Anda di halaman 1dari 60

KEPUTUSAN DIREKTUR

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA


BUKITTINGGI
NOMOR :

TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN TB DAN STRATEGI
DOTS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA
BUKITTINGGI
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA
BUKITTINGGI
MENIMBANG :
a. Bahwa dalam rangka untuk menurunkan angka kesakitan TB di
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bukittinggi perlu dibuat
Pedoman Pelayanan TB dan Strategi DOTS di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Bukittinggi.

b. Bahwa mempertimbangkan sebagaimana dimaksud pada huruf a


tersebut di atas perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Rumah Sakit Umum Daerah kota Bukittinggi Pedoman Pelayanan
TB dan Strategi DOTS di Rumah Sakit Umum Daerah kota
MENGINGAT : Bukittinggi.

1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor153,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5072);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063);
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017 tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/ Menkes/ SK /XII/ 2009
tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit
Tuberkulosisi dan HIV
6. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 129/Menkes/SK/V/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal di Rumah Sakit
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009
tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis

MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN :
PERTAMA : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KOTA BUKITTINGGI TENTANG PEDOMAN PELAYANAN TB
DAN STRATEGI DOTS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KOTA BUKITTINGGI.

KEDUA : Setiap melaksanakan setiap kegiatan yang berkaitan dengan


Pelayanan TB dan strategi DOTS agar mengacu pada Panduan
Pelayanan TB dan strategi DOTS

KETIGA : Semua tenaga dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya yang
terlibat dalam Pelayanan TB harus menaati dan melaksanakan
sesuai dengan prosedur pelayanan dan kompetensi profesi masing-
masing.

KEEMPAT : Keputusan ini berlaku selama dua tahun sejak tanggal


ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan di :
Pada tanggal :
Direktur RSUD kota Bukittinggi :
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Pedoman “Kerja Tim DOTS” ini
dengan lancar. Penulisan panduan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu penilaian akreditasi
rumah sakit.

Panduan ini ditulis untuk memperlancar pelayanan yang ada di RSUD kota Bukittinggi.
Kami berharap, dengan membaca pedoman ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam
hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Pedoman “Kerja Tim DOTS”. Pedoman ini
masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Bukittinggi, 2022

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | i


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................1

B. TUJUAN PEDOMAN..........................................................................................................3

C. LINGKUP PELAYANAN...................................................................................................4

D. BATASAN OPERASIONAL...............................................................................................5

E. LANDASAN HUKUM........................................................................................................5

BAB II STANDAR KETENAGAAN.............................................................................................7


A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA...................................................................7

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN............................................................................................7

C. PENGATURAN DINAS....................................................................................................12

BAB III STANDAR FASILITAS.................................................................................................12


A. DENAH RUANGAN.........................................................................................................12

B. STANDAR FASILITAS....................................................................................................13

BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN.................................................................................14


BAB V LOGISTIK........................................................................................................................45
BAB VI KESELAMATAN PASIEN............................................................................................48
BAB VII KESELAMATAN KERJA............................................................................................51
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU..........................................................................................55
BAB IX PENUTUP.......................................................................................................................56

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | ii


Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat
TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi
pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari
pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan
oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang
terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut.
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. Hanya
sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan
menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang
rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko
yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 1


mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB
akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. Pasien
yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan 50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya
tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB
ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969
penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT)
yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua
tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai
digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol selama
6 bulan.
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly observed Treatment Short-
course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif
(cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, clinical trials, best practices, dan
hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan
strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat merubah kasus menular menjadi tidak
menular, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Pada tahun 1995, WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
penanggulangan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang paling efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar
sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh
WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar
yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$
55 selama 20 tahun.
Sejak tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai melaksanakan strategi
DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara bertahap. Sampai tahun 2000, hampir seluruh
Puskesmas telah komitmen dan melaksanakan strategi DOTS yang diintegrasikan dalam
pelayanan kesehatan dasar.
Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi
kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB,
tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang
dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 2


0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB
mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan
lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi.
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi
insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan
61,000 kematian per tahunnya.
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi
di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik terkonsentrasi (a
concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah
mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada
populasi dewasa adalah 0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV dan
estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000. Estimasi
nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%. Angka MDR-TB diperkirakan
sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar
4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus
MDR TB setiap tahunnya.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai
target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun
2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei
2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification
Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian
angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort
tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian
program pengendalian TB nasional yang utama.

B. TUJUAN PEDOMAN
Mengatur agar pelayanan dan tatalaksana pasien tuberkulosis dengan menggunakan strategi
DOTS di Rumah Sakit dapat berjalan dengan baik, termasuk didalamnya :
a. Memberikan pelayanan yang komprehensif terhadap pasien dengan tuberkulosis.
b. Pemantauan pengobatan pasien dengan tuberkulosis.
c. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas tuberkulosis.
d. Mendukung pelaksanaan program pemberantasan tuberkulosis pemerintah.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 3


C. LINGKUP PELAYANAN
Pada dasarnya tugas Tim DOTS Rumah Sakit dalam penanggulangan TB adalah melayani
pasien yang datang mencari pengobatan dengan:
1. Melakukan penemuan (diagnosis) kasus TB
 Mengidentifikasi suspek dan mengisi buku daftar suspek TB (TB.06);
 Mengisi formulir untuk Pemeriksaan Dahak (TB.05);
 Mendiagnosis TB pada orang dewasa dan anak sesuai dengan Program Nasional
Penanggulangan TB;
 Menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien;
 Bertanggung jawab dalam pengisian kartu pengobatan pasien TB (TB.01) dan kartu
identitas pasien (TB.02) secara lengkap dan benar.
2. Melakukan pengobatan pasien TB
 Membantu pasien dalam penentuan pilihan tempat pengobatan selanjutnya;
 Menetapkan paduan OAT yang benar untuk setiap klasifikasi dan tipe pasien serta
bertanggung jawab dalam menetapkan PMO bersama pasien;
 Memberikan penyuluhan pada pasien, keluarganya dan PMO;
 Bertanggung jawab dalam pengisian kartu pengobatan pasien TB (TB.01) dan kartu
identitas pasien (TB.02) secara lengkap dan benar;
 Mendeteksi dan menangani komplikasi, efek samping dan merujuk ke RS spesialistik
lain bila diperlukan;
 Menangani pasien TB pada beberapa keadaan khusus;
 Menetapkan hasil pengobatan dan mencatat pada kartu pengobatan pasien;
 Bertanggung jawab dalam pengisian kartu pencatatan lain yang diperlukan (formulir
TB.09 dan TB.10).
3. Melakukan pemantauan dan evaluasi hasil pengobatan
 Bertanggung jawab dalam pemantauan keteraturan pengobatan
 Melakukan analisis hasil pengobatan pasien sesuai dengan indikator;
 Merencanakan tindak lanjut untuk penyelesaian masalah.
 Menentukan jadwal pemeriksaan dahak ulang;
 Menangani pasien mangkir
4. Melakukan Rujukan
 Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit, harus dibuatkan surat pengantar
(formulir TB.09) dengan menyertakan fotokopi TB.01 dan sisa OAT (bila telah
diberi pengobatan).
 Keinginan pasien akan dirujuk kemana.
 Berdasarkan kondisi sakit atau keadaan sakitnya (memang perlu untuk dirujuk).

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 4


 Berdasarkan status pembiayaan pelayanan kesehatan, untuk kepesertaan BPJS,
apabila kondisi pasien stabil, pengobatan dilanjutkan di PPK 1 yang ditunjuk.
 Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke Wasor
TB/Koordinator jejaring DOTS RS tentang pasien yang dirujuk
5. Pencatatan dan Pelaporan
 Melakukan pencatatan suspek dan pasien yang diobati
 Melakukan Pelaporan baik kepada Direktur RSUD kota Bukittinggi dan ke Dinas
Kesehatan Kota dan provinsi.

D. BATASAN OPERASIONAL
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis).
2. Metode DOTS
Metode Directly Observed Treatment Short-coursed (DOTS) adalah suatu stategi yang
ditetapkan pemerintah untuk penanggulangan tuberkulosis dengan mengutamakan
prinsip pengawasan langsung oleh tenaga kesehatan / keluarga terdekat pasien untuk
meningkatkan angka sesembuhan dan menurunkan angka putus obat dan mortalitas
penderita tuberkulosis.
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Obat Anti tuberkulosis adalah suatu kombinasi dari empat atau lebih jenis obat yang
ditujukan untuk penyembuhan penderita tuberkulosis.
4. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pihak yang bertanggung-jawab untuk memastikan pasien tidak lupa dan dapat minum
obat secara rutin.
5. Klinik DOTS
Tim di RSUD kota Bukittinggi yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan program
DOTS untuk TB di rumah sakit.

E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5072);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063);
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 5


5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/Menkes/ SK/XII/2009 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit Tuberkulosis dan HIV
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/V/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal di Rumah Sakit
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 6


BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA

JENIS JUMLAH
PENDIDIKAN TENAGA
KETENAGAAN
Penanggung jawab Direktur 1

Ketua Tim DOTS Dokter spesialis yang bersertifikat 1


pelatihan TB DOTS
Sekretaris Perawat 1

Koordinator Jejaring Dokter Spesialis yang bersertifikat 4


pelatihan TB DOTS
Koordinator Peawatan Perawat D3 / S1, yang bersertifikat 4
pelatihan TB DOTS
Koordinator D3 Analis Laboratorium 2
Laboratorium
Koordinator Logistik Apoteker / Asisten Apoteker 1
TB

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Disesuaikan dengan jadwal jaga masing-masing petugas.
Uraian Tugas
1. KETUA TIM DOTS
JABATAN KETUA TIM DOTS
1. Pendidikan : Dokter Spesialis
KUALIFIKASI/ 2. Ketrampilan : -
KRITERIA 3. Pelatihan : Sertifikasi DOTS - TB
4. Masa kerja : -

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 7


1. Bertanggung jawab atas pelaksanaan program
implementasi DOTS di rumah sakit
2. Mengkoordinir pelaksanaan ISTC (internasional
TANGGUNG JAWAB standard tuberculosis care ).
3. Mengkoordinir pelaksanaan program implementasi
DOTS di Rumah Sakit.

WEWENANG 1. Menetapkan petunjuk pelaksanaan dan prosedur


pelayanan.
2. Melaksanakan evaluasi dan monitoring pelaksanaan
kegiatan.
3. Melaksanakan pelaporan kegiatan pelayanan pasien
tb sesuai dengan strategi DOTS kepada atasan.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS


1. Menyusun standard 1.1 Membuat & mengusulkan Pedoman Pelayanan
dan program kerja 1.2 Membuat dan mengusulkan Standar Prosedur
Tim DOTS Operasional (SPO) yang berkaitan dengan
aktivitas di Tim DOTS
1.3 Membuat dan mengusulkan Sasaran Mutu Tim
DOTS.
1.4 Membuat dan mengusulkan program kerja dan
rencana anggaran tahunan Tim DOTS.
1.5 Membuat rencana/jadwal kegiatan Tim DOTS.
1.6 Menyusun standar kebutuhan sarana, alat dan
bahan kerja bagian SDM.
2. Menyusun organisasi 2.1 Menentukan struktur organisasi, membagi tugas
dan mengkoordinasi dan menentukan uraian jabatan di Tim DOTS.
tugas di Tim DOTS .

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 8


3. Mengendalikan dan 3.1 Membuat laporan dan evaluasi hasil kegiatan Tim
mengawasi DOTS secara periodik baik bulanan, triwulanan,
pelaksanaan tugas dan semesteran maupun tahunan.
memecahkan 3.2 Mengecek, memverifikasi, mengoreksi hasil kerja
masalah-masalah bawahan sebelum diteruskan kepada bagian lain
yang muncul di Tim untuk menjamin hasil kerja sesuai dengan standar.
DOTS agar berjalan 3.3 Memecahkan masalah yang berkaitan dengan
sesuai tujuan SDM dengan berkoordinasi dengan bagian terkait.

4. Mengkoordinasi 4.1 Mengkoordinasi penyusunan laporan kegiatan


penyusunan laporan DOTS tiap 3 bulan.
dan melakukan 4.2 Melaporkan hasil kegiatan DOTS ke Direktur
pelaporan rutin ke RSUD kota Bukittinggi dan Dinas Kesehatan kota
Direktur RS dan Bukittinggi.
Dinas Kesehatan Kota.
5. Melakukan tugas 5.1 Melakukan tugas fungsional dalam melayani
fungsional sebagai pemeriksaan, penegakkan diagnosis dan
tenaga kesehatan pemberian obat-obatan untuk pasien program
untuk DOTS DOTS.

2. SEKRETARIS TIM DOTS


JABATAN SEKRETARIS TIM DOTS
1 . Pendidikan : S1 Keperawatan
KUALIFIKASI/
2 . Ketrampilan : Komputer .
KRITERIA
3 . Pelatihan : Pelatihan TB DOTS
1. Bertanggung jawab atas ketepatan pencatatan
pendistribusian dan kerapian serta keamanan data
TANGGUNG JAWAB laporan DOTS.
2. Bertanggung jawab atas ketepatan pencatatan dan
akurasi laporan-laporan DOTS.
1. Berwewenang menggunakan fasilitas yang
dibutuhkan.
WEWENANG
2. Berwenang mengajukan permintaan sarana kerja,
misal : ATK.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 9


1. Mempersiapkan surat- 1.1 Melakukan proses pembuatan surat-surat (surat
surat yang permintaan obat, surat rujukan, surat undangan
berhubungan dengan rapat, dll) sesuai dengan kebutuhan dalam
pelaksanaan DOTS penatalaksanaan DOTS.
2. Melakukan pencatatan 2.1. Melakukan pencatatan harian DOTS
dan pelaporan harian 2.2. Melakukan rekapitulasi bulanan dari kegiatan
DOTS DOTS
2.3. Melaporkan hasil rekapitulasi kepada Ketua
tim DOTS

3. KOORDINATOR PERAWATAN
JABATAN PERAWAT
1. Pendidikan : D III/S1 Keperawatan
KUALIFIKASI/
2. Pelatihan : Pelatihan / sosialisasi DOTS
KRITERIA
3. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab dalam melaksanakan Pencatatan
dan Pelaporan di ruangan masing-masing
2. Bertanggung melakukan pengawasan pemberian
TANGGUNG JAWAB OAT pada pasien TB yang dirawat di ruang masing-
masing.
3. Bertanggung jawab melaporkan hasil kegiatan
DOTS dari ruangan masing-masing
1. Berwewenang menggunakan fasilitas yang
WEWENANG
dibutuhkan.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS


1. Melaksanakan 1.1.Melaksanakan pengawasan pemberian OAT pada
pengawasan pemberian pasien TB yang dirawat di ruang masing-masing
OAT pada pasien TB
yang dirawat di ruang
masing-masing

4. KOORDINATOR LOGISTIK
JABATAN PELAKSANA INSTALASI FARMASI

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 10


1. Pendidikan : S1 Farm. Apoteker
KUALIFIKASI/ 2. Pelatihan : Pelatihan / sosialisasi eksternal /
KRITERIA internal DOTS
3. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas-
tugas logistik yang berkaitan dengan ketersediaan
OAT dan Non OAT.
TANGGUNG JAWAB
2. Bertanggung jawab dalam perencanaan,pengadaan
dan penyimpanan logistik TB.
3. Bertanggung jawab dalam pendistribusian logistik
1. Berwewenang menggunakan fasilitas yang
WEWENANG dibutuhkan.
2. Berwenang mengajukan kebutuhan obat DOTS.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS


1. Mengajukan permintaan 1.1.Melakukan perhitungan kebutuhan obat TB
stok obat-obat program 1.2.Mengajukan kebutuhan obat TB ke Ketua Tim
TB DOTS

5. KOORDINATOR LABORATORIUM
JABATAN PELAKSANA INSTALASI LABORATORIUM
1. Pendidikan : D III Analis Kesehatan
KUALIFIKASI/
2. Pelatihan :
KRITERIA
3. Masa kerja : -
1. Bertanggung jawab melakukan pemeriksaan
laboratorium terkait DOTS, misal BTA, TCM dll.
TANGGUNG JAWAB 2. Bertanggung jawab dalam pencatatan dan
pelaporan hasil pemeriksaan sputum pasien suspek
TB.
1. Berwewenang menggunakan fasilitas yang
WEWENANG
dibutuhkan.

TUGAS POKOK URAIAN TUGAS

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 11


1. Melaksanakan 1.1. Mencatat / mendokumentasikan pasien-pasien
pencatatan dan yang diperiksakan sputum.
pelaporan pasien yang 1.2. Merekapitulasi dan melaporkan hasil
diperiksa sputum pencatatan ke sekretaris DOTS
2. Melakukan pemeriksaan 2.1.Melakukan pemeriksaan laboratorium terkait
laboratorium terkait DOTS, terutama pemeriksaan sputum BTA
DOTS, misal BTA, dll.

C. PENGATURAN DINAS
Pengaturan jadwal petugas medis maupun non-medis Tim DOTS RSUD kota Bukittinggi
disesuaikan dengan jam kerja dan jadwal dinas di bagian masing-masing.

BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANGAN

GERBANG DEPAN

BANK
BANK POLI IGD PONEK IDT
NAGARI PARU
NAG

POLI KLINIK UTAMA


POLI GRAHA

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 12


B. STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang dapat digunakan oleh Tim DOTS RSUD kota Bukittinggi adalah :
1. Ruangan khusus dan tersendiri untuk melayani pasien tuberkulosis yang disebut sebagai
“Ruangan DOTS”.
2. Pojok untuk berdahak ( sputum Booth )
3. Meja Konsultasi 1 buah
4. Kursi 2 buah
5. Kursi tunggu pasien
6. Kalender Jadwal Pasien 1 buah
7. Lemari Alat 1 buah
8. Lemari Arsip 1 buah
9. Stetoskop 1 buah
10. Tensimeter 1 buah
11. Timbangan BB 1 buah
12. Kipas Angin 2 buah
13. Masker Bedah
14. Masker N95
15. ATK
16. Formulir dan buku pencatatan TB
 TB.01 : Kartu Pengobatan Pasien TB
 TB.02 : Kartu Identitas Pasien TB
 TB.03 UPK: Register Pasien TB di UPK
 TB.04 : Register Laboratorium TB
 TB.05 :Formulir Permohonan Laboratorium TB untuk Pemeriksaan Dahak
 TB.06 : Buku Daftar Tersangka Pasien (Suspek) TB
 TB.09 : Formulir Rujukan/ Pindah Pasien TB
 TB.10 :Formulir Hasil Akhir Pengobatan Pasien Pindah

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 13


BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan


menggunakan strategi DOTS.
Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan
serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien.
Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit, tidak sekedar
memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan
pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi
kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penanggulangan tuberkulosis berupa upaya
kesehatan yang mengutamakan aspek promotif, preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan
rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka
kesakitan, kecatatan atau kematian, memutuskan penularan mencegah resistensi obat dan
mengurangi dampak negatif akibat tuberkulosis.
Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan tuberkulosis melalui kegiatan yang
meliputi :
a. Promosi kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan
komprehensif mengenai pencegahan penularan, pengobatan, pola hidup bersih dan
sehat (PHBS) sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku sasaran yaitu pasien dan
keluarga, pengunjung serta staf rumah sakit
b. Surveilans tuberkulosis, merupakan kegiatan memperoleh data epeidemiologi yang
diperlukan dalam sistem informasi dalam program penanggulangan tuberkulosis,
seperti pencatatan dan pelaporan tuberkulosis sensitif obat, pencataan dan pelaporan
tuberkulosis resistensi obat
c. Pengendalian faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah, mengurangi
penularan dan kejadian penyakit tuberkulosis , yang pelaksanaan sesuai dengan
pedoman pengendalian pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit pengendalian
faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan
kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaanya sesuai dengan pedoman
pengendalian pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit
d. Penemuan dan penganan kasus tuberkulosis

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 14


Penemuan kasus tuberkulosis dilakukan melalui pasien yang datang kerumah sakit,
setelah pemeriksaan, penegakan diagnosis, penetapan klarifikasi dan tipe pasien
tuberkulosis. Sedangkan untuk penanganan kasus dilaksanakan sesuai tata laksanan
pada pedoman nasional pelayanan kedokteran tuberkulosis dan sandar lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
e. Pemberian kekebalan
Pemberian kekebalan dilakukan melaui pemberian imunisasi BCG terhadap bayi
dalam upaya penurunan risiko tingkat pemahaman tuberkulosis sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
f. Pemberian obat pencegahan
Pemberian obat pencegahan selama 6 (enam) bulan yang ditujukan pada enak
dibawah usia 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien tuberkulasis aktif; orang
dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa tuberkulosis; populasi
tertentu lainnya yang sesuai peraturan perundang-undangan.
Kunci keberhasilan penggulangan tuberkulosisi di rumah sakit adalah ketersediaan
tenaga-tenaga kesehatan yang kompetensi, prasarana, sarana dan manajemen yang
handal.

1. PENEMUAN PASIEN TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif
di masyarakat.
Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka
pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik
oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka pasien TB.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif, yang
menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke
rumah, dianggap tidak cost efektif.
Gejala klinis pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 15


Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut
diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Pemeriksaan dahak mikroskopis


Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), S (sewaktu): dahak
dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek
membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi):
dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa
dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada
hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

2. DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru
 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
 Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.
 Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
 Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
Diagnosis TB ekstra paru.
 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lainlainnya.
 Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 16


kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan
bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi,
patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Gambar 1. Alur diagnosis TB paru

Indikasi pemeriksaan foto toraks


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan
foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis ‘TB paru BTA positif. (lihat
bagan alur)
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 17


 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).

3. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu ‘definisi
kasus’ yang meliputi empat hal, yaitu:
- Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
- Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau BTA
negatif;
- Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
- Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah


- Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
- Registrasi kasus secara benar
- Menentukan prioritas pengobatan TB BTA(+)
- Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


- Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh
dokter.
- Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif.
• Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk :
- Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya
resistensi,
- Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan
pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
- Mengurangi efek samping.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


 Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
 Tuberkulosis ekstra paru

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 18


Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:


• Tuberkulosis paru BTA positif.
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
• Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru
BTA negatif harus meliputi:
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit


• TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”),
dan atau keadaan umum pasien buruk.
• TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
- TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
- TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan
alat kelamin.
Catatan:
• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan
pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 19


Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu:
• Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
• Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
• Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
• Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
• Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
• Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk
Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,
bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

4. Pengobatan TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 20


Jenis, sifat dan dosis OAT
Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT

Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 21


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam
bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1)
paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat
ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana
dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan peruntukannya.


1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 22


2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam
keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)

3. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 3. Dosis KDT untuk Sisipan

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 23


Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Di samping itu dapat
juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

4. TATALAKSANA TB ANAK
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak – anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan
sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh
program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau
sama dengan 6 ( >6 ), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu
dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi
anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain
lainnya.

Tabel 4. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 24


Catatan :
• Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
• Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti
Asma, Sinusitis, dan lain – lain.
• Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
• Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)  lampirkan tabel badan badan.
• Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
• Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
• Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)
• Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 25


Gambar 2. Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan , lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi
klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

Kategori Anak (2RHZ/4RH)


Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6
bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan
dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 6. Dosis OAT Kombipak pada anak

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 26


Tabel 7. Dosis OAT KDT pada anak

Keterangan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
Anak dengan BB 15 – 19 kg dapat diberikan 3 tablet.
Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita
TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil
evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH)
dengan dosis 5 – 10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat
imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai

5. PENGAWASAN MENELAN OBAT


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
• Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
• Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
• Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
• Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
b. Siapa yang bisa menjadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya,
Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 27


memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh
masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
• Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
• Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
• Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
• Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit
pelayanan kesehatan.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:
• TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
• TB bukan penyakit keturunan atau kutukan
• Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
• Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
• Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
• Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke
UPK

7. PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN TB


Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak
spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua
kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut
negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif.

Tabel 8. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 28


Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur
Tabel 9. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Keterangan :
*Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:
- Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh
dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak.

Hasil Pengobatan
 Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak
(follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
 Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
 Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

 Pindah
Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 29
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
 Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
 Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.

8. PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS.


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB
pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent
ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya
proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi
tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis
tinggi (50 mcg).
d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti
pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang
tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan
pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai
dengan standar WHO.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 30


Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip – prinsip Universal
Precaution ( Kewaspadaan Keamanan Universal ) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya
diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara
teratur.
Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT
(Voluntary Counceling and Testing = Kónsul sukarela dengan test HIV)
e. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6
bulan.
f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan
bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali,
pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan
kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol
diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan
ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat
diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien
dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral
anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti
diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh
karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien
seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 31


TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan
secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif.
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan
neurologik.

9. EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.
Tabel 10 Efek samping ringan OAT

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 32


Tabel 11. Efek samping berat OAT

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: Jika seorang
pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan
penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat.
Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi
suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai
kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk.
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT
harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan
untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan
dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai
dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai
dengandosuis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi
hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau
etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat
tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin
perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh. Kadang-kadang,
pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua
obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling
penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 33


Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun,
jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar
terjadi keracunan yang berat.

Manajemen Laboratorium Tuberkulosis


Laboratorium tuberkulosis yang merupakan bagian dari pelayanan laboratorium
kesehatan mempunyai peran penting dalam Program Pengendalian Tuberkulosis berkaitan
dengan kegiatan deteksi pasien TB Paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan
hasil akhir pengobatan.
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku
emas. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu)
dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium.
Untuk mendukung kinerja program, diperlukan ketersediaan Laboratorium Tuberkulosis
dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh
wilayah Indonesia.
Tujuan Manajemen Laboratorium Tuberkulosis adalah untuk meningkatkan penerapan
Manajemen Laboratorium Tuberkulosis yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya
melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh masyarakat.
Ruang lingkup Manajemen Laboratorium Tuberkulosis meliputi beberapa aspek yaitu:
Organisasi pelayanan laboratorium Tuberkulosis, Sumber daya laboratorium, Kegiatan-kegiatan
laboratorium, Pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis, Keamanan dan kebersihan
laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 34


Gambar 3. Jejaring Laboratorium TB

Fungsi dan Peran, Tugas Dan Tanggung Jawab Laboratorium Tuberkulosis


a. Laboratorium mikroskopis TB UPK.
Puskesmas Satelit (PS) dan UPK setara PS.
- Fungsi: Melakukan pengambilan dahak, pembuatan sediaan dahak sampai fiksasi sediaan dahak
untuk pemeriksaan TB.
- Peran: Memastikan semua tersangka pasien dan pasien TB dalam pengobatan diperiksa
dahaknya sampai mendapatkan hasil pembacaan.
- Tugas: Mengambil dahak tersangka pasien TB, membuat sediaan dan fiksasi sediaan dahak
pasien untuk keperluan diagnosis, dan untuk keperluan follow up pemeriksaan dahak dan
merujuknya ke PRM.
- Tanggung jawab: Memastikan semua kegiatan laboratorium TB berjalan sesuai prosedur tetap,
termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana yang diperlukan.
Catatan : Bilamana perlu, dalam upaya meningkatkan akses pelayanan laboratorium kepada
masyarakat, maka Puskesmas pembantu/Pustu dapat diberdayakan untuk melakukan fiksasi,

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 35


dengan syarat harus telah mendapat pelatihan dalam hal pengambilan dahak, pembuatan sediaan
dahak sampai fiksasi, dan keamanan dan keselamatan kerja. Pembinaan mutu pelayanan lab di
pustu menjadi tanggung jawab PRM.
 PRM/ PPM dan UPK setara PRM/PPM.
- Fungsi: Laboratorium rujukan dan atau pelaksana pemeriksaan mikroskopis dahak untuk
tuberkulosis.
- Peran: Memastikan semua tersangka pasien dan pasien TB dalam pengobatan diperiksa
dahaknya sampai diperoleh hasil.
- Tugas:
1. Mengambil dahak tersangka pasien TB untuk keperluan diagnosis dan follow up, sampai
diperoleh hasil
2. Menerima rujukan pemeriksaan sediaan dahak dari PS. Mengambil dahak tersangka
pasien TB yang berasal dari PRM setempat untuk keperluan diagnosis dan follow up,
sampai diperoleh hasil.
- Tanggung jawab: Memastikan semua kegiatan laboratorium TB berjalan sesuai prosedur tetap,
termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana yang diperlukan.

b. Laboratorium rujukan uji silang mikroskopis


 Fungsi:
1. Laboratorium yang melakukan uji silang dari UPK setara PPM dan PRM dalam
sistem jejaring laboratorium TB setempat.
2. Melakukan pembinaan laboratorium sesuai jejaring.
 Peran:
1. Laboratorium mikroskopis TB.
2. Laboratorium rujukan uji silang sesuai jejaring laboratorium TB setempat.
 Tugas:
1. Melaksanakan kegiatan laboratorium mikroskopis TB.
2. Melaksanakan uji silang mikroskopis TB sesuai jejaring.
3. Melaksanakan pembinaan laboratorium TB, termasuk EQAS sesuai jejaring.
4. Mengikuti kegiatan EQAS yang diselenggarakan laboratorium rujukan TB
provinsi sesuai jejaring.
 Tanggung jawab:
1. Memastikan semua kegiatan laboratorium TB berjalan sesuai prosedur tetap,
termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana yang diperlukan.
2. Memastikan kegiatan uji silang dilaksanakan sesuai program pengendalian TB.
3. Memastikan pembinaan laboratorium TB dalam jejaring dilaksanakan sesuai
program.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 36


c. Laboratorium rujukan Provinsi.
 Fungsi
Sebagai laboratorium rujukan TB tingkat provinsi.
 Peran:
1. Laboratorium uji silang mikroskopis untuk Lab rujukan uji silang
2. Laboratorium yang melakukan uji silang kedua apabila terdapat ketidaksesuaian
penilaian uji silang oleh lab rujukan uji silang dalam jejaringnya (2nd controller)
3. Laboratorium yang melakukan pemeriksaan mikroskopis, Isolasi, identifikasi dan
tes kepekaan M. TB dari dahak.
4. Pembina laboratorium TB sesuai jejaring
 Tugas:
1. Melakukan uji silang terhadap laboratorium sesuai jejaring.
2. Melaksanakan pemeriksaan mikroskopis, isolasi, identifikasi kuman dan uji
kepekaan (DST).
3. Menyelenggarakan pembinaan Lab. TB berjenjang (EQAS dan pelatihan) bagi
laboratorium TB sesuai jejaring.
4. Mengikuti kegiatan EQAS Laboratorium TB yang diselenggarakan oleh
laboratorium rujukan TB regional.
5. Menyelenggarakan pelatihan bagi petugas laboratorium UPK dan laboratorium
rujukan uji silang.
 Tanggung jawab:
1. Menentukan hasil akhir uji silang jika terjadi ketidaksepahaman hasil antara lab
rujukan uji silang dan lab mikroskopis TB UPK.
2. Memastikan semua kegiatan sebagai laboratorium rujukan TB tingkat provinsi
berjalan sesuai prosedur tetap, termasuk mutu kegiatan dan kelangsungan sarana
yang diperlukan.
3. Memastikan laboratorium TB uji silang yang menjadi tanggung jawabnya
melaksanakan tanggung jawab mereka dengan baik dan benar.

d. Laboratorium rujukan Regional.


 Fungsi:
Sebagai laboratorium rujukan TB regional.
 Peran:
1. Laboratorium rujukan yang melakukan pemeriksaan isolasi, identifikasi dan DST
M.tb dan MOTT dari dahak dan bahan lain.
2. Laboratorium rujukan untuk isolasi, identifikasi dan DST M.TB bagi laboratorium
rujukan tingkat provinsi.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 37


3. Laboratorium Pembina untuk kegiatan isolasi, identifikasi dan DST M.tb di
laboratorium provinsi
 Tugas:
1. Laboratorium rujukan regional secara rutin mengirim tes uji profisiensi kepada
laboratorium rujukan provinsi.
2. Melaksanakan pemeriksaan isolasi, identifikasi kuman dan uji resistensi (DST)
M.tb dan MOTT bagi yang memerlukan.
3. Melaksanakan penelitian dan pengembangan metode diagnostik TB
4. Menyelenggarakan pelatihan berjenjang bagi petugas laboratorium.
5. Menyelenggarakan pembinaan (EQAS dan pelatihan) Lab rujukan provinsi.
6. Mengikuti kegiatan EQAS Laboratorium TB, yang diselenggarakan oleh
laboratorium rujukan TB tingkat nasional.
 Tanggung jawab:
1. Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB tingkat regional berjalan
sesuai program pengendalian TB.
2. Memastikan laboratorium TB tingkat provinsi dalam jejaring melaksanakan
kegiatan sesuai program pengendalian TB.

e. Laboratorium rujukan Nasional.


 Fungsi : Pusat rujukan pemeriksaan TB tingkat nasional.
 Peran : Laboratorium rujukan TB tingkat nasional.
 Tugas :
1. Melaksanakan pemeriksaan isolasi, identifikasi dan uji kepekaan (DST).
2. Melaksanakan penilitian dan pengembangan pemeriksaan laboratorium M.
tuberculosis.
3. Melaksanakan pembinaan laboratorium TB (pelatihan dan EQAS) bagi
laboratorium rujukan provinsi dan regional
4. Mengikuti kegiatan EQAS Laboratorium TB yang diselenggarakan laboratorium
rujukan TB tingkat supra nasional.
 Tanggung jawab:
1. Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB tingkat nasional berjalan
sesuai program pengendalian TB.
2. Memastikan pembinaan laboratorium TB tingkat provinsi dan regional berjalan
sesuai program pengendalian TB.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 38


3. Karakteristik Sumber Daya Laboratorium
Berperan sebagai laboratorium rujukan Provinsi dan laboratorium rujukan regional.
a. Laboratorium rujukan Provinsi.
- Penanggung Jawab Pimpinan Instansi setempat
- Tenaga : Teknis laboratoris:
 Minimal ada seorang ahli patologi klinik atau mikrobiologi klinis.
 Minimal ada 3 orang tenaga analis untuk mikro
 Minimal ada 1 tenaga analis yg bertanggung jawab untuk media dan reagensia.
 Teknisi alat laboratorium: Minimal ada seorang teknisi alat laboratorium.
 Administrasi: Minimal ada seorang tenaga administrasi.
- Ruang: - Idem dengan laboratorium uji silang ditambah dengan :
- Ruang biakan dan uji kepekaan sesuai standard minimum utk negara berkembang
- Ruang pembuatan media dan reagensia.
- Ruang dekontaminasi dan pencucian alat.
- Ruang pelatihan.
- Ruang administrasi
- Sarana: Sarana pemeriksaan M.Tb:
 Idem dengan lab. uji silang ditambah dengan :
 10 mikroskop binokuler
 1 teaching mikroskop untuk 5 pengamat
- Sarana Biakan:
 1 biosafety cabinet class II
 1 waterbath.
 1 bio-containment centrifuge (500 - 5000 g)
 1 incubator.
 1 lemari es.
 1 freezer (- 300 C)
 1 inspisator.
 1 timbangan analitik (catt: lihat katalog)
 1 timbangan gram (0–500 gr)
 Vortex mixer.
 Blender/homogenizer (autoclavable)
 Magnetic stirrer.
 Micro-pipette
 Generator listrik.
 Cabinet untuk pembuatan media
 2 autoclave (dekontaminasi dan sterilisasi).

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 39


 1 incenerator / carbonizer
 Botol McCartney
 Alat gelas laboratorium.
 Alat sterilisasi dengan filtrasi
 Sarana keamanan kerja Lab
 Sesuai dengan standard keamanan laboratorium (konstruksi, GLP, managemen)
b. Laboratorium rujukan Regional.
- Penanggung Jawab Kepala Laboratorium setempat
- Tenaga : Teknis laboratoris:
 Minimal 1 orang ahli PK dan 1 orang ahli mikrobiologi klinik.
 Minimal 3 orang tenaga analis (mikro).
 Minimal 2 orang tenaga analis (Media).
 Teknis alat laboratorium: Minimal seorang tenaga teknisi alat laboratorium.
 Administrasi: Minimal seorang tenaga administrasi.
- Ruang: - idem dengan lab Propinsi
- Sarana: - Idem lab Propinsi
- Sarana keamanan kerja Lab
- Idem lab Propinsi

4. Pemantapan Mutu Laboratorium TB


Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:
1. Pemantapan Mutu Internal
2. Pemantapan Mutu Eksternal
3. Peningkatan mutu (Quality Improvement), terintegrasi dalam PMI dan PME.

Pemantapan Mutu Internal (PMI)


PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk
mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan laboratorium
agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.
Tujuan PMI
 Meningkatkan kewaspadaan tenaga laboratorium agar tidak terjadi kesalahan
pemeriksaan dan koreksi kesalahan dapat dilakukan segera
 Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan, penyimpanan,
pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji, pencatatan dan pelaporan
hasil dilakukan dengan benar.
 Mendeteksi keslahan, mengetahui sumber / penyebab dan mengoreksi dengan cepat dan
tepat.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 40


 Membantu peningkatan pelayanan pasien.
 Kegiatan ini harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap pra-
analisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.
Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu :
 Tersedianya SPO untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan laboratorium, misalnya :
o SPO pengambilan dahak
o SPO pembuatan sediaan dahak
o SPO pewarnaan Ziehl Neelsen
o SPO pemeriksaan Mikroskopis
o SPO pengelolaan limbah
o SPO pembuatan media
o SPO inokulasi
o Dsb.
 Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan
laboratorium TB
 Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas
 Tersedianya sediaan kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol.
Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali membentuk
jejaring dan Tim laboratorium yang utuh dan aktif dikelola dengan baik. PME dalam jejaring ini
harus berlangsung teratur / berkala dan berkesinambungan. Koordinasi PME harus dilakukan
secara bersama-sama oleh lab penyelenggara dengan dinas kesehatan setempat. Kegiatan PME
harus secara berkala dievaluasi sehingga baik penyelenggara maupun peserta PME dalam
jejaring mengetahui kondisi dan upaya perbaikan kinerja. Tim PME mengundang pihak-pihak
yang terkait dalam kegiatan PMI diwilayahnya dalam pertemuan monev berkala, hal ini sangat
berguna untuk meningkatkan kerjasama dan komitmen kelangsungan program PME.
Perencanaan PME
 Melakukan koordinasi berdasarkan jejaring laboratorium TB
 Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara
 Menentukan jenis kegiatan PME
 Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja laboratorium
penyelenggara
 Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam kegiatan PME
 Penilaian dan umpan balik.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 41


Pelaksanaan PME
PME mikroskopis BTA dapat dilakukan melalui :
 Uji silang sediaan dahak.
Yaitu pemeriksaan ulang sediaan dahak laboratorium UPK oleh laboratorium yang telah
diberi wewenang melalui penilaian kemampuan yang dilakukan oleh petugas teknis yang
berada pada jenjang tertinggi di wilayah jejaring laboratorium tersebut. Pengambilan sediaan
untuk uji silang dilakukan dengan metode lot sampling karena pengambilan 10% sediaan
BTA negatif dan seluruh sediaan BTA positif tidak dianjurkan lagi oleh WHO, dianggap
kurang menggambarkan kinerja petugas laboratorium. Pada pelaksanaan uji silang,
laboratorium rujukan mikroskopis melakukan pemeriksaan mikroskopis tanpa mengetahui
hasil pembacaan laboratorium pertama. Analisis hasil pembacaan uji silang dilakukan oleh
petugas yang telah ditunjuk yang tidak berasal dari laboratorium pembaca pertama ataupun
laboratorium rujukan mikroskopis yang bersangkutan. Hasil analisis harus dilaporkan
kepada dinas kesehatan setempat, laboratorium pembaca pertama, danlaboratorium rujukan
uji silang sebelum pelaksanaan uji silang pada siklus berikutnya.
Apabila terdapat kesalahan besar suatu laboratorium mikroskopis UPK, maka petugas
program/Supervisor sebaiknya berkonsultasi dengan laboratorium rujukan uji silang untuk
memperkirakan penyebab terjadinya kesalahan tersebut dengan melihat data-data hasil
analisa mutu sediaan, mutu pewarnaan, dll. Selanjutnya dapat disarankan rencana tindakan
perbaikan.
Kegiatan ini harus dikelola dengan baik sehingga setiap siklus uji silang dapat
menetapkan derajat kesalahan pembacaan yang kemudian menjadi dasar untuk kegiatan
supervisi, pelatihan, perencanaan pengadaan sarana dan prasarana laboratorium TB.
 Supervisi Laboratorium TB.
Kegiatan ini dilakukan dengan mengunjungi laboratorium untuk melihat langsung
kinerja, sarana dan prasarana laboratorium, kemampuan dan keterampilan teknis maupun
administrasi petugas laboratorium. Petugas supervisi harus memiliki kemampuan teknis dan
administrasi laboratorium TB serta sifat yang empatik sehingga kunjungan ini tidak
bernuangsa pengawasan. Dalam melakukan supervisi harus menggunakan daftar tilik yang
memuat semua aspek yang ada di laboratorium.
Hasil supervisi dibicarakan pada akhir kunjungan sehingga seluruh temuan/masalah dapat
dipecahkan.
Penjadwalan dan penunjukan lokasi supervisi harus ditetapkan terlebih dahulu oleh
supervisor dan pengelola program TB di wilayah tersebut
 Kegiatan PME lainnya adalah Uji profisiensi/panel testing, kegiatan ini bertujuan untuk
menilai kinerja petugas laboratorium TB tetapi hanya dilaksanakan apabila uji silang dan
supervisi belum berjalan dengan memadai. Kelemahan dari uji ini antara lain: tidak dapat
menilai kegiatan pemeriksaan laboratorium secara menyeluruh dan memerlukan

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 42


laboratorium penyelenggara yang benar-benar memiliki kemampuan untuk menyediakan
sediaan / kuman yang akan diujikan yang memenuhi syarat.
Hasil PME dapat mengidentifikasi masalah yang berpengaruh terhadap kinerja laboratorium,
sebagai tindak lanjut dibuat analisis dan prioritas pemecahan masalah agar ada upaya
perbaikan yang dapat segera dilakukan, meliputi :
 Tenaga : Pelatihan, penyegaran, mutasi
 Sarana dan prasarana : Pengadaan, pemeliharaan, uji fungsi
 Metoda pemeriksaan : Revisi prosedur tetap, pengembangan metoda pemeriksaan

Keamanan Dan Keselamatan Kerja Di Laboratorium


Berbagai tindakan yang dilakukan di laboratorium, baik akibat spesimen maupun zat dan
alat dapat menibulkan bahaya bagi petugas. Untuk mengurangi bahaya yang dapat terjadi, setiap
petugas harus melakukan pekerjaannya menurut praktek laboratorium yang benar.
Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan
keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan pemantauan
dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan koreksi yang memadai.
Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan :
1. Perencanaan
2. Identifikasi kegiatan dan risiko, menentukan prosedur keamanan dan keselamatan kerja
yang sesuai, jadwal pemantauan dan evaluasi.
3. Penyediaan perangkat (protap, peralatan, dsb)
4. Sosialisasi agar setiap petugas memahami dan melaksanakan prosedur keamanan
dan keselamatan kerja di laboratorium
5. Pemantauan terhadap pelaksanaan prosedur keamanan dan keselamatan kerja,
6. Evaluasi dan tindakan koreksi
7. Sistem keamanan dan keselamatan kerja laboratorium TB disesuaikan dengan kegiatan
pemeriksaan laboratorium yang dilaksanakan di laboratorium yang bersangkutan
(mikroskopi, biakan, uji kepekaan, serologi, PCR/biomolekuler, dsb).
8. Sistem ini harus menjamin perlindungan terhadap petugas laboratorium, lingkungan
sekitar laboratorium, masyarakat umum, dan menghindari pemanfaatan bahan infeksius
untuk hal-hal yang dapat membahayakan masyarakat luas.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 43


BAB V
LOGISTIK

Manajemen logistik Program Penanggulangan Tuberkulosis merupakan serangkaian


kegiatan yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
monitoring dan evaluasi.
1. Jenis Logistik Program
Logistik program penanggulangan Tuberkulosis terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik
OAT dan logistik lainnya.
a. Logistik OAT.
Program menyediakan paket OAT dewasa dan anak, untuk paket OAT dewasa terdapat 2
macam jenis dan kemasan yaitu :
• OAT dalam bentuk Obat Kombinasi dosis tetap (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC)
terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2 dan sisipan yang dikemas dalam blister, dan tiap blister
berisi 28 tablet.
• OAT dalam bentuk Kombipak terdiri dari paket Kategori 1, kategori 2, dan sisipan, yang
dikemas dalam blister untuk satu dosis, kombipak ini disediakan khusus untuk pengatasi effek
samping KDT.
Sedangkan OAT anak untuk sementara masih menggunakan kombipak anak.
b. Logistik lainnya
• Alat Laboratorium terdiri dari : Mikroskop, Slide Box, Rak pewarna dan pengering, Lampu
spiritus, Ose, Botol plastik bercorong pipet dan lain lain.
• Bahan Diagnostik terdiri dari : Pot sputum, kaca sediaan, Reagensia Ziehl Neelsen, Eter
Alkohol, Minyak imersi, Lysol, Kertas pembersih lensa mikroskop, kertas saring, tuberkulin
PPD RT 23 dan lain lain.
• Barang cetakan seperti Buku Pedoman, format pencatatan dan pelaporan serta bahan KIE dan
lain lain.
Secara umum pembahasan manajemen Logistik untuk Program Penanggulangan Tuberkulosis
dibedakan menjadi manajemen OAT dan manajemen logistik lainnya.

2. MANAJEMEN OAT
a. Perencanaan Kebutuhan Obat
Rencana kebutuhan Obat Tuberkulosis dilaksanakan dengan pendekatan perencanaan dari
bawah (bottom up planning). Perencanaan kebutuhan OAT dilakukan terpadu dengan
perencanaan obat lainnya yang berpedoman pada :
• Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya,
• Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan,
• buffer-stock,

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 44


•sisa stock OAT yang ada,
•perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi kebutuhan dalam
kurun waktu perencanaan)
b. Pengadaan OAT
Kabupaten/Kota maupun Profinsi yang akan mengadakan OAT perlu berkoordinasi
dengan pusat (Dirjen PPM dan PL Depkes RI) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengadaan
OAT menjadi tanggungjawab pusat mengingat OAT merupakan Obat yang sangat-sangat
esensial (SSE).
c. Penyimpanan dan pendistribusian OAT
OAT yang telah diadakan, dikirim langsung oleh pusat sesuai dengan rencana kebutuhan
masing-masing daerah, penerimaan OAT dilakukan oleh Panitia Penerima Obat tingkat
kabupaten/ kota maupun tingkat propinsi. OAT disimpan di IFK maupun Gudang Obat Propinsi
sesuai persyaratan penyimpanan obat. Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First
Expired First Out), artinya, obat yang kadaluarsanya lebih awal harus diletakkan didepan agar
dapat didistribusikan lebih awal.
Pengiriman OAT disertai dengan dokumen yang memuat jenis, jumlah, kemasan, nomor
batch dan bulan serta tahun kadaluarsa.
d. Monitoring dan Evaluasi.
Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar
Permintan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk menggambarkan dinamika logistik dan
merupakan alat pencatatan / pelaporan.
e. Pengawasan Mutu.
Pengawasan dan pengujian mutu OAT mulai dengan pemeriksaan sertifikat analisis pada
saat pengadaan.
f. Pemantauan Mutu OAT
Mutu OAT diperiksa melalui pemeriksaan pengamatan fisik obat yang meliputi:
1. Keutuhan kemasan dan wadah
2. Penandaan/label termasuk persyaratan penyimpanan
3. Leaflet dalam bahasa Indonesia
4. No batch dan tanggal kadaluarsa baik di kemasan terkecil seperti vial, boks dan master boks
5. Mencantumkan nomor registrasi pada kemasan
6. Pengambilan sampel di gudang pemasok dan gudang milik Dinkes / Gudang Farmasi.
Pengambilan sampel dimaksudkan untuk pemeriksaan fisik dan pengujian laboratorium
Pengujian laboratorium dilaksanakan oleh Balai POM dan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Identitas obat
2. Pemberian
3. Keseragaman bobot/ keseragaman kandungan
4. Waktu hancur atau disolusi

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 45


5. Kemurnian/ kadar cemaran
6. Kadar zat aktif
7. Uji potensi
8. Uji sterilitas
Laporan hasil pemeriksaan dan pengujian disampaikan kepada :
• Tim Pemantauan Laporan hasil pengujian oleh BPOM atau PPOM
• Direktur Jenderal PP dan PL, cq Direktur P2ML
• Direktur Jenderal Binfar dan Alkes, cq Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
• Kepala Badan POM cq Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapeutik.
• Khusus untuk OAT yang tidak memenuhi syarat, harus segera dilaporkan kepada Direktur
Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapeutik untuk kemudian ditindak lanjuti.
• Dan pihak lain yang terkait.
Tindak lanjut dapat berupa :
• Bila OAT tersebut rusak bukan karena penyimpanan dan distribusi, maka akan dilakukan bacth
re-call (ditarik dari peredaran).
• Dilakukan tindakan sesuai kontrak
• Dimusnahkan.

3. MANAJEMEN LOGISTIK LAINNYA


Secara umum siklusnya sama dengan manajemen OAT.
Jenis dan jumlah manajemen logistik lainnya dilaksanakan sebagai berikut :
Bahan Diagnostik
Mikroskop, Slide Box, Rak pewarna dan pengering, Lampu speritus, Ose, Botol plastik
bercorong pipet dll, pengadaan dan pemeliharaan (mikroskop) baik jenis maupun jumlahnya
harus mengikuti standar yang ditetapkan,
Bahan Laboratorium
• Sputum pot = jumlah perkiraan kasus BTA positif yang akan diobati x 40 buah.
• Kaca sediaan = jumlah perkiraan kasus BTA positif yang akan diobati x 40 buah.
• Reagensia Ziehl Neelsen yang diperlukan untuk menemukan 1 pasien BTA positif terdiri dari :
100 cc Carbon Fuchsin, 400 cc Asam Alkohol dan 100 cc Methylen Blue.
• Kertas pembersih lensa mikroskop dll sesuai dengan kebutuhan.
Bahan Uji tuberkulin terdiri dari tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU, semprit tuberculin 1 cc
jarum nomor 26.
Barang lainnya
Barang cetakan (Buku Pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta bahan KIE dll) yang
dibutuhkan untuk semua tingkat pelaksana dapat disediakan melalui pengadaan pusat, propinsi
dan kabupaten/kota dengan jumlah sesuai kebutuhan.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 46


BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

A. PENGERTIAN
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien yang lebih aman yang meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta solusi untuk meminimalkan timbulnya
resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

B. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN


SASARAN KESELAMATAN PASIEN
RSUD KOTA BUKITTINGGI menetapkan 6 Sasaran Keselamatan Pasien, yaitu :
a. Ketepatan Identifikasi Pasien
Setiap pasien di Rumah Sakit, baik rawat jalan atau rawat inap harus
diidentifikasiyang dilakukan secara aktif, pasif dan campuran dengan pertanyaan
terbuka. Identifikasi pasien menggunakan minimal 2 identitas, yaitu nama lengkap dan
tanggal lahir. Jika 2 identitas minimal tersebut tidak jelas / ada kesamaan dengan
pasien lain maka ditanyakan mengenai alamat tempat tinggal, nama keluarga terdekat,
dan agama pasien. Nomor kamar atau lokasi pasien tidak boleh digunakan sebagai
identifikasi.
Identifikasi pasien di unit DOTS dilakukan ketika :
1. Pertama kali konseling diunit DOTS dengan menanyakan identitas pasien
2. Penjadwalan dan pemberian obat OAT,
3. Pemberian darah atau produk darah ketika pasien dirawat inap di RS.
4. Pengambilan darah sputum atau spesimen lain untuk pemeriksaan klinis,
5. Pelaksanaan tindakan radiologik diagnostik, misalnya rontgen thoraks.
6. Memberikan pengobatan atau tindakan lain,
Identifikasi pasien di RSUD kota Bukittinggi menggunakan nama lengkap pasien,
nomor rekam medis, tanggal lahir dan gelang .

b. Peningkatan Komunikasi Efektif


Rumah sakit mengembangkan cara pada saat serah terima pasien menggunakan
metode SBAR (Situation, Background, Assessment, dan Recommendation) dan verbal
order menggunakan metode TBK (Tulis, Baca, Konfirmasi). Pada kondisi khusus
misalnya di UGD, Kamar Operasi, ICU / ruang perawatan biasa dimana pasien
memerlukan tindakan segera maka proses konfirmasi tidak perlu dilakukan. Hasil

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 47


pemeriksaan kritis merupakan hasil yang harus segera dilaporkan karena memerlukan
tindakan dan pengobatan segera.

c. Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai (High Alert Medication)


Obat kewaspadaan tinggi ada di farmasi dan di Gugus tugas tertentu termasuk juga
obat LASA dengan memenuhi persyaratan pelabelan, penyimpanan, pengendalian,
penyimpanan, pengeluaran, pemberian. Perawat harus melakukan independent double
check pada pemberian obat kewaspadaan tinggi yang sesuai dengan kebijakan
pengelolaan obat kewaspadaan tinggi. Untuk program DOTS tidak ada obat-obatan
dalam golongan High Alert.

d. Kepastian Tepat Prosedur, Tepat Lokasi, Tepat Pasien Operasi


Rumah Sakit melibatkan pasien untuk menentukan lokasi operasi dan prosedur yang
akan dijalani serta mengembangkan cara untuk keamanan operasi, menggunakan
daftar tilik dari WHO saat sebelum induksi (sign in), sebelum insisi (time out), dan
sebelum meninggalkan ruang operasi (sign out). Dalam DOTS tidak berhubungan
dengan standar Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, dan Tepat Pasien Operasi.

e. Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan


RSUD kota Bukittinggi menurunkan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
dengan cara melakukan cuci tangan / hand hygiene sesuai langkah-langkah dari WHO
dilakukan oleh seluruh petugas klinis dan non klinis pada saat lima moment kepada
pasien. Lima moment kebersihan tangan adalah saat sebelum kontak dengan pasien,
sebelum tindakan asepsis, setelah terkena cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan
pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien. Sebelum melakukan
kebersihan tangan wajib melepaskan perhiasan di tangan dan menjaga kuku tetap
pendek, menggunakan air mengalir dan cairan pembersih yang disyaratkan.

f. Pengurangan Resiko Pasien Jatuh


Melakukan penilaian, intervensi, dan monitoring terhadap pasien beresiko jatuh.
Penilaian resiko jatuh di rawat jalan secara visual dan di rawat inap dengan
menggunakan skala Humpty Dumpty untuk anak-anak dan skala Morse untuk dewasa.
Semua pasien anak < 5 tahun, geriatri >60 th, pasien ICU adalah pasien beresiko jatuh
tidak dilakukan penilaian tetapi langsung dilakukan intervensi. Identifikasi pasien
resiko jatuh dengan menggunakan stiker kuning yang dipasang bersama gelang
identitas, tanda stiker warna kuning untuk pasien dewasa dan tanda Humpty Dumpty
untuk pasien anak – anak, Intervensi dilakukan setiap shift.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 48


Untuk selebihnya, sasaran keselamatan pasien akan dikoordinasikan dan diatur
bersama serupa untuk seluruh Gugus tugas Rumah Sakit dalam Pedoman Keselamatan
Pasien RSUD kota Bukittinggi.

C. PEDOMAN PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN DI GUGUS


TUGAS DOTS
a. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun
nyaris terjadi.
b. Pelaporan insiden dibuat sesuai dengan formulir laporan insiden yang dibuat rumah
sakit.
c. Yang membuat laporan semua staf yang pertama menemukan kejadian dan yang
terlibat dalam kejadian.
d. Diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden, mulai dari maksud, tujuan dan
manfaat laporan, alur pelaporan,mengisi formulir, kapan melaporkan, pengertian-
pengertian dalam sistem pelaporan dan cara menganalisis laporan.

D. ALUR PELAPORAN INSIDEN KE TIM KMKP.


a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD) di unit DOTS, wajib segera ditindaklanjuti
(dicegah / ditangani ) untuk mengurangi dampak / akibat yang tidak diharapkan.
b. Segera buat laporan insidennya dengan mengisi formulir Laporan Insiden pada akhir
jam kerja / shift kepada atasan langsung. (paling lambat 2 x 24 jam.). Jangan menunda
laporan.
c. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada atasan langsung pelapor
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
inseden yang dilaporkan.
e. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KMKP.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 49


BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Rumah sakit sebagai salah satu tempat kerja, wajib melaksanakan program K3RS yang
bermanfaat baik bagi SDM Rumah Sakit, pasien, pengunjung/pengantar pasien, maupun bagi
masyarakat di lingkungan sekitar Rumah Sakit.TIM DOTS sebagai salah satu komponen rumah
sakit juga wajib melaksanakan program tersebut mengingat penyakit Tuberkulosis merupakan
suatu penyakit yang infeksius.
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis) tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB
laring batuk, berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5
mikron sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu
yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan
melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung
kuman TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai
alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian
pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini.
A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah
yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum
sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat. Semua tempat
pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya
deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau
dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada
rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi,
asrama dan sebagainya. misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan ada saat WBP
baru, dan kontak sekamar.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 50


1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan
dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI
TB.
e. Menyediaakan sumber daya untuk terlaksanananya program PPI TB (tenaga,
anggaran, sarana dan prasarana ).
f. Monitoring dan evaluasi.
g. Melakukan pengkajian diunit terkait penularan TB
h. Melaksanakan promosi melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat terkait
PPI TB.

2. Pengendaliaan administrasi.
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman
m.tuberkulosis kepada petugas kesehatan , pasien , pengunjung dan lingkungan dengan
menyediakan , mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur
pelayanan.
Upaya ini mencakup :
a) Strategi tempo ( Temukan pasien secepatnya , Pisahkan secara aman , Obati secara
tepat )
b) Penyuluhan pasien mengenai etika batuk
c) Penyediaan tisu dan masker , tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak
yang benar
d) Pemasangan poster , spanduk dan bahan KIE
e) Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB
Pengendalian administratif lebih mengutamakn strategi TEMPO yaitu , penjaringan ,
diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi
penularan TB secara efektif
Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar , dan ideal untuk diterapkan.
Dengan menggunakkan strategi TEMPO akan mengurangi resiko penularan kasus TB
dan TB Resistan dan Obat yang belum teridentifikasi .

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 51


Utuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis ,
dilaksanakan strategi TEMPO dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk .

Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:


a. Temukan pasien secepatnya.
Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk
mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan
dirujuk ke laboratorium.
b. Pisahkan secara aman.
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus
dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan
masker.Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan
dalam antrian (prioritas).
c. Obati secara tepat.
Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB
kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera
diobatisesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius

3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan
teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik
di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.
Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal
yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas
udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.

4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.


Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan
sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat
dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas kesehatan
menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 52


Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat
melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi
sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini
juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat
menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 53


BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

A. Pimpinan rumah sakit harus melaksanakan evaluasi pelayanan dan pengendalian mutu
TB.dengan kriteria ;
1. Ada program/kegiatan peningkatan mutu pelayanan medis TB yang ditetapkan oleh
pimpinan rumah sakit, dengan melakukan kegiatan audit medik.
2. Ada pertemuan berkala secara formal antara pimpinan rumah sakit dan komite medik /
Tim DOTS untuk membahas, merencanakan, dan mengevaluasi pelayanan medis serta
upaya peningkatan mutu pelayanan medis TB.
3. Ada laporan data/statistik serta hasil analisa pelayanan medis TB rumah sakit.
4. Ada laporan dan hasil evaluasi pelaksanaan jejaring internal
5. Ada laporan dan hasil evaluasi pelaksanaan jejaring eksternal.
6. Ada rencana tindak lajut dari hasil evaluasi.

B. Standar Pelayanan Minimal ( SPM )


Didalam Keputusan Menteri Kesehatan NO.129 tahun 2008 tentang standar pelayanan
minimal RS,pelayanan TB dengan strategi DOTS termasuk dalam indikator penilaian dalam
Standar Pelayanan Minimal(SPM ) RS.
1. SPM Rawat Jalan
a. Penegakan diagnosa TB melalui pemeriksaan mikroskop TB standarnya sama
dengan atau lebih dari 60 %.
b. Terlaksananya kegiatan pencatatan dan pelaporan TB RS standarnya sama dengan
atau kurang dari 60 %
2. SPM Rawat Inap
a. Penegakan diagnosa TB melalui pemeriksaan mikroskop TB standarnya sama
dengan atau lebih dari 60 %.
b. Terlaksananya kegiatan pencatatan dan pelaporan TB RS standarnya sama dengan
atau lebih dari 60 %

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 54


BAB IX
PENUTUP

Dengan disusunnya Pedoman Pelayanan DOTS di RSUD kota Bukittinggi ini,dapat


dipakai sebagai acuan pelaksanaan kegiatan Tim DOTS dalam upaya untuk memberikan
pelayanan yang komprehensif terhadap pasien dengan penyakit tuberkulosis terutama di
lingkungan Rumah Sakit dan masyarakat sekitar sehingga diharapkan dapat membantu
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari tuberkulosis.
Harapan kami Pedoman Pelayanan ini dapat menjadi acuan dan pedoman bagi kita,
khususnya yang bertugas di tim DOTS. Pedoman pelayanan ini akan ditinjau ulang secara
periodik, oleh sebab itu masukan yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Ditetapkan di :
Pada tanggal :
Direktur RSUD kota Bukittinggi

Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman | 55

Anda mungkin juga menyukai