Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK”

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliyah “BELAJAR DAN PEMBELAJARAN”

Dosen Pengampu : A. Tajib, M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 4

KHAIRUL ANWAR

UMAMUL KHAIR

INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN ( IDIA ) PRENDUAN

TAHUN AKADEMIK 2021 – 2022


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada nabi Muhammad saw. Salah
satu nikmatnya yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Makalah ini pun dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Penulis pun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan, baik
dari segi isi penulisan maupun kata-kata yang digunakan. Oleh karena, itu segala kritik dan saran yang
bersifat membangun guna perbaikan makalah ini lebih lanjut akan penulis terima dengan senang hati.
Terima kasih

Penulis
Sumenep, 2 Juli 2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk
menghasilkan suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari bersikap buruk menjadi
bersikap baik, dari tidak terampil menjadi terampil. Sedangkan pembelajaran merupakan suatu
sistem yang membantu individu belajar dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Pada zaman sekarang ini, telah kita ketahui bahwa para pelajar khususnya mereka yang
menginjak usia remaja sering kali melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dia lakukan di
usianya, seperti halnya merokok. Merokok pada saat ini nampaknya sudah menjadi kebiasaan
mereka yang sulit untuk dihindari. Hal tersebut dikarenakan faktor lingkungan yang kurang
baik. Oleh karena itu, guru di sekolah harusnya memberikan pendidikan terhadap para pelajar
bagaimana seharusnya mereka berprilaku dengan baik.
Secara nasional, Departemen Pendidikan Nasional (2001) mencatat bahwa jumlah
perokok di kalangan remaja dengan usia rata-rata antara 16-24 tahun sekitar 26,56%. Yayasan
Kesehatan Indonesia secara khusus mencatat bahwa 18% remaja yang duduk di bangku SLTP
diketahui mulai merokok, dan 11% di antaranya mampu menghabiskan 10 batang per hari.
Hasil penelitian lain ditemukan bahwa pengalaman pertama kali anak mulai merokok, dari
19,8% siswa perokok yang diteliti (21% laki-laki dan 15,5% perempuan) ternyata dimulai dari
tingkat SLTP (Bawazeer, Hattab, Morales, 1999 dalam Efendi 2003). Beberapa penelitian
sejenis umumnya menegaskan bahwa untuk pertama kalinya remaja merokok pada usia antara
11-13 tahun (setingkat SD kelas 6 sampai dengan SLTP 1-2) dan 85%-90% remaja perokok
dimulai sebelum usia 18 tahun (Smet, 1994 dalam Efendi, 2003)
Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahawa tidak sedikit dari mereka yang mulai
merokok pada saat usia remaja (ketika duduk di bangku sekolah). Hal tersebut tentunya tidak
bisa dibiarkan begitu saja. Apalagi kita sebagai seorang calon guru, kita tidak boleh
membiarkan hal tersebut terjadi pada anak didik kita nantinya. Dengan kata lain, kita harus
mengehentikan itu semua, salah satu caranya yaitu kita harus mengetahui pendekatan-
pendekatan dalam belajar agar dapat memilih strategi pembelajaran yang tepat. Strategi
pembelajaran harus dipilih untuk memotivasi para pembelajar, memfasilitasi proses belajar,
membentuk manusia seutuhnya, melayani perbedaan individu, mengangkat belajar bermakna,
mendorong terjadinya interaksi, dan memfasilitasi belajar kontekstual, selain itu juga dapat
dilakukan dengan menggunakan teori pembelajaran yang baik untuk diterapkan kepada mereka.
Salah satu teori pembelajaran yang dapat kita terapkan yaitu teori belajar Behavioristik.
Dengan mempelajari teori Behavioristik, kita dapat mengetahui cara mengajar yang
baik agar para peserta didik tidak melenceng ke arah yang tidak seharusnya. Bahkan dalam hal
menghadapi peserta didik yang sudah menjadi perokok itu pun dapat kita ubah perilakunya
dengan memberikan pendidikan. Dalam hal ini, kita dapat melakukan pendidikan dengan
menggunakan teori Behavioristik. Untuk itu, mari kita pelajari mengenai teori Behavioristik
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan teori belajar Behavioristik?
2. Bagaimanakah definisi belajar menurut pandangan teori Behavioristik?
3. Bagaimanakah pendapat para ahli mengenai teori Behavioristik?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Behavioristik


Teori Behavioristik merupakan teori belajar yang sangat menekankan perilaku atau tingkah
laku yang dapat diamati. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang
kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul.
Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu:
1) Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil,
2) Bersifat mekanistis,
3) Menekankan peranan lingkungan,
4) Mementingkan pembentukkan reaksi atau respons,
5) Menekankan pentingnya latihan.
(Sukmadinata, 2005, hlm. 168)
B. Pandangan Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori Behavioristik, belajar merupakan perubahan dalam tingkah laku sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain, belajar adalah
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. (B. Uno, 2008, hlm. 7)
Menurut teori ini, orang terlibat di dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah
mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan tingkah laku
tersebut dengan hadiah-hadiah. Orang menghentikan suatu tingkah laku, mungkin karena
tingkah laku tersebut belum diberi hadiah atau telah mendapat hukuman. Semua tingkah laku,
baik bermanfaat ataupun merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari.
Gagasan utama dalam aliran behavioristik ini adalah bahwa untuk memahami tingkah laku
manusia diperlukan pendekatan yang objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga
perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengondisian.
Dengan perkataan lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui
pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang tampak, bukan dengan mengamati kegiatan
bagian dalam tubuh. Menurut Watson, adalah tidak bertanggung jawab dan tidak ilmiah
mempelajari tingkah laku manusia semata-mata didasarkan atas kejadian-kejadian subjektif,
yakni kejadian-kejadian yang diperkirakan terjadi di dalam pikiran, tetapi tidak dapat diamati
dan diukur.
(Desmita, 2012, hlm. 45)
Pada dasarnya pendekatan Behavior ini bertujuan untuk menghilangkan tingkah laku
yang salah dan membentuk tingkah laku baru. (Sanyata, 2012, hlm. 5)
C. Teori Behavioristik Menurut Beberapa Ahli
Pendekatan Behavioristik menekankan arti penting dari bagaimana anak membuat
hubungan antara pengalaman dan perilaku. Aliran Behavioristik pada awalnya timbul di Rusia,
namun kemudian berkembang pula di Amerika. (Taher, 2013, hlm.26)
Koneksionisme, merupakan teori yang paling awal dari rumpun Behaviorisme. Menurut
teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau
stimulus-respons. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus-respons sebanyak-
banyaknya. Siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang
pandai atau yang berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus respons dilakukan
melalui ulangan-ulangan.
Tokoh yang sangat terkenal dari teori ini adalah Thorndike. Belajar pada binatang yang
juga berlaku bagi manusia menurut Thorndike adalah trial and error (uji coba). Thorndike
mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar. Pertama, law of readiness, belajar akan
berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law
of exercies, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Ketiga, law of effect, belajar
akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.
Teori pengkondisian (conditioning), merupakan perkembangan lebih lanjut dari
koneksionisme. Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan Pavlov dengan keluarnya air liur. Air
liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaannya
Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah diulang
berkali-kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun makanannya tidak ada.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Belajar merupakan
suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu.
Kebiasaan makan atau mandi pada jam tertentu, kebiasaan berpakaian, masuk kantor, kebiasaan
belajar, bekerja dll. Terbentuk karena pengkondisian.
Teori penguatan atau reinfocement, juga merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori
koneksionisme. Kalau pada pengkondisian yang diberi kondisi adalah perangsangnya, maka
pada teori Penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responsnya. Seorang anak belajar
dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian. Guru
memberikan penghargaan kepada anak tersebut dengan nilai tinggi, pujian atau hadiah. Berkat
pemberian penghargaan ini maka anak tersebut belajar lebih rajin lagi.
Jadi, sesuatu respons diperkuat oleh penghargaan atau hadiah. Teori penguatan disebut
juga operant conditioning dan tokoh utama dari teori ini adalah Skinner. Skinner
mengembangkan program pengajaran dengan berpegang kepada teori di atas. Program
pengajaran yang terkenal dari Skinner adalah Programmed Instruction, dengan menggunakan
media buku atau mesin pengajaran. Pengembangan lebih lanjut dari pengajaran berprogram
dari Skinner ini adalah Computer assisted Instruction (CIA) atau pengajaran dengan
menggunakan komputer. (Sukmadinata, 2005, hlm. 168-169)
Selain itu, Clark Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan
biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manuisa, sehingga
stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respons yang akan muncul mungkin bermacam-macam bentuknya. (Prawianto, Petrus Ony,
2012, hlm. 28)
D. Pengaruh Watson terhadap Teori Belajar Behavioristik
Tokoh utama aliran ini ialah J.B, Watson. Watson sebenarnya mula-mula belajar filsafat,
tetapi kemudian pindah ke dalam lapangan psikologi. Sejak tahun 1912 Watson telah menjadi
terkenal karena penyelidikan-penyelidikannya mengenai proses belajar pada hewan.
Dasar-dasar pendapat Watson.
a. Masalah objek psikologi
Watson berpendapat, bahwa sebagai science psikologi harus bersifat positif, sehingga
objeknya bukanlah kesadaran dan hal-hal lain yang dapat diamati, melainkan haruslah tingkah
laku, lebih tegasnya lagi tingkah laku yang positif, yaitu tingkah laku yang dapat diobservasi.
b. Masalah metode
Watson menolak sama sekali metode introspektif, karena metode tersebut dianggapnya
tidak ilmiah. Sedangkan para ahli saja sudah terbukti memberikan hasil yang berbeda-beda
kalau menggunakan metode introspeksi ini, apalagi kalau yang menggunakannya itu bukan
ahli. Kecuali itu sebenarnya metode introspeksi itu memang tidak perlu dipergunakan, karena
objek psikologi adalah positive behavior, maka dengan sendirinya tidak memerlukan metode
introspeksi. Metodenya yang pokok ialah observasi.
c. Bagian-bagian teori Watson yang terpenting
(1) Teori Sarbon (Stimulus and response bond theory)
Tingkah laku yang kompleks ini dapat dianalisis menjadi rangkaian ‘Unit’ perangsang
dan reaksi (stimulus and response) yang disebut refleks.
(a) Perangsang dan stimulus itu adalah situasi objektif, yang wujudnya dapat bermacam-
macam, seperti misalnya: sinar, bola kasti yang dilemparkan, rumah terbakar, kereta api
penuh sesak dan sebagainya.
(b) Response adalah reaksi objektif dari individu terhadap situasi sebagai perangsang, yang
wujudnya juga dapat bermacam-macam sekali, seperti misalnya refleks pattela,
memukul bola, mengambil makanan, menutup pintu, dan sebagainya.
Tetapi karena pandangannya yang radikal dan penggunaan istilah-istilah yang agak
dipaksakan, maka banyak orang yang memperoleh kesimpulan, bahwa psikologi Watson itu
mekanistik dan dangkal
(2) Pengamatan dan kesan (sensation and perception)
Karena tidak dapat menerima pendapat bahwa kesadaran itu ada pada hewan, maka
Watson berpendapat bahwa kita tidak berhak berbicara tentang hewan melihat, mendengar,
dan sebagainya. Tetapi kita harus berbicara tentang hewan-hewan melakukan response
motoris yang dapat ditunjukkan terhadap perangsang-perangsang pendengar, penglihatan,
dan sebagainya, karena itu tak dapat dibantahkan bahwa hewan itu membuat respons
pendengaran, respons penglihatan dan sebagainya, jadi data objektif di sini adalah stimulus
dan respons.
Dalam menghadapi manusia, menurut Watson, jalan yang harus ditempuh juga
demikian itu.
(3) Perasaan, tingkah laku afektif
Watson berpendapat, bahwa hal senang dan tidak senang itu adalah soal senso-motoris.
Dia ingin mengetahui bahwa ada reaksi emosional yang dibawa sejak lahir. Untuk
keperluan ini dia melakukan penyelidikan terhadap berpuluh-puluh bayi yang dirawat di
rumah sakit, dan mendapatkan adanya tiga macam pola tingkah laku emosional (dalam arti
yang dapat diamati),: yaitu reaksi-reaksi emosional: (1) takut, (2) marah, dan (3) cinta.
Dalam eksperimen-eksperimen lebih lanjut dia mendapat kesimpulan, bahwa reaksi-reaksi
emosional itu dapat ditimbulkan dengan pensyaratan (conditioning) dan reaksi emosiional
bersyarat itu dapat dihilangkan dengan pensyaratan kembali (reconditioning). Tentang proses
pensyaratan dan pensyaratan kembali itu pada pokoknya sama dengan yang dilakukan oleh
Pavlov.
(4) Teori tentang berfikir
Watson mulai dengan postulatnya yang biasa, yaitu bahwa berfikir itu haruslah
semacam tingkah laku senso-motoris, dan bagi dia berbicara dalam hati adalah tingkah laku
berfikir. Orang, terutama anak-anak, sering kali berfikir dengan bersuara (berbicara). Anak
sering mengatakan apa yang sedang dikerjakannya, misalnya memberi nama kepada benda-
benda permainannya atau hasil pekerjaannya, kemudian suara itu makin perlahan, makin
berbisik – menjadi gerakan bibir saja --- dan akhirnya menjadi bercakap kepada diri sendiri
dalam cara yang tidak terlihat dan tak terdengar. Anak juga belajar berkata kepada diri
sendiri tentang apa yan sedang dikerjakannya, apa yang telah dikerjakannya; dan dengan
demikian sampailah dia kepada bentuk orang dewasa. Orang dewasa sering mengganti
tindakan-tindakan dengan semacam percakapan terhadap diri sendiri, untuk menghemat
waktu dan tenaga.
(5) Masih ada satu lagi yang perlu dikemukakan, yaitu pengaruh lingkungan (pendidikan,
belajar, pengalaman) dalam perkembangan individu. Watson berpendapat bahwa reaksi-
reaksi kodrati yang dibawa sejak lahir itu sedikit sekali. Kebiasaan-kebiasaan itu terbentuk
dalam perkembangan, karena latihan dan belajar.
Pengaruh Watson
Aliran behaviorisme yang dirumuskan oleh Watson itu (yang sering juga disebut Behaviorisme
orthodox) dewasa ini boleh dikata hampir tidak ada yang mengikuti secara konsekuen. Namun
demikian pengaruh pendapat Watson itu masih tetap besar, terutama di Amerika Serikat
sendiri, yaitu dalam bentuk aliran yang sudah direvisi: Neo Behaviorisme. Pendukung-
pendukung aliran ini antara lain: (1) Edward Chace Tolman, (2) Clark L Hull, dan (3) edward
R. Guthrie. (Suryabrata, 2004, hlm. 266-271)
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Teori Behavioristik merupakan teori belajar yang sangat menekankan perilaku atau tingkah
laku yang dapat diamati. Menurut teori Behavioristik, belajar merupakan perubahan dalam
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Tokoh aliran
Behavioristik ini yang sangat terkenal yaitu Thorndike dengan “Koneksionisme”, menurut teori
ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau
stimulus-respons. Pavlov dan Watson dengan “Conditioning”, menurut teori ini belajar
merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons
terhadap sesuatu. Skinner dengan “Operant Conditioning”, yaitu tipe perilaku belajar yang
dipengaruhi oleh adanya penguatan-penguatan.
Dengan demikian, maka tujuan dari teori behavioristik ini sebenarnya adalah untuk
menghilangkan tingkah laku yang salah dan membentuk tingkah laku baru yang dipengaruhi
oleh lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

B.Uno, Hamzah. (2008). Orientasi baru dalam psikologi pembelajaran. Jakarta: PT


bumi aksara.
Desmita. (2012). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT remaja
rosdakarya.
Efendi, Mohammad. (2003). Penggunaan cognitive behavior therapy untuk
mengendalikan kebiasaan merokok di kalangan siswa melalui peningkatan
perceived self efficacy berhenti merokok. Jurnal Pendidikan Dan
Kebudayaan, 056 (11), hlm. 634.
Prawianto, Petrus Ony. (2012). Model bimbingan belajar behavioristik untuk
meningkatkan kreativitas belajar siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 1 (1),
hlm. 28-29
Sanyata, Sigit. (2012). Teori dan aplikasi pendekatan behavioristik dalam konseling.
Jurnal Paradigma, 7 (14), hlm. 1-11.
Sukmadinata, N.S. (2005). Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: PT
remaja rosdakarya.
Suryabrata, Sumadi. (2004). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT rajagrafindo persada.
Taher, Thahroni. (2013). Psikologi pembelajaran pendidikan agama islam. Jakarta:
PT rajagrafindo persada.

Anda mungkin juga menyukai