Anda di halaman 1dari 12

ISTIFTA UNTUK BULAN APRIL 2023

1. Sa'i kurang satu kali karena lupa lalu tahalul, apakah harus menambah sa'inya kemudian
tahalul lagi? Jamaah WA

Jawaban:

Mencermati pertanyaan di atas, perlu dijelaskan tentang kekurangan bilangan dalam pelaksanaan sa’i
karena lupa.

Lupa bilangan dalam pelaksanaan sa’i dapat dipastikan selisihnya adalah dua, berbeda dengan ketika
lupa bilangan dalam pelaksanaan thawaf dapat dipastikan selisihnya satu. Maksudnya ketika berjalan
dari Shafa ke Marwah bilangannya ganjil, begitupun sebaliknya ketika berjalan dari Marwah ke Shafa
bilangannya genap. Jadi, ketika tiba di Marwah bilangannya adalah satu, tiga, lima, atau tujuh.
Sedangkan ketika berada di Shafa bilangannya adalah dua, empat atau enam.

Adapun pertanyaan yang dimaksud penanya adalah bagaimana sudah tahallul namun baru ingat
bahwasanya dalam pelaksanaan sa’i kurang bilangannya. Apakah harus menambah sa’inya kemudian
tahallul lagi.

Jawaban:

Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah (Al Baqarah: 196)

Allah berfirman :

Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah (QS Al-Baqarah : 158)

Dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash “Bahwasanya Rasulullah Saw berdiri di Mina tatkala haji wada’
(yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah dalam riwayat yang lain “di sisi jamratul Áqobah”)
memberi kesempatan kepada manusia untuk bertanya kepada beliau. Maka ada seseorang berkata,
“Wahai Rasulullah, aku tidak sadar maka akupun mencukur rambutku sebelum aku menyembelih”.
Maka Nabi berkata, “Sembelihlah dan tidak mengapa”. Lalu datang orang lain dan berkata, “Wahai
Rasulullah aku tidak sadar, ternyata aku menyembelih sebelum aku melempar jamrotul Áqobah?”. Maka
Nabi berkata, “Lempar saja dan tidak mengapa”. Maka tidaklah Nabi Saw pada hari itu
ditanya sesuatupun yang dimajukan atau dimundurkan kecuali beliau berkata, “Lakukan saja
tidak mengapa” (HR Al-Bukhari 1736 dan Muslim no 1306)

Bahan Sidang Bukan Putusan


Kesimpulan:

Apabila seseorang kekurangan bilangan sa’i karena lupa padahal ia telah melakukan tahallul, maka
laksanakan kekurangan bilangan sa’inya kemudian tahallul lagi.

2. Apakah infus, suntik, obat asma semprot, obat yang dimasukan ke dubur dan
mengeluarkan mani dengan sengaja membatalkan saum? Jamaah WA.

Jawaban:
Berdasarkan keterangan Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Saw. bahwa yang membatalkan saum itu
hanya ada tiga; makan, minum dan jimak. Sebagaimana dalil-dalil berikut:

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar... (Al-Baqarah: 187)

Dari Abu Hurairah ra.; Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "... Demi Dzat yang jiwaku berada di
tanganNya, sungguh bau mulut orang yang sedang shaum lebih harum di sisi Allah Ta'ala dari pada
harumnya minyak misik, karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya
karena Aku. Shaum itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan membalasnya dan setiap satu kebaikan
dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa". (HR Al-Bukhari)

Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw. bersabda: "Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum
(ketika sedang berpuasa) maka hendaklah dia meneruskan puasanya karena hal itu berarti Allah telah
memberinya makan dan minum". (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makan, minum dan jimak pada
siang hari yang dilakukan dengan unsur kesengajaan adalah membatalkan saum. Tetapi jika ketiga
perkara itu dilakukan atas dasar lupa atau tidak sengaja maka tidak membatalkan saum.
Adapun infus, suntikan, obat asma yang disemprotkan maupun obat yang dimasukan ke dubur semua itu
tidak termasuk kepada al-mufthiraat (pembatal-pembatal saum).
Al-Ustadz A. Hassan mengatakan, “Adapun hal pompa lobang kencing, injeksi dengan obat yang masuk
pada sekalian urat-urat dan juga pompa lobang buang air besar dengan air sabun, itu sekalian tidak
masuk pada bilangan makan, minum atau bercampur laki-istri. Oleh sebab itu tak dapat dikatakan batal
saum dengan perbuatan-perbuatan itu.” (Soal-jawab A. Hassan I : 231}
Sedangkan perbuatan mengeluarkan air mani dengan sengaja (onani/masturbasi) atau dalam bahasa fiqih
disebut dengan istilah al-istimna (mengeluarkan mani dengan cara yang tidak lazim), dimungkinkan
dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Jika pelakunya laki-laki, biasanya dilakukan oleh
tangannya (an-naakihu bi yadih) atau dalam istilah bahasa Arabnya disebut dengan kata al-jalhah atau
jaldu umirah. Tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan oleh kaum wanita dikenal dengan nama ilthaaf.

Bahan Sidang Bukan Putusan


Perbuatan onani atau istimna ini tidak dapat dihukumi sebagai perbuatan zina. Namun demikian bukan
berarti perbuatan itu halal atau dibolehkan. Bahkan perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan keji
dan berbahaya bagi kesehatan, sebab dapat mengakibatkan kelemahan otak, kemalasan dan lain-lainnya
yang merupakan penyakit jiwa. (Lihat; Istifta Risalah KHE. Abdurrahman No.77 - 78 Th: VIII)
Syariat memerintahkan bahwa bagi mukmin diwajibkan untuk memelihara kehormatannya, kecuali pada
istri-istrinya atau hamba sahaya yang dimilikinya. Allah Swt. berfirman:

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di
balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mukminun: 5-7)
Ayat ini menyatakan bahwa perbuatan semacam onani atau istimna itu suatu pelanggaran dan
menyimpang dari ketentuan Allah Swt. dan hukumnya haram. Oleh karenanya pelaku perbuatan tersebut
wajib segera bertaubat kepada Allah Swt.
Kesimpulan:
1. Infusan, suntikan, obat asma yang disemprotkan, obat yang dimasukan ke dubur dan istimna, semua
itu tidak termasuk kepada mufthiraat (pembatal saum)
2. Perbuatan istimna hukumnya haram dan termasuk al-kabair (dosa besar).

3. Apakah makmum setiap mengucapkan takbir dan doa robana walakal hamdu harus jahar
atau sir? Yandi_Subang.

Jawaban:
Seseorang dijadikan imam shalat itu untuk diikuti. Oleh karena itu, Imam harus mengeraskan ucapan
Allahu Akbar nya sebagai komando untuk makmum mulai bergerak.

Dari Said bin Al-Haris, ia berkata,”Abu Said salat mengimami kami, lalu beliau menjaharkan takbirnya,
ketika bangkit dari sujud, ketika sujud, ketika bangkit dan ketika berdiri dari rakaat kedua, dan ia
berkata,”Demikianlah aku melihat Rasulullah saw.”. H.r. Al-Bukhari, 3:320
Makmum wajib mengikuti imam dan cara mengikutinya sudah ada ketetapan dari Nabi saw.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,”Nabi saw. bersabda,’Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti,
maka apabila imam takbir maka takbirlah kamu, apabila imam ruku maka ruku’lah kamu, apabila imam
mengucapkan “sami’allohu liman hamidah’ maka ucapkanlah “robbana walakal hamdu”, …Muttaf
‘Alaih, Nailul Authar, III:170

Dari Abu Hurairah, ia berkata,”Rasulullah saw. bersabda,’Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk
diikuti, apabila imam takbir hendaklah kamu takbir, apabila imam membaca hendaklah kamu diam, dan
apabila imam membaca “sami’allohu liman hamidah”, hendaklah ucapkan “Allohumma rabbana lakal
hamdu”. H.r. Al-Khamsah kecuali At-Tirmidzi.

Maksud hadis ini, apabila imam mengucapkan Allahu Akbar maka makmum wajib mengikuti
mengucapkan Allahu Akbar. Apabila imam membaca Alquran maka makmum wajib diam dan
3

Bahan Sidang Bukan Putusan


mendengarkan bacaan tersebut. Apabila imam rukuk maka makmum wajib mengikuti imam rukuk.
Adapun apabila imam membaca sami’allahu liman hamidah maka makmum wajib mengikuti dengan
membaca Robbanaa walakal hamdu atau Allaahumma Robbanaa lakal hamdu
Perintah Nabi saw. kepada makmum untuk ikut membaca Allahu Akbar dan Robbana walakal
hamdu/Allahumma Robbana lakal hamdu tanpa ada keterangan Jahar atau sirr. Namun, dalam Sebagian
berjamaah para sahabat Nabi saw. terdapat keterangan ada seorang makmum yang menjaharkan bacaan
Robbana walakal hamdu bahkan ditambah bacaan lainnya dan Nabi saw. menyetujuinya sebagaimana
riwayat berikut ini:

Dari Rifa’ah bin Rofi, ia berkata,”Pada suatu hari kami salat di belakang Nabi saw. Ketika beliau
bangkit dari ruku mengucapkan “Sami’allohu liman hamidah”, berkata seseorang di belakang beliau
“Robbana walakal hamdu hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih”. Setelah selesai salat beliau
bertanya,’Siapa (tadi) yang berbicara? Ia jawab,’Aku’. Nabi bersabda,’Aku melihat tiga puluh lebih
malaikat bersegera memburunya, siapa yang paling pertama mencatatnya”. H.r. Malik dan Al-Bukhari
Nabi saw. bertanya “Siapa yang berbicara”? hal ini menunjukkan bahwa makmum cukup keras
mengucapkan Robbana walakal hamdu hamdan katsiron Toyyiban Mubaarokan fiih, hingga terdengar
Nabi saw. dan beliau sama sekali tidak menegurnya. Tidak ada teguran dari Nabi saw. menunjukkan
bolehnya dijaharkan bukan menunjukkan wajibnya dijaharkan. Wallaahu A’lamu
Kesimpulan :
I. Makmum wajib mengikuti Imam sesuai petunjuk hadis di atas
2. Imam harus mengeraskan takbirnya, sami’allahu liman hamidah-nya dan ucapan salam nya agar
terdengar oleh makmum
3. Ucapan Takbir makmum dan Robbana walakal hamdu-nya boleh dijaharkan dan boleh disirrkan

4. Bagaimana hukumnya perempuan yang meminum pil penahan haid Ketika saum kemudian
keluar darah apakah itu darah haid? Jamaah WA.

Jawaban:
Pertama, haid merupakan siklus alami kaum wanita yang sudah menjadi fitrahnya. Tentu saja, akan
lebih baik mengikuti fitrah tersebut secara thabi'i (alami) sebagai ketetapan dari Allah Swt. Rasulullah
Saw bersabda kepada ‘Aisyah yang mengalami haid saat haji wada,

“Maka Nabi Saw bersabda kepadanya: “Ini adalah keadaan yang telah Allah tetapkan untuk putri-putri
Adam” (HR. Muslim)
Kedua, bagi kaum perempuan, haid di bulan Ramadhan menjadi mani’ (penghalang) dari shaum dan
wajib baginya melaksanakan qadha shaum,

ۗ ۗ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185)

Para ulama menjelaskan bahwa lafadz ( ) sakit di ayat ini termasuk juga perempuan yang haid.
Demikian pula Rasulullah Saw bersabda dalam riwayat yang shahih,

“Bukankah wanita itu jika haid dia tidak shalat dan tidak shaum?” (HR. Bukhari)
4

Bahan Sidang Bukan Putusan


A, Hassan dalam Tanya Jawab menjadikan hadits ini sebagai dalil qadha shaum bagi wanita haid. Perlu
diketahui juga bahwa saat wanita haid meninggalkan shaum, sesungguhnya mereka tetap mendapatkan
pahala karena keta’atannya kepada Allah Swt. Nabi Saw bersabda,

Dari Abu Musa ra. ia berkata, telah bersabda Rasulullah Saw: “Apabila seorang hamba sakit atau
sedang dalam perjalanan, ditetapkan baginya pahala seperti yang dilakukannya saat mukim dan sehat.”
(HR. Bukhari)
Ketiga, Belum ditemukan larangan menunda haid ketika bulan Ramadhan dengan menggunakan pil
penahan haid, sehingga secara asal hukumnya boleh. Batasannya selama tidak membawa efek negatif
terhadap kesehatan. Karena pada dasarnya, penggunaan obat penunda haid tidak terlalu disarankan,
terutama tanpa alasan yang kuat. Hal ini karena obat tersebut dapat menimbulkan beragam efek
samping, seperti mual dan muntah, sakit kepala, nyeri payudara, perubahan suasana hati, peningkatan
berat badan, dan perubahan libido atau hasrat seksual.
Selain itu, tidak semua wanita dibolehkan menggunakan obat jenis ini, seperti orang yang sedang
menderita kondisi medis tertentu, misalnya kanker payudara, perdarahan pada kemaluan, stroke,
gangguan jantung, gangguan pembekuan darah, gangguan ginjal, dan porfiria, apalagi ibu yang sedang
menyusui. Oleh karena itu, sebaiknya tidak sembarangan menggunakan obat penunda haid tanpa
pemeriksaan dokter. (alodokter.com)
Keempat, apabila ketika menggunakan pil penahan haid masih ada keluar darah, jika dari sifat darahnya
sama dengan haid, maka dihukumi darah haid dan berlaku hukum haid. Adapun jika bukan sifat haid,
maka dihukumi darah istihadoh. Syaikh Al-Adawi menjelaskan,

“Hukumnya, apabila darah telah putus sempurna maka dia boleh puasa dan tidak perlu mengulangi.
Adapun jika dia masih ragu darah terputus sempurna, karena masih ada darah yang keluar, maka
hukumnya seperti wanita haid dan dia tidak boleh puasa pada hari haidnya dan mengqadha puasa pada
hari itu setelah Ramadhan. Allahu a’lam.” (Jami’ Ahkam An-Nisa: 5/223)
Kelima, apabila obat penahan haid beresiko terhadap kesehatan maka meninggalkan fasad lebih
didahulukan daripada menyempurnakan kesalehan.

“Mencegah kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.”


Kesimpulan:
- Menggunakan pil pencegah haid untuk bisa melaksanakan shaum Ramadhan sebulan penuh
hukumnya mubah selama tidak menimbulkan efek negatif pada kesehatan perempuan.
- Jika setelah minum pil masih ada darah yang keluar maka dihukumi sesuai sifat darahnya,
apakah haid ataukah istihadhah.
- Bagi perempuan, mengqadha shaum lebih utama dan mashlahat daripada menahan haid.

5. Musafir masbuk bermakmum kepada imam yang shalatnya diqashar, dan ia tertinggal satu
raka'at. Kemudian ketika hendak menambah kekurangan rakaat ia bermakmum kepada yang
muqim, apakah ia hanya menambah 1 rakaat atau mengikuti imam muqim. Jamaah WA.
Jawaban:

Dalam hal shalat berjama’ah bagi yang masbuk ada beberapa aturan diantaranya sebagai berikut:

Bahan Sidang Bukan Putusan


Dari 'Imran bin Hushain dia berkata; "Aku berperang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
dan aku juga menyaksikan bersama beliau ketika pembebasan kota Makkah, beliau bermukim di
Makkah selama delapan belas hari, dan tidaklah beliau mengerjakan shalat, kecuali hanya dua raka'at,
lalu beliau bersabda: 'wahai para penduduk (asli), shalatlah kalian empat raka'at, sebab kami ini adalah
para musafir." (H.R Abu Daud)
Hadits tersebut memberikan penjelasan kepada kita, bahwasanya :
1.Apabila musafir menjadi imam bagi orang yang muqim, maka orang yang muqim wajib menambah
kekurangan rakaatnya.
2.Apabila musafir menjadi makmum bagi imam yang muqim, maka musafir wajib shalat tam.
Adapun perihal yang anda alami, maka cukuplah dengan bermakmum kepada imam yang muqim sesuai
dengan kekurangan raka’at yang anda alami (cukup menambah 1 rakaat), sebagaimana keterangan
berikut ini.

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila
engkau telah mendengar qomat, maka berjalanlah menuju sholat dengan tenang dan sabar, dan jangan
terburu-buru. Apa yang engkau dapatkan (bersama imam) kerjakan dan apa yang tertinggal
darimu sempurnakan." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.

6. Bismillah… Allah itu ada di mana? dan mohon untuk dijelaskan tentang pengertian dari

yang ada dalam al-qur'an?. Hal ini sedang ramai terjadi perdebatan antara ustadz²,
dimana mereka semua ahlul sunnah tapi saling membathilkan. Abdul Haris_Jakarta.

Jawaban:
Di antara permasalahan akidah yang hangat diperbincangkan saat ini adalah tafsiran dan batasan
ayat

Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arasy.


Allah swt mengkhabarkan bahwasanya ayat istawaa ‘alal ‘arsy ada pada tujuh ayat dalam al-
quran yaitu Al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, Ar-Ra’du [13]: 2, Al-Furqan [25]; 59, As-Sajdah [32]: 4,
Fushshilat [41]; 11, dan Al-Hadid [57]; 4.

Ditinjau dari segi bahasa bahwa makna adalah (menetap), dan ‘ (naik).
Jadi ayat ini jelas bahwasanya Allah swt mengkhabarkan bahwasanya Dia menetap di atas ‘Arasy. Hal
ini cukup untuk diimani dan diyakini. Adapun bagaimana keadaan Allah bersemayam atau menetapnya
di atas ‘Arasy tidak boleh dipertanyakan, dipikirkan dan dibayangkan berdasarkan surat As-Syuraa; 11

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengn Dia.


Dan surat al-ikhlash; 4

Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.


Dan Surat An-Nahl; 74
6

Bahan Sidang Bukan Putusan


Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.
Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya tentang Firman Allah ta’ala: “ar-rahman ‘alal
‘arsyistawa, bagaima keadaan Allah bersemayam di atas ‘Arasy?”. Maka Imam Malik diam tidak
berbicara sehingga keringat muncul dibadannya kemudian berkata:

Al-istiwa (bersemayam) itu diketahui sementara bagaimana keadaan bersemayamnya Allah tidak
diakali. Mengimaninya wajib sementara memepertanyakanya bid’ah. (Jam’ul Wasail fii Syarhi wasasail)
Nu’aim bin Hammad guru Imam Al-Bukhari berkata; “siapa yang menyerupai Allah dengan
makhlukNya maka ia telah kufur. Dan siapa saja yang mengingkari Allah mensifati dirinya, maka
sungguh ia telah kufur.
Selanjutnya Wahbah Az-Zuhailiy ketika menjelaskan ayat istawaa ‘alal ‘arsy, dia menyatakan di
akhirnya;

Memahami ayat ini seukuran ini cukup kena pada pokok pembicaraan. (At-Tafsir Al-Munir)
Kesimpulan:
1. Mengimani dan meyakini bahwasanya Allah bersemayam di atas ‘Arasy hukumnya wajib.
2. Mempertanyakan, memikirkan dan memebayangkan bagaimana keadaan Allah bersemayam di
atas ‘Arsy hukumnya haram
7. Adakah shalat sunat antara adzan dan qomat dan berapa rakaat? Lalu bagaimanakah
sikap imam apabila ada jamaah yang melakukan shalat tersebut? Apakah imam menunggunya
hingga selesai shalat atau langsung shalat wajib? Sedangkan di masjid tersebut pada saat adzan
Ashar, Maghrib dan Isya biasanya langsung shalat wajib. Jamaah lembang.

Jawaban:
Shalat sunat antara adzan dan iqamah itu disyari’atkan. Ada yang didawamkan yang disebut rawatib
qabliyah ada juga yang tidak didawamkan yaitu shalat sunat yang tidak termasuk rawatib.
Yang termasuk shalat sunat rawatib qabliyah ialah shalat sunat qabliyah zuhur dan qabliyah subuh.

Dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma berkata; "Aku hafal sesuatu dari Nabi Saw. berupa shalat
sunnat sepuluh raka'at yaitu; dua raka'at sebelum shalat Zhuhur, dua raka'at sesudahnya, dua raka'at
sesudah shalat Maghrib di rumah beliau, dua raka'at sesudah shalat 'Isya' di rumah Beliau dan dua
raka'at sebelum shalat Shubuh, dan pada saat itu (ketika Nabi Saw. shalat sunnat qabliyah dan
ba’diyah) tidak ada seorangpun yang masuk ke rumah Nabi Saw.” Telah menceritakan kepada saya
Hafshah: "Bahwasanya bila mu'adzin sudah mengumandangkan adzan dan fajar sudah terbit, Beliau
shalat dua raka'at". (Al-Bukhari no. 1180, Musnad Ahmad, 9/308).
Dalam riwayat lain, shalat sunnat qabla zhuhur dapat dilaksanakan empat raka’at, berdasarkan hadis:

