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami KEK
atau mengalami masalah gizi lain berada dalam situasi rawan
pangan. Tingkat pendapatan rumah tangga yang baik disertai dengan
landasan pengetahuan gizi yang baik diharapkan dapat memperbaiki
tingkat konsumsi pangan sehingga dapat mencapai ketahanan
pangan. Ibu hamil yang memiliki status gizi normal menunjukkan
sebagian besar berada pada situasi rentan pangan ditandai dengan
proporsi pengeluaran pangan tergolong tinggi. Kondisi tersebut
mengindikasikan bahwa rumah tangga dengan pendapatan yang
tergolong rendah akan memprioritaskan untuk membeli bahan
pangan dalam memenuhi kecukupan energi (Putra & Dewi,2020).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arnati Wulansari
(2020) di Desa Bungku Kabupaten Batanghari, penelitiannya
menunjukkan adanya hubungan antara kejadian KEK ibu hamil
berdasarkan LILA dengan ketahanan pangan.Hasil studi yang
dilakukan pada ibu hamil dapat diketahui bahwa sebagian besar
rumah tangga ibu hamil mengalami kurang pangan. Hal ini
menandakan sebagian besar rumah tangga mempunyai pengeluaran
pangan yang rendah dan kurang mengonsumsi energi. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Na et al. (2015;2017)
bahwa ibu hamil dengan rumah tangga rawan pangan cenderung
memiliki LILA yang rendah. Lebih lanjut lagi apabila ibu hamil
dengan rumah tangga rawan pangan juga berisiko melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (Wulansari,2020; Grilo, 2015).
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Putra & Dewi (2020)
menyatakan terdapat hubungan antara ketahanan pangan rumah
tangga dengan KEK pada ibu hamil, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan
nilai p-value=0.044 dengan nilai OR=0.114. Hal ini menunjukkan
bahwa peluang ibu hamil dengan ketahanan pangan rumah tangga
tergolong rentan pangan sebesar 0.114 kali lebih tinggi untuk
berisiko mengalami KEK dibandingkan ibu hamil dengan ketahanan
pangan rumah tangga yang tergolong rawan pangan.
Oleh karena itu, ketahanan pangan memiliki peran yang penting
karena ketahanan pangan mempengaruhi status gizi masyarakat itu
sendiri. Jika ketahanan pangan kurang maka status gizi otomatis
menjadi kurang dan menyebabkan turunnya derajat kesehatan.
Kondisi rentan pangan erat kaitannya dengan faktor pendapatan
sehingga peningkatan pendapatan dapat mencapai ketahanan
pangan. Dan semakin baik kondisi ketahanan pangan rumah tangga
maka risiko untuk terkena KEK pada ibu hamil semakin rendah.
Dengan demikian maka ketahanan pangan sangat erat kaitannya
dengan aspek gizi dan kesehatan (Arlius et al., 2017).

2.2. Balita
2.1.1 Definisi Balita
Balita adalah anak usia 0-59 bulan yang saat ini ditandai dengan proses
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat disertai dengan
perubahan yang membutuhkan nutrisi yang lebih berkualitas (Ariani,
2017). Masa balita merupakan masa yang penting dalam perkembangan
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan periode ini menentukan
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode
berikutnya. Masa pertumbuhan dan perkembangan pada usia tersebut
merupakan masa yang terjadi dengan cepat dan tidak pernah berulang
sehingga sering disebut masa keemasan atau golden age. Kesehatan
balita sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang diserap tubuh, kurangnya gizi
yang diserap tubuh menyebabkan penyakit, karena gizi sangat
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh (Gizi et al., 2018). Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa balita adalah
usia dimana anak tumbuh dan berkembang pesat. Proses pertumbuhan
dan perkembangan setiap individu berbeda-beda, bisa cepat atau lambat
tergantung dari beberapa faktor yaitu nutrisi, lingkungan, dan sosial
ekonomi keluarga. 
2.1.2 Status Gizi Balita
Status Gizi merupakan gambaran keadaan tubuh seseorang yang dilihat
dari seimbangnya antara asupan zat gizi  dengan kebutuhan zat gizi
makro dan zat gizi mikro yang berasal dari makanan. Status gizi
dibedakan menjadi empat, yaitu status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik
atau normal, dan status gizi lebih (Almatsier, 2009). Status gizi individu
dapat diukur melalui penilaian status gizi yang meliputi pengukuran
antropometri, biokimia, fisik fokus gizi, dan riwayat makan yang
kemudian dibandingkan menggunakan standar pembanding atau nilai
rujukan yang ada. Pada penilaian status gizi balita, pengukuran
antropometri merupakan metode yang paling sering digunakan.
Antropometri adalah pengukuran panjang, lebar, diameter, dan lingkar
tubuh manusia yang pada dasarnya dilakukan dua kali atau lebih
pengukuran, dilanjut dengan menghitung rasio dan proporsi, sehingga
dapat digunakan untuk menilai status gizi seseorang. Beberapa contoh
ukuran tubuh manusia sebagai parameter yang sering digunakan yaitu
berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar lengan,
dan lain-lain.  Pada pengukuran status gizi balita, balita diukur
berdasarkan umur, berat badan dan tinggi badan yang dikategorikan
dalam tiga indikator antropometri :

2.2.2.1 Indeks BB/U 


Indeks BB/U merupakan indikator status gizi yang
menggambarkan perbandingan berat badan dengan umur anak.
Indikator ini digunakan untuk mengidentifikasi anak dengan
berat badan kurang (underweight) atau sangat kurang (severely
underweight),  Indikator berat badan relatif mudah diukur dan
paling umum digunakan, namun tidak cocok digunakan jika
umur anak tidak diketahui dengan pasti (Kemenkes RI, 2017).
Selain itu, meskipun menggunakan data berat badan, indikator
BB/U tidak dapat melihat apakah seorang anak mengalami
kelebihan berat badan atau sangat gemuk (Kemenkes, 2020).
Tabel Kategori Status Gizi Berdasarkan BB/U
Ambang batas (Z-
Indeks Kategori Status Gizi
Score)
BB/U Berat badan sangat kurang < -3 SD
Anak usia 0-60 (severely underweight)
bulan Berat badan kurang -3 SD s.d < -2 SD
(underweight)
Berat badan normal -2 SD s.d +1 SD
Risiko berat badan lebih > +1 SD
(Sumber: Kemenkes, 2020)
2.2.2.2 Indeks PB/U atau TB/U
Indeks PB/U atau TB/U merupakan  indikator status
gizi yang menggambarkan perbandingan pertumbuhan anak
menurut panjang atau tinggi badan dengan umurnya. Indikator
ini dapat mengidentifikasi anak-anak yang pendek (stunted)
atau sangat pendek (severely stunted) yang disebabkan oleh
kekurangan gizi dalam jangka panjang atau karena sering sakit
(Kemenkes, 2020). 

Tabel Kategori Status Gizi Berdasarkan PB/U atau TB/U


Ambang batas (Z-
Indeks Kategori Status Gizi
Score)
PB/U atau TB/U Sangat pendek (severely < -3 SD
Anak usia 0-60 stunted)
bulan Pendek (stunted) -3 SD s.d < -2 SD
Normal -2 SD s.d +3 SD
Tinggi > +3 SD
(Sumber: Kemenkes, 2020)

2.2.2.3 Indeks BB/TB


Indeks BB/TB dapat menggambarkan apakah berat
badan anak sesuai terhadap pertumbuhan panjang/tinggi
badannya. Indikator ini digunakan untuk mengidentifikasi anak
gizi kurang (wasted), gizi buruk (severely wasted), dan anak
berisiko gizi lebih (possible risk of overweight) (Kemenkes,
2020). Indeks BB/TB juga dapat mengindikasikan masalah gizi
yang bersifat akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi
dalam waktu yang singkat. Gizi buruk biasanya disebabkan
oleh penyakit dan kekurangan asupan gizi yang baru saja
terjadi (akut) maupun kronis. 

Tabel Kategori Status Gizi Berdasarkan


BB/TB atau BB/PB
Ambang batas (Z-
Indeks Kategori Status Gizi
Score)
BB/TB atau Gizi buruk (severely < -3 SD
BB/PB wasted)
Anak usia 0-60 Gizi kurang (wasted) -3 SD s.d < -2 SD
bulan Gizi kurang -2 SD s.d +1 SD
Berisiko gizi lebih > +1 SD s.d +2 SD
(possible risk of
overweight)
Gizi lebih (overweight) > +2 SD s.d +3 SD
Obesitas (obese) > +3 SD
(Sumber: Kemenkes, 2020)

Dari ketiga indikator di atas, kemudian dilakukan


perhitungan Z-score untuk menentukan status gizi balita. Z-
score adalah skor standar berupa jarak skor individu dari mean
kelompoknya dalam satuan Standar Deviasi. Z-score
merupakan nilai simpangan Berat Badan atau Tinggi Badan
dari nilai Berat Badan atau Tinggi Badan normal menurut baku
pertumbuhan WHO. Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score)
dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 

2.2.2.4 Pengukuran Status Gizi Balita


A. Pengukuran Berat Badan Bayi
1. Gunakan timbangan khusus bayi
2. Letakan timbangan bayi di meja yang datar. 
3. Pastikan timbangan bayi tersebut telah disetel angka nol. 
4. Baringkan bayi di atas timbangan. 
5. Uusahakan bayi memakai pakaian seminimal mungkin dan
tidak memakai pampers.
6. Pastikan angka pada timbangan bayi tidak berubah lalu baca
dan catat hasil pengukuran.
B. Pengukuran Berat Badan (anak >2 tahun)
1. Letakkan timbangan pada permukaan yang datar dan rata.
2. Pastikan timbangan menunjukkan angka nol (timbangan
digital) atau jarum berada tepat di angka nol (timbangan
analog).
3. Responden memakai pakaian seminimal mungkin. Melepas
alas kaki dan perhiasan yang dapat memengaruhi
pengukuran. 
4. Responden berdiri tepat di tengah alat timbangan dan
pastikan kaki tidak menutupi jendela baca
5. Posisi tangan berada di samping, badan tegap, dan
pandangan lurus ke depan.
6. Posisi pengukur tepat di depan responden saat membaca
hasil penimbangan.
7. Angka di kaca jendela akan muncul dan tunggu sampai
angka tidak berubah. Begitu juga pada timbangan analog,
pastikan jarum sudah tidak bergerak dan tidak berubah.
8. Responden turun, kemudian melakukan penimbangan 1x
lagi.
9. Pengukur mencatat hasil pengukuran.

C. Pengukuran Panjang Badan (0-24 bulan)


1. Pengukuran dilakukan oleh 2 orang.
2. Bayi dibaringkan telentang pada alas yang datar
3. Kepala bayi menempel pada pembatas angka.
4. Petugas 1 memegang kepala bayi menggunakan kedua
tangannya agar kepala tetap menempel pada pembatas angka
0 (pembatas kepala). Petugas 2 menekan lutut bayi agar lurus
menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kanan menekan
batas kaki ke telapak kaki.
5. Petugas 2 membaca angka hasi pengukuran. 
6. Jika Anak umur 0-24 bulan diukur berdiri, maka hasil
pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.

Gambar Pengukuran Panjang Badan

(Sumber: UNICEF, 2002)


d. Pengukuran Tinggi Badan 
Pengukuran tinggi badan menggunakan alat microtoise dengan
ketelitian 0,1 cm. 
A. Cara Memasang Microtoise
1. Gantungkan bandul benang untuk membantu memasang
microtoise di dinding agar lurus.
2. Letakan alat pengukur di lantai yang datar tidak jauh
dari bandul tersebut dan menempel pada dinding.
Dinding harus rata. 
3. Tarik papan penggeser ke atas, sejajar dengan benang
berbandul yang tergantung dan tarik sampai angka pada
jendela baca menunjukkan angka nol. Kemudian dipaku
atau direkat kan pada bagian atas microtoise.
4. Untuk menghindari terjadi perubahan posisi pita ukur,
beri lagi perekat pada posisi sekitar 10 cm dari bagian
atas microtoise.
B. Prosedur Pengukuran
1. Pasang alat sesuai dengan petunjuk pemasangan.
2. Cari dinding rumah dan lantai yang rata. 
3. Lepas alas kaki, penutup kepala seperti topi, peci,
kunciran atau sanggul rambut dan pampers yang
digunakan oleh responden. 
4. Posisi responden membelakangi alat ukur.
5. Responden berdiri tegak, pandangan lurus ke depan.
6. Lima bagian badan menempel di alat ukur (kepala,
punggung, pantat, betis dan tumit). Bila ini tidak
mungkin, minimal 3 bagian yaitu punggung, pantat, dan
betis.
7. Posisi pengukur berada di depan responden yang
diukur. 
8. Gerakan alat geser sampai menyentuh bagian atas
kepala responden. Pastikan alat geser berada tepat di
tengah kepala responden dan bagian belakang alat geser
harus tetap menempel pada dinding. 
9. Baca angka pada jendela baca. Pembacaan dilakukan
tepat di depan angka pada garis merah, sejajar dengan
mata petugas. 
10. Lakukan pengukuran 2 kali dan catat hasil pengukuran.

2.2.3 Kebutuhan Gizi Balita


2.2.3.1 Zat Gizi Makro
Nutrisi adalah salah satu komponen yang penting dalam
menunjang keberlangsungan proses pertumbuhan dan
perkembangan balita. Kebutuhan energi berasal dari makanan
dapat diperoleh dari beberapa zat gizi makro lainnya yaitu
karbohidrat, protein, dan lemak. Energi memiliki fungsi sebagai
penunjang proses pertumbuhan, metabolisme tubuh dan
berperan dalam proses aktivitas fisik (Ayyuningtyas et al.,
2018). Masa balita adalah masa transisi terutama pada usia 1 - 2
tahun dimana anak mulai mengonsumsi makanan yang padat,
menerima rasa makanan, serta tekstur makanan yang baru
(Pritasari et al., 2017). Tujuan pemenuhan kebutuhan gizi pada
bayi dan anak adalah untuk: 
1. Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotor
2. Melakukan aktivitas fisik
3. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup
yaitu untuk pemeliharaan dan atau pemulihan serta
peningkatan kesehatan (Nasar, Sri S., 2015) 

Menurut rekomendasi dari European Food Safety


Authority (EFSA) 2013 dan WHO 2013 adalah sebesar 100 -
110 kkal/kgBB dan akan berubah setiap 3 tahun pertambahan
umur sebesar 10 kkal/kgBB. Pada usia balita 2 - 5 tahun,
penggunaan energi dalam tubuh adalah sebesar 50% untuk
metabolisme basal, 5 - 10% untuk SDA, 12% untuk
pertumbuhan, 25% untuk aktifitas fisik, dan 10% terbuang
melalui feses. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
tahun 2019, anjuran kebutuhan zat gizi makro untuk balita
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu anak usia 6 - 11 bulan, anak
usia 1 - 3 tahun, dan anak usia 4 - 6 tahun (PERMENKES,
2019). 
Tabel Angka Kecukupan Gizi Makro Balita yang Dianjurkan

Kelompok BB TB Energi Protein Lemak Karbohidrat


Umur (kg (cm) (kkal) (g) (g) (g)
)
Tota Omega Omega
l 3 6

6 - 11 bulan 9 72 800 15 35 0,5 4,4 105

1 - 3 tahun 13 92 1350 20 45 0,7 7 215

4 - 6 tahun 19 113 1400 25 50 0,9 10 220


Sumber: Angka Kecukupan Gizi (AKG 2019)

1.) Protein
Protein merupakan senyawa kimia tubuh terbanyak
setelah air. Setiap sel dan jaringan tubuh mengandung protein.
Proporsi protein dengan jumlah besar terdapat dalam otot
(43%) dengan proporsi cukup besar di dalam kulit (15%), dan
darah (16%). Setengah dari jumlah total protein hanya terdiri
dari empat jenis protein, yaitu kolagen, hemoglobin, miosin,
dan aktin dengan kolagen yang membentuk 25% dari jumlah
total keseluruhan (Mann & Truswell, 2014). 
Berdasarkan sumbernya protein dibagi menjadi dua
yaitu Protein Hewani dan Protein Nabati. Protein hewani
merupakan protein yang dapat diperoleh dari hewan, contohnya
daging, telur, susu dan ikan. Protein hewani mempunyai
kandungan asam amino esensial lengkap sehingga disebut
sebagai protein bermutu tinggi (Muchtadi, 2010). Menurut
Hardinsyah et al (2013), pemenuhan kebutuhan gizi mikro yang
berkualitas berkaitan erat dengan konsumsi protein, terutama
protein hewani. Sedangkan Protein nabati merupakan protein
yang berasal dari hasil tamanan, terutama dari biji-bijian
(serealia) dan kacang-kacangan, termasuk beras yang
menyumbang asupan protein cukup tinggi karena merupakan
makanan pokok orang Indonesia. Tahu dan tempe merupakan
sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi. Meski
demikian, berdasarkan peraturan pemerintah, Kemenkes RI
(2014). 
Rentang kisaran asupan protein bergantung pada dari
5% hingga 30% dari total energi. Anak-anak berisiko tinggi
untuk tidak dapat mencukupi kebutuhan protein ialah anak
yang menjalani diet vegan ketat, memiliki banyak alergi
makanan, atau memiliki pilihan makanan terbatas karena diet
mode, masalah perilaku, atau akses yang tidak memadai ke
makanan (Mahan & Raymond, 2017). Kebutuhan protein untuk
balita 0-5 bulan adalah 9g/hari, balita 6-11 bulan adalah
15g/hari, balita 1-3 tahun adalah 20g/hari, dan balita 4-5 tahun
adalah 25g/hari, (Kemenkes RI, 2019).
Menurut Irianto (2014), kekurangan konsumsi protein
pada anak-anak dapat menyebabkan terganggunya
pertumbuhan badan si anak. Busung lapar yang banyak diderita
oleh kelompok rawan gizi terutama bayi dan balita sungguh
memperihatinkan. Pemerintah dengan beberapa program gizi
telah berupaya untuk mengatasi masalah gizi tersebut. Akibat
dari kekurangan protein dapat menyebabkan kwashiorkor.
Kwashiorkor merupakan salah satu penyakit yang timbul akibat
kekurangan protein, kwashiorkor banyak diderita oleh bayi dan
anak pada usia enam bulan sampai usia tiga tahun (Balita).

2.) Lemak
Lemak merupakan komponen struktural dari semua sel
tubuh yang dibutuhkan oleh hampir ribuan fungsi fisiologis
tubuh (Pudjiadi,2000). lemak terdiri dari fosfolipid, sterol dan
trigliserida. sebagian besar lemak (99%) dalam tubuh adalah
trigliserida. Selain menyuplai energi, lemak terutama
trigliserida berfungsi menyediakan asam lemak esensial
(Sediaoetama, 2009). Balita membutuhkan lebih banyak lemak
dibandingkan orang dewasa karena tubuh mereka
menggunakan energi yang lebih secara proporsional selama
masa pertumbuhan dan perkembangan mereka. Anjuran
menurut Angka Kecukupan Gizi (2019) lemak untuk anak usia
6-11 bulan sebesar 35 gram dan usia 1-3 tahun sebesar 45
gram. 

3.) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat makanan yang paling cepat
menyuplai energi sebagai bahan bakar tubuh, terutama saat
tubuh dalam kondisi lapar. Setelah makanan yang mengandung
karbohidrat dikonsumsi, karbohidrat akan segera dioksidasi
untuk memenuhi kebutuhan energi. Karbohidrat memiliki
fungsi utama yaitu menyediakan kebutuhan energi tubuh.
Selain itu, karbohidrat juga berfungsi dalam keberlangsungan
proses metabolisme dalam tubuh seperti pengatur metabolisme
lemak, penyuplai energi otak dan saraf, dan penghemat energi
(protein spare) (Hardinsyah, Ms., 2017).
Kebutuhan karbohidrat sehari berbeda-beda di berbagai
negara dengan berbagai pertimbangan. Menurut WHO/FAO,
kebutuhan karbohidrat berkisar antara 55 - 75% dari total
konsumsi energi, diutamakan dari karbohidrat kompleks dan
sekitar 10% dari karbohidrat sederhana. Anjuran Recommended
Dietary Allowance (RDA) untuk balita usia lebih dari 1 tahun
sebesar 130 gram per hari (IOM, 2005). Sedangkan anjuran
menurut Angka Kecukupan Gizi (2019) untuk anak usia 6 - 11
bulan sebesar 105 gram, anak usia 1 - 3 tahun sebesar 215
gram, dan anak usia 4 - 6 tahun sebesar 220 gram.

