Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN KARAKTER

Dosen pengampu : Zainul Arifin M.SI

Di Susun Oleh :
1. Nadella Alfi Rufaida 1120128
2. Ulfi Fatqiyatul Maghfiroh 1120134

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PATISEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikain MAKALAH “PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN KARAKTER “. Shalawat beriring salam kita
curahkan kepada bimbingan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawah
kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang menerang seperti yang kita rasakan
pada saat ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Semoga MAKALAH
ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran
kepada pembaca. Kami sadar bahwa MAKALAH ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca. Terima kasih.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan karakter memiliki peran penting untuk membangun karakter
seseorang. Bukan saja saat ini sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa
tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good
and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1500 tahun yang lalu. Muhammad SAW, Sang
Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam
mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good
character) dimana ajaran pertamanya adalan kejujuran (al-amien) serta bagaimana dapat
membangun karakter yang baik tersebut maka saat itu pula telah di ajar bahwa manusia
harus senantiasa mampu belajar (iqra) apakah belajar dad ayat-ayat yang tertulis maupun
ayat-ayat yang tidak tertulis.
Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Kilpatrick, Lickona, Brooks dan
Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhamad
SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia
pendidikan. Begitu juga dengan Marthin Luther King Jr. menyetujui pemikiran tersebut
dengan mengatakan, "Intelligence plus character, that is the true aim of education".
Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan.
Melihat perjalanan sejarah pendidikan dari dekade sebelumnya, para orang tua,
secara subyektif, membuat perbandingan antara situasi pendidikan masa kini dengan
situasi di mana mereka dulu mengalami pendidikan di sekolah, atas situasi, sikap,
perilaku sosial anak-anak, remaja, generasi muda sekarang, sebagian orang tua menilai
terjadinya kemerosotan atau degradasi sikap atau nilai-nilai budaya bangsa. Mereka
menghendaki adanya sikap dan perilaku anak-anak yang lebih berkarakter, kejujuran,
memiliki integritas yang merupakan cerminan budaya bangsa, dan bertindak sopan santun
dan ramah tamah dalam pergaulan keseharian. Selain itu diharapkan pula generasi muda
tetap memiliki sikap mental dan semangat juang yang menjunjung tinggi etika, moral,
dan melaksanakan ajaran agama.
Sepaham dengan pengertian di atas dewasa ini berkembang tuntutan untuk
perubahan kurikulum pendidikan yang mengedepankan perlunya membangun karakter
bangsa. Hal ini didasarkan pada fakta dan persepsi masyarakat tentang menurunnya
kualitas sikap dan moral anak-anak atau generasi muda. Pada saat ini yang diperlukan
sekarang adalah kurikulum pendidikan yang berkarakter, dalam arti kurikulum itu sendiri
memiliki karakter dan sekaligus diorientasikan bagi pembentukan karakter peserta didik.
Perbaikan kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum itu
sendiri (inherent), bahwa suatu kurikulum yang berlaku harus secara terus-menerus
dilakukan peningkatan dengan mengadopsi kebutuhan yang berkembang dalam
masyarakat dan kebutuhan peserta didik. Bagaimana cara mengembangkan kurikulum
pendidikan karakter yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik inilah
yang harus lebih dicermati, sehingga proses pendidikan karakter dapat merupakan
keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman
pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai,
keutamaan-keutamaan nilai moral dan nilai-nilai ideal agama.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah pengertian kurikulum pendidikan karakter?
2. Bagaimana model kurikulum pendidikan berkarakter?
3. Apakah kunci sukses kurikulum pendidikan berkarakter?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian kurikulum pendidikan berkarakter.
2. Untuk mengetahui model kurikulum pendidikan berkarakter.
3. Untuk mengetahui kunci sukses kurikulum pendidikan berkarakter.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter


1. Definisi Kurikulum
Definisi kurikulum memang sangat beragam, baik dalam arti luas maupun
dalam arti sempit. Tetapi untuk tujuan penulisan ini, kiranya perlu dikutip pernyataan
Sukmadinata yang mengatakan, kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang
merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah.1
Dalam kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan
pendidikan.
