Anda di halaman 1dari 27

KERJA SAMA DALAM BISNIS SYARIAH

MAKALAH

Makalah ini di buat sebagai tugas hukum bisnis syariah kelas A BT20

fakultas hukum universitas tadulako

DI SUSUN OLEH :

IRWANDI

D10120615

B BT2

METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TADULAKO

2022
Kata pengantar
Puji syukur kita panjatkan ke pada allah SWT. Karena berkat
rahmat dan karunianyalah kita dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam
makalah ini terdapat lima poin penting yang akan di bahas, yaitu akad
mudarabah, akad musyarakah, akad musakah, akad muzara’ah dan akad
mugharasah.

Adapun, menurut istilah, Wahbah Zuhailiy dalam kitabnya al-


Fiqh al-Islami wa Ad'illatuh menerangkan, akad adalah hubungan atau
keterikatan antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh
syara' dan berimplikasi pada hukum tertentu.

Dalam pola jual beli umumnya terdapat 3 buah akad yang lazim


digunakan oleh Industri Jasa Keuangan yaitu Murabahah, Salam dan
Istishna. Murabahah adalah akad jual beli dengan menyatakan harga
perolehan dengan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli.

Palu, 28 SEPTEMBER 2022

IRWANDI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………

DFTAR ISI………………………………………………………………...

BAB I PENDAHULUAN…………………….…………………………...

A. LATAR BELAKANG…………………………………………….
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………….
C. TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH…………………..............

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….

A. AKAD MUDHARABAH…………………………………………
B. AKAD MUSYARAKAH…………………………………………
C. AKAD MUSAQAH……………………………………………….
D. AKAD MUZARA’AH…………………………………………….
E. AKAD MUGHARASAH…………………………………………

BAB III PENUTUP……………………………………………………….

A. KESIMPULAN……………………………………………………
B. SARAN……………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kerjasama pada sistem ekonomi syariah secara garis besar dapat
diklasifikasi menjadi dua kelompok, yaitu mudharabah, dan
musyarakah. Mudharabah produk ekonomi syariah di mana shahibul
mal (investor) hanya menyerahkan modal kepada pengelola modal
(mudharib) untuk dikelola. Jadi kerjasama pada model mudharabah
investor tidak ikut serta mengelola, pengelolalaan modal sepenuhnya
dilakukan oleh mudharib. Konsekwensi dari model mudharabah
investor dan mudharib menanggung kerugian bersama dan menerima
laba bersama. Kerjasama pada model mudharabah dilihat dari
jenisnya dapat dikelompokan menjadi mudharabah muthlak dan
mudharabah muqayad (Taufiqul Hulam:2010).

Perbedaan antara mudharabah muthlak dan mudharabah


muqayad terletak pada kebebasan pengelola. Pada mudharabah
muthlak pengelola bebas menggunakan modal untuk digunakan pada
bidang usaha apapun tampa batasan. Sementara mudharabah
muqayad pengelola dalam menggunakan modal harus mengikuti
jenis-jenis usaha yang telah ditentukan oleh pemilik modal.
Kerjasama model mudharabah jika dilihat dari kuantitasnya dapat
dikelompokan menjadi mudharabah bilateral, dan mudharabah
bertingkat (multilateral) (R.A Evita Isretno Israhardi:2014). Pada
model mudharabah bilateral bersifat personal, misalnya A dan B. A
sebagai shahibul mal dan B sebagai mudharib.

Pada model seperti ini tidak banyak menemukan kendala dalam


penilaian pengelola, yang penting A percaya dan rela modalnya
dikelola oleh B. Untuk itu pembiayaan akad mudharabah pada model
seperti ini tidak diperlukan. Adapun mudharabah bertingkat
(bilateral) atau disebut mudharabah musyarakah terdiri dari tiga
tingkat, tingkat perama shahibul mal tingkata kedua sebagai
mudharib antara, dan tingkat ketiga mudharib akhir. Pada kerjasama
model mudharabah bertingkat akan banyak menemukan kendala
dalam akad, karena akan kesulitan dalam penilaian kredibelitas
mudharib. Untuk itu Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis
Ulama Indonesia menetapkan sebuah keputusan, bahwa dalam
mudharabah bertingkat harus ada pembiayaan akad.
Hal ini dilakukan agar dapat menjaga keamanan modal yang
diamanahkan shahibul mal ke mudharib antara. Terlepasa dari model-
model mudharabah di atas, yang jelas mudharabah berasal dari
bahasa arab yang dalam artian kebahasaan (lughah)mudharabah
berasal dari kata adhraba, yudhribu yang artinya memukul (Mahmud
Yunus:1999), dari kata tersebut dapat diistilahkan menjadi
beraktifitas, berjalan, karena orang yang beraktifitas, berjalan pada
dasarnya memukul bumi (Muhammad Quraish Shihab:2000).

Sementara dalam fiqih klasik mudharabah diartikan dengan bagi


hasil (qirad) (Ibnu Qasim:tt). Adapun dalam istilah ekonomi syariah
yang dimaksud dengan mudharabah adalah kerjasama antara pemilik
modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib), di mana shahibul
mal memberikan sejumlah modal kepada mudharib untuk dikelola
dengan rugi laba ditanggung bersama (Hendi Suhendi:2008). Jika
mudharabah shahibul mal tidak ikut serta mengelola modal, lain
halnya dengan model musyarakah. Pada model musyarakah semua
pemilik modal berserikat ikut serta mengelola modal.

Resiko yang harus ditanggung oleh pengelola sekaligus pemilik


harta didasarkan pada jumlah modal yang dikeluarkan. Jika A hanya
mengeluarkan 10% dan B mengeluarkan modal 20%, maka
keuntungan yang dapat diterima oleh A 10% dan B 20%. Demikian
juga dengan kerugian yang harus ditanggung, A akan menanggung
resiko 10% dan B 20%. Dalam konsep ekonomi syariah ini
merupakan bentuk dari keadilan, sekaligus prinsip keseimbangan.

Pada sistem ekonomi syariah jika dilihat pada jenis usahanya


dapat dikelompokan menjadi; Al Muzara’ah, alMujara’ah adalah
kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap
di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian
tertentu (persentase) dari hasil panen. Dalam prinsip ini benih
disediakan oleh pemilik lahan. Rasulullah menganjurkan ummatnya
untuk melakukan kerja sama dalam pengelolaan tanah pertanian
secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil, Rasulullah juga
menganjurkan untuk menanami tanah pertanian atau
menyerahkannya kepada orang lain untuk digarap.
Dalam konteks ekonomi syariah dapat memberikan modal dalam
bentuk pembiayaan bagi pengelola yang bergerak di bidang pertanian
atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen. Selain itu ada juga al-
Musaqah, al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari
muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak
atas nisbah tertentu dari hasil panen. Dalam hal ini seseorang pemilik
kebun memberikan kepercayaan pada penggarap untuk memelihara
kebunnya dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka,
sebagai imbalan mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil
panen.

A. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telh di jelaskan di atas,
maka rumusan masalah pada makalah ini yaitu :

1. Apa yang di maksud dengan akad mudharabah, musyarakah,


musakah, muzara’ah dan mugharasah.

B. TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH


Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk
mengetahuai semua yang ada di rumusan masalah yang ada di
atas. Penjelasan yang ada di dalam makalah ini di harapkan dapat
menambah wawasan kita semua khususnya untuk mahasiswa
fakultas hukum universitas tadulako.
BAB II

PEMBAHASAN

A. AKAD MUDHARABAH
Dalam aspek perbankan syariah, akad mudharabah adalah
jenis akad yang cukup banyak ditemukan di berbagai jenis produk
maupun program yang ditawarkan oleh bank syariah.
Berdasarkan pengertian yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), salah satu produk bank syariah yang memiliki ketentuan
operasional menggunakan akad mudharabah adalah pembiayaan.
Hal ini ditekankan berdasarkan prinsip bank syariah secara
umum.

Penting bagi pihak bank selaku penyedia modal


menyalurkan pembiayaan serta bagi hasil berdasarkan akad
mudharabah dan akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah Islam dalam menjalankan kegiatan usaha
perbankan. Dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah juga dijelaskan bahwa kerugian dalam
perjanjian yang sedang berlangsung nantinya akan ditanggung
sepenuhnya oleh bank syariah, kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi
perjanjian atau detail dari akad mudharabah yang telah disetujui.
Dengan kata lain, akad mudharabah adalah bentuk perjanjian
kerja sama yang mendapat dukungan penuh dari hukum di
Indonesia.

Dalam pengertian yang diterbitkan oleh OJK, akad


mudharabah adalah akad yang bisa digunakan untuk kegiatan
penghimpunan dana dalam bentuk investasi syariah. Investasi
syariah yang dimaksud hadir dalam bentuk deposito, tabungan,
atau bentuk produk perbankan lainnya.

 KONSEP AKAD MUDHARABAH


Seiring perkembangan zaman, ketentuan dari akad
mudharabah pun juga mengalami inovasi dari masa ke masa. Jika
membicarakan mengenai konsep mudharabah klasik, akad
mudharabah adalah sebuah perjanjian yang hanya dilakukan
dengan satu jenis atau bentuk kerja sama dan tidak bisa
digabungkan dengan akad jenis lainnya. Namun, saat ini konsep
akad mudharabah jadi memiliki fleksibilitas untuk dapat
digabungkan dengan akad lain dalam seperti akad murabahah
atau musyarakah dalam sebuah aktivitas perbankan syariah.
Penggabungan akad lainnya dengan akad mudharabah adalah
bertujuan untuk bisa menyesuaikan dengan keadaan dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan layanan
jasa perbankan syariah yang baik.

Tidak hanya mengacu pada jenis kerja samanya saja,


perkembangan konsep mudharabah ini juga mempengaruhi
mekanisme pembayaran atau angsuran yang dilakukan oleh pihak
kedua terkait manfaat pembiayaan yang diterima. Dalam konsep
mudharabah klasik, dijelaskan bahwa praktik mekanisme
angsuran dalam pembayaran modal pokok tersebut hanya
dilakukan satu kali di akhir periode kontrak. Hal ini juga berlaku
untuk mekanisme pembayaran bagi hasil mudharabah adalah
dilakukan satu kali di akhir periode kontrak.

Untuk aktivitas perbankan syariah menggunakan akad


mudharabah yang beroperasi di Indonesia saat ini, ketentuan
aktivitasnya diatur melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh
DSN - MUI, serta Peraturan OJK. Merujuk pada fatwa DSN -
MUI Nomor: 07/DSN/MUI/IV/2000 mengenai pembiayaan
mudharabah, dijelaskan bahwa akad mudharabah adalah akad
atau perjanjian kerja sama suatu usaha antara dua pihak. Kedua
pihak yang dimaksud adalah pemilik modal yang menyediakan
seluruh modal sebagai pihak pertama dan pengelola modal yang
bertindak sebagai penerima dan pengelola modal yang diberikan
sebagai pihak kedua.

Dalam fatwa tersebut juga dijelaskan mengenai jangka


waktu dari kerja sama akad mudharabah. Jangka waktu kerja
sama akad mudharabah adalah ditentukan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Dengan kata lain akad
mudharabah adalah salah satu akad yang menawarkan kemudahan
serta fleksibilitas untuk bisa mengakomodasi kebutuhan serta
keuntungan manfaat yang diterima oleh kedua belah pihak.
Selain itu, sebagai pihak pertama, pengelola modal juga
diperbolehkan untuk menentukan jenis usaha apa yang akan
dikembangkan berdasarkan kesepakatan akad mudharabah yang
disepakati bersama dan sesuai dengan aturan syariah. Meskipun
pemilik modal diperbolehkan untuk menentukan jenis usaha apa
yang akan dikembangkan, dalam akad yang disepakati, pihak
pertama tidak boleh ikut dalam manajemen jenis usaha dalam
usaha tersebut.

Pihak pertama selaku pemilik modal dalam kesepakatan


akad mudharabah adalah pihak yang mempunyai hak dan juga
peran untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terkait usaha
yang telah disepakati tersebut. Hal ini dilakukan demi
meminimalisasi risiko terhadap jenis usaha yang dilakukan di
masa yang akan datang. Pasalnya, akad mudharabah adalah akad
yang memiliki prinsip pembiayaan tanpa jaminan pasti. Jaminan
tersebut hanya bisa diperoleh berdasarkan kesepakatan di antara
ke dua belah pihak. Dengan kata lain, transparansi merupakan
salah satu kunci utama akad mudharabah ini bisa dilakukan.

 JENIS-JENIS AKAD MUDHARABAH


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, konsep
akad mudharabah dalam aktivitas perbankan saat ini telah
mengalami perkembangan. Perkembangan dalam konsep dan
praktik akad mudharabah adalah bertujuan untuk bisa memenuhi
kebutuhan masyarakat secara luas dan juga memiliki kualitas
yang baik. Oleh karena itu, dalam aspek perbankan syariah, akad
mudharabah juga memiliki beberapa jenis berdasarkan
transaksinya. Secara umum, berdasarkan transaksi ada dua akad
mudharabah yang biasa digunakan.

1. Mudharabah mutlaqah
Dalam segi transaksi syariah, Anda akan menemukan istilah
akad mudharabah mutlaqah. Salah satu jenis akad mudharabah
berdasarkan transaksinya ini mengacu pada jenis usaha yang
diajukan oleh pengelola modal kepada pemilik modal. Dalam
pengertian akad ini, akad mudharabah mutlaqah berperan sebagai
acuan kepada pemberi modal untuk tidak menentukan jenis usaha
apa yang akan dilakukan oleh pengelola modal nantinya. Pihak
pemilik modal hanya perlu memastikan pemberian modal usaha
dapat berjalan dengan lancar. Berdasarkan perjanjian yang sudah
disepakati, akad mudharabah mutlaqah adalah bukti kerja sama
sah yang akan mengatur juga terkait bagi hasil atau nisbah yang
akan diterima oleh pemilik modal nantinya.

2. Mudharabah muqayyadah
Untuk jenis transaksi akad mudharabah lainnya, ada akad
mudharabah muqayyadah yang menjelaskan tentang perjanjian
kerja sama usaha dengan jenis usaha yang ditentukan oleh
pemberi modal. OJK menyatakan bahwa akad mudharabah
muqayyadah ini dibagi menjadi dua, yaitu akad mudharabah
muqayyadah on balance sheet yang mengatur perjanjian antara
nasabah/pemilik dana dan bank atau pihak pengelola dana.

Selain itu ada mudharabah muqayyadah off balance sheet


yang mengatur perjanjian tentang penyaluran dana mudharabah
langsung kepada pelaksana usahanya, di mana bank bertindak
sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan anatara
pemilik dana dengan pelaksana usaha). Berdasarkan perjanjian
ini, akad mudharabah muqayyadah adalah pengikat ketentuan
terkait peran pengelola modal yang hanya bisa menjalankan usaha
yang telah ditentukan bersama.

Berdasarkan penjelasan di atas, akad mudharabah adalah


salah satu jenis akad atau kesepakatan kerja sama yang mengatur
peran dari pihak pemilik serta penerima modal untuk bisa
dimanfaatkan dalam jenis kegiatan usaha apapun. Di luar
pemanfaatan kegiatan usaha, akad mudharabah juga ditetapkan
untuk kebutuhan pengelolaan keuangan melalui lembaga bank
syariah, seperti Bank CIMB Niaga Syariah.

Salah satu produk pengelolaan keuangan dalam bentuk


tabungan dari CIMB Niaga Syariah yang menggunakan akad
mudharabah adalah Tabungan iB Xtra. Salah satu produk
tabungan dari CIMB Niaga Syariah ini menawarkan keuntungan
seperti bebas biaya administrasi, biaya tarik tunai, serta biaya
transfer. Selain itu, setiap transaksi menabung dan pembelanjaan
yang Anda lakukan dari sumber dana Tabungan iB Xtra melalui
OCTO Mobile dan OCTO Clicks, Anda juga bisa mendapatkan
Poin Xtra yang bisa Anda tukarkan untuk berbagai macam
metode pembayaran kebutuhan. Segera buka Tabungan iB Xtra.

B. AKAD MUSYARAKAH
Apa itu musyarakah atau syirkah dapat dimaknai sebagai
akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu
tujuan tertentu, dalam bisnis maka tujuannya adalah untuk
memperoleh profit dari usaha yang dikelola bersama.

Untuk menjelaskan lebih rinci, apa itu musyarakah adalah


dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan
beserta nasabahnya) dapat mengumpulkan modal lalu kemudian
membentuk suatu perusahaan sebagai badan hukum. Setiap pihak
yang terlibat dalam apa itu musyarakah memiliki bagian secara
proporsional sesuai kontribusi modal yang mereka berikan dan
memiliki hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai
proporsinya masing-masing.

Dalam dunia perbankan, apa itu musyarakah merupakan


akad kerja sama antara bank dan nasabahnya dalam pembiayaan
usaha dengan ketentuan pembagian keuntungan dan risiko sesuai
kesepakatan.

 RUKUN AKAD MUSYARAKAH


Pengertian mengenai apa itu musyarakah dilanjutkan
dengan penjelasan tentang rukun-rukun musyarakah. Menurut
Standar Kontrak Perjanjian Musyarakah, rukun dan syarat sah
akad Musyarakah mencakup:

a. subjek akad (aqid) ,


b. proyek atau usaha (masyru'),
c. modal (ra'sul mal),
d. kesepakatan (sighatul akad), dan
e. nisbah bagi hasil (nishbatu ribhin).
 JENIS-JENIS AKAD MUSYARAKAH
Seperti diketahui, secara etimologis, apa itu musyarakah
atau syirkah berasal dari akar kata syirkatan (mashdar/kata dasar)
dan syarika (fi'il madhi/kata kerja) yang berarti
mitra/sekutu/kongsi/serikat. Secara bahasa juga dapat bermakna
al-ikhtilath yang berarti penggabungan atau pencampuran. Maka,
apa itu musyarakah berarti penggabungan, pencampuran, atau
serikat. Oleh karena itu, apa itu musyarakah dapat juga disebut
syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi.

1. Syirkah Amlak
Syirkah amlak merupakan syirkah yang terjadi bukan karena
akad, tetapi karena adanya usaha (ikhtiari) tertentu atau terjadi
secara alami/otomatis (ijbari). Oleh karena itu, syirkah amlak
dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu syirkah amlak ikhtiari dan
syirkah amlak ijbari.
a. Syirkah amlak ikhtiari
Syirkah amlak ikhtiari contoh hal akad hibah, wasiat, dan
pembelian. Maka, dalam apa itu musyarakah, syirkah
amlak ikhtiari tidak terkandung akad wakalah dan akad
wilayah (penguasaan) dari salah satu syarik kepada syarik
lainnya.

b. Syirkah amlak ijbari


Syirkah amlak ijbari dalam apa itu musyarakah yaitu
syirkah antara dua syarik atau lebih yang terjadi karena
peristiwa alami secara otomatis seperti kematian. Syirkah
amlak ini disebut ijbari (paksa/mutlak) karena tidak ada
upaya dari para syarik untuk mewujudkan peristiwa atau
faktor yang menjadi sebab terjadinya kepemilikan
bersama. Misalnya kematian seorang ayah merupakan
faktor yang menyebabkan terjadinya pembagian harta di
antara ahli waris.

2. Syirkah Uqud
Syirkah Uqud adalah dua pihak atau lebih yang bersepakat
untuk menggabungkan harta guna melakukan kegiatan
usaha/bisnis, dan hasilnya dibagi antara para pihak baik berupa
laba maupun rugi.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai nisbah yang disepakati
di awal akad, misalnya disepakati keuntungan dibagi 40:60.
Artinya, untuk satu pihak mendapatkan 40% dan pihak lainya
mendapatkan 60%. Sedang Kerugian dibagi sesuai kontribusi
yang diberikan untuk usaha tersebut, jika berkontribusi dalam
bentuk dana, maka kerugiannya dalam bentuk dana. Jika
berkontribusi dalam bentuk reputasi, maka reputasinya yang
dirugikan.

Sementara Ulama Hanafiah membagi syirkah uqud menjadi 6,


yaitu:

a. Syirkah amwal mufawadhah yaitu kemitraan modal usaha dari


para syarik dengan jumlah modal yang sama,
b. Syirkah amwal inan yaitu kemitraan modal usaha dari para
syarik dengan jumlah modal yang berbeda,
c. Syirkah abdan mufawadhah yaitu kemitraan keterampilan dari
para syarik sebagai modal usaha dengan kualitas keterampilan
yang sama,
d. Syirkah abdan inan yaitu kemitraan keterampilan dari para
syarik sebagai modal usaha dengan kualitas keterampilan
yang berbeda,
e. Syirkah wujuh mufawadhah kemitraan kredibilitas usaha atau
nama baik/reputasi (good will) dari para syarik sebagai modal
usaha dengan kualitas kredibilitas yang sama, dan
f. Syirkah wujuh inan kemitraan yaitu kredibilitas usaha atau
nama baik/reputasi (good will) dari para syarik sebagai modal
usaha dengan kualitas kredibilitas yang berbeda.

Sementara, ada pula beberapa syarat-syarat untuk melakukan


apa itu musyarakah atau syirkah uqud, di antaranya sebagai
berikut :

Qabiliyat al-wakalah yaitu bahwa dalam syirkah uqud


terkandung akad wakalah sebab syirkah uqud bertujuan untuk
melakukan bisnis (mu'awadhat) yang tidak mungkin dilakukan
kecuali jika terdapat akad kuasa dari masing-masing pihak syarik.
Keuntungan yang diperoleh dalam syirkah uqud harus ditentukan
nisbahnya bagi masing-masing syarik.
Bagian keuntungan bagi masing-masing syarik tidak boleh
dinyatakan dalam jumlah tertentu yang pasti (seperti seratus juta
atau satu milyar), tetapi dinyatakan dalam nisbah misalnya 60:40,
atau 55:45.

C. AKAD MUSAQAH
Islam telah mengatur berbagai bentuk kerja sama yang
dilakukan dalam kegiatan pertanian. Salah satunya musaqah.
Dikutip dari buku Hukum Sistem Ekonomi Islam oleh Dr.
Mardani, penduduk Madinah menyebut musaqah sebagai
muamalah. Musaqah berasal dari kata saqa yang artinya
menyirami. Sebagaimana terdapat dalam Al Quran surat Ar-Raad
ayat 4.

Musaqah juga diartikan sebagai bentuk lebih sederhana


dari muzara'ah. Di mana penggarap hanya bertanggung jawab
atas penyiraman dan pemeliharaan tanaman. Sebagai imbalannya,
penggarap berhak mendapatkan nisbah tertentu dari hasil panen.
Secara umum musaqah adalah salah satu bentuk kerja sama antara
pemilik lahan dan penggarap di mana penggarap bertugas untuk
merawat tanaman saja. Adapun keduanya tetap melakukan bagi
hasil sesuai kesepakatan dalam akad.

Para ulama fiqih seperti Abdurrahman al-Jaziri


sebagaimana dikutip dari buku Fiqih Muamalat karya Abd.
Rahman Ghazaly mendefinisikan musaqah sebagai akad untuk
pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang
lainnya dengan syarat-syarat tertentu. Sementara itu, ulama
Syafi'iyah mengatakan musaqah adalah mempekerjakan petani
penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja
dengan cara mengairi dan merawatnya. Hasil kurma atau anggur
itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap.

Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan


mempekerjakan tukang kebun untuk merawat tanaman. Hal ini
karena hasil yang diterima berupa upah dengan ukuran yang telah
pasti. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa musaqah hukumnya
boleh atau mubah. Hal ini mengacu pada salah satu hadits nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW
telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar
dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan
memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun
hasil tanamannya (HR. Muslim).

 RUKUN MUSAQAH
Manurut Jumhur ulama fiqh dari kalangan Malikiyah,
Syafi'iyah, dan Hanabilah rukun musaqah terdiri dari lima hal
sebagai berikut:

1. Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi,


2. Tanah yang dijadikan objek musaqah,
3. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap,
4. Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah,
5. Shighat (ungkapan) ijab dan Kabul.

Sementara itu, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang


menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik
tanah perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan
dari pihak penggarap.

 SYARAT MUSAQAH
a) Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah
harus dewasa (akil balig) dan berakal.
b) Objek musaqah harus terdiri dari pepohonan yang
mempunyai buah seperti kurma, anggur, dan terong.
Namun, ulama dari kalangan Hanafiyah mengatakan
musaqah juga berlaku untuk pepohonan yang tidak
berbuah jika hal itu dibutuhkan oleh masyarakat.

Sementara itu, ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek


musaqah berupa tanaman keras dan palawija dengan syarat akad
musaqah dilakukan sebelum buah layak panen, tenggang waktu
jelas, akad dilakukan setelah tanaman tumbuh, dan pemilik kebun
tidak mampu mengolah dan memelihara tanaman tersebut.
c) Tanah diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap
setelah berlangsungnya akad. Pemilik tanah tidak ada
campur tangan setelahnya.

d) Hasil panen merupakan hak bersama. Adapun pembagian


disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dibuat di awal.

e) Lamanya perjanjian harus jelas.

Lantas, kapan akad musaqah akan berakhir? Para ulama fiqih


berpendapat bahwa musaqah akan berakhir apabila:

1. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.


2. Salah satu pihak meninggal dunia.
3. Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh
melanjutkan akad. Adapun uzur yang dimaksud seperti mencuri
hasil tanaman dan sakit yang memungkinkan penggarap tidak
bisa bekerja.

Namun demikian, merujuk pada pendapat ulama


Malikiyah, apabila salah satu pihak meninggal dunia, maka akad
musaqah boleh diwarisi dan tidak boleh dibatalkan hanya karena
ada uzur dari pihak petani.

D. AKAD MUZARA’AH
Muzara’ah adalah “kerjasama antara pemilik tanah dengan
penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya
menurut kesepakatan bersama, tetapi pada umumnya pembagian
hasil tidak sesuai dengan perjanjian untuk pemilik tanah dan
penggarap tanah (petani buruh)”. Sistem muzara’ah ini bisa lebih
menguntungkan dari pada sistem ijarah (sewa tanah), baik bagi
pemilik tanah maupun bagi penggarapnya. “Sebab pemilik tanah
bisa memperoleh bagian dari bagi hasil (muzara’ah) ini, yang
harganya lebih banyak dari uang sewa tanah, sedangkan
penggarap tanah tidak banyak menderita kerugian
dibandingankan dengan menyewa tanah, apabila ia mengalami
kegagalan tanamannya”.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti
sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan
benihnya ditanggung pemilik tanah.

Selain itu bentuk kerjasama mudharabah dalam hal-hal


antar pemiliki modal dengan pekerja, maka bentuk lainya adalah
antara pemilik tanah dengan petani penggarap yang disebut
muzara’ah. Muzara’ah adalah pemiliki tanah menyerahkan
sebidang tanahnya kepad apihak lain untuk digarap untuk
ditanami padi, jagung dan lain sebaginya4 Sistem muzara’ah
seperti yang telah disebutkan di atas yang idealnya
menguntungkan bagi kedua belah pihak, namun yang terjadi di
Desa Alur Nyamuk Kecamatan Birem Bayeun justru sebaliknya,
yaitu merugikan salah satu pihak dalam hal ini adalah petani
penggarap (petani buruh) karena terjadi wanprestasi (ingkar janji)
dari pihak pemilik tanah.

 SISTEM MUZARA’AH DALAM ISLAM


Berdasarkan hasil wawancara dengan Geuchik Desa Alur
Nyamuk Kecamatan Birem Bayeun yaitu bapak Suyatno yang
memberikan keterangan bahwa, pada umumnya Masyarakat di
Desa Alur Nyamuk hanya menggantungkan hidupnya dari hasil
pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda.
Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk
digarap, yang luasnya bervariasi.

Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri untuk


digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya, mereka
bekerjasama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan
pertaniannya dengan imbalan bagi hasil. Lebih Lanjut bapak
Suyatno memberi tanggapan bahwa, namun masyarakat ada juga
yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit
maka hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk
menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahan milik orang
lain dengan imbalan bagi hasil pertanian.

Terdapat juga pemilik yang mempunyai beberapa bidang


tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab
sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat
sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat
pada masyarakat Desa Alur Nyamuk saat ini. Namun,
berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu ulama di
Kabupaten Aceh Timur yaitu Tgk. H. Armis Musa yang
memberikan keterangan tentang sistem muzara’ah dalam hukum
islam adalah sistem bagi hasil merupakan sistem di mana
dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan
kegiatan usaha.

Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian


hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah
pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem lahan pertanian dalam
aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha
harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak
(akad). Besarnya penentuan dalam bentuk bagi hasil antara kedua
belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus
terjadi dengan adanya kerelaan di masing-masing pihak tanpa
adanya unsur paksaan.

Praktek muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss


Sharing System. Dimana hasil akhir menjadi patokan dalam
praktek muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya mengalami
keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak,
yaitu petani pemilik lahan sawah dan petani penggarap lahan
sawah. Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami
kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama. Dalam
prakteknya, muzara’ah sudah menjadi tradisi masyarakat petani di
Desa Alur Nyamuk Kabupaten Aceh Timur. “Masyarakat
setempat menyebutkan bahwa dalam praktek muzara’ah ini biasa
disebut dengan Maro. Maro dapat dipahami keuntungan yang
dibagi separo-separo (1/2:1/2), artinya separo untuk petani
pemilik sawah dan separo untuk petani penggarap”.

Lanjutnya pendapat Tgk. H. Armis Musa, dalam


pembagian pendapatan dari hasil kerjasama lahan pertanian
(muzaraah) antara pemilik tanah dan penggarap bisa disepakati
dengan setengah (50% untuk pemilik tanah dan 50% untuk petani
penggarap), sepertiga (satu untuk pemilik tanah dan tiga untuk
penggarap) atau seperempat (satu untuk pemilik tanah, dan empat
untuk penggarap) atau juga bisa kurang atau bisa lebih dari itu,
tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Namun dalam
kondisi masyarakat sekarang dan yang akan datang, pembagian
hasil seperti itu tentunya sangat tidak memungkinkan, sebab kalau
pembagian hasil tersebut hanya diserahkan kepada kesepakatan
antara pemilik tanah dan penggarap tanah, kemungkinan besar
pihak penggarap akan dirugikan, sebab penggarap berada di
posisi yang lemah, karena sangat tergantung kepada pemilik
tanah, sebagaimana kita ketahui semakin hari jumlah tanah
pertanian semangkin berkurang dan disisi lain jumlah petani
penggarap semangkin bertambah banyak jumlahnya.

Dari sini maka akan terjadi persaingan antara sesama


petani penggarap, jadi pengambilan bagi hasil yang tersebut dapat
menguntungkan pemilik tanah. Selanjutnya Suyatno yaitu
Geuchik Desa Alur Nyamuk menegaskan bahwa, supaya tidak
terjadi diskriminasi terhadap petani penggarap atau sebaliknya
dan tidak terjadinya manipulasi dari hasil yang diperoleh oleh
petani penggarap terhadap pemilik tanah atau supaya tidak
menimbulkan pertentangan antara petani penggarap dengan
pemilik lahan ada baiknya kesepakatan itu dilandasi dengan
prinsip keadilan, kejujuran kepercayaan, dan aturan-aturan teknis
maupun non teknis baik mekanisme bagi hasil yang mengikat
yang diatur oleh pemerintah.

Keadilan maksudnya disini adalah antara petani


pengggarap dengan pemilik lahan tidak merasa keberatan dan
dirugikan baik dari segi pengelolaan maupun dari segi
keuntungan bagi hasil. Sedangkan kejujuran disini dimana adanya
keterbukaan cara pengelolaan, jenis tanaman yang ditanam, dan
jumlah hasil yang didapat, serta kepercayaan artinya tidak saling
mencurigai dan menyalahkan antara kedua belah pihak.

E. AKAD MUGHARASAH
Mugharasah adalah salah satu perjanjian kerjasama
dalam bidang pertanian yang dilakukan antara pemilik tanah
dengan petani penggarap untuk mengelola dan menanami lahan
garapan yang belum ditanami (tanah kosong) dengan ketentuan
mereka secara bersama-sama memiliki hasil dari tanah tersebut
sesuaidengan kesepakatan yang dibuat bersama. Ulama fiqh
mendefinisikan mugharasahadalah penyerahan pemilik lahan
pertanian kepada petani untuk ditanami pepohonan.

Ulama Syafi’iyah mendefinisikan mugharasahadalah


penyerahan tanah pertanian pemilik lahan kepadapetani yang
ahli dalam bidang pengelolaannya dan pohon yang ditanami
menjadi milik berdua (pemilik tanah dan petani). Menurut
Wahbah az-Zuhaili, penggarapan lahan kosong dengan
menggunakan akad mugharasahsebagai landasan kerjasama
merupakan suatu kegiatan yang sah apabila pihak petani
penggarap memperoleh bagian tertentu dari seluruh tanah yang
digarap dan hasilnya, konsep yang dilakukan ini sama dengan
konsep akad musaqah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Imam Ahmad bin Hanbali.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dasar hukum pada


akad mugharasahtidak jauh berbeda dengan dasar hukum dalam
akad musaqah.Imam Abu Yusuf dan Muhamad bin Hasan asy-
Syaibani (murid Abu Hanifah) membolehkan bentuk
kerjasama penggarapan lahan kosong, mereka
menganalogikan dengan perjanjian yang dilakukan Rasulullah
dengan tanah rampasan perang di Khaibar. Rasulullah saw
bersabda yang artinya, “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi
saw, telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian:
mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari
buah-buahan maupun hasil tanamannya” (HR. Muslim).

Sebagaimana diketahui, bahwa akad merupakan suatu


perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua pihak atau lebih
berdasarkan kesepakatan serta keikhlasan dari masing-masing
pihak, maka akan muncul akibat hukum bagi kedua belah pihak.
Dalam setiap akad yang dilaksanakan, tentu terdapat rukun yang
harus dipenuhi. Begitupula denganakad mugharasah, rukun yang
terdapat dalam akad tersebutadalah sebagai berikut:
1. Aqid (pihak-pihak yang berakad), dalam akad
mugharasahpara pihak yang berakad terdiri dari pihak
pemilik lahan dan pihak petani penggarap.
2. Ma’qud alaih(objek akad), dalam akad mugharasahbenda
atau harta yang dijadikan objek adalah tanah.
3. Maudhu ‘al’aqd (ialah tujuan inti akad), tujuan inti dari
diadakannya akad mugharasahyaitu untuk memperoleh
keuntungan bagi kedua belah pihak yang berakad.
4. Shighat al’aqd (ijab dan kabul), dalam akad
mugharasahijab merupakan pernyataan penyerahan lahan
dari pihak pemilik lahan sedangkan kabul merupakan
pernyataan penerimaan untuk mengelola lahan dari pihak
petani penggarap.

Selain dari rukun, dalam sebuah akad juga terdapat


syarat-syarat keabsahan suatu akad. Para ulama fiqh
menetapkan adanya beberapa syarat umum yang harus
dipenuhi dalam suatu akad, di samping setiap akad juga
mempunyai syarat-syarat khusus. Adapun syarat terjadinya akad
ada dua macam, yaitu:

1. Syarat-syarat yang bersifat umum, merupakan suatu syarat


yang wajib terpenuhi dalam berbagai macam akad. Adapun
syarat-syarat umum yang harus dipenuhi terpenuhi adalah:
a. Para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan akad
harus telah cakap hukum untuk melaksanakan suatu
akad.
b. Objek akad itu diakui oleh syara’.
c. Akad itu tidak dilarang oleh nash (ayat atau hadis) syara’.
d. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus
yang terkait dengan akad itu.
e. Akad yang dilakukan memiliki manfaat.
f. Pernyataan ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya
qabul.
g. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.h.Tujuan
akad itu harus jelas dan diakui oleh syara’.
2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, merupakan suatu syarat
yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat
khusus ini bisa juga disebut idhafi’ (tambahan) yang harus
ada di samping syarat-syarat yang umum, syarat khusus ini
bisa jadi berbeda pada setiap akadnya karena syarat khusus
disesuaikan oleh jenis akad yang akan dilangsungkan,
seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan13. Syarat-
syarat khusus dalam akad mugharasahadalah sebagai berikut:
1. Tanaman yang akan ditanam dari jenis varietas yang
sama, yaitu dari segi waktu panen yang dibutuhkan oleh
tanaman tersebut.
2. Tanaman yang ditanam merupakan jenis tanaman
keras, bukan dari jenis tanaman palawija.
3. Penentuan jangka waktu pelaksanaan akad
mugharasahtidak dalam jangka waktu yang sangat lama.
4. Pihak petani penggarap mendapatkan bagian
keuntungan berupa tanah perkebunan beserta tanaman
yang telah ditanam diatasnya.
5. Kerjasama akad mugharasah ini dilakukan bukan diatas
tanah wakaf, karena dalam akad mugharasahterkandung
makna jual beli, sedangkan harta wakaf tidak
boleh diperjual belikan.

Dalam penetapan keabsahan hukum dari akad


mugharasah terdapat perbedaan pendapat dari para
ulama, jumhur (selain ulama Malikiyyah) tidak
memperbolehkannya dengan sejumlah alasan, sedangkan
ulama Malikiyyah memperbolehkannya dengan beberapa
syarat dan ketentuan.Ulama Hanafiah berpendapat bahwa
akad mugharasah tidak sah karena beberapa alasan, yaitu:

1. Dalam akad mugharasah pemilik tanah telah lebih


dulu memiliki tanah sementara petani penggarap
tidak memiliki apa-apa. Padahal dalam suatu
bentuk kerjasama disyaratkan adanya keseimbangan,
baik dari segi modal maupun dari segi keuntungan
yang diperoleh.
2. Unsur ketidak pastian terhadap ganti rugi
separuh tanah yang akan diterima petani
penggarap menjadikan akad ini fasid (rusak).
Disamping itu, batas-batas kemampuan penggarap
pada saat diadakan transaksi belum jelas, maka
secara tidak langsung transaksi yang dilakukan
sudah sejak awal tidak memenuhi syarat, karena
melakukan transaksi terhadap sesuatu yang belum
jelas.
3. Kerjasama seperti ini termasuk akad yang fasid,
karena akad ini termasuk ke dalam kategori akad
ijarah (upah-mengupah) dengan upah yang tidak jelas
atau pasti, karenanya termasuk salah satu akad yang
mengandung gharar (tipuan). Ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa mugharasah tidak sah, karena
mengupah seseorang untuk mengerjakan suatu lahan
dengan upah sebagian dari hasil lahan seperti
pembagian hasil pada akad musaqah itu tidak boleh,
karena pengelolaan dan mekanisme mugharasah ini
tidak sama dengan palaksanaan pada akad musaqah.
Jika akad ini tetap dilangsungkan, menurut ulama
Syafi’iyah seluruh hasil yang diperoleh dari
mugharasah ini menjadi milik petani penggarap,
sedangkan pemilik tanah hanya berhak sewa tanah
sesuai dengan harga yang berlaku ketika itu.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika


pemilik tanah menyerahkan sebidang tanah kepada
petani penggarap dengan ketentuan bahwa seluruh
tanah dan pepohonan yang ada di atasnya menjadi
milik berdua, maka akad seperti ini menjadi fasid
(rusak). Karena di dalamnya ada persyaratan atau
ketentuan kedua belah pihak berjoin terhadap
sesuatu yang sifatnya adalah asal (yaitu lahan dan
pohon). Akan tetapi jika yang dibagi adalah hasil
buahnya saja maka sah karena pekerjaan pihak
penggarap banyak sedangkan bagian yang di
dapatkannya sedikit.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Salah satu prinsip ekonomi Islam adalah ajarannya yang
bersifat menyeluruh. Islam sangat memperhatikan keberkahan
dan kehalalan segala sesuatu. Termasuk juga sumber dari harta
yang dimiliki. Karena itulah ekonomi Islam hadir dan menjadi
solusi untuk kegiatan bisnis yang lebih halal.Perbedaan utama
antara ekonomi Islam dengan konvensional adalah akad atau
instrumen yang digunakan. Dengan begitu, seseorang yang
mempraktekkan ekonomi Islam bisa mendapat tujuan
kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ekonomi Islam memiliki 5 bentuk kerjasama bisnis, yaitu


syirkah, mudharabah, jual beli, transaksi dengan pemberian
kepercayaan, dan titipan. Berikut ini adalah penjelasan masing-
masing bentuk tersebut:

1. Bentuk Kerja Sama Syirkah


Syirkah dalam ekonomi Islam bisa dibilang sepadan dengan
konsep joint venture dalam ekonomi konvensional. Sistem kerja
sama ini berjalan dengan menggabungkan sumber daya yang
dimiliki demi tercapainya tujuan bersama. Sumber daya yang
digabungkan bisa dalam berbagai macam bentuk yang disepakati.
Mulai dari modal, uang, keahlian, bahan baku, jaringan kerja, dan
lain sebagainya. Bentuk kerja sama syirkah umumnya dilakukan
oleh dua orang atau dua pihak, dan bisa juga lebih dari itu.

2. Bentuk Kerja Sama Mudharabah


Mudharabah adalah bentuk kerja sama yang melibatkan dua
pihak, yaitu pemodal yang disebut shahibul maal dan pelaksana
usaha yang disebut mudharib. Hasil dari bentuk kerja sama ini
sering disebut sebagai bagi hasil. Dan penentuan persentase bagi
hasilnya ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan kesepakatan.
Dalam bentuk kerja sama ini, mudharib memiliki kewajiban
untuk mengembalikan modal yang dia pinjam serta
membayarakan keuntungan sesuai kesepakatan. Pembayaran
dilakukan sesuai dengan besaran yang disepakati dan dalam
rentang waktu yang telah disepakati juga.
3. Bentuk Kerja Sama Jual Beli / Murabahah
Bentuk kerja sama jual beli dalam Islam juga sering disebut
sebagai murabahah. Dalam bentuk kerja sama ini, terdapat
penyerahan kepemilikan barang antara penjual dan pembeli.
Bentuk ini adalah bentuk kerja sama paling umum dalam
ekonomi Islam. Ada beberapa bentuk akad yang boleh dilakukan
dalam murabahah. Yaitu bissamanil ajil, salam, istishna, isti’jar,
ijarah, dan sarf.

 Bissamanil Ajil: transaksi jual beli dilakukan dengan penetapan


harga yang berbeda untuk pembelian tunai dan angsuran.
 Salam: transaksi jual beli secara tunai, namun penyerahan barang
ditunda sesuai kesepakatan.
 Istishna: transaksi jual beli dengan sistem pemesanan,
pembayaran dilakukan saat pengambilan barang.
 Ijarah: transaksi jual beli jasa baik dalam bentuk penyewaan
barang, tenaga, atau keahlian.
 Sarf: transaksi jual beli mata uang antar negara.

4. Bentuk Kerja Sama Pemberian Kepercayaan


Bentuk kerja sama ini merupakan perjanjian atas penjaminan
atau penyelesaian hutang dengan pemberian kepercayaan. Dalam
melakukan kerja sama ini, ada beberapa akad yang umum
digunakan. Di antaranya adalah jaminan (kafalah atau damanah),
gadai (rahn), dan pemindahan hutang (hiwalah).

Akad jaminan memungkinkan adanya pengalihan tanggung


jawab seseorang yang dijamin kepada penjamin. Sedangkan gadai
dilakukan dengan memberikan barang berharga dengan nilai yang
setara atau lebih dari nilai pinjaman. Dan pemindahan hutang
dilakukan untuk memindahkan kewajiban pembayaran hutang
kepada orang lain.

5. Bentuk Kerja Sama Titipan / Wadi’ah


Bentuk kerja sama ini dilakukan dengan menitipkan barang
berharga yang dimiliki seseorang kepada orang lain yang
dipercaya. Selama masa penitipan, maka orang tersebut dapat
memberikan biaya jasa penitipan kepada orang yang dia titipkan.
Tambahan: Bentuk Kerja Sama Perwakilan Transaksi / Wakalah
Selain lima bentuk kerja sama yang telah disebutkan, ada bentuk
kerja sama keenam. Bentuk kerja sama ini disebut dengan
wakalah. Dalam bentuk kerja sama ini, seseorang boleh
menitipkan atau memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk
menyelesaikan transaksi miliknya. Misalnya seperti transaksi
penyerahan rumah, surat berharga, dan lain sebagainya. Bentuk
transaksi ini umumnya dilakukan antara seseorang dengan
manajer investasi yang dia pilih.

B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan yang di lakukan oleh penulis. Oleh karena itu, penulis
berharap untuk para pembaca agar memberikan sarannya masing-
masing terhadap makalah ini agar kita dapat belajar dari semua
kekurangan yang telah kita lakukan.
DAFTAR PUSTAKA

https://alhasanah.or.id/artikel/mengenal-5-bentuk-kerjasama-bisnis-
dalam-ekonomi-islam/

JURNAL EKONOMI BISNIS VOL. 20 NO. 1 TAHUN 2015.


KERJASAMA PADA SISTEM EKONOMI SYARIAH (Analisis atas
Pembiayaan Akad Mudharabah)

https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/perencanaan/akad-mudharabah-
adalah-salah-satu-akad-yang-perlu-anda-ketahui

https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/perencanaan/apa-itu-
musyarakah-ketahui-istilah-dan-jenis-jenisnya

https://news.detik.com/berita/d-5574584/apa-itu-musaqah-begini-akad-
rukun-dan-syaratnya?single=1

https://www.google.com/search?
rlz=1C1GGRV_enID755ID760&q=jurnal+akad+muzara
%27ah&sa=X&ved=2ahUKEwivv9by5bz6AhUiTGwGHQaLAEoQ1QJ
6BAgeEAE&biw=1024&bih=467&dpr=1

JURNAL HUKUM SAMUDRA KEADILAN. VOL. 11 NO. 2 JULI-


DESEMBER 2016. MUZARA’AH (PERJANJIAN BERCOCOK
TANAM) LAHAN PERTANIAN MENURUT KAJIAN HUKUM
ISLAM

JURNAL AL-MUDHARABAH VOL. 2 EDISI 2 THN. 2020.


PERJANJIAN KERJASAMA PADA PENGGARAPAN LAHAN
KEBUN KOPIDAN SISTEM BAGI TANAH DALAM PERSPEKTIF
AKAD MUGHARASAH(Studi Tentang Implementasi Bagi Due Tanoh
di Kalangan Petani Kopi di Kecamatan Atu Lintang). https://journal.ar-
raniry.ac.id/index.php/mudharabah/article/view/1294/635

Anda mungkin juga menyukai