2.2.3.2 Zat Gizi Mikro


1.) Zat Besi
Zat besi merupakan unsur yang sangat penting untuk
membentuk Hemoglobin (Hb). Zat besi memiliki fungsi yang
berhubungan dengan pengangkutan, penyimpanan dan
pemanfaatan oksigen dan berada dalam bentuk hemoglobin,
mioglobin, atau cychrom (Merryana, 2016). Zat besi terdiri dari 2
macam yaitu zat besi heme dan non-heme. Zat besi heme memiliki
bioavailabilitas yang lebih tinggi dibanding zat besi non-heme dan
dapat ditemukan dalam daging, unggas, dan ikan (Ayuningtyas,
Ika N. et al, 2022). Menurut AKG 2019, anjuran kebutuhan zat
besi untuk anak usia 6 - 11 bulan adalah sebesar 11 mg, anak usia
1 - 3 tahun adalah sebesar 7 mg, dan anak usia 4 - 6 tahun adalah
sebesar 10 mg. 

2.) Kalsium
Kalsium merupakan mineral paling banyak terdapat dalam
tubuh yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau kurang
lebih sebanyak 1 kg. dari jumlah ini, 99% berada dalam jaringan
keras yaitu tulang dan gigi. Kalsium mengatur pekerjaan hormon-
hormon dan faktor pertumbuhan (Atikah Rahayu, dkk 2018). Hasil
penelitian para pakar menunjukkan bahwa tubuh manusia
terkandung sekitar 22 gram kalsium per kilogram berat badannya
tanpa lemak. Mengenai kebutuhan tubuh akan kalsium adalah
sekitar 0,8 gram sehari (bagi orang dewasa normal), perlu
ditambahkan bahwa kebutuhan akan kalsium bagi anak-anak, ibu
yang sedang menyusui, dan ibu yang sedang hamil adalah lebih
tinggi dari yang telah ditemukan di atas. ( Kartasapoetra, dkk
2008). 
Di dalam cairan ekstraselular dan intraselular kalsium
memegang peran penting dalam mengatur fungsi sel, seperti untuk
transmisi saran, kontraksi otot, penggumpalan darah dan menjaga
permeabilitas membrane sel. Kalsium mengatur pekerjaan
hormonhormon dan faktor pertumbuhan. (Almatsier, 2004).
Menurut AKG 2019 kebutuhan kalsium per hari untuk anak usia 0-
5 bulan sebesar 200 mg, 6-11 bulan sebesar 270 mg, 1-3 tahun 650
mg, dan 4-6 tahun sebesar 1000 mg. 

2.2.4 Asupan Gizi Balita


2.2.4.1 Zat Gizi Makro
1.) Energi
Energi merupakan suatu hasil dari metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak yang memiliki fungsi utama
sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Energi yang berlebihan
akan disimpan dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi
jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan
jangka panjang (Kusumaningrum, 2017). Seseorang yang
memiliki asupan energi kurang akan mengalami lemas, merasa
tidak bertenaga dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. 
Asupan energi yang kurang memiliki risiko 1,495
kali dengan kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya di kota manado yang memiliki
hubungan positif antara asupan energi yang kurang dengan
kejadian stunting. Selain itu penelitian di kabupaten brebes
menunjukan bahwa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
stunting di kabupaten brebes adalah rendahnya tingkat asupan
energi dengan besar risiko 7,7 kali. Energi menjadi salah
satu faktor dalam pertumbuhan, jika kekurangan energi
kronik (KEK) dalam jangka waktu yang lama dan dapat
menyebabkan pertumbuhan liner terganggu (Nugraheni., 2020).
Kekurangan energi secara berkepanjangan dapat
menyebabkan berbagai masalah gizi salah satunya
menyebabkan kejadian stunting pada balita. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas dkk (2018)
menunjukkan bahwa hasil uji statistik didapatkan p-value 0,001,
artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat asupan
energi dengan kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan di
Desa Tangkil Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor
mendapatkan hasil uji statistik yaitu ada hubungan yang
signifikan antara asupan karbohidrat dengan stunting (0,005).
Hubungan asupan karbohidrat dengan stunting menunjukan
hubungan yang sedang (r = 0,286) namun berpola positif artinya
semakin bertambah asupan kalori, semakin menurun angka
stuntingnya. Nilai koefisien determinasi 0,055 artinya,
persamaan garis regresi yang kita peroleh dapat menerangkan
55% variasi stunting (Manggabarani, 2021).

2.) Protein
Protein adalah salah satu zat gizi makro yang penting
untuk diasup. Sebagai zat pembangun, protein merupakan
bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi
dalam tubuh. Pada masa pertumbuhan proses pembentukan
jaringan terjadi secara pesat. Fungsi lain dari protein adalah
Sebagai pemberi tenaga dalam keadaan energi kurang tercukupi
oleh karbohidrat dan lemak, sebagai pembentuk antibodi,
Sebagai pengatur kelangsungan proses didalam tubuh dan
sebagainya (Kusumaningrum, 2017).
Asupan Protein sangat penting pada masa
pertumbuhan, kekurangan asupan protein akan menyebabkan
terjadinya masalah gagal tumbuh (anak pendek / stunting)
dengan berbagai dampak jangka panjang (Ariati, 2019).
Berdasarkan (WNPG, 2012) asupan protein dikatakan kurang
jika hasil perhitungan perbandingan recall dan kebutuhan
kurang dari < 80 %. Sesuai dengan penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa protein berhubungan dengan kejadian
stunting karena hasil p-value menghasilkan angka 0,002. Hal ini
dikarenakan fungsi protein adalah sebagai zat pembangun yang
seluruh lapisan sel membawa mikronutrien. Selain itu protein
berfungsi dalam menjalankan regulasi tubuh dan membentuk
DNA baru bagi tubuh. (Sulistianingsih & Yanti, 2016 ).
Penelitian lain menyatakan dari hasil analisis terdapat hubungan
signifikan antara asupan protein dengan kejadian stunting pada
balita sebesar 44,1% memiliki asupan protein kurang dibuktikan
hasil uji statistik didapatkan p - value 0,008 yang berarti
terdapat hubungan yang signifikan. (Ayuningtyas et al., 2018).
3.) Lemak
Lemak merupakan zat gizi makro sumber energi, bahkan
tertinggi (45 gr per kg BB). Dalam makanan, lemak berfungsi
sebagai pelezat makanan (menjadi makanan lebih gurih),
sehingga orang cenderung menyukai makanan berlemak
(Yosephin, 2018). Lemak termasuk salah satu sumber energi
yang sangat penting dibutuhkan khususnya manusia guna
melakukan aktivitas sehari-hari. Manusia mempunyai tubuh
yang menbutuhkan kadar lemak yang seimbang. Hal ini untuk
membuat agar cadangan energi tetap ada (Gusti et al., 2016).
Lemak merupakan suatu molekul yang terdiri atas
oksigen, hidrogen, karbon, dan terkadang terdapat nitrogen serta
fosforus. Pengertian lemak tidak mudah untuk dapat larut dalam
air. Untuk dapat melarutkan lemak, dibutuhkan pelarut khusus
lemak seperti Choloroform (Gusti et al, 2016). Balita dengan
tingkat asupan lemak yang rendah mengalami stunting lebih
banyak dibandingkan balita dengan asupan lemak yang cukup,
balita dengan tingkat asupan lemak yang rendah lebih berisiko
mengalami stunting di bandingkan dengan balita tingkat asupan
lemak yang cukup (Ayuningtyaset al., 2018). 
Menurut Penelitian sebelumnya 8 pada anak balita di
Gresik, menunjukkan adanya hubungan antara asupan lemak
dengan kejadian gizi kurang (BB/U), 76,9 persen anak dengan
status gizi kurang memiliki asupan lemak dibawah angka
kecukupan gizi (AKG).  Asupan lemak yang rendah juga
menyebabkan terjadinya penurunan massa tubuh dan gangguan
pada penyerapan vitamin larut lemak. Ketidakseimbangan
tingkat konsumsi zat gizi makro seperti energi, karbohidrat
lemak dan protein terhadap kebutuhan tubuh secara
berkepanjangan dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pada
jaringan dan massa tubuh yang akan berdampak pada
penurunan berat badan kurang (Diniyyah dkk., 2017)
4.) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia peran utamanya adalah
menghasilkan energi bagi tubuh. Asupan karbohidrat harus
lebih banyak karena sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa karbohidrat merupakan penyediaan energi utama dan
sumber makanan relatif lebih murah dibanding dengan zat gizi
lain. Maka Apabila kebutuhan asupan karbohidrat (215 gr per
kg BB) pada balita mencukupi maka akan mempengaruhi
perkembangan balita sebaliknya jika kebutuhan asupan
karbohidrat tidak mencukupi maka dapat menyebabkan balita
mengalami status gizi kurang (Suryani et al., 2022).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa asupan
karbohidrat yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi
terhadap kejadian stunting. (Yuliantini et al., 2022). Asupan
karbohidrat yang rendah memiliki risiko 6,5 kali lebih besar
untuk mengalami stunting pada balita dibandingkan dengan
asupan karbohidrat yang cukup. Asupan karbohidrat yang
rendah menyebabkan pemecahan lemak tubuh dan asam amino
menjadi energi, menyebabkan tubuh akan kehilangan asam
amino yang dibutuhkan untuk sintesis jaringan dan
pertumbuhan balita. Selain itu, sistem saraf dan otak hanya
menggunakan glukosa sebagai sumber energi, sehingga
kekurangan glukosa dan oksigen dapat menyebabkan kelainan
pada saraf dan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki.
Ketidakseimbangan asupan zat gizi makro dalam jangka
panjang dapat menyebabkan kehilangan berat badan karena
tubuh (Suryani et al., 2022).
Kelebihan asupan karbohidrat akan diubah menjadi
lemak dan disimpan dalam tubuh dalam jumlah yang tidak
terbatas sehingga dapat menyebabkan berat badan berlebih.
Sebaliknya, ketika tubuh kekurangan asupan energi, tubuh akan
merombak cadangan lemak tersebut. Hal tersebut akan
mempengaruhi status gizi balita, ketika asupan karbohidrat
cukup, maka tubuh tidak akan merombak cadangan lemak yang
ada (Suryani et al., 2022).

2.2.4.2 Zat Gizi Mikro


1.) Zat Besi
Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi
tubuh yang merupakan mineral mikro paling banyak yaitu 3-5
gram. Asupan zat besi adalah jumlah besi yang dikonsumsi oleh
anak yang diperoleh dari makanan sehari. Zat besi (Fe) sangat
diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan, membantu kerja
berbagai macam enzim dalam tubuh, menanggulangi infeksi,
membantu kerja usus untuk menetralisir zat-zat toksin dan yang
paling penting adalah untuk pembentukan hemoglobin (Sibarani,
2019). Hemoglobin memiliki fungsi mengikat oksigen untuk
proses respirasi yang merupakan dasar dari proses metabolisme
dalam tubuh. Asupan zat besi yang rendah dapat menyebabkan
terganggunya fungsi kognitif dan pertumbuhan balita, selain itu
zat besi juga berperan dalam kekebalan tubuh agar balita tidak
mudah terserang penyakit. (Sibarani, 2019).
Penelitian Damayanti, Muniroh dan Farapti pada tahun
2016 yang menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan
antara tingkat kecukupan zat besi dengan stunting. Selain dapat
menyebabkan anemia besi, defisiensi besi dapat menurunkan
kemampuan imunitas tubuh, sehingga penyakit infeksi mudah
masuk kedalam tubuh. Anemia besi dan penyakit infeksi yang
berkepanjangan akan berdampak pada pertumbuhan linier anak
(Sibarani, 2019). Interaksi antara Fe dengan kejadian stunting
telah dijelaskan pada penelitian di Peru, diketahui bahwa
terhambatnya aktivasi sistem imun dapat diakibatkan oleh
rendahnya asupan Fe. Ini berakibat mudahnya terjadi inflamasi
jika terpapar penyakit infeksi, dan inflamasi yang berulang ulang
berkontribusi pada kejadian stunting. Salah satu ciri khas anak
stunting adalah infeksi penyakit berulang. Jika kejadian inflamasi
sering terjadi maka gangguan pertumbuhan diyakini akan terjadi
secara signifikan (Sirajuddin et al., 2020).
Peningkatan asupan zat besi pada balita adalah dapat
dipenuhi dari pemberian ASI yang tepat sampai usia 24 bulan.
Perbaikan kualitas asupan zat besi juga dapat dilakukan melalui
peningkatan kualitas asupan MP-ASI. Jika kedua sumber asupan
zat besi ini rendah maka diyakini menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan kejadian stunting tetap tinggi. Laporan studi lain
juga ditemukan bahwa kualitas MP-ASI anak di Indonesia sangat
rendah, dan MP-ASI yang tidak berkualitas berkontribusi
terhadap stunting. (Sirajuddin et al., 2020).

2.) Kalsium
Kalsium merupakan mineral utama yang diperlukan
dalam proses pembentukan tulang.Sebanyak 99% kalsium
di dalam tubuh berada di dalam tulang, sementara 1% sisanya
berada di darah, cairan ekstraseluler dan di dalam sel seluruh
tubuh. Asupan kalsium yang memadai dibutuhkan untuk
menjaga beberapa fungsi fisiologis tubuh, terutama dalam aspek
pertumbuhan dan perkembangan tulang. Hal ini sangat penting
diperhatikan pada anak yang sedang dalam masa
pertumbuhan,karena dapat mempengaruhi pertumbuhan
(Chairunnisa et al., 2018).
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Andriansyah dkk,
2022) berdasarkan hasil analisis chy-square didapatkan hasil
nilai α = 0.046 (α = <0.05) artinya terdapat hubungan antara
asupan kalsium dengan kejadian stunting di wilayah kerja
puskesmas ustutun. Hasil penelitian ini juga didukung oleh
penelitian lain bahwa asupan kalsium signifikan lebih rendah
pada anak stunting nilai α=0.000 (α>0.005). Pada penelitian
ini, anak yang mengalami stunting 2,2% diantaranya memiliki
pola asupan kalsium yang kurang. Penelitian ini membuktikan
kekurangan asupan kalsium banyak dimiliki oleh anak yang
mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak
mengalami stunting atau gangguan pertumbuhan dengan nilai p <
0,001. Sehingga defisiensi kalsium akan berpengaruh pada
gangguan pertumbuhan tinggi badan atau stunting.
Penelitian lain yang dilakukan oleh (Wati, 2021)
menemukan hal yang sama berdasarkan hasil uji statistik
dengan uji chi-square diperoleh p-value = 0,046 (<0.05)
sehingga Ho ditolak (Ha diterima). Hal ini menunjukan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara asupan kalsium dengan
stunting. Nilai OR = 5,400 (95% CI= 0,941-30,980), artinya
risiko terjadinya stunting ada balita yang asupan kalsiumnya
kurang 5,400 kali lebih besar dibandingkan balita dengan asupan
kalsiumnya cukup.
Kejadian stunting yang diakibatkan oleh kurangnya
asupan kalsium lebih banyak terjadi di daerah pedesaan. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Afrika yang
menyatakan bahwa kurangnya tingkat kecukupan kalsium dapat
mengakibatkan munculnya masalah status gizi kronis pada anak
balita (Aridiyah et al., 2015).
2.2.5 Karakteristik Balita
2.2.5.1 Usia
Usia adalah indeks yang menempatkan individu-
individu dalam urutan perkembangan (Fry, 1976: 175).
Usia, menurut dari Nuswantari (1998) merupakan kurun
waktu sejak adanya seseorang dan dapat diukur
menggunakan satuan waktu dipandang dari segi
kronologis, individu normal dapat dilihat derajat
perkembangan anatomis dan fisiologis sama. Usia juga
dapat dikatakan sebagai waktu lamanya hidup atau ada
(sejak dilahirkan atau diadakan) (Hoetomo, 2005).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2009) dalam situs
resminya depkes.go.id pembagian kelompok umur atau
usia, masa balita dikelompokkan menjadi (0-5 tahun). 
Menurut Departemen Kesehatan RI (2009) dalam situs
resminya depkes.go.id pembagian kelompok umur atau
usia, masa balita dikelompokkan menjadi (0-5 tahun).
Berdasarkan buku ajar Panduan Lengkap Tumbuh
Kembang Anak Usia 0-5 Tahun oleh Candra (2018),
berikut merupakan cara untuk menghitung umur anak
dengan cara mengurangi tanggal pemeriksaan terhadap
tanggal lahir.

Contoh :
Tanggal pemeriksaan : 10 Juni 2017 
Tanggal lahir           : 23 Juli 2018   
Umur kronologis     : Umur kronologis anak adalah 1
tahun, 1 bulan, 13 hari dan diplot menjadi 13 bulan
(kurang dari 15 hari dibuang dan jika lebih dari 15 hari
dibulatkan 1 bulan ke atas).

Untuk bayi prematur, dalam mengukur berat dan


panjang badan serta lingkar kepala, harus digunakan umur
koreksi sampai anak berusia 2 tahun. Untuk bayi prematur
dengan berat kurang dari 1000 gram, umur koreksi
digunakan sampai anak berusia 3 tahun. Cara menghitung
umur koreksi adalah dengan cara mengurangi umur
kronologis terhadap jumlah minggu prematur.

Contoh :
Bayi Lina lahir pada tanggal 20 Desember 2017, lahir
dengan umur gestasi 33 minggu, dengan berat lahir 2000
gram.
Tanggal pemeriksaan          :  5 Juli 20018
Tanggal lahir                        :  20 Desember 2017
Umur kronologis :  1 Tahun 5 Bulan  15 Hari
Prematur 7 minggu             :  1 Bulan 21 Hari 
Umur koreksi : Umur anak adalah 1 tahun, 3
bulan, 24 hari dan diplot pada 16 bulan.

2.2.5.2 Status Ekonomi Keluarga


Status ekonomi merupakan keadaan seseorang atau
keluarga dalam masyarakat berdasarkan penghasilan
bulanan (Kartono, 2006). Keadaan ekonomi keluarga
diukur dengan pendapatan orang tua, yang merupakan
penjumlahan dari pendapatan satu bulan orang tua dan
dinilai dengan klasifikasi BPS. Menurut BPS (2016),
pendapatan rumah tangga dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu:

1.     Kategori tinggi, > Rp. 4.000.000/bulan

2. Kategori sedang,Rp.3.000.000/bulan –
Rp.4.000.000/bulan

3.     Kategori rendah < Rp. 3.000.000/bulan.

Keadaan ekonomi keluarga memiliki pengaruh besar


terhadap akses  pangan bergizi, terutama pada keluarga
yang termasuk ke dalam kategori penghasilan rendah.
Keluarga yang berpenghasilan rendah, kurang mampu
dalam menyediakan sumber pangan yang bergizi, yang
nantinya dapat menyebabkan status gizi buruk dan berat
badan di bawah garis merah pada balita (Baliwati, 2010).
Rendahnya status ekonomi keluarga menyebabkan akses
daya beli pangan bergizi terbatas. 
Menurut Suparisa, keadaan keuangan keluarga pada
keluarga dengan ibu yang bekerja lebih baik daripada
keluarga yang hanya bergantung pada kepala keluarga
atau ayah. Situasi keuangan keluarga yang lebih baik
memungkinkan keluarga dapat memperhatikan dan
memberikan asupan gizi yang lebih baik untuk balita.
Tingkat ekonomi yang tinggi pada suatu keluarga
membuat keluarga mampu untuk membelanjakan
sebagian besar dari pendapatan mereka untuk akses
pangan serta memenuhi kebutuhan gizi dari keluarganya.

2.2.5.3 Pola Asuh Pada Balita


Status gizi balita salah satunya dipengaruhi oleh pola
asuh ibu. Pola asuh merupakan salah satu faktor yang
menentukan tumbuh kembang seorang balita. Balita yang
tidak diasuh dengan baik, misalnya jika kebutuhan gizi
balita kurang diperhatikan, akan mempengaruhi kesehatan
fisiknya. Tanggung jawab utama orang tua adalah dalam
mendidik balita. Deformasi pada balita berkaitan dengan
keadaan gizi balita dan pola asuh dimana peran orang tua
menjadi penting (Suharmanto, 2021)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Tri
Nurminingsih Hatala, Fathimah Kelrey, & Tommy
Pangandaheng, 2023) fakta yang ada dilapangan bahwa
orang tua yang berpola asuh yang baik sebagian besar
adalah ibu rumah tangga, ibu rumah tangga memiliki
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dalam
berinteraksi dengan balita/anaknya sehingga dapat
mempengaruhi praktik pengasuhannya. Kesempatan
pertama bagi anak untuk mengenal dunianya adalah
dalam lingkup keluarga, terutama dari kedekatan dengan
ibu. Karena keluarga merupakan tempat pertama
balita/anak dalam mengenal aturan tentang baik dan benar
sehingga orang tua harus dapat memberikan pendidikan
dasar pada balita/anak. Hal ini sejalan dengan penelitian
(Fathimah Kelrey, Tri Nurminingsih Hatala, 2022) bahwa
Pola asuh orang tua pada anak usia prasekolah sangat
penting untuk membentuk perilaku dan kepribadian anak. 
Terbatasnya interaksi orang tua dengan balita akan
membuat balita kurang mendapatkan perhatian dan kasih
sayang dari orang tua, sedangkan pada masa balita sangat
dibutuhkan perhatian lebih dari orang tua. Keadaan ini
membuat anak yang ditinggal orang tuanya dan diasuh
oleh seorang pengasuh untuk menjaga belum tentu
mendapatkan pengasuhan dengan gizi yang optimal. Pola
pengasuhan orang tua terhadap anak tidak bisa
diremehkan karena mempengaruhi status gizi
(Munawaroh, 2015). Pola asuh dalam memberikan
makanan sehari-hari merupakan hal yang penting untuk
menunjukan pertumbuhan balita. Pertumbuhan dan
perkembangan anak akan menjadi baik apabila
mendapatkan perhatian dan kasih sayang melalui pola
asuh ibu dalam pemberian makanan sehari-hari.

2.2.5.4 Riwayat Inisiasi Menyusui Dini


Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan permulaan
menyusu dini yang dilakukan dengan usaha bayi sendiri
segera setelah ia lahir. IMD dapat dilakukan dengan
meletakkan bayi dalam posisi tengkurap pada dada atau
perut ibu tanpa terhalang oleh kain, selama minimal satu
jam dimulai segera setelah bayi lahir. Dengan demikian
terjadi kontak langsung antara kulit bayi dan kulit ibu
(skin-to-skin contact), sehingga secara alami sang bayi
akan mulai aktif merangkak untuk mencari payudara ibu
(breast crawl) dan akan menemukan puting susu lalu
segera menyusu. Peristiwa menakjubkan ini tentu saja
memerlukan dukungan dari seluruh anggota keluarga
maupun tim kesehatan yang membantu proses persalinan
dengan menciptakan suasana yang tenang, nyaman bagi
ibu serta bayi, dan juga kesabaran bagi keberhasilan bayi
menemukan puting payudara sang ibu.

Bagi bayi yang diberi kesempatan untuk melakukan


IMD memiliki peluang keberhasilan menyusui eksklusif
yang lebih baik. Bayi juga akan mendapatkan ASI
kolostrum, yaitu cairan ASI yang pertama kali keluar
sejak hari pertama sampai dengan hari kelima setelah
persalinan. Kolostrum ini berwarna kuning pekat dengan
konsistensi yang kental dan lengket. Kandungannya
sangat kaya akan antibodi, tinggi protein, serta kaya akan
vitamin larut lemak dan mineral. Kolostrum sangat
penting bagi daya tahan tubuh bayi terhadap infeksi dan
akan melindungi dinding usus bayi, sehingga pemberian
ASI eksklusif yang dimulai sejak bayi lahir ini sangat
berperan dalam mengurangi risiko kematian pada bayi.
Ibu tidak perlu merasa khawatir akan produksi ASI yang
masih sedikit atau merasa ASI tidak keluar, karena
sebenarnya setiap ibu yang baru melahirkan, tubuhnya
secara alami memproduksi ASI. Ibu tetap perlu menyusui
bayi setiap 2 – 3 jam sekali untuk merangsang hormon
oksitosin dan payudara. Sejauh tidak ada masalah yang
berarti dan didukung dengan posisi perlekatan bayi pada
puting payudara ibu sudah tepat, bayi yang diberi
kesempatan secara aktif menghisap puting ibu maka
produksi ASI akan bertambah secara bertahap secara
alami.

2.2.5.5 Riwayat Pemberian ASI Ekslusif


Air susu Ibu (ASI) ekslusif merupakan  ASI yang
diberikan pada bayi selama 6 bulan pertama
kehidupannya tanpa tambahan cairan lain seperti susu
formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa
tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur
susu,biskuit dan nasi tim. Setelah 6 bulan baru mulai
diberikan makanan pendamping ASI (MPASI). ASI dapat
diberikan sampai anak berusia 2 tahun atau lebih. ASI
merupaka makanan pertama, utama, dan terbaik bagi bayi,
bersifat ilmiah (Aryotochter, 2018). 
ASI Eksklusif untuk bayi yang diberikan ibu ternyata
mempunyai peranan penting, yakni meningkatkan
ketahanan tubuh bayi. karenanya bisa mencegah bayi
terserang berbagai penyakit yang bisa mengancam
kesehatan bayi. Selain itu manfaat ASI Eksklusif paling
penting adalah bisa menunjang sekaligus membantu
proses perkembangan otak dan fisik bayi. Hal tersebut
dikarenakan, di usia 0 sampai 6 bulan seorang bayi tentu
sama sekali belum diizinkan mengkonsumsi nutrisi
apapun selain ASI. 

2.2.5.6 Hygiene dan Sanitasi


Hygine merupakan suatu langkah pencegahan penyakit
atau usaha kesehatan preventif yang menitikberatkan
kepada usaha kesehatan perseorangan atau usaha kesehatan
pribadi manusia dan juga lingkungan tempat seseorang
menetap (Muhammad Ikhtiar, 2017). Dalam kehidupan
sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting
yang harus diperhatikan karena kebersihan dapat
mempengaruhi kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
kesejahteraan klien. Hygine yang dilakukan oleh seseorang
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya status
kesehatan, budaya, status ekonomi, tingkat pengetahuan,
cacat jasmani, citra tubuh, dan pilihan pribadi. Setiap orang
memiliki pilihan pribadi nya untuk melakukan sesuatu
seperti menjaga kebersihan tubuhnya, apabila dalam diri
seseorang memiliki tingkat kerapihan, kepedulian dan
pengetahuan yang tinggi maka akan lebih
mempertimbangkan kebersihannya karena mereka paham
akan kondisi yang terjadi pada lingkungannya. Jika
seseorang sakit akan sulit untuk melakukan personal
hygiene sehingga memerlukan bantuan orang lain, sama
halnya dengan orang yang memiliki keterbatasan fisik akan
mengalami kesulitan karena keterbatasan yang dimiliki.
Tidak hanya itu faktor budaya dan ekonomi seseorang
sangat mempengaruhi personal hygiene nya, ekonomi
menjadi hal yang krusial karena dalam pemenuhan
kebersihan memerlukan biaya untuk kamar mandi, air
bersih, peralatan mandi seperti sabun dan sikat gigi yang
cukup.
Sanitasi menurut World Health Organization (WHO)
adalah suatu usaha yang mengawasi beberapa faktor
lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia
terutama terhadap hal-hal yang mempengaruh efek,
merusak perkembangan fisik, kesehatan, dan kelangsungan
hidup. Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor:965/MENKES/SK/XI/1992, pengertian
sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk
menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan
kesehatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Sanitasi yaitu usaha untuk membina dan
menciptakan suatu keadaan yang baik dibidang ksehatanan,
terutama kesehatan masyarakat. Jadi dari pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa sanitasi adalah upaya manusia
dalam pencegahan penyakit guna terciptanya lingkungan
yang sehat melalui pengendalian faktor lingkungan fisik
yang dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan. 
Sanitasi menekankan pada pengawasan dan
pengendalian. Rumah memiliki fungsi beragam, selain
sebagai tempat berlindung dari panasnya sinar matahari dan
hujan, rumah juga menjadi tempat untuk melakukan
sosialisasi antar penghuninya. Karena itu, kondisi rumah
dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan mental
penghuninya. Rumah yang sehat akan memberikan
kesehatan penghuninya. Karena itu, dalam membangun
rumah perlu diperhatikan fasilitasfasilitas dalam rumah
yang sehat, Sebuah rumah harus mempunyai fasilitas-
fasilitas yang dapat mendukung kebutuhan dan aktivitas
penghuninya, misalnya dalam penyediaan air bersih karena
air yang tidak bersih dapat menimbulkan berbagai penyakit
karena dapat menjadi tempat tumbuh berkembangnya
bakteri, tempat pembuangan tinja, tersedianya tempat
pembuangan air limbah karena berasal dari kegiatan rumah
tangga adalah air sisa dari proses kegiatan rumah tangga,
memiliki bau dan berbahaya bagi kesehatan tempat
pembuangan sampah, adanya sektor drainase untuk
mencegah terjadinya genangan, akan tetapi tidak terkait
dengan konversi air, Individu dan masyarakat terbiasa
hidup sehat dan bersih, Kondisi udara bebas dari bahan-
bahan yang berbahaya. 
Hygiene, sanitasi dan kesehatan memiliki hubungan erat
dengan lingkungan karena merupakan salah satu faktor
yang paling berpengaruh dalam menentukan derajat
kesehatan seseorang. Contohnya masalah kesehatan seperti
stunting yang dikaitkan dengan penyakit infeksi (diare,
ISPA), kurangnya kurangnya kebiasaan mencuci tangan
pakai sabun dengan benar juga dapat meningkatkan
frekuensi kejadian diare. Hal yang dianggap sepele seperti
buang air besar sembarangan bisa berdampak luas terhadap
kesehatan, status gizi, dan ekonomi bangsa. Stunting pada
anak merupakan dampak yang bersifat kronis dari
konsumsi makanan yang terus menerus dan didukung oleh
penyakit infeksi dan masalah lingkungan. Hasil dari salah
satu penelitian menyebutkan sebagian besar pengasuh pada
kelompok stunting memiliki praktik hygiene yang buruk
(75,8 %), sedangkan pada kelompok tidak stunting
memiliki praktik hygiene yang baik (60,6%) ( Siti. A , Rr
Dewi. N & Merita.E.K, 2019.)

2.2.5.7 Riwayat Penyakit Infeksi


Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan
karna masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme,
suatu kelompok luas dari organisme yang terdiri dari satu
atau banyak sel seperti bakteri, fungi, dan parasit serta
virus. Penyakit infeksi terjadi ketika interaksi dengan
mikroba menyebabkan kerusakan pada tubuh host dan
kerusakan tersebut menimbulkan berbagai gejala dan
tanda klinis. Penyakit infeksi memiliki pengaruh
hambatan langsung pada proses metabolisme, termasuk
lempeng epifisis pertumbuhan yang dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak melalui
kekurangan gizi.
Penyakit infeksi merupakan faktor dominan penyebab
stunting pada anak balita. Penyakit infeksi dapat
disebabkan karena asupan gizi yang kurang pada anak
dan ibu saat hamil serta akses sanitasi dan air bersih
yang tidak memadai. Kurangnya akses sanitasi dan air
bersih serta perilaku higiene yang buruk pada anak
dapat menyebabkan diare sehingga terjadi
malabsorpsi gizi dan berdampak pada pertumbuhan.
Selain itu anak yang mengalami gizi kurang secara kronis
memudahkan anak terserang penyakit infeksi seperti diare
dan ISPA, dikarenakan infeksi dapat membuat energi
untuk pertumbuhan balita teralihkan kepada perlawanan
patogen, sehingga gizi sulit diserap dan menghambat
pertumbuhan.
1. Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan
tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah
padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam (Dekawati,
2014). Diare merupakan penyebab kematian keempat
di dunia pada anak-anak, dengan 500 ribu korban
setiap tahunnya (Yanti et al., 2022).
Diare merupakan penyakit menular, ketika anak
mengalami diare akan kehilangan nafsu makan yang
menyebabkan hilangnya nutrisi sekaligus mencegah
nutrisi terserap dengan baik oleh tubuh. Kondisi
tersebut menyebabkan berat badan anak berangsur-
angsur menurun, yang diikuti dengan pertumbuhan
tinggi badan yang terhambat, sehingga dikatakan
mengarahkan anak pada keadaan stunting. Hal ini
didukung oleh pernyataan Chyntithia (2021) yang
mengatakan balita yang memiliki riwayat penyakit
diare dengan frekuensi yang sering berisiko lebih besar
mengalami stunting dikarenakan balita yang memiliki
riwayat diare berulang akan mengalami gangguan
absorbsi zat gizi sehingga kebutuhan nutrisi tidak
terpenuhi dan akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan balita (Chyntithia, 2021).
Diare bisa disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya kurang menjaga kesehatan lingkungan,
pola hidup tidak bersih, kurangnya asupan gizi, dan
faktor sosial ekonomi. Apabila penderita diare tidak
segera ditangani dengan benar dapat menimbulkan
penyakit lain, seperti dehidrasi (ringan sedang, berat,
hipotonik, isotonik, atau hipertonik), hipoglikemia,
hipokalemia, intolerasni sekunder akibat kerusakan vili
mukosa usus dan defisiensi enzim laktase, terjadi
kejang pada dehidrasi hipertonik. Selanjutnya dapat
terjadi malnutrisi energi protein akibat muntah dan
diare, atau bahkan sampai kejang dan yang paling
parah mengakibatkan kematian. Pada bayi dan anak-
anak kondisi ini lebih berbahaya karena cadangan
intrasel dalam tubuh mereka kecil dan cairan ekstrasel
lebih mudah dilepaskan jika dibandingkan orang
dewasa.
2. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan)
Berdasarkan status gizi diketahui bahwa gizi
buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA
pada anak. Berdasarkan berat badan lahir diketahui
bahwa berat badan lahir memiliki peran penting
terhadap kematian akibat ISPA (Kementrian Kesehatan
RI, n.d.). ISPA adalah radang saluran pernapasan
bagian atas yang disebabkan oleh infeksi jasad renik,
virus maupun riketsia, tanpa/ disertai radang parenkim
paru (Annanjar, 2016). Infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang
menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang
berlangsung kurang lebih 14 hari.  ISPA dapat
disebabkan oleh faktor agent yang disebabkan oleh
virus dan bakteri, faktor lingkungan, faktor 29 perilaku
dan faktor individu anak itu sendiri. 
Di Indonesia, angka kejadian ISPA masih cukup
tinggi, berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013,
prevalensi ISPA di Indonesia sebesar 25%, dengan
karakteristik penduduk yang terkena ISPA paling
banyak di temui pada usia 1-4 tahun (25,8%) dan tidak
terdapat perbedaan menurut jenis kelamin. Penyebab
ISPA yang berasal dari faktor individu anak antara lain;
umur anak, jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi,
vitamin A dan imunisasi. Apabila anak lahir dengan
berat badan lahir rendah atau kurang dari 2500 gram,
akan mengalami resiko kesakitan dan kematian bayi
dikarenakan bayi rentan terhadap kondisi-kondisi
infeksi saluran pernapasan bagian bawah. selain itu
Imunisasi dan pemberian kapsul vitamin A merupakan
upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang,
vitamin A sendiri memiliki fungsi untuk meningkatkan
daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit.

2.2.5.8 Pengetahuan Ibu Balita Terkait Gizi


Gizi merupakan salah satu penentu dalam kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM). Kondisi gizi baik dapat dicapai apabila
tubuh memperoleh zat gizi yang cukup berasal dar makanan yang
dikonsumsi sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan
fisik, perkembangan otak dan kemampuan kerja untuk mencapai
tingkat kesehatan optimal. Kebutuhan gizi untuk anak pada awal
masa kehidupannya merupakan hal yang sangat penting.
Kekurangan gizi dapat memberikan konsekuensi buruk yang tak
terelakan dimana manifestasi terburuk dapat menyebabkan
kematian (Yuhansyah, 2019).
Masalah status gizi pada balita dipengaruhi oleh beberapa
faktor yakni secara langsung dan tidak langsung. Faktor langsung
meliputi makanan anak dan penyakit infeksi, sedangkan faktor
tidak langsung meliputi sosial ekonomi, pengetahuan keluarga
terutama ibu mengenai status gizi pada anak balita. Sebagian
besar keluarga hanya mengetahui balita harus diberikan makanan
sama halnya dengan orang dewasa tiap harinya (In’am, 2016).
Upaya peningkatan status gizi anak melalui program Indonesia
sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status
gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan
pemerataan pelayanan kesehatan. Pengetahuan ibu mengenai gizi
merupakan salah satu upaya yang dilakukan, pengetahuan ibu
meliputi kemampuan ibu dalam memahami segala informasi
yang berhbungan dengan bahan makanan yang mengandung zat
gizi untuk balita. Pengetahuan pemberian makan pada anak dapat
berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam pemberian makanan
pada anaknya karena proses pembentukan perilaku merupakan
evolusi dari pengetahuan yang dapat membentuk sikap dan
kemudian dapat mempengaruhi terciptanya perilaku.
Pengetahuan gizi yang baik pada ibu diharapkan mampu untuk
menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat sesuai
dengan kebutuhan usia pertumbuhan anak sehingga dapat tumbuh
secara optimal dan tidak mengalami masalah dalam masa
pertumbuhannya (Rohmatun, 2014).
Peran orang tua terutama ibu sangat penting dalam pemenuhan
gizi anak karena anak membutuhkan perhatian dan dukungan
orang tua dalam menghadapi pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Untuk mendapatkan gizi yang baik diperlukan
pengetahuan gizi yang baik dari orang tua agar dapat
menyediakan menu pilihan yang seimbang. Tingkat pengetahuan
gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam
pemilihan makanan. Seorang ibu yang memiliki pengetahuan dan
sikap gizi yang kurang akan mempengaruhi status gizi anaknya
dan akan sukar dalam pemilihan makanan bergizi untuk anak dan
keluarganya (Olsa, 2017).
Pengetahuan adalah hasil tahu yang merupakan konsep didalam
pikiran seseorang hasil seseorang melakukan penginderaan
terhadap sesuatu objek tertentu. Pengetahuan ibu tentang gizi
secara tidak langsung akan menentukan pemenuhan gizi
keluarga, karena ibu sebagai penanggung jawab pemberian
makan dalam keluarga. Seorang Ibu dengan pengetahuan gizi
yang baik dapat penyediaan makanan yang baik pula untuk
keluaga. Pemenuhan zat gizi dipengruhi oleh asupan makanan
baik secara kualitas maupun kuantitas serta keragaman pangan
yang dikonsumsi (Mufida, 2020.
Pengetahuan tentang gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya usia, dimana semakin tua usia seseorang maka proses
perkembangan mentalnya menjadi baik, intelegasi atau
kemampuan untuk belajar dan berpikir untuk menyesuaikan diri
laam situasi baru, kemudian lingkungan dimana seseorang dapat
mempelajari hal-hal baik juga buruk tergantung pada sifat
kelompoknya, budaya yang memegang peranan penting dalam
pengetahuan dan pendidikan merupakan hal yang mendasar
untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman dan juga
merupakan guru terbaik dalam mengasah pengetahuan (Amalia,
2021).
Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi balita sangat
mempengaruhi keadaan gizi balita tersebut karena ibu adalah
seorang yang paling besar keterikatannya terhadap anak.
Kebersamaan ibu dengan anaknya lebih besar dibandingkan
dengan anggota keluarga yang lain sehingga lebih mengerti
segala kebutuhan yang dibutuhkan anak. Pengetahuan yang
dimiliki ibu menjadi kunci utama kebutuhan gizi balita terpenuhi.
Pengetahuan yang didasari dengan pemahaman yang baik dapat
menumbuhkan perilaku baru yang baik pula. Pengetahuan ibu
tentang kebutuhan gizi yang dipahami dengan baik akan diiringi
dengan perilaku pemberian makanan bergizi bagi balita.
Pengetahuan bisa didapat dari informasi berbagai media seperti
TV, radio atau surat kabar seperti halnya dalam penelitian ini. ibu
mendapatkan informasi tentang kebutuhan gizi balita dari
penyuluhan yang diberikan puskesmas setiap pelaksanaan
program posyandu .Informasi ini meningkatkan pengetahuan
yang diiringi dengan perilaku baru dalam pemberian makanan
bergizi bagi balita sehingga status gizi pun menjadi baik
(Susilowati, 2017).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Olsa (2017), terdapat
hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian stunting pada
balita. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan,
dimana dapat diasumsikan bahwa dengan pendidikan tinggi maka
semakin luas pula pengetahuan orang tersebut. Pendidikan yang
rendah tidak menjamin seorang ibu tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup mengenai gizi keluarga. Adanya rasa
ingin tahu yang tinggi dapat mempengaruhi ibu dalam
mendapatkan informasi mengenai makanan yang tepat untuk
anak. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari
pendidikan formal saja, akan tetapi mutlak didapatkan dari
pendidikan non-formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu
objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif.
Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang, semakin
banyak aspek positif dan objek yang diketahui maka akan
menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu
(Picauly, 2013) 

2.2.5.9 Pelayanan Kesehatan Balita


Pelayanan Kesehatan balita dilakukan di posyandu setiap Bulan
untuk memberikan kemudahan pada masyarakat dalam pelayanan
kesehatan pada Balita. 
A. Pemberian Imunisasi pada Balita 
Pelayanan Kesehatan Terpadu (Posyandu) menerapkan
pemberian imunisasi kepada Balita, sebagai upaya untuk
meningkatkan kekebalan tubuh dan Pemberantasan penyakit
menular (Ranuuh, 2001). Pemberian imunisasi pada Balita
tidak hanya memberikan Pencegahan Penyakit Kepada Anak,
tetapi akan memberikan dampak yang jauh lebih luas karena
akan mencegah terjadinya Penularan yang luas akan
mendapatkan peningkatan Imunitas (daya tahan tubuh
terhadap tertentu), Pada Masyarakat secara Umum wabah
penyakit menular dapat menyebabkan peningkatan kematian
bayi dan balita (Pete, 2002).
B. Pemberian Suplemen Vitamin A pada Balita 
Vitamin A merupakan salah satu zat Gizi dari 
golongan Vitamin yang sangat diperlukan dan dibutuhkan oleh
tubuh terutama Balita. Vitamin A bermanfaat untuk
meningkatkan daya tahan Tubuh terhadap penyakit seperti
campak, diarem ISPA dan Bermanfaat untuk kesehatan mata
dan membantu proses pertumbuhan pada balita (Depkes,
2008). 
Jika kekurangan Vitamin A pada Balita bisa
mengakibatkan ganguan penglihatan sampai dengan
menimbulkan penyakit lain. oleh karena itu Pemberian
Vitamin A sangat Penting Pada Balita.  Menurut WHO apabila
jumlah populasi balita sebanyak 15% mengalami kekurangan
vitamin A maka hal tersebut dikategorikan suatu masalah,
sedangkan di Jawa Barat sendiri angka kejadian balita dengan
kekurangan vitamin A masih cukup tinggi (19,4%)
(Kompas.com, 2013).

C. Pemantauan Tumbuh Kembang pada  Balita 


Pelayanan Kesehatan Terpadu (Posyandu) meliputi
pelayanan kesehatan balita seperti pemantauan Tumbuh
kembangnya tetapi peran pemantauan Balita tidak hanya pada
posyandu saja melaikan peran Orang Tua dapat sangat penting
dan membantu karena Orang Tua merupakan lingkungan
tempat anak untuk menghabiskan waktu. Pemantauan yang
dilakukan pada Posyandu merupakan salah satu upaya untuk
mendeteksi masalah gizi pada Balita seperti penimbangan
Berat Badan, Tinggi Badan, dan pemberian nutrisi. 

2.2.5.10 Ketahanan Pangan Keluarga


Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 ketahanan
pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Fokus ketahanan pangan tidak hanya pada
penyediaan pangan tingkat wilayah tetapi juga ketersediaan dan
konsumsi pangan tingkat daerah, rumah tangga, dan bagi
individu dalam memenuhi kebutuhan gizinya.
Ketahanan pangan keluarga erat hubungannya dengan
ketersediaan pangan yang merupakan salah satu faktor atau
penyebab tidak langsung yang berpengaruh pada status gizi
anak (Soekirman, 2000).

2.3 Kerangka Teori Status Gizi Ibu Hamil

2.4 Kerangka Teori Status Gizi Balita

DAFTAR PUSTAKA

Widiyanti, N. M. (2021). GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU


TENTANG GIZI KURANG PADA BALITA DI UPT PUSKESMAS KLUNGKUNG I
TAHUN 2021 (Doctoral dissertation, Jurusan Keperawatan 2021).
 
Yeni Febrianti, P. (2020). Gambaran Status Ekonomi Keluarga Terhadap
Status Gizi Balita (BB/U) di Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru (Doctoral
dissertation, Poltekkes Kemenkes Riau).
 
(Suparyanto dan Rosad (2015. (2020). Modul Teori Asuhan Kebidanan
Kehamilan. Suparyanto Dan Rosad (2015, 5(3), 248–253.)
 
Karina, A. N., & Warsito, B. E. (2012). Pengetahuan ibu tentang imunisasi
dasar balita. Jurnal Keperawatan Diponegoro, 1(1), 30-35
 
Styawati, S., & Ariany, F. (2021). Sistem Monitoring Tumbuh Kembang
Balita/Batita di Tengah Covid-19 Berbasis Mobile. J. Inform. Univ. Pamulang, 5(4),
490. 
 
Hayati, N., & Fatimaningrum, A. S. (2015). Pelatihan kader posyandu dalam
deteksi perkembangan anak usia dini. Jurnal Pendidikan Anak, 4(2). 

Adila, N. T. H. (2021). The Hubungan Infeksi Saluran Pernafasan Akut dengan


Kejadian Stunting. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(1), 273–279.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i1.605

al Amin, M., & Juniati, D. (2017). KLASIFIKASI KELOMPOK UMUR MANUSIA


BERDASARKAN ANALISIS DIMENSI FRAKTAL BOX COUNTING DARI
CITRA WAJAH DENGAN DETEKSI TEPI CANNY. Jurnal Ilmiah
Matematika, 2(6).

Arini, D., Nursalam, N., Mahmudah, M., & Faradilah, I. (2020). The incidence of
stunting, the frequency/duration of diarrhea and Acute Respiratory Infection in
toddlers. Journal of Public Health Research, 9(2), 117–120.
https://doi.org/10.4081/jphr.2020.1816

Asrianti, T., Afifah, N., Muliyana, D., & Risva. (2019). Tingkat Pendapatan, Metode
Pengasuhan, Riwayat Penyakit Infeksi dan Risiko Kejadian Stunting pada Balita
di Kota Samarinda. Jurnal Nasional Ilmu Kesehatan, 2(1), 1–8.
http://journal.unhas.ac.id/index.php/jnik/article/view/6503

Chyntithia, L. G. (2021). Hubungan Riwayat Penyakit Diara Dengan Kejadian


Stunting Pada Balita. Jurnal Medika Hutama, 03(01), 1723-1725 p.
http://jurnalmedikahutama.com/index.php/JMH/article/view/356

Firmansyah, R. R. T., Murti, B., & Prasetya, H. (2023). A Meta-Analisis of


Correlation between Diarrhea and Stunting in Children Under Five. Journal of
Epidemiology and Public Health, 8(1), 88–97.
https://doi.org/10.26911/jepublichealth.2023.08.01.08

Himawati, E. H., & Fitria, L. (2020). Hubungan Infeksi Saluran Pernapasan Atas
dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia di Bawah 5 Tahun di Sampang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 15(1), 1.
https://doi.org/10.26714/jkmi.15.1.2020.1-5

Irawan, A., & Hastuty, H. S. B. (2022). Kualitas Fisik Air, Kejadian Diare Dengan
Stunting Pada Balita di Puskesmas Arso Kota. Jurnal Kesehatan Komunitas,
8(1), 130–134. https://doi.org/10.25311/keskom.vol8.iss1.1119

Maineny, A., Longulo, O. J., & Endang, N. (2022). Hubungan Riwayat Penyakit
Infeksi Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Umur 24-59 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Marawola Kabupaten Sigi. Jurnal Bidan Cerdas, 4(1), 10–17.
https://doi.org/10.33860/jbc.v4i1.758
Nurminingsih Hatala, T., Tuasikal, H., Kelrey, F., Pangandaheng Program Studi DIII
Keperawatan, T., J A Latumeten, Stik. R., Tamaela No, J., Nusaniwe, K., &
Ambon, K. (n.d.). POLA ASUH ORANG TUA BERHUBUNGN DENGAN
PERTUMBUHAN GIZI BALITA

Putri, M. R. (2019). Hubungan pola asuh orangtua dengan status gizi pada balita di
wilayah kerja puskesmas bulang kota batam. Jurnal Bidan Komunitas, 2(2), 96-
106.

Putri, L. P., Simanjuntak, B. Y., & Wahyu, T. (2018). Konsumsi Vitamin D dan Zink
dengan Kejadian Stunting pada Anak Sekolah SD Negeri 77 Padang Serai Kota
Bengkulu. Jurnal Kesehatan 9(2).

Putri, R. F., Sulastri, D., & Lestari, Y. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan status gizi anak balita di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1).

Solin, A. R., Hasanah, O., & Nurchayati, S. (2019). Hubungan Kejadian Penyakit
Infeksi Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita 1-4 Tahun. JOM FKp, 6(1), 65–
71. jom.unri.ac.id

Thamrin, E. P., Utami, R. K., Santoso, F., Thamrin, A. A., Ain, S. S., & Pakasi, T. A.
(2019). Problems related to acute respiratory infection among under-5 children
in Sorong, West Papua: a community diagnosis approach. Journal of
Community Empowerment for Health, 2(2), 198–207.
https://doi.org/10.22146/jcoemph.46965

Wahyuni, C. (2018). Panduan Lengkap Tumbuh Kembang Anak Usia 0-5 Tahun
PANDUAN LENGKAP TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 0-5 TAHUN
STRADA PRESS.

Yanti, R., Yenita, R. N., & Faradilla. (2022). Stunting control factors related to the
occurrence of diarrhea in children in the work area of the Bukit Timah Health
Center. 11(2), 210–216. https://doi.org/10.30644/rik.v11i2.719

Ikhtiar, M. (2017). Pengantar kesehatan lingkungan. CV. Social Politic Genius


(SIGn).

 
SUDIARTA, I. G. A. P. (2018). GAMBARAN PENERAPAN PERSONAL HYGIENE
PENJAMAH MAKANAN PADA KANTIN SMPN 2 GIANYAR TAHUN 2018
OLEH (Doctoral dissertation, Jurusan Kesehatan Lingkungan).
 
Harianti, A. W., & Ambarwati, A. (2022). Survey Sanitasi Lingkungan Dan Air Bersih
Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman Dan Cipta Karya Bojonegoro.

Amalia, Ika Desi., Dina Putri Utami Lubis., dan Salis Miftahul Khoeriyah. 2021.
Hubungan     Pengetahun Ibu tentang Gizi dengan Kejadian Stunting pada Balita
: Relationhip   Between   Mother’s Knowledge on Nutrition and the Prevalence
of Stunting on Toddler. Jurnal            Kesehatan Samodra Ilmu. 12(2):1-9.
In’am, Miftahul. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan Orang Tua dengan Status Gizi
Anak di   Bawah 5 Tahun di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Nusukan
Surakarta. Surakarta :  UMS.

Mufida, Loviana., Agus Sartono., dan Mufnaetty. 2020. Pengetahuan Gizi Ibu
dan Praktik        Diversifikasi Makanan Keluarga di Kelurahan Purworejo,
Kecaatn Margoyoso, Pati.       Jurnal Gizi Unimus. 9(2):180-188.

Olsa, Edwin Danie., Dekmi Sulastri., dan Eliza Anas. 2017. Hubungan Sikap dan
Pengetahuan Ibu         terhadap Kejadian Stunting pada Anak Baru Masuk
Sekolah Dasar di Kecamatan Nanggalo. Jurnal Kesehatan Andalas. 6(3):543-
529.

Picauly, I., Magdalena, T., dan Sarci. 2013. Analisis Determinan dan Pengaruh
Stunting tentang Prestasi Belajar Anak Sekolah di Kupang dan Sumba Timur
NTT. Jurnal Gizi dan Pangan. 8(1):55-62.

Rohmatun, N. Y. 2014. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dan Pemberian ASI


Eksklusif dengan Kejadian Stunting pada Balita di Desa Sidowarmo Kecamatan
Wonosari Kabupaten Klaten. Surakarta : UMS.

Susilowati, Endang., dan Alin Himawati. 2017. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu
tentang Gizi Balita dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Gajah 1 Demak. Jurnal Kebidanan. 6(13):21-26.

Yuhansyah., dan Mira. 2019. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu tentag Gizi pada
Anak Balita di UPT Puskesmas Remaja Kota Samarinda. Borneo Nursing
Journal (BNJ). 1(1):76-82.

Ike, F. (2019). HUBUNGAN KEJADIAN STUNTING DENGAN FREKUENSI DAN


DURASI PENYAKIT DIARE DAN ISPA PADA ANAK USIA TODDLER DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS KENJERAN SURABAYA (Doctoral
dissertation, STIKES HANG TUAH SURABAYA).
Salama, S., & Kerangan, J. (2019). PENGARUH EDUKASI KESEHATAN
TERHADAP PENGETAHUAN IBU TENTANG PENCEGAHAN ISPA PADA
BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MELONGUANE KECAMATAN
MELONGUANE KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE).
 
Adriani, Merryana., Wirjatmadi, Bambang. 2016. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta:
PT Fajar Interpratama Mandiri.
 

Susanti, T. (2018). Hubungan Usia dan Jarak Kehamilan dengan Kejadian Plasenta
Previa di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2018. Jurnal
Kesehatan, 4(2).

Suryani, L., Riski, M., Sari, R. G., & Listiono, H. (2021). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Terjadinya Kekurangan Energi Kronik pada Ibu Hamil. Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 21(1), 311-316.
Suryani, L. (2017). Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Payung Sekaki. Jomis (Journal Of Midwifery Science), 1(2), 47-53.

Nugraha, R. N., Lalandos, J. L., & Nurina, R. L. (2019). Hubungan Jarak Kehamilan
Dan Jumlah Paritas Dengan Kejadian Kurang Energi Kronik (Kek) Pada Ibu
Hamil Di Kota Kupang. Cendana Medical Journal (CMJ), 7(2), 273-280.

Syafitri, N. P., Wiratmo, P. A., & Setyaningsih, W. (2020). Hubungan Status Sosial
Ekonomi Ibu Hamil Terhadap Kunjungan Antenatal Care. Binawan Student
Journal, 2(2), 237-241.
 
Sri S. Nasar; Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI); Universitas Indonesia Fakultas
Kedokteran; Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (PERSAGI). (2015; 2015). Penuntun Diet Anak / editor, Sri S.
Nasar ... [et al.]; IDAI, PERSAGI, AsDI. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. FKUI,.
 
Pritasari, Damayanti D, Lestari NT. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan; 2017.
 
Hardinsyah,MS. (2017).Ilmu Gizi : Teori dan Aplikasi.(Electronic Thesis or
Dissertation). Retrieved from https://localhost/setiadi
 

Aryadipa, M., & Imam Arundhana, A. (n.d.). GAMBARAN KONSUMSI ASAM FOLAT
PADA IBU HAMIL DI RUMAH SAKIT BERSALIN BUDI MULIA KOTA
MAKASSAR Description of Folic Acid Consumption of Pregnant Women in Budi
Mulia Hospital Makassar City 2017.

Ayuningtyas, D., Misnaniarti, M., & Rayhani, M. (2018). ANALISIS SITUASI


KESEHATAN MENTAL PADA MASYARAKAT DI INDONESIA DAN
STRATEGI PENANGGULANGANNYA. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat,
9(1). https://doi.org/10.26553/jikm.2018.9.1.1-10

Ayuningtyas, I. N., Fahmy, A., Tsani, A., Candra, A., & Fithra Dieny, F. (2022).
ANALISIS ASUPAN ZAT BESI HEME DAN NON HEME, VITAMIN B 12 DAN
FOLAT SERTA ASUPAN ENHANCER DAN INHIBITOR ZAT BESI
BERDASARKAN STATUS ANEMIA PADA SANTRIWATI. 11(2), 171–181.
http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jnc/

Simbolon, D., Rizal, A., Gizi, J., & Kementerian Kesehatan Bengkulu, P. (2018).
Asupan Zat Gizi Makro dan Mikro terhadap Kejadian Stunting pada Balita. In
Jurnal Kesehatan (Vol. 9, Issue 3). Online.
http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK

 
Muliawati, Siti. (2013). Faktor Penyebab Ibu Hamil Kurang Energi Kronis di Puskesmas
Sambi Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali Tahun 2012. AKBID CITRA
Medika Surakarta. INFOKES, Vol.3 No.3 November 2013.
 
ANDINI, Fauziah Rizki. Hubungan faktor sosio ekonomi dan usia kehamilan dengan
kejadian kekurangan energi kronis pada ibu hamil di Puskesmas Prambontergayang
Kabupaten Tuban. Amerta Nutrition, 2020, 4.3: 218.
SEMBIRING, Julina Br; PRATIWI, Debby; SARUMAHA, Aprilian. Hubungan usia,
paritas dan usia kehamilan dengan bayi berat lahir rendah di rumah sakit umum
mitra medika medan. Jurnal Bidan Komunitas, 2019, 2.1: 38-46.
 
DEWI, Ambar Kusuma; DARY, Dary; TAMPUBOLON, Rifatolistia. Status Gizi dan
Perilaku Makan Ibu Selama Kehamilan Trimester Pertama. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas, 2021, 135-144.

Sinambela, M., & Solina, E. (2021). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Ibu Hamil  terhadap Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) Selama Pandemi
COVID-19 di Puskesmas   Talun Kenas Tahun 2020. Jurnal Kebidanan Kestra
(Jkk), 3(2), 128-135.

Rufaridah, A. (2019). Pelaksanaan Antenatal Care (Anc) 14 T Pada Bidan Di Wilayah


Kerja     Puskesmas Lubuk Buaya Padang. Menara Ilmu, 13(2).

Ima, I. H., Arisanti, A. Z., & Susilowati, E. (2022). Faktor yang Mempengaruhi
Pemeriksaan Antenatal Care: Literature Review. Media Publikasi Promosi Kesehatan
Indonesia         (MPPKI), 5(7), 789-795.

Azizah, N. N. (2021). Hubungan Antara Sikap Dan Pengetahuan Ibu Hamil Dengan
Pemeriksaan   Kehamilan (Antenatal Care) Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Medika
Hutama, 2(04 Juli), 1175-1180.

Kemenkes RI.  (2021). Profil Kesehatan Indonesia 2021. Jakarta: Kemenkes RI

Ningsih, N. S., Simanjuntak, B. Y., & Haya, M. (2021). Asupan Energi, Zat Gizi Makro
dan Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil. Jurnal Kesehatan Tanjung Karang, 12(2), 156-
161.
 

Anda mungkin juga menyukai