Selanjutnya dijelaskan, dalam memahami konsep kurikulum, setidaknya ada
tiga pengertian yang harus dipahami, yaitu :2
1) Kurikulum sebagai substansi atau sebagai suatu rencana belajar
2) Kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum yang merupakan bagian
dari sistem persekolahan dan sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat.
3) Kurikulum sebagai suatu bidang studi, yaitu bidang kajian kurikulum, yang
merupakan bidang kajian para ahli kurikulum, pendidikan dan pengajaran.
Mengacu pada pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa kurikulum
merupakan rancangan pendidikan, yang berisi serangkaian proses kegiatan belajar
siswa. Dengan demikian secara implisit kurikulum memiliki tujuan yaitu tujuan
pendidikan. Selain itu juga jelas bahwa banyak faktor yang terkait dengan
pelaksanaan pendidikan, yaitu guru, siswa, orang tua, dan lingkungan.
Manajemen persekolahan juga menjadi variabel penting dalam mewujudkan
tujuan pendidikan. Bagaimana iklim sekolah diciptakan, turut berperan dalam
mewarnai anak didik.Apakah iklim kebebasan, disiplin, ketertiban, dan kreativitas
benar-benar tercipta di lingkungan sekolah.
a. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses yang merencanakan,
menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian
terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar
mengajar yang baik. Dengan kata lain pengembangan kurikulum adalah kegiatan
untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum
atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Pada umumnya ahli kurikulum memandang kegiatan pengembnagn
kurikulum sebagai suatu proses yang kontinue, merupakan suatu siklus yang
menyangkut beberapa kurikulum yaitu komponen tujuan, bahan, kegiatan dan
evaluasi.
Oemar Hamalik membagi prinsip pengembangan kurikulum menjadi
delapan macam, antara lain:3
1) Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Pengembngan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang bertitik
tolak dari tujuan pendidikan Nasional. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran
dan upaya untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang pendidikan tertentu. Tujuan
kurikulum mengadung aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai.
Yang selanjutnya menumbuhkan perubahan tingkah laku peserta didik yang
mencakup tiga aspek tersebut dan bertalian dengan aspek-aspek yang terkandung
dalam tujuan pendidikan nasional.
2) Prinsip Relevansi (Kesesuaian)
Pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi dan system penyampaian
harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat
perkembangan dan kebutuhan siswa, serta serasi dengan perkembnagan ilmu
pengetahuan dan tegnologi.
3) Prinsip Efisiensidan Efektifitas.
Pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan segi efisien dan
pendayagunaan dana, waktu, tenaga, dan sumber-sumber yang tersedia agar dapat
mencapai hasil yang optimal. Dana yang terbat harus digunakan sedemikina rupa
dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran.
Waktu yang tersedia bagi siswa belajar disekolah juga terbatas sehingga harus
dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan tata ajaran dan bahan pembelajaran yang
diperlukan. Tenaga disekolah juga sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun
dalam mutunya, hendaknya didaya gunakan secara efisien untuk melaksanakan
proses pembelajaran. Demikian juga keterbatasan fasilitas ruangan, peralatan, dan
sumber kerterbacaan, harus digunakan secara tepat oleh sswa dalam rangka
pembelajaran, yang semuanya demi meningkatkan efektifitas atau keberhasilan
siswa.
4) Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum yang luwes mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi
berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan setempat, jadi tidak
statis atau kaku. Misalnya dalam suatu kurikulum disediakan program pendidikan
ketrampilan industri dan pertanian. Pelaksanaaan di kota, karena tidak tersedianya
lahan pertanian., maka yang dialaksanakan program ketrampilan pendidikn
industri. Sebaliknya, pelaksanaan di desa ditekankan pada program ketrampilan
pertanian. Dalam hal ini lingkungan sekitar, keadaaan masyarakat, dan
ketersediaan tenaga dan peralatan menjadi faktor pertimbangan dalam rangka
pelaksanaan kurikulum.
5) Prinsip Kontiunitas
Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian-bagian, aspek-spek,
materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan
satu sama lain memilik hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan
jenjang pendidikan, struktur dalam satuan pendidikn, tingkat perkembangan
siswa. Dengan prinsip ini, tampak jelas alur dan keterkaitan didalam kurikulum
tersebut sehingga mempermudah guru dan siswa dalam melaksanakan proses
pembelajaran.
6) Prinsip Keseimbangan
Penyusunan kurikulum memerhatikan keseimbangan secara proposional dan
fungsional antara berbagai program dan sub-program, antara semau mata ajaran,
dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan. Keseimbangan juga
perlu diadakan antara teori dan praktik, antara unsur-unsur keilmuan sains, sosial,
humaniora, dan keilmuan perilaku. Dengan keseimbangan tersebut diaharapkan
terjalin perpaduan yang lengkap dan menyeluruh, yang satu sama lainnya saling
memberikan sumbangan terhadap pengembangan pribadi.
7) Prinsip Keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip keterpaduan,
perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan konsistensi antara
unsur-unsusrnya. Pelaksanaan terpadu dengan melibatkan semua pihak, baik di
lingkungan sekolah maupun pada tingkat inter sektoral. Dengan keterpaduan ini
diharapkan terbentuk pribadi yang bulat dan utuh. Diamping itu juga dilaksanakan
keterpaduan dalam proses pembalajaran, baik dalam interaksi antar siswa dan
guru maupun antara teori dan praktek.
8) Prinsip Mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu, yang berarti bahwa
pelaksanaan pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh derajat mutu guru,
kegiatan belajar mengajar, peralatan,/media yang bermutu. Hasil pendidikan yang
bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan pendidikan nasional yang diaharapkan.

b. Pendekatan Pengembangan Kurikulum


Pada dasarnya strategi dan pendekatan adalah berbeda, perbedaan terletak
pada jangkauan (cakupan) bahasannya. Hal ini berarti bahwa strategi lebih sempit
dari pendekatan. Strategi pada dasarnya adalah siasat yang ditetapkan untuk untuk
memecahkan suatu masalah, sedangakan pendekatan lebih menekankan usaha dan
penerapan langkah-langkah atau cara kerja dengan menerapkan suatu strategi dan
beberapa methode yang tepat, yang dijalankan sesuai dengan langkah-langkah yang
sistematik untuk memperolah hasil kerja yng lebih baik.
Jadi pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan
menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah
pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik.
Sementara Shodih dan Mulyasa (2002) mengemukakan pendekatan pengembangan
kurikulum berdasarkan pada sistem pengelolaan, fokus sasaran dan kompetensi.
Maksudnya sistem pengelolaan pengembangan kurikulum dibedakan antara sistem
pengelolaan yang terpusat (sentralisasi) dan tersebar (desentralisasi). sedangkan
berdasarkan pada fokus sasaran maksudnya pengembnagn kurikulum dibedakan
antara pendektan yang mengutamakan penguasaan ilmu pengetahuan, penguasaan
kemampuan standar, penguasaan kompetensi, pembentukan pribadi, dan penguasaan
kemampuan memecahkan masalah sosial kemasyarakatan. Pendekatan berdasarkan
kompetensi merupakan pengembangan kurikulum yang memfokuskan penguasaan
kompetensi tertentu berdasarkan tahap - tahap perkembangan peserta didik.

2. Pengertian Pendidikan Karakter


Secara sederhana pendidikan berkarakter adalah segala sesuatu yang Anda
lakukan yang mempengaruhi karakter anak-anak yang Anda ajar. Namun secara
lebih fokus, kita lihat seperti yang diutarakan Dr Thomas Lickona mengenai definisi
Pendidikan Berkarakter, bahwa “pendidikan berkarakter adalah usaha sengaja untuk
membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.”
Dalam bukunya, Educating for Character,1 Dr Lickona menegaskan bahwa “Ketika
kita berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan bagi anak-anak kita, jelas
bahwa kita ingin mereka bisa menilai apa yang benar, peduli secara mendalam
tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini untuk
menjadi benar - bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam”.
Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak;
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada
yang lain. Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa
melakukan pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Membentuk
karakter tidak semudah memberi nasihat, tidak semudah member instruksi, tetapi
memerlukan kesabaran, pembiasaan dan pengulangan, sebagaimana yang dinyatakan
dalam hadits yang artinya: “Ilmu diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh
dengan latihan menjadi santun.” (HR Bukhari)
Sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses
pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian
melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral,
nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber
dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga
disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli
psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih
sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai,
dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri
dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab;
kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya
integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah atau di kampus harus
berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau
bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah atau
kampus itu sendiri.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010) dalam
Achmad Husen (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter
dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia
(kognitif, afektif, kognitif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural
(dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural
tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development).
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.
Menurut Hersh, et. al. (1980) dalam Achmad Husen (2010), di antara berbagai teori
yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan
pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai,
pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda
dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) dalam Achmad Husen (2010),
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan
kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada
tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku,
kognisi, dan afeksi.
Sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses
pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian
melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral,
nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis
untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Bentuk dari pendidikan karakter ini masih menyimpan kontroversial, dan
sangat bergantung pada hasil yang anda inginkan. Banyak orang percaya bahwa
menghasilkan anak-anak yang patuh dalam melakukan apa yang diperintahkan
adalah pendidikan berkarakter. Ide ini sering mengarah kepada munculnya
seperangkat aturan dan sistem imbalan dan hukuman (reward and punishment) yang
bersifat sementara dan terbatas dalam merubah perilaku, namun sedikit sekali atau
sama sekali tidak mempengaruhi karakter yang mendasar bagi anak-anak. Ada orang
lain yang berpendapat bahwa seharusnya tujuan kita adalah mengembangkan pemikir
independen yang memiliki komitmen moral dalam kehidupan mereka, dan yang
cenderung melakukan hal yang benar bahkan dalam keadaan menantang.
Inisiatif Pendidikan Berkarakter bisa sangat sederhana, seperti salah satu
guru yang baik melakukan beberapa hal dengan benar, atau mereka dapat menjadi
sangat rumit, melibatkan semua orang dan segala sesuatu di sekolah. Apa yang Anda
lakukan mungkin akan tergantung pada keadaan Anda. Berikut adalah beberapa
pilihan.
Kebijakan populer berpendapat bahwa cara terbaik untuk menerapkan
pendidikan karakter adalah melalui pendekatan holistik yang mengintegrasikan
pembangunan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan ini juga
dikenal sebagai reformasi sekolah keseluruhan, dan itu adalah masalah besar. Berikut
adalah beberapa fitur yang membedakan model holistik:
• Segala sesuatu di sekolah ini disusun di sekitar pengembangan hubungan antara
dan di kalangan siswa, staf, dan masyarakat.
• Sekolah adalah komunitas pelajar peduli di mana ada ikatan yang terasa
menghubungkan siswa, staf, dan sekolah.
• Pembelajaran sosial dan emosional ditekankan sebanyak pembelajaran akademis.
• Kerjasama dan kolaborasi antar siswa ditekankan atas persaingan.
• Nilai-nilai seperti keadilan, menghormati, dan kejujuran adalah bagian dari
pelajaran sehari-hari dalam dan diluar kelas.
• Siswa diberi kesempatan yang luas untuk mempraktekkan perilaku moral melalui
berbagai kegiatan seperti belajar melayani.
• Disiplin dan pengelolaan kelas berkonsentrasi pada pemecahan masalah daripada
imbalan dan hukuman (reward and punishment)
• Model lama yang berpusat pada guru kelas ditinggalkan dan diganti menjadi kelas
demokratis di mana guru dan siswa kelas mengadakan pertemuan untuk
membangun kesatuan, menetapkan norma-norma, dan memecahkan masalah.
3. Konsep Kurikulum Pendidikan Karakter.
a. Dari Knowing Menuju Doing
William Kilpatrick menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan
seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu
(moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral
doing). Berangkat dari pemikiran ini maka kesuksesan pendidikan karakter sangat
bergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing atau acting dalam
penyelenggaraan pendidikan karakter.
Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu
kesadaran moral (moral awareness), yaitu kesediaan seseorang untuk menerima
secara cerdas sesuatu yang seharusnya dilakukan. Pengetahuan tentang nilai-nilai
moral (knowing moral values), yaitu mencakup pemahaman mengenai macam-
macam nilai moral seperti menghormati hak hidup, kebebasan, tanggung jawab,
kejujuran, keadilan, tenggang rasa, kesopanan dan kedisiplinan. penentuan sudut
pandang (perspective taking), yaitu kemampuan menggunakan cara pandang orang
lain dalam melihat sesuatu. logika moral (moral reasoning), adalah kemampuan
individu untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengapa sesuatu dikatakan baik
atau buruk. keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), yaitu
kemampuan individu untuk memilih alternatif yang paling balk dari sekian banyak
pilihan. dan pengenalan did (self knowledge), yaitu kemampan individu untuk
menilai diri sendiri. Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus
diajarkan untuk mengisi ranah kognitif mereka.
Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling merupakan penguatan aspek
emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan
bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu keadaran akan jati diri,
percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta
kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control),k erendahan hati
(humility). Kata hati memiliki dua sisi yaitu mengetahui apa yang baik, dan rasa
wajib untuk mengerjakan yang baik itu. Penghargaan diri adalah penilaian serta
Penghargaan terhadap diri kita sendiri. Empati adalah penempatan diri kita pada
posisi orang lain yang merupakan aspek emosional dari "prospective taking'. Cinta
kebaikan merupakan unsur karakter yang paling tinggi yang mencakup kemurnian
rasa tertarik pada hal yang baik. Pengendalian diri adalah kesadaran dan kesediaan
untuk menekan perasaannya sendiri agar tidak melahirkan perilaku yang melebihi
kewajaran. Sedang "humanity" merupakan aspek emosi dari "selfknowledge" yang
berbentuk keterbukaan yang murni terhadap kebenaran dan kemampuan untu
bertindak mengoreksi kesalahan sendiri.
Setelah dua aspek tadi terwujud, maka Perilaku moral (Moral Acting)
sebagai outcome akan dengan mudah muncul baik berupa competence, will, maupun
habits. Perilaku moral adalah hasil nyata dari penerapan pengetahuan dan perasaan
moral. Orang yang memiliki kualitas kecerdasan dan perasaan moral yang baik akan
kecenderungan menunjukkan perilaku moral yang baik pula. Kemampuan moral
adalah kebiasaan untuk mewujudkan pengetahuan dan perasaan moral dalam bentuk
perilaku nyata. Kemauan moral adalah mobilisasi energi atau daya dan tenaga untuk
dapat melahirkan tindakan atau erilaku moral Sedangkan kebiasaan moral adalah
pengulangan secara sadar perwujudan pengetahuan dan perasaan moral dalam bentuk
perlaku moral yang terus menerus.
Namun, merujuk kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter adalah
tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan
kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga
perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng. Berkaitan dengan
hal ini, perkembangan pendidikan karakter di Amerika Serikat telah sampai pada
ikhtiar ini. Dalam sebuah situs nasional karakter pendidikan di Amerika bahkan
disiapkan lesson plan untuk tiap bentuk karakter yang telah dirumuskan dari mulai
sekolah dasar sampai sekolah menengah.
b. Identifikasi Karakter
Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah
perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa peta. Organisasi manapun di dunia ini yang
menaruh perhatian besar terhadap pendidikan karakter selalu dan seharusnya-
mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan menjadi pilar perilaku
individu.
Indonesia Heritage Foundation merumuskan sembilan karakter dasar yang
menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut adalah; 1) cinta
kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri, 3)
jujur, 4) hormat dan santun, 5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, 6) percaya diri,
kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, baik dan
rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai dan persatuan.
Sementara Character Counts di Amerika mengidentfikasikan bahwa
karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; 1) dapat dipercaya (trustworthiness), 2)
rasa hormat dan perhatian (respect), 3) tanggung jawab (responsibility), 4) jujur
(fairness), 5) peduli (caring), 6) kewarganegaraan (citizenship), 7) ketulusan
(honesty), berani (courage), 9) tekun (diligence) dan 10) integritas.

c. Prinsip Pendidikan Karakter


Character Education Quality Standards merekomendasikan 11 prinsip
mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut :
1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2) Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran,
perasaan dan perilaku
3) Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun
karakter
4) Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
5) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik
6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang
menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka
untuk sukses
7) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa
8) Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi
tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai dasar yang
sama.
9) Adanya pembagian kepeminpinan moral dan dukungan luas dalam membangun
inisiatif pendidikan karakter.
10) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha
membangun karakter.
11) Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter,
dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.
B. Model Kurikulum Pendidikan Karakter.
Keberhasilan dalam menyelenggarakan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan
melalui pendidikan karakter dapat pula dipengaruhi oleh cara atau pendekatan yang
dipergunakan dalam menyampaikan. Ada empat model pendekatan penyampaian
pendidikan karakter. 5
1. Model sebagai Mata Pelajaran Tersendiri (monolitik).
Dalam model pendekatan ini, pendidikan karakter dianggap sebagai mata pelajaran
tersendiri. Dalam hal ini pendidikan karakter memiliki kedudukan yang sama dan
diperlakukan sama seperti pelajaran atau bidang studi lain. Konsekuensinya
pendidikan karakter harus dirancangkan dalam jadwal pelajaran secara terstruktur.
Kelebihan dari pendekatan ini antara lain materi yang disampaikan menjadi Iebih
terencana matang/terfokus, materi yang telah disampaikan Iebih terukur. Sedangkan
kelemahan pendekatan ini adalah sangat tergantung pada tuntutan kurikulum.
Penanaman nilai-nilai tersebut seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab satu orang
guru semata, demikian pula dampak yang muncul pendidikan karakter hanya
menyentuh aspek kognitif, tidak menyentuh internalisasi nilai tersebut.
2. Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi
Pendekatan yang kedua dalam menyampaikan pendidikan karakter adalah
disampaikan secara terintegrasi dalam setiap bidang pelajaran, dan oleh karena itu
menjadi tanggung jawab semua guru . Dalam konteks ini setiap guru dapat memilih
materi pendidikan karakter yang sesuai dengan tema atau pokok bahasan bidang
studi. Melalui model terintegrasi ini maka setiap guru adalah pengajar pendidikan
karakter tanpa kecuali. Keunggulan model terintegrasi pada setiap bidang studi
antara lain setiap guru ikut bertanggung jawab akan penanaman nilai-nilai hidup
kepada semua siswa, di samping itu pemahaman akan nilai-nilai pendidikan karakter
cenderung tidak bersifat informatif-kognitif, melainkan bersifat aplikatif sesuai
dengan konteks pada setiap bidang studi. Dampaknya siswa akan Iebih terbiasa
dengan nilai-nilai yang sudah diterapkan dalam berbagai seting. Sisi kelemahannya
adalah pemahaman dan persepsi tentang nilai yang akan ditanamkan harus jelas dan
sama bagi semua guru. Namun, menjamin kesamaan bagi setiap guru adalah hal yang
tidak mudah, hal ini mengingat latar belakang setiap guru yang berbeda-beda. Di
samping itu, jika terjadi perbedaan penafsiran nilai-nilai di antara guru sendiri akan
menjadikan siswa justru bingung.
3. Model di Luar Pengajaran
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dapat juga ditanamkan di luar
kegiatan pembelajaran formal. Pendekatan ini Iebih mengutamakan pengolahan dan
penanaman nilai melalui suatu kegiatan untuk dibahas dan kemudian dibahas nilai-
nilai hidupnya. Model kegiatan demikian dapat dilaksanakan oleh guru sekolah yang
diberi tugas tersebut atau dipercayakan kepada lembaga lain untuk melaksanakannya.
Kelebihan pendekatan ini adalah siswa akan mendapatkan pengalaman secara
Iangsung dan konkrit. Kelemahannya adalah tidak ada dalam struktur yang tetap
dalam kerangka pendidikan dan pengajaran di sekolah, sehingga akan membutuhkan
waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih banyak.
4. Model Gabungan
Model gabungan adalah menggabungkan antara model terintegrasi dan
model di luar pelajaran secara bersama. Model ini dapat dilaksanakan dalam kerja
sama dengan tim baik oleh guru maupun dalam kerja sama dengan pihak luar
sekolah. Kelebihan model ini adalah semua guru terlibat, di samping itu guru dapat
belajar dari pihak luar untuk mengembangkan diri dan siswa. Siswa menerima
informasi tentang nilai-nilai sekaligus juga diperkuat dengan pengalaman melalui
kegiatankegiatan yang terencana dengan baik. Mengingat pendidikan karakter
merupakan salah satu fungsi dari pendidikan nasional, maka sepatutnya pendidikan
karakter ada pada setiap materi pelajaran. Oleh karena itu, pendekatan secara
terintegrasi merupakan pendekatan minimal yang harus dilaksanakan semua tenaga
pendidik sesuai dengan konteks tugas masing-masing di sekolah, termasuk dalam hal
ini adalah konselor sekolah. Namun, bukan berati bahwa pendekatan yang paling
sesuai adalah dengan model integratif. Pendekatan gabungan tentu akan lebih baik
lagi karena siswa bukan hanya mendapatkan informasi semata melainkan juga siswa
menggali nilai-nilai pendidikan karakter melalui kegiatan secara kontekstual
sehingga penghayatan siswa lebih mendalam dan tentu saja lebih menggembirakan
siswa. Dari perspektif ini maka konselor sekolah dituntut untuk dapat menyampaikan
informasi serta mengajak dan memberikan penghayatan secara langsung tentang
berbagai informasi nilai-nilai karakter.
C. Kunci Dari Keberhasilan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter.
1. Partisipasi masyarakat. Pendidik, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat
menginvestasikan diri dalam proses pembangunan konsensus untuk menemukan
landasan bersama yang sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang.
2. Kebijakan pendidikan karakter. Membuat pendidikan karakter bagian dari
filosofi, tujuan atau pernyataan misi dengan mengadopsi kebijakan formal. Jangan
sebatas tulisan dan perkataan saja.
3. Kesepakatan. Ada pertemuan orang tua, guru dan perwakilan masyarakat dan
menggunakan konsensus untuk memperoleh kesepakatan di mana karakter untuk
memperkuat dan apa definisi yang digunakannya.
4. Kurikulum Terpadu. Membuat pendidikan karakter bagian integral dari kurikulum
di semua tingkatan kelas. Mengambil sifat-sifat yang telah Anda pilih dan
menghubungkan mereka ke kelas pelajaran, sehingga murid-murid melihat
bagaimana suatu sifat mungkin angka ke dalam sebuah cerita atau menjadi bagian
dari sebuah percobaan ilmiah atau bagaimana mungkin mempengaruhi mereka.
Membuat karakter ini merupakan bagian dari setiap kelas dan setiap subjek.
5. Pengalaman pembelajaran. Biarkan siswa Anda untuk melihat sifat dalam
tindakan, pengalaman itu dan mengungkapkannya. Sertakan berbasis masyarakat,
dunia nyata pengalaman dalam kurikulum yang menggambarkan karakter (misalnya,
layanan belajar, pembelajaran kooperatif dan rekan mentoring). Luangkan waktu
untuk diskusi dan refleksi.
6. Evaluasi. Evaluasi pendidikan karakter dari dua perspektif:
1) Program yang mempengaruhi perubahan positif dalam perilaku siswa, prestasi
akademik dan kognitif pemahaman tentang ciri-ciri.
2) Proses pelaksanaan menyediakan alat dan dukungan guru perlu.
7. Model peran dewasa. Anak-anak “mempelajari apa yang mereka tinggal,” jadi
penting bahwa orang dewasa menunjukkan karakter positif di rumah, sekolah dan
dalam masyarakat. Jika orang dewasa tidak model perilaku yang mereka ajarkan,
seluruh program akan gagal.
8. Pengembangan staf. Menyediakan waktu pelatihan dan pengembangan untuk staf
Anda sehingga mereka dapat membuat dan melaksanakan pendidikan karakter secara
berkelanjutan. Termasuk waktu untuk diskusi dan pemahaman dari kedua proses dan
program, serta untuk menciptakan rencana pelajaran dan kurikulum.
9. Keterlibatan siswa. Melibatkan siswa dalam kegiatan yang sesuai dengan usia dan
memungkinkan mereka untuk terhubungkan dengan pendidikan karakter untuk
pembelajaran mereka, keputusan-keputsan dan tujuan-tujuan pribadi Anda
mengintegrasikan proses ke sekolah mereka.
10. Mempertahankan program. Program pendidikan karakter dipertahankan dan
dikembangkan melalui pelaksanaan sembilan elemen pertama, dengan perhatian
khusus pada tingkat komitmen yang tinggi dari atas: dana yang memadai, dukungan
untuk koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi dan pengembangan professional
berkelanjutan dan sebuah jaringan dan dukungan system bagi guru yang
melaksanakan program.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami
peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan
mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, dan nilai-
nilai moral.
Untuk membentuk manusia yang berkarakter maka harus selalu diupayakan
pengenalan, sehingga mampu mengidentifikasi karakter yang baik, dan membentuk rasa
kecintaan, dan pembiasaan dalam melakukan atas moral-moral yang baik sehingga tidak
hanya menjadi perilaku namun benar-benar menjadi karakter yang melekat pada diri. Cara
terbaik untuk menerapkan pendidikan karakter adalah melalui pendekatan holistik yang
mengintegrasikan pembangunan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah.
Dalam mencapai pendidikan karakter yang efektif harus memenuhi standard prinsip-
prinsip dasar kependidikan. Keberhasilan dalam menyelenggarakan dan menanamkan nilai-
nilai kehidupan melalui pendidikan karakter dapat pula dipengaruhi oleh cara atau pendekatan
yang dipergunakan dalam menyampaikan pendidikan. Diperlukan pula guru berkarakter untuk
menghasilkan siswa berkarakter.
Keterpaduan antara kurikulum yang tepat dan berkesinambungan dan unsur-unsur
penunjangnya menjadi kunci keberhasilan pendidikan karakter yang membentuk bangsa yang
berkarakter yang memiliki peradaban dan budaya bangsa sediri .
DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar, 2001, Proses belajar Mengajar. Bandung : Bumi Aksara.


Husen, Achmad, dkk. 2010, Model Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta : Universitas Negeri
Jakarta.
Syaodih Sukmadinata, Nana, 1997. Pengembangan Kurikulum, Bandung : Remaja Rosda
Karya.
Syaodih Sukmadinata, Nana, 2004, Kurikulum dan pembelajaran Kompetensi, Bandung : PPS
UPI Banding dan Remaja Rosdakarya.
Suparno, Paul, SJ., dkk., 2010, Reformasi Pendidikan : Sebuah Rekomendasi, Yogyakarta :
Kanisius.
Suyanto, 2011, Pendidikan Karakter untuk Membangun Karakter Bangsa, Jakarta :
Kemendiknas

Anda mungkin juga menyukai