Anda di halaman 1dari 5

Tugas Kelompok Analisis Unsur Sinematik Dalam Film

Anggota Kelompok 4
1. Isnaen Bakda Ramadhan 2001040047
2. Ivan Akbar Winasis 2001040048
3. Surya Okta Arbawa 2001040058
4. Jodi Ari Setiawan 2001040061
5. Bintang Nazih Hakim 2001040067
6. Gilang Pamungkas 2001040080
7. Iqbal Rifai 2001040083

A. Sinopsis Film
Kisah pada film Sang Penari dimulai di tahun 1953 di sebuah desa bernama Dukuh Paruk yang
terletak di Banyumas, Jawa Tengah. Dukuh Paruk memiliki tradisi ronggeng sebagai cara
mereka menjaga warisan leluhur Ki Secamenggala. Mereka selalu memiliki seorang ronggeng
cantik yang dipuja puja dan dielu-elukan.
Pada tahun 1953 tersebut, terjadi wabah yang membuat banyak orang Dukuh Paruk termasuk
sang ronggeng meninggal akibat memakan tempe bongkrek yang dibuat Santayib. Santayib
juga tewas dan meninggalkan putrinya, Srintil, yang sejak kecil bercita-cita menjadi ronggeng.
Di tahun 1963, Srintil yang sudah dewasa pun digadang gadang menjadi penerus ronggeng
Dukuh Paruk.
Srintil memiliki teman sejak kecil yang bernama Rasus. Seiring kedekatan mereka, Rasus dan
Srintil pun saling mencintai. Namun Srintil tetap bercita-cita untuk menjadi ronggeng sebagai
wujud baktinya pada Dukuh Paruk dan untuk menebus kesalahan orang tuanya. Sang kakek,
Sukarya pun meyakinkan dukun ronggeng Dukuh Paruk, Kertareja, bahwa Srintil telah dipilih
leluhur sebagai ronggeng.
Meski Srintil telah memperlihatkan kemampuannya menari, Kertareja belum percaya. Rasus
yang melihat Srintil sangat berambisi menjadi ronggeng kemudian membantunya dengan
memberikan pusaka milik ronggeng sebelumnya. Kertareja pun percaya jika leluhur telah
memilih Srintil menjadi ronggeng. Dukuh Paruk akhirnya merayakan kembalinya ronggeng di
desa mereka.
Namun menjadi ronggeng bukanlah sekedar menari di depan warga saja. Srintil juga harus
merelakan dirinya untuk menjadi “milik bersama”. Pada malam yang dinamakan “buka
kelambu”, Srintil harus merelakan keperawanannya untuk penawar tertinggi. Setelah itu, ia pun
harus melayani para pria di desa tersebut.
Hal tersebut sudah menjadi kewajiban seorang ronggeng. Para istri dari pria-pria ini pun
merelakan dengan senang hati karena hal itu dianggap akan membawa berkah bagi kehidupan
rumah tangga mereka. Namun Rasus yang mencintai Srintil tidak bisa menerima hal tersebut.
Di malam “buka kelambu”, Rasus mengajak Srintil berhubungan badan dengannya sebelum
melayani para pria.
Rasus yang tetap tidak bisa menerima kondisi Srintil setelah menjadi ronggeng pun pergi dari
Dukuh Paruk dan bergabung menjadi tentara. Sementara kesenian ronggeng di Dukuh Paruk
semakin berjaya. Hingga tanpa mereka sadari seorang simpatisan PKI bernama Bakar
menyusup ke kampung mereka dan menanamkan ideologi komunisme ke seluruh penduduk
kampung.
Bakar memanfaatkan kesenian ronggeng dan ketidaktahuan masyarakat Dukuh Paruk untuk
membuat mereka bergabung dengan PKI. Setelah terjadinya pergolakan politik di tahun 1965,
Rasus dan para tentara lain pun ditugaskan untuk menangkap semua orang yang tercatat
sebagai simpatisan PKI, termasuk orang-orang di Dukuh Paruk.
Orang-orang di Dukuh Paruk yang tidak tahu menahu dan hanya ikut-ikutan pun harus terseret
dan dianggap sebagai simpatisan PKI, termasuk Srintil. Kekacauan pun terjadi di Dukuh Paruk,
semua orang ditangkap. Saat Rasus datang untuk mencari Srintil, Dukuh Paruk sudah kosong
dan rusak berantakan. Rasus kemudian berusaha mencari info mengenai keberadaan Srintil.
Dari seorang teman tentaranya, Rasus berhasil menemukan alamat kamp konsentrasi tempat
Srintil ditangkap. Namun Rasus baru datang tepat saat Srintil dibawa oleh sebuah gerbong
kereta bersama para tentara dan warga lainnya yang ditangkap. Sepuluh tahun kemudian, Rasus
bertemu dengan seorang ronggeng yang mirip dengan Srintil.
Rasus memberikan pusaka yang dulu ia berikan pada Srintil dan ia temukan saat Dukuh Paruk
mengalami kekacauan. Ronggeng tersebut menerimanya, meski seolah tak mengenal Rasus.
Ronggeng itu pun pergi, namun Rasus tersenyum pada dirinya seolah mengenalinya sebagai
Srintil.
Kisah mengenai Rasus dan Srintil dalam film Sang Penari mungkin hanyalah kisah fiksi.
Namun, alur cerita film ini dikemas cukup baik dengan menggabungkan kisah fiksi tersebut
dengan budaya, tradisi, dan sejarah. Dari film yang berdurasi 119 menit ini, kita bisa mengenal
banyak tradisi dan budaya Indonesia, terutama tradisi mengenai kesenian ronggeng.
Dari adegan-adegan dalam film ini, kita bisa melihat bagaimana kesenian ronggeng menjadi
sesuatu yang sakral pada kurun waktu tersebut. Begitu pula dengan tradisi dan budaya lain
yang dianut oleh masyarakat Jawa di masa itu, mulai dari mata pencaharian, ritual keagamaan,
pakaian, dan elemen-elemen budaya lainnya.
Film ini juga mengangkat kisah sejarah dalam alur ceritanya, yaitu mengenai sejarah kelam
Indonesia pada tahun 1965 saat terjadinya pergolakan politik yang melibatkan Partai Komunis
Indonesia atau PKI. Film ini mencoba menceritakan sejarah tersebut dari sudut pandang lain,
yaitu dari rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa namun harus ikut terseret dan menjadi korban
pergolakan politik tersebut.
Film Sang Penari tampak begitu memperhatikan keseluruhan aspek yang muncul di hadapan
kamera bahkan hingga hal-hal detail sekalipun. Dari segi totalitas akting para pemainnya, Prisia
Nasution dan Oka Antara memerankan karakter mereka masing-masing dengan sangat baik.
Dari segi logat bicara hingga gesture, keduanya seolah benar-benar menjadi Srintil dan Rasus.
Tak hanya pemeran utamanya, para pemeran pendukung hingga figuran pun berakting dengan
natural dan mendalami karakternya masing-masing. Begitu pula dengan properti, dekorasi,
wardrobe, hingga tata sinematografi yang dipikirkan secara detail hingga kita seolah benar-
benar melihat bagaimana kondisi Dukuh paruk pada masa era 1960-an.
Film ini membuat setting lokasi pedesaan yang sangat natural, begitu pula dengan kostum
hingga make up para pemainnya. Filter sinematografi dengan warna-warna hangat pun seolah
menghidupkan nuansa tahun 1960-an.

B. Unsur Unsur Sinematik

MISE EN SCENE
Miseen Scene dalam Teknik sinematografi terdiri atas setting atau latar, tata cahaya, kostum
dan make up, juga acting dan pergerakan pemain. Setelah kami menonton dan mengamati film
sang penari, kami menyimpulkan bahwa dari film sang penari setting atau latar film di pedesaan
atau perkampungan sekitar tahun 90 an, karena rumah rumah yang ditinggali oleh para pemain
tradisional yang dindingnya terbuat dari kayu atau bambu.
Tata cahaya yang digunakan yaitu natural lighting. Natural lighting merupakan sebuah Teknik
pencahayaan yang tidak memerlukan lampu untuk mempraktikanya, karena menggunakan
cahaya yang sudah tersedia secara alami di lokasi syuting (medina). Natural lighting digunakan
pada adegan siang hari dengan menggunakan cahaya matahari. Pada waktu malam hari, tata
cahaya yang digunakan practical light. Practical light merupakan Teknik pencahyaan
menggunakan sumber cahaya seperti lampu atau lilin untuk menghasilkan scene yang
sinematik pada malam hari. Dalam film sang penari, penggunaan cahaya menggunakan cahaya
lampu minyak.
Kostum yang digunakan oleh para pemain film sang penari yaitu untuk perempuan
menggunakan pakaian kebaya dan kemban (baju adat jawa) dan laki laki menggunakan kaos
polos dan kostum tentara yang berperan sebagai tentara. Make up yang digunakan oleh para
pemain menggunakan make up natural dan rambut perempuan di gulung.
Acting dan pergerakan pemain dalam film sang penari, menurut kami acting tokoh utama sudah
bagus, hanya saja tatapan matanya kurang saat menunjukan rasa suka atau tertarik atau jatuh
cinta satu sama lain saat berinteraksi. Tokoh utama laki laki yang Bernama rasus saat menjadi
tentara kurang menunjukan ekspresi tegas seorang tentara, beberapa mata dia berkedip dan saat
menjawab perintah atasanya. Pergerakan pemain yang berperan sebagai srintil (penari
ronggeng) kurang luwes dan kurang tenaga. Pergerakan tokoh figuran sangat bagus dan alami
menambah hidup suasana bermasyarakatanya.
Mise en Scene sendiri meliputi beberapa aspek, antara lain:
Setting:
1. Suasana: Kisah cinta tragis
2. Tempat/Lokasi: Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah
3. Waktu/Durasi: 111 menit
-Aktor:
1. Prisia Nasution sebagai Srintil, penari ronggeng Dukuh Paruk.
2. Oka Antara sebagai Rasus, teman baik sejak kecil sekaligus kekasih Srintil.
3. Slamet Rahardjo sebagai Kertareja, dukun ronggeng Dukuh Paruk.
4. Dewi Irawan sebagai Nyai Kartareja, istri Kartareja dan juga dukun ronggeng Dukuh Paruk.
5. Landung Simatupang sebagai Sakarya, kakek Srintil.
6. Hendro Djarot sebagai Sakum, penabuh kendhang yang buta, anggota grup kesenian
ronggeng Dukuh Paruk.
7. Lukman Sardi sebagai Bakar, anggota partai komunis yang kembali ke Dukuh Paruk.
8. Tio Pakusadewo sebagai Sersan Binsar, atasan Rasus di markas batalyon TNI tak jauh dari
Dukuh Paruk.
9. Teuku Rifnu Wikana sebagai Darsun, teman Rasus dan Srintil sejak kecil.
-Lighting/Teknik Pencahayaan:
1. Key light
2. Fill light
3. Background light
4. Rim light
5. High jey lighting
6. Kicker

SINEMATOGRAFI
Sinematografi merupakan menulis dengan gambar yang bergerak (Nugroho 2014).
Sinematografi dapat diartikan sebagai kegiatan menulis, menuangkan pikiran menjadi gambar
bergerak. Unsur unsur dalam sinematografi terdiri atas shot atau take, scene atau adegan,
sequence atau pengambil shot, scene, dan sequence.

SUARA
Menurut kami, setelah kami menonton film sang penari, dalam film itu menggunakan jenis
suara Diegetic yang di mana sumber suaranya terlihat dalam layer atau disiratkan oleh aksi
dalam film. Suara film ini yaitu berasal dari para tokoh, music intrumen, ataupun suara peraga.
Tetapi juga, dalam film ini terdapat seperti suara efek yang di mana suara itu termasuk jenis
suara non diegetic.
EDITING
Dalam film ini, terdapat dua jenis editing, yaitu jenis editing offline dan jenis editing online.
Untuk film jenis editing offiline, adalah jenis editing yang sangat memangkas waktu dan tenaga
editor. Dalam editing ini menggunakan codec atau simpelnya footage yang telah dikompres
menjadi format lebih ringan. Menurut kami, film ini menggunakan resolusi film 4K karena
pengeditan film menggunakan bantuan software. Sedangkan editing online tahap akhir dari
pengeditan sebuah film. Dalam film sang penari ini hanya menggunakan online editing hanya
untuk penyempurnaan warna sampai penambahan efek visual.

C. Kesimpulan
Film Sang Penari merupakan film yang merepresentasikan budaya lokal Banyumas sebagai
pendukung cerita. Budaya lokal tersebut meliputi kesenian ronggeng dan calung, bahasa Jawa
dialek Banyumasan, batik khas Banyumas, makanan tradisional tempe bongkrek, dan lagéyan
orang Banyumas.
Budaya lokal Banyumas dalam film Sang Penari direpresentasikan melalui mise en scene
(setting, kostum dan make up, pemain dan pergerakannya) dan melalui dialog. Melalui setting,
yaitu penggunaan rumah-rumah di Dukuh Paruk merupakan rumah tradisional Jawa dengan
model serotong untuk tempat tinggal. Melalui properti yang digunakan yaitu alat musik
tradisional calung, dan makanan tradisional tempe bongkrek. Melalui kostum dan make-up,
yaitu kostum ronggeng yang berupa kemben dengan bawahan kain batik, sampur, sanggul,
cundhuk menthul. Kostum ibu-ibu yaitu pakaian tradisonal Jawa dengan model kuthu baru.
Batik khas Banyumas yaitu motif-motif batik jonasan, antara lain motif ayam puger, motif
semen klewer Banyumasan, motif plonto galaran seling parang klitik dan motif godhong
lumbu. Melalui pemain dan pergerakannya, yaitu melalui gestur fisik Srintil dan Surti yang
menari ronggeng. Melalui dialog, yaitu penggunaan bahasa Jawa dengan dialek Banyumasan.

Anda mungkin juga menyukai