Anda di halaman 1dari 4

KAMI SIAP

FIQIH IBADAH

Tema : Pembagian Thaharah, jenis-jenis air, dan bejana


Pengajar : Ustaz Rosyid Abu Rosyidah
Isi

Thaharah.
Secara Bahasa, Thaharah dinamai dengan an-Nazhafah. Adapun secara istilah, thaharah merupakan
upaya menghilangkan hadats (merupakan suatu yang abstrak. Hadats ada didalam diri manusia.
Menghilangkan hadats, berarti menghilangkan sesuatu yang dapat menghalangi kita dari shalat, dsb)
dan khabats (bersifat konkrit, seperti kotoran dan juga Najis. Wujudnya ada, seperti kotoran, air
kencing, dsb. Sehingga, makna dari menghilangkan khabats adalah menghilangkan sesuatu yang
dapat menghalangi kita dari berbagai macam ibadah).
Pembagian Thaharah.
Secara umum, thaharah dapat dikelompokkan mejadi 2 macam, yaitu:
1. Ditinjau dari objek, yaitu:
a) Thaharah maknawiyyah atau thaharah bathiniyyah
Artinya mensucikan diri dari kemusyrikan dan kemaksiatan,
b) Thaharah hisshiyyah atau thaharah zhahiriyyah
Secara umum, air dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Suci dan mensucikan,
Air yang suci dan mensucikan dapat disebut sebagai air mutlak. Apa itu air mutlak? Air yang
turun dari langit atau dari bawah. Dalam matan kitab Ghayah wa taqrib, terdapat 7 air
mutlak, yaitu:
a) Air hujan,
b) Air laut,
c) Air sungai,
d) Air sumur,
e) Air sumber atau air mata air,
f) Air salju, dan
g) Air embun.
Dalam pendapat ‘ulama syafi’iyyah, air suci dan mensucikan, dapat dibagi lagi dalam 2 jenis,
yaitu:
a) Suci dan mensucikan yang bersifat makruh,
Mengapa ada istilah ini? Sebab, ada air yang bersifat “musyamasy” atau air yang
terkena sengatan matahari. Akan tetapi air ini tidak masuk kedalam pembahasan secara
umum, sebab, penjelasan ini masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
‘ulama.
b) Suci dan mensucikan yang bersifat tidak makruh.
Berikutnya, terkait dengan air, ada yang bernama air mustakmal atau bisa disebut sebagai air
bekas. Apa maksudnya? Air yang diperoleh dari anggota badan bekas berwudhu atau mandi.
Terdapat silang pendapat dikalangan para ‘ulama, apakah air mustakmal ini suci dan
mensucikan? Akan tetapi, menurut pendapat yang rajih, bahwa air mustakmal suci dan
mensucikan, selama tidak berubah warnanya, tidak berubah aromanya, dan tidak berubah
rasanya. Apa dalil bahwa air mustakmal ini suci dan mensucikan? Yaitu, ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai berwudhu, para sahabat beliau berebut air bekas wudhu
(wadhu) beliau.
2. Suci akan tetapi tidak mensucikan,
Berikutnya, bagaimana jika air yang tercampur benda suci? Dalam hal ini terdapat perincian
didalamnya, yaitu:
a) Apabila benda suci yang tercampur dengan air dapat terpisah dan/atau dipisahkan,
maka air yang tercampur itu suci dan mensucikan. Contoh, air yang dicampur dengan
daun bidara. Daun bidara merupakan benda suci.
b) Apabila benda suci yang tercampur dengan air tidak dapat terpisah dan/atau dipisahkan,
contoh, air teh, air kopi, air sirup, dsb. Dimana teh, kopi, sirup merupakan benda suci,
akan tetapi ketika telah menyatu dengan air, tidak dapat dipisahkan, maka air sirup, air
kopi, dsb tidak dapat digunakan untuk bersuci.
3. Najis.
Bagaimana jika air tercampur dengan Najis? Menyikapi hal ini, kita perlu mengetahui terkait
volume air dan sifat. Volume air berkaitan dengan banyak atau sedikit. Adapun sifat air
berkaitan dengan warna, aroma, dan rasa. Berkaitan dengan air yang tercampur dengan
najis, terdapat perinciannya, yaitu:
a) Jika air dalam volume yang banyak, najis yang tercampur dengan air tidak merubah
warna, aroma, dan rasa air, maka air itu suci dan mensucikan.
b) Jika najis yang tercampur dengan air merubah warna, aroma, dan rasa air, walaupun
volume airnya banyak, maka air tersebut tidak suci dan mensucikan.
c) Jika najis yang tercampur dengan air tidak merubah warna, aroma, dan rasa, akan tetapi
volume airnya sedikit, maka air itu tidak suci dan mensucikan.
Kemudian, apa tolak ukur dari air banyak dan sedikit? Apabila air berjumlah lebih dari 2
kullah, maka banyak. Akan tetapi, jika kurang dari 2 kullah, maka sedikit. Apabila kita
konversikan ke liter, 1 kullah = 150 liter.
Air sisa minuman (as-Su’ru).
Bagaimana dengan air sisa minuman hewan? Terkait dengan air sisa ini, dapat dibagi
kedalam beberapa kelompok, yaitu:
a) Air sisa minuman manusia
Air ini suci dan mensucikan. Baik bekas orang kafir, junub, maka tetap suci.
b) Air sisa minum hewan yang halal dagingnya
Air ini suci dan mensucikan.
c) Air sisa minum dari hewan yang haram dagingnya selain anjing dan babi
Contoh, misalnya air sisa minum dari keledai, gajah, hewan buas, dsb. Maka berdasarkan
penjelasan para ‘ulama, air sisa ini suci dan mensucikan.
d) Air sisa minum anjing dan babi
Air sisa ini hukumnya haram untuk dijadikan bersuci.
Bejana/wadah penyimpanan air
Mengapa ketika kita membahas mengenai fiqh thaharah, disisipkan juga pembahasan tentang
bejana? Sebab, bejana merupakan wadah atau tempat penyimpanan air, sebab pada zaman dahulu,
para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan wadah air untuk menyimpan air
dalam rangka berwudhu. Para ‘ulama, telah mengklasifikasikan bejana, yaitu:
1. Boleh dipakai,
2. Tidak boleh dipakai,
Untuk bejana yang tidak boleh dipakai, para ‘ulama kembali membaginya kedalam 2 macam,
yaitu:
a) Bejana yang terbuat emas atau perak,
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“janganlah kalian minum dari bejana yang terbuat dari emas atau perak. Dan janganlah
kalian makan dari piring yang terbuat dari emas atau perak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian, apakah boleh piring atau bejana dari emas dan perak hanya untuk dipajang?
Sebagian ‘ulama membolehkannya, namun ada juga sebagian ‘ulama yang melarangnya.
b) Bejana yang terbuat dari kulit bangkai hewan.
Apa itu bangkai? Yaitu, ketika hewan yang pada saat disembelih tidak mengucapkan
kalimat Allah, seperti “Bismillah”, dan dari kulit hewan buas. Lalu, kulit dari hewan apa
yang boleh dijadikan sebagai bejana atau wadah? Yaitu, hewan yang disembelih secara
syar’I dan kulit tersebut telah disamak (dikeringkan, telah dipisahkan dengan daging
yang menempel). Kemudian, bagaimana ketika menggunakan bejana atau wadah yang
digunakan oleh orang-orang kafir? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(secara makna), “janganlah kamu memakan dengan bejana yang digunakan oleh orang-
orang kafir, kecuali tidak ada lagi bejana yang bisa digunakan.”

Anda mungkin juga menyukai