Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

MANAJEMEN PENYAKIT TIDAK MENULAR BERBASIS WILAYAH PESISIR


KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULTRA ( WILAYAH KERJA PUSKESMAS
TAIPABU)

MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI KAWASAN PESISIR DAN PEDESAAN

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah
dengan judul "Menejemen Penyakit Tidak Menular Berbasis Wilayah Pesisir Kabupaten
WAKATOBI Provinsi Sulawesi Tenggara (Wilayah kerja Puskesmas Taipabu)” dengan
tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis
sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi Kawasan Pesisir
dan Perdesaan yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini,
dan orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas penulis.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas individu mata kuliah
Epidemiologi Kawasan Pesisir dan Perdesaan. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh
semua mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan dan pemahaman tentang
Manajemen Penyakit Tidak Menular Berbasis Wilayah Pesisir.

Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pribadi khususnya dan pembaca yang
budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan
pada waktu mendatang.
Kendari, Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................6
2.1 Puskesmas Taipabu.....................................................................................................................6
2.2 Hipertensi.....................................................................................................................................7
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................................................17
3.1 Hipertensi pada Masyarakat pesisir........................................................................................17
3.2 Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah..................................................................................17
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................................25
4.1 Kesimpulan................................................................................................................................25
4.2 Saran..........................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu penyebab utama kematian dini di seluruh dunia adalah tekanan darah tinggi
(hipertensi). Diperkirakan 1,13 miliar atau sekitar 15% orang di seluruh dunia menderita
hipertensi, dua pertiganya tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO,
2015). Hipertensi membunuh hampir 9,4 juta orang setiap tahun secara global dan masalahnya
terus meningkat. Di antara semua wilayah yang dideteksi oleh WHO, prevalensi hipertensi
tertinggi berada di wilayah Afrika (46%) dan terendah di wilayah Amerika (35%).

Sementara itu, di wilayah Asia Tenggara, sebanyak 36% orang dewasa menderita
hipertensi (WHO, 2013). Di wilayah Asia Tenggara, satu dari tiga orang dewasa memiliki
tekanan darah tinggi. Prevalensi hipertensi berkisar antara 19% di Republik Rakyat
Demokratik Korea sampai 42% di Myanmar. Di India, peningkatan terjadi dari 5% di tahun
1960 menjadi hampir 12% pada tahun 1990 dan lebih dari 30% pada tahun 2008. Persentase
orang dewasa dengan hipertensi di Indonesia juga meningkat dari 8% pada tahun 1995
menjadi 32% pada tahun 2008 (WHO, 2013).

Prevalensi hipertensi mengalami penurunan yakni dari 29,8% (Riskesdas, 2007) menjadi
25,8% (Riskesdas, 2013), namun kembali mengalami peningkatan pada tahun 2018. Data
terbaru Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hipertensi di Indonesia telah mencapai angka
34,1% (Kemenkes RI, 2019).

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan dengan 3/4
wilayahnya terdiri dari laut sehingga memiliki wilayah pesisir dengan kategori luas (BPS,
2018). Hal tersebut terbukti dari fakta bahwa Indonesia memiliki pulau terbanyak di dunia
yang berjumlah 17.504 pulau serta mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
Kanada (BPS, 2017) di antara 198 negara dan 55 wilayah dunia (BPS, 2016).
Berdasarkan Siaran Pers Nomor : SP.47/DJPRL.0/I/2018, panjang garis pantai tersebut
adalah 99.093 km (KKP, 2018). Dengan kondisi tersebut, mayoritas penduduk Indonesia
(60%) bertempat tinggal di wilayah pesisir dalam radius 50 km dari garis pantai (BPS, 2016).
Persebaran penduduk di wilayah pesisir yang luas dapat berdampak terhadap permasalahan
kesehatan, salah satunya adalah hipertensi. Beberapa penelitian di dunia menunjukkan bahwa
prevalensi hipertensi di wilayah pesisir cukup tinggi, angka tersebut mendekati bahkan
melebihi angka pada wilayah dengan prevalensi tertinggi di dunia (46%) seperti pada
penelitian Muthukrishnan, Uma, & Anantharaman (2018) di Chennai, India sebesar 46,6%.

Di Indonesia, angka hipertensi tertinggi pada 3 survei Riskesdas terbaru juga berada pada
wilayah pesisir. Pada Riskesdas 2007 angka hipertensi tertinggi berada di Kepulauan Natuna
sebesar 53,3% (Kemenkes RI, 2008). Pada Riskesdas 2013 angka hipertensi tertinggi di
Kepulauan Bangka Belitung sebesar 30,9% (Kemenkes RI, 2013). Selain itu, pada Riskesdas
2018 angka hipertensi tertinggi berada di Kalimantan Selatan sebesar 44,13% (Kemenkes RI,
2019). Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang perlu diwaspadai
khususnya di wilayah pesisir. Tiga per empat wilayah Indonesia yang terdiri dari lautan
menyebabkan sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir pantai. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi dan risiko hipertensi di wilayah pesisir lebih signifikan.

Penelitian Saputra & Anam (2016) menunjukkan bahwa gaya hidup masyarakat pesisir
pantai seperti konsumsi natrium yang tinggi serta konsumsi kolesterol yang tinggi dari hewan
laut menjadi faktor risiko kejadian hipertensi. Kondisi tersebut menyebabkan kecenderungan
kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir pantai. Sebuah penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Rumbai Pesisir menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pola asupan garam dengan kejadian hipertensi primer pada masyarakat (Raihan, Erwin, &
Dewi, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah ini adalah “bagaimana
penerapan manajemen penyakit berbasis wilayah pesisir dalam upaya pengendalian penyakit
hipertensi”
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Puskesmas Taipabu
Puskesmas Taipabu adalah salah satu dari tiga puskesmas yang berada di Kecamatan
Binongko Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara. Wilayah kerja Puskesmas Taipabu berada
di Desa Taipabu dan Desa Bantea yang merupakan wilayah pesisir. Dari profil kesehatan
puskesmas Taipabu tahun 2022 didapatkan sepuluh besar penyakit.

10 Besar Penyakit Puskesmas Taipabu Tahun 2022

No. Diagnosa Kelompok umur (Tahun) Jumlah


0-5 6-12 13-20 21-44 45-59 ≥ 60
1 Hipertensi 0 0 0 21 51 51 123
2 Diabetes 0 0 0 18 34 33 85
Melitus
3 ISPA 8 7 10 16 14 6 55
4 TB Paru 2 19 10 11 42
BTA (+)
5 Observasi 2 6 6 2 1 0 17
Febris
6 Myalgia 0 0 5 6 2 4 17
7 Diare 2 5 4 5 1 0 17
8 Cephalgia 0 0 4 2 3 4 13
9 Scabies 0 1 2 3 1 0 7
10 Furunkel 0 0 0 1 2 2 5

Berdasarkan tabel 10 besar penyakit yang berada di Puskesmas Taipabu, kasus


hipertensi menunjukkan kasus tertinggi dengan angka kejadian 123 kasus, disusul oleh
penyakit Diabetes Melitus sebanyak 85 kasus dan ISPA pada urutan ke-3 dengan angka
kejadian 55 kasus.
2.2 Hipertensi
A. Pengertian Hipertensi
Menurut Manutung (2018) dalam Tika, Hipertensi yaitu tekanan darah tinggi dengan
tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan
darah pada manusia secara alami berfluktuasi setiap harinya. Tekanan darah tinggi
dianggap bermasalah apabila tekanan tersebut bersifat berkepanjangan (Tika, 2021).
Hipertensi pada lansia dibedakan atas hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau
lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90
mmHg, serta hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160
mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
B. Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi sering dijuluki pembunuh diam-diam karena dapat menyerang siapa
saja secara tiba-tiba serta merupakan salah satu penyakit yang dapat mengakibatkan
kematian. Hipertensi diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Klasifikasi Hipertensi menurut WHO-ISH
Klasifikasi hipertensi menurut WHO-ISH dibedakan menjadi 9 kategori. Klasifikasi
tersebut sesuai dengan tabel 1 dibawah ini, yaitu :
2. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-VII 2003
Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII 2003 dibedakan menjadi 4 kategori.
Klasifikasi tersebut sesuai dengan tabel 2 dibawah ini, yaitu :
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan rata-
rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis
(Tabel 2). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal tekanan
darah sistolik (TDS). Pre hipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke
klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi, dan
semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat (JNC VII, 2003).
C. Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi
primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi jenis ini tidak
diketahui penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi sekunder akibat adanya
suatu penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti stenosis arteri renalis, penyakit
parenkim ginjal, feokromositoma, hiperaldosteronism, dan sebagainya. 1
D. Faktor Penyebab
Faktor penyebab penyakit hipertensi yaitu faktor demografi seperti umur, jenis
kelamin, keturunan dan etnis, faktor perilaku seperti obesitas, stress, kebiasaan
merokok dan konsumsi alkohol, serta asupan yang salah.
a. Faktor Demografi
1) Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi.
Tekanan darah akan naik dengan bertambahnya umur terutama setelah umur 40
tahun. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar,
sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih
kaku, sebagai akibat dari peningkatan tekanan darah sistolik (Anggi K, 2008).
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat berpengaruh pada terjadinya hipertensi. Pada umumnya pria
lebih rentan terkena penyakit hipertensi dibandingkan dengan wanita. Seorang
ahli mengatakan bahwa pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan
wanita dengan rasio 2.29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik. Hal ini
dipengaruhi oleh hormon estrogen pada wanita yang meningkatkan kadar HDL
sehingga melindungi wanita dari hipertensi (Kartikasari, 2012). Namun apabila
wanita memasuki masa menopause maka resiko hipertensi meningkat sehingga
prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini disebabkan oleh
produksi hormon estrogen menurun pada saat menopause sehingga menyebabkan
meningkatnya tekanan darah (Artiyaningrum, 2016).
3) Keturunan (Genetik)
Salah satu faktor hipertensi adalah tingginya peranan faktor keturunan yang
mempegaruhi. Faktor genetik berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam
dan renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita
hipertensi maka sekitar 45% akan diturunkan kepada anak-anaknya dan bila salah
satu orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun kepada anak-
anaknya (Artiyaningrum, 2016).
4) Etnis
Prevalensi hipertensi dikatakan lebih banyak terjadi pada orang yang berkulit
hitam dari pada berkulit putih. Berdasarkan The ARIC study yang meneliti dua
etnik populasi di Amerika menyatakan bahwa prevalensi hipertensi lebih tinggi
pada penduduk Afrika di banding kulit putih (55% lakilaki Amerika Afrika
dibandingkan 29% laki-laki kulit putih, 56% wanita Amerika Afrika
dibandingkan 26% wanita kulit putih) (Sulastri, Elmatris, and Ramadhani, 2012).
b. Faktor Perilaku
1) Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor penyebab hipertensi. Obesitas akan
menambah kerja jantung, keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya tekanan
darah tinggi dan kolesterol (Anggi K, 2008). Obesitas dapat memicu terjadinya
hipertensi melalui berbagai mekanisme baik secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung obesitas dapat menyebabkan peningkatan cardiac output karena
makin besar massa tubuh makin banyak pula jumlah darah yang beredar sehingga
curah jantung ikut meningkat. Dan secara tidak langsung yaitu melalui
perangsangan aktivitas sistem saraf simpatis dan Renin Angiotensin Aldosteron
System (RAAS) oleh mediator seperti hormon aldosteron yang terkait erat dengan
retensi air dan natrium sehingga volume darah meningkat (Sulastri, Elmatris, and
Ramadhani, 2012).
2) Stress
Stress dapat memicu terjadinya tekanan darah meningkat hal ini karena
stress dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan
memicu jantung berdenyut lebih cepat sehingga menyebabkan tekanan darah naik.
Menurut Sutanto (2010), apabila stress berlangsung lama dapat mengakibatkan
peninggian tekanan darah menetap (Artiyaningrum, 2016).
3) Merokok
Rokok mengandung berbagai macam zat kimia yang dapat
membahayakan tubuh diantaranya nikotin, karbomonoksida, dan bahan yang
lainnya. Kandungan kimia dalam rokok dapat menyebabkan timbulnya
hipertensi dan penyakit lainnya seperti serangan jantung dan kanker (Intan,
2012).
4) Konsumsi Alkohol
Mengonsumsi alkohol dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam
penyakit salah satunya yaitu hipertensi, karena zat-zat yang terkandung dalam
alkohol sangat berbahaya bagi tubuh sehingga dapat memicu timbulnya
berbagai macam penyakit (Intan, 2012).
c. Asupan
Asupan yang salah dapat mengakibatkan hipertensi. Berikut merupakan
contoh asupan yang dapat menyebabkan hipertensi.
1) Konsumsi Garam Berlebih
Garam sebenarnya diperlukan tubuh, apabila dikonsumsi dalam batas yang
normal. Mengkonsumsi garam yang banyak akan menyebabkan banyak cairan
tubuh yang tertahan, hal itu dapat meningkatkan volume darah seseorang Hal
inilah yang menyebabkan pembuluh darah bekerja ekstra karena adanya
peningkatan tekanan darah dalam dinding pembuluh darah sehingga
menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi (Intan, 2012).
2) Konsumsi Lemak dan Kolesterol
Konsumsi lemak dan kolesterol dapat mengakibatkan penimbunan lemak pada
tubuh apalagi bila aktifitas seseorang kurang maka akan mengakibatkan resiko
obesitas. Obesitas merupakan salah satu faktor resiko hipertensi. Selain itu
konsumsi kolesterol dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam tubuh. Karena
semakin tinggi kadar kolesterol total maka akan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya hipertensi (Maryati, 2017).
3) Konsumsi Serat Kurang
Serat merupakan jenis karbohidrat yang tidak terlarut. Serat berkaitan dengan
pencegahan terjadinya tekanan darah tinggi terutama jenis serat kasar. Serat
mempunyai fungsi yang tidak tergantikan oleh zat lainnya dalam memicu
terjadinya kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat memberikan perlindungan
pada kesehatan saluran pencernaan, khususnya usus halus dan kolon. Berbagai
penelitian dan review literatur memberikan data yang mendukung peranan serat
makanan dalam memicu pertumbuhan bakteri asam laktat (Lactobacillus) yang
mempunyai sifat metabolik seperti bifidobakteri dalam menghasilkan asam lemak
berantai pendek (short chain fatty acid, ALRP) dan perbaikan sistem imun.
Serat makanan merupakan subtansi yang tidak saja memperbaiki flora usus
melalui pertumbuhan bakteri Lactobacillus, tetapi juga memberi dampak positif
pada unsur kesehatan lainnya seperti pencegahan penyakit degenerative. Bakteri
probiotik yang hidup dalam saluran 13 pencernaan setelah dikonsumsi membantu
mengatasi intoleransi terhadap laktosa, mencegah diare, sembelit, kanker,
hipertensi, menurunkan kolestrol, menormalkan komposisi bakteri saluran
pencernaan setelah pengobatan antibiotik, serta meningkatkan sistem kekebalan
tubuh (M. Kusharto, 2006).
Mengkonsumsi serat sangat menguntungkan karena dapat mengurangi
pemasukan energi, hal ini karena serat yang dikonsumsi akan membentuk gel
sehingga isi lambung penuh dan dapat membuat volume makanan menjadi tinggi
yang mampu memberikan rasa kenyang yang lebih cepat sehingga seseorang tidak
lagi mengkonsumsi makanan lainnya secara berlebihan (Ratnaningrum, 2015).

E. Tanda dan Gejala


Hipertensi sering dikatakan sebagai silent killer, hal ini karena hipertensi
dapat menyerang siapa saja dan dapat menyebabkan kematian. Ciri-ciri dari
Hipertensi (Intan, 2012), yaitu :
a. Sakit Kepala
Salah satu ciri dari penyakit hipertensi yaitu sakit kepala. Hal ini karena aliran
darah yang dihasilkan oleh jantung ke seluruh tubuh semakin meningkat sehingga
membuat sakit pada daerah kepala.
b. Sesak Nafas
Pada penderita hipertensi sesak nafas bisa terjadi, hal ini karena pendarahan tidak
lancar sehingga membuat penderita hipertensi merasa sesak.
c. Pendarahan Dari Hidung (mimisan)
Mimisan adalah salah satu ciri dari hipertensi. Hal ini karena akan menyebabkan
pecahnya pembuluh darah dibagian belakang (epistaksis posteor) sehingga
menyebabkan terjadinya mimisan.
d. Gelisah Gelisah terjadi karena berbagai hal yaitu diantaranya karena faktor emosi
yang berlebihan.
e. Denyut Jantung Semakin Cepat Ketika denyut jantung semakin cepat, jantung
terasa berdebar-debar. Hal ini terjadi karena faktor emosi sehingga masih
merupakan salah satu ciri dari penyakit darah tinggi (hipertensi).
F. Diagnosis Hipertensi
Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat asimptomatik.
Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti berputar, atau
penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke arah hipertensi sekunder
antara lain penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat atau takikardi
serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali
mengenai faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang
kurang, dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan
riwayat keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua
kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90
mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan
tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang
tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau
sedang terjadi seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum,
kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain
berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal,
foto thoraks dan ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder
dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat
(Kasper, Braunwald, & Hauser, 2005)
F. Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi
gaya hidup (Kasper, Braunwald, & Hauser, 2005).
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:

 Target tekanan darah <150/90, untuk individu dengan diabetes, gagal


ginjal, dan individu dengan usia > 60 tahun <140/90
 Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau


kondisi penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus
dilaksanakan hingga mencaoai target terapi masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan
farmakologis. Terpai nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien
hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-
faktor resiko penyakit penyerta lainnya.

Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks


massa tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m 2),
kontrol diet berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-
sayuran, serta produk susu rendah lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan
garam dimana konsumsi NaCl yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal
lain yang disarankan adalah target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari
dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan konsumsi
alkohol. Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga
mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan antihipertensi
didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal ginjal
kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin kontrol
dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target tekanan darah
tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit
(Yogiantoro, 2009)

Jenis obat antihipertensi:


1. Diuretik

Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh


(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan
daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya
tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah: Bendroflumethiazide,
chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan indapamide.
2. ACE-Inhibitor

Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat


yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering
timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat
yang tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.
3. Calsium channel blocker

Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung


dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat
yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan
nitrendipine.
4. ARB

Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II


pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung.
Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah eprosartan, candesartan,
dan losartan.
5. Beta blocker

Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa


jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah
diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh
obat yang tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan
beta metoprolol.
BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Hipertensi pada Masyarakat pesisir
Dari Penelitian yang dilakukan oleh Saputra & Anam (2016) menunjukkan bahwa
gaya hidup masyarakat pesisir pantai seperti konsumsi natrium yang tinggi serta konsumsi
kolesterol yang tinggi dari hewan laut menjadi faktor risiko kejadian hipertensi. Kondisi
tersebut menyebabkan kecenderungan kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir pantai.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Putri dkk. di wilayah pesisir kota Banda Aceh
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola makan dan hipertensi
(Putri, Abdullah, & Hermansyah, 2021).

Dalam salah satu penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sundari & Widodo (2013)
menyatakan bahwa hipertensi lebih banyak pada wilayah pantai, dikarenakan bahwa asupan
natrium tertinggi adalah wilayah pesisir. Dari penelitian yang dilakukannya terdapat penyebab
tingginya hipertensi disebabkan oleh pola kebiasaan masyarakat yang cenderung mengasinkan
makanan olahan laut. Selain konsumsi makanan laut yang tinggi juga berperan dalam
kecendrungan hipertensi di daerah pesisir pantai.

Sejalan dengan hasil telaah Sari dan Susilawati, bahwa mengonsumsi makanan laut
dengan porsi banyak (>400 gr/minggu) lebih berisiko menderita hipertensi (100%)
dibandingkan responden yang mengonsumsi makanan laut dengan porsi sedang (1-400
gr/minggu) dan didapatkan kesimpulan bahwa pola konsumsi makanan tinggi natrium dan
status gizi berhubungan dengan tekanan darah jika dikonsumsi dalam kadar yang berlebih dan
kategori sering (Sari & Susilawati, 2022). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Syahrir dkk. konsumsi alkohol dan merokok tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi di
wilayah pesisir kecamatan kolono kabupaten Konawe Selatan (Syahrir, Sabilu, & Salma,
2021).
3.2 Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah
Manajemen pengendalian penyakit berbasis wilayah (MPBW) mencakup upaya
pengendalian kasus penyakit disuatu wilayah tertentu bersama pengendalian berbagai faktor
risiko yang dilakukan secara terintegrasi. Faktor risiko penyakit pada dasarnya adalah semua
faktor yang berperan dalam kejadian suatu penyakit di tingkat individu dan tingkat
masyarakat. Berbagai variabel lingkungan dan penduduk yang mencakup perilaku hidup sehat
merupakan faktor risiko utama penyakit. Dengan demikian, penyehatan lingkungan dan
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya utama pengendalian berbagai faktor risiko
penyakit di dalam satu wilayah tertentu. Dalam suatu wilayah, MPBW harus dirancang
berdasarkan eviden yang dikumpulkan secara periodik, sistematik dan terencana dan
dilaksanakan oleh ”tim terpadu” kesehatan.

Menejemen Penyakit Berbasis wilayah secara esensial memenuhi pendekatan


kesehatan masyarakat yang paling tidak harus menampilkan lima karakteristik spesifik, yaitu

(1) Program hendaknya berorientasi pada seluruh masyarakat dalam suatu wilayah, misal
kabupaten, kecamatan dan desa tanpa diskriminasi terhadap ras, suku, agama atau golongan
umur, dan status sosial ekonomi.

(2) Berorientasi pada pencegahan primer misalnya pengendalian faktor risiko.

(3) Penanganan masalah menggunakan pendekatan multidisiplin, misalnya pengendalian


faktor risiko rumah sehat atau penanganan penyakit masyarakat seperti diare, malaria, flu
burung dan lain-lain.

(4) Kegiatan dilakukan bersama dengan ciri partisipasi masyarakat. Contoh: pengendalian
faktor risiko flu burung, gizi buruk, penyakit campak, penurunan kematian ibu, penurunan
kematian bayi, penanggulangan wabah virus polio liar, SARS dan lain sebagainya yang
dilakukan bersama masyarakat.

(4) Partnership atau kemitraan.


Pada manajemen penyakit hipertensi berbasis wilayah, terdapat empat cara pencegahan
dan pengendalian penyakit tidak menular, yaitu:

a. Advokasi, kerjasama, bimbingan dan manajemen PTM

b. Promosi, pencegahan, dan pengurangan faktor risiko PTM melalui pemberdayaan masyarakat

c. Penguatan kapasitas dan kompetensi layanan kesehatan, serta kolaborasi sektor swasta dan

profesional

d. Penguatan surveilans, pengawasan dan riset PTM .

Langkah - Langkah kebijakan dan strategi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak

Menular dalam mencapai target indikator adalah :

a. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat sehingga dapat terhindar

dari faktor risiko.

b. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas melalui

penguatan sumber daya , dan standardisasi pelayanan,

c. Meningkatkan kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, dan pemangku kepentingan

terkait,

d. Menyelenggarakan Surveilans dengan mengintegrasikan dalam sistem surveilans penyakit

tidak menular diFasilitas Pelayanan Kesehatan dan masyarakat.

e. Meningkatkan advokasi kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan pemangku

kepentingan terkait.

Teori Simpul Patogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarkan kedalam

suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan suatu hubungan interaksi

antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia. Dengan
mempelajari patogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada titik mana atau simpul mana

kita bisa melakukan pencegahan. Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan

kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul (Ahmadi,2008).

Patogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan dalam

5 simpul yaitu:

a. Simpul I yaitu sumber penyakit.

b. Simpul II yaitu media tansmisi penyakit.

c. Simpul III yaitu perilaku pemajanan/ Biomarker

d. Simpul IV yaitu kejadian penyakit

e. Simpul V yaitu semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul

tersebut misalnya iklim, dll.

Dalam teori genomic public health, kejadian penyakit adalah resultan hubungan
interaktif antara genetic make up pada sosok individu atau kelompok dengan lingkungan yang
memiliki atau mengandung substansi agen penyakit berukuran mikro. Agen penyakit tersebut
juga dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, topografi dan lain sebagainya. Dengan demikian,
menjadi jelas bahwa dalam perspektif genome, kejadian penyakit juga merupakan sebuah
fenomena yang ber basis wilayah pula. Dalam teori simpul kejadian penyakit atau teori klasik
multi causation of web dapat dipahami bahwa untuk melakukan upaya pencegahan terlebih
dahulu harus mempelajari teori kejadian penyakit. Patogenesis penyakit dalam perspektif
lingkungan dan variabel kependudukan dapat digambarkan dalam (model) Teori Simpul
(Achmadi, 2012).

1. MANAJEMEN SIMPUL 1
Pengendalian penyakit atau menejemen penyakit berbasis wilayah secara terpadu

berbasis wilayah di mulai dari pengendalian sumber penyakit. Pengendalian pada


sumber penyakit merupakan upaya preventif dan promotif. Sumber penyakit menular

dan penyakit tidak menular pada dasarnya dapat dibedakan. Sumber penyakit adalah

sesuatu yang secara konstan mengeluarkan agent penyakit. Agent penyakit merupakan

komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit baik melalui

kontak secara langsung maupun melalui perantara.

Pada penyakit tidak menular sumber agen penyakit berupa toksik fisik, dalam

hal ini hipertensi dapat dipicu oleh asap rokok. Pada penelitan yang dilakukan oleh

Sriani dkk. Bahwa terdapat hubungan perilaku merokok dan kejadian hipertensi

(Sriani, Fakhriadi, & Rosadi, 2016). Maka, pada simpul 1 bisa dilakukan pengendalian

dengan melakukan upaya promotif dan preventif dengan melaksanakan penyuluhan

pada masyarakat yang dilakukan di Puskesmas atau Balai Pertemuan. Deteksi dini

faktor resiko PTM, Surveilan Hipertensi.

2. MANAJEMEN SIMPUL 2

Manajemen simpul 2 dilakukan dengan mengendalikan agent penyakit melalui media

transmisi, misalnya :

a. Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor merupakan salah satu cara untuk mengendalikan penyakit yang

ditularkan vektor penyakit, seperti nyamuk penular malaria, penular demam berdarah dan

sebagainya.

b. Penyehatan Makanan

Penyehatan pangan merupakan upaya untuk melakukan pencegahan penularan penyakit

melalui pangan, misalnya sanitasi makanan, proses pengolahan yang memenuhi standar
kesehatan, penggunaaan bahan-bahan yang tidak berpontensi bahaya penyakit, misalnya

daging yang mengandung Bacillus anthracis.

c. Penyehatan Air

Penyehatan air identik dengan penyediaan air bersih bagi penduduk, misalnya air yang

tercemar bakteri harus dimasak.

d. Pembersihan Udara Dalam Ruangan

Penyehatan udara dapat dilakukan dengan cara penyediaan Air Filter diruangan yang

penuh dengan asap dengan debu. Untuk membersihkan polusi udara diperkotaan dengan

cara menanam pepohonan, memperbanyak air mancur, telaga dan lain sebagainya.

e. Pada manusia pembawa penyakit (misalnya pengobatan atau containment penderita).

Sedangkan penularan penyakit melalui manusia selain pengobatan pada manusia itu

sendiri, juga perlu dilakukan dengan pencegahan melalui penggunaan alat pelindung diri,

seperti masker pada penderita penyakit TBC agar tidak menularkan pada orang lain.

Pengaruh komponen lingkungan berperan dalam patogenesis penyakit, karena dapat

memindahkan agent penyakit. Komponen lingkungan yang lazim dikenal sebagai media

transmisi adalah: Udara, Air, Makanan, Binatang, Manusia / secara langsung.

Pada penyakit tidak menular seperti hipertensi maka komponen lingkungan yang

merupakan media transmisi lansung yaitu seperti asap rokok dan makanan yang mengandung

kolesterol yang tinggi dari hewan laut.

3. MANAJEMEN SIMPUL 3 (Perilaku Pemajanan)

Perilaku Pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen

lingkunganyang mengandung potensi bahaya penyakit (agen penyakit). Ada sederet upaya
(termasuk upaya teknologi) untuk mencegah agar masyarakat tertentu tidak melakukan kontak

dengan komponen yang memiliki potensi membahayakan kesehatan. Upaya yang telah dikenal

antara lain upaya perbaikan PHBS, penggunaan alat pelindung diri, imunisasi dan kekebalan

alamiah ketika terjadi suatu penyakit.

Komponen penduduk yang berperan dalam patogenesis penyakit antara lain: Perilaku,

Status gizi, Pengetahuan, ekonomi, budaya. Kebiasaan masyarakat yang mengasinkan ikan

untuk di konsumsi dan kurangnya pengetahuan mengenai pola konsumsi makanan laut dan

gizi seimbang menjadikan tingginya kejadian hipertensi di wilayah pesisir.

4. MANAJEMEN SIMPUL 4 ( PENGOBATAN PENDERITA/MANAJEMEN

KASUS)

Pengobatan terhadap penderita pada kasus tersebut dikenal sebagai manajemen kasus

atau penderita penyakit. Agent penyakit yang masuk ke tubuh seseorang akan

mengalami proses yang amat kompleks didalam tubuh manusia tersebut. Tentu saja

tubuh manusia dengan sistem pertahanannya tidak serta-merta menyerah begitu saja.

Hal ini dikenal dengan sistem pertahanan seluler maupun homoral. Untuk kasus

penyakit lingkungan yang menular, mikroba yang masuk ke dalam tubuh manusia

melalui berbagai media transmisi tentu akan dicoba di contain ditahan dan dibunuh

oleh sel-sel pertahanan tubuh manusia.

Sakit merupakan suatu kedaan patologis pada individu maupun kelompok orang

berupa kelainan fungsi maupun morfologi. Untuk memastikan kondisi seseorang

dinyatakan sakit, bisa melaui pemeriksaan secara sederhana hingga pemeriksaan

dengan alat teknologi tinggi. Kondisi gangguan penyakit merupakan kegagalan


pengendalian faktor risiko pada simpul 1, 2, dan 3. Saat itulah diperlukan manajemen

kasus penderita dengan


baik dan tuntas, terutama untuk kasus penyakit menular. Kasus penyakit menular

memerlukan pengobatan yang baik untuk mencegah timbulnya penularan. Sedangkan

untuk penyakit yang tidak menular, upaya yang dilakukan adalah dengan

menggunakan dukungan teknik diagnostik dan penentuan faktor risiko agar orang lain

tidak menderita penyakit serupa.

Pada penyakit hipertensi jika menemukan kasus maka dapat dilakukan tatalaksana

hipertensi baik farmakologi maupun non- farmakologi dan dilakukan rujukan jika

diperlukan.
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang tidak menular, Hipertensi lebih dikenal

dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan darah yang dapat

digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya tekanan darah

adalah tekanan sistolik dan diastolik.

Proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan dalam 5 simpul.

Promosi kesehatan dengan melakukan penyuluhan menjadi salah satu pengendalian

penyakit hipertensi. Kegiatan seperti skrining, melakukan pemeriksaan hingga,

pengobatan hingga rujukan adalah bgian dari upaya pengendalian penyakit tidak

menular.

4.2 Saran
Hendaknya dilakukan Langkah - Langkah kebijakan dan strategi Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit Tidak Menular dalam mencapai target indikator adalah :

1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat sehingga dapat

terhindar dari faktor risiko.

2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas melalui

penguatan sumber daya , dan standardisasi pelayanan,

3. Meningkatkan kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, dan pemangku

kepentingan terkait,

4. Menyelenggarakan Surveilans dengan mengintegrasikan dalam sistem surveilans

penyakit tidak menular diFasilitas Pelayanan Kesehatan dan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. (2012). Manajemen Penyakit berbasis wilayah Ed. Revisi. Jakarta: Rajawali
Pres.

Kasper, D. L., Braunwald, E., & Hauser, S. (2005). Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th Edition . The McGraw: Hill Companies.

Putri, R. M., Abdullah, A., & Hermansyah. (2021). Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat
Pesisir Di Kota Banda Aceh. Jurnal Aceh Medika, V(02), 12-24.

Sari, R. W., & Susilawati. (2022). POLA KONSUMSI MAKANAN LAUT TERHADAP
TIMBULNYA KEJADIAN HIPERTENSI DI WILAYAH PESISIR. Journal of Social
Research, I(08), 895-901.

Sriani, K. I., Fakhriadi, R., & Rosadi, D. (2016). HUBUNGAN ANTARA PERILAKU
MEROKOK DAN KEBIASAAN OLAHRAGA DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI
PADA LAKI-LAKI USIA 18-44 TAHUN. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat
Indonesia, III(01).

Syahrir, M., Sabilu, Y., & Salma, W. O. (2021). HUBUNGAN MEROKOK DAN
KONSUMSI ALKOHOLDENGAN KEJADIAN PENYAKIT HIPERTENSI PADA
MASYARAKAT WILAYAH PESISIR. Nursing Update, XII(03), 27-35.

Tika, T. T. (2021). PENGARUH PEMBERIAN DAUN SALAM (Syzygium polyanthum)


PADA PENYAKIT HIPERTENSI : SEBUAH STUDI LITERATUR. Jurnal Medika
Hutama, III(01), 260-1265.

Yogiantoro, M. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Perhipunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai