Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah materi kuliah “the origins of Muhammadan Yurisprudence, Yoseph Schacht”
Bagaimanapun, kami juga tidak bisa memendam ucapan terima kasih yang ingin kami
sampaikan kepada dosen pengampu kami dalam pembelajaran mata kuliah studi hadits, kedua
orang tua kami yang tak pernah lelah mendukung kami atas tercapainya semua cita-cita kami,
serta kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada
kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
serta masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh Karena itu, kritik saran yang bersifat
membangun dari pembaca adalah sangat berharga bagi kami guna perbaikan dan peningkatan
kualitas penyusunan makalah kami yang lainnya di masa yang akan datang.
Besar harapan kami semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua serta menjadi
tambahan referensi bagi penyusunan makalah dengan tema yang senanda di waktu yang akan
datang. Semoga bermanfaat, Amin Ya Robbal Alamin.

Malang, 6 Mei 2023

Penyusun

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
Daftar Isi...............................................................................................................................................ii
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan...................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
A. Biografi Joseph Schacht..........................................................................................................3
B. Kegelisahan akademik.............................................................................................................5
C. Anatomi Singkat Buku: The Origins of Muhammadan Jurisprudence.............................8
D. Napak Tilas tentang sistem sanad..........................................................................................9
D.Schacht dan Sistem Sanad.........................................................................................................11
KESIMPULAN...................................................................................................................................15
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................16

ii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi tentang “Sistem Sanad” bagi sebagian kalangan, mungkin bukan suatu
kajian asing dalam diskursus pemikiran hukum Islam, sehubungan banyaknya informasi,
kajian, dan karya terkait topik itu, baik pada tataran mondial maupun kawasan Nusantara.
Namun bagi mereka yang haus akan keilmuan utamanya bagi penelitian dan
pengembangan ilmu- ilmu keislaman, tampaknya akan terus mengkaji dan
mendalaminya. Salah seorang ulama Nusantara yang berkaliber dunia dalam pelbagai
bidang keilmuan Islam termasuk hadits yang di dalamnya sistem sanad adalah Syeikh
Mahfudz al-Tarmusi (Tremas, Pacitan) yaitu Kifâyâh al- Mustafid, Manhaj Dzawi al-
Nadzar, dan lain-lain. Karya beliau, Kifâyâh al-Mustafid, yang ditahqiq ulama besar
Nusantara juga, Syeikh Yasin al-Padani itu, konon mampu mencuri perhatian kalangan
Azhariyyun, termasuk Syeikh Rif’at Abdul Muthallib, seorang musnid besar Mesir
yang mengagumi karya al- Tarmusi tersebut.
Sudah barang tentu, tulisan ini tidak sedang mengkaji karya al-Tarmusi
tersebut, melainkan hendak sedikit menelaah pemikiran dua eksponen besar pemikir
hukum Islam, yang banyak mengulas tentang sistem sanad, yaitu: Joseph Schacht dalam
karyanya: The Origins of Muhammadan Jurisprudens, terbitan London: Oxford Press,
tahun 1950, dan Mustafa Azami dalam karyanya: On Schacht Origin of Muhammadan
Jurisprudence, Pakistan, Suhai Academy, terbit tahun 2004. Joseph Schacht seorang
orientalis gaek berbangsa Yahudi, pemikir hukum Islam yang banyak melakukan kajian
tentang sejarah pemikiran hukum Islam dengan analisis pendekatan sejarah. Sementara
Musthafa al-‘Azami, lebih merefleksikan sosok Muslim oksidentalis, seorang Muslim
saleh asal India Utara, mencoba mengkritisi karya Schacht tersebut dengan pendekatan
doktriner, etik, disamping historis.
Dalam menyikapi kedua karya dari dua pemikir yang berbeda beckground
dan pendekatannya itu, terdapat ragam respons: mendukung dan menolaknya. Baik dari
kalangan Muslim atau sebaliknya. Salah satunya adalah Ahmad Minhaji, seorang
intelektual Muslim dari UIN Yogyakarta yang dari pilihan pendekatannya, yaitu historis,
mencoba mengapresiasi pemikiran Schacht dalam Tesisnya di Mc Gill Kanada: Joseph
Schacht’s Contribution to The Study of Islamic Law1.
Menurut Minhaji dalam apresiasinya terhadap konsep sunnah, bahwa analisis
1
Akhmad Minhaji, : Joseph Schacht’s Contribution to The Study of Islamic Law,
Canada: Institute of Islamic Studies, 1992.

1
sejarah terhadap konsep sunnah mulai pra-Islam hingga periode Syafi’i telah
memenangkan reputasi Schacht sebagai sarjana pertama dan paling populer dalam dunia
kesarjanaan Barat. Dalam redaksi Akhmad Minhaji: “To sum up, the historical analysis of
the ideal concept of the term sunnah from pre-Islamic Arabia to the era of Shafi'i, on the
one hand won for Schacht the reputation as the first and most distinguished scholar on the
subject in Western scholarship...”2
B. Rumusan Masalah
Dalam kajian ini, kami memfokuskan pada beberapa rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana biografi Joseph Schacht?