Bahan Sidang Bukan Putusan


Dari Aisyah r.ah. ia berkata, Rasullullah Saw. bersabda: “Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua
belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua
belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at
sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.” (HR. Tirmidz no. 414,
Ibnu Majah no. 1140, An Nasai no. 1795).
Adapun shalat sunat antara adzan dan iqamat yang tidak termasuk rawatib yaitu sebelum ashar, magrib
dan isya berdasarkan hadis:

Dari ‘Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Di antara setiap dua azan terdapat shalat, di antara setiap dua azan terdapat shalat,
di antara setiap dua azan terdapat shalat.” Beliau berkata pada yang ketiga kalinya, “Bagi siapa yang
mau.” (Muttafaqun ‘alaih). [HR. Al-Bukhari, no. 627 dan Muslim, no. 838].
Yang dimaksud antara setiap dua adzan pada hadis di atas ialah antara adzan dan iqamah, sebagaimana
dijelaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar:

Sabdanya, “Di antara setiap dua azan terdapat shalat” yaitu adzan dan iqamah dan tidak boleh
membawa pengertianya kepada makna zahirnya karena shalat di antara dua adzan ialah shalat wajib,
sedangkan berita tersebut berbicara pilihan berdasarkan sabdanya, “bagi siapa yang mau (Fathul Bari, 2:
107)
Dalam hadis lain dijelaskan bahwa shalat sunat antara adzan dan iqamah ialah dua raka’at:

Dari Abdullah bin Az-Zubair ia berkata, Rasululah Saw bersabda: Tidaklah shalat yang diwajibkan
kecuali dihadapannya ada dua raka’at”. (HR. Ibnu Hibban)
Berdasarkan keterangan di atas menunjukkan adanya syari’at shalat sunat dua raka’at antara adzan dan
iqamah; baik yang rawatib maupun yang bukan rawatib. Tentunya dalam pelaksanaannya tidak
mengakibatkan terlewatnya keutamaan shalat berjama’ah di awal waktu, mengingat sedikitnya jarak
waktu antara adzan dan iqamah.
Adapun bagi imam diperbolehkan ia langsung memimpin shalat ketika jama’ah sudah berkumpul, boleh
juga ia menunggu jama’ah yang mau ikut shalat berjama’ah. Sebagaimana keterangan berikut:

Dari Muhammad bin 'Amru bin Al Hasan bin 'Ali berkata, "Al Hajjaj pernah menunda pelaksanaan
shalat, maka kami bertanya kepada Jabir bin 'Abdullah. Maka dia menjawab, "Nabi Saw melaksanakan
shalat Zhuhur ketika matahari telah condong, shalat 'Ashar saat matahari masih terasa panas sinarnya,
shalat Maghrib ketika matahari telah terbenam, dan shalat 'Isya terkadang beliau mengikuti kedaan
jama'ah; jika beliau lihat sudah berkumpul maka beliau segerakan, dan jika mereka belum berkumpul

Bahan Sidang Bukan Putusan


maka beliau akhirkan. Sementara untuk shalat Subuh, mereka atau beliau melaksanakannya saat pagi
masih gelap." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari Ali bin Abi Thalib Ra, ia berkata: Rasulullah Saw berada di masjid ketika didirikan shalat, jika
beliau melihat mereka sedikit beliau duduk kemudian shalat, dan jika beliau melihat mereka banyak
beliau shalat. (HR. al-Hakim, no 724)
Kesimpulan:

1. Shalat sunat dua rakaat antara adzan dan iqamah selain rawatib ada
2. Imam boleh menunggu jama’ah yang mau ikut shalat berjama’ah

8. Bismillah… Bagaimana hukum menerima hadiah dari pegawai yang pendapatannya


haram? Abdul Haris_Jakarta.

Jawaban:
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain di sisinya dan juga
saling membutuhkan satu sama lainnya, untuk saling berkomunikasi dan juga saling berbagi. Dan
diantara ajaran islam untuk menjaga hubungan ini adalah dengan saling memberi hadiah.
Dari Aisyah Ra. ia berkata:

Rasulullah Saw. biasa menerima hadiah dan biasa pula membalasnya. (HR. Al-Bukhari, 3/157)
Imam Ash-Shan’ani menerangkan:

Hadits ini menunjukan bahwa merupakan kebiaasaan Nabi Saw. menerima hadiah kemudian beliau
membalas memberikan hadiah. (Subul As-Salam, 2/132)
Dengan memberikan hadiah tentunya akan menimbulkan rasa saling mencintai serta menghilangkan
perasaan yang dapat merusak persaudaraan seperti hasud.
Rasulullah Saw. bersabda:

Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai. (HR. Al-Bukhari, Adab
Al-Mufrad, 1/306 no. 594)
Dan ketika kita diberi hadiah, hendaknya kita menerima hadiah tersebut dan jangan menolaknya.
Andaikan kita tidak membutuhkannya, kita bisa memberikan kepada yang lebih membutuhkan.
Rasulullah Saw. bersabda:

Hadirilah undangan dan jangan menolak hadiah dan juga jangan memukul orang-orang muslim. (HR.
Al-Bukhari, Adab Al-Mufrad, 1/306 no. 157)
Lalu bagaimana jika yang memberikan hadiah itu adalah orang yang penghasilannya haram?
Nabi Saw. pernah menerima hadiah seekor kambing dari seorang wanita yahudi sebagaimana yang
dikatakan oleh Anas bin Malik

Bahwa ada seorang wanita Yahudi yang datang menemui Nabi Saw. dengan membawa seekor kambing
yang telah diracun lalu Beliau memakannya. Kemudian wanita itu diringkus dengan bukti daging

Bahan Sidang Bukan Putusan


tersebut dan dikatakan; "Tidak sebaiknyakah kita bunuh saja?" Beliau menjawab: "Jangan". Sejak itu
aku senantiasa melihat bekas racun tersebut pada anak lidah Rasulullah Saw. (HR. Al-Bukhari, 3/163)
Padahal orang yahudi biasa memakan riba sebagaimana firman Allah Swt.
ۗ ۗ ۗ ۗ ۗ ۗ ۗ ۗ ۗ ۗ ۗ
ۗ ۗ ۗ
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (An-Nisa: 161)
Syaikh Al-Utsaimin menerangkan:

Harta yang haram karena pekerjannya, maka dosanya itu bagi pelakunya bukan bagi siapa yang
mendapatkannya melalui jalan yang mubah dari pelaku tersebut, berbeda dengan harta haram karena
dzatnya seperti khamr, barang curian dan yang lainnya. (al-Qaul al-Mufid, 2/352)
Nabi Saw. pernah memakan daging yang dishadaqahkan ke barirah, sedangkan harta shadaqah haram
buat Nabi Saw. Sebagamana hadits bawah ini

Dari 'Aisyah Ra. bahwa dia berkehendak untuk membeli Barirah sementara mereka (tuannya) memberi
persyaratan bahwa wala' tetap ada pada mereka. Kemudian hal itu diceritakan kepada Nabi Saw.,
maka Nabi Saw bersabda: "Belilah kemudian bebaskanlah, karena hak perwalian bagi orang yang
membebaskannya". Kemudian Barirah diberi hadiah berupa daging lalu dikatakan kepada Nabi Saw.:
'Ini shadaqah yang diterima Barirah". Maka Nabi Saw. bersabda: "Daging ini baginya shadaqah dan
bagi kita ini sebagai hadiah". (HR Al-Bukhari, Shahih Al- Bukhari, 3/155)
Sedangkan dalam riwayat Asy-Syafi’i

Dari Aisyah Ra. bahwasanya Nabi Saw. masuk lalu aku mendekatkan kepadanya roti dan bumbu, maka
beliau bersabda: bukankah aku melihat periuk yang berisi daging? Lalu Aisyah menjawab: Itu adalah
daging yang dishadaqahkan kepada Barirah. Kemudian beliau bersabda: "Daging ini baginya
shadaqah dan bagi kita ini sebagai hadiah" (HR Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’i, 2/300)
Nabi Saw memakannya padahal diharamkan bagi beliau untuk memakan harta shadaqah, karena beliau
tidak menerimanya sebagai harta shadaqah, akan tetapi sebagai harta hadiah.
Kesimpulan:
Menerima hadiah dari orang yang penghasilannya haram hukumnya mubah

9. Bismillahirrahmanirrahim. Bagaimana hukumnya membangun tempat (bangunan) di


lahan pemerintah terus disewakan oleh yang membangun? Ade Hidayat_Pameungpeuk.

Jawaban:
Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 2021 tentang “Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan
Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah” dijelaskan, bahwa tanah negara atau tanah yang dikuasai
langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan tanah
wakaf, bukan tanah ulayat dan/ atau bukan merupakan asset barang milik negara/ barang milik daerah.

10

Bahan Sidang Bukan Putusan


Kemudian pasal 2 ayat (2) tanah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh negara dapat
memberikannya kepada perorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah sesuai dengan
peruntukan dan keperluannya, atau memberikannya dengan hak pengelolaan.
Kemudian dalam peraturan tersebut dijelaskan secara rinci tentang hak pengelolaan, hak guna usaha,
hak guna bangunan dan pakai atas tanah. Terkait dengan hak guna bangunan disebutkan sebagai berikut:
Hak guna bangunan di atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri. Hak
guna bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri
berdasarkan persetujuan hak pengelolaan. (Pasal 38 ayat 1 dan 2)
Perpindahan hak milik telah diatur dalam Islam, baik melalui jual beli, sewa menyewa, hibah, waris dan
lain-lain. Perpindahan harta dengan cara yang tidak dibenarkan dikhawatirkan jatuh kepada haram atau
cara yang batil. Allah swt berfirman,

"Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu …" (al-
Nisa' : 29)
Berdasarkan uraian di atas, tanah milik pemerintah diperbolehkan untuk digarap apabila resmi
mendapatkan hak pengelolaan atau hak lainnya sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Terkait mendirikan bangunan di atasnya dan menyewakannya, semuanya sudah diatur dalam perundang-
undangan tersebut. Apabila sesuai kesepakatan dan tidak ada yang dilanggar, maka hukumnya boleh.
Kerjasama dalam bentuk pengelolaan, hak guna bangunan, atau hak guna pakai bisa termasuk kepada
jenis-jenis transaksi yang dibenarkan dalam islam, seperti rahn (gadai), qardhu (pinjam meminjam),
mudharabah atau musyarakah (kerja sama), atau ijarah (sewa). Di mana dari masing-masing pihak
mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dalil-dalilnya
antara lain sebagai berikut.

"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …." (al-Ma'idah : 1)

"… Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …" (al-Baqarah : 283)

Dari Urwah bin al-Zubair dan yang lainnya, bahwa Hakim bin Hizam sahabat Rasulullah saw
mensyaratkan atas seseorang apabila ia memberi modal sebagai qiradh dalam usahanya, agar engkau
tidak menggunakan modalku pada barang berjiwa, jangan engkau bawa dia dengan mengarungi lautan,
jangan engkau bawa ke tengah perjalanan air bah. Jika engkau lakukan salah satu daripada yang
demikian, maka engkau harus tanggung (kerugian) modalku.” (HR. al-Daraquthni, Sunan al-Daraquthni
4/23, no. 3033, shahih)

Dari Amr bin Auf al-Muzani, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Perdamaian dapat dilakukan di antara
kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram." (HR. Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi 3/28 no. 1352, hasan lighairih)
Dalam kerjasama tersebut tidak boleh ada pihak yang dirugikan, baik pemerintah maupun orang yang
memanfaatkan lahan. Dalam qaidah fiqhiyah disebutkan,
11

Bahan Sidang Bukan Putusan


"Tidak boleh memadaratkan dan tidak boleh membalas kemadaratan.” (Turuq al-Istinbat Dewan
Hisbah, hlm. 71)
Terkait pemanfaatan lahan pemerintah, sebaiknya difahami secara teknis peraturan perundang-undangan
yang berlaku, agar tidak terjadi kesalahfahaman atau pelanggaran dalam transaksi dan kerjasama yang
dilakukan masing-masing pihak.
Kesimpulan:
Mendirikan bangunan di atas lahan pemerintah dan menyewakannya diperbolehkan apabila dilakukan
dengan cara yang benar (sah), baik secara syar’i maupun hukum pemerintah.

12

Bahan Sidang Bukan Putusan

Anda mungkin juga menyukai