Anda di halaman 1dari 11

WHITE COLAR CRIME DI BIDANG EKONOMI

MAKALAH

Disusun Oleh:
NANING NUR CAHYANI
NPM: XXXXXXXXX

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SURAKARTA
SURAKARTA
2021
WHITE COLAR CRIME DI BIDANG EKONOMI

A. Pendahuluan

Salah kasus dugaan skandal korupsi yang dalam beberapa waktu terakhir

telah menyita perhatian publik di Indonesia adalah kasus korupsi pada Badan

Usaha Miliki Negara (BUMN) PT Asuransi Jiwasraya atau biasa disebut sebagai

Jiwasraya. Kronologi kasus Jiwasraya sendiri telah terendus sejak tahun 2006.

Pada periode itu, asuransi jiwa tertua di Indonesia tersebut telah mengalami

kerugian sebesar 3,29 trilliun seperti yang disebutkan oleh Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) dan Kementerian BUMN. Pada tahun 2008, Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) untuk laporan

keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini

kebenarannya.

Akhirnya, pada Bulan Desember 2019, Penyidikan Kejagung

terhadap kasus dugaan korupsi Jiwasraya menyebut ada pelanggaran

prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jaksa Agung ST Burhanuddin

bahkan mengatakan Jiwasraya banyak menempatkan 95 dana investasi pada aset-

aset berisiko. Imbasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut memantau

perkembangan penanganan perkara kasus dugaan korupsi di balik defisit anggaran

Jiwasraya Selain itu, Kejagung meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi

Kementerian Hukum dan HAM mencekal nama-nama yang diduga bertanggung

jawab atas kasus Jiwasraya. Pada tanggal 8 Januari 2020 Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) mengumumkan pernyataan resmi terkait skandal Jiwasraya.

1
Permasalahan yang terjadi pada Jiwasraya ini, PT Asuransi Jiwasraya

(Persero) mengalami gagal bayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan.

Kasus gagal bayar terhadap nasabah ini disebabkan oleh indikasi JS Proteksi Plan

dipasarkan melalui kerjasama dengan bank yang menawarkan bunga tinggi.

Peluncuran produk JS Saving Plan membutuhkan pendanaan yang sangat tinggi.

Hal itu juga disertai investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham yang

berkualitas rendah dan tidak mempunyai pasar yang kuat dan stabil atau biasa

disebut dengan saham gorengan. Bukan hanya itu saja, rincian laporan keuangan

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai tidak transparan. Dalam kasus ini

seharusnya PT Asuransi Jiwasraya (Persero) jangan terlalu menawarkan produk

dengan bunga tinggi yang bisa merugikan perusahaan. Perusahaan seharusnya

juga lebih menjaga kepercayaan nasabah dengan menanamkan dana atau investasi

para nasabah di saham-saham yang memiliki kualitas tinggi atau pasar yang kuat

dan stabil serta melaporkan laporan keuangan secara transparan sehingga tidak

terjadi kasus gagal bayar nasabah seperti kasus ini.

B. Pembahasan

Berkaitan dengan terjadinya kasus Jiwasraya ini, maka masalah yang

terjadi termasuk dalam white collar crime atau kejahatan kerah putih. Perlu

diketahui, white collar crime ini diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang memiliki posisi tertentu dalam satu pekerjaannya. Kejahatan semacam

ini biasanya dilakukan oleh kalangan profesional dalam sebuah perusahaan.

Kejahatan yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat dengan memanfaatkan celah

yang ada pada peraturan yang dikeluarkan otoritas yang terkait, yaitu Otoritas Jasa

2
Keuangan dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Pihak-pihak yang

terlibat, secara profesional dan terorganisir telah memanfaatkan pengetahuannya

terhadap celah-celah dari ruang peraturan tentang incestasi yang dikeluarkan

Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan. Kejahatan kerah putih

dilakukan secara profesional dengan bermain dari ruang yang diberikan oleh OJK

dan Kemenkeu. Pada kasus Jiwsraya, keleluasan OJK dan menteri keuangan

dalam pelaporan keuangan untuk mencari nasabah lalu uangnya diinvestasikan ke

investasi yang tidak layak.

Terjadinya kasus korupsi di Jiwasraya telah ditindaklanjuti Kejaksaan

Agung Republik Indonesia dengan menetapkan para tersangka, khususnya pihak-

pihak dari perusahaan yang terlibat. Seperti, direktur utama dari

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) serta pihak-pihak lain yang bertanggung jawab

di BUMN tersebut, serta pimpinan dan komisari dari perusahaan-perusahaan yang

terlibat dalam investasi saham gorengan, seperti PT Hanson Internasional,

PT Maxima Integra, dan sebagainya. Dari para tersangka yang sudah ditetapkan

oleh Kejagung RI, bisa dilihat bahwa mereka kebanyakan berasal dari internal

Jiwasraya dan dari pihak swasta. Penetapan para tersangka oleh Kejagung RI yang

sebagian besar dari pihak internal PT Jiwasraya dan perusahaan investasi (swasta)

dengan pertimbangan bahwa tentu melibatkan manajer investasi dan pihak

lainnya. Logikanya, jika manajer investasi tersebut menggunakan pengetahuan

ataupun upaya terbaiknya maka tentu tidak akan terjadi investasi ikan arwana

senilai di atas Rp 5 triliun.

3
Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut, seharusnya tidak hanya dari pihak

internal PT JIwasraya dan swasta saja yang dipidanakan, namun juga harus

dilakukan pengusutan atas pihak Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini perlu dilakukan

karena persoalan kasus Jiwasraya tidak akan terjadi jika Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) melakukan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya. Hal ini mengingat

bahwa sebelumnya OJK selalu berpedoman pada Peraturan OJK terkait

kemampuan perusahaan dalam mengatasi permasalahan keuangan perusahaan

serta dan jangka waktu pembayaran klaim nasabah, khususnya terkait dengan

kesehatan perusahaan asuransi. Patut dipertanyakan, selama ini tugas OJK itu itu

apa saja hingga terjadi kebobolan pada kasus Jiwasraya. Kemungkinan pasti ada

andil OJK dalam kasus korupsi Jiwasraya tersebut, minimal adalah andil

pengawasan yang tidak berjalan, atau tidak dijalankan. Ini waktu yang sangat

tepat bagi aparat hukum kita, khususnya Kejaksaan, untuk membuka selebar-

lebarnya tabir gelap kasus korupsi yang menjerat Jiwasraya. Aktor-aktor

intelektual lain yang ikut bermain dalam kasus Jiwasraya harus bisa segera

diungkap, karena ada ribuan nasib rakyat yang menjadi nasabah di Jiwasraya yang

uangnya di rampok habis-habisan oleh mereka.

Adanya tendensi bahwa pihak Otoritas Jasa Keuangan terlibat dalam kasus

Jiwasraya terbukti dengan adanya tulisan tangan dari Benny Tjokrosaputro selaku

Komisaris PT Hanson Internasional, dimana perusahaan tersebut merupakan

perusahaan tempat PT Jiwasraya melakukan investasi pada sebagian besar saham

dan reksa dana berkualitas buruk. Pada tulisan tangan yang disampaikan Benny

Tjokrosaputro, disampaikan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terbelah

4
dalam mengaudit PT Jiwasraya. Menurutnya, ketua dan wakil BPK berbeda

pendapat dengan anggota lain. Benny Tjokrosaputro juga berpendapat bahwa ada

personel/anggota BPK yang ingin transparan, yakni dibuka audit dari dulu, lalu

dibuka isi portofolio Jiwasraya. Tetapi, ketua dan wakil ketua BPK

mengganjalnya. Dia mengaku penasihat hukumnya sudah mengirim surat

permintaan kepada majelis kehormatan dan kode etik BPK. Namun, dia menilai

permintaan itu digantung. Menurut Benny Tjokrosaputro, ada perbedaaan

signifikan antara lembaga dan personel, serta ketua dan wakil ketua BPK. Saat

diperiksa oleh banyak anggota BPK, Benny menilai, profesionalisme dan

ketelitian mereka sangat baik. Dia hanya bertanya, mengapa ada saham-saham

grup usaha swasta besar, dalam hal ini Bakrie, tidak diteliti. Padahal, jumlah

kepemilikan saham Jiwasraya di Grup Bakrie sangat besar dibandingkan dengan

grup lain.

Adanya pernyataan yang disampaikan Benny Tjokrosaputro tersebut

menunjukkan bahwa pada kasus Jiwasraya banyak pihak-pihak profesional, baik

dari pihak swasta maupun OJK terlibat di dalamnya. Bila hal itu benar terjadi,

maka pada kasus Jiwasraya terjadi white collar crime atau kejahatan kerah putih.

White Collar Crime atau kejahatan kerah putih adalah sebuah kejahatan yang

terjadi secara sistematis, terstruktur dan pasti melibatkan lebih dari satu pihak atau

bahkan lebih. Kejahatan kerah putih tidak akan berjalan sendiri, dan dalam kasus

Jiwasraya ini, saya melihat bahwa ada indikasi pembiaran yang dilakukan oleh

OJK secara sistematis dan terstruktur. Jangan cuma pejabat rendahan yang

5
dipanggil Kejaksaan untuk menjadi saksi, tetapi seluruh komisioner OJK harus

dipanggil oleh Kejaksaan untuk dimintai keterangan.

Kasus Jiwasraya dapat dikatakan sebagai white collar crime karena

dilakukan secara terorganisir, melibatkan perusahaan pelat merah. Juga jika

menilik orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut. Jika melihat korbannya,

melihat lembaganya, kemudian caranya, kemudian jumlahnya kemudian siapa

yang terlibat, serta adanya pemberitaan yang menyampaikan bahwa ada lingkaran

kekuasaan yang bermain di kasus Jiwasraya.

Berkaitan dengan kasus kejahatan kerah putih (white collar crime) pada

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) selaku BUMN, maka dapat dilakukan analisis

sebagai berikut. Berdasarkan Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan

Usaha Milik Negara, BUMN adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebagian

besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang

berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Beberapa teori kriminologi yang berkembang dapat diklasifikasikan

menjadi penyebab adanya white collar crime dalam BUMN, yaitu pertama teori

asosiasi diferensial. Sutherland berpendapat bahwa kejahatan dipelajari dari

tingkah laku manusia yang dapat diambil dari faktor sejarah, sehingga dapat

menjelaskan seba-sebab terjadinya kejahatan. Selain itu, Gabriel Tarde

berpendapat bahwa kejahatan yang dilakukan seseorang merupakan hasil peniruan

terhadap tindakan kejahatan yang telah ada dalam masyarakat. Sejarah korupsi di

Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda. Pejabat dalam serikat dagang

6
VOC pada masa kolonial telah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme yang

menyebabkan VOC itu mengalami kebangkrutan.

Teori yang kedua adalah teori subbudaya yang disebabkan oleh budaya

Indonesia. Semenjak masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto telah

terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme selama kurang lebih 32 tahun oleh para

pejabat atau petinggi di dalamnya. Berdasarkan teori subbudaya, membuat budaya

korupsi pada BUMN terjadi terus menerus.

Teori kriminologi yang ketiga adalah teori netralisasi, asumsi dari teori ini

adalah aktivitas manusia selalu dikendalikan oleh pemikirannya. Bahwa setiap

manusia berpotensi untuk melakukan kekhilafan, terutama bagi orang-orang yang

telah memiliki jabatan tentunya keserakahan menjadi salah satu sifat alami

manusia yang mendorong terjadinya white collar crime. Orientasi utama

penyebab kejahatan adalah kebutuhan hidup. Di saat kebutuhan hidup itu terasa

cukup, maka seseorang akan berhenti melakukan kejahatan tersebut. Namun

berbeda dengan white collar crime yang orientasinya adalah faktor keserakahan.

Pejabat BUMN yang melakukan white collar crime tidak akan pernah berhenti

karena tidak akan ada rasa puas ketika melakukannya.

Pelaku white collar crime berdasarkan tipologi perilakunya merupakan

kalangan orang yang memiliki jabatan dalam BUMN yang terdiri dari korporasi

memiliki kemampuan intelektual tinggi. Hal ini menyebabkan dalam proses

pengungkapannya menjadi sangat sulit dengan modus operandi yang dilakukan

oleh pelaku white collar crime dan kecanggihan pelaku dalam menghilangkan

jejak. Modus operandi tindak pidana korupsi sangat bervariasi karena terkait

7
dengan berbagai bidang seperti dalam administrasi, pemerintahan, perpajakan,

perbankan dan yang lainnya.

Teori kriminologi lain yang menjadikan terjadinya white collar crime di

BUMN adalah teori kesempatan. Coleman berpendapat bahwa ketika adanya

jabatan dan sarana membuat kesempatan dan dianggap menjadi satu-satunya

metode untuk masih mencapai kekayaan, atau dengan kata lain “takut jatuh”

merupakan sebuah motivasi yang kuat bagi pelaku white collar crime tersebut.

Keempat aspek kriminologis tersebut membuat white collar crime dalam BUMN

sangat sulit diungkap sehingga membutuhkan penanganan yang khusus, ekstra,

dan serius untuk ditangani.

Secara konseptual, kejahatan bisnis pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero)

merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi. Dalam hal ini, para pelaku

kejahatan bisnis seringkali terkait dengan korporasi karena korporasi merupakan

salah satu subjek utama pelaku bisnis atau usaha. Dengan demikian, sebuah

kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan bisnis, akan tetapi sebuah

kejahatan bisnis belum tentu merupakan kejahatan korporasi. Pernyataan tersebut

sangat terkait erat dengan subjek pelaku kejahatan bisnis dan pertanggungjawaban

pidananya. Kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis dapat berupa

pelaku dapat juga sebagai korban. Dalam hal korporasi berkedudukan sebagai dan

dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana inilah yang kemudian dikenal

dengan istilah kejahatan korporasi.

8
Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan bagian dari white collar

crime dan selalu merupakan kejahatan yang sangat mengganggu masyarakat,

bahkan negaradalam artian yang sangat kompleks sehingga dalam pendekatan

mikro kejahatan korporasi merupakan bagian dari tindak pidana di bidang

ekonomi. Dalam prakteknya, menentukan korporasi sebagai subjek hukum pidana

sangat sulit, dan masih menjadi perdebatan karena di dalam KUHP sendiri tidak

dikenal korporasi sebagai subjek hukum pidana. Meskipun demikian, sebagai

sebuah tindak pidana khusus, dalam beberapa peraturan perundang-undangan di

Indonesia, telah diakui bahwa korporasi merupakan salah satu subjek hukum

pidana, seperti dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan

dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pada perspektif kejahatan bisnis, kedudukan dan pertanggungjawaban

pidana korporasi sebagai pelaku kejahatan bisnis, secara komprehensif dapat

dijelaskan dan dianalisis melalui hukum pidana ekonomi. Hal ini mengingat

kejahatan bisnis merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi. Berdasarkan

definisi secara luas terhadap tindak pidana ekonomi tersebut, maka dapat

dikatakan bahwa segala bentuk kejahatan bisnis merupakan sub-kategori dari

tindak pidana ekonomi.

C. Penutup

Upaya penanggulangan white collar crime dalam tindak pidana korupsi di

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terdiri dari upaya preventif yaitu dengan

mengadakan pengawasan internal keuangan dalam PT Asuransi Jiwasraya

9
(Persero), melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) secara rutin yang dilakukan

Komisi Pemberantasan Korupsi, melakukan penyeleksian dengan meningkatkan

kualifikasi secara ketat terhadap calon yang akan menduduki sebuah jabatan di

PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Upaya represif yang dapat dilakukan adalah

dengan cara melakukan penindakan tegas terhadap pelaku white collar crime di

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) berdasarkan hukum yang berlaku yaitu Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bagi pemerintah seharusnya dapat memperhatikan faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya white collar crime dalam PT Asuransi Jiwasraya

(Persero). Bagi pembentuk undang-undang, perlu adanya pembuatan pengaturan

mengenai korporasi di Indonesia agar pengaturan sanksi pidana dalam korporasi

seperti BUMN dapat sesuai dengan konsep atau tujuan pemidanaan yang ada.

10

Anda mungkin juga menyukai