2. Anatomi Singkat Buku: The Origins of Muhammadan Jurisprudence

3. Penjelasam Sistem Sanad ?


C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam kajian ini adalah:

1. Untuk mengetahui biografi Joseph Schacht

2. Anatomi Singkat Buku: The Origins of Muhammadan Jurisprudence

3. Untuk mengatahui Sistem Sanad

PEMBAHASAN

A. Biografi Joseph Schacht


Schacht lahir pada tanggal 15 Maret 1902, di Ratibor, Silesia yang dulu berada

2
Akhmad Minhaji, : Joseph Schacht’s Contribution ......h. 30

2
di wilayah Jerman dan sekarang masuk Polandia, hanya menyeberangi perbatasan dari
Cekoslawakia.3 Schacht dilahirkan dari keluarga religius. Ayahnya yang bernama
Edward Schacht merupakan seorang jemaat Kristiani (Katolik) yang taat yang juga
berprofesi sebagai seorang guru di sekolah luar biasa, ibunya bernama Mhor.4
Kelahirannya dalam keluarga yang taat akan nilai-nilai agama ini menjadikan Schacht
dapat mengenal lebih dalam terkait ajaran agama Kristen dan bahasa asli Ibrani atau
Yunani Kuno. Karena pendidikan dan pengalaman keagamaannya tersebut, ia
mendapatkan kemenangan atas kejuaraan yang isinya membahas mengenai Perjanjian
Lama di tahun 1922. Pada tahun selanjutnya, yakni tahun 1923, ia juga berhasil
menerima gelar Summa Cum Laude dari Universitas Breslau. Kemudian, setelah dua
tahun berlalu, Schacht kembali mengharukan namanya dengan diangkat sebagai
asisten seorang profesor yang kemudian ia pun menjadi seorang profesor bahasa
Timur pada saat usianya baru menginjak angka 27 tahun di tahun 1929. Karirnya
dalam keilmuan tidak hanya sampai disitu, ia kembali ditawari menjabat sebagai
profesor dengan posisi yang sama di Universitas Konigsberg, namun hal ini hanya
terjadi dengan kurun waktu yang cukup sekejap karena terkendala oleh kondisi politik
Jerman yang pada saat itu sedang tidak stabil.
Pada saat terjadinya perang dunia ke II, Schacht memilih untuk tinggal di
Inggris dengan bekerja untuk BBC Radio, London. Bahkan ketika perang telah usai
pun, tidak merubah sedikitpun minat Schacht untuk kembali ke kampung halamannya
di Jerman, ia tetap tinggal di Inggris hingga menikahi seorang wanita yang menjadi
penduduk asli negara tersebut dan membuatnya memilih untuk pindah
kewarganegaraan menjadi warga negara Inggris di Tahun 1947. Gelar master dalam
pendidikannya didapatkan dari Oxford university di tahun 1984 yang kemudian ia
melanjutkan pendidikan hingga mendapat gelar doktor di tahun 1952. Tidak lama
kemudian, di tahun 1954 ia memutuskan untuk pindah ke Leiden dan menjadi guru
besar disana. Ia kembali pindah ke Columbia University di New York pada tahun
1959 dengan jabatan dan posisi yang sama hingga wafat. Schacht menutup usia pada
tahun 1960. Meskipun Schacht merupakan seorang ilmuwan dan ahli hukum Islam,
keilmuan dan kajiannya tidak terbatas hanya pada hukum hadis saja, tetapi juga
mengkaji ilmu kalam, ilmu pengetahuan, filsafat, dan lainnya. Salah satu karyanya
yang mendunia yakni buku “The Origins of Muhammadan Jurisprudence” dan “An
3
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1959)
4
Akhamd Minhaji, Joseph Schacht’s Contribution to The Study of Islamic Law (Canada: Institute of Islamic
Studies, McGill University Montreal, 1992), hal. 4

3
Introduction to Islamic Law”. Dalam karyanya tersebut, objek kajian yang ia teliti
berfokus pada kitab al Muwatha yang merupakan karya dari Imam Malik, Kitab Al-
Umm yang ditulis oleh Al-Syafi’i, dan al-Muwatha sebagai karya Muhammad al-
Syaibani. Karir Josep yang cemerlang sebagai seorang orientalis, dimulai dengan
fokus mempelajari filologi klasik, teologi, dan bahasa- bahasa Timur di Universitas
Beslaw dan Universitas Leipzig. Karyanya juga tidak berfokus dan terbatas oleh
bahasan ilmu tersebut, tetapi juga turut membahas kajian naskah-naskah Arab, dan
penyuntingan kritis terhadap naskah-naskah Fikih Islam.
Schacht merupakan tokoh orientalis yang produktif. Hal ini berlandaskan pada
kecenderungannya menulis banyak karya yang tidak terbatas oleh kajian ilmu fikih.
Abd Rahman Badawi sendiri menanggapinya dengan menilai karya-karya Schacht
dalam berbagai disiplin ilmu. Dapat dilihat bahwa dalam kajiannya terhadap hadis dan
hukum Islam, Schacht memakai pendekatan historis-sosiologis. Hal tersebut turut
dikemukakan oleh Bernard Lewis yang mengatakan bahwa pendekatan yang
digunakan oleh Schacht bukan bagian dari studi teologis maupun yuridis, tetapi
menggunakan pendekatan historis-sosiologis. Salah satu karya tulisnya yang
mendunia dan membuat namanya dikenal di kancah internasional yaitu karya tulis
berbentuk buku dengan mengangkat judul “The Origins of Muhammadan
Jurisprudence” yang terbit pada tahun 1950-an. Pada Bab III fokus membahas
kontribusi imam Syafi’i. Bab ke II, ia mulai membahas perkembangan hadis yang
menitikberatkannya pada tradisi hukum dimasa periode sebelum Syafi’i. Kemudian
bab selanjutnya, Schacht membahas terkait masalah akan jejak transmisi hadist dari
Dinasti Umayyah di mana umat islam percaya awal mula hadis dimulai pada saat itu.
Bab IV Schacht mengemukakan bagaimana alasan dan pemikiran beberapa ulama
terkemuka. Tidak hanya sampai disitu, ia bahkan menulis secara tegas bahwasanya
hadis bukanlah sumber dari segala sumber hukum umat muslim. Hal ini didasari oleh
fakta bahwa hadis tidak lebih dari sekedar inovasi terkait sumber hukum islam yang
sebelumnya telah muncul sebuah hukum lain yang telah diatur. Karena satu dan lain
hal, karya dan ide-ide ataupun pokok bahasan Schacht yang tertuang dalam asal usul
fikih Muhammad dianggap sebagai karya yang kontroversial oleh berbagai kalangan.
Beberapa karya Schacht lainnya yaitu Pra-Islamic Background and Early
Development of Fikih and Law Middle East: The Origins and Development, dan
karya terakhirnya yang berjudul Theology and Law of Islam (Schacht, 1993).
Meskipun terbilang cukup sedikit, namun karya- karyanya menjadi gebrakan dan

4
mampu mengubah pandangan keislaman. Mulai dari bukunya yang berjudul The
Origins of Muhammadan Jurisprudence Fikih yang menjadi kitab suci para ulama
Islam dari kalangan Orientalis, hingga kerjasama antara Schacht dengan Meyerhof
untuk menerbitkan studi teks yang berkolaborasi dengan studi hadis.
Setelah bertahun-tahun Schacht mengabdikan dirinya dengan bekerja untuk
Inggris, ia akhirnya mengambil keputusan untuk pindah ke negeri Belanda di tahun
1954. mulai pada tahun tersebut Schacht melebarkan sayapnya dengan memuat karya-
karyanya seperti buku Dairah al Ma’arif al- Islamiyyah. Selain seorang teolog,
Schacht juga dikenal sebagai sejarawan, ahli fikih, dan ahli manuskrip Arab. Ia
mampu memahami perkembangan hukum islam yang dianut secara luas oleh umat
Islam dalam kancah internasional, khususnya dalam kajian pemikiran imam Syafi'i.
Awal perkembangan hukum hingga anggapan bahwa hadis bukanlah sumber hukum
utama, menjadikan Schacht seorang orientalis yang berbahaya. Hingga saat ini
pemikiran-pemikiran yang dituangkan ke dalam karya-karyanya tentang Islam masih
dipelajari, apalagi dalam sejarah hukum Islam.5
B. Kegelisahan akademik
Faktor yang melatar belakangi kritik orientalis terhadap hadits adalah
anggapan mereka yang menyatakan bahwa sunnah atau hadits tidak lebih dari “adat
kebiasaan/tradisi” dari masyarakat Jahiliyyah yang diserap oleh agama Islam. Mereka
juga beranggapan bahwa sunnah bukanlah sumber tasyri’. Menurut mereka generasi
awal Islam tidak pernah sekalipun mendasarkan keputusan hukum atau fatwa hukum
kepada sunnah. Tradisi penggunaan sunnah baru muncul pada akhir abad ke II atau
awal abad ke III H.6 Pendapat ini juga diamini oleh Joseph Schacht.7
Obyek lain yang menjadi perhatian orientalis adalah sanad hadits. Orientalis
yang pertama kali mempertanyakan sanad adalah Caetani. Ia berkesimpulan bahwa
Urwah (w. 94 H) yang merupakan tokoh pertama yang mengumpulkan riwayat
riwayat hadits belum menggunakan sanad, ia memperkuat pendapatnya hanya kepada
al-Qur`an. Atas asumsi tersebut, Caetani berpendapat bahwa penggunaan sanad pada
hadits antara masa Urwah (w.94H) dan Ibnu Ishaq (w. 151 H), oleh karena itu Caetani
meyakini bahwa sanad adalah “instrument” baru yang diterapkan di dalam hadits,
5
Gian Nitya Putri, Hilda Meylani, and Icha Agustina, ‘Kritik Hadis Menurut Orientalis: Studi Komparatif
Pemikiran G.H.A Juynboll Dan Joseph Schacht’, Integritas Terbuka: Peace and Interfaith Studies, 1.1 (2022)
<https://doi.org/10.59029/int.v1i1.3>.
6
al-Huqail, Syubuhat al-Mustasyriqin Fi Mafhum al-Sunnah. KSA: Qismu al-Tsaqafah al-Islamiyyah, al-Tafsir
wa al-Hadits, Jami’ah Malik al-Saud. Hal. 6
7
M. Bahauddin, al- Mustasyriqun wa al-Hadits al-Nabawi. Malaysia: Dar alFajr. 1999, hal. 55

5
yang dibuat-buat oleh ahli hadits pada abad ke dua dan ke tiga Hijriyyah. Apa yang
dilakukan oleh Caetani juga dilakukan oleh Alouis Sprenger, ia menguatkan pendapat
Caetani tentang sanad. Bagi Sprenger, kitab-kitab hadits yang ditemukan dari masa
Urwah hingga Abdul Malik, tidak satupun diantaranya yang mencantumkan sanad.
Oleh karena itu, jika terdapat penyandaran sanad hadits kepada Urwah, maka dapat
dipastikan bahwa sanad tersebut dimunculkan belakangan.
Kajian terhadap sanad ini terus berlanjut, Horovitz misalnya, ia mengkaji awal
mula penggunaan sanad, hasil kajiannya mencounter kesimpulan dari dua orientalis
sebelumnya (Caetani dan Sprenger). Ia berkesimpulan bahwa para ahli yang
meniadakan sanad di dalam kitab yang ditulis oleh Urwah sejatinya disebabkan
karena ketidak sempurnaan mereka di dalam menelaah karya tersebut. Sementara itu
Coulson berpendapat bahwa sanad dibuat untuk memperkuat pendapat madzhab fiqh
tertentu yang mendasarkan pendapat mereka kepada alQur`an, seakan-akan Nabi
melakukan atau mengucapkan hal yang sama dengan apa yang mereka istinbat}i dari
al-Qur`an.
Pembicaraan tentang sanad juga dilakukan oleh Montgomery Watt, ia
berpendapat bahwa pada awal penggunaannya, Sanad belum terbentuk secara
sempurna. Pendapat ini didasarkan kepada riwayat yang terdapat di dalam kitab yang
ditulis oleh Ibnu Ishaq pada pertengahan awal abad ke II H. Sanad yang terdapat di
dalam kitab tersebut menurut Montgomery Watt ditulis dan disempurnakan oleh Ibnu
Sa’ad yang pada waktu itu umurnya selisih 20 tahun dari Ibnu Ishaq. Sementara itu,
kitab al-Waqidi sanadnya disempurnakan oleh al-Syafi’i yang hidup semasa
dengannya. Sanad kedua kitab ini dibuat sedemikian rupa sehingga mengesankan
bahwa riwayat tersebut mempunyai sanad yang bersambung kepada Nabi Saw.
Orientalis yang juga menyoal sanad hadits adalah Robson. ia berpendapat
bahwa pada pertengahan abad I H sangat dimungkinkan bagi setiap orang membuat-
buat sanad atau semacamnya. Hal itu dikarenakan, pada pertengahan abad I H banyak
sahabat Nabi yang telah wafat, sehingga mereka yang tidak sempat hidup semasa
dengan Nabi, setiap kali mendengarkan riwayat yang disandarkan kepadanya mereka
selalu menanyakan sumbernya. Pada saat itulah sanad dibuat. Puncak dari kritik
orientalis terhadap sanad hadits dilakukan oleh Joseph Schacht, ia melakukan kajian
mendalam terhadap sanad hadits, kajian yang ia lakukan secara garis besar sampai
pada kesimpulan bahwa “isnad” adalah bagian dari tindakan sewenang-wenang dalam
hadits Nabi Saw. Hadits-hadits Nabi dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang

6
berbeda-beda yang mengaitkan teori yang mereka kembangkan kepada tokohtokoh
terdahulu.8
Seperti yang disebutkan, posisi Joseph Schact dalam kajian orientalis terhadap
hadits Nabi mendapatkan pujian dari koleganya. Kritik dan pandangan Schacht
terhadap hadits Nabi mencakup aspek kesejarahan hadits, konsep sunnah, sanad dan
matan. Berikut ini adalah pointpoint kritik Schacht terhadap hadits.
1. Rasulullah SAW tidak pernah memandang penting menjelaskan hukumhukum
syari’at, lebih-lebih yang berhubungan dengan masalah muamalat, ahwal
syakhsiyyah dan peradilan. Oleh karena itu Schacht berkesimpulan bahwa hukum
(fiqh) belum ada pada sebagian besar abad I H.
2. Sunnah pada masa lalu dipahami sebagai perkara yang disepakati atau dalam arti lain
adalah perkara-perkara praktis yang dijalankan di tengah-tengah komunitas muslim
(tradisi yang hidup). Oleh karena itu istilah “Sunnah”tidak berhubungan dengan
segala tindakan atau ucapan yang bersumber dari Nabi Saw. Istilah sunnah dijelaskan
oleh madzhabmadzhab fiqh sebagai tindakan masyarakat sebagaimana dirumuskan
oleh pendahulu.
3. Penggunanan sanad untuk keperluan berhujjah dengan hadits belum dikenal pada dua
abad sebelumnya (abad I dan II H). Sanad baru muncul ketika bermunculan madzhab
fiqh. Dari sinilah as-Syafi’i memulai gerakan untuk menggunakan sanad ketika
mengambil dalil-dalil fiqhiyyah yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Oleh Schacht,
tindakan inilah yang menguatkan bahwa sanad merupakan perkara yang dibuat-buat
untuk memberikan legitimasi madzhab fiqh dalam istidalal dengan hadits.
4. Sanad baru dikenal pada abad awal abad II H.
5. Sanad pada awal abad II dan III H adalah kreasi ulama hadits untuk memperkuat
pendapat mereka.
6. Sanad pada periode selanjutnya mengalami dinamika seiring terbukukannya beberapa
kitab hadits, antara lain kitab kanonik hadits –kutubussittah-, Musnad Ahmad dan
lainnya.
7. Sanad “keluarga” misalnya Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari bapaknya dari
kakeknya atau Bahz bin Hakim meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya dan
sanad-sanad keluarga sejenis adalah sanad dan matan yang dibuatbuat sekaligus.
8. Setiap hadits yang sanadnya bermuara hanya kepada seorang perawi saja, maka dapat
dipastikan bahwa ia adalah pemalsu sanad.
8
Ibid, hal. 94-101.

7
9. Kesembilan, Jika seorang perawi pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya
sebuah hadits dan gagal menyebutkannya, atau jika satu hadits oleh sarjana (ulama
atau perawi) yang datang kemudian yang para sarjana sebelumnya menggunakan
hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada.
10. Hadits-hadits hukum tidak ada satupun sanadnya shahih dan terhubung hingga Nabi
SAW. Tentang hal ini Joseph Schacht mengatakan “sangatlah sulit menghukumi
hadits-hadits hukum sebagai hadits yang shahih”.9

C. Anatomi Singkat Buku: The Origins of Muhammadan Jurisprudence.


Buku The Origins of Muhammadan Jurisprudence, kali pertama diterbitkan di
London tahun 1950 oleh Universitas Oxford (Oxford Press). Buku ini terdiri dari 351
halaman plus indeks dan addenda ditambah pengantar vii.
Dari sudut cakupan isi (content)-nya, buku ini terdiri dari Bagian (Part) I: The
Develeopment of Legal Theory, yang di dalamnya tercakup bahasan: Bab 1 Teori
Hukum Islam Klasik, tentang fungsi hadits; Bab 2 Madzhab-madzhab Kuno:
Sikap al-Syafi’i terhadap Mereka; Bab 3 Al-Syafi’i dan Hadits-hadits Hukum; Bab 4
Hadits-hadits dalam Madzhab- madzhab Kuno; Bab 5 Kritik Teknis Hadits oleh al-
Syafi’i dan Para Pendahulunya; Bab 6 Argumen-argumen Pendukung dan Penentang
Hadits; Bab 7 Sunnah, Praktik, dan Tradisi yang Hidup; Bab 8 Ijma’ dan Ikhtilaf; Bab
9 Qiyas, Penalaran Sistematis, dan Pendapat Pribadi; dan Bab 10 Catatan-catatan
Akhir tentang Teori Hukum.
Bagian II tentang The Growth of Legal Traditions, yang terdiri dari enam Bab.
Bab 1 Catatan-catatan Awal; Bab 2 Pertumbuhan-Hadits-hadits Hukum pada Periode
Kodifikasi, Kesimpulan-kesimpulan tentang Periode Prakodifikasi; Bab 3 Konflik
Doktrin sebagaimana Tergambar dalam Perkembangan Hadits-hadits; Bab 4 Bukti-
bukti Isnad; Bab 5 Asal-Ushul Hadits Hukum pada Paru Pertama Abad ke-2 H; Bab 6
Kaidah-kaidah Hukum (Legal Maxims) dalam Hadits- hadits.
Bagian III tentang The Transmission of Legal Doctrine yang di dalamnya
termasuk Sembilan Bab di dalamnya. Bab 1 Praktik Umayah sebagai Titik Awal
lahirnya Hukum Islam; Bab 2 Doktrin Lama yang Umum dan Pengaruh Silang; Bab 3
Untur-unsur al-Qur’an di dalam Hukum Islam Awal; Bab 4 Madzhab Iraq; Bab 5
Madzhab Madinah dan Madzhab Mekah; Bab 6 Para Ahli Hadits; Bab 7 Mu’tazilah,
Bab 8 Hukum Islam dan Khawarij; Bab 9: Hukum dan Syiah.
9
al-Durais, dkk. Al-Uyub al-Manhajiyyah Fi Kitabat al-Mustasyriq Schacht al-Mutaalliqah bi al-Sunnah
alNabawiyah, hal. 15-16.

8
Bagian IV The Development of Technical Legal Thought, yang terdiri dari
Enam Bab Sejumlah Afendik, yaitu: Bab 1.Perkembangan Penalaran Hukum
Secara Umum; Bab 2 Sistematisasi dan Islamisasi; Bab 3 Pemikiran Awzai; Bab 4
Penalaran Perorangan Madzhab; Bab 5 Penalaran Malik; Bab 6 Penalaran al-
Syafi’iyyah. Selanjutnya, setelah bab IV terdapat dua appendik, yaitu: Appendik 1
Kronologis Karya-karya al-Syafi’i; dan Afendik-afendik II Daftar Paragraf dalam
Treatise al-Syafi’i.
D. Napak Tilas tentang sistem sanad
Dalam karya ensiklopedis istilah: Kasyf Ishthilāhāt al-Funûn wa al-‘Ulûm
tertulis pengertian sanad, isnād dan urgensinya. Menurut buku itu, para ahli hadits
(muhadditsīn) memberikan penjelasan, bahwa sanad adalah metode atau
cara mentransmisikan suatu riwayat pada suatu matan hadits.
Sementara isnād adalah suatu hikayat penuturan cara periwayatan suatu matan
hadits dalam dua konteks (cara dan matan) yang berbeda ( ‫قيرط نع ةياكحال ناريغتم امهف‬
‫)ثيدحال نتم‬. Menurut al-Thibiy, sanad adalah penginformasian mengenai cara suatu
matan hadits, sementara isnād adalah mengangkat suatu hadits dan
mempersambungkannya dengan penuturnya ( ‫)ثيدحال عفر هلئاق ىإل هالصإو‬.
Lawan kata isnād adalah Irsāl, yaitu tak ada ketersambungan”4 Sederhananya,
isnad adalah sistem penyampaian berita dengan menyebutkan narasumbernya. Yang
dimaksud narasumber disini adalah rawi, yaitu seseorang yang meriwayatkan berita
dari orang lain kepada orang lain lagi.10
Mengamati uraian tersebut menjadi jelas bahwa isnad adalah sistem yang
unik yang dipergunakan para ulama untuk mentransmisikan suatu riwayat yang
datang dari Rasulullah SAW. Meskipun pada awalnya dipergunakan hanya dalam
periwayatan suatu hadits, tetapi juga digunakan dalam periwayatan al-Qur’an.
Terbukti sebagaimana diutarakan al- Zarqâni, saat mendefinisikan al-Qur’an secara
luas (ithnâb), bahwa salah satu sifat al-Qur’an dalam definisi tersebut adalah dia
ditransmisikan secara mutawâtir (al-manqûl bi al- tawâtur).11 Maksud redaksi
“ditransmisikan secara mutawatir” tersebut menunjukkan adanya sistem sanad dalam
periwayatan al-Qur’an. Lebih dari itu, mengingat dampak positifnya dari sistem
sanad, para ulama mengembangkan sistem sanad tersebut ke dalam tradisi penulisan
sejumlah literatur hingga abad ke empat hijriyah. Misalnya, karya-karya al-Jahij (163-
10
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-3, h. 96
Muhammad ‘Abd al-‘Adzim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fi Ulûm al-Qur’an,
11

Dâr al-Fikr,tt., Vol. I., h. 19

9
235H.), al-Mubarrad (210-286H.), Ibnu Qutaibah (213- 276H.), dan lain-lain,
karya mereka penuh dengan pendekatan isnad, bahkan karya-karya yang berbau
humor sekalipun.12
Sistem sanad dalam sejarahnya, muncul kali pertama pada masa kehidupan
Rasulullah SAW, dan menjadi ilmu yang mapan pada akhir abad pertama. Secara
praksis, sistem ini awalnya dimulai saat para sahabat bertemu dan kemudian
meriwayatkan suatu hadits. Bahkan biasanya, mereka memiliki perencanaan
agar mereka menyelenggarakan suatu majlis bersama Rasulullah SAW dan yang hadir
meriwayatkan suasana majlis tersebut. Hal itu dilakukan secara bergantian. Mereka
biasanya mengatakan: Nabi telah melakukan ini dan itu; telah mengatakan ini, ini.
Demikianlah asal mula isnad dalam tradisi pemikiran hadits.13
Islam memandang sistem sanad adalah sesuatu yang penting, mendasar dan
central. Sufyan al-Tsauri (w.161H.) pernah mengatakan: “isnad adalah senjata setiap
orang beriman. Saat seseorang tidak memiliki senjata, dengan apa dia akan
berperang?” Senafas dengan Sufyan Tsauri, adalah Ibnu Mubarak (w.181H.)
Menurut Ibnu Mubarak, isnad adalah bagian dari agama. Dan tanpa isnad,
dikhawatirkan setiap orang akan bebas membeberkan setiap informasi yang dia
kehendaki.14
Masih kata Ibnu Mubarak, “Pelajar ilmu yang tak memiliki sanad, bagaikan
seseorang yang menaiki rumah tanpa tangga.” Tak kalah dengan Ibnu Mubarak dan
lain-lain, Imam Nawawi (w. 676 H./1277 M) menunjukkan implikasi kesahihan-
tidaknya suatu hadits dengan mengatakan: “bila sanad suatu hadits berkualitas
sahih, maka hadits tersebut dapat diterima. Sebaliknya, jika kualitas sanad tidak
sahih, maka hadits tersebut harus ditinggalkan. Lebih jauh, secara alegoris al-Nawawi
memberikan perumpamaan: bahwa hubungan hadits dengan sanadnya, persis
semacam hubungan hewan dengan kakinya”.15
Karena itu pantas kalau Azami mengatakan: “sistem periwayatan hadits-hadits
yang sampai kepada kita adalah batu pertama keyakinan Islam dan kode etik yang
diasosiasikan kepadanya”. Dalam redaksi Azami: “These ahadith came to us from the
Prophet through chains of transmitters. They are, thus, the cornerstone of the Islamic

12
Mustafa Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, Pakistan,
Suhai Academy, 2004, ed. 1, h. 154-155
13
Mustafa Azami, On Schacht’s Origins........ h. 154-155
14
al-Tahanawi, Kasyf Ishthilahāt al-Funûn wa al-‘Ulûm,Vol I. h. 984
15
al-Nawawi, Shahih Muslim bisarh al-Nawawi, (Meshir: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1924), Vol. I., h. 88.

10
faith and the code of ethics associated with it.”16
E. Schacht dan Sistem Sanad

Pemakalah hanya akan lebih fokus membahas seputar sistem isnad saja.
Kalaupun ada pembahasan lain yang relevan diluar isnad, itu sebatas
relevansi dan kebutuhan tematis saja, misalnya pemaknaan sunnah-hadits.
Dalam The Origins, Schacht menguraikan pembahasan tentang isnad pada
Part II Chapter 4 The Evidens of Isnads (Bukti-bukti isnad). Pemahaman yang
sangat pesimistis dan minor dari Joseph Schacht tentang isnad dapat
pemakalah kutipkan pernyataannya sebagai berikut17:
“Although the isnads constitute the most arbitrary part of
traditions, the tendencies underlying their creation and
development, once recognized, enable us to use them for dating of
traditions in many cases. It is common knowlege that the isnads
started from rudimentary beginnings and reached perfection in the
classical collections of traditions in the second half of the third
century A.H. This, together with our previous results concerning
the growth, of traditions, makes it impossible for us to share the
confidence of the Muhammadan scholars in what they consider
first-class isnads. Their whole technical criticism of traditions,
which is mainly based on the criticism of isnads, is irrelevant for
the purpose of historical analysis. In particular, we shall see in
the following chapter that some of those isnads which
Muhammadan scholars esteem most highly are the result of
widespread fabrication in the generation preceding Malik.”
Sekurang-kurangnya ada lima hal yang menjadi pesan Schacht untuk
disimak. Pertama, walaupun isnad itu diyakini bermasalah dalam
pemetaan sejumlah hadis, tetap berguna untuk melacak asal-usul munculnya
suatu hadits. Kedua, isnad pada awalnya bermasalah dan baru terdapat
perbaikan disana sini menjelang abad kedua hijriyah. Ketiga, tidak adanya
kesepakatan mengenai penilaian isnad antara Schacht dan para ulama
(Muhammadan scholars) yang mengidentifikasi isnad yang bernilai tinggi
(first-class). Keempat, tidak adanya kesamaan pendekatan (irrelevant) dalam

16
Mustafa Azami, On Schacht Origin........ h. 154
17
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudens, London: Oxford Press, 1950, h. 163

11
menempatkan isnad sebagai alat ukur mengetahui identitas suatu hadits antara
Schacht yang menggunakan pendekatan sejarah (historical analysis) dengan
para ulama yang relatif normatif. Dan kelima, sistem isnad yang dipuji para
ulama setinggi langit itu, bagi Schacht, merupakan hasil pemalsuan para
ulama (widespread fabrications), utamanya menjelang kehadiran Imam
Malik.
Cara pandang yang pesimistis itu, lebih lanjut dapat diperhatikan dalam
tulisan Schacht selanjutnya, bahwa isnad seringkali dicantumkan secara
sembarangan (very carelessly). Dalam klaimnya, Schacht menilai bahwa
setiap tokoh yang mewakili kelompok madzhabnya diproyeksikan ke
belakang (projected back) kepada sosok yang dipandang otoritatif, yang
secara random begitu saja dipilih dan diletakkan masuk dalam sanad.18
Kemudian ia menyebut sejumlah kasus, utamanya pada masa sebelum
Malik, misalnya ada riwayat yang sanadnya memasangkan Nafi’ dengan
sejumlah orang yang berlainan: ada Nafi’ dan Salim, ada Nafi’ dan Abdullah
bin Dinar, ada Nafi’ dan Zuhri. Seterusnya, pasangan yang berbeda: Yahya
bin Said dan Abdullah bin Umar, Yahya bin Said dan Rabiah, Muhammad
bin Amr bin Hazm dan Abu Bakr (bin Amr bin Hazm).
Selanjutnya, Schacht menyebut empat contoh jenis isnad yang dianggap
ngawur dan a historis. Misalnya, ia mengutip dua topik kisah yang relatif
sama yaitu mengenai ‘abid mudabbar19, tetapi dengan isnad yang berbeda.
Yang satu riwayat dianggap palsu karena dipandang meniru yang terdahulu.
Dalam riwayat pertama dengan isnad: Malik dari Muhammad bin
Abdurrahman bin Sa’id bin Jurarah yang diterima dari Hafsah dikatakan:
Hafsah membunuh seorang budak Mudabbar yang telah menggodanya.
Sementara dalam riwayat kedua, dengan isnad: Malik dari Abu Rijal
Muhammad bin Abdurrahman (bin Jariyah [Schacht salah menyebut:
mestinya bin Haritsah], Ibunya, dari ‘A’isyah. Dikatakan, A’isyah telah
menjual seorang budak mudabbar miliknya yang telah menggodanya.20
Schacht menilai bahwa perbedaan dua riwayat: yang pertama, Hafsah telah

18
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudens, London: Oxford
Press, 1950, h. 16
19
Abid mudabbar adalah budak yang dijanjikan akan dibebaskan oleh tuannya saat tuannya meninggal suatu
waktu
20
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudens...h. 164

12
membunuh budak mudabbar; yang kedua, A’isyah telah menjual abid
mudabbar, merupakan riwayat fiktif dan a-historis. Keyakinan Schacht,
riwayat ini disebarkan oleh generasi sebelum Malik, dengan tokoh
otoritatifnya yang fiktif (fictitious authority): Muhammad bin Abdurrahman.
Nama ini kemudian direhabilitasi secara sempurna agar dapat absah merekrut
dua orang rawi yang berbeda dalam versi riwayat yang tidak sama. Bagi
Schacht, tentu saja, kondisi fiktif ini meragukan apakah kedua orang (rawi)
ini benar-benar ketemu dengan Malik atau tidak.
Selanjutnya, Schacht mengamati sistem isnad ini dengan apa yang
disebutnya sebagai family isnad. Family isnad atau isnad keluarga, adalah
suatu model garansi yang memberikan nilai tambah (additional guarantie)
dalam pemikiran hadits bahwa suatu hadits adalah shahih, otentik, karena
diriwayatkan oleh sejumah rawi dari keluarga yang sama. Misalnya, suatu
hadits diriwayatkan oleh ayahnya terus diturunkan kepada anaknya, cucunya;
dari bibi kepada kemenenakannya; dari seorang majikan kepada budaknya,
dan seterusnya.
Untuk family isnad ini, ia memberikan sejumlah contoh transmisi (sanad),
salah satunya suatu riwayat yang memiliki mata rantai ke bawah yang sejajar,
misalnya riwayat: Malik, Hisyam, ayahnya, yang diterima dari Urwah dari
hadits Muwatha
: ‫ةعمجال مويربنمال ىلع‬........... ‫باطخال نب رمع نأ هيبأ نع ةورع نب ماشه نع كالم نع ينثدحو‬
‫وهو ةدجس أرق‬
Schacht menilai, bahwa kapanpun kita menilai tentang “suatu hadits
keluarga” semacam itu, dipastikan itu palsu. Karena itu, terkait sanadnya,
bahwa sanad dari hadits yang berdimensi keluarga (family isnad) tersebut
kehadirannya tak menunjukkan “keotentikan suatu hadits” melainkan
hanya sebatas perangkat untuk mengamankan eksistensinya”. Dalam redaksi
Schacht:
“Whenever we come to analyse them, we find the family
traditions spurious, and we are justified in considering the existence of a
family isnad not an indication of securing its appearance (cetak miring
dari pemakalah)”.21
Gagasan Schacht lainnya adalah teori common link (tokoh penghubung).
21
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudens...h. 170

13
Teori ini menjelaskan bahwa adanya mata rantai periwayatan suatu hadits
berarti menunjukkan bahwa hadits tersebut berasal dari tokoh tersebut.
Schacht menjelaskannya sebagai berikut:
“These results regarding the growth of isnad enable us to
envisage the case in which a tradition was put into circulation by a
traditionalist whom we may call N.N., or by a person who used his name,
at a certain time. The tradition would normally be taken over by one or
several transmitters, and the lower, real part of the isnad would branch
out into several strands. The original promoter N.N. would have provided
his tradition with an isnad reaching back to an authority such as a
Companion or the Prophet, and this higher, ficticious part of the isnad
would often acquire additional branches by the creation of
improvements which would take their place beside the original chain of
transmitters, or by the process which we have described as spread of
isnads. But N.N. would remain the (lowest) common link in the several
strands of isnad (or at least in most of them, allowing for being passed by
eliminated in edditional strands of isnad which might have been
introduced later.”
Dari sejumlah teori dan argumen yang disodorkan Schacht, pada
akhirnya tampak cita ideal gagasannya, yaitu ketidak-otentikan suatu hadits.
Dia memilih pendekatan penelitian terhadap hadits-hadits hukum dengan
sejumlah teori: e silentio, projecting back, common link, family isnad, dan
seterusnya, pada akhirnya dia menilai: tak ada hadits terkait hukum yang
otentik. Sekurang-kurangnya dalam dua buku utama miliknya, dia
menyatakan demikian.
Dalam redaksi The origins berbunyi22:
"We shall find that :he bulk of legal traditions from the Prophet
known to Malik originated in the generation preceding him, that is in
the second quarter of the second century A.H., and we shall not meet
any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic.
"
Sementara dalam redaksi karya Schacht lainnya, An Introdution to Islamic Law

22
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudens...h. 138

14
berbunyi23:
"The traditionists produced detailed statements or traditions' which claimed
to be the reports of ear- or eye- witnesses on the vords or acts of the
Prophet, handed down orally by an uninterrupted:chain [isnad] of
trustworthy persons. Hardly any of these traditions, as far a matters or
religious law are concerned, can be considered authentic ... “

KESIMPULAN
23
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law , Oxford, 1964, h. 34

15
Buku "The Origins of Muhammadan Jurisprudence" pertama kali diterbitkan
di London pada tahun 1950 oleh Universitas Oxford (Oxford Press). Buku ini terdiri
dari 351 halaman, termasuk indeks dan addenda ditambah pengantar vii. Secara
keseluruhan, isi buku ini terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama membahas
tentang "The Development of Legal Theory" yang terdiri dari sepuluh bab, di
antaranya membahas tentang teori hukum Islam klasik, madzhab-madzhab kuno,
hadits-hadits hukum, ijma' dan ikhtilaf, serta qiyas, penalaran sistematis, dan pendapat
pribadi.
Bagian kedua membahas tentang "The Growth of Legal Traditions" yang
terdiri dari enam bab. Bab-bab ini membahas tentang pertumbuhan hadits-hadits
hukum pada periode kodifikasi, konflik doktrin, asal-usul hadits hukum, dan kaidah-
kaidah hukum dalam hadits. Bagian ketiga membahas tentang "The Transmission of
Legal Doctrine" yang terdiri dari sembilan bab. Bab-bab ini membahas tentang
praktik Umayah sebagai titik awal lahirnya hukum Islam, doktrin lama yang umum
dan pengaruh silang, unsur-unsur Al-Quran di dalam hukum Islam awal, madzhab
Iraq, Madinah, Mekah, para ahli hadits, Mu'tazilah, hukum Islam dan Khawarij, serta
hukum dan Syiah.
Bagian keempat membahas tentang "The Development of Technical Legal Thought"
yang terdiri dari enam bab, membahas tentang perkembangan penalaran hukum secara
umum, sistematisasi dan islamisasi, pemikiran Awzai, penalaran perorangan madzhab,
penalaran Malik, dan penalaran al-Syafi'iyyah.
Setelah bagian keempat, terdapat dua appendiks yaitu kronologis karya-karya
al-Syafi'i dan daftar paragraf dalam treatise al-Syafi'i. Selain itu, buku ini juga
membahas tentang sistem sanad dalam hadits. Sanad adalah metode atau cara
mentransmisikan suatu riwayat pada suatu matan hadits, sedangkan isnad adalah suatu
hikayat penuturan cara periwayatan suatu matan hadits dalam dua konteks (cara dan
matan) yang berbeda. Narasumber atau rawi merupakan orang yang meriwayatkan
berita dari orang lain kepada orang lain lagi.

16
Daftar Pustaka

Akhamd Minhaji, Joseph Schacht’s Contribution to The Study of Islamic Law (Canada:

Institute of Islamic Studies, McGill University Montreal, 1992), hal. 4

Akhmad Minhaji, : Joseph Schacht’s Contribution to The Study of Islamic Law,

Akhmad Minhaji, : Joseph Schacht’s Contribution to The Study of Islamic Law,

al-Durais, dkk. Al-Uyub al-Manhajiyyah Fi Kitabat al-Mustasyriq Schacht al-Mutaalliqah bi

al-Sunnah alNabawiyah, hal. 15-16.

Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-3, h. 96

al-Nawawi, Shahih Muslim bisarh al-Nawawi, (Meshir: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1924),

Vol. I., h. 88.

al-Tahanawi, Kasyf Ishthilahāt al-Funûn wa al-‘Ulûm,Vol I. h. 984

Canada: Institute of Islamic Studies, 1992.

Canada: Institute of Islamic Studies, 1992.

Dâr al-Fikr,tt., Vol. I., h. 19

Gian Nitya Putri, Hilda Meylani, and Icha Agustina, ‘Kritik Hadis Menurut Orientalis: Studi

Komparatif Pemikiran G.H.A Juynboll Dan Joseph Schacht’, Integritas Terbuka: Peace and

Interfaith Studies, 1.1 (2022) <https://doi.org/10.59029/int.v1i1.3>.

Gian Nitya Putri, Hilda Meylani, and Icha Agustina, ‘Kritik Hadis Menurut Orientalis: Studi

Komparatif Pemikiran G.H.A Juynboll Dan Joseph Schacht’, Integritas Terbuka: Peace and

Interfaith Studies, 1.1 (2022) <https://doi.org/10.59029/int.v1i1.3>.

M. Bahauddin, al- Mustasyriqun wa al-Hadits al-Nabawi. Malaysia: Dar alFajr. 1999, hal. 55

Muhammad ‘Abd al-‘Adzim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fi Ulûm al-Qur’an,

Mustafa Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, Pakistan, Suhai

Academy, 2004, ed. 1, h. 154-155

17
18

Anda mungkin juga menyukai