2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah
dengan judul "Menejemen Penyakit Tidak Menular Berbasis Wilayah Pesisir Kabupaten
WAKATOBI Provinsi Sulawesi Tenggara (Wilayah kerja Puskesmas Taipabu)” dengan
tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis
sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi Kawasan Pesisir
dan Perdesaan yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini,
dan orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas penulis.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas individu mata kuliah
Epidemiologi Kawasan Pesisir dan Perdesaan. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh
semua mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan dan pemahaman tentang
Manajemen Penyakit Tidak Menular Berbasis Wilayah Pesisir.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pribadi khususnya dan pembaca yang
budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan
pada waktu mendatang.
Kendari, Maret 2023
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................6
2.1 Puskesmas Taipabu.....................................................................................................................6
2.2 Hipertensi.....................................................................................................................................7
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................................................17
3.1 Hipertensi pada Masyarakat pesisir........................................................................................17
3.2 Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah..................................................................................17
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................................25
4.1 Kesimpulan................................................................................................................................25
4.2 Saran..........................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu penyebab utama kematian dini di seluruh dunia adalah tekanan darah tinggi
(hipertensi). Diperkirakan 1,13 miliar atau sekitar 15% orang di seluruh dunia menderita
hipertensi, dua pertiganya tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO,
2015). Hipertensi membunuh hampir 9,4 juta orang setiap tahun secara global dan masalahnya
terus meningkat. Di antara semua wilayah yang dideteksi oleh WHO, prevalensi hipertensi
tertinggi berada di wilayah Afrika (46%) dan terendah di wilayah Amerika (35%).
Sementara itu, di wilayah Asia Tenggara, sebanyak 36% orang dewasa menderita
hipertensi (WHO, 2013). Di wilayah Asia Tenggara, satu dari tiga orang dewasa memiliki
tekanan darah tinggi. Prevalensi hipertensi berkisar antara 19% di Republik Rakyat
Demokratik Korea sampai 42% di Myanmar. Di India, peningkatan terjadi dari 5% di tahun
1960 menjadi hampir 12% pada tahun 1990 dan lebih dari 30% pada tahun 2008. Persentase
orang dewasa dengan hipertensi di Indonesia juga meningkat dari 8% pada tahun 1995
menjadi 32% pada tahun 2008 (WHO, 2013).
Prevalensi hipertensi mengalami penurunan yakni dari 29,8% (Riskesdas, 2007) menjadi
25,8% (Riskesdas, 2013), namun kembali mengalami peningkatan pada tahun 2018. Data
terbaru Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hipertensi di Indonesia telah mencapai angka
34,1% (Kemenkes RI, 2019).
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan dengan 3/4
wilayahnya terdiri dari laut sehingga memiliki wilayah pesisir dengan kategori luas (BPS,
2018). Hal tersebut terbukti dari fakta bahwa Indonesia memiliki pulau terbanyak di dunia
yang berjumlah 17.504 pulau serta mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
Kanada (BPS, 2017) di antara 198 negara dan 55 wilayah dunia (BPS, 2016).
Berdasarkan Siaran Pers Nomor : SP.47/DJPRL.0/I/2018, panjang garis pantai tersebut
adalah 99.093 km (KKP, 2018). Dengan kondisi tersebut, mayoritas penduduk Indonesia
(60%) bertempat tinggal di wilayah pesisir dalam radius 50 km dari garis pantai (BPS, 2016).
Persebaran penduduk di wilayah pesisir yang luas dapat berdampak terhadap permasalahan
kesehatan, salah satunya adalah hipertensi. Beberapa penelitian di dunia menunjukkan bahwa
prevalensi hipertensi di wilayah pesisir cukup tinggi, angka tersebut mendekati bahkan
melebihi angka pada wilayah dengan prevalensi tertinggi di dunia (46%) seperti pada
penelitian Muthukrishnan, Uma, & Anantharaman (2018) di Chennai, India sebesar 46,6%.
