Anda di halaman 1dari 41

Korelasi Ekspresi Vitamin D Reseptor Terhadap

Derajat Carcinoma Payudara Invasif Duktal di Rumah Sakit

dr. Wahidin Sudirohusodo Periode Tahun 2024

CITRA ABADI ANSHAR

C075222006

PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI ANATOMI

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (SP-1)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker payudara adalah salah satu kanker terbanyak di dunia

dimana dapat ditemukan lebih dari 1.300.000 kasus setiap tahun dengan

angka kematian mencapai 450.000 (Koboldt DC., 2014). Di USA, kanker

payudara adalah kanker terbanyak kedua setelah kanker kulit pada wanita

dengan insidens 1 diantara 3 kejadian kanker. Keganasan ini juga

merupakan penyebab kematian terbanyak kedua pada wanita setelah

kanker paru-paru. Menurut data American Cancer Society pada tahun

2013 terdapat 296.980 kasus kanker payudara baru dengan angka

kematian 39.620. 232.340 kasus adalah kanker payudara invasif

sedangkan 64.640 kasus adalah kanker payudara in situ. Sekitar 79%

kasus baru dan 88% kematian akibat kanker payudara ditemukan pada

wanita usia lebih 50 tahun (Siegel et al., 2013). Di Indonesia, berdasarkan

data dari Badan Registrasi Kanker, Yayasan Kanker Indonesia tahun 2020

tercatat 4610 kasus kanker payudara dan menempati urutan pertama dari

sepuluh tumor primer tersering. Data di Bagian Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2020 dari 7411

kasus, terdapat 808 kasus tumor payudara, 268 kasus merupakan

karsinoma payudara invasif duktal (data primer).

Meskipun insidens kanker payudara tinggi, tetapi angka kematian

telah mengalami perbaikan. Tahun 1975-1990 terjadi peningkatan angka

kematian 0,4% pertahun, tetapi sejak tahun 1990-2020 terdapat


penurunan angka kematian sebanyak 34% (DeSantis et al., 2013).

Penurunan angka kematian disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu

banyaknya perbaikan dan kemajuan dalam terapi serta deteksi dini yang

lebih komperhensif.

Kemajuan dalam bidang biologi molekuler saat ini menyebabkan

penelitian penentuan terapi yang lebih spesifik dan langsung terhadap sel

sasaran (target therapy) menjadi sangat berkembang. Demikian pula

dengan terapi preventif, serta faktor prediksi prognosis yang semakin

banyak diteliti. Tentu saja hal ini dalam upaya mendapatkan hasil

pengobatan yang lebih baik serta peningkatan angka harapan hidup bagi

penderita.

Target terapi kanker payudara yang umum digunakan saat ini yaitu

ER, PR dan HER-2/neu selain sebagai dasar pemberian kemoterapi, juga

digunakan sebagai faktor prediksi terhadap pemberian terapi dan sebagai

petanda prognosis (Sotiriou and Pusztai, 2013). Namun saat ini, tidak

sedikit ditemukan penderita karsinoma payudara terutama tipe invasif

duktal dengan ekspresi ER, PR, HER-2/neu yang negatif. Oleh sebab itu,

penelitian untuk menemukan target terapi baru terus dikembangkan

dengan pertimbangan bahwa banyak jalur lain yang ikut berperan dalam

proses karsinogenesis kanker payudara.

Salah satu penelitian sejak 20 tahun terakhir adalah tentang potensi

Vitamin D dalam menghambat proliferasi berbagai tipe sel maligna seperti

pada karsinoma payudara, karsinoma kolon, karsinoma pada kulit dan

CNS, serta karsinoma pada organ lain (Guyton et al., 2013). Meskipun

mekanisme molekuler yang mendasari belum sepenuhnya diketahui


secara jelas, tetapi kemampuan metabolit aktif 1,25(OH)2D3 dalam

melindungi sel- sel dari transformasi maligna telah banyak diteliti.

Vitamin D adalah zat larut lemak yang termasuk dalam hormon

secosteroid yang secara fisiologis berperan dalam regulasi kalsium dan

transportasi fosfat pada metabolisme tulang atau dikenal juga dengan

“calcemic effect”. Selain itu juga terdapat “non-calcemic effect”, dimana

penurunan kadar vitamin D berhubungan dengan onset dan progresi

berbagai macam penyakit seperti autoimmune disease, penyakit infeksi

saluran pernapasan, diabetes melitus, hipertensi dan kardiovaskuler,

penyakit-penyakit neuromuskular, dan pada keganasan (Holick and Chen,

2014). Paparan vitamin D yang lebih tinggi di perkirakan dapat mencegah

berbagai jenis kanker, kemungkinan melalui efek genomik yang

dimodulasi oleh VDR (Vitamin D Reseptor), dan efek non genomik: melalui

fungsi metabolisme autokrin/parakrin dari ligand VDR. Secara khusus,

telah dibuktikan kemampuan untuk mengatur proliferasi dan differensiasi

(Deeb et al., 2015), apoptosis (Dusso et al., 2015), angiogenesis (Mantell

et al., 2017) serta invasi dan metastasis (Leyssens et al., 2013).

Gen VDR pada manusia terletak pada kromosom 12q13,

mengandung lebih dari 470 single-nucleotida polymorphism (SNPs)

(Huang et al., 2014), dimana hubungan antara vitamin D dan payudara

dapat diamati baik pada payudara normal maupun pada neoplasma

payudara. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan antara rendahnya level vitamin D dengan tingginya insidens

kanker payudara (Yin et al., 2015, Gandini et al., 2014, Crew et al., 2015).

Adanya efek anti- proliferasi, pro-apoptosis, anti invasi dan


antiangiogenesis yang dimiliki vitamin D, menjadikan vitamin D dapat

menjadi salah satu petanda prognosis dan pilihan terapi tambahan yang

potensial dan perlu terus diteliti lebih mendalam. Apalagi sebagian besar

vitamin D bersumber di dalam tubuh manusia dan hanya dengan bantuan

sinar matahari dapat dikonversi menjadi bentuk yang aktif dan dapat

dimanfaatkan. Tetapi tentu saja, vitamin D dalam dosis yang berlebihan

juga akan memberi efek yang tidak menguntungkan.

Meskipun vitamin D tersedia dalam jumlah yang memadai bahkan

berlebih, efeknya akan menurun bahkan menjadi kurang bermakna

terutama untuk tujuan terapeutik pada suatu keganasan bila reseptor pada

jaringan (VDR) rendah atau tidak terekspresi. Ekspresi dan atau fungsi

protein VDR dipengaruhi oleh polymorphisme gen VDR, yang sampai saat

ini masih tetap diperdebatkan peranannya dalam perkembangan

keganasan payudara (Huang et al., 2014). Dari 470 terdapat enam SNPs

yang banyak diteliti yaitu Fok 1, Bsm1, Taq1, Apa1, Cdx2, dan Poly A

(Huang et al., 2014).

Dalam suatu penelitian, ekspresi Vitamin D Reseptor (VDR)

dipertahankan pada mayoritas kanker payudara baik pada hewan maupun

pada manusia (Zinser and Welsh, 2014). Suatu studi pada 136 pasien

kanker payudara primer, ditemukan bahwa pasien dengan ekspresi VDR

negatif secara signifikan mengalami kekambuhan lebih cepat

dibandingkan pasien dengan VDR positif. Selain itu kasus karsinoma

payudara invasif duktal menunjukkan VDR positif pada 56,2% (172 dari

306 kasus yang diteliti) (Lopes et al., 2015). Hal ini menunjukkan bahwa

Vitamin D Reseptor (VDR) dapat dijadikan salah satu petanda progresi


serta dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target terapi tambahan

yang baru, apalagi Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sinar

matahari (UVB) yang sangat melimpah, sehingga menjadi menarik untuk

mengembangkan potensi sinar matahari berkaitan dengan vitamin D

sebagai salah satu penanda pada karsinogenesis payudara yang nantinya

dapat dikembangkan lebih lanjut untuk kepentingan preventif, terapeutik

dan prognostik terapi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Apakah terdapat perbedaan ekspresi Vitamin D Reseptor (VDR) pada

karsinoma payudara derajat baik, sedang dan buruk?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menilai perbedaan ekspresi Vitamin D Reseptor (VDR) pada

karsinoma payudara berdasarkan derajat histopatologi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menentukan diagnosis karsinoma payudara dan derajat

histopatologinya berdasarkan pewarnaan H.E.

2. Menentukan ekspresi VDR pada karsinoma payudara derajat

baik.

3. Menentukan ekspresi VDR pada karsinoma payudara derajat

sedang.

4. Menentukan ekspresi VDR pada karsinoma payudara invasif

derajat buruk.
5. Membandingkan ekspresi VDR pada karsinoma payudara

derajat baik, derajat sedang dan derajat buruk.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Untuk Pengembangan Ilmu

1. Memberikan informasi ilmiah tentang VDR sebagai salah satu

penanda progresi serta prognosis penderita karsinoma

payudara

2. Dapat digunakan sebagai salah satu pilihan terapi tambahan

dikombinasikan dengan regimen terapi lainnya, untuk hasil

pengobatan yang lebih baik.

3. Data penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian

lebih lanjut terutama dalam bidang patomekanisme dan

patobiologik karsinoma payudara.

1.4.2 Manfaat Secara Aplikatif

1. Sebagai faktor prediktif dan faktor prognostik tambahan untuk

karsinoma payudara.

2. Sebagai pilihan target terapi tambahan untuk karsinoma

payudara.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 NEOPLASMA PAYUDARA

II.1.1 Anatomi Dan Histologi Payudara

Payudara adalah organ yang unik karena belum terbentuk

sempurna ketika lahir, mengalami perubahan siklik selama masa subur,

dan mulai mengalami involusi jauh sebelum menopause.

Pada manusia, sepasang kelenjar mamaria terletak di atas otot

pectoralis di dinding dada atas. Payudara itu sendiri terdiri dari komponen

epitel dan stroma khusus yang dapat berkembang menjadi lesi jinak dan

ganas yang spesifik ( gambar 1).

Gambar 1 Anatomi Asal Lesi Payudara (Robbins. and Cotran., 2014)


Terdapat enam sampai sepuluh sistem duktus utama dari puting

payudara. Epitel skuamosa berkeratin dari kulit di permukaan berlanjut ke

dalam duktus dan berubah menjadi epitel kuboid berlapis dua. Di orifisium

duktus sering ditemukan sumbat keratin kecil.

Percabangan-percabangan duktus besar akhirnya menghasilkan

unit lobular duktus terminal (TDLU). Pada wanita dewasa, duktus terminal

bercabang-cabang menjadi kelompok-kelompok asinus kecil mirip anggur,

dan disebut sebuah lobulus. Setiap sistem duktus biasanya menempati

seperempat dari payudara, dan sistem-sistem ini saling tumpang tindih

secara luas.

Gambar 2. Terminal duct-lobular unit (TDLU). A. Diagram skematik struktur


TDLU. ETD, Extralobular terminal duct; ITD, Intralobular terminal duct. B.
Photomicrograph payudara normal wanita dewasa (Rosai, 2013).
Pada payudara normal, duktus dan lobulus dilapisi oleh dua jenis

sel. Di membran basal terletak suatu lapisan diskontinu sel kontraktil yang

pendek, menggepeng, dan mengandung miofilamen (sel mioepitel). Sel-

sel ini membantu pengeluaran susu selama laktasi dan berperan penting

untuk mempertahankan struktur dan fungsi normal lobulus dan membran

basal. Lapisan kedua yang melapisi lumen adalah sel epitel. Sel luminal

dari duktus terminal dan lobulus menghasilkan susu, tetapi sel yang

melapisi duktus besar tidak demikian.

Sebagian besar stroma payudara terdiri dari jaringan ikat fibrosa

padat bercampur dengan jaringan lemak (stroma antarlobulus). Lobulus

dibungkus oleh stroma miksomatosa halus yang responsif terhadap

hormon khusus payudara serta mengandung sejumlah limfosit (stroma

intralobulus) (Robbins. and Cotran., 2014).

Setiap komponen penyusun payudara, baik mesenkim maupun

parenkim, dapat berkembang menjadi suatu neoplasma. Perkembangan

suatu neoplasma menjadi jinak atau ganas, merupakan akumulasi dari

berbagai faktor yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.

II.1.2 Karsinoma Payudara

Karsinoma adalah suatu penyakit neoplasma ganas yang berasal

dari parenkim. Tumor teridentifikasi sebagai suatu massa yang dapat

dipalpasi, biasanya asimetris, terfiksir pada kulit atau otot, terdapat

perubahan kulit, perubahan puting dan dapat disertai nyeri. Tumor yang
termasuk karsinoma invasif adalah tumor dimana sel-sel ganas yang

dideteksi invasif ke dalam stroma, dibagi atas tipe duktal dan lobuler.

Sekitar 70-80% dari seluruh kanker payudara tergolong dalam karsinoma

invasif duktal (Robbins. and Cotran., 2014, Rosai, 2013).

Etiologi dan Patogenesis

Faktor resiko utama terjadinya keganasan pada payudara

disebabkan oleh faktor hormon dan genetik (riwayat keluarga). Faktor

genetik (mutasi gen) merupakan penyebab dari 12% kanker payudara

diakibatkan adanya kerentanan satu atau beberapa gen. Probabilitas

penyebab herediter meningkat terutama jika keluarga dekat (tingkat

pertama) mengidap penyakit kanker payudara maupun kanker lainnya.

Sementara kejadian sporadik kemungkinan berhubungan erat dengan

hormonal (Lester, 2014).

Mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 merupakan penyebab tersering

kanker payudara herediter. Penderita carrier BRCA1 dan BRCA2 juga

rentan terhadap kanker epitelial lain seperti prostat dan pankreas. BRCA 1

dan BRCA 2 merupakan gen dengan ukuran panjang lebih dari 80

kilobasa. Kanker payudara terkait BRCA1 umumnya poorly differentiated,

mempunyai gambaran medullary dan tidak mengekspresikan hormon

reseptor maupun HER2/neu sehingga disebut “triple negatif

phenotype” sedangkan kanker payudara terkait BRCA2 juga

cenderung poorly differentiated namun sering positif terhadap Estrogen


Reseptor (ER).
Faktor resiko yang telah diketahui diketahui hingga saat ini adalah

(Robbins. and Cotran., 2014):

1. Usia

Kanker payudara jarang dijumpai pada usia kurang dari 25 tahun

kecuali pada beberapa kasus. Insidens terus meningkat seiring

bertambahnya usia wanita. Sekitar 77% kasus terjadi pada wanita

berusia lebih dari 50 tahun. Usia rata-rata saat diagnosis adalah 64

tahun.

2. Riwayat menstruasi dan reproduksi

Wanita yang mencapai menarke lebih awal dan menopause lebih

lambat, meningkatkan resiko terjadinya karsinoma payudara.

Sementara itu, usia kehamilan pertama pada wanita kurang dari 20

tahun memiliki resiko kanker payudara dua kali lebih kecil

dibandingkan wanita nulipara atau wanita yang melahirkan pertama

kali pada usia lebih dari 35 tahun.

3. Ras

Insidens keseluruhan kanker payudara lebih rendah pada wanita

keturunan Afrika-Amerika, tetapi wanita dari kelompok ini datang

dengan stadium yang lebih lanjut dan memperlihatkan peningkatan

angka kematian dibandingkan wanita kulit putih.

4. Pengaruh Geografik

Angka insidens kanker payudara di Amerika Serikat dan Eropa


empat sampai tujuh kali lebih tinggi dibanding negara lain.
5. Diet

Berbagai bahan dalam diet, terutama lemak makanan, dilaporkan

meningkatkan resiko. Sebagian studi memperlihatkan adanya

penurunan resiko pada peningkatan asupan β-karoten.

6. Pajanan Estrogen

Terapi sulih hormon pascamenopause sedikit meningkatkan resiko

kanker payudara pada pemakainya. Estrogen dan progesteron

yang digunakan bersama-sama meningkatkan resiko lebih besar

dibandingkan estrogen saja.

7. Pajanan Radiasi

Wanita yang pernah terpajan oleh radiasi terapeutik memiliki angka

kanker payudara yang lebih tinggi. Resiko meningkat pada usia

yang lebih muda dan dosis yang lebih tinggi.

8. Riwayat keluarga

Resiko kanker payudara meningkat seiring dengan jumlah anggota

keluarga dekat (ibu, saudara kandung perempuan, atau anak

perempuan) yang menderita kanker payudara 2-3 kali lebih besar

dibanding wanita tanpa riwayat keluarga. Pada studi genetik

ditemukan bahwa kanker payudara berhubungan dengan gen

tertentu. Apabila terdapat BRCA1, yaitu gen suseptibilitas

karsinoma payudara, probabilitas untuk terjadi kanker payudara

sebesar 69% untuk umur 50 tahun meningkat sebesar 85% pada


umur 70 tahun. Gen lain yang bertanggung jawab adalah gen

BRCA2
9. Biopsi payudara

Meningkatnya resiko berkaitan dengan riwayat biopsi payudara

yang memperlihatkan hiperplasia atipikal. Sementara kelainan

payudara proliferatif tanpa atipia tidak ditemukan peningkatan

resiko terjadinya karsinoma payudara.

10. Karsinoma Payudara Kontralateral

Karsinoma payudara kontralateral meningkatkan resiko, dimana

karsinoma payudara invasif lobular biasanya didapatkan pula

karsinoma payudara yang berlawanan (Robbins. and Cotran.,

2014).

Kanker Payudara Herediter

Riwayat kanker payudara dalam keluarga dekat (first degree

relative) dilaporkan dijumpai pada 13% wanita yang mengidap penyakit

ini. Hubungan kanker payudara dengan riwayat keluarga ini

mengisyaratkan adanya mutasi sel germinativum yang sangat penetratif.

Sekitar 25% kanker familial (atau sekitar 3% dari semua kanker

payudara) dapat dikaitkan dengan dua gen dominan autosomal yang

sangat penetratif BRCA1 dan BRCA2 (Robbins. and Cotran., 2014,

Rosen, 2014). Probabilitas kanker payudara yang berkaitan dengan

mutasi di kedua gen ini meningkat jika terdapat banyak anggota keluarga

dekat yang terkena kanker payudara. Resiko kanker payudara seumur

hidup secara umum untuk wanita pembawa gen adalah 60% sampai
85% dan usia median saat diagnosis adalah sekitar 20 tahun lebih

awal dibandingkan
wanita tanpa mutasi-mutasi ini. BRCA1 mutan sangat

meningkatkan resiko terjadinya kanker ovarium, yang mencapai 20%

sampai 40%. BRCA2 menimbulkan resiko kanker ovarium yang lebih kecil

(10% sampai 20%), tetapi lebih sering berkaitan dengan kanker payudara

pada pria. Pembawa BRCA1 dan BRCA2 juga rentan terhadap kanker

lain, misalnya kolon, prostat, dan pankreas, tetapi dengan derajat yang

lebih rendah (Ellis et al., 2013, Robbins. and Cotran., 2014).

Kanker payudara terkait BRCA1 umumnya berdiferensiasi lebih

buruk, memiliki pola pertumbuhan sinsitium dengan tepi yang menekan

jaringan sekitar, memperlihatkan respon limfositik dan tidak

mengekspresikan reseptor hormon atau mengekspresikan secara

berlebihan HER2/neu. Karsinoma payudara terkait BRCA2 tidak

memperlihatkan penampilan morfologik yang khas.

Kerentanan genetik akibat gen-gen lain jauh lebih jarang dijumpai,

dan secara keseluruhan kelompok ini membentuk kurang dari 10%

karsinoma payudara herediter

Kanker Payudara Sporadik

Faktor resiko utama kanker payudara sporadik berkaitan dengan

hormonal : jenis kelamin, usia, riwayat menarke dan menopause, riwayat

reproduksi, asupan estrogen eksogen dan lain-lain. Sebagian besar kanker ini

timbul pada wanita pascamenopause dan memperlihatkan ekspresi ER yang


berlebihan. Setidaknya ada dua peran utama estrogen dalam
menimbulkan kanker payudara. Metabolit estrogen dapat menyebabkan

mutasi atau menghasilkan radikal bebas yang merusak DNA . Efek lain

yang ditimbulkan dari efek hormonal estrogen itu sendiri yaitu mendorong

proliferasi sel pramaliga serta sel kanker. Akan tetapi, mekanisme lain

jelas berperan, karena cukup banyak karsinoma payudara yang ER

negatif atau terjadi pada wanita tanpa pajanan estrogen (Hirata et al.,

2014, Robbins. and Cotran., 2014).

Mekanisma Karsinogenesis dan Progresi Kanker

Beragamnya gambaran histologik penyakit payudara proliferatif dan

atipikal serta pada karsinoma merupakan manifestasi berbagai faktor

eksternal dan sedemikian banyak perubahan biologik yang terjadi di

dalam lesi, yang menunjukkan bahwa jalur karsinogenesis adalah suatu

hal yang sangat kompleks dan bervariasi. Satu perubahan genetik atau

fungsional tertentu, tidak dapat ditemukan pada semua kanker payudara.

Sebagian besar perubahan terjadi pada sebagian karsinoma dan biasanya

merupakan kombinasi dengan perubahan lain.

Secara umum prinsip untuk terjadinya suatu keganasan mencakup

tujuh perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang bersama-sama

menentukan fenotipe ganas (Robbins. and Cotran., 2014), yaitu :

 Berkecukupan dalam sinyal pertumbuhan. Pengaktifan onkogen

menyebabkan tumor memiliki kemampuan berproliferasi tanpa

rangsangan dari luar.


 Tidak peka terhadap sinyal-sinyal yang menghambat pertumbuhan.

 Resisten terhadap apoptosis akibat inaktivasi p53 atau perubahan

lain.

 Adanya gangguan perbaikan DNA. Ketidakmampuan memperbaiki

kerusakan DNA akibat karsinogen atau proliferasi sel yang tidak

terkendali.

 Potensi replikasi tanpa batas. Sel tumor memiliki kapasitas

proliferasi tanpa batas yang berkaitan dengan dipertahankannya

panjang dan fungsi telomer.

 Angiogenesis, tumor tidak dapat tumbuh tanpa pasokan darah yang

diinduksi oleh berbagai faktor dan yang terpenting adalah vascular

endothelial growth factor (VEGF).

 Kemampuan menginvasi dan bermetastasis.

Mutasi di gen-gen yang mengatur sifat-sifat sel ini dijumpai di

semua kanker. Akan tetapi, jalur-jalur genetik yang menyebabkan

timbulnya sifat- sifat tersebut berbeda di antara berbagai kanker, bahkan

pada organ yang sama. Secara luas dipercayai bahwa terjadinya mutasi di

gen-gen penyebab kanker dikondisikan oleh kesigapan perbaikan DNA

sel. Jika gen- gen yang secara normal mendeteksi dan memperbaiki

kerusakan DNA yang rusak atau hilang, ketidakstabilan genom yang

terjadi akan mendorong terjadinya mutasi di gen-gen yang yang

mengendalikan berbagai kapabilitas sel kanker (Robbins. and Cotran.,

2014).
Perkembangan kanker secara umum dipandang sebagai proses

klonal multi tahapan pada evolusi sel yang dibagi dakam sejumlah

langkah- langkah yang saling tumpang tindih, yaitu (1) proses inisiasi; (2)

promosi;

(3) transformasi dan (4) proses malignansi. Secara keseluruhan, hanya

sebagian kecil sel yang masuk ke dalam jalur karsinogenik melalui urutan

di atas yang pada akhirnya memberikan hasil berupa sel kanker dan

semua proses membutuhkan waktu beberapa tahun (Coussens and Werb,

2015). Sel asal kanker payudara penting diketahui karena memiliki

implikasi penting terhadap etiologi dan pengobatan. “Hipotesis sel

punca kanker” mengusulkan bahwa perubahan maligna terjadi pada

populasi sel punca yang memiliki sifat unik yang membedakan mereka

dari sel-sel yang telah berdiferensiasi. Meskipun mayoritas sel tumor

terdiri dari progeni non punca, hanya sel-sel punca ganas saja yang dapat

memberikan kontribusi untuk perkembangan dan kekambuhan tumor.

Pengobatan yang efektif perlu dilakukan hanya pada populasi ini, yang

sampai saat ini masih sulit

untuk ditentukan (Robbins. and Cotran., 2014).

Jenis sel yang paling mungkin merupakan asal bagi mayoritas

karsinoma adalah sel luminal yang mengekspresikan ER, karena

sebagian besar kanker ER positif dan lesi-lesi prekusor seperti halnya

hiperplasia atipikal, lebih mirip dengan jenis sel luminal ini. Karsinoma

dengan ER negatif dapat berasal dari sel-sel mioepitel. Hal ini dapat

menjelaskan mengapa banyak protein yang ditemukan dalam sel

mioepitel sering
merupakan “triple negative” atau “basal-like cancer” (Robbins. and Cotran.,

2014).

Gambar 3. Urutan prekusor karsinoma pada kanker payudara. Perubahan


morfologi diperlihatkan dari kiri ke kanan berdasarkan resiko karsinoma invasif
selanjutnya (Robbins. and Cotran., 2014).

Karsinoma Payudara Invasif Duktal

Karsinoma payudara invasif adalah suatu kelompok keganasan

pada epitel payudara yang ditandai dengan adanya invasi ke stroma

jaringan sekitarnya dan memiliki tendensi untuk metastasis jauh.

Umumnya berasal dari epitel parenkim terutama dari Terminal Duct

Lobular Unit (TDLU). Terdapat berbagai macam klasifikasi, tetapi yang

paling banyak ditemukan adalah Invasive Ductal Carcinoma Mammae, not

otherwise specific (NOS). Sebagai bentuk terbanyak dari seluruh tipe yang

ada (40%- 75%), sebagian besar karsinoma ini menimbulkan respon

desmoplastik yang menggantikan lemak payudara normal (menghasilkan

densitas pada mammografi) dan membentuk massa yang teraba keras.


Secara histologik, tumor ini terdiri dari sel-sel maligna yang

tersusun dalam kelompok/ sarang-sarang tumor mirip kelenjar. Sel-sel

ganas tampak jelas menginvasi stroma jaringan ikat. Tidak jarang

ditemukan invasi perivaskuler dan perineural (Rosai, 2013, Lester, 2014).

Derajat Histopatologi Karsinoma Payudara

Grading tumor atau derajat histopatologi merupakan penilaian

tingkat keganasan atau agresivitas tumor. Ini dapat dilihat dari gambaran

histologiknya. Struktur yang membantu penilaian derajat histopatologi

ialah tingkat kemiripan dengan jaringan normal (tubular differensiasi),

ukuran inti dan pleomorfisme serta aktivitas mitosis (Rosai, 2013).

Untuk mengevaluasi tubulus dan kelenjar asini payudara adalah

yang memiliki lumen sentral yang jernih, digunakan hitungan 10% dan

75% untuk alokasi skoring. Pleomorfisme inti dinilai berdasarkan

regularitas ukuran sel dan ukuran inti dibandingkan sel epitel normal.

Mitosis dievaluasi secara hati-hati dengan menghitung jumlah sel mitosis,

sel hiperkromatik dan inti piknotik tidak dihiraukan karena kemungkinan

suatu apoptosis. Penilaian mitosis dengan menghitung jumlah mitosis per

sepuluh lapangan pandang besar mulai dari bagian tepi. Jika terdapat

heterogenitas, yang dipilih adalah lapangan pandang dengan sel tumor

yang paling representatif (Ellis et al., 2013).

Nottingham Modification of The Bloom-Richardson System (1998)


adalah sistem evaluasi yang paling sering digunakan untuk menilai grading
dengan hasil penilaian terdiri dari differensiasi baik, sedang dan buruk (Ellis

et al., 2013, Rosai, 2013).

1. Formasi tubuler

Nilai 1 bila formasi tubuler > 75% dari tumor

Nilai 2 bila formasi tubuler 10-75% tumor

Nilai 3 bila formasi tubuler < 10% dari tumor

2. Bentuk nukleus

Nilai 1 bila ukuran dan bentuk nukleus variasinya

minimal Nilai 2 bila ukuran dan bentuk nukleus

variasinya sedang Nilai 3 bila ukuran dan bentuk nukleus

bervariasi sekali

3. Jumlah mitosis

Nilai 1 : 0-9/10

LPB

Nilai 2 : 10-19/10 LPB

Nilai 3 : >20/10

LP PENILAIAN :

Nilai 3 – 5 : Diferensiasi baik (grade I, Low malignancy)

Nilai 6 – 7 : Diferensiasi sedang (grade II, Intermediate malignancy)

Nilai 8 – 9 : Diferensiasi buruk (grade III, High malignancy)


Gambar 4 : Karsinoma payudara invasive duktal (A) grade I (B) grade II dan
(C) grade III (Robbins. and Cotran., 2014)

II.2 1,25-dihydroxyvitamin D3 (1,25(OH)2D3) dan VDR

Vitamin D pertama kali diidentifikasi oleh Edward Mellanby pada

tahun 1919, sebagai suatu zat yang larut dalam lemak, berperan sebagai

anti rachitis dan regulasi serta metabolisme kalsium dan fosfat.

Manusia dapat memperoleh vitamin D dari dua sumber utama : (1)

makanan antara lain lemak ikan, telur dan lain-lain; (2) paparan sinar

matahari. 80%-95% vitamin D yang dibutuhkan diproduksi oleh kulit

dengan bantuan sinar matahari (radiasi UV) sehingga vitamin D sering

juga disebut “the sunshine vitamin” (Gupta et al., 2015, Alipour et al.,

2014).

Vitamin D diabsorbsi di dalam usus halus bersama lipid dengan

bantuan cairan empedu. Vitamin D dari bagian atas usus halus diangkut

oleh DBP (vitamin D binding protein) ke tempat-tempat penyimpanan di

hati, kulit, otak dan jaringan lain.

Vitamin D harus diaktifkan melalui dua proses hidroksilasi. Yang

pertama terjadi di hati yang disintesis oleh enzim 25-hidroksilase

(CYP27A1), menghasilkan kalsidiol (25(OH)D). Bentuk metabolit ini yang

paling banyak terdapat di dalam sirkulasi. Proses hidroksilasi yang kedua

terjadi di ginjal dengan bantuan 1-α-hidroksilase menghasilkan kalsitriol

(1,25(OH)2D). Aktivitas enzim ini menurun ketika kadar (1,25(OH)2D)


meningkat. Jika jumlah (1,25(OH)2D) cukup, enzim CYP24A1

memetabolisme (1,25(OH)2D) menjadi 1α,24,25-dihidroksivitamin D yang

selanjutnya menjadi asam kalsitroat (WHO, 2015). Dalam plasma,

pengukuran terbaik kadar vitamin D adalah dengan mengukur kadar

25(OH)D . Sedangkan di dalam jaringan, Vitamin D Reseptor akan

berikatan dengan bentuk aktif vitamin D3 yaitu (1,25(OH) 2D) dan dapat

dideteksi dengan pemeriksaan imunohistokimia (Lopes et al., 2015)

Gambar 5: Sintesis 1,25(OH)2D3 dan Vitamin D Reseptor sebagai


mediator berbagai respon biologic (Robbins. and Cotran., 2014)

1,25(OH)2D3 berikatan dengan Vitamin D Reseptor (VDR) dan

diekspresikan pada hampir semua tipe sel pada berbagai jaringan dan

organ, meliputi cardiovascular system, endokrin system, epidermis,

gastrointestinal system, immune system, renal system, respiratory system,

osteomuscular system, reproductive system, dan Central Nervous System.

Hubungan antara vitamin D dan tumor payudara telah dijelaskan dalam

berbagai tingkatan. Sebagai contoh, pada payudara normal dan

neoplasma
payudara keduanya mengekspresikan Vitamin D reseptor (Leyssens et al.,

2013)

Pada payudara normal, ekspresi tertinggi VDR dapat ditemukan

pada masa pubertas, kehamilan dan menyusui. Dengan pemeriksaan

immunohistokimia, VDR positif pada sel-sel luminal, juga dapat ditemukan

pada komponen stroma yaitu sel fibroblast dan adiposit (Narvaez et al.,

2014).

Gambar 6: Model metabolisme dan aktivasi vitamin D pada sel-sel payudara


(Robbins. and Cotran., 2014)

Sejak 20 tahun terakhir, telah dikembangkan penelitian tentang

efek perlindungan vitamin D terhadap transformasi sel-sel maligna. Dalam

karsinogenesis, vitamin D memiliki kemampuan untuk mengatur proliferasi

dan differensiasi (Deeb et al., 2015), apoptosis (Dusso et al., 2015),

angiogenesis (Mantell et al., 2017), berpengaruh terhadap respon

imunologi (Vuolo et al., 2014) serta invasi dan metastasis (Leyssens et al.,

2013).
Gambar 7: Efek aktivasi Vitamin D Reseptor (VDR) pada tumorigenesis
(Vuolo et al., 2014).

Vitamin D dan analognya memberi efek melalui jalur genomik dan

non genomik. Pada jalur genomik, 1,25(OH)2D3 dimediasi oleh reseptor

inti, sementara pada jalur non genomik, mekanismenya melalui inisiasi

plasma membran. 1,25(OH)2D3 berinteraksi dengan VDR yang terletak

pada inti sel untuk menghasilkan efek genomik atau pada kaveola di

membran plasma untuk menghasilkan efek non genomik (rapid respons,

RR).
Gambar 8: 1,25(OH)2D berinteraksi dengan reseptor inti dan mekanisme inisiasi
plasma membran (Vuolo et al., 2014).

Proliferasi sel jinak dan ganas keduanya mengekspresikan VDR.

Calcitriol berikatan dengan VDR dalam bentuk heterodimer dengan

reseptor retinoid (RXR) dan ligan (9-cis retinoid acid) dan dimer ini

menempati urutan tertentu nukleotida (vitamin D response elements atau

VDREs). Dalam kaitannya dengan beberapa faktor transkripsi, kompleks

ini menyebabkan transkripsi dari vitamin D responsif gen (gambar 7).


Gambar 9 : Perubahan spesifik 7-Dehydrocholesterol di kulit, hepar dan ginjal
serta transkripsi gen pada inti sel (Khan et al., 2014)
Jalur non genomik dapat bekerja sama dengan jalur klasik genomik

(gambar 8 dan 9), dimana jalur non genomik merupakan jalur cepat dan

tidak tergantung faktor transkripsi meskipun secara tidak langsung dapat

mempengaruhi transkripsi melalui cross-talk dengan lintasan signal yang

lainnya (Vuolo et al., 2014). Beberapa data penelitian menunjukkan bahwa

efek non genomik dimulai pada membran sel dan melibatkan reseptor

membran tidak klasik serta reseptor baru untuk 1,25(OH)2D disebut

1,25D3- MARRS (membrane-associated rapid response steroid binding).

Aktivitas non genomik calcitriol ini menginduksi translokasi cepat dari

kalsium melewati membran mukosa intestinal. Ikatan calcitriol dengan

membran sel dapat menyebabkan aktivasi satu atau lebih second

messenger system termasuk phospholipase C (PKC), protein kinase C,

reseptor protein G atau phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K). Kelompok ini

yang kemungkinan dapat mempengaruhi pembukaan canel kalsium atau

klorida ataupun second messenger. Second messenger terutama

RAF/MAPK dapat memodulasi interaksi silang dengan inti untuk terjadinya

regulasi ekspresi gen (Vuolo et al., 2014).

II.3 Peran Vitamin D (1,25(OH)2D3) dan Vitamin D Reseptor (VDR)

Pada Karsinogenesis Payudara

Efek terhadap Proliferasi dan Differensiasi

Mekanisme yang paling banyak dikemukakan adalah adanya

pengaruh formasi kompleks protein Rb dengan faktor transkripsi E2F.

Kompleks ini akan berhubungan setelah terjadinya phosporilasi protein Rb

oleh cyclin dependent kinase (CDK). 1,25(OH)2D3 menghambat cyclin lain

dan CDK5 menyebabkan kompleks Rb-E2F tetap utuh dan menghambat


proliferasi sel. 1,25(OH)2D3 juga dapat mengatur pertumbuhan sel dengan

mempengaruhi jalur signal penting lainnya. Jalur TGF-β juga diaktivasi

oleh 1,25(OH)2D3 dan memberi kontribusi terhadap efek antiproliferatif

kemungkinan dengan perantaraan CDK2, P27 dan cyclin E.

Selain itu 1,25(OH)2D3 juga memiliki kemampuan meningkatkan

ekspresi faktor-faktor differensiasi seperti casein, protein-protein adhesi,

lipid, dan E-cadherin (Feldman, D. et al. 2014)

Efek Terhadap Apoptosis

1,25(OH)2D3 dapat mengiduksi terjadinya apoptosis pada berbagai

tipe tumor, tetapi mekanisme yang sebenarnya sampai saat ini masih

belum jelas. Apoptosis yang terjadi setelah adanya rangsangan dari

1,25(OH)2D3 dihubungkan dengan peningkatan regulasi protein

proapoptosis Bcl-2 antagonis homolog atau dapat juga melibatkan jalur

signal lainnya seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α). Dalam suatu

penelitian lainnya, pada karsinoma payudara didapatkan peningkatan

konsentrasi kalsium intraseluler setelah stimulasi 1,25(OH)2D3 .

Peningkatan kalsium menginduksi calpain-mediated apoptosis (37).

Efek terhadap Angiogenesis

Pembentukan pembuluh darah baru sangat penting untuk

pertumbuhan suatu keganasan. 1,25(OH)2D3 menghambat angiogenesis

dengan adanya fakta bahwa pengobatan beberapa kasus keganasan

manusia pada dengan pemberian 1,25(OH)2D3 menyebabkan

ekspresi penurunan

hypoxia-inducible factor-1 α (HIF1A), dimana HIF1A adalah faktor


transkripsi paling penting dalam angiogenesis. Target lain yang juga di

hambat oleh 1,25(OH)2D3 di dalam proses angiogenesis adalah VEGF

yang juga dimediasi oleh HIF1A-dependent pathway.

Efek terhadap Imunitas

Hubungan antara vitamin D, proses inflamasi, dan keganasan

masih belum sepenuhnya jelas, observasi VDR yang diekspresikan

secara signifikan pada sistem immun meningkatkan kemungkinan vitamin

D dan analognya dapat memicu aktivitas immunomodulator, hal ini lebih

banyak diamati pada karsinoma kolon, liver, lambung dan prostat.

Penelitian menunjukkan bahwa vitamin D dapat memodulasi

aktivitas berbagai komponen pertahanan dan sel-sel immun termasuk

monosit, makrofag, antigen presenting sel dan mengaktivasi CD4 T sel,

atau sel-sel epitelial (Feldman et al 2014). 1,25(OH)2D memiliki

kemampuan meregulasi sel imun bawaan maupun adaptif. Sistem imun

bawaan berinteraksi dengan vitamin D melalui beberapa mekanisme,

diantaranya 1,25(OH)2D meregulasi beberapa gen pada sel sistem imun

bawaan yang penting untuk autofagi dan efek anti mikroba. Gen katelisidin

dan  defensin diaktifkan pada terapi 1,25(OH)2D melalui VDRE. Selain

itu juga memiliki kemampuan menstimulasi ekspresi NOD2 (nukleotide-

binding oligomerizatin domain) (Fleet et al., 2015).

Pada sistem imun adaptif, beberapa sub populasi limfosit T

mengekspresikan VDR dan merupakan sel target vitamin D. Secara in

vitro 1,25(OH)2D dapat menekan sinyal NF kB yang penting untuk aktivasi

sel T
helper, meningkatkan aktivitas sel T regulator yang penting untuk

imunosupresi, dan menghambat perkembangan sel Th17 dan Th9 yang

penting untuk patogenesis penyakit autoimun dan inflamasi (Fleet JC

2015).

Efek terhadap Invasi dan Metastasis

Kemampuan invasi tumor pada jaringan sekitarnya merupakan

salah satu penanda keganasan dan penelitian menunjukkan bahwa

1,25(OH)2D3 dan analognya memiliki kemampuan untuk menghambat

invasi sel kanker

Aktivasi jalur signal c-Jun N-terminal kinase/Sterss-activated

protein kinase, mitogen-activated protein kinase (JNK/SAPK MAPK) oleh

1,25(OH)2D3 adalah esensial untuk mendapatkan efek antiinvasif.

Penelitian lain menunjukkan terjadi penurunan matriks metalloproteinase-

2 dan 9, aktivitas cathepsin, serta penurunan β6-integrins, β4-integrins

dan intracellular adhesion molecule 1 setelah kanker diterapi dengan

menggunakan 1,25(OH)2D3 dan analognya.


BAB III

KERANGKA TEORI

1,25(OH)2D3 (Calcitriol)

Efek Klasik pada Efek Non Klasik =


metabolisme kalsium dan Efek anti tumor
phosphor

V VDR 1,25D3-MARRS

Protein
Phospholipase C
PKC
RAS/MAP Kinase
PI3K

RAF/MAPK

VDR-RXR

CDK, TGF-β,E- Cadherin BCl 2,BAK


HIF-1α, VEGF
MMP 2 & 9

antiproliferasi & prodifferensiasi


proapoptosis
antiangiogenesis
menghambat invasi dan metastasis

: caveola di membran plasma

: calcitriol
VDR

KERANGKA KONSEP
Proliferasi dan
differensiasi Derajat
Apoptosis Histopatologi
Ekspresi VDR Angiogenesis Karsinoma
Invasi Payudara
Invasif Duktal

Usia Riwayat keluarga Fc. genetik Status hormonal ER/PR

: Variabel Bebas (ekspresi VDR)

: Variabel antara (proliferasi dan diferensiasi, apoptosis, angiogenesis,


invasi

: Variabel tergantung (derajat histopatologi karsinoma payudara


invasive duktal

: Variabel moderator (usia, Riwayat keluarga, genetic, status hormonal)

HIPOTESA
Terdapat perbedaan ekspresi Vitamin D Reseptor (VDR) antara

berbagai derajat histopatologi yaitu: - ekspresi VDR pada karsinoma

payudara derajat baik lebih tinggi dibandingkan derajat sedang, dan

derajat buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Alipour, S., Hadji, M., Hosseini, L., Omranipour, R., Saberi, A., Seifollahi, A.,
Bayani, L. & Shirzad, N. (2014) Levels Of Serum 25-Hydroxy-Vitamin
D In Benign And Malignant Breast Masses. Asian Pac J Cancer Prev,
15, 129-32.
Coussens, L. M. & Werb, Z. (2015) Inflammation And Cancer. Nature, 420, 860-
7.
Crew, K. D., Gammon, M. D., Steck, S. E., Hershman, D. L., Cremers, S.,
Dworakowski, E., Shane, E., Terry, M. B., Desai, M., Teitelbaum, S. L.,
Neugut, A. I. & Santella, R. M. (2015) Association Between Plasma 25-
Hydroxyvitamin D And Breast Cancer Risk. Cancer Prev Res (Phila), 2,
598-604.
Deeb, K. K., Trump, D. L. & Johnson, C. S. (2015) Vitamin D Signalling
Pathways In Cancer: Potential For Anticancer Therapeutics. Nat Rev
Cancer, 7, 684- 700.
Desantis, C., Siegel, R. & Jemal, A. (2013) Breast Cancer Facts And Figures 2013.
America Cancer Society Inc.
Dusso, A. S., Brown, A. J. & Slatopolsky, E. (2015) Vitamin D. Am J Physiol
Renal Physiol, 289, F8-28.
Ellis, I. O., Schnitt, S. J., Sastre-Garau, X., Bussolati, G., Tavassoli, F. A., Eusebi,
V., Peterse, J. L., Mukai, K., Tabar, L., Jacquemer, J. & Sapino, A.
(2013) Invasive Breast Carcinoma. In In Devilee, F. A. T. A. P. (Ed.)
World Health Organization Classification Of Tumours Pathology And
Genetics Tumours Of The Breast And Female Genital Organs. France,
Iarc Press.
Ellis, I. O., Collins, L., Ichihara, S. & Macgrogan, G. (2013) Invasive Carcinoma
Of No Special Type. In Lakhani, S. R., Ellis, I. O., Schinitt, S. J., Tan, P.
H. & Van De Vijver, M. J. (Eds.) Who Classification Of Tumours Of The
Breast.
Fleet, J. C., Desmet, M., Johnson, R. & Li, Y. (2015) Vitamin D And Cancer: A
Review Of Molecular Mechanisms. Biochem J, 441, 61-76.
Gandini, S., Boniol, M., Haukka, J., Byrnes, G., Cox, B., Sneyd, M. J., Mullie, P.
& Autier, P. (2014) Meta-Analysis Of Observational Studies Of Serum
25- Hydroxyvitamin D Levels And Colorectal, Breast And Prostate
Cancer And Colorectal Adenoma. Int J Cancer, 128, 1414-24.
Gupta, D., Vashi, P., Trukova, K., Lis, C. G. & Lammersfeld, C. A. (2015)
Prevalence Of Serum Vitamin D Deficiency And Insufficiency In
Cancer: Review Of The Epidemiological Literature. Exp Ther Med, 2,
181-93.
Guyton, K. Z., Kensler, T. W. & Posner, G. H. (2013) Vitamin D And Vitamin D
Analogs As Cancer Chemopreventive Agents. Nutr Rev, 61, 227-38.
Hirata, B. K. B., Maeda Oda, J. M., Guembarovski, R. L., Arisa, C. B., De Oliviera,
C. E. C. & Watanabe, M. A. E. (2014) Molecular Markers For Breast
Cancer: Prediction On Tumor Bahavior. Hindawi Publishing
Corporation, 2014.
Holick, M. F. & Chen, T. C. (2014) Vitamin D Deficiency: A Worldwide Problem
With Health Consequences. Am J Clin Nutr, 87, 1080s-6s.
Huang, Q., Liao, Y., Ye, X., Fu, J. & Chen, S. (2014) Association Between Vdr
Polymorphisms And Breast Cancer: An Updated And Comparative
Meta- Analysis Of Crude And Adjusted Odd Ratios. Asian Pac J Cancer
Prev, 15, 847-852.
Khan, M. I., Bielecka, Z. F., Najm, M. Z., Bartnik, E., Czarnecki, J. S., Czarnecka,
A. M. & Szczylik, C. (2014) Vitamin D Receptor Gene Polymorphisms
In Breast And Renal Cancer: Current State And Future Approaches
(Review). Int J Oncol, 44, 349-63.
Koboldt Dc. (2014) Comprehensive Molecular Portraits Of Human Breast
Tumours. Nature, 490, 61-70.
Lester, S. C. (2014) Pathologic Basic Of Disease. In V, K. (Ed.) The Breast. 8 Ed.
Philadelphia, Saunders Elsevier.
Leyssens, C., Verlinden, L. & Verstuyf, A. (2013) Antineoplastic Effects Of
1,25(Oh)2d3 And Its Analogs In Breast, Prostate And Colorectal Cancer.
Endocr Relat Cancer, 20, R31-47.
Lopes, N., Sousa, B., Martins, D., Gomes, M., Viera, D., Veronese, L. A.,
Milanezi, F., Paredes, J., Costa, J. L. & Schmitt, F. (2015) Alterations In
Vitamin D Signalling And Metabolic Pathways In Breast Cancer
Progression: A Study Of Vdr, Cyp27b1 And Cyp24a1 Expression In
Benign And alignant Breast Lesions Vitamin D Pathways Unbalanced
In Breast
Lesions. Bmc Cancer, 10, 483
Lopes, N., Paredes, J., Costa, J. L., Ylstra, B. & Schmitt, F. (2015)
Vitamin D And The Mammary Gland : A Review On Its Role In
Normal Development And Breast Cancer. Breast Cancer
Research, 14, 211.
Mantell, D. J., Owens, P. E., Bundred, N. J., Mawer, E. B. & Canfield, A.
E. (2017) 1 Alpha,25-Dihydroxyvitamin D(3) Inhibits
Angiogenesis In Vitro And In Vivo. Circ Res, 87, 214-20.
Narvaez, C. J., Matthews, D., Laporta, E., Simmons, K. M., Beaudin, S. &
Welsh, J. (2014) The Impact Of Vitamin D In Breast Cancer:
Genomics, Pathways, Metabolism. Frontiers In Physiology, 5.
Robbins. & Cotran. (2014) Pathologic Basic Of Disease. In Lester, C. S.
(Ed.) The Breast. 8 Ed. Philadelpia, Saunders, Elsevier Inc.
Rosai, P. P. (2013) Rosai And Ackermans Surgical Pathology. In Rosai,
J. (Ed.) Breast. China, Mosby Elsevier.
Rosen, P. P. (2014) Rosen's Breast Pathology. 3 Ed. New York, Lippincott
William & Wilkins.
Siegel, R., Naishadham, D. & Jemal, A. (2013) Cancer Statistics, 2013. A
Cancer Journal For Clinicians, 63, 11-30.
Sotiriou, C. & Pusztai, L. (2013) Gene-Expression Signatures In Breast
Cancer. N Engl J Med, 360, 790-800.
Vuolo, L., Di Somma, C., Faggioano, A. & Colao, A. (2014) Vitamin
D And Cancer. Frontiers In Endocrinology, 3, 58.
WHO (2014) Vitamin D And Cancer. Iarc Working Group Reports, 5.
Yin, L., Grandi, N., Raum, E., Haug, U., Arndt, V. & Brenner, H. (2015)
Meta- Analysis: Serum Vitamin D And Breast Cancer Risk. Eur J
Cancer, 46, 2196-205.
Zinser, G. M. & Welsh, J. (2014) Vitamin D Receptor Status Alters
Mammary Gland Morphology And Tumorigenesis In Mmtv-Neu
Mice. Carcinogenesis, 25, 2361-72.

Anda mungkin juga menyukai