Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelanggaran hak asasi manusia sering terjadi saat ini. Kemajuan ilmu dan
teknologi, globalisasi, dan kemajuan industri telah melunturkan nilai-nilai
kasih sayang dan penghormatan serta penghargaan seseorang terhadap nilai-
nilai etis, etika, moral, dan agama, sehingga seseorang dengan mudah
menyakiti orang lain dengan tujuan-tujuan tertentu. Oleh sebab itu, banyak
pelanggaran hak asasi terjadi dalam berbagai bentuk, utamanya dalam bentuk
kekerasan fisik maupun psikis. Kekerasan dapat terjadi pada siapa saja.
Umumnya kekerasan terjadi pada orang-orang yang lemah, seperti anak,
perempuan, dan orang tua (lansia). Kekerasan biasanya didominasi orang-
orang yang kuat dan berkuasa. Kekerasan dikatakan melanggar hak-hak asasi
karena kekerasan merampas hak-hak kebebasan, hak-hak untuk hidup dengan
baik dan mendapatkan perlakuan yang baik pula.
Anak adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang
dewasa, baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun tingkah lakunya
terutama pada anak dengan gangguan mental. Oleh karena itu perlakuan
terhadap anak, membutuhkan spesialisasi atau perlakuan khusus dan emosi
yang stabil. Banyak cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak.
Ada yang mengutamakan kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan
yang lebih bersifat afektif. Ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai
salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan pendisiplinan anak.
Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis dipilih sebagai cara untuk
mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan. Data
kekerasan setiap tahun mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2014
dinyatakan sebagai tahun darurat kejahatan seksual pada anak. Kasus-kasus
kekerasan anak dapat berupa kekerasan fisik, tertekan secara mental,
kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan anak
dibawah umur, kasus tenaga kerja dibawah umur, trafficking, anak-anak yang

1
2

dipekerjakan sebagai PSK, kasus perceraian dan juga pada pada anak dengan
gangguan mental ataupun anak berkebutuhan khusus seperti anak Retardasi
mental, autis, ADHD, cacat fisik dan lain sebagainya. Semua kasus ini
berobjek pada anak yang tentu saja akan berdampak buruk pada
perkembangan dan kepribadian anak, baik fisik, maupun psikis dan jelas
mengorbankan masa depan anak (Suryani & Lesmana, 2009).
Kekerasan pada anak dengan gangguan mental terkadang tidak terdeteksi
karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Kekerasan pada anak dengan
gangguan keterbelakangan mental seperti retardasi mental, autisme, ADHD
dan lain-lain, biasanya terjadi penolakan dari lingkungan tempat ia tinggal,
pengabaian, dan bahkan kekerasan fisik, psikis, maupun seksual oleh orang
didekatnya. Bahkan Hukum di Indonesia belum memberikan perlindungan
sepenuhnya kepada korban perkosaan dengan mental illness, dimana pelaku
melakukan persetubuhan tanpa konsen dari korban karena status mentalnya di
bawah rata-rata usia normal. Dengan kata lain korban dengan mental illness
walaupun tanpa kekerasan dan ancaman seolah-olah mempunyai konsen
melakukan persetubuhan, sehingga pelaku tidak dapat dijerat dengan KUHP
pasal 285 mengenai perkosaan (Basbeth dkk, 2008).
Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh
tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau
rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah
disembarang tempat, memecahkan barang berharga dan lain-lain. Beberapa
kasus kekerasan yang dialami anak diantaranya dengan dalih mendisiplinkan
anak. Cara yang ditempuh dengan cara melakukan perlakuan kekerasan fisik
dan aturan yang ketat. Oleh sebab itu beberapa kasus pelaku kekerasan fisik
adalah orang tua sendiri atau guru, orang yang seharusnya melindungi, akan
tetapi “salah” cara melindunginya.

Peran perawat jiwa dalam kasus Kekerasan terhadap anak dengan


Retardasi mental yaitu dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan
kesehatan tentang perilaku kekerasan dan mengidentifikasi resiko terjadinya
perilaku kekerasan pada anak dengan retardasi mental, serta cara menghadapi
3

stress saat menjadi orang tua dengan anak yang mengalami retardasi mental,
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya seperti dokter jiwa, dokter
anak, serta psikolog dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk
mengatasi masalah yang terjadi pada anak retardasi mental yang mengalami
kekerasan (Smith and Maurer, 1995).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Konsep Dan Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Perilaku
Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum.
Untuk menjelaskan Konsep dan Pendekatan Asuhan Keperawatan Jiwa
dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah:
1.3.2.1 Untuk mengetahui Definisi Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi
Mental.
1.3.2.2 Untuk mengetahui Etiologi, Patofisiologi, Manifestasi Klinik, Klasifikasi,
Faktor Resiko, Penatalaksanaan, Komplikasi dan Pemeriksaan Penunjang
Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak
Retardasi Mental.
1.3.2.3 Untuk mengetahui Pengkajian Asuhan Keperawatan Asuhan Keperawatan
Jiwa dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental.
1.3.2.4 Untuk mengetahui Diagnosa keperawatan Asuhan Keperawatan Jiwa
dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental.
1.3.2.5 Untuk mengetahui Intervensi keperawatan Asuhan Keperawatan Jiwa
dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental.
1.3.2.6 Untuk mengetahui Implementasi Keperawatan Asuhan Keperawatan Jiwa
dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental.
4

1.3.2.7 Untuk mengetahui Evaluasi Keperawatan Asuhan Keperawatan Jiwa


dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental.

1.4 Manfaat.
1.4.1 Sebagai bahan pembelajaran tentang Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa
dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental.
1.4.2 Sebagai bahan pembelajaran untuk menyusun Asuhan Keperawatan Jiwa
dengan Perilaku Kekerasan Pada Anak Retardasi Mental.
BAB II

KAJIAN TEORI
2.1 TINJAUAN TEORITIS KEKERASAN
A. Pengertian
Agressions is harsh physical or verbal action that reflects rage,
hostility, and potential for physical or verbal destuctiveness (Varcarolis,
2006 : 490). Agresi adalah sikap atau perilaku kasar atau kata-kata yang
menggambarkan perilaku amuk, permusuhan, dan potensi untuk merusak
secara fisik atau dengan kata-kata.
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang
dihadapi oleh seseorang, yang ditujukan dengan perilaku aktual
melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai
orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000)
Suatu keadaan dimana seorang individu mengalami perilaku yang
dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain
(Towsend, 1998)
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat
membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-
barang (Maramis, 2004)
B. Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan
1. Faktor Predisposisi
a. Teori Biologik
1) Neurologic factor, beragam komponen dari sistem syaraf seperti
synap, neurotransmitter, dendrit, axon terminalis mempunyai
peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan
yang akan memengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangan terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons
agresif.
2) Genetic factor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui
orangtua, menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riser Kazuo
6

Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat dormant (potensi)


agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh
faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY,
pada umumnya dimiliki oleh penghuni perilaku tindak kriminal
serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif.
3) Cyrcardian Rhytm (irama sirkardian tubuh), memegang peranan
pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia
mengalami peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk
seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya
pekerjaan sekitar jam 9 sampai jam 13. Pada jam tertentu orang
lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif
4) Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti
neurotransmiter di otak (epinephrin, norepinephrin, dopamin,
asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian
informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus
dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan
akan dihantar melalui impuls neurotransmiter ke otak dan
meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon
androgen dan norepinephrin serta penurunan serotonin dan
GABA pada cairan cerebrospinal vertebrata dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya perilaku agresif
5) Brain Area disorder, ganggguan pada sistem limbik dan lobus
temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit
ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang 9life span hystori). Teori ini
menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2
tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan
7

kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap


agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya.Tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dpat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku ageresif dan
tindak kekerasna merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri pelaku
tindak kekerasan
2) Imitation, modeling, and information processing theory
Menururt teroi ini perilaku kekerasan bisa berkembang
dalam lingkungan yang menolerir kekerasan. Adanya contoh,
model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu
penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan
pemukulan pada boneka dengan reward positif (makin keras
pukulannya akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara
mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward positif
pula (makin baik belaiannya mendapat hadiah coklat). Setelah
anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak
berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernal dialaminya.
3) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu
terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respons
ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana
respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas
lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan
menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan.
c. Teori Sosiokultural
Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah, rebutan uang
receh, sesaji atau kotoran kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang
cenderung mengarah pada kemusyrikan secara tidak langsung turut
8

memupuk sikap agresif dan ingin menang sendiri. Kontrol


masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasna sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor presdisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal
ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan,
mistik, tahayul dan perdukunan (santet, teluh) dalam tayangan
televisi
d. Aspek Religiusitas
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas
merupakan dorongan dan bisikat syetan yang sangat menyukai
kerusakan agar manusia menyesal (devil support. Semua bentuk
kekerasan adalah bisikan syetan melalui pembuluh darah ke
jantung, otak dan organ vital manusia lain yang dituruti manusia
sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan
harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan
norma agama (super ego)
2. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan respon marah apabila
merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara
psikis atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri
seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak
menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh
karena itu, baik perwat maupun klien harus bersama-sama
mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal aupun eksternal.
Contoh stresor eksternal : serangan seara psikis, kehilangan hubungan
yang diangggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain.
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
seringkali berkaitan dengan:
- Ekpresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian massal dan sebagainya
9

- Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi


sosial ekonomi
- Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan maslaah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik
- Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang
dewasa
- Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi
- Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.

2.2 TINJAUAN TEORITIS RETARDASI MENTAL


A. DEFINISI RETARDASI MENTAL
Retardasi mental (RM) adalah fungsi intelektual di bawah angka 7, yang
muncul bersamaan dengan kurangnya perilaku adaptif, serta kemampuan
beradaptasi dengan kehidupan sosial sesuai tingkat perkembangan dan
budaya. Menurut Maslim (2004), RM adalah suatu keadaan perkembangan
jiwa yang terhenti atau tidak lengkap yang terutama ditandai oleh terjadinya
kendala keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh
pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif,
bahasa, motorik, dan sosial.
Anak RM mengalami keterbatasan sosialisasi akibat tingkat kecerdasan
yang rendah (Soetjiningsih, 1998). Kemampuan penyesuaian diri dengan
lingkungan sangat dipengaruhi oleh kecerdasan. Anak RM dengan tingkat
kecerdasan di bawah normal dan mengalami hambatan dalam bersosialisasi.
Faktor lain adalah kecenderungan mereka diisolasi (dijauhi) oleh
lingkungannya. Anak sering tidak diakui secara penuh sebagai individu dan
10

hal tersebut memengaruhi proses pembentukan pribadi. Anak akan


berkembang menjadi individu dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri
terhadap tuntutan sekolah, keluarga, masyarakat, dan terhadap dirinya sendiri.
Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa dengan inteligensi
yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak
masa anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara
keseluruhan, tetapi gejala yang utama ialah inteligensi yang terbelakang.
Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau sedikit dan fren:
jiwa) atau tuna mental (W.F. Maramis, 2005: 386).
Retardasi mental (RM) adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki
kemampuan mental yang tidak mencukupi (WHO).
American Association on Mental Deficiency (AAMD) membuat definisi
retardasi mental yang kemudian direvisi oleh Rick Heber (1961) sebagai
suatu penurunan fungsi intelektual secara menyeluruh yang terjadi pada masa
perkembangan dan dihubungkan dengan gangguan adaptasi sosial.

B. PENYEBAB RETARDASI MENTAL


Penyebab retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal
dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000
macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang
dapat dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas
penyebab biologis dan psikososial.
Penyebab biologis atau sering disebut retardasi mental tipe klinis
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

• Pada umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat


• Tampak sejak lahir atau usia dini
• Secara fisis tampak berkelainan/aneh
• Mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal maupun
postnatal
• Tidak berhubungan dengan kelas sosial
11

Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai


ciri-ciri sebagai berikut :
• Biasanya merupakan retardasi mental ringan
• Diketahui pada usia sekolah
• Tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium
• Mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah)
• Ada hubungan dengan kelas sosial
Melihat struktur masyarakat Indonesia, golongan sosio ekonomi rendah
masih merupakan bagian yang besar dari penduduk, dapat diperkirakan
bahwa retardasi mental di Indonesia yang terbanyak adalah tipe sosio-
kultural.
Penyebab retardasi mental tipe klinis atau biologikal dapat dibagi dalam
(Maramis, 2005) :
a. Penyebab pranatal
o Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme asam amino yaitu Phenyl Keton Uria
(PKU), Maple Syrup Urine Disease, gangguan siklus urea,
histidiemia, homosistinuria, Distrofia okulorenal Lowe,
hiperprolinemia, tirosinosis dan hiperlisinemia. Gangguan
metabolisme lemak yaitu degenerasi serebromakuler dan
lekoensefalopati progresif. Gangguan metabolisme karbohidrat yaitu
galaktosemia dan glycogen storabe disease.
o Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom muncul dibawah 5 persen kehamilan,
kebanyakan kehamilan yang memilki kelainan kromosom berakhri
dengan kasus keguguran hanya setenggah dari satu persen yang lahir
memiliki kelainan kromosom, dan akan meninggal segera setelah
lahir. bayi yang bertahan, kebanyakan akan memiliki kelainan down
syndrome, atau trisomy 21. Manusia normal memiliki 46 kromosom
(23 pasang). orang dengan kelainan down syndrome memiliki 47
kromosom (23 pasang + 1 kromosom pada kromosom ke 21).
12

o Infeksi maternal selama kehamilan


 yaitu infeksi TORCH dan Sifilis. Cytomegali inclusion body
disease merupakan penyakit infeksi virus yang paling sering
menyebabkan retardasi mental. Infeksi virus ringan atau subklinik
pada ibu hamil dapat menyebabkan kerusakan otak janin yang bersifat
fatal. Penyakit Rubella kongenital juga dapat menyebabkan defisit
mental.
o Komplikasi kehamilan
Meliputi toksemia gravidarum, Diabetes Mellitus pada ibu hamil
yang tak terkontrol, malnutrisi, anoksia janin akibat plasenta previa
dan solutio plasenta serta penggunaan sitostatika selama hamil.

b. Penyebab perinatal
o Prematuritas
Dengan kemajuan teknik obstetri dan kemajuan perinatologi
menyebabkan meningkatnya keselamatan bayi dengan berat badan
lahir rendah sedangkan bayi-bayi tersebut mempunyai resiko besar
untuk mengalami kerusakan otak, sehingga akan didapatkan lebih
banyak anak dengan retardasi mental.
o Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin
sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat
dilahirkan.
o Kernikterus
Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin
tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak.
o Hipoglikemia: menurunnya kadar gula dalam darah.
c. Penyebab postnatal
o Infeksi (meningitis, ensefalitis)
13

o Trauma fisik
o Kejang lama
o Intoksikasi (timah hitam, merkuri)
o Gangguan metabolisme, perkembangan atau gizi
o Penyakit otak yang nyata (setelah kelahiran)

C. TANDA DAN GEJALA RETARDASI MENTAL


Gejala anak retardasi mental, antara lain sebagai berikut

1. Lamban dalam mempelajari hal baru, mempunyai kesulitan dalam


mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa
apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus-menerus.
2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak RM berat.
4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan retardasi
mental berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat
berjalan, tidak dapat berdiri, atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau
sesuatu, dan mendongakkan kepala.
5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak
retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti
berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan
latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan dapat
bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai retardasi
mental berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan
kesulitan bagi anak retardasi mental dalam memberikan perhatian terhadap
lawan main.
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus-menerus. Banyak anak retardasi mental
berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual,
misalnya memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang
14

membahayakan diri sendiri, misalnya menggigit diri sendiri, membentur-


beturkan kepala, dan lain-lain.

D. KLASIFIKASI RETARDASI MENTAL


Klasifikasi didasarkan pada tingkat kecerdasan terdiri atas keterbelakangan
ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Kemampuan kecerdasan anak RM
kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Wechsler Intelligence Scale
for Children (WISC) (Somantri, 2007).
Menurut Somantri (2007), klasifikasi anak RM adalah sebagai berikut.
1. RM ringan
Menurut Binet dalam Somantri (2007), RM ringan disebut juga moron
atau debil, memiliki Intelligence Quotient (IQ) antara 52–68, sedangkan
menurut WISC, IQ antara 55–69. Perkembangan motorik anak tunagrahita
mengalami keterlambatan, Somantri (2007) menyatakan bahwa, “Semakin
rendah kemampuan intelektual seseorang anak, maka akan semakin rendah
pula kemampuan motoriknya, demikian pula sebaliknya”.
2. RM sedang
RM sedang disebut juga imbesil yang memiliki IQ 36–51 berdasarkan
skala Binet, sedangkan menurut WISC memiliki IQ 40–54. Anak ini bisa
mencapai perkembangan kemampuan mental (Mental Age—MA) sampai
kurang lebih 7 tahun, dapat mengurus dirinya sendiri, melindungi dirinya
sendiri dari bahaya seperti kebakaran, berjalan di jalan raya, dan
berlindung dari hujan.
3. RM berat
RM berat atau disebut idiot, menurut Binet memiliki IQ antara 20–32 dan
menurut WISC antara 25–39.
4. RM sangat berat
Level RM ini memiliki IQ di bawah 19 menurut Binet dan IQ di bawah 24
menurut WISC. Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat diukur
kurang dari tiga tahun. Anak yang mengalami hal ini memerlukan bantuan
15

perawatan secara total dalam berpakaian, mandi, dan makan, bahkan


memerlukan perlindungan diri sepanjang hidupnya.
Tingkat retardasi mental dalam pedoman penggolongan dan diagnosis
gangguan jiwa III 2007 (PPDG J-III) yang ditunjukkan dalam tabel
berikut.

Tabel 1.  Klasifikasi Tingkat Kecerdasan (IQ) Berdasarkan Keadaan Masyarakat


Normal

Nama HI (IQ) Tingkat

Sangat superior >130 Tinggi sekali

Superior 110–130 Tinggi

Normal 86–109 Normal

Bodoh, bebal 68–85 Taraf perbatasan

Debilitas (tolol) 52–68 RM ringan

Imbesillitas
(dungu) 36–51 RM sedang

20–35 RM berat

Idiosi (pandir) <20 RM sangat berat


16

E. DIAGNOSIS & GEJALA RETARDASI MENTAL


Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia
saja, melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari
sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang. Yang perlu
dinilai tidak hanya intelegensia saja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari
anamnesis dapat diketahui beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental.
Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit
dibandingkan pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang
kooperatif. Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya tanda-tanda
dismorfik dari sindrom-sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan
neurologis, serta penilaian tingkat perkembangan. Pada pemeriksaan fisik
pasien dengan retardasi mental dapat ditemukan berbagai macam perubahan
bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala: mikrosefali, hidrosefali, dan
down syndrome. Wajah pasien dengan retardasi menral sangan mudah
dikenali seperti hipertelorisme, yaitu lidah yang menjulur keluar, gangguan
pertumbuhan gigi dan ekspresi wajah yang tampak tumpul.
Pada anak yang berumur diatas 3 tahun dilakukan tes intelegensia.
Namun, tingkat kecerdasan intelegensia bukan satu-satunya karakteristik,
melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar ketrampilan spesifik yang
berbeda. penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi
yang tersedia, termasuk temuan klinis, prilaku adaptif dan hasil tes
psikometrik. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala dapat membantu
menilai adanya kalsifikasi serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan
ubun-ubun masih terbuka. Pemeriksaan laboratorium dilakuka atas indikasi,
pemeriksaan ferriklorida dan asam amino urine dapat dilakukan sebagai
screening PKU. Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai
adanya kelainan kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut.
Beberapa pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan untuk membantu
seperti pemeriksaan BERA, CT-Scan, dan MRI. Kesulitan yang dihadapi
adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3 tahun, karena kebanyakan tes
psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar. Pada bayi dapat dinilai
17

perkembangan motorik halus maupun kasar, serta perkembangan bicara dan


bahasa. Biasanya penderita retardasi mental juga mengalami keterlambatan
motor dan American Psychiatric Association (APA) pada tahun 1994,
mensyaratkan tiga diagnosis keterbelakangan mental, yaitu:
 Fungsi intelektual secara signifikan dibawah rata-rata: IQ sekitar 70 atau
kurang menurut tes IQ yang diadakan secara individu.
 Ketidakmampuan atau kelemahan yang terjadi bersamaan dengan fungsi
adaptasi saat ini (yakni efektivitas seseorang dalam memenuhi standar
yang diharapkan pada usianya dengan kelompok budayanya) setidaknya
dalam bidang berikut ini: yaitu komunikasi, perhatian diri sendiri,
kehidupan rumah tangga, keterampilan sosial-interpersonal, penggunaan
sumber dalam komunitas, self dierection, keterampilan akademik
fungsional, pekerjaan, waktu luang, kesehatan dan keamanan.
 Terjadi sebelum berusia 18 tahun.
Tingkatan keterbelakangan mental menurut APA, diklasifikasikan menjadi
mild retardation (tingkat IQ 50 atau 55 sampai sekitar 70), moderate
mental retardation (tingkat IQ 35 atau 40 sampai 50 atau 55), severe
mental retardation (tingkat IQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40), dan profound
mental retardation (tingkat IQ dibawah 20 atau 25).
Dibawah ini ciri pertumbuhan dan perkembangan retardasi mental :
RETARDASI MENTAL
1. Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan).
Dapat mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi,
keterbelakangan minimal dalam bidang sensoris motorik. Anak yang
mengalami retarditasi mental sering tidak dapat dibedakan dari normal
hingga usia lebih tua.
2. Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan).
Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas 6 pada umur
belasan tahun (dekat umur 20 tahun), serta dapat dibimbing ke arah
konformitas sosial.
18

3. Masa dewasa, yaitu 21 tahun atau lebih (kecukupan sosial dan


pekerjaan).
Biasanya dapat mencapai keterampilan sosial dan pekerjaan yang cukup
untuk mencari nafkah, tetapi memerlukan bimbingan dan bantuan bila
mengalami stres sosial ekonomi yang luar biasa
Retardasi Mental Sedang
1. Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan).
Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi, kesadaran sosial kurang,
perkembangan motorik cukup, dapat belajar mengurus diri sendiri, dapat
diatur dengan pengawasan sedang.
2. Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan).
Dapat dilatih dalam keterampilan sosial dan pekerjaan, sukar untuk maju
lewat kelas 2 Sekolah Dasar (SD) dalam mata pelajaran akademik, dapat
belajar bepergian sendirian di tempat yang sudah dikenal.
3. Masa dewasa, yaitu 21 tahun atau lebih (kecukupan sosial dan
pekerjaan).
Dapat mencari nafkah dalam pekerjaan kasar tidak terlatih atau setengah
terlatih dalam keadaan yang terlindung, memerlukan pengawasan, dan
bimbingan bila mengalami stres sosial atau ekonomi yang ringan.
Retardasi Mental Berat

1. Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan).


Perkembangan motorik kurang, bicara minimal. Pada umumnya tak dapat
dilatih untuk mengurus diri sendiri, keterampilan komunikasi tidak ada
atau hanya sedikit sekali.
2. Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan).
Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi, dapat dilatih dalam
kebiasaan kesehatan dasar, serta dapat dilatih secara sistematik dalam
kebiasaan.
3. Masa dewasa, yaitu 21 tahun atau lebih (kecukupan sosial dan
pekerjaan).
19

Dapat mencapai sebagian dalam mengurus diri sendiri di bawah


pengawasan penuh, dapat mengembangkan secara minimal berguna
keterampilan menjaga diri dalam lingkungan yang terkontrol.

Retardasi Mental Sangat Berat

1. Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan).


Retardasi berat, kemampuan minimal untuk berfungsi dalam bidang
sensoris-motorik, membutuhkan perawatan.
2. Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan).
Perkembangan motorik sedikit, dapat bereaksi terhadap latihan mengurus
diri sendiri secara minimal atau terbatas.
3. Masa dewasa 21 tahun atau lebih (kecukupan sosial dan pekerjaan).
Perkembangan motorik dan bicara sedikit, dapat mengurus diri sendiri
secara sangat terbatas, membutuhkan perawatan.
Menurut penilaian program pendidikan, retardasi mental dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.

1. Tunagrahita mampu didik (educable)


Anak tunagrahita mampu didik adalah anak tunagrahita yang
tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia
masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui
pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Anak diharapkan
mampu untuk belajar membaca dan menulis pada tingkat SD
tetapi dengan langkah yang lambat. Kemampuan yang dapat
dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara lain
membaca, menulis, mengeja, dan berhitung. Selain itu,
menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang
lain, serta keterampilan kerja di kemudian hari.
2. Tunagrahita mampu latih (custodial)
Merupakan anak tunagrahita yang hanya dapat dilatih untuk
mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari,
20

serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut


kemampuannya. Anak diharapkan mampu belajar hanya
beberapa kata dan keterampilan berhitung yang sangat terbatas.
Mereka diharapkan mampu untuk menjadi semi mandiri melalui
pemberian latihan keterampilan dengan tahapan yang terbaik.
3. Tunagrahita mampu rawat (trainable)
Tunagrahita mampu rawat adalah tunagrahita yang memiliki
kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus
diri sendiri atau sosialisasi. Oleh karenanya, mengurus
kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. Anak
tunagrahita mampu rawat membutuhkan perawatan sepenuhnya
sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa
bantuan orang lain.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang menderita
retardasi mental,yaitu:
1. Kromosom kariotipe
2. EEG (Elektro Ensefalogram)
3. CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging)
4. Titer virus untuk infeksi congenital
5. Serum asam urat (Uric acid serum)
6. Laktat dan piruvat
7. Plasma asam lemak rantai sangat panjang
8. Serum seng (Zn)
9. Logam berat dalam darah
10. Serum tembaga (Cu) dan ceruloplasmin
11. Serum asam amino atau asam organik
12. Plasma ammonia
13. Analisa enzim lisozom pada lekosit atau biopsy kulit:
21

14. Urin mukopolisakarida

G. PROGNOSIS RETARDASI MENTAL


Mengukur kecerdasan dan perilaku adaptif dapat membantu klasifikasi
dari kecenderungan keterbelakangan dan dapat memprediksikan apakah
individu tersebut dapat hidup secara independen. Individu dengan
keterbelakangan mental menengah (moderate mental retardation) lebih
sering ditemukan dapat mencapai seilf-sufficiency dan mendapatkan hidup
yang bahagia. Untuk mencapai tujuannya, mereka membutuhkan lingkungan
yang sesuai dan mendukung seperti pendidikan, komunitas, lingkungan
sosial, keluarga dan keterampilan yang konsisten. Harapannya lebih kecil
untuk individu yang menderita keterbelakangan mental sangat berat
(profound retardation). Individu dengan profound retardation membutuhkan
dukungan yang besar dan biasanya tidak bisa hidup secara independen atau di
rumah secara berkelompok.
Penelitian menemukan bahwa mereka memiliki harapan hidup yang lebih
kecil. Kecenderungan dari keterbelakangan invidu cenderung menetap selama
hidup. Misalkan seorang anak didiagnosa memiliki keterbelakangan mental
berat (severe) pada usia 5 tahun, maka ia akan memiliki diagnosa yang sama
pada usia 21 tahun. Hal ini mungkin tidak akan terlalu terlihat oleh keluarga
mereka, dimana anak-anak dengan keterbelakangan memiliki kemampuan
yang mirip dengan rekan-rekan mereka, namun akan nampak bahwa mereka
akan semakin tertinggal dengan sejalannya usia mereka.

H. PENCEGAHAN RETARDASI MENTAL


Terjadinya retardasi mental dapat dicegah. Pencegahan retardasi mental
dapat dibedakan menjadi dua: pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
a. Pencegahan Primer
Usaha pencegahan primer terhadap terjadinya retardasi mental dapat
dilakukan dengan:
1) pendidikan kesehatan pada masyarakat,  
22

2) perbaikan keadaan sosial-ekonomi,


3) konseling genetik,
4) Tindakan kedokteran, antara lain:
a) perawatan prenatal dengan baik,
b) pertolongan persalinan yang baik, dan
c) pencegahan kehamilan usia sangat muda dan terlalu tua.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder terhadap terjadinya retardasi mental dapat
dilakukan dengan diagnosis dan pengobatan dini peradangan otak dan
gangguan lainnya.

I. PENATALAKSANAAN
- Obat-obat psikotropika ( tioridazin,Mellaril untuk remaja dengan perilaku
yang membahayakan diri sendiri
- Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda gangguan
konsentrasi/gangguan hyperaktif
- Antidepresan ( imipramin (Tofranil)
- Karbamazepin ( tegrevetol) dan propanolol ( Inderal )
- Meningkatkan perkembangan otak yang sehat dan penyediaan pengasuhan
dan lingkungan yang merangsang pertumbuhan
- Harus memfokuskan pada kesehatan biologis dan pengalaman kehidupan
awal anak yang hidup dalam kemiskinan dalam hal ini ; Perawatan
prenatal, pengawasan kesehatan regular, pelayanan dukungan keluarga

J. PENANGANAN RETARDASI MENTAL


Penanganan terhadap penderita retardasi mental bukan hanya tertuju pada
penderita saja, melainkan juga pada orang tuanya. Mengapa demikian?
Siapapun orangnya pasti memiliki beban psiko-sosial yang tidak ringan jika
anaknya menderita retardasi mental, apalagi jika masuk kategori yang berat
dan sangat berat. Oleh karena itu agar orang tua dapat berperan secara baik
dan benar maka mereka perlu memiliki kesiapan psikologis dan teknis. Untuk
23

itulah maka mereka perlu mendapatkan layanan konseling. Konseling


dilakukan secara fleksibel dan pragmatis dengan tujuan agar orang tua
penderita mampu mengatasi bebab psiko-sosial pada dirinya terlebih dahulu.
Untuk mendiagnosis retardasi mental dengan tepat, perlu diambil
anamnesis dari orang tua dengan teliti mengenai: kehamilan, persalinan, dan
pertumbuhan serta perkembangan anak. Dan bila perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium.
a. Pentingnya Pendidikan dan Latihan untuk Penderita Retardasi Mental
1) Latihan untuk mempergunakan dan mengembangkan kapasitas
yang dimiliki dengan sebaik-baiknya.
2) Pendidikan dan latihan diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat
yang salah.
3) Dengan latihan maka diharapkan dapat membuat keterampilan
berkembang, sehingga ketergantungan pada pihak lain menjadi
berkurang atau bahkan hilang.
Melatih penderita retardasi mental pasti lebih sulit dari pada
melatih anak normal antara lain karena perhatian penderita
retardasi mental mudah terinterupsi. Untuk mengikat perhatian
mereka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan merangsang
indera.
b. Jenis-jenis Latihan untuk Penderita Retardasi Mental
Ada beberapa jenis latihan yang dapat diberikan kepada penderita
retardasi mental, yaitu:
1) Latihan di rumah: belajar makan sendiri,  membersihkan badan dan
berpakaian sendiri, dst.,
2) Latihan di sekolah: belajar keterampilan untuk sikap social,
3) Latihan teknis: latihan diberikan sesuai dengan minat dan jenis
kelamin penderita, dan
4) Latihan moral: latihan berupa pengenalan dan tindakan mengenai
hal-hal yang baik dan buruk secara moral.
24

2.3 ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
Pengakajian dapat dilakukan melalui:
1. Neuroradiologi dapat menemukan kelainan dalam struktur kranium,
misalnya klasifikasi atau peningkatan tekanan intrakranial.
2. Ekoesefalografi dapat memperlihatkan tumor dan hamatoma.
3. Biopsi otak hanya berguna pada sejumlah kecil anak retardasii mental.
Juga tidak mudah bagi orang tua untuk menerima pengambilan jaringan
otak dalan jumlah kecil sekalipun karena dianggap menambah kerusakan
otak yang memang tidak adekuat.
4. Penelitian bio kimia menentukan tingkat dari berbagai bahan metabolik
yang diketahui mempengaruhi jaringan otak jika tidak ditemukan dalam
jumlah besar atau kecil, misalnya hipeglekimia pada neonatus prematur,
penumpukan glikogen pada otot dan neuron, deposit lemak dalam otak
dan kadar fenilalanin yang tinggi.
Atau dapat melakukan pengkajian sebagai berikut:
1. Lakukan pengkajian fisik.
2. Lakukan pengkajian perkembangan.
3. Dapatkan riwayat keluarga, teruma mengenai retardasi mental dan
gangguan herediter dimana retardasi mental adalah salah satu
jenisnya yang utama
4. Dapatkan riwayat kesehatan unutk mendapatkan bukti-bukti adanya
trauma prenatal, perinatal, pascanatal, atau cedera fisik.
5. Infeksi maternal prenatal (misalnya, rubella), alkoholisme,
konsumsi obat.
6. Nutrisi tidak adekuat.
7. Penyimpangan lingkungan.
8. Gangguan psikiatrik (misalnya, Autisme).
9. Infeksi, teruma yang melibatkan otak (misalnya, meningitis,
ensefalitis, campak) atau suhu tubuh tinggi.
25

10. Abnormalitas kromosom.


11. Bantu dengan tes diagnostik misalnya: analis kromosom,
disfungsimetabolik, radiografi, tomografi, elektro ersafalografi.
12. Lakukan atau bantu dengan tes intelegensia. Stanford, binet,
Wechsler Intellence, Scale, American Assiciation of Mental
Retardation Adaptif Behavior Scale.
13. Observasi adanya manifestasi dini dari retardasi mental:
14. Tidak responsive terhadap kontak.~Kontak mata buruk selama
menyusui.
15. Penurunan aktivitas spontan
16. Penurunan kesadaran terhadap suara getaran
17. Peka rangsang.
18. Menyusui lambat.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
kerusakan fungsi kognitf.
2. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang
menderita retardasi mental.
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d kelainan fs. Kognitif
4. Gangguan komunikasi verbal b.d kelainan fs. kognitif
5. Risiko cedera b.d. perilaku agresif/ketidakseimbangan mobilitas fisik
6. Gangguan interaksi sosial b.d. kesulitan bicara /kesulitan adaptasi sosial
7. Gangguan proses keluarga b.d. memiliki anak RM
8. Defisit perawatan diri b.d. perubahan mobilitas fisik/kurangnya
kematangan perkembangan

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
kerusakan fungsi kognitf.
Intervensi keperawatan / rasional :
26

a. Libatkan anak dan keluarga dalam program stimulasi dini pada


bayii untuk membantu memaksimalkan perkembangan anak.
b. Kaji kemajuan perkembangan anak dengan interval regular, buat
catatan yang terperinci untuk membedakan perubahan fungsi samar
sehingga rencana perawatan dapat diperbaiki sesuai kebutuhan.
c. Bantu keluarga menyusun tujuan yang realitas untuk anak, untuk
mendorong keberhasilan pencapaian sasaran dan harga diri.
d. Berikan penguatan positif / tugas-tugas khusus untuk perilaku anak
karena hal ini dapat memperbaiki motivasi dan pembelajaran.
e. Dorong untuk mempelajari ketrampilan perawatan diri segera
setelah anak mencapai kesiapan.
f. Kuatkan aktivitas diri untuk menfasilitasi perkembangan yang
optimal.
g. Dorong keluarga untuk mencari tahu program khusus perawatan
sehari dan kelas-kelas pendidikan segera.
h. Tekankan bahwa anak mempunyai kebutuhan yang sama dengan
anak lain.
i. Sebelum remaja, berikan penyuluhan pada anak dan orang tua
tentang maturasi fisik, perilaku seksual, perkawinan dan keluarga.
2. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak
yang menderita retardasi mental.
Intervensi keperawatan / rasional.
a. Berikan informasi pada keluarga sesegera mungkin pada saat atau
setelah kelahiran.
b. Ajak kedua orang tua untuk hadir pada kpnferensi pemberian
informasi.
c. Bila mungkin, berikan informasi tertulis pada keluarga tentang
kondisii anak.
d. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang manfaat dari
perawatan dirumah, beri kesempatan pada mereka untuk
27

menyeldiki semua alternatif residensial sebelum membuat


keputusan.
e. Dorong keluarga untuk bertemu dengan keluarga lain yang
mempunyai masalah yang sama sehingga mereka dapat menerima
dukungan tambahan.
f. Tekankan karakteristik normal anak untuk membantu keluarga
melihat anak sebagai individu dengan kekuatan serta kelemahannya
masing-masing.
g. Dorong anggota keluarga untuk mengekspresikan perasaan dan
kekhawatiran karena hal itu merupakan bagian dari proses adaptasi.

D.    PELAKSANAAN/ IMPLEMENTASI


Setelah rencana keperawatan dibuat, kemudian dilanjutkan dengan
pelaksanaan. Pelaksanaan rencana asuhan keperawatan merupakan kegiatan atau
tindakan yang diberikan dengan menerapkan pengetahuan dan kemampuan klinik
yang dimilki oleh perawat berdasarkan ilmu – ilmu keperawatan dan ilmu – ilmu
lainnya yang terkait. Seluruh perencanaan tindakan yang telah dibuat dapat
terlaksana dengan baik.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana asuhan
keperawatan atau hambatan yang penulis dapatkan. Hambatan-hambatan tersebut
antara lain, keterbatasan sumber referensi buku sebagai acuan penulis dan juga
alat yang tersedia, pendokumentasian yang dilakukan oleh perawat ruangan tidak
lengkap sehingga sulit untuk mengetahui perkembangan klien dari mulai masuk
sampai sekarang secara detail, lingkungan fisik atau fasilitas rumah sakit yang
kurang memadai dan keberadaan penulis di ruang tempat klien di rawat terbatas.
28

E.     EVALUASI
Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses keperawatan. Tahap evaluasi
dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subjektif dan data
objektif yang akan menunjukkan apakah tujuan asuhan keperawatan sudah
tercapai sepenuhnya, sebagian atau belum tercapai. Serta menentukan masalah apa
yang perlu di kaji, direncanakan, dilaksanakan dan dinilai kembali.
Tujuan tahap evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencana
keperawatan, menilai, meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui
perbandingan asuhan keperawatan yang diberikan serta hasilnya dengan standar
yang telah di tetapkan lebih dulu. Pada tahap evaluasi yang perawat lakukan
adalah melihat apakah masalah yang telah diatasi sesuai dengan kriteria waktu
yang telah ditetapkan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS
An. R umur 6 tahun dibawa ibunya ke rumah sakit karena membuang dan
membanting barang-barang yang ada disekitarnya. Ibu R mengatakan anaknya
sering bersikap aneh misalnya sering membuang barang-barang yang ada di
sekitarnya dan sering mengancam jiwa orang lain. Ibu R mengatakan anaknya
sering menolak ketika diajak bermain oleh teman – temannya. Ibu R mengatakan
An. R belum bisa menulis, membaca dan melakukan aktivitasnya sendiri.
Saat dilakukan pengkajian respon An. R sangat lambat dan jawaban An. R juga
menyimpang dari pertanyaan yang diberikan oleh perawat. Ketika diamati tubuh
An. R terlihat kurus, kecil, tidak seperti anak umur 6 tahun pada umumnya. Saat
diberikan mainan oleh perawat An. R terlihat kurang berminat.

3.1    PENGKAJIAN
I. Identitas Klien
Nama klien                    :  An.R
Umur                                   : 6 Tahun
Jenis kelamin                      :  Laki-laki
Agama                                  :  Islam
Pendidikan                           : SD
Pekerjaan                           : Pelajar
Status pernikahan         : Belum menikah
Alamat                           : Surabaya
Diagnosa  Medis              : Retardasi Mental
Tanggal masuk RS                 : 16 Oktober 2018

Penanggung jawab  
Nama                        : Ibu R
Umur                       : 50 Tahun
30

Agama                   : Islam
Pendidikan              : SMA
Pekerjaan                                  : Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan                    : Menikah
Alamat                               : Surabaya
Hub. dengan klien                : Ibu Klien

II. Alasan Masuk


An. R dibawa ibunya ke rumah sakit karena membuang dan membanting
barang-barang yang ada disekitarnya. Ibu R mengatakan anaknya sering
bersikap aneh misalnya sering membuang barang-barang yang ada di
sekitarnya dan sering mengancam jiwa orang lain.

III. Faktor Predisposisi


Ibu R mengatakan anaknya tidak pernah mengalami gangguan kejiwaan pada
masa lalu. Ibu R mengatakan apabila anak R mengalami keanehan pada
dirinya hanya menenangkan saja. Ibu R mengatakan An. R tidak pernah
mengalami kekerasan fisik. Ibu R mengatakan An.R tidak pernah mengalami
kekerasan didalam keluarga. . Ibu R mengatakan An.R tidak pernah
mengalami tindakan kriminal. . Ibu R mengatakan didalam keluarganya tidak
ada yang mengalami gangguan jiwa. . Ibu R mengatakan An.R tidak pernah
memiliki pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.

IV. Fisik
RR : 32 x / menit. S : 36,5 o C. N : 110x/menit. . Ibu R mengatakan An.R tidak
memiliki keluhan pada fisiknya.

V. Psikososial
1. Konsep Diri
a. Gambaran Diri
Ibu R mengatakan An.R tidak memiliki masalah dalam gambaran diri.
31

b. Identitas Diri
Ibu R mengatakan An.R merupakan anak pertama dan satu-satunya dalam
keluarganya. Ibu R mengatakan An.R belum memasuki masa sekolah.

c. Peran
Ibu R mengatakan An.R belum memiliki kemampuan seperti anak-anak yang
memiliki umur yang sama dengan anaknya. Ibu R mengatakan An.R belum bisa
melaksanakn tugas seperti anak-anak yang sama dengan usianya.

d. Ideal Diri
Ibu R mengatakan An.R semoga cepat sembuh dan bisa bermain dengan teman-
temannya.

e. Harga Diri
Ibu R mengatakan An.R tidak mampu bersosialisasi dengan teman-teman yang
ada disekitarnya. Ibu R mengatakan An.R malu ketika akan bermain dengan
teman-temannya. Ibu R mengatakan An.R tidak pernah mendengarkan apa yang
dikatakan ibunya. Ibu R mengatakan orang lain tidak pernah menilai bahwa
An.R memiliki keterbelakangan mental.
Masalah Keperawatan : Harga diri rendah kronik

2. Hubungan Sosial
Ibu R mengatakan An.R lebih dekat dengan ayahnya. Ibu R mengatakan An.R
tidak mengikuti kegiatan kelompok yang ada didalam masyarakat.
Masalah Keperawatan : -

3. Spiritual
Ibu R mengatakan An.R selalu mengikuti ayahnya melakukan shalat di dalam
rumahnya.
Masalah Keperawatan : -
32

VI. Status Mental


1. Penampilan
Penampilan An. R rapi sesuai dengan umurnya. Pakaian yang digunakan bersih.
Penggunaan pakaian yang digunakan sesuai dengan mestinya. Tidak terdapat
tanda-tanda penampilan yang buruk pada An. R.
Masalah Keperawatan : -

2. Pembicaraan
Pembicaraan An. R sangat lambat dan tidak dimengerti. Tidak dapat menjawab
pertanyaan perawat dengan jelas. Tidak kontak mata. An. R selalu gagap dalam
bicara. An. R sulit menyusun kata-kata. An.R sulit dalam bicara.
Masalah Keperawatan : Hambatan Komunikasi Verbal

3. Aktivitas Motortik
An. R terlihat sangat aktif dan An.R tidak mengalami kesulitan dalam
beraktivitas.
Masalah Keperawatan : -

4. Alam Perasaan
An. R tidak terlihat sedih. Klien tidak mengalami ketakutan. Dan klien tidak
mengalami kekhawatiran.
Masalah Keperawatan : -

5. Afek
Afek An.R tidak sesuai. Emosi yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
stimulus yang ada.
Masalah Keperawatan : -

6. Interaksi selama Wawancara


Selama dilakukan wawancara kepada klien. An. R tidak kooperatif.
Masalah Keperawatan : -
33

VII. Kebutuhan Persiapan Pulang


1. Makan
Sebelum sakit klien makan 2x sehari dengan nutrisi yang cukup dan porsi yang
di berikan selalu di habiskan klien. Selama sakit klien tidak mau makan karena
sering rewel.

2. BAB / BAK
Sebelum dibawa ke rumah sakit An bisa BAK 5x sehari dengan konsistensi
warna urin kuning bening. Setelah dibawa ke rumah sakit anak N bisa BAK 3x
sehari dengan konsistensi warna urin kuning pekat.klien juga tidak terpasang
kateter. Sebelum dan setelah di bawa ke rumah sakit BAB klien Normal.

3. Mandi
Saat berada dirumah dan dirumah sakit An.R selalu mandi dengan cara dilap
oleh ibunya dengan menggunakan air hangat dengan frekuensi mandi 2 kali
sehari.

4. Berpakaian
Saat berpakain An.R selalu dibantu oleh ibunya. Ibu R mengatakan bahwa
anaknya selalu menyukai baju dengan motif warna yang cerah.

5. Istirahat dan Tidur


Sebelum di bawa ke rumah  sakit klien mengatakan tidak ada masalah saat
istirahat selama 6 jam untuk tidur malam dan 2 jam untuk tidur siang. Setelah di
bawa ke rumah  sakit klien mengatakan sulit tidur  dan terbangun serta sering
rewel dikarenakan 4 jam dan tidak bisa tidur siang.

6. Pemeliharaan Kesehatan
Ibu R mengatakan selalu membawa anaknya ke rumah sakit apabila An. R
selalu mengalami hal-hal yang aneh.
34

7. Kegiatan didalam rumah


An. R selalu dibantu oleh ibunya ketika akan melakukan aktivitas dirumah.

8. Kegiatan diluar rumah


An. R selalu didampingi oleh ibunya apabila akan pergi keluar rumah.

VIII. Mekanisme Koping


An. R selalu tidak mau diajak bicara oleh orang lain, selalu ingin bicara dengan
orang tuanya saja. Klien terlihat malu dan selalu menghindar ketika diajak
bicara oleh perawat.
Masalah Keperawatan : Hambatan penyesuaian individu
35

3.2 ANALISA DATA

Data Fokus Etiologi Problem


Ds : Gangguan Harga Diri Rendah
 Ibu R mengatakan An.R tidak Psikiatrik Kronik
mampu bersosialisasi dengan Domain : 6
Kelas : 2
teman-teman yang ada Kode Diagnosis :
disekitarnya. 00119
 Ibu R mengatakan An.R malu
ketika akan bermain dengan
teman-temannya.
 Ibu R mengatakan An.R tidak
pernah mendengarkan apa
yang dikatakan ibunya.
Do :
 Saat dilakukan pengkajian
respon An. R sangat lambat
dan jawaban An. R juga
menyimpang dari pertanyaan
yang diberikan oleh perawat.
Kontak mata kurang dan
cenderung pasif.
Ds : - Gangguan Hambatan
Do : Psikologis Penyesuaian Individu
 An. R selalu tidak mau diajak Domain : 9
bicara oleh orang lain, selalu Kelas : 2
Kode Diagnosis :
ingin bicara dengan orang 00210
tuanya saja.
 Klien terlihat malu dan selalu
menghindar ketika diajak
bicara oleh perawat.
36

Ds : - Gangguan Konsep Hambatan


Do : Diri Komunikasi Verbal
 Pembicaraan An. R sangat Domain : 5
lambat dan tidak dimengerti. Kelas : 5
Kode Diagnosis :
 Tidak dapat menjawab 00051
pertanyaan perawat dengan
jelas.
 Tidak kontak mata. An. R
selalu gagap dalam bicara.
 An. R sulit menyusun kata-
kata.
 An.R sulit dalam bicara.

DS : - Stresor Ansietas
DO : Domain : 9
 Ketika diamati tubuh An. R Kelas : 2
terlihat gemetar dan gelisah Kode Diagnosis :
ketika ada perawat laki-laki 00146
yang mendekat, dan bahkan
berteriak histeris sambil
berkata takut.

3.3 PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Harga diri rendah kronik b.d gangguan psikiatrik
2. Hambatan penyesuaian individu b.d gangguan psikologis
3. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan konsep diri
4. Ansietas b.d Stresor
37

3.4 INTERVENSI

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL

1 Harga diri rendah Setelah dilakukan 1. Monitor pernyataan


. kronik b.d gangguan tindakan keperawatan pasien mengenai harga
psikiatrik selama 3 x 24 jam maka
diri
harga diri rendah kronik
dapat teratasi dengan 2. Bantu pasien untuk
kriteria hasil : mengatasi bullying atau
1. Mempertahankan
ejekan
kontak mata (5)
3. Instruksikan orang tua
2. Tingkat kepercayaan
untuk mengetahui
diri (5)
pencapaian anak
3. Gambaran tentang
4. Berikan hadiah atau
sukses di sekolah (5)
pujian terkait dengan
4. Gambaran tentang
kemjuan pasien dalam
bangga pada diri
mencapai tujuan
sendiri (5)
5. Fasilitasi lingkungan dan
aktivitas-aktivitas yang
akan meningkatkan harga
diri
6. Instruksikan orang tua
mengenai pentingnya
minat dan dukungan
mereka dalam
mengembangkan konsep
diri positif anak-anak
7. Buat pernyataan positif
mengenai pasien
8. Dukung pasien untuk
menerima tantangan baru
38

.
2 Hambatan Setelah dilakukan 1. Anjurkan peningkatan
. penyesuaian tindakan keperawatan keterlibatan dalam
individu b.d selama 3 x 24 jam maka
hubungan yang sudah
gangguan hambatan penyesuaian
psikologis individu dapat teratasi mapan
dengan kriteria hasil : 2. Anjurkan kegiatan sosial
1. Berinteraksi dengan
dan masyarakat
orang tua (5)
3. Tingkatkan keterlibatan
2. Mempertahankan
dalam minat yang sama
perasaan akan
sekali baru
control diri (5)
4. Anjurkan partisipasi
3. Berpartisipasi dalam
dalam kelompok atau
interaksi sosial (5)
kegiatan reminiscence
4. Berinteraksi dengan
individu
teman sebaya (5)
5. Fasililitasi partisipasi
pasien dalam kelompok
mendongeng
6. Minta harapkan
komunikasi verbal
7. Berikan umpan balik
positif saat pasien
menjangkau orang lain
8. Anjurkan pasien untuk
mengubah lingkungan
seperti pergi ke luar untuk
jalan-jalan.

3 Hambatan Setelah dilakukan 1. Monitor kecepatan bicara,


. komunikasi verbal tindakan keperawatan tekanan, kecepatan,
b.d gangguan selama 3 x 24 jam maka
kuantitas, volume dan
konsep diri hambatan komunikasi
verbal dapat teratasi diksi
39

dengan kriteria hasil: 2. Monitor pasien terkait


1. Kejelasan berbicara dengan perasaan frustasi,
(5) kemarahan atau depresi
3. Kenali emosi dan perilaku
fisik sebagai bentuk
komunikasi
4. Sesuaikan gaya
komunikasi untuk
memenuhi kebutuhan
klien
5. Modifikasi lingkungan
untuk bisa meminimalkan
kebisingan yang
berlebihan dan
menurunkan distress
emosi
6. Instruksikan pasien untuk
bicara pelan
7. Kolaborasi bersama
keluarga / ahli terapis
bahasa patologis untuk
mengembangkan rencana
agar bisa berkomunikasi
secara efektif
8. Sediakan penguatan
positif dengan cara yang
tepat
4 Ansietas b.d Stresor Setelah dilakukan Terapi Trauma : Anak
. tindakan keperawatan 1. Gunakan bahasa sesuai
selama 3 x 24 jam maka dengan tahapan
ansietas dapat teratasi
perkembangan untuk
dengan kriteria hasil:
40

1. Postur tubuh, bertanya mengenai trauma


ekspresi wajah, 2. Gunakan relaksasi dan
bahasa tubuh dan prosedur desensitisasi
tingkat aktivitas untuk membantu anak
menunjukkan menggambarkan kejadian
berkurangnya 3. Bangun kepercayaan,
kecemasan (5) keamanan, dan hak untuk
mendapatkan akses materi
trauma dengan hati-hati
dengan memantau reaksi
terhadap pengungkapan
kejadian
4. Bantu anak untuk
membangun kembali rasa
aman dan hal-hal yang
dapat diramalkan dalam
hidupnya
                                                                                                               
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Retardasi mental adalah bentuk gangguan atau kekacauan fungsi mental
atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya
mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimulus eksteren
dan ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan
struktur dari suatu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan mental.
Retardasi mental bisa saja terjadi pada setiap individu / manusia karena
adanya faktor-faktor dari dalam maupun dari luar, gejala yang ditimbulkan
pada penderita retardasi mental umumnya rasa cemas, takut, halusinasi serta
delusi yang besar.
4.2 Saran
Disarankan kepada para ibu agar memperhatikan kesehatan dirinya seperti
memperhatikan gizi, hati-hati mengkonsumsi obat-obatan dan mengurangi
kebiasaan buruk seperti: minum-minuman keras dan merokok.
Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan perlu melakukan langkah
prepentif guna menanggulangi gangguan mental yang dapat membahayakan
kesehatan anak dan remaja caranya yaitu dengan menggalakkan penyuluhan
tentang retardasi mental kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Basbeth, et al. (2008). Tindak Pidana Kesusilaan Pada Retardasi Mental : Kasus
yang belum terjangkau oleh hukum. Journal of Legal and Forensi
Sciences 2008; 1(1): 13-16

Delphie, B. 2005. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.

Freedman et al. Modern Synopsis of Comprehensive Textbook of Psychiatry.


Baltimore : The Williams & Wilkins Co, 1972; pp 312 -329.
Maramis, W.F. (2005) Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Maramis W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Maslim, R. 2002, Buku Saku; Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III. Jakarta: FK Unika Atmajaya.
Newman, Dorlan. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorlan Edisi 2008. Jakarta:
EGC.
Smith, C.M. & Maurer, F.A. (1995). Community Health Nursing: Theory And
Practice. Philadelphia: WB Saunders Company.
Somantri dan Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika
Aditama.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh kembang Anak. Surabaya: Airlangga University
Press.
Suryani dan Lesmana. (2009). Pedofil: Penghancur Masa Depan Anak. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia

Anda mungkin juga menyukai