Di Indonesia, angka hipertensi tertinggi pada 3 survei Riskesdas terbaru juga berada pada
wilayah pesisir. Pada Riskesdas 2007 angka hipertensi tertinggi berada di Kepulauan Natuna
sebesar 53,3% (Kemenkes RI, 2008). Pada Riskesdas 2013 angka hipertensi tertinggi di
Kepulauan Bangka Belitung sebesar 30,9% (Kemenkes RI, 2013). Selain itu, pada Riskesdas
2018 angka hipertensi tertinggi berada di Kalimantan Selatan sebesar 44,13% (Kemenkes RI,
2019). Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang perlu diwaspadai
khususnya di wilayah pesisir. Tiga per empat wilayah Indonesia yang terdiri dari lautan
menyebabkan sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir pantai. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi dan risiko hipertensi di wilayah pesisir lebih signifikan.
Penelitian Saputra & Anam (2016) menunjukkan bahwa gaya hidup masyarakat pesisir
pantai seperti konsumsi natrium yang tinggi serta konsumsi kolesterol yang tinggi dari hewan
laut menjadi faktor risiko kejadian hipertensi. Kondisi tersebut menyebabkan kecenderungan
kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir pantai. Sebuah penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Rumbai Pesisir menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pola asupan garam dengan kejadian hipertensi primer pada masyarakat (Raihan, Erwin, &
Dewi, 2014).
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Puskesmas Taipabu
Puskesmas Taipabu adalah salah satu dari tiga puskesmas yang berada di Kecamatan
Binongko Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara. Wilayah kerja Puskesmas Taipabu berada
di Desa Taipabu dan Desa Bantea yang merupakan wilayah pesisir. Dari profil kesehatan
puskesmas Taipabu tahun 2022 didapatkan sepuluh besar penyakit.
PEMBAHASAN
3.1 Hipertensi pada Masyarakat pesisir
Dari Penelitian yang dilakukan oleh Saputra & Anam (2016) menunjukkan bahwa
gaya hidup masyarakat pesisir pantai seperti konsumsi natrium yang tinggi serta konsumsi
kolesterol yang tinggi dari hewan laut menjadi faktor risiko kejadian hipertensi. Kondisi
tersebut menyebabkan kecenderungan kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir pantai.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Putri dkk. di wilayah pesisir kota Banda Aceh
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola makan dan hipertensi
(Putri, Abdullah, & Hermansyah, 2021).
Dalam salah satu penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sundari & Widodo (2013)
menyatakan bahwa hipertensi lebih banyak pada wilayah pantai, dikarenakan bahwa asupan
natrium tertinggi adalah wilayah pesisir. Dari penelitian yang dilakukannya terdapat penyebab
tingginya hipertensi disebabkan oleh pola kebiasaan masyarakat yang cenderung mengasinkan
makanan olahan laut. Selain konsumsi makanan laut yang tinggi juga berperan dalam
kecendrungan hipertensi di daerah pesisir pantai.
Sejalan dengan hasil telaah Sari dan Susilawati, bahwa mengonsumsi makanan laut
dengan porsi banyak (>400 gr/minggu) lebih berisiko menderita hipertensi (100%)
dibandingkan responden yang mengonsumsi makanan laut dengan porsi sedang (1-400
gr/minggu) dan didapatkan kesimpulan bahwa pola konsumsi makanan tinggi natrium dan
status gizi berhubungan dengan tekanan darah jika dikonsumsi dalam kadar yang berlebih dan
kategori sering (Sari & Susilawati, 2022). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Syahrir dkk. konsumsi alkohol dan merokok tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi di
wilayah pesisir kecamatan kolono kabupaten Konawe Selatan (Syahrir, Sabilu, & Salma,
2021).
3.2 Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah
Manajemen pengendalian penyakit berbasis wilayah (MPBW) mencakup upaya
pengendalian kasus penyakit disuatu wilayah tertentu bersama pengendalian berbagai faktor
risiko yang dilakukan secara terintegrasi. Faktor risiko penyakit pada dasarnya adalah semua
faktor yang berperan dalam kejadian suatu penyakit di tingkat individu dan tingkat
masyarakat. Berbagai variabel lingkungan dan penduduk yang mencakup perilaku hidup sehat
merupakan faktor risiko utama penyakit. Dengan demikian, penyehatan lingkungan dan
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya utama pengendalian berbagai faktor risiko
penyakit di dalam satu wilayah tertentu. Dalam suatu wilayah, MPBW harus dirancang
berdasarkan eviden yang dikumpulkan secara periodik, sistematik dan terencana dan
dilaksanakan oleh ”tim terpadu” kesehatan.
(1) Program hendaknya berorientasi pada seluruh masyarakat dalam suatu wilayah, misal
kabupaten, kecamatan dan desa tanpa diskriminasi terhadap ras, suku, agama atau golongan
umur, dan status sosial ekonomi.
(4) Kegiatan dilakukan bersama dengan ciri partisipasi masyarakat. Contoh: pengendalian
faktor risiko flu burung, gizi buruk, penyakit campak, penurunan kematian ibu, penurunan
kematian bayi, penanggulangan wabah virus polio liar, SARS dan lain sebagainya yang
dilakukan bersama masyarakat.
b. Promosi, pencegahan, dan pengurangan faktor risiko PTM melalui pemberdayaan masyarakat
c. Penguatan kapasitas dan kompetensi layanan kesehatan, serta kolaborasi sektor swasta dan
profesional
Langkah - Langkah kebijakan dan strategi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
a. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat sehingga dapat terhindar
c. Meningkatkan kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, dan pemangku kepentingan
terkait,
kepentingan terkait.
suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan suatu hubungan interaksi
antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia. Dengan
mempelajari patogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada titik mana atau simpul mana
kita bisa melakukan pencegahan. Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan
Patogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan dalam
5 simpul yaitu:
e. Simpul V yaitu semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul
Dalam teori genomic public health, kejadian penyakit adalah resultan hubungan
interaktif antara genetic make up pada sosok individu atau kelompok dengan lingkungan yang
memiliki atau mengandung substansi agen penyakit berukuran mikro. Agen penyakit tersebut
juga dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, topografi dan lain sebagainya. Dengan demikian,
menjadi jelas bahwa dalam perspektif genome, kejadian penyakit juga merupakan sebuah
fenomena yang ber basis wilayah pula. Dalam teori simpul kejadian penyakit atau teori klasik
multi causation of web dapat dipahami bahwa untuk melakukan upaya pencegahan terlebih
dahulu harus mempelajari teori kejadian penyakit. Patogenesis penyakit dalam perspektif
lingkungan dan variabel kependudukan dapat digambarkan dalam (model) Teori Simpul
(Achmadi, 2012).
1. MANAJEMEN SIMPUL 1
Pengendalian penyakit atau menejemen penyakit berbasis wilayah secara terpadu
dan penyakit tidak menular pada dasarnya dapat dibedakan. Sumber penyakit adalah
sesuatu yang secara konstan mengeluarkan agent penyakit. Agent penyakit merupakan
Pada penyakit tidak menular sumber agen penyakit berupa toksik fisik, dalam
hal ini hipertensi dapat dipicu oleh asap rokok. Pada penelitan yang dilakukan oleh
Sriani dkk. Bahwa terdapat hubungan perilaku merokok dan kejadian hipertensi
(Sriani, Fakhriadi, & Rosadi, 2016). Maka, pada simpul 1 bisa dilakukan pengendalian
pada masyarakat yang dilakukan di Puskesmas atau Balai Pertemuan. Deteksi dini
2. MANAJEMEN SIMPUL 2
transmisi, misalnya :
a. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor merupakan salah satu cara untuk mengendalikan penyakit yang
ditularkan vektor penyakit, seperti nyamuk penular malaria, penular demam berdarah dan
sebagainya.
b. Penyehatan Makanan
melalui pangan, misalnya sanitasi makanan, proses pengolahan yang memenuhi standar
kesehatan, penggunaaan bahan-bahan yang tidak berpontensi bahaya penyakit, misalnya
c. Penyehatan Air
Penyehatan air identik dengan penyediaan air bersih bagi penduduk, misalnya air yang
Penyehatan udara dapat dilakukan dengan cara penyediaan Air Filter diruangan yang
penuh dengan asap dengan debu. Untuk membersihkan polusi udara diperkotaan dengan
cara menanam pepohonan, memperbanyak air mancur, telaga dan lain sebagainya.
Sedangkan penularan penyakit melalui manusia selain pengobatan pada manusia itu
sendiri, juga perlu dilakukan dengan pencegahan melalui penggunaan alat pelindung diri,
seperti masker pada penderita penyakit TBC agar tidak menularkan pada orang lain.
memindahkan agent penyakit. Komponen lingkungan yang lazim dikenal sebagai media
Pada penyakit tidak menular seperti hipertensi maka komponen lingkungan yang
merupakan media transmisi lansung yaitu seperti asap rokok dan makanan yang mengandung
lingkunganyang mengandung potensi bahaya penyakit (agen penyakit). Ada sederet upaya
(termasuk upaya teknologi) untuk mencegah agar masyarakat tertentu tidak melakukan kontak
dengan komponen yang memiliki potensi membahayakan kesehatan. Upaya yang telah dikenal
antara lain upaya perbaikan PHBS, penggunaan alat pelindung diri, imunisasi dan kekebalan
Komponen penduduk yang berperan dalam patogenesis penyakit antara lain: Perilaku,
Status gizi, Pengetahuan, ekonomi, budaya. Kebiasaan masyarakat yang mengasinkan ikan
untuk di konsumsi dan kurangnya pengetahuan mengenai pola konsumsi makanan laut dan
KASUS)
Pengobatan terhadap penderita pada kasus tersebut dikenal sebagai manajemen kasus
atau penderita penyakit. Agent penyakit yang masuk ke tubuh seseorang akan
mengalami proses yang amat kompleks didalam tubuh manusia tersebut. Tentu saja
tubuh manusia dengan sistem pertahanannya tidak serta-merta menyerah begitu saja.
Hal ini dikenal dengan sistem pertahanan seluler maupun homoral. Untuk kasus
penyakit lingkungan yang menular, mikroba yang masuk ke dalam tubuh manusia
melalui berbagai media transmisi tentu akan dicoba di contain ditahan dan dibunuh
Sakit merupakan suatu kedaan patologis pada individu maupun kelompok orang
untuk penyakit yang tidak menular, upaya yang dilakukan adalah dengan
menggunakan dukungan teknik diagnostik dan penentuan faktor risiko agar orang lain
Pada penyakit hipertensi jika menemukan kasus maka dapat dilakukan tatalaksana
hipertensi baik farmakologi maupun non- farmakologi dan dilakukan rujukan jika
diperlukan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang tidak menular, Hipertensi lebih dikenal
dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan darah yang dapat
digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya tekanan darah
pengobatan hingga rujukan adalah bgian dari upaya pengendalian penyakit tidak
menular.
4.2 Saran
Hendaknya dilakukan Langkah - Langkah kebijakan dan strategi Pencegahan dan
kepentingan terkait,
Achmadi, U. F. (2012). Manajemen Penyakit berbasis wilayah Ed. Revisi. Jakarta: Rajawali
Pres.
Kasper, D. L., Braunwald, E., & Hauser, S. (2005). Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th Edition . The McGraw: Hill Companies.
Putri, R. M., Abdullah, A., & Hermansyah. (2021). Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat
Pesisir Di Kota Banda Aceh. Jurnal Aceh Medika, V(02), 12-24.
Sari, R. W., & Susilawati. (2022). POLA KONSUMSI MAKANAN LAUT TERHADAP
TIMBULNYA KEJADIAN HIPERTENSI DI WILAYAH PESISIR. Journal of Social
Research, I(08), 895-901.
Sriani, K. I., Fakhriadi, R., & Rosadi, D. (2016). HUBUNGAN ANTARA PERILAKU
MEROKOK DAN KEBIASAAN OLAHRAGA DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI
PADA LAKI-LAKI USIA 18-44 TAHUN. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat
Indonesia, III(01).
Syahrir, M., Sabilu, Y., & Salma, W. O. (2021). HUBUNGAN MEROKOK DAN
KONSUMSI ALKOHOLDENGAN KEJADIAN PENYAKIT HIPERTENSI PADA
MASYARAKAT WILAYAH PESISIR. Nursing Update, XII(03), 27-35.
Yogiantoro, M. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Perhipunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia.