Anda di halaman 1dari 4

NAMA : TRI NADIA ASRINI

NIM : M011191168
KELAS :E

TUGAS PEKAN IX
1. Apakah seluruh aspek komoditas hasil hutan bukan kayu sudah diatur dalam produk
hukum tersebut? Jelaskan!
Menurut saya iya, karena Beberapa jenis kegiatan atau usaha pemanfaatan hutan dan
pemungutan hasil hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan. Pada bab 1 pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa yang dimaksud pemanfaatan hutan adalah
kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan
hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara
optimal dan adil untuk kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pada ayat 5 disebutkan bahwa pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan
ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi
secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Selanjutnya pada ayat 6 disebutkan
bahwa pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa
lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Khusus untuk
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, diatur pada bab 1 pasal 1 ayat 8, adalah kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Peraturan Pemerintah ini juga memuat
batasan yang jelas tentang kawasan hutan yang diperbolehkan dan dilarang untuk dimanfaatkan,
sebagaimana termuat pada bab IV pasal 18.
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu a) hutan konservasi,
kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; b) hutan lindung; dan
c) hutan produksi. Khusus untuk kawasan konservasi, izin pemanfaatan hutan diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang sesuai, seperti tercantum pada pasa 22 bab yang sama.
Selanjutnya jenis-jenis pemanfaatan hutan pada dua kawasan hutan tersebut, yaitu hutan
lindung dan hutan produksi, secara ringkas dapat dilihat pada bab berikutnya, yaitu pada Tabel
6.1 sampai Tabel 6.10. Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 ini juga mengatur pemungutan
hasil hutan, seperti yang terdapat pada bab 1 pasal 1 ayat 9.Ayat ini menyebutkan bahwa
pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan
baik berupa kayu dan atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan atau volume tertentu.
Khusus untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung diatur pada bab IV pasal
26 ayat 1. Berdasarkan ayat ini komoditas hasil hutan bukan kayu yang dimaksud adalah rotan,
madu, getah, buah, jamur atau sarang burung walet.
Karena kawasan ini adalah hutan lindung, maka pada ayat 2, terdapat ketentuan-ketentuan
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung, yaitu a) hasil hutan bukan kayu yang
dipungut harus sudah tersedia secara alami; b)tidak merusak lingkungan; dan c) tidak
mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya. Pada ayat 3 dinyatakan bahwa
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat
sekitar hutan. Beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan berkenaan dengan pemungutan
hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung yaitu a) memungut hasil hutan bukan kayu yang
banyaknya melebihi kemampuan produktifitas lestarinya, dan b) memungut beberapa jenis hasil
hutan yang dilindungi undang-undang. Larangang-larangan tersebut dimuat pada ayat 4 pada
bab IV pasal 26.

2. Apakah secara substansial memberatkan, memudahkan dan merangsang investasi


komoditas HHBK ini? Jelaskan!
Ada beberapa aspek yang memberatkan menurut saya seperti kelembagaan pemasaran.
Kelembagaan pemasaran yang dimaksud dalam pokok bahasan ini adalah wadah-wadah formal
yang terlibat pada produksi, pemasaran, dan perdagangan atau jual beli komoditas hasil hutan
bukan kayu. Wadah formal tersebut meliputi beberapa organisasi, kelompok masyarakat
maupun pelaku usaha lainnya yang tidak memiliki izin atau legalitas. Tetapi lembaga-lembaga
tersebut memiliki kemampuan atau kapabilitas, serta memiliki peran masing-masing dalam
lembaga pemasarantersebut. Aspek kelembagaan yang lainnya adalah belum adanya standar
pengoperasian dan pelayanan (standard operation procedure/SOP), termasuk di dalamnya
adalah jaminan kualitas produk (quality control), tata usaha komoditas atau pendokumentasian
aktivitas, dan perpindahan komoditas dan sebagainya. Hal tersebut sangat bertolak belakang
dengan komoditas kayu, yang mana telah memiliki struktur kelembagaan yang jelas, termasuk
sistem tata usaha kayunya.
Hasil penelitian Madusari (2006), salah mahasiswi jurusan budi daya hutan pada Fakultas
Kehutanan, Universitas Negeri Papua, tentang sistem pemasaran lokal minyak lawang dan kulit
kayu masohi di kabupaten teluk Wondama dan Manokwari menyimpulkan bahwa proses
pemasaran minyak lawang dari produsen ke konsumen melibatkan 3 (tiga) lembaga pemasaran
yaitu pedagang pengumpul lokal (PPL), pedagang penerima (PP) dan pedagang pengecer
(PPR). Pedagang pengumpul lokal ini dibedakan menjadi pedagang pengumpul lokal I (PPL I)
dan PPL II. PPL I berperan dalam menampung minyak lawang dari produsen dan juga bertindak
sebiagai produsen penghasil minyak lawang. Setelah terkumpul, PPL I akan menjual minyak
lawang ke PPL II. Di samping itu PPL II ini juga dapat membeli minyak lawang langsung dari
produsen. PPL II kemudian menjual minyak lawang ke pedagang penerima (PP) di kota
Manokwari. Selanjutnya PP akan menjual produknya ke PPR, yang kemudian akan dilanjutkan
untuk dijual langsung kepada konsumen. Ketiga lembaga pemasaran minyak

3. Buatlah daftar saran perbaikan berdasarkan hasil kajian pada poin di atas.
Yang perlu diperbaiki ialah Jaringan pemasaran dan sistem pasar yang bersifat infromal,
maka untuk mendapatkan informasi dan data yang akuran tentang produksi, ekspor dan
permintaan komoditas HHBK sulit untuk diprediksi atau diperkirakan. Karena sifat-sifat
tersebut, negara seperti Singapura, yang secara fisik tidak memiliki kawasan hutan produksi
alam tropis memiliki kemapuan untuk melakukan ekspor komoditas HHBK, seperti rotan.
Bahkan menurut beberapa sumber, beberapa produk olahan rotan seperti anyam-anyaman dan
diversifikasinya telah dipatenkan oleh beberapa perusahaan di Singapura. Beberapa produk
perkayuan seperti mebel yang berbahan baku kayu juga telah dipatenkan oleh negara lain.
Headline majalah tropical forest update (TFU) dari ITTO menyebutkan buatan Italia tapi
tumbuh di Indonesia (Made in Italy, growing in the tropic).
Kenyataan ini menekankan bahwa beberapa komoditas hasil hutan dari negara-negara
berkembang banyak yang diekspor ke negara maju dengan berbagai cara, baik melalui prodesur
yang resmi (legal) maupun tidak resmi (illegal), akan berganti label atau diputihkan untuk dapat
diterima dinegara maju. Disisi lain, konsumen negara maju menghendaki bahwa produk-produk
hasil hutan, termasuk HHBK, yang ditawarkan ke mereka, wajib disertakan sertifikasi yang
menyatakan bahwa produk tersebut diolah dengan teknologi yang ramah lingkungan dan
diproduksi dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Kesenjangan informasi ini yang
kedepan harus dipertimbangankan masak-masak oleh perlaku industry dan pemerintah.
Kendala-kendala tersebut di atas yang menyulitkan komoditas HHBK asal Indonesia
mengalami kesulitan untuk menembus pasar internasional, khusunya negara maju. Pemanenan,
pengolahan dan standarisasi kualitas produk HHBK yang diproduksi oleh Indonesia masih
belum memperhatikan aturan-aturan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai