Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN EKOKRITIK PADA NOVEL

Disusun oleh : 1. Adelia Rizky (2113041074)

2. Jove Zetiya Aurelia Putri Joe (2113041080)

3. Luthvi Aulia Sahira (2113041008)

4. Maria Widhi Majesta Adiwena (2113041014)

5. Olivia Ananda Salsabila (2113041020)

Mata kuliah : Kajian Prosa

Kelompok :9

Dosen Pengampu : 1. Dr. Edi Suyanto, M.Pd.

2. Muharsyam Dwi Anantama, M.Pd.

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, atas rahmat serta karunia-Nya sehingga
makalah berjudul Kajian Ekokritik Pada Novel dapat kami selesaikan dengan tepat waktu.
Salawat serta salam, tak lupa kami limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini dibuat untuk melengkapi nilai tugas Mata Kuliah Kajian Prosa. Diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai materi yang terdapat dalam
makalah ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik
secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga makalah ini dapat selesai. Kami
menyadari makalah yang kami buat masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang
membangun akan sangat membantu bagi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 29 April 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………
KATA PENGANTAR............................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 2

1.2 Rumusan Masalah3

1.3 Tujuan...............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN 4

2.1 Pengertian Ekokritik Sastra 5

2.2 Model Kajian Sastra Lingkungan 6

2.3 Model Kajian Etis………………………………………………………………......................

2.4 Analisis……………………………………………………………...............................

BAB III PENUTUP................................................................................................

3.1 Kesimpulan........................................................................................................

3.2 Saran...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan bentuk ungkapan dari pengarang yang berupa pemikiran,
gagasan, ataupun pengalaman yang diwujudkan dalam gambaran konkret sebagai suatu bentuk
kreativitas. Sumardjo & Saini (1997: 3-4) mengatakan bahwa sastra adalah ungkapan manusia
berupa pengalaman pemikiran, perasaan, ide, semangat dan keyakinan dalam bentuk gambaran
konkret yang membangun pesona menggunakan alat Bahasa. Berdasarkan pendapat tersebut,
terlihat bahwa karya sastra mempunyai unsur-unsur berupa pemikiran, ide, dan gagasan.

Kajian berprespektif sastra (lingkungan) dalam ekokritik dapat mengonstruksi paras


sastra (kearifan) lingkungan, sedangkan kajian berprespektif etis pada telaah ekokritik dapat
mendeskripsikan nilai-nilai kearifan terhadap lingkungan.

Pada bahasan sastra lingkungan akan menghasilkan 1). Konstuksi naratif sastra
lingkungan dengan unsur penting 2). Adanya lingkungan/alam dengan tema yang sesuai dan 3).
Tema lingkungan sebagai orientasi etis teks.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud ekokrtik sastra?


2. Apa saja model-model kajian sastra lingkungan?
3. Apa yang dimaksud dengan model kajian etis?
4. Bagaimana ekokritik sastra digunakan dalam karya sastra terutama pada novel?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa itu ekokritik sastra.


2. Mengetahui apa saja model-model kajian sastra lingkungan.
3. Mengetahui apa itu model kajian etis.
4. Mengetahui bagaimana ekokritik sastra digunakan dalam karya sastra.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ekokritik Sastra

Ekokritik sastra merupakan kritis pada pendekatan mutakhir sastra. Kedudukan


multidisipliner ekrotik sastra (ekologi dan sastra) menentukan kehadiran, kebersamaan, dan
kesatupaduan dari berbagai teori yang relevan dalam masalah kajian sastra, dan lingkungan,
yaitu teori kritis, kritik sastra, teori kebudayaan, dan teori etika lingkungan (ekologi).

Ekokritik adalah teori baru yang mengkaji relasi antara sastra dengan lingkungan hidup.
Ekokritik berasal dari kata Yunai eikos yang memiliki arti “rumah” dan logos berarti “ilmu”.
Ekokritik memiliki pandangan yang menyatakan: alam menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari manusia telah dieksploitasi oleh manusia itu sendiri demi kepentingan ekonomi dan politik.
(Dewi, 2014) mengatakan bahwa ekokritik secara operasional didefinisikan sebagai kajian
tentang hubungan antara sastra dengan lingkungan fisik yang timbul disebabkan oleh krisis
lingkungan global beserta upaya praktis maupun secara teoritis untuk memperbaiki krisis
tersebut.

Garrad (2004) menyatakan bahwa ecocriticisme merupakan kajian tentang hubungan


antara manusia dan non manusia, sejarah manusia dengan budaya yang berkaitan dengan analisis
kritis manusia dengan lingkungannya. Menurut (Glotfelty, 1996) ekokritik sastra adalah studi
yang mengkaji hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Oleh sebab itu, ecocriticism adalah
ilmu yang menyelidiki bagaimana manusia menyajikan dan mendeskripsikan keterkaitan
manusia dengan lingkungannya dalam hasil budaya. Garrad (2004) menyatakan bahwa gerakan
lingkungan modern sudah menyoroti beberapa isu-isu lingkungan, yaitu: a). polusi, b). alam liar,
c). musibah/bencana, d). ekosistem, e). hewan dan f). tanah. Oleh sebab itu, ecocriticism
diartikan sebagai kajian sinergisasi antara lingkungan fisik dan sastra.

Jadi, ekokritik sastra adalah teori baru yang mengkaji relasi antara sastra dengan
lingkungan hidup yang disebabkan adanya krisis lingkungan global beserta upaya untuk
memperbaiki krisis tersebut.
2.2 Model-Model Kajian Ekokritik Sastra

Terdapat dua model kajian ekokritik sastra, yaitu model kajian sastra lingkungan dan
model kajian etis (Sukmawan, 2016).

1. Model Kajian Sastra Lingkungan


a. Model Kajian Narasi Pastoral
Pastoral merupakan puisi atau drama yang mengisahkan interaksi antara para
pengembala dan pengembala lainnya, baik menceritakan tentang pengembalanya
maupun lingkungan pedesaan yang melingkupinya. Dalam pastoral, pengembala
menadi penanda penting sehingga terdapat pernyataan no shepherd, no pastoral.
Bentuk pastoral dapat dilihat dari sudut pandang pembaca sebagai bentuk pelarian
diri (retreat) menuju dan kembali (return) ke alam pedesaan atau kehidupan masa
lalu. Secara lebih khusus, pastoral dapat dipahami dari segi isi. Pastoral selalu
menjelaskan kehidupan di pedesaan yang bertentangan dengan kehidupan perkotaan
secara eksplisit dan implisit (Gifford, 1999:1 dalam Sukmawan, 2016: 14).
1) Telaah Unsur Bucolic ‘Pengembala’
Salah satu elemen penting yang ada di dalam karya pastoral adalah bucolic atau
dalam bahasa Yunani yaitu baucolos ‘pengembala’ yang disederhanakan lagi
‘pengembala’ berarti ‘dari desa’ tetapi implikasi penggunaannya diasosiasikan
dengan ‘pelawak’. Pada masa itu, banyak puisi yang melebih-lebihkan humor
dariprang pedesaan (Gifford, 1999:17 dalam Sukmawan, 2016: 14) Pembaca
terpelajar yang berasal dari kota kerap menganggap orang-orang desa sebagai
pelawak. Pengembala dan penggembalaan dipadankan dengan istilah bucolic
karena keduanya menjadi penanda penting dalam karya pastoral.

2) Telaah Unsur Konstruksi Arcadia


Ciri penting pastoral selanjutnya yaitu adanya unsur acardia dalam teksnya.
“Acardia adalah cara hidup yang diidealkan atau tempat yang diidealkan”
(Sukmawan, 2016: 15). Bentuk awal teks pastoral adalah Idylls (judul puisi
Theocritus), maka Idylls diasosiasikan dengan teks pastoral. Idylls berasal dari
bahasa Yunani yaitu eidyllion yang berarti smart picture yang berisi tulisan
pendek tentang sesuatu yang diidealkan. Idylls menggambarkan kehidupan
minimalis di desa dengan pemandangan dari kehidupan sehari-hari. Semakin
berkembang, istilah Idylls mulai digunakan secara umum dan tidak mengacu pada
bentuk puitika khusus. Tindakan tidak memetik buah dari pohonnya dapat disebut
sebagai Idylls (Gifford, 1999: 13-16 dalam Sukmawa, 2016: 15).

Ada tiga unsur di dalam konstruksi Acardia, yaitu (1) unsur Idylls yang
mendeskripsikan idealisasi nilai-nilai desa yang mengimplikasikan kritisme kota;
(2) unsur nostalgia, bentuk yang selalu melihat ke masa lalu; dan (3) unsur
Georgic, yang menggambarkan kenyamanan saat berkerja dengan alam.

3) Telaah Unsur Wacana Retreat dan Return


Pedesaan dalam teks pastoral adalah Acardia karena bahasa yang diidealisasikan.
Dapat dikatakan bahwa pastoral adalah wacana, yaitu penggunaan bahasa yang
mengonstruksikan dunia yang berbeda dari yang sebenarnya. Secara esensial,
pastoral berarti pelarian dari kerumitan kota, orang-orang di kota, masa kini, dan
tingkah laku. Tradisi pastoral mengacu pada asumsi bahwa teksnya tidak
mencerminkan komunikasi yang sebenarnya. (Gifford, 1999: 45-46 dalam
Sukmawan, 2016: 15).

b. Model Kajian Narasi Apokaliptik


Karakteristik umum yang ada dalam teks sastra apokaliptik adalah (1) penulis sering
menggunakan orang-orang besar di masa lalu dan menjadikannya pahlawan dalam
cerita; (2) pahlawan akan melewati sebuah perjalanan dengan pemandu yang akan
menunjukkan padanya pemandangan yang menarik dan memberikan komentarnya;
(3) informasi sering disajikan dalam bentuk visi; (4) visi diungkapkan dengan cara
yang aneh dan penuh teka-teki; (5) visi sering bersifat pesimis sehubungan dengan
kemungkinan bahwa intervensi manusia akan memperbaiki situasi saat ini; (6) visi
biasanya berakhir dengan Tuhan yang membawa ke kehancura dahsyat akhir dan
membangun situasi yang lebih baik; (7) penulis apokaliptik kerap menggunakan nama
samara, mengeklaim bahwa dia menulis demi pahlawan yang dipilihnya; (8) penulis
kerap mengambil sejarah masa lalu dan menuliskannya kembali sehingga seoalh-olah
terlihat seperti ramalan; dan (9) fokus apokaliptik adalah menghibur dan
mempertahankan “sang pembela kebenaran”. (Carter, 2007:4 dalam Sukmawan,
2016: 16).
1) Telaah Unsur Karakter Pahlawan
Phlawan adalah salah satu karakteristik sastra apokaliptik. Dalam sastra
apokaliptik, seorang pahlawan digambarkan melakukan perjalanan bersama
pemandu. Oleh sebab itu, pemilihan karakter pahlawan dalam apokaliptik
dilakukan dengan pengamatan terhadap (1) pemilihan beberapa tokoh besar di
masa lalu dan menjadikannya pahlawan dalam cerita; (2) naras perjalanan sang
pahlawan disertai oleh pemandu surgawi; (3) umumnya, pemandu dalam cerita
menunjukkan pada sang pahlawan pemandangan yang menarik dan memberikan
komentarnya (Morris, 1972 dalam Sukmawan, 2016: 16).

2) Telaah Unsur Lingkungan Apokaliptik


Diklaim oleh Ehrlich (1996: 52), lingkungan apokaliptisme bukan langkah
mengantisipasi akhir dunia, melainkan mencegah hal tersebut dengan cara yang
persuasif. Lingkungan apokaliptik dapat ditelaah melalui pengamatan terhadap (1)
narasi tentang kilasan dunia yang berubah (Thompson, 1997: 13-14 dalam
Sukmawan, 2016: 16); (2) narasi mengandung narasi yang persuasif untuk
mencegah akhir dunia, bukan mengantisipasi akhir dunia (Garrard, 2004: 99
dalam Sukmawan, 2016: 16); (3) terdapat kesadaran bahwa manusia sebagai
bagian dari alam melakukan hal terbaik dengan mengakui keajaiban alam; dan (4)
mengandung kesadaran untuk menolak dorongan untuk memaksakan kehendak
atas alam (Janik 1995: 107 dalam Sukmawan, 2016: 16).

3) Telaah Unsur Visi atau Ramalan


Telaah unsure visi atau ramalan dapat dilakukan dengan menganalisis (1) wujud
informasi apokaliptik yang disampaikan lewat mimpi; (2) visi disampaikan
dengan teka-teki atau simbol; (3) sifat pesimistis visi sejalan dengan kemungkinan
bahwa intervensi manusia akan memperbaiki situasi saat ini; dan (4) narasi
merupakan adaptasi dari sejarah masa lalu sehingga terlihat seolah-olah itu
ramalan.

2.3 Model Kajian Etis

Model kajian etis (etiket) membahas nilai dan prinsip moral yang dipatuhi masyarakat
tertentu untuk pedoman dan kriteria untuk perilaku manusia. Nilai yang dianut sebagai kebiasaan
untuk hidup yang baik, diwarisakan lewat agama dan kebudayaan sebagai sumber utama. Etiket
membutuhkan sarana dan media untuk berekspresi. Sarana tersebut berupa bahasa dan
nonbahasa. Sedangkan media yang dibutuhkan berbentuk karya sastra. Oleh karena itu, etiket
dapat terekspresikan lewat bahasa dengan beragam bentuk. Salah satu bentuk etiket adalah etiket
lingkungan atau kearifan lingkungan.

Kearifan lingkungan lebih dahulu dikenal sebelum istilah kearifan lokal. Kearifan
lingkungan adalah sikap dan prilaku khusus masyarakat lokal, sehingga konsep popular yang
terkenal adalah kearifan lokal. Kearifan lokal mempunyai berbagai istilah, yaitu local genius
(H.G. Quaritch Wales), cultural identity atau kepribadian budaya bangsa (Haryati Soebadio),
kepribadian kebudayaan lokal (Mundardjito), cerlang budaya (Ayatrohaedi), identitas bangsa,
identitas kebudayaan (Soediman), indigenous knowledge (Semail dan Kincheloe).

Kearifan lokal memiliki pengertian yang mengutamakan aspek ikhwal, bentuk atau wujud,
ciri-ciri, fungsi, pola pewarisan dan wujud ekspresi, dan hasil.

a. Aspek Ikhwal
Soemarwoto (dalam Sukmawan, 2016:18) mengatakan kearifan lokal adalah akumulasi
pengalaman dan pembelajaran yang terus berlangsung dalam waktu jangka panjang dari
generasi ke generasi. Hasil akumulasi tersebut adalah pemahaman terhadap kondisi suatu
lingkungan.
b. Aspek Bentuk atau Wujud
Pitoyo (dalam Sukmawan, 2016:18) berpendapat bahwa kearifan merupakan bentuk
kemauan untuk melihat, merasakan, menggagas, dan patuh pada norma-norma.
Kemudian Keraf (dalam Sukmawan, 2016: 18) mengatakan bahwa kearifan tradisional
menuntun perilaku manusia di kehidupan pada komunitas ekologis. Jadi, kearifan
tradisional menyangkut pengetahuan adat, relasi baik antarmanusia, dan penghuni
kelompok ekologi.
c. Aspek Ciri-Ciri (Karakteristik)
Matowanyika (dalam Sukmawan, 2016:19) berpendapat bahwa sistem kearifan
tradisional berlandaskan beberapa karakter penggunaan sumberdaya, yaitu sepenuhnya
pedesaan, dilandaskan atas produksi lingkungan fisik setempat, integrase nilai ekonomi,
sosial, serta budaya, distribusi yang mendorong kerjasama, sistem pemilikan sumberdaya,
dan pengetahuan serta pengalaman lokal. Kemudian menurut Rahayu (dalam Sukmawan,
2016:19) ciri-ciri yang melekat adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan, dan diterima
oleh masyarakatnya. Selanjutnya, Poespowardjojo mengatakan kearifan lokal memiliki
prinsip yaitu mampu bertahan terhadap budaya luar, mempunyai kemampuan
akomodatif, kemampuan integrative, pengendalian, dan memberi arah perkembangan
budaya.
d. Aspek Fungsi
Putra (dalam Sukmawan, 2016:20) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah perangkat
pengetahuan dan praktik-praktik dari generasi sebelumnya dan pengalaman lingkungan,
dan masyarakat yang menyelesaikan secara baik dan benar atas kesulitan yang dialami.
e. Aspek Pewarisan dan Wujud Ekspresi
Semail dan Kincheloe (dalam Sukmawan, 2016:19-20) berpendapat bahwa pengetahuan
insigenous tersimpan dalam ingatan masyarakat dan aktivitas masyarakat. Pengetahuan
ini dalam bentuk cerita rakyat, lagu, peribahasa, tarian, mitos, nilai-nilai budaya,
kepercayan, ritual, masyarakat hukum, bahasa lokal, praktik pertanian, peralatan, bahan,
jenis tanaman, dan jenis hewan. Selanjutnya, pengetahuan insigenous disampaikan lewat
lisan, melalui contoh khusus dan melalui budaya.
f. Aspek Hasil
H.G. Quaritch Wales (dalam Sukmawan, 2016:20) mengartikan kearifan lokal merupakan
keseluruhan ciri-ciri kebudayaan suatu masyarakat sebagai hasil pengalaman pada masa
lampau. Salim (dalam Sukmawan, 2016:20) mengatakan bahwa kearifan lokal
merupakan hasil refleksi yang secara terus menerus berkaitan dengan interaksi manusia
dengan lingkungan dan memiliki hasil dalam bentuk etika, sikap-kelakuan, pola hidup,
dan tradisi positif.
Dari berbagai pengertian aspek di atas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan
perangkat pengetahuan dan hasil refleksi intensif masyarakat pada alam sehingga memunculkan
etika, tata nilai dan prinsip-prinsip yang bermanfaat, selain itu, dapat dikatakan bahwa kearifan
lokal memiliki hubungan yang erat antara masyarakat dengan alamnya sehingga secara jelas jika
terdapat permasalahan lingkungan disebabkan oleh kesalahan manusia yang tidak menjadikan
kearifan lokal sebagai landasan etis tingkah lakunya.

2.4 Analisis Ekokritik Sastra Pada Novel

Analisis Ekokritik dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata


Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata mengisahkan tentang kehidupan sekelompok anak-
anak di sebuah desa kecil di Belitung yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Dalam novel ini, terdapat beberapa unsur ekologi dan lingkungan yang menjadi latar belakang
cerita. Oleh karena itu, dapat dilakukan analisis ekokritik dalam novel Laskar Pelangi.

Pertama, dalam novel ini terdapat deskripsi tentang alam dan lingkungan sekitar. Misalnya,
cerita tentang pantai yang indah dan mengagumkan, hutan belantara yang luas dan menakjubkan,
serta sungai yang jernih dan bersih. Deskripsi ini memberikan gambaran tentang keindahan alam
Belitung dan menggambarkan betapa pentingnya alam dalam kehidupan manusia.

Kedua, novel ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan alam. Dalam novel ini,
hubungan manusia dengan alam dijelaskan sebagai hubungan saling ketergantungan. Contohnya,
nelayan di desa tersebut bergantung pada laut dan ikan untuk hidup mereka. Selain itu, keadaan
lingkungan juga memengaruhi kehidupan manusia, seperti saat terjadi banjir dan angin topan
yang memporak-porandakan desa tersebut.

Ketiga, novel Laskar Pelangi juga menggambarkan dampak kegiatan manusia terhadap
lingkungan. Dalam novel ini, kegiatan penambangan timah yang dilakukan oleh perusahaan
besar telah merusak lingkungan Belitung. Air sungai dan laut tercemar oleh limbah
penambangan dan hutan belantara yang menjadi tempat hidup binatang liar juga terancam punah
karena penggundulan hutan yang dilakukan oleh perusahaan penambangan tersebut. Dari analisis
ekokritik di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa novel Laskar Pelangi bukan hanya sekadar
mengisahkan kisah-kisah kehidupan manusia, tetapi juga menggambarkan hubungan manusia
dengan alam dan dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan. Oleh karena itu, novel ini dapat
menjadi bahan pembelajaran yang baik dalam memahami pentingnya menjaga lingkungan dan
menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.

1. Peran Latar Fisik (Lingkungan) dalam Novel laskar pelangi karya Andrea Hirata.

Latar fisik atau lingkungan dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata memainkan peran
penting dalam membentuk cerita dan karakter-karakter di dalamnya. Novel ini mengambil
setting di desa Gantong, Belitung Timur, sebuah daerah di kepulauan Bangka Belitung yang
terkenal dengan keindahan alamnya. Beberapa peran latar fisik dalam novel Laskar Pelangi
adalah

a) Memperlihatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Melalui gambaran lingkungan


sekitar, pembaca dapat melihat bagaimana kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di
Belitung Timur. Lingkungan yang kurang mendukung seperti fasilitas pendidikan yang
minim, jalan yang rusak, dan minimnya lapangan pekerjaan menjadi faktor yang
memengaruhi kehidupan para tokoh dalam novel.
b) Memperlihatkan nilai-nilai lokal: Lingkungan juga menjadi wadah bagi penggambaran
nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat di Belitung Timur, seperti kerukunan
antarwarga, gotong royong, dan rasa saling menghargai.
c) Memengaruhi karakter para tokoh: Lingkungan juga memengaruhi karakter para tokoh
dalam novel. Misalnya, Ikal dan sahabat-sahabatnya yang tumbuh besar di sebuah desa
terpencil memiliki semangat yang tinggi untuk belajar karena lingkungan mereka yang
kurang mendukung, sedangkan Lintang, yang berasal dari keluarga berada, tidak
memiliki semangat belajar yang tinggi karena ia hidup di lingkungan yang lebih
memadai.

Peran latar fisik dalam novel Laskar Pelangi bukan hanya sebagai tempat terjadinya cerita, tetapi
juga sebagai elemen yang penting dalam membentuk karakter dan pesan yang ingin disampaikan
oleh pengarang.

2. Hubungan Manusia dengan Lingkungan dalam Novel laskar pelangi karya Andrea
Hirata.
Pada novel ini, hubungan manusia dengan lingkungan sangatlah penting karena
lingkungan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan para tokoh dalam novel. Di
Belitung, lingkungan alam yang keras dan berbatu serta angin laut yang kencang menjadi
tantangan bagi para tokoh dalam novel. Namun, mereka tetap berjuang dan hidup berdampingan
dengan alam. Mereka mengambil manfaat dari lingkungan sekitar, seperti memanfaatkan batu-
batu yang ada di pantai sebagai bahan bangunan atau memanfaatkan ikan sebagai sumber
makanan. Namun, pada saat yang sama, manusia juga mempengaruhi lingkungan sekitar mereka.
Di novel ini, para tokoh memperlihatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.
Mereka menjaga kebersihan pantai dan membuang sampah pada tempatnya.

Hubungan manusia dengan lingkungan alam juga mempengaruhi kesehatan para tokoh.
Ketika salah satu tokoh jatuh sakit akibat serangan jantung, dia diobati dengan ramuan
tradisional yang berasal dari lingkungan sekitar. Dalam keseluruhan, hubungan manusia dengan
lingkungan sangatlah penting dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Para tokoh hidup
dan bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitar dan pada saat yang sama
juga menjaga kelestarian lingkungan.

3. Nilai - nilai yang sesuai dengan kearifan ekologis dalam Novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata

Pada novel laskar pelangi karya Andrea Hirata terdapat nilai kearifan ekologis pada
masyarakat Belitong. Umumnya masyarakat Belitong bekerja sebagai kuli PN timah, kuli kopra,
nelayan, pedagang dan pegawai negeri. Dalam novel ini mendeskripsikan tentang bagaimana PN
timah mengeksploitasi alam dari tanah Belitong berupa timah secara besar – besaran, tidak hanya
itu, PN timah juga memonopoli beberapa lahan eksploitasi, alasanya agar tidak terbatas dengan
membayar royalty kepada pemerintah. Eksploitasi timah secara besar – besaran ini menyebabkan
kerusakan terhadap ekosistem pada daerah penambangan, selain itu alat berat yang digunakan
untuk mengeruk timah mengeluarkan suara besar sehingga menyebabkan polusi suara. Pola pikir
tokoh dalam novel ini terlihat dari ketelitian tokoh dalam mengamati ekosistem tentang sebab
dan akibat yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan di Belitong.

Dalam nilai adat istiadat pada masyarakat Belitong, komunitas warga Belitong yang
beragama Tionghoa memiliki sifat rendah hati dan juga pekerja keras. Dalam kesehariannya
masyarakat Belitong tekun dalam bekerja untuk mendapatkan upah yang sebanding dengan
pekerjaanya. Kebijakan hidup yang dianut oleh orang melayu pada masyarakat belitong memiliki
kepribadian yang sederhana, kebijakan tersebut di perolehnya dari guru mengaji dan juga dari
orang – orang tua di surau. Kebudayaan orang melayu menyukai iramam musik semenanjung,
rebana dan juga pantun. Sedangkan terdapat orang Sawang dalam novel ini diceritakan sebagai
pekerja buruh yuka atau pekerja strata rendah di Gudang beras, namun orang sawang ini bekerja
dengan jujur dan memiliki etos kerja yang tinggi.

Nilai ekologis lainnya yaitu mitos, mitos dalam novel ini berkaitan dengan alam. Kutipan yang
berkaitan dengan mitos ini sebagai berikut:

“Pelangi sebenarnya adalah Lorong waktu”

“jika kita berhasil melintasi pelangi itu maka kita akan bertemu dengan orang – orang Belitong
tempo dulu dan juga nenek moyang orang – orang Sawang”

Mitos tersebut pada kutipan yang pertama memiliki arti bahwa pelangi adalah sebuah
Lorong waktu, sedangkan pada kutipan yang kedua memiliki arti jika berhasil melintasi pelangi
maka akan bertemu dengan orang zaman dahulu. Selain mitos juga terdapat kepercayaan dari
masyarakat Tionghoa di Belitong, misalnya pada perayaan upacara Chiong Si Ku atau biasa
disebut sembahyang rebut, dalam kepercayaan tersebut diyakini bahwa apabila sesorang
mendapatkan tali pada tumpukan orang – orang tersebut maka akan memperoleh keberuntungan
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Ekokritik sastra adalah teori baru yang mengkaji hubungan sastra dengan lingkungan
fisik. ecocriticism adalah ilmu yang menyelidiki bagaimana manusia menyajikan dan
mendeskripsikan keterkaitan manusia dengan lingkungannya dalam hasil budaya. Dalam kajian
ekokritik terdapat dua model kajian, yaitu 1). Model kajian sastra lingkungan dan 2). Model
Kajian Narasi Apokaliptik. Dalam model kajian etis terdapat nilai dan prinsip moral yang harus
dipatuhi oleh masyarakat tertentu sebagai pedoman dan kriteria perilaku manusia. Etiket
membutuhkan sarana dan media untuk berekspresi. Etiket dapat diekspresikan lewat bahasa
dengan berbagai bentuk. Salah satu bentuk etiket adalah etiket lingkungan atau kearifan
lingkungan.

3.2 Saran

Penyusun menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari
kesempurnaan. Tentunya, penyusun akan terus memperbaikinya dengan mengacu pada berbagai
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penyusun
sangatmengharapkan kritik dan saran terkait pembahasan makalah kelompok kami.
DAFTAR PUSTAKA

Khomisah. 2020. Ekokritik Dalam Perkembangan Kajian Sastra. Al-Tsaqafa. Vol. 17, No. 1.

Novita Dewi. 2016. Ekokritik Dalam Sastra Indonesia: Kajian Sastra Yang Memihak.
Adabiyyat. Vol. XV, No. 1.

Nurul, Putri. 2018. Kajian Ekologi Sastra (Ekokritik) Dalam Antologi Puisi Merupa Tanah Di
Ujung Timur Jawa. Eksplorasi Bahasa.

Sukmawan, Sony. 2016. Ekokritik Sastra: Menanggap Sasmita Acardia. Malang: UB Press.

Sukmawan, Sony. 2013. Model-model Kajian Ekokritik Sastra. Pascasarjana UM.

Anda mungkin juga